case anestesi print oppp

65
DATA PASIEN I. Identitas Pasien - Nama : Ny. E - Usia : 91 tahun - Agama : Islam - Alamat : Gagerbitung - Pekerjaan : ibu rumah tangga - Status Perkawinan : Menikah - Suku Bangsa : Sunda - Tanggal Masuk : 28 Maret 2012 - Tanggal Pemeriksaan : 28 Maret 2012 - Nomor Rekam Medik : B918767 - Diagnosa preoperatif : Apendisitis kronik - Jenis Pembedahan : Apendiktomi II. Anamnesis - Keluhan Utama : Nyeri perut bagian kanan bawah hilang timbul sejak 5 hari SMRS - Riwayat Penyakit Sekarang 5 hari SMRS, os mengeluh nyeri perut kanan bawah seperti ditusuk-tusuk. Nyeri hilang timbul dan tidak menjalar. Os merasa lebih nyeri saat berjalan dan batuk. Nyeri berkurang dengan posisi membungkuk. Os merasa mual tetapi tidak sampai muntah. Os juga mengatakan demam sepanjang hari disertai hilang nafsu makan. 1

Upload: zoe-rina

Post on 24-Jul-2015

1.289 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Case Anestesi PRINT Oppp

DATA PASIEN

I. Identitas Pasien

- Nama : Ny. E

- Usia : 91 tahun

- Agama : Islam

- Alamat : Gagerbitung

- Pekerjaan : ibu rumah tangga

- Status Perkawinan : Menikah

- Suku Bangsa : Sunda

- Tanggal Masuk : 28 Maret 2012

- Tanggal Pemeriksaan : 28 Maret 2012

- Nomor Rekam Medik : B918767

- Diagnosa preoperatif : Apendisitis kronik

- Jenis Pembedahan : Apendiktomi

II. Anamnesis

- Keluhan Utama : Nyeri perut bagian kanan bawah hilang

timbul sejak 5 hari SMRS

- Riwayat Penyakit Sekarang

5 hari SMRS, os mengeluh nyeri perut kanan bawah seperti ditusuk-tusuk.

Nyeri hilang timbul dan tidak menjalar. Os merasa lebih nyeri saat berjalan dan

batuk. Nyeri berkurang dengan posisi membungkuk. Os merasa mual tetapi tidak

sampai muntah. Os juga mengatakan demam sepanjang hari disertai hilang nafsu

makan.

3 hari SMRS, os mengeluh demam terus menerus sepanjang hari tetapi tidak

sampai menggigil. Os tidak mengukur demamnya dengan thermometer. os juga

mengeluh mual tetapi tidak muntah. Lalu os berobat ke dokter klinik, dokter

memberikan os obat tapi os tidak tahu nama obatnya.

1 hari SMRS, nyeri perut kanan bawah masih dirasakan oleh os yang

disertai dengan mual dan demam. Nyeri yang dirasakan os mengganggu aktifitas os

sehari-hari. Os mengeluh belum BAB selama 4 hari. Os mengatakan tidak pernah

1

Page 2: Case Anestesi PRINT Oppp

mengkonsumsi obat-obatan selain dari dokter. Os merasa tidak ada perbaikan

setelah minum obat dari dokter di klinik, sehingga os memutuskan untuk ke RSUD

Syamsudin.

- Riwayat Penyakit Dahulu

o Riwayat hipertensi ada

Pasien menderita hipertensi sejak 2 bulan

Sering kontrol dan mengkonsumsi obat hipertensi seperti

Amlodipin 1x5mg

o Riwayat alergi ada

Pasien alergi dengan debu, ada riwayat alergi obat (golongan

penisilin)

o Riwayat operasi sebelumnya disangkal

Pasien pernah dioperasi sebanyak 3 kali :

- Kista mioma sejak 2001,anestesi spinal,tidak ada

komplikasi

- Hemoroid sejak 2006 lalu,anestesi umum,tidak ada

komplikasi.

- Batu ginjal kiri sejak 2008,anestesi umum,tidak ada

komplikasi

o Riwayat asma disangkal

o Riwayat diabetes melitus disangkal

o Riwayat tuberkulosis disangkal

2 bulan SMRS, os mengatakan pernah nyeri di perut kanan bawah, nyeri seperti

ditusuk-tusuk, hilang timbul, dan nyeri menjalar ke perut atas dan perut kiri bawah.

Tetapi nyeri yang dirasakan tidak terlalu mengganggu aktifitasnya dan os masih

bisa berjalan. Nyeri berlangsung kurang lebih 3 minggu. Os juga mengatakan tidak

ada mual, muntah dan demam. BAB 1x sehari, konsistensi lunak, tidak ada darah

dan lendir. BAK 4 x sehari, warna kuning jernih, tidak ada pasir, dan tidak nyeri.

Os berobat ke dokter klinik lalu merasa membaik.

III. Pemeriksaan Fisik

- Keadaan umum : Tampak sakit sedang

2

Page 3: Case Anestesi PRINT Oppp

- Kesadaran : Compos Mentis (GCS 15)

- Tanda-tanda vital

o Tekanan darah : 160/90 mmHg

o Nadi : 82 kali per menit

o Suhu : 36.6oC

o Laju pernafasan : 16 kali per menit

- Berat badan : 62 kg

- Kepala : Tidak ada deformitas

- Mata :Sklera anikterik, konjungtiva tidak anemis, dan

refleks cahaya langsung dan tak langsung positif

untuk kedua mata, pupil isokor

- Hidung : Septum nasi di tengah, sekret -/-, darah -/-

- Mulut : Mallampati grade I, mukosa basah

- Leher : Thyro Mental Distance 6 cm, Kelenjar Getah

Bening tidak membesar

- Paru

o Inspeksi : Gerakan pernafasan simetris dalam kondisi statis

dan dinamis

o Palpasi : Fremitus kanan sama dengan kiri

o Perkusi : Sonor untuk kedua lapang paru

o Auskultasi : Bunyi nafas vesikular, ronki -/-, wheezing -/-

- Jantung

o Inspeksi : Iktus Cordis tidak terlihat

o Palpasi : Iktus Cordis tidak teraba

o Perkusi

Atas : Intercostalis 2 linea parasternalis sinistra

Kanan : Intercostalis 4 linea parasternalis dextra

Kiri : Intercostalis 5, 1 jari lateral linea midklavikularis

sinistra

o Auskultasi : Bunyi jantung 1 dan 2 reguler, murmur(-), gallop(-)

- Abdomen

3

Page 4: Case Anestesi PRINT Oppp

o Inspeksi: supel, datar,simetris

o Palpasi : NT (+)

Mc burney (+), psoas sign (+), obturator sign (+)

o Perkusi : Timpani

o Auskultasi : BU (+)

- Punggung

o Inspeksi : Deformitas -, Skoliosis -, Kifosis -

o Palpasi : Fremitus thorak posterior kiri sama dengan kanan

o Perkusi : Sonor untuk kedua lapang paru

o Auskultasi : Bunyi nafas vesikular, ronki -/-, wheezing -/-

- Ekstremitas: Capillary Refill Time < 2 detik, akral hangat, refleks fisiologis

+/+, refleks patologis -/-, kekuatan motorik 5 pada seluruh ekstremitas

IV. Pemeriksaan penunjang

Tes darah 28Maret 2012

- Hemoglobin : 11.0 g/dL

- Leukosit : 7.500/µL

- Hematokrit : 31,9%

- Trombosit : 230.000 /µL

- Bleeding Time : 2’30”

- Clotting Time : 9’

- SGOT : 16.7U/L

- SGPT :22.8U/L

- Glukosa darah puasa :96.7 mg/Dl

- Ureum : 31.5mg/Dl

- Kreatinin :1.13mg/Dl

- Asam Urat : 4.3mg/dL

Rontgen Thorax PA (21 Maret 2012)

4

+

Page 5: Case Anestesi PRINT Oppp

kesan : tidak tampak kardiomegali ataupun KP aktif.

EKG preoperatif, kesan : sinus rhytm, HR 92 x/mnt, tidak ditemukan ST

depresi, ST elevasi, T inverted maupun gelombang Q patologis

Status fisik : ASA II

Advis pre-operatif

o Puasa 6 jam pre-operasi

o Catapres 75 mikrogram 2x1

o Diazepam 5mg 2x1

V. Operasi

- Penatalaksanaan anestesi

o Anestesi dilakukan dengan cara anestesi umum pada jam 13.15 WIB

o Posisi supine

o Premedikasi : Ondansentron 4mg, Ranitidin 50mg

o Tehnik anestesi : Anestesi umum (GA)

o Anestesi dengan: N20, O2 dan Halothane

o Respirasi : Kontrol

- Tanda-tanda vital preoperatif

o Tekanan Darah : 140/90 mmHg

o Nadi : 90 kali per menit

o Pernapasan : 16x/menit

o Suhu : 36,5o C

o Saturasi O2 : 98%

- Tanda-tanda vital intraoperatif

5

Page 6: Case Anestesi PRINT Oppp

o Tekanan Darah : Sistolik : 126- 172 mmHg

Diastolik : 88-103 mmHg

o Nadi : 75-98 kali per menit

Medikasi

- Ondansentron : 4mg

- Ranitidin : 50mg

- Pethidin : 65mg

- Propofol ; 130mg

- Ketorolac : 90mg

- Pemberian cairan

o NaCl 0,9 % 500 cc

o RL 500 cc

o RL 500 cc + ketorolac 60mg

- Penghitungan cairan:

o Kebutuhan cairan maintenance:

BB = 62 kg

10kg I : 10 x 4 cc/kgBB/jam : 40cc/jam

10kg II: 10x 2 cc/kgBB/jam : 20 cc/jam

sisanya: 42 x 1 cc/kgBB/jam : 42 cc/jam

Total : 102 cc/jam6

Page 7: Case Anestesi PRINT Oppp

o Pasien puasa selama 6 jam pre-operatif

6 x 102 cc/jam : 612 cc

o Kebutuhan cairan intraoperatif

Lama operasi = 60menit

50 x 102 cc : 85.0cc

60

o Perdarahan intraoperatif

7 kasa kecil

(8 x 10 cc) : 70 cc

o Surgical Fluid Losses

Small tissue trauma (2cc/kgBB/jam)

62 x 2 cc/kgBB/jam : 124 cc

o Pemberian cairan intraoperatif

NaCl 0,9% 500 cc + RL 500 cc : 1000 cc

o Selisih cairan

1000 – (102+612+85+70+124) : 7 cc

- Keadaan pasien pasca bedah

o Keadaan Umum : Baik, CM

o Tekanan Darah : 126/88 mmHg

o Nadi : 73 kali per menit

o Laju pernafasan : 20 kali per menit

o Suhu : Afebris

- Aldrete’s score:

o Kesadaran : 2

o Warna : 2

o Aktivitas : 1

o Respirasi : 2

o Kardiovaskuler : 2

o Total Aldrete’s Score : 9

o Pasien boleh dipindahkan ke ruang rawat inap

- Instruksi Pasca Bedah:

7

Page 8: Case Anestesi PRINT Oppp

o Kontrol tekanan darah, frekuensi nadi, dan laju pernafasan tiap 15

menit selama 2 jam

o Pasien dipuasakan sehingga bising usus positif

o O2 3 liter per menit bila perlu

o Infus teruskan 25 tetes per menit

o Analgetik ketorolac 30 mg bolus per 8 jam

o Analgetik ketorolac 60 mg drip dalam 500 ml RL 20 tetes per menit

post operasi

- Keadaan Pasien Post Op

o Pukul 14.45

Tekanan darah : 130/80 mmHg

Nadi : 83 kali per menit

Laju pernafasan : 20 kali per menit

o Pukul 15.00

Tekanan darah : 130/70 mmHg

Nadi : 81 kali per menit

Laju pernafasan : 22 kali per menit

VI. Post-Operatif

Follow-up pasien 1 hari post-operatif:

- Keadaan umum : baik

- Kesadaran : compos mentis, GCS = 15

- Tanda-tanda vital

o Tekanan darah : 140/80 mmHg

o Nadi : 81 kali per menit

o Laju pernafasan : 21 kali per menit

o Suhu : 36,80C

- Post anesthesia care:

o Infus terpasang 1 line pada tangan kiri

o Analgetik ketorolac secara bolus dan drip telah diberikan

o Tidak ada tanda-tanda perdarahan hebat.

8

Page 9: Case Anestesi PRINT Oppp

Analisis Kasus

Pasien perempuan, 45 tahun,berat badan 62 Kg,tinggi badan 153 cm,dengan nyeri perut

kanan bawah sejak 5 hari SMRS. Pasien dijadwalkan untuk dilakukan pembedahan elektif

untuk apendiktomi. Pasien menyatakan ada riwayat hipertensi,kelebihan berat badan,alergi

debu,obat(golongan penisilin)

Tanda-tanda vital:

o Tekanan darah : 160/90 mmHg

o Nadi : 88 kali per menit

o Suhu : 36.5oC

o Laju pernafasan : 20 kali per menit

Pemeriksaan fisik yang bermakna:

- Ditemukan nyeri tekan di sebelah kanan bawah pada palpasi abdomen.

- Hasil Laboratorium

Tes darah 28 Maret 2012

- Hemoglobin : 11.0 g/dL

- Leukosit : 7.500/µL

- Hematokrit : 31,9%

- Trombosit : 230.000 /µL

- Bleeding Time : 2’30”

- Clotting Time : 9’

- SGOT : 16.7U/L

- SGPT : 22.8U/L

- Glukosa darah puasa : 96.7 mg/Dl

- Ureum : 31.5mg/Dl

- Kreatinin : 1.13mg/Dl

- Asam Urat : 4.3mg/dL

Rontgen Thorax PA, kesan : tidak tampak kardiomegali ataupun KP aktif.

9

Page 10: Case Anestesi PRINT Oppp

EKG preoperatif, kesan : sinus rhytm, HR 92 x/mnt, tidak ditemukan ST

depresi, ST elevasi, T inverted maupun gelombang Q patologis

Dari hasil pemeriksaan perioperatif, didapatkan pasien dengan hipertensi derajat 2

menurut JNC 7 dengan appendicitis. Pasien juga memiliki berat badan yang tidak ideal

(overweight). Tidak ditemukan adanya kelainan hemodinamik, aritmia, tanda-tanda

iskemik maupun infark miocard, penurunan fungsi ginjal dan gangguan neurologis yang

sering menjadi komplikasi pada hipertensi yang sudah berat. Sehingga disimpulkan bahwa

hipertensinya berupa hipertensi essensial yang tidak terkontrol oleh obat namun belum

ditemukan tanda-tanda kerusakan atau penurunan fungsi organ pada pasien. Oleh sebab itu

pasien digolongkan ke dalam ASA 2.

Teknik anestesi umum dipilih kerana durasi pembedahan yang lama,dan atas

permintaan pasien sendiri yang menolak untuk dianestesi spinal. Hanya saja harus

dilakukan pemantauan dan pemeliharaan kestabilan tekanan darah baik perioperatif,

intraoperatif maupun postoperatif.

Persiapan perioperatif pada pasien ini adalah menurunkan tekanan darah pasien

sebelum prosedur operasi dilakukan serta memastikan tidak ada komplikasi ataupun

penyulit lain pada pasien. Dilakukan juga pemantauan tekanan darah, heart rate, pulse

oksimetri serta upaya mempertahankan kestabilan tekanan darah pasien intraoperatif

dengan obat-obatan. Peningkatan tekanan darah intraoperatif tidak boleh lebih dari 20 %

dari tekanan darah awal atau perioperatif. Pemeliharaan tekanan darah dan pemantauan

tanda-tanda komplikasi hipertensi tetap dilakukan setelah operasi selesai.

10

Page 11: Case Anestesi PRINT Oppp

Klasifikasi status fisik ASA

Pada tahun 1940, ASA membentuk suatu komite untuk mengembangkan suatu “sarana”

untuk mengumpulkan dan mentabulasi data satistik yang berguna dalam memprediksi

resiko operasi. Komite tersebut tidak dapat mengembangkan suatu sarana tersebut, namun

mereka fokus dalam mengklasifikasikan status fisik pasien, yang membuat ASA

mengadopsi sistem klasifikasi lima kategori status fisik untuk digunakan dalam menilai

pasien dalam pre-operatif. Kategori keenam selanjutnya ditambahkan untuk donor organ

yang sudah mati otak. Walaupun sistem ini tidak dimaksudkan untuk memprediksi resiko

operasi, namun secara umum status fisik ASA berkorelasi dengan tingkat mortalitas peri-

operatif. Karena penyakit penyerta hanya merupakan salah satu dari sekian banyak faktor

yang berkontribusi pada komplikasi peri-operatif, maka tidak mengherankan apabila

korelasi ini tidak sempurna. Meski dari itu, status fisik ASA tetap berperan dalam

merencanakan manajemen anestetik, terutama teknik monitoring pada pasien.

Kelas Definisi

I

II

III

IV

V

Pasien sehat organik, fisiologik, psikitatrik, biokimia

Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang

(tidak ada gangguan fungsional)

Pasien dengan penyakit sistemik berat sehingga aktivitas rutin terbatas

(terdapat gangguan fungsional)

Pasien dengan penyakit sistemik berat yang tak dapat melakukan aktivitas

rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat

Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya

tidak akan lebih dari 24 jam

11

Page 12: Case Anestesi PRINT Oppp

VI

E

Pasien mati otak yang organnya akan didonorkan

Apabila prosedur pembedahannya adalah gawat darurat (cito)

APPENDICITIS

ANATOMI

Apendiks (appendiks Vermiformis) terletak posteromedial dari caecum pada regio

perut kanan bawah. Apendiks termasuk organ intra peritoneal. Walaupun kadang juga

ditemukan retroperitoneal. Organ ini tidak mempunyai kedudukan menetap di dalam

rongga perut (rongga peritoneal). Panjangnya 5 – 10 cm dengan berbagai posisi

(retrocaecal, pelvical, dll). Walaupun sangat jarang kadang dijumpai pada regio kiri

bawah. Mendapat aliran darah dari cabang arteri ileocaecal yang merupakan satu-

satunya feeding arteri untuk apendiks, sehingga apabila terjadi trombus akan berakibat

terbentuknya ganggren dan berakibat lanjut terjadinya perforasi apendiks.

APENDISITIS AKUT

Adalah : radang pada jaringan apendiks

12

Page 13: Case Anestesi PRINT Oppp

• Istilah apendisitis pertamakali diperkenalkan oleh Reginal Fitz pada tahun 1886 di

Boston.

• Morton pertamakali melakukan operasi apendektomi pada tahun 1887 di Philadelphia.

• Apendisitis akut pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti

oleh proses infeksi dari apendiks.

• Penyebab obstruksi dapat berupa :

- Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.

- Fekalit

- Benda asing

- Tumor.

• Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang diproduksi tidak dapat

keluar dari apendiks, hal ini semakin meningkatkan tekanan intra luminer sehingga

menyebabkan tekanan intra mukosa juga semakin tinggi.

• Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks sehingga

terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus / nanah pada dinding apendiks.

• Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ

lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks.

KLASIFIKASI

Ellis membagi apendiks menjadi :

1. Apendisitis akut tanpa komplikasi/ perforasi.

2. Apendisitis akut dengan komplikasi/ perforasi (peritonitis, abses/ infitrat)

GEJALA KLINIS : 13

Page 14: Case Anestesi PRINT Oppp

• Nyeri perut periumbilikal kemudian menetap di kanan bawah.

• Anoreksia, mual muntah.

• Obstipasi, diare

• Disuria.

• Demam

PEMERIKSAAN FISIK

• Nyeri tekan Mc. Burney

• Rovsing sign, Psoas sign, Obturator sign

LABORATORIUM :

• Lekositosis, lekosit > 10.000 /mm3

• Netrofilia.

DIAGNOSIS :

• Gejala klinis

• Laboratoris.

• X-rays

• USG.

• Ct scan

TERAPI :

• Apendektomi terbuka

• Laparoskopi apendektomi

14

Page 15: Case Anestesi PRINT Oppp

Anestesi Pada Pasien Hipertensi

PENDAHULUAN

Hipertensi adalah penyakit yang umum dijumpai.Diperkirakan satu dari empat

populasi dewasa di Amerika atau sekitar 60 juta individu dan hampir 1 milyar penduduk

dunia menderita hipertensi, dengan mayoritas dari populasi ini mempunyai risiko yang

tinggi untuk mendapatkan komplikasi kardiovaskuler. Data yang diperoleh dari

Framingham Heart Study menyatakan bahwa prevalensi hipertensi tetap akan meningkat

meskipun sudah dilakukan deteksi dini dengan dilakukan pengukuran tekanan darah (TD)

secara teratur. Pada populasi berkulit putih ditemukan hampir 1/5 mempunyai tekanan

darah sistolik (TDS) lebih besar dari 160/95 mmHg dan hampir separuhnya mempunyai

TDS lebih besar dari 140/90 mmHg. Prevalensi hipertensi tertinggi ditemukan pada

populasi bukan kulit putih. Hipertensi yang tidak terkontrol yang dibiarkan lama akan

mempercepat terjadinya arterosklerosis dan hipertensi sendiri merupakan faktor risiko

mayor terjadinya penyakit-penyakit jantung, serebral, ginjal dan vaskuler. Pengendalian

hipertensi yang agresif akan menurunkan komplikasi terjadinya infark miokardium, gagal

jantung kongestif, stroke, gagal ginjal, penyakit oklusi perifer dan diseksi aorta, sehingga

morbiditas dapat dikurangi. Konsekuensi dari penggunaan obatobat antihipertensi yang

rutin mempunyai potensi terjadinya interaksi dengan obat-obat yang digunakan selama

pembedahan. Banyak jenis obat-obatan yang harus tetap dilanjutkan selama periode

perioperatif, dimana dosis terakhir diminum sampai dengan 2 jam sebelum prosedur

pembedahan dengan sedikit air dan dilanjutkan kembali pada saat pemulihan dari pengaruh

anestesia. Tingginya angka penderita hipertensi dan bahayanya komplikasi yang bisa

ditimbulkan akibat hipertensi ini menyebabkan pentingnya pemahaman para ahli anestesia

dalam manajemen selama periode perioperatif. Periode perioperatif dimulai dari hari 15

Page 16: Case Anestesi PRINT Oppp

dimana dilakukannya evaluasi prabedah, dilanjutkan periode selama pembedahan sampai

pemulihan pasca bedah.

DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI HIPERTENSI

Diagnosis suatu keadaan hipertensi dapat ditegakkan bila ditemukan adanya

peningkatan tekanan arteri diatas nilai normal yang diperkenankan berdasarkan umur, jenis

kelamin dan ras. Batas atas tekanan darah normal yang diijinkan adalah sebagai berikut :

Klasifikasi hipertensi

Kategori Tekanan darah Tekanan darah sistolik

(mmHg)

Tekanan darah diastolik

(mmHg)

Normal

Normal Tinggi

Hipertensi

Stage 1 / ringan

Stage 2 / sedang

Stage 3 / berat

Stage 4 / sangat berat

ISH

PPH

Batas atas pediatrik:

Remaja

<130

130-139

140-159

160-179

180-209

>210

>140

Pulse Pressure > 65

100

<85

85-89

90-99

100-109

110-119

>120

<90

75

16

Page 17: Case Anestesi PRINT Oppp

Anak

Bayi

85

70

55

45

Menurut The Joint National Committee 7 (JNC 7) on prevention, detection, evaluation,

and treatment of high blood pressure tahun 2003, klasifikasi hipertensi dibagi atas

prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan 2 (lihat tabel 1).

Klasifikasi di atas untuk dewasa 18 tahun ke atas. Hasil pengukuran TD dipengaruhi oleh

banyak faktor, termasuk posisi dan waktu pengukuran, emosi, aktivitas, obat yang sedang

dikonsumsi dan teknik pengukuran TD. Kriteria ditetapkan setelah dilakukan 2 atau lebih

pengukuran TD dari setiap kunjungan dan adanya riwayat peningkatan TD darah

sebelumnya. Penderita dengan klasifikasi prehipertensi mempunyai progresivitas yang

meningkat untuk menjadi hipertensi. Nilai rentang TD antara 130-139/80-89 mmHg

mempunyai risiko 2 kali berkembang menjadi hipertensi dibandingkan dengan nilai TD

yang lebih rendah dari nilai itu. Di samping itu klasifikasi hipertensi berdasarkan

penyebabnya, dapat dibagi dalam 2 penyebab dasar, yaitu sebagai berikut:

1. Hipertensi primer (esensial, idiopatik).

2. Hipertensi sekunder:

17

Page 18: Case Anestesi PRINT Oppp

Hipertensi sistolik dengan tekanan nadi melebar: Regurgitasi aorta,

tirotoksikosis, PDA.

Hipertensi sistolik dan diastolik dengan peningkatan SVR:

Renal: glomerulonefritis akut dan kronis, pyelonefritis, polikistik ginjal,

stenosis arteri renalis.

Endokrin: Sindroma Chusing, hiperplasia adrenal congenital, sindroma Conn

(hiperaldosteronisme primer), phaeochromacytoma, hipotiroidisme.

Neurogenik: peningkatan TIK, psikis (White Coat Hypertension), porfiria akut,

tanda-tanda keracunan.

Penyebab lain: coarctation dari aorta, polyarteritis nodosa, hiperkalsemia,

peningkatan volume intravaskuler (overload).

PATOGENESIS TERJADINYA HIPERTENSI

Hanya berkisar 10-15% kasus hipertensi yang diketahui penyebabnya secara spesifik. Hal

ini penting menjadi bahan pertimbangan karena beberapa dari kasus-kasus hipertensi

tersebut bisa dikoreksi dengan terapi definitif pembedahan, seperti penyempitan arteri

renalis, coarctation dari aorta, pheochromocytoma, cushing’s disease, akromegali, dan

hipertensi dalam kehamilan. Sedangkan hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya

sering disebut sebagai hipertensi esensial. Hipertensi esensial menduduki 80-95% dari

kasus-kasus hipertensi. Secara umum hipertensi selalu dihubungkan dengan

ketidaknormalan peningkatan aktivitas simpatis, yaitu terjadi peningkatan baseline dari

curah jantung (CO), seperti pada keadaan febris, hipertiroidisme atau terjadi peningkatan

resistensi pembuluh darah perifer (SVR) atau kedua-duanya. Peningkatan SVR merupakan

penyebab hipertensi pada mayoritas penderita hipertensi. Pola perkembangan terjadinya

hipertensi, awalnya CO meningkat, tetapi SVR dalam batas-batas normal. Ketika

hipertensi semakin progresif, CO kembali normal tetapi SVR meningkat menjadi tidak

normal. Afterload jantung yang meningkat secara kronis menghasilkan LVH (left ventricle

hypertrophy) dan merubah fungsi diastolik. Hipertensi juga merubah autoregulasi serebral

sehingga cerebral blood flow (CBF) normal untuk penderita hipertensi dipertahankan pada

tekanan yang tinggi. Tekanan darah berbanding lurus dengan curah jantung dan SVR,

dimana persamaan ini dapat dirumuskan dengan menggunakan hukum Law, yaitu:

18

Page 19: Case Anestesi PRINT Oppp

BP = CO x SVR

Secara fisiologis TD individu dalam keadaan normal ataupun hipertensi, dipertahankan

pada CO atau SVR tertentu. Secara anatomik ada 3 tempat yang mempengaruhi TD ini,

yaitu arterial, vena-vena post kapiler (venous capacitance) dan jantung. Sedangkan ginjal

merupakan faktor keempat lewat pengaturan volume cairan intravaskuler (gambar 1). Hal

lain yang ikut berpengaruh adalah baroreseptor sebagai pengatur aktivitas saraf otonom,

yang bersama dengan mekanisme humoral, termasuk sistem rennin-angiotensin-aldosteron

akan menyeimbangkan fungsi dari keempat tersebut. Faktor terakhir adalah pelepasan

hormon-hormon lokal yang berasal dari endotel vaskuler dapat juga mempengaruhi

pengaturan SVR. Sebagai contoh, nitrogen oksida (NO) berefek vasodilatasi dan

endotelin-1 berefek vasokonstriksi.

FARMAKOLOGI DASAR OBAT-OBATANTIHIPERTENSI

Obat antihipertensi bekerja pada reseptor tertentu yang tersebar dalam tubuh.

Kategori obat antihipertensi dibagi berdasarkan mekanisme atauprinsip kerjanya, yaitu:

1. Diuretika, menurunkan TD dengan cara mengurangi natrium tubuh dan volume darah,

sehingga CO berkurang. Contohnya: golongan thiazide, loop diuretics.

2. Golongan simpatolitik / simpatoplegik, menurunkan TD dengan cara menumpulkan

refleks arkus simpatis sehingga menurunkan resistensi pembuluh darah perifer,

menghambat fungsi kardiak, meningkatkan pengisian vena sehingga terjadi penurunan

CO. Contohnya: beta dan alpha blocker, methyldopa dan clonidine, ganglion blocker,

dan post ganglionic symphatetic blocker (reserpine, guanethidine).

3. Vasodilator langsung, menurunkan TD dengan cara relaksasi otot-otot polos vaskuler.

Contoh: nitroprusside, hydralazine, calcium channel blocker.

4. Golongan penghambat produksi atau aktivitas Angiotensin, penghambatan ini

menurunkan resistensi perifer dan volume darah, yaitu dengan menghambat

angiotensin I menjadi angiotensin II dan menghambat metabolisme dari bradikinin.

MANAJEMEN PERIOPERATIF PENDERITA HIPERTENSI

Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang akan menjalani prosedur

pembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang harus dicari, yaitu:

19

Page 20: Case Anestesi PRINT Oppp

Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensinya.

Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah terjadi.

Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita.

Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi, untuk

prosedur pembedahan yang memerlukan teknik hipotensi.

Semua data-data di atas bisa didapat dengan melakukan anamnesis riwayat perjalanan

penyakitnya, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan prosedur diagnostik lainnya.

Penilaian status volume cairan tubuh adalah menyangkut apakah status hidrasi yang dinilai

merupakan yang sebenarnya ataukah suatu relatif hipovolemia (berkaitan dengan

penggunaan diuretika dan vasodilator). Disamping itu penggunaan diuretika yang rutin,

sering menyebabkan hipokalemia dan hipomagnesemia yang dapat menyebabkan

peningkatan risiko terjadinya aritmia. Untuk evaluasi jantung, EKG dan x-ray toraks akan

sangat membantu. Adanya LVH dapat menyebabkan meningkatnya risiko iskemia

miokardial akibat ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Untuk

evaluasi ginjal, urinalisis, serum kreatinin dan BUN sebaiknya diperiksa untuk

memperkirakan seberapa tingkat kerusakan parenkim ginjal. Jika ditemukan ternyata gagal

ginjal kronis, maka adanya hiperkalemia dan peningkatan volume plasma perlu

diperhatikan. Untuk evaluasi serebrovaskuler, riwayat adanya stroke atau TIA dan adanya

retinopati hipertensi perlu dicatat. Tujuan pengobatan hipertensi adalah mencegah

komplikasi kardiovaskuler akibat tingginya TD, termasuk penyakit arteri koroner, stroke,

CHF, aneurisme arteri dan penyakit ginjal. Diturunkannya TD secara farmakoligis akan

menurunkan mortalitas akibat penyakit jantung sebesar 21%, menurunkan kejadian stroke

sebesar 38%, menurunkan penyakit arteri koronariasebesar 16%.

PERTIMBANGAN ANESTESI PADA PASIEN HIPERTENSI

Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa sebaiknya yang paling

tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya penundaan anestesia dan

operasi. Namun banyak literatur yang menulis bahwa TDD 110 atau 115 adalah cut-off

point untuk mengambil keputusan penundaan anestesia atau operasi kecuali operasi

emergensi. Kenapa TD diastolik (TDD) yang dijadikan tolak ukur, karena peningkatan TD

sistolik (TDS) akan meningkat seiring dengan pertambahan umur, dimana perubahan ini

lebih dianggap sebagai perubahan fisiologik dibandingkan patologik. Namun beberapa ahli

20

Page 21: Case Anestesi PRINT Oppp

menganggap bahwa hipertensi sistolik lebih besar risikonya untuk terjadinya morbiditas

kardiovaskuler dibandingkan hipertensi diastolik. Pendapat ini muncul karena dari hasil

studi menunjukkan bahwa terapi yang dilakukan pada hipertensi sistolik dapat

menurunkan risiko terjadinya stroke dan MCI pada populasi yang berumur tua. Dalam

banyak uji klinik, terapi antihipertensi pada penderita hipertensi akan menurunkan angka

kejadian stroke sampai 35%-40%, infark jantung sampai 20-25% dan angka kegagalan

jantung diturunkan sampai lebih dari 50%. 2,12 Menunda operasi hanya untuk tujuan

mengontrol TD mungkin tidak diperlukan lagi khususnya pada pasien dengan kasus

hipertensi yang ringan sampai sedang. Namun pengawasan yang ketat perlu dilakukan

untuk menjaga kestabilan hemodinamik, karena hemodinamik yang labil mempunyai efek

samping yang lebih besar terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit

hipertensinya itu sendiri. Penundaan operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga

adanya kerusakan target organ sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum

operasi. The American Heart Association / American College of Cardiology (AHA/ACC)

mengeluarkan acuan bahwa TDS _ 180 mmHg dan/atau TDD _ 110 mmHg sebaiknya

dikontrol sebelum dilakukan operasi, terkecuali operasi bersifat urgensi. Pada keadaan

operasi yang sifatnya urgensi, TD dapat dikontrol dalam beberapa menit sampai beberapa

jam dengan pemberian obat antihipertensi yang bersifat rapid acting. Perlu dipahami

bahwa penderita hipertensi cenderung mempunyai respon TD yang berlebihan pada

periode perioperatif. Ada 2 fase yang harus menjadi pertimbangan, yaitu saat tindakan

anestesia dan postoperasi. Contoh yang sering terjadi adalah hipertensi akibat laringoskopi

dan respons hipotensi akibat pemeliharaan anestesia. Pasien hipertensi preoperatif yang

sudah dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan mempunyai hemodinamik yang lebih

stabil dibandingkan yang tidak dikontrol dengan baik.

PERLENGKAPAN MONITOR

Berikut ini ada beberapa alat monitor yang bisa kita gunakan serta maksud dan tujuan

penggunaanya:

EKG: minimal lead V5 dan II atau analisis multipel lead ST, karena pasien

hipertensi punya risiko tinggi untuk mengalami iskemia miokard.

TD: monitoring secara continuous TD adalah esensial kateter Swan-Ganz: hanya

digunakan untuk penderita hipertensi dengan riwayat CHF atau MCI berulang.

21

Page 22: Case Anestesi PRINT Oppp

Pulse oxymeter: digunakan untuk menilai perfusi dan oksigenasi jaringan perifer.

Analizer end-tidal CO2: Monitor ini berguna untuk membantu kita

mempertahankan kadar CO2.

Suhu atau temperature.

PREMEDIKASI

Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita hipertensi. Untuk

hipertensi yang ringan sampai dengan sedang mungkin bisa menggunakan ansiolitik

seperti golongan benzodiazepin atau midazolam. Obat antihipertensi tetap dilanjutkan

sampai pada hari pembedahan sesuai jadwal minum obat dengan sedikit air non partikel.

Beberapa klinisi menghentikan penggunaan ACE inhibitor dengan alasan bisa terjadi

hipotensi intraoperatif.

INDUKSI ANESTESI

Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan

hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun saat

intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi diakibatkan vasodilatasi perifer

terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga preloading cairan

penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum induksi. Disamping itu

hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena efek dari obat anestesi dan efek

dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan

angiotensin receptor blocker. Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri

karena laringoskopi dan intubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan dapat

menyebabkan iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-

intubasi endotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan bahwa durasi laringoskopi dibawah 15

detik dapat membantu meminimalkan terjadinya fluktuasi hemodinamik.

Beberapa teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi

untuk menghindari terjadinya hipertensi.

22

Page 23: Case Anestesi PRINT Oppp

Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama 5- 10

menit.

Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25 mikrogram/kgbb,

sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil 0,5-1 mikrogram/ kgbb).

Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atau intratrakea.

Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb,

propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg).

Menggunakan anestesia topikal pada airway.

Pemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi adalah bervariasi untuk masing-

masing klinisi. Propofol, barbiturate, benzodiazepine dan etomidat tingkat keamanannya

adalah sama untuk induksi pada penderita hipertensi. Untuk pemilihan pelumpuh otot

vekuronium atau cis-atrakurium lebih baik dibandingkan atrakurium atau pankuronium.

Untuk volatile, sevofluran bisa digunakan sebagai obat induksi secara inhalasi

PEMELIHARAAN ANESTESIA dari MONITORING

Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan anestesia adalah

meminimalkan terjadinya fluktuasi TD yang terlalu lebar. Mempertahankan kestabilan

hemodinamik selama periode intraoperatif adalah sama pentingnya dengan pengontrolan

hipertensi pada periode preoperatif. Pada hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran

kekanan autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini akan

mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika TD diturunkan

secara tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat antihipertensi akan menggeser kembali

kurva autregulasi kekiri kembali ke normal. Dikarenakan kita tidak bisa mengukur

autoregulasi serebral sehingga ada beberapa acuan yang sebaiknya diperhatikan, yaitu:

Anestesia aman Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang

maksimal yang dianjurkan untuk penderita hipertensi.

Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala hipoperfusi

otak.

Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian stroke.

Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal, kurang lebih sama dengan

yang terjadi pada serebral.

23

Page 24: Case Anestesi PRINT Oppp

jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi dengan memperhatikan kestabilan

hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia dengan volatile (tunggal atau dikombinasikan

dengan N2O), anestesia imbang (balance anesthesia) dengan opioid + N2O + pelumpuh

otot, atau anestesia total intravena bisa digunakan untuk pemeliharaan anestesia.3

Anestesia regional dapat dipergunakan sebagai teknik anesthesia, namun perlu diingat

bahwa anestesia regional sering menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering

dikaitkan pada pasien dengan keadaan hipovolemia. Jika hipertensi tidak berespon

terhadap obat-obatan yang direkomendasikan, penyebab yang lain harus dipertimbangkan

seperti phaeochromacytoma, carcinoid syndrome dan tyroid storm. Kebanyakan penderita

hipertensi yang menjalani tindakan operasi tidak memerlukan monitoring yang khusus.

Monitoring intra-arterial secara langsung diperlukan terutama jenis operasi yang

menyebabkan perubahan preload dan afterload yang mendadak. EKG diperlukan untuk

mendeteksi terjadinya iskemia jantung. Produksi urine diperlukan terutama untuk

penderita yang mengalami masalah dengan ginjal, dengan pemasangan kateter urine, untuk

operasi-operasi yang lebih dari 2 jam. Kateter vena sentral diperlukan terutama untuk

memonitoring status cairan pada penderita yang mempunyai disfungsi ventrikel kiri atau

adanya kerusakan end organ yang lain

HIPERTENSI INTRAOPERATIF

Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga pada periode

anestesia maupunsaat pasca bedah. Hipertensi intraoperatif yang tidak berespon dengan

didalamkannya anestesia dapat diatasi dengan antihipertensi secara parenteral (lihat tabel

2), namun faktor penyebab bersifat reversibel atau bisa diatasi seperti anestesia yang

kurang dalam, hipoksemia atau hiperkapnea harus disingkirkan terlebih dahulu.

Tabel 2. Antihipertensi parenteral untuk mengatasi hipertensi akut

24

Page 25: Case Anestesi PRINT Oppp

Pemilihan obat antihipertensi tergantung dari berat, akut atau kronik, penyebab

hipertensi, fungsi baseline ventrikel, heart rate dan ada tidaknya penyakit bronkospastik

pulmoner dan juga tergantung dari tujuan dari pengobatannya atau efek yang diinginkan

dari pemberian obat tersebut (lihat tabel 3).

Berikut ini ada beberapa contoh sebagai dasar pemilihan obat yang akan digunakan:

Beta-adrenergik blockade: digunakan tunggal atau tambahan pada pasien dengan

fungsi ventrikuler yang masih baik dan dikontra indikasikan pada bronkospastik.

Nicardipine: digunakan pada pasien dengan penyakit bronkospastik.

Nifedipine: refleks takikardia setelah pemberian sublingual sering dihubungkan

dengan iskemia miokard dan antihipertensi yang mempunyai onset yang lambat.

Nitroprusside: onset cepat dan efektif untuk terapi intraoperatif pada hipertensi

sedang sampai berat.

Nitrogliserin: mungkin kurang efektif, namun bisa digunakan sebagai terapi atau

pencegahan iskemia miokard.

Fenoldopam: dapat digunakan untuk mempertahankan atau menjaga fungsi ginjal.

25

Page 26: Case Anestesi PRINT Oppp

Hydralazine: bisa menjaga kestabilan TD, namun obat ini juga punya onset yang

lambat sehingga menyebabkan timbulnya respon takikardia.

KRISIS HIPERTENSI

Dikatakan krisis hipertensi jika TD lebih tinggi dari 180/120 mmHg dan dapat

dikategorikan dalam hipertensi urgensi atau hipertensi emergensi, berdasarkan ada

tidaknya ancaman kerusakan target organ atau kerusakan target organ yang progresif.

Pasien dengan hipertensi sistemik kronis dapat mentoleransi TDS yang lebih tinggi

dibandingkan individu yang sebelumnya normotensif dan lebih mungkin mengalami

hipertensi yang sifatnya urgensi dibandingkan emergensi. Hal-hal yang paling sering

menimbulkan krisis hipertensi adalah antara lain karena penggunaan obat antihipertensi

seperti clonidine, hiperaktivitas autonom, obat-obat penyakit kolagen-vaskuler,

glomerulonefritis akut, cedera kepala, neoplasia seperti pheokromasitoma, preeclampsia

dan eklampsia. Manifestasi klinis yang timbul adalah sesuai dengan target organ yang

rusak akibat hipertensi ini. Krisis hipertensi terbagi atas hipertensi emergensi dan

hipertensi urgensi. Hipertensi emergensi adalah pasien dengan bukti adanya kerusakan

target organ yang sedang terjadi atau akut (ensefalopati, perdarahan intra serebral,

kegagalan ventrikel kiri akut dengan edema paru, unstable angina, diseksi aneurisme aorta,

26

Page 27: Case Anestesi PRINT Oppp

IMA, eclampsia, anemia hemolitik mikro angiopati atau insufisiensi renal) yang

memerlukan intervensi farmakologi yang tepat untuk menurunkan TD sistemik.

Ensefalopati jarang terjadi pada pasien dengan hipertensi kronis sampai TDD melebihi 150

mmHg sedangkan pada wanita hamil yang mengalami hipertensi dapat mengalami tanda-

tanda ensefalopati pada TDD < 100 mmHg. Sehingga walaupun tidak ada gejala, wanita

hamil dengan TDD > 109 mmHg dianggap sebagai hipertensi emergensi dan memerlukan

terapi segera. Bila TD diturunkan secara cepat akan terjadi iskemia koroner akut, sehingga

MAP diturunkan sekitar 20% dalam 1 jam pertama, selanjutnya pelan-pelan diturunkan

sampai160/110 selama 2-6 jam. Tanda-tanda penurunan TD ditoleransi dengan baik adalah

selama fase ini tidak ada tanda-tanda hipoperfusi target organ. Hipertensi urgensi adalah

situasi dimana TD meningkat tinggi secara akut, namun tidak ada bukti adanya kerusakan

target organ. Gejala yang timbul dapat berupa sakit kepala, epitaksis atau ansietas.

Penurunan TD yang segera tidak merupakan indikasi dan pada banyak kasus dapat

ditangani dengan kombinasi antihipertensi oral bertahap dalam beberapa hari.

MANAJEMEN POSTOPERATIF

Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada pasien yang

menderita hipertensi esensial. Hipertensi dapat meningkatkan kebutuhan oksigen miokard

sehingga berpotensi menyebabkan iskemia miokard, disritmia jantung dan CHF.

Disamping itu bisa juga menyebabkan stroke dan perdarahan ulang luka operasi akibat

terjadinya disrupsi vaskuler dan dapat berkonstribusi menyebabkan hematoma pada daerah

luka operasi sehingga menghambat penyembuhan luka operasi. Penyebab terjadinya

hipertensi pasca operasi ada banyak faktor, disamping secara primer karena penyakit

hipertensinya yang tidak teratasi dengan baik, penyebab lainnya adalah gangguan sistem

respirasi, nyeri, overload cairan atau distensi dari kandung kemih. Sebelum diputuskan

untuk memberikan obat-obat antihipertensi, penyebab-penyebab sekunder tersebut harus

dikoreksi dulu. Nyeri merupakan salah satu faktor yang paling berkonstribusi

menyebabkan hipertensi pasca operasi, sehingga untuk pasien yang berisiko, nyeri

sebaiknya ditangani secara adekuat, misalnya dengan morfin epidural secara infus

kontinyu. Apabila hipertensi masih ada meskipun nyeri sudah teratasi, maka intervensi

secara farmakologi harus segera dilakukan dan perlu diingat bahwa meskipun pasca

operasi TD kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya sudah mempunyai riwayat

hipertensi, sebaiknya obat antihipertensi pasca bedah tetap diberikan. Hipertensi pasca

27

Page 28: Case Anestesi PRINT Oppp

operasi sebaiknya diterapi dengan obat antihipertensi secara parenteral misalnya dengan

betablocker yang terutama digunakan untuk mengatasi hipertensi dan takikardia yang

terjadi. Apabila penyebabnya karena overload cairan, bisa diberikan diuretika furosemid

dan apabila hipertensinya disertai dengan heart failure sebaiknya diberikan ACE-inhibitor.

Pasien dengan iskemia miokard yang aktif secara langsung maupun tidak langsung dapat

diberikan nitrogliserin dan beta-blocker secara intravena sedangkan untuk hipertensi berat

sebaiknya segera diberikan sodium nitroprusside. Apabila penderita sudah bisa makan dan

minum secara oral sebaiknya antihipertensi secara oral segera dimulai.

RINGKASAN

Hipertensi adalah penyakit yang umum dijumpai, dengan angka penderita yang

cukup tinggi. Hipertensi sendiri merupakan faktor risiko mayor yang bisa menyebabkan

terjadinya komplikasi seperti penyakitpenyakit jantung, serebral, ginjal dan vaskuler.

Mengingat tingginya angka kejadian dan komplikasi yang bisa ditimbulkan oleh penyakit

hipertensi ini, maka perlu adanya pemahaman para ahli anestesia dalam manajemen

selama periode perioperatif. Manajemen perioperatif dimulai sejak evaluasi prabedah,

selama operasi dan dilanjutkan sampai periode pasca bedah. Evaluasi prabedah sekaligus

optimalisasi keadaan penderita sangat penting dilakukan untuk meminimalkan terjadinya

komplikasi, baik yang terjadi selama intraoperatif maupun yang terjadi pada

pascapembedahan. Goncangan hemodinamik mudah terjadi, baik berupa hipertensi

maupun berupa hipotensi, yang bisa menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi. Hal ini

harus diantisipasi dengan perlunya pemahaman tentang teknik anestesia yang benar,

manajemen cairan perioperatif, pengetahuan farmakologi obat-obat yang digunakan, baik

obat-obatan antihipertensi maupun obatobatan anestesia serta penanganan nyeri akut yang

adekuat. Dengan manajemen perioperatif yang benar terhadap penderita-penderita

hipertensi yang akan menjalani pembedahan, diharapkan bisa menurunkan atau

meminimalkan angka morbiditas maupun mortalitas.

28

Page 29: Case Anestesi PRINT Oppp

ANESTESI UMUM (GENERAL ANESTESI)

Tindakan anestesi dilakukan dengan menghilangkan nyeri secara sentral disertai

hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible.

Trias anestesi

1. hipnotik

2. analgesik

3. relaksasi

4. stabilisasi otonom

Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya kecelakaan dalam

anestesia. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan kunjungan pasien terlebih dahulu

sehingga pada waktu pasien dibedah pasien dalam keadaan bugar. Tujuan kunjungan pra

anestesi adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan

meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.

Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya adalah dilakukan premedikasi

yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesi diberi dengan tujuan untuk melancarkan

induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya :

1. Meredakan kecemasan dan ketakutan

2. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

3. Mengurangi mual dan muntah pasca bedah

4. Mengurangi isi cairan lambung

5. Membuat amnesia

6. Memperlancar induksi anestesi

29

Page 30: Case Anestesi PRINT Oppp

7. Meminimalkan jumlah obat anestesi

8. Mengurangi reflek yang membahayakan

OBAT PREMEDIKASI

a. Sulfas atropin 0,25 mg : Antikolinergik

Atropin dapat mengurangi sekresi dan merupakan obat pilihan utama untuk

mengurangi efek bronchial dan kardial yang berasal dari perangsangan parasimpatis, baik

akibat obat atau anestesikum maupun tindakan lain dalam operasi. Disamping itu efek

lainnya adalah melemaskan tonus otot polos organ-organ dan menurunkan spasme

gastrointestinal. Perlu diingat bahwa obat ini tidak mencegah timbulnya laringospame

yang berkaitan dengan anestesi umum.

Setelah penggunaan obat ini (golongan baladona) dalam dosis terapeutik ada

perasaan kering dirongga mulut dan penglihatan jadi kabur. Karena itu sebaiknya obat ini

tidak digunakan untuk anestesi regional atau lokal. Pemberiannya harus hati-hati pada

penderita dengan suhu diatas normal dan pada penderita dengan penyakit jantung

khususnya fibrilasi aurikuler.

Atropin tersedia dalam bentuk atropin sulfat dalam ampul 0,25 mg dan 0,50 mg.

Diberikan secara suntikan subkutis, intramuscular atau intravena dengan dosis 0,5-1 mg

untuk dewasa dan 0,015 mg/kgBB untuk anak-anak.

b. Hipnoz 2 mg (Midazolam) : obat penenang(transquilaizer)

Midazolam

Midazolam telah mendominasi menggantikan diazepam pada penggunaannya sebagai

medikasi preoperative dan sedasi sadar. Bahan-bahan psikokimia dari obat itu berguna

untuk kelarutannya dalam air dan metabolisme cepat. Sedangkan dengan benzodiazepin

lain, midazolam menghasilkan anxiolysis, sedasi, dan amnesia. Ini 2 sampai 3 kali lebih

poten daripada diazepam karena peningkatannya pada reseptor benzodiazepun. Dosis biasa

30

Page 31: Case Anestesi PRINT Oppp

intramuskuler adalah 0,05-0,1 mg/kg dan titrasi 1,0-2,5 mg pada intravena. Tidak ada

iritasi atau phlebitis dengan injeksi midazolam. Insidensi efek samping setelah masuknya

obat rendah, meskipun depresi ventilasi dan sedasi dapat lebih dari yang diharapkan,

terutama pada pasien tua atau ketika obat dikombinasikan dengan depresan system saraf

pusat lain. Ada onset yang cepat pada kerja dan absobrsi yang diperkirakan setelah injeksi

intramuskular midazolam daripada diazepam. Waktu onset setelah injeksi intramuskuler 5-

10 menit, dengan efek puncak muncul setelah 30-60 menit. Onset setelah masuknya

intravena sebesar 5 mg diperkirakan muncul setelah 1-2 menit. Ditambahkan onset yang

lebih cepat, penyembuhan lebih cepat muncul setelah masuknya midazolam dibandingkan

dengan diazepam. Hal ini mungkin sebagai hasil kelarutan midazolam pada lemak dan

distribusi yang cepat pada jaringan perifer dan biotransformasi metabolic.

Atas alasan ini, midazolam biasanya diberikan dalam waktu 1 jam induksi. Midazolam

dimetabolisme dengan enzim mikrosomal hepatic untuk mencapai metabolisme

hidroksilasi yang inaktif. Reseptor H2 antagonis tidak mempengaruhi metabolisme.

Eliminasi waktu paruh midazolam kira-kira 1-4 jam dan dapat memanjang pada orang tua.

Percobaan menunjukkan fungsi mental biasanya kembali ke normal dalam 4 jam

masuknya obat. Setelah masuknya 5 mg, amnesia berakhir dari 20-32 menit. Masuknya

obat intramuskuler dapat menghasilkan periode amnesia lebih panjang. Hilangnya ingatan

dapat diakibatkan oleh masuknya skolpolamin berkelanjutan. Obat-obatan midazolam

membuat hal ini ideal untuk prosedur yang pendek.

Efek sampingnya terjadi perubahan tekanan darah arteri, denyut nadi dan

pernafasan, umumnya hanya sedikit

Dosis premedikasi dewasa 0,07-0,10 mg/kgBB, disesuaikan dengan umur dan

keadaan pasien. Dosis lazim adalah 5 mg. pada orang tua dan pasien lemah dosisnya

0,025-0,05 mg/kgBB.

Antiemetik

c. Cedantron 4 mg (Ondansentrone)

31

Page 32: Case Anestesi PRINT Oppp

.Suatu antagonis reseptor serotonin 5 – HT 3 selektif. Baik untuk pencegahan dan

pengobatan mual, muntah pasca bedah. Efek samping berupa ipotensi, bronkospasme,

konstipasi dan sesak nafas. Dosis dewasa 2-4 mg.

d. Antagonis Receptor Histamin

Antagonis reseptor H2

Cimetidin, Ranitidin, Famotidin and Nizatidin mengurangi sekresi asam gaster. Mereka

memblok kemampuan histamine untuk menginduksi sekresi asam gaster dengan

konsentrasi ion hydrogen yang tinggi. Oleh karena itu antagonis reseptor histamin

meningkatkan pH gaster. Antagonisme dari reseptor histamine terjadi dalam cara yang

selektif dan kompetitif. Penting untuk mengingat bahwa obat-obatan ini tidak dapat

diperkirakan tergantung dari volume gaster. Dibanding dengan premedikasi, mereka relatif

memiliki efek samping yang lebih sedikit. Karena efek sampingnya yang relatif sedikit dan

karena banyak pasien elektif memiliki resiko aspirasi pneumonitis, beberapa

anesthesiologists menyarankan penggunaan antagonis reseptor H2.

Regimen dosis mulitipel dapat lebih efektif dalam meningkatkan pH gaster dibanding

dosis tunggal sebelum operasi pada hari operasi. Antagonis H2 juga dapat diberikan pada

pasien alergi.

Ranitidin 50 mg

Ranitidin lebih poten,spesifik, dan kerja lebih lama dibanding cimetidin. Dosis

oaral biasanya 50-200 mg. Ranitidin 50-100 mg yang diberikan parenteral,akan

menurunkan pH cairan gaster dalam 1 jam. Sama efektifnya dengan cimetidin dalam

mengurangi jumlah pasien yang memiliki resiko aspirasi gaster dan memiliki sedikit efek

samping terhadap kardiovaskular dan SSP. Efek dari ranitidine berlangsung sampai 9 jam.

Oleh karena itu, ranitidine lebih superior dari cimetidin pada prosedur jangka panjang

dalam mengurangi resiko aspirasi pneumonitis selama keadaan bahaya dari anestesi dan

extubasi trakea.

32

Page 33: Case Anestesi PRINT Oppp

OBAT INDUKSI

1. RECOFOL 80 mg (Profofol)

Propofol adalah obat anestesi intravena yang bekerja cepat dengan karakter

recovery anestesi yang cepat tanpa rasa pusing dan mual-mual. Profofol merupakan cairan

emulsi minyak-air yang berwarna putih yang bersifat isotonik dengan kepekatan 1%

(1ml=10 mg) dan mudah larut dalam lemak. Profopol menghambat transmisi neuron yang

dihantarkan oleh GABA. Propofol adalah obat anestesi umum yang bekerja cepat yang efek

kerjanya dicapai dalam waktu 30 detik.

Dosis induksi 1-2 mg/kgBB. Dosis rumatan 500ug/kgBB/menit infuse. Dosis

sedasi 25-100ug/kgBB/menit infuse. Pada pasien yang berumur diatas 55 tahun dosis untuk

induksi maupun maintanance anestesi itu lebih kecil dari dosis yang diberikan untuk pasien

dewasa dibawah umur 55 tahun. Cara pemberian bisa secara suntikan bolus intravena atau

secara kontinu melalui infus, namun kecepatan pemberian harus lebih lambat daripada cara

pemberian pada oranag dewasa di bawah umur 55 tahun. Pada pasien dengan ASA III-IV

dosisnya lebih rendah dan kecepatan tetesan juga lebih lambat

2. PETIDIN

Petidin ( meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda

dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama.

Secara kimia petidin adalah etil-1metil-fenilpiperidin-4-karboksilat.3

Farmakodinamik

Meperidin (petidin) secara farmakologik bekerja sebagai agonis reseptor m (mu).

Seperti halnya morfin, meperidin (petidin) menimbulkan efek analgesia, sedasi, euforia,

depresi nafas dan efek sentral lainnya. Waktu paruh petidin adalah 5 jam. Efektivitasnya

33

Page 34: Case Anestesi PRINT Oppp

lebih rendah dibanding morfin, tetapi leih tinggi dari kodein. Durasi analgesinya pada

penggunaan klinis 3-5 jam. Dibandingkan dengan morfin, meperidin lebih efektif terhadap

nyeri neuropatik.

Perbedaan antara petidin (meperidin) dengan morfin sebagai berikut :

1. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang larut dalam air.

2. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam

meperidinat dan asam normeperidinat. Normeperidin adalah metabolit yang masih

aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek analgesinya sudah

berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli ditemukan dalam urin.

3. Petidin bersifat atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan dan

takikardia.

4. Seperti morpin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter oddi lebih

ringan.

5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tidak ada

hubungannya dengan hipiotermi dengan dosis 20-25 mg i.v pada dewasa. Morfin

tidak.

6. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.

Farmakokinetik

Absorbsi meperidin setelah cara pemberian apapun berlangsung baik. Akan tetapi

kecepatan absorbsi mungkin tidak teratur setelah suntikan IM. Kadar puncak dalam plasma

biasanya dicapai dalam 45 menit dan kadar yang dicapai antar individu sangat bervariasi.

Setelah pemberian meperidin IV, kadarnya dalam plasma menurun secara cepat dalam 1-2

jam pertama, kemudian penurunan berlangsung lebih lambat. Kurang lebih 60% meperidin

dalam plasma terikat protein. Metabolisme meperidin terutama dalam hati. Pada manusia

meperidin mengalami hidrolisis menjadi asam meperidinat yang kemudian sebagian

mengalami konyugasi. Meperidin dalam bentuk utuh sangat sedikit ditemukan dalam urin.

Sebanyak 1/3 dari satu dosis meperidin ditemukan dalam urin dalam bentuk derivat N-

demitilasi.

34

Page 35: Case Anestesi PRINT Oppp

Meperidin dapat menurunkan aliran darah otak, kecepatan metabolik otak, dan

tekanan intra kranial. Berbeda dengan morfin, petidin tidak menunda persalinan, akan

tetapi dapat masuk kefetus dan menimbulkan depresi respirasi pada kelahiran.

Indikasi

Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa keadaan

klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek daripada

morfin. Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai

obat preanestetik, untuk menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin,

meperidin kurang karena menyebabkan depresi nafas pada janin.

Dosis dan sediaan

Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10 mg/ml, 25 mg/ml,

50 mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml. Sebagian besar pasien tertolong

dengan dosis parenteral 100 mg. Dosis untuk bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg BB.

Efek samping

Efek samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang ringan berupa pusing,

berkeringat, euforia, mulut kering, mual-muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan,

palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi.

3. ATRACURIUM Tracrium 20 mg : nondepolarisasi

Pelumpuh otot nondepolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare) berikatan dengan

reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi

asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja.

Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasinya selama 20-45

menit dan dapat meningkat menjadi 2 kali lipat pada suhu 250 C, kecepatan efek kerjanya

1-2 menit.

35

Page 36: Case Anestesi PRINT Oppp

Penawar pelumpuh otot atau antikolinesterase bekerja pada sambungan saraf-otot

mencegah asetilkolin-esterase bekerja, sehingga asetilkolin dapat bekerja.

Antikolinesterase yang paling sring digunakan ialah neostigmin dengan dosis (0,04-0,08

mg/kgBB) atau obat antikolinergik lainnya. Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik

menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardia, kejang bronkus, hipermotilitas usus

dan pandangan kabur, sehingga pemberiannya harus disertai obat vagolitik seperti atropin

dosis 0,01-0,02 mg/kgBB atau glikopirolat 0,005-0,01 mg/kgBB sampai 0,2-0,3 mg/kgBB

pada dewasa.

MAINTAINANCE

a. N2O

N2O (gas gelak, nitrous oxide, dinitrogen monoksida) diperoleh dengan memanaskan

ammonium nitrat sampai 240°C (NH4 NO3 à 2H2O + N2O)

N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak

terbakar, dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai

O2 minimal 25%. Gas ini bersifat anestesik lemah, tetapi analgesinya kuat, sehingga sering

digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang

digunakan sendirian, tetapi dikombinasi dengan salah satu anestesi lain seperti halotan dan

sebaagainya. Pada akhir anestesi setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar

mengisi alveoli, sehingga terjadi pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk

menghindari terjadinya hipoksia difusi, berikan O2 100% selama 5-10 menit.

Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 yaitu

60% : 40%, 70% : 30%. Dosis untuk mendapatkan efek analgesik digunakan dengan

perbandingan 20% : 80%, untuk induksi 80% : 20%, dan pemeliharaan 70% : 30%. N2O

sangat berbahaya bila digunakan pada pasien pneumothorak, pneumomediastinum,

obstruksi, emboli udara dan timpanoplasti.

b. Halothane (Fluothane)

B. Obat Anestetik inhalasi

1. Halothan/fluothan

36

Page 37: Case Anestesi PRINT Oppp

Halothane adalah obat anestesi inhalasi berbentuk cairan bening tak berwarana yang

mudah menguap dan berbau harum. Pemberian halothane sebaiknya bersama dengan

oksigen atau nitrous okside 70%-oksigen dan sebaiknya menggunakan vaporizer yang

khusus dikalibrasi untuk halothane agar konsentrasi uap dihasilkan itu akurat dan mudah

dikendalikan. Pada nafas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol% dan pada nafas kendali

sekitar 0,5-1 vol % yang tentunya disesuaikan dengan respon klinis pasien. Kelebihan

dosis menyebabkan depresi pernafasan, menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi,

bradikardia, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard dan inhibisi refleks

baroreseptor. Paska pemberian halothane sering menyebabkan pasien menggigil

Sifat

Tidak berwarna, mudah menguap

Tidak mudah terbakar/meledak

Berbau harum tetapi mudah terurai cahaya

Efek:

Tidak merangsang traktus respiratorius

Depresi nafas Þ stadium analgetik

Menghambat salivasi

Nadi cepat, ekskresi airmata

Hipnotik kuat, analgetik kurang baik, relaksasi cukup

Mencegah terjadinya spasme laring dan bronchus

Depresi otot jantung Þ aritmia (sensitisasi terhadap epinefrin)

Depresi otot polos pembuluh darah Þ vasodilatasi Þ hipotensi

Vasodilatasi pembuluh darah otak

Sensitisasi jantung terhadap katekolamin

Meningkatkan aktivitas vagal vagal refleks

Pemberian berulang (1-3 bulan) kerusakan hepar (immune-mediated hepatitis)

Menghambat kontraksi otot rahim

Absorbsi & ekskresi obat oleh paru, sebagian kecil dimetabolisme tubuh

Dapat digunakan sebagai obat induksi dan obat maintenance

Keuntungan

37

Page 38: Case Anestesi PRINT Oppp

Cepat tidur

Tidak merangsang saluran napas

Salivasi tidak banyak

Bronkhodilator obat pilihan untuk asma bronkhiale

Waktu pemulihan cepat (1 jam post anestesi)

Kadang tidak mual & tidak muntah, penderita sadar dalam kondisi yang enak

Kerugian

Overdosis

Perlu obat tambahan selama anestesi

Hipotensi karena depresi miokard & vasodilatasi

Aritmia jantung

Sifat analgetik ringan

Cukup mahal

Dosis dapat kurang sesuai akibat penyusutan

Halothane adalah obat anestesi inhalasi berbentuk cairan bening tak berwarana yang

mudah menguap dan berbau harum. Pemberian halothane sebaiknya bersama dengan

oksigen atau nitrous okside 70%-oksigen dan sebaiknya menggunakan vaporizer yang

khusus dikalibrasi untuk halothane agar konsentrasi uap dihasilkan itu akurat dan mudah

dikendalikan. Pada nafas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol% dan pada nafas kendali

sekitar 0,5-1 vol % yang tentunya disesuaikan dengan respon klinis pasien. Kelebihan

dosis menyebabkan depresi pernafasan, menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi,

bradikardia, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard dan inhibisi refleks

baroreseptor. Paska pemberian halothane sering menyebabkan pasien menggigil

INTUBASI

Setelah dilakukan induksi anestesia yaitu tindakan untuk membuat pasien dari

sadar menjadi tidak sadar, maka memungkinkan dimulainya anestesia dan pembedahan.

Induksi dapat dilakukan secara intrvena, intramuskular, inhalasi dan rektal. Sebelum

dilakukan induksi sebaiknya disiapkan terlebih dahulu peralatan dan obat-obatan yang

diperlukan. Untuk persiapan induksi sebaiknya kita ingat STATICS:

38

Page 39: Case Anestesi PRINT Oppp

S = Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-Scope

T = Tubes Pipa trakea. Usia <>5 tahun dengan balon

(cuffed)

A = Airway Pipa mulut faring (orofaring) dan pipa hidung faring (nasofaring) yang

digunakan untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak menymbat

jalan napas

T = Tape Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut

I = Intro Stilet atau mandrin untuk pemandu agar pipa trakea mudah dimasukkan

C = Connec Penyambung pipa dan perlatan anestesia

S = Suction Penyedot lendir dan ludah

Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk membersihkan

saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah

aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. Pada

dasarnya, tujuan intubasi endotrakheal (Anonim, 1986) :

a. Mempermudah pemberian anestesia.

b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran

pernafasan.

c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak sadar,

lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).

d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.

e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.

f. Mengatasi obstruksi laring akut.

g. Obat.

39

Page 40: Case Anestesi PRINT Oppp

Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal menurut Gisele tahun 2002 antara

lain :

a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen arteri dan

lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen melalui masker

nasal.

b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan karbondioksida di

arteri.

c. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau sebagai bronchial

toilet.

d. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau pasien

dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.

Menurut Gisele, 2002 ada beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi

endotrakheal antara lain :

a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan untuk

dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah cricothyrotomy pada

beberapa kasus.

b. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical,

sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.

Kesukaran yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakheal (Mansjoer Arif et.al., 2000)

biasanya dijumpai pada pasien-pasien dengan :

a. Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap.

40

Page 41: Case Anestesi PRINT Oppp

b. Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak antara mental

symphisis dengan lower alveolar margin yang melebar memerlukan depresi rahang

bawah yang lebih lebar selama intubasi.

c. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi.

Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth).

d. Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang menyerang sendi

temporomandibuler, spondilitis servical spine.

e. Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena fleksi kepala pada

leher di sendi atlantooccipital.

f. Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan fleksi leher.

Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu diikuti beberapa prosedur yang telah

ditetapkan antara lain :

a. Persiapan. Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput diganjal

dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang cukup keras atau

botol infus 1 gram), sehingga kepala dalam keadaan ekstensi serta trakhea dan

laringoskop berada dalam satu garis lurus.

b. Oksigenasi. Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan

oksigenasi dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2 menit.

Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan tangan kanan.

c. Laringoskop. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop

dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kiri dan

lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut.

Gagang diangkat dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis.

Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga

tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V.

d. Pemasangan pipa endotrakheal. Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut

kanan mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum

41

Page 42: Case Anestesi PRINT Oppp

memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita

suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stilet dapat dicabut. Ventilasi

atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri

memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan selanjutnya

pipa difiksasi dengan plester.

e. Mengontrol letak pipa. Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu

ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara nafas kanan

dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakheal. Bila

terjadi intubasi endotrakheal akan terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan

berbeda dengan suara nafas kiri, kadang-kadang timbul suara wheezing, sekret lebih

banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti

ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi

intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrum atau gaster akan mengembang,

terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang-kadang keluar cairan

lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut

pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.

f. Ventilasi.

42

Page 43: Case Anestesi PRINT Oppp

DAFTAR PUSTAKA

1. Murray MJ. Perioperative hypertension: evaluation and management; Available at:

http://www.anesthesia.org.cn/asa2002/rcl.source/512Murray.pdf

2. The seventh report of Joint National Committee on Prevention, detection, evaluation,

and treatment of high blood pressure, NIH publication No.03- 5233, December 2003.

3. Morgan GE, Michail MS, Murray MJ. Anesthesia for patients with cardiovaskular

disease. Clinical Anesthesiology. 4th ed. New York: McGraw-Hill; 2006.p.444-52.

4. Perez-Stable EJ. Management of mild hypertension- selecting an antihypertensive

regimen. West J Med 1991;154:78-87.

5. Yao FSF, Ho CYA. Hypertension. Anesthesiologyproblem oriented patient

manajement. 5th ed. Philadelphia: Elsevier; 2003.p.337-57.

6. Anderson FL, Salgado LL, Hantler CB. Perioperative hypertension (HTN). Decision

making in anesthesiology-an algorithmic approach. 4th ed. Philadhelpia: Elsevier;

2007.p.124-6.

7. Kuwajerwala NK. Perioperative medication management; Available at:

http://www.emedicine.com/MED/ topic3158.htm.

8. Neligan P. Hypertension and anesthesia; Available at:

http://www.4um.com/tutorial/anaesthbp.htm.

9. Benowitz NL. Antihypertensive agentcardiovaskular- renal drugs. In: Katzung BG,

editor. Basic and clinical pharmacology. 9th ed. New York: McGraw-Hill; 2004.p.160-

83.

10. Wallace MC, Haddadin AS. Systemic and pulmonary arterial hypertension. In: Hines

RL, Marschall KE, editors. Stoeltings anesthesia and co-existing disease. 5th ed.

Philadelphia: Elsevier; 2008.p.87-102.

11. Stier GR. Preoperative evaluation and testing. In: Hines RL, editor. Adult perioperative

anesthesiathe requisites in anesthesiology. Philadelphia: Elsevier; 2004.p.3-82.

12. Dix P, Howell S. Survey of cancellation rate of hypertensive patient undergoing

anesthesia and elective surgery. British Journal of Anesthesia 2001;86(6):789-93.

13. Kaplan NM. Perioperative management of hypertension. In: Aronson MD, Bakris GL.

editors. Available at: www.uptodate.com

43

Page 44: Case Anestesi PRINT Oppp

14. Laslett L. Hypertension-preoperative assesment and perioperative management. West J

Med 1995;162:215-9.

15. Hanada, et al. Anesthesia and medical disease-hypertension and anesthesia. Current

Opinion in Anesthesiology 2006;19(3):315-9.

16. Howell SJ, Foex P. Hypertension, hypertensive heart disease and perioperative cardiac

risk. British Journal of Anesthesia 2004;92(4):570-83.

17. Paix AD, et al. Crisis management during anesthesia: hypertension. Qual Saf Health

Care 2005;14:e12.

18. Barisin S, et al. Perioperatif blood pressure control in hypertensive and normotensive

patient undergoing off-pump coronary bypass grafting. Croat Med J 2007;48:341-7.

19. Common problem in the cardiac surgery recovery unit in perioperative care. In: Cheng

DCH, David TE, editors. Cardiac anesthesia and surgery. Philadelphia: Lippincott

Williams & Wilkins; 2006.p.1178-22.

20. Hypertensive emergencies. Available at: www.ehs.egypt.net/pdf/11-guideline.pdf.

44