case anestesi feby

46
LAPORAN KASUS GENERAL ANESTESI PADA MASTEKTOMI DENGAN ARITMIA Pembimbing : Dr. Ratna E. Hutapea, Sp.An Disusun oleh : Gracia Fensynthia (1061050089) Febriana Venita Banjarnahor (1061050092) Agustina Anggraeni Purnomo (1061050099) Josua Hisar Simanjuntak (1161050132)

Upload: bernand-kabul-gamaliel

Post on 13-Dec-2015

38 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

anestesi

TRANSCRIPT

Page 1: Case Anestesi Feby

LAPORAN KASUS

GENERAL ANESTESI PADA MASTEKTOMI

DENGAN ARITMIA

Pembimbing :

Dr. Ratna E. Hutapea, Sp.An

Disusun oleh :

Gracia Fensynthia (1061050089)

Febriana Venita Banjarnahor (1061050092)

Agustina Anggraeni Purnomo (1061050099)

Josua Hisar Simanjuntak (1161050132)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI

PERIODE 11 MEI – 13 JUNI 2015

RUMAH SAKIT UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTA

Page 2: Case Anestesi Feby

BAB I

STATUS PASIEN

1.1 Identitas pasien

Nama : Ny. SC

No. RM : 00066802

Jenis kelamin : Perempuan

Usia : 57 tahun

Alamat : Jl. Blok Sawo RT.002/RW.005 No. 58

Jakarta Timur

Agama : Islam

Suku : Jawa

Status : Menikah

Berat Badan : 65 kg

Tinggi Badan : 155 cm

Golongan Darah : A

Diagnosis preoperatif : Tumor Mammae Dextra

Tindakan operasi : Mastektomi

Jenis anestesi : Anestesi umum

Tanggal operasi : 29 Mei 2015

1.2 Anamnesis

Keluhan utama

Benjolan di payudara kanan dirasakan kurang lebih 10 bulan

Riwayat penyakit sekarang

Seorang wanita, 57 tahun datang ke poli bedah RS. UKI dengan keluhan

terdapat benjolan di payudara kanan sejak kurang lebih 10 bulan yang lalu.

Benjolan awalnya dirasakan sebesar telur puyuh, nyeri (+), luka (-), keluar

1

Page 3: Case Anestesi Feby

cairan dari puting (-), dan lama kelamaan membesar sampai seukuran telur

ayam kampung. Pasien juga mengaku mengalami penurunan berat badan

hingga 10 kg dalam beberapa bulan terakhir.

Riwayat penyakit dahulu

Riwayat Asma : disangkal

Riwayat Hipertensi : + (tidak terkontrol tidak minum

amlodipin 5 mg selama 3 bulan)

Riwayat DM : disangkal

Riwayat Alergi : disangkal

Riwayat Operasi : insisi biopsi benjolan mammae dextra

tahun 2014

Riwayat penyakit keluarga

Ayah kandung pasien menderita sakit hipertensi dan jantung.

1.3 Pemeriksaan fisik

KU : tampak sakit ringan, compos mentis

Vital Sign : TD : 130/90 mmHg RR : 20x/menit

HR : 88x/menit Suhu : 36,50C

Airway/Respirasi : Airway clear, BND vesikuler, Rhonki -/-,

Wheezing -/-, Mallampati II, Gigi palsu (-),

Gigi goyang (-)

Sirkulasi : Akral hangat, CRT <2”, Konjungtiva anemis -/-,

BJ I & II reguler, murmur (-), gallop (+),

Hipertensi (+) tidak terkontrol (tidak minum

amlodipin 5 mg selama 3 bulan)

EKG : VPC (+), RVH (+) HHD (Hipertensi

Heart Disease), Foto Thorax : Cardiomegali

Echocardiografi : LVH konsentrik dengan normal

fungsi RV dan LV, TR mild-moderate, MR mild

2

Page 4: Case Anestesi Feby

Saraf : GCS E4M6V5, Kesadaran kompos mentis,

Pupil isokor 3mm/3mm, Refleks cahaya +/+

GIT : Mual (-), Muntah (-), Maag disangkal, BAB tidak

ada keluhan

Renal : BAK tidak ada keluhan, Nyeri ketok CVA -/-

Metabolik : DM disangkal

Hati : Ikterik, Hepatitis disangkal

1.4 Pemeriksaan penunjang

Laboratorium

Hb : 13,2 g/dl

Leukosit : 6,1 ribu/ul

Hematokrit : 42 %

Trombosit : 271 ribu/ul

Eritrosit : 4,66 juta/ul

Basofil : 0 %

Eosinofil : 2 %

Neutrofil : 71 %

Limfosit : 14 %

Monosit : 10 %

Masa perdarahan : 1,5 menit

Masa pembekuan : 4,0 menit

SGOT : 25 U/L

SGPT : 9 U/L

Ureum : 26 mg/dl

Creatinin : 0,6 mg/dl

GDS : 90 mg/dl

1.5 Status ASA : 3

1.6 Tatalaksana Anestesi

3

Page 5: Case Anestesi Feby

1. Persiapan Pre-operasi

Cek surat persetujuan operasi dan anestesi

O2 3 lpm

N2O 2 lpm

Isofluranse 1,75 vol%

IVFD 1 line : RL (total cairan masuk 300 ml)

Premedikasi:

Dormikum 2 mg

Fentanyl 100 mcg

2. Di kamar operasi

Scope : Stetoskop, Laringoskop

Tubes : ETT (cuffed) size 6 kink, fix di tepi bibir

Airway : Oropharyngeal airway

Tape : Plester untuk fiksasi

Introducer : Untuk memandu agar pipa ETT mudah

dimasukkan

Connector : Penyambung antara ETT dan alat anestesi

Suction : Memastikan tidak ada kerusakan pada alat

suction

3. Medikasi

Propofol 200 mg

Fentanyl 75 mcg

Atracurium 30 mg

Sulfas Atropin 0,2 mg

Lidokain 80 mg

Dexamethason 5 mg

Ephedrin 10 mg

Asam tranexamat 500mg

Ondansetron 4 mg

4

Page 6: Case Anestesi Feby

Ketesse 50 mg

4. Langkah Tindakan Anestesi

Persiapan alat :

a. Menyiapkan meja operasi dan aksesorisnya

b. Menyiapkan mesin dan alat anestesi

c. Menyiapkan komponen STATICS

d. Menyiapkan obat-obat anestesia yang diperlukan

e. Menyiapkan obat-obat resusitasi; adrenalin, atropine, aminofilin,

natrium bikarbonat, dll

f. Menyiapkan tiang infus, cairan infus, plester, dll

Persiapan pasien :

Jam 06.30 pasien masuk kamar operasi, manset dan monitor

dipasang

Jam 07.05 mulai dilakukan anestesi umum dengan prosedur

sebagai berikut :

- Pasien berbaring posisi supine, monitor dipasang.

- Oksigen 3 lpm mulai dialirkan ke hidung pasien.

- Dilakukan premedikasi anestesi dengan pemberian dormikum 2

mg, fentanyl 100 mcg.

- Dilakukan induksi anestesi dengan propofol 200 mg intravena.

- Periksa refleks bulu mata pasien untuk mengecek kesadaran

pasien, pasang guedel setelah pasien dipastikan tidak sadar.

- Cuff dipasang dan dilakukan bantuan nafas dengan bagging.

- Oksigen 3 lpm, N2O 2 lpm, dan isoflurane 1,75% dialirkan

melalui cuff untuk rumatan anestesi.

- Dilakukan intubasi endotrakeal dengan ETT nomor 6.

- Jam 07.40 operasi dimulai, selama operasi dilakukan bagging.

- Monitoring terhadap tanda vital dan saturasi O2 tiap 15 menit.

5

Page 7: Case Anestesi Feby

- Jam 10.15 operasi selesai, pasien dipindahkan ke ruang

pemulihan.

- Monitoring Selama Anestesi

Jam Tensi Nadi Sa02

07.00 140/90 86 100

07.15 180/100 82 100

07.30 170/100 78 100

07.45 160/90 80 100

08.00 130/80 78 100

08.15 135/90 84 100

08.30 125/90 87 100

08.45 135/95 83 100

09.00 120/80 87 100

09.15 130/90 91 100

09.30 140/100 86 100

09.45 135/90 82 100

10.00 135/90 78 100

10.15 140/90 76 100

10.30 140/90 74 100

5. Monitoring cairan yang masuk dan keluar

a. Cairan Masuk

6

Page 8: Case Anestesi Feby

i. Pre operasi : RL 300 ml

ii. Durante Operasi : RL 500 ml

b. Cairan Keluar

i. Pre operasi : 150 ml

ii. Durante operasi :

1. Perdarahan : ±150 cc

2. Urin : 350 ml

6. Pemeriksaan Fisik Post Operasi

B1 : Airway paten (ekstubasi), napas spontan, RR 18 x/menit, Rh (-),

Wh (-)

B2 : Akral hangat,nadi 88 x/menit, reguler, kuat angkat, TD 140/90

mmHg, CRT< 2”, BJ I&II regular, murmur (-), gallop (+)

B3 : Kontak (+), compos mentis

B4 : Terpasang kateter, urin (+) 350cc warna kuning jernih

B5 : BU (+), luka operasi bersih

B6 : Mobilitas (+), mampu menggerakkan kedua ekstremitas atas,

sedangkan ekstremitas bawah masih belum bisa digerakkan,

edema (-), sianosis (-), anemis(-), ikterik (-), CRT<2detik

7. Post Operasi

Bila kesakitan : Ketesse 2 x 25 mg i.v

Bila mual/muntah : Ondansetron 4mg i.v

Antibiotik : sesuai instruksi operator (DPJP)

Obat-obatan lain : sesuai instruksi operator (DPJP)

Infus : sesuai instruksi operator (DPJP)

Makan/minum : bertahap bila pasien sadar penuh, bising usus (+)

Monitoring : tekanan darah, frekuensi nadi dan pernafasan tiap

15 menit selama 2 jam

BAB II

7

Page 9: Case Anestesi Feby

PEMBAHASAN

Pada pasien Ny. SC, 57 tahun yang di diagnosa tumor mammae dextra

dengan tindakan pembedahan mastektomi, setelah dilakukan anamnesis dan

pemeriksaan fisik serta penunjang pada kunjungan preoperatif dapat disimpulkan

status prognosisnya adalah ASA 3 dikarenakan adanya gangguan penyakit

jantung akibat hipertensi yang tidak terkontrol (Hipertention Heart Disease /

HHD) yang menyebabkan aritmia, hal ini berdasarkan pada didapatkannya

riwayat hipertensi yang tidak terkontrol, adanya bunyi gallop (+) pada auskultasi

jantung, gambaran foto thorax cardiomegali, gambaran abnormal pada

elektrokardiografi (EKG) yaitu VPC (+), RVH (+), dan pada ekokardiografi

LVH konsentrik dengan normal fungsi RV dan LV, TR mild-moderate dan MR

mild. Pada saat proses anestesi umum dimulai, terlihat pada monitor frekuensi

jantung bradikardia serta gambaran EKG adanya AV blok. Sehingga pada

medikasi diberikan sulfas atropine untuk mengatasi bradiakardia dan diberikan

lidokain sebagai anti aritmia.

Laringoskopi dan intubasi endotrakheal merupakan tindakan yang banyak

dilakukan pada anestesi umum. Tindakan laringoskopi dan intubasi ini selain

dapat menimbulkan trauma, juga dapat menimbulkan gejolak kardiovaskuler

berupa peningkatan tekanan darah, peningkatan laju jantung dan disritmia. Hal

ini disebabkan oleh refleks simpatis yang berlebihan. Pada orang sehat respon ini

sebagian besar dapat ditoleransi, tetapi bisa berbahaya bagi penderita dengan

faktor risiko seperti hipertensi, coronary artery disease, cerebrovascular disease

dan aneurisma intrakranial.

Pemberian lidokain merupakan salah satu cara yang biasa digunakan untuk

mengurangi gejolak kardiovaskuler. Selain pemberian lidokain ada beberapa cara

lain yang biasa digunakan untuk menekan gejolak kardiovaskuler antara lain

dengan pemberian opioid (fentanil, alfentanil, remifentanil, sufentanil),

vasodilator (sodium nitroprusid, nitrogliserin), calcium channel blocker

(diltiazem), magnesium sulfat, dan alfa 2 adrenergik agonis (clonidin,

8

Page 10: Case Anestesi Feby

deksmedetomidin). Telah banyak dilakukan penelitian bahwa lidokain intravena

terbukti bisa mengurangi gejolak kardiovaskuler pada tindakan laringoskopi dan

intubasi endotrakheal. Dosis lidokain yang sering digunakan adalah 1-1,5

mg/KgBB cukup efektif untuk mengurangi gejolak kardiovaskuler pada tindakan

laringoskopi dan intubasi.

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

9

Page 11: Case Anestesi Feby

I. Ca Mammae

Ca Mammae merupakan sekelompok sel tidak normal yang terus

tumbuh di dalam jaringan mammae(Tapan, 2005). Ca Mammae adalah kanker

yang menyerang jaringan payudara yang menyebabkan sel dan jaringan payudara

berubah bentuk menjadi abnormal dan bertambah banyak secara tidak terkendali

(Mardiana, 2004). Kanker bisa tumbuh di dalam kelenjar susu, saluran susu,

jaringan lemak, maupun jaringan ikat pada payudara (Wijaya, 2005). Penyebab Ca

Mammae sampai saat ini belum diketahui. Namun, banyak faktor yang dapat

meningkatkan kejadian Ca Mammae, yaitu faktor genetik, lingkungan, dan

hormonal.

Sel-sel kanker dibentuk sel-sel normal dalam suatu proses rumit yang

disebut transformasi yang disebut inisiasi dan promosi. Menurut Price & Wilson,

pada Ca Mammae terjadi proliferasi keganasan sel epitel yang membatasi duktus

atau lobus payudara. Pada awalnya hanya terdapat hiperplasia sel dengan

perkembangan sel-sel atipikal. Sel-sel ini kemudian berlanjut menjadi karsinoma

in-situ dan menginvasi stroma.

Klasifikasi penyebaran TNM

T

TX        : tumor primer tidak dapat ditentukan

TIS : Karsinoma insitu dan penyakit Paget pada papilla tanpa teraba tumor

TO        : tidak ada bukti adanya tumor primer

T1         : tumor  < 2 cm

T2         : tumor 2-5 cm

T3       : tumor >5 cm

T4     : tumor dengan penyebaran langsung ke dinding toraks atau ke kulit

dengan tanda  udem, tukak, peau d’ orange

N

NX      : kelenjer regional tidak dapat ditentukan

10

Page 12: Case Anestesi Feby

NO     : tidak teraba kelenjer aksila

N1     : teraba kelenjer aksila homolateral yang tidak melekat

N2     : teraba kelenjer aksila homolateral yang melekat satu sama lain atau

melekat pada jaringan sekitarnya

N3     : terdapat kelenjer mamaria internal homolateral

M

MX     : tidak dapat ditentukan metastasis jauh

MO     : tidak ada metastasis jauh

M1     : terdapat metastasis jauh termasuk ke kelenjer supraklavikular

Keterangan:

Lekukan pada kulit, retraksi papilla atau perubahan lain pada kulit kecuali yang

terdapat pada T4 bisa terdapat pada T1, T2, atau T3  tanpa mengubah klasifikasi.

Dinding thorak adalah iga, otot interkostal, dan m. seratus anterior tanpa otot

pektoralis.

Penderita biasanya datang dengan keluhan adanya benjolan di payudara

yang dapat berupa nodul single maupun multiple, dan biasanya ada perubahan

warna pada kulit payudara atau putting susu. Pemeriksaan laboraturium yang

dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap. Selain itu, dapat dilakukan

mammografi pada pasien yang berusia lebih dari 40 tahun. USG biasanya

digunakan bersama mammografi, tujuannya untuk membedakan kista yang berisi

cairan atau solid. Untuk mengetahui stadium kanker digunakan pemeriksaan foto

thoraks, USG abdomen, CT Scan. Pemeriksaan biopsi jarum halus dilakukan

untuk mengetahui secara sitologi dan keganasan.

Tatalaksana Ca Mammae terdiri dari terapi pembedahan (mastektomi)

dan non pembedahan (radioterapi, kemoterapi, dan terapi hormon). Pengobatan

Ca Mammae disesuaikan dengan stadium kankernya. Indikasi pembedahan yaitu

Ca Mammae stadium dini, Ca Mammae stadium lanjut lokal, keganasan jaringan

lunak pada payudara.

II. General Anestesi

11

Page 13: Case Anestesi Feby

Anestesi umumadalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai

hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna

menghasilkan ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa menimbulkan resiko

yang tidak diinginkan dari pasien.

Obat anestesi yang diberikan akan masuk ke dalam sirkulasi darah yang

selanjutnya menyebar ke jaringan, yang pertama kali terpengaruh adalah jaringan

yang banyak vaskularisasinya seperti otak, yang mengakibatkan kesadaran dan

rasa sakit hilang. Kecepatan dan kekuatan anestesi dipengaruhi oleh faktor

respirasi, sirkulasi, dan sifat fisik obat itu sendiri.

1. Tujuan anestesi umum

Tujuan anestesi umum adalah hipnotik, analgesik, relaksasi dan

stabilisasi otonom.

2. Syarat, kontraindikasi dan komplikasi anestesi umum

Adapun syarat ideal dilakukan anestesi umum adalah :

a. Memberi induksi yang halus dan cepat.

b. Timbul situasi pasien tak sadar atau tak berespons

c. Timbulkan keadaan amnesia

d. Timbulkan relaksasi otot skeletal, tapi bukan otot pernapasan.

e. Hambatan persepsi rangsang sensorik sehingga timbul analgesia yang cukup untuk

tindakan operasi.

f. Memberikan keadaan pemulihan yang halus cepat dan tidak menimbulkan ESO yang

berlangsung lama.

Kontraindikasi mutlak dilakukan anestesi umum yaitu dekompresi kordis

derajat III – IV, AV blok derajat II – total (tidak ada gelombang P).

Kontraindikasi Relatif berupa hipertensi berat/tak terkontrol (diastolik >110), DM

tak terkontrol, infeksi akut, sepsis, GNA.

Sedangkan komplikasi kadang–kadang tidak terduga walaupun tindakan

anestesi telah dilakukan dengan sebaik–baiknya. Komplikasi dapat dicetuskan

oleh tindakan anestesi ataupun kondisi pasien sendiri. Komplikasi dapat timbul

pada waktu pembedahan ataupun setelah pembedahan. Komplikasi kardiovaskular

12

Page 14: Case Anestesi Feby

berupa hipotensi dimana tekanan sistolik kurang dari 70 mmHg atau turun 25 %

dari sebelumnya, hipertensi dimana terjadi peningkatan tekanan darah pada

periode induksi dan pemulihan anestesi. Komplikasi ini dapat membahayakan

khususnya pada penyakit jantung karena jantung bekerja keras dengan kebutuhan

– kebutuhan miokard yang meningkat yang dapat menyebabkan iskemik atau

infark apabila tidak tercukupi kebutuhannya. Komplikasi lain berupa gelisah

setelah anestesi, tidak sadar , hipersensitifitas ataupun adanya peningkatan suhu

tubuh.

PERSIAPAN UNTUK ANESTESI UMUM

Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien sebelum

pasien menjalani suatu tindakan operasi. Pada saat kunjungan, dilakukan

wawancara (anamnesis) sepertinya menanyakan apakah pernah mendapat anestesi

sebelumnya, adakah penyakit – penyakit sistemik, saluran napas, dan alergi obat.

Kemudian pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan gigi – geligi, tindakan

buka mulut, ukuran lidah, leher kaku dan pendek. Perhatikan pula hasil

pemeriksaan laboratorium atas indikasi sesuai dengan penyakit yang sedang

dicurigai, misalnya pemeriksaan darah (Hb, leukosit, masa pendarahan, masa

pembekuan), radiologi, EKG.

Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan dinyatakan

dengan status anestesi menurut The American Society Of Anesthesiologist (ASA).

ASA I : Pasien dalam keadaan normal dan sehat.

ASA II: Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena

penyakit bedah maupun penyakit lain.

ASA III: Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diakibatkan

karena berbagai penyebab.

ASA IV: Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam

kehidupannya.

ASA V: Pasien tak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau

tidak.

13

Page 15: Case Anestesi Feby

Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan

tanda darurat ( E = EMERGENCY ), misalnya ASA IE atau IIE

Pengosongan lambung untuk anestesia penting untuk mencegah aspirasi

lambung karena regurgutasi atau muntah. Pada pembedahan elektif, pengosongan

lambung dilakukan dengan puasa : anak dan dewasa 4 – 6 jam, bayi 3 – 4 jam.

Pada pembedahan darurat pengosongan lambung dapat dilakukan dengan

memasang pipa nasogastrik atau dengan cara lain yaitu menetralkan asam

lambung dengan memberikan antasida (magnesium trisilikat) atau antagonis

reseptor H2 (ranitidin). Kandung kemih juga harus dalam keadaan kosong

sehingga boleh perlu dipasang kateter. Sebelum pasien masuk dalam kamar

bedah, periksa ulang apakah pasien atau keluarga sudah memberi izin

pembedahan secara tertulis (informed concent).

Premedikasi sendiri ialah pemberian obat ½ - 1 jam sebelum induksi

anestesia dengan tujuan melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia,

menghilangkan rasa khawatir,membuat amnesia, memberikan analgesia dan

mencegah muntah, menekan refleks yang tidak diharapkan, mengurasi sekresi

saliva dan saluran napas.

Obat – obat premedikasi yang bisa diberikan antara lain :

Gol. Antikolinergik: Atropin. Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar

ludah, antimual dan muntah, melemaskan tonus otot polos organ – organ dan

menurunkan spasme gastrointestinal. Dosis 0,4 – 0,6 mg IM bekerja setelah 10 –

15 menit.

Gol. Hipnotik – sedative: Barbiturat (Pentobarbital dan Sekobarbital).

Diberikan untuk sedasi dan mengurangi kekhawatiran sebelum operasi. Obat ini

dapat diberikan secara oral atau IM. Dosis dewasa 100 – 200 mg, pada bayi dan

anak 3 – 5 mg/kgBB. Keuntungannya adalah masa pemulihan tidak diperpanjang

dan efek depresannya yang lemah terhadap pernapasan dan sirkulasi serta jarang

menyebabkan mual dan muntah.

Gol. Analgetik narkotik: Morfin. Diberikan untuk mengurangi kecemasan dan

ketegangan menjelang operasi. Dosis premedikasi dewasa 10 – 20 mg. Kerugian

14

Page 16: Case Anestesi Feby

penggunaan morfin ialah pulih pasca bedah lebih lama, penyempitan bronkus

pada pasien asma, mual dan muntah pasca bedah ada.

Pethidin. Dosis premedikasi dewasa 25 – 100 mg IV. Diberikan untuk

menekan tekanan darah dan pernapasan serta merangsang otot polos. Pethidin

juga berguna mencegah dan mengobati menggigil pasca bedah.

Gol. Transquilizer: Diazepam (Valium). Merupakan golongan benzodiazepine.

Pemberian dosis rendah bersifat sedatif sedangkan dosis besar hipnotik. Dosis

premedikasi dewasa 0,2 mg/kgBB IM.

STADIUM ANESTESI

Tahapan dalam anestesi terdiri dari 4 stadium yaitu stadium pertama berupa analgesia

sampai kehilangan kesadaran, stadium 2 sampai respirasi teratur, stadium 3 dan stdium 4 sampai

henti napas dan henti jantung.

Stadium I

Stadium I (St. Analgesia/ St. Cisorientasi) dimulai dari saat pemberian

zat anestetik sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat

mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan

pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan

pada stadium ini. Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh hilangnya reflekss

bulu mata (untuk mengecek refleks tersebut bisa kita raba bulu mata).

Stadium II

Stadium II (St. Eksitasi; St. Delirium) Mulai dari akhir stadium I dan

ditandai dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss cahaya

(+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan

diakhiri dengan hilangnya reflekss menelan dan kelopak mata.

Stadium III

Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan hingga

hilangnya pernapasan spontan. Stadia ini ditandai oleh hilangnya pernapasan

15

Page 17: Case Anestesi Feby

spontan, hilangnya reflekss kelopak mata dan dapat digerakkannya kepala ke kiri

dan kekanan dengan mudah.

Stadium IV

Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian akan

segera diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien meninggal.

Pasien sebaiknya tidak mencapai stadium ini karena itu berarti terjadi kedalaman

anestesi yang berlebihan.

TANDA REFLEKS PADA MATA

Refleks pupil

Pada keadaan teranestesi maka refleks pupil akan miosis apabila

anestesinya dangkal, midriasis ringan menandakan anestesi reaksinya cukup dan

baik/ stadium yang paling baik untuk dilakukan pembedahan, midriasis maksimal

menandakan pasien mati.

Refleks bulu mata

Refleks bulu mata sudah disinggung tadi di bagian stadium anestesi.

Apabila saat dicek refleks bulu mata (-) maka pasien tersebut sudah pada stadium

1.

Refleks kelopak mata

Pengecekan refleks kelopak mata jarang dilakukan tetapi bisa digunakan

untuk memastikan efek anestesi sudah bekerja atau belum, caranya adalah kita

tarik palpebra atas ada respon tidak, kalau tidak berarti menandakan pasien sudah

masuk stadium 1 ataupun 2.

Refleks cahaya

Untuk refleks cahaya yang kita lihat adalah pupilnya, ada / tidak respon

saat kita beri rangsangan cahaya.

TEKNIK ANESTESI UMUM

a. Sungkup Muka (Face Mask) dengan napas spontan

Indikasi :

16

Page 18: Case Anestesi Feby

Tindakan singkat ( ½ - 1 jam)

Keadaan umum baik (ASA I – II)

Lambung harus kosong

Prosedur :

Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik

Pasang infuse (untuk memasukan obat anestesi)

Premedikasi + / - (apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat

penenang) efek sedasi/anti-anxiety :benzodiazepine; analgesia: opioid,

non opioid, dll

Induksi

Pemeliharaan

b. Intubasi Endotrakeal dengan napas spontan

Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET=

endotrakeal tube) kedalam trakea via oral atau nasal. Indikasi ; operasi lama,

sulit mempertahankan airway (operasi di bagian leher dan kepala)

Prosedur :

1. Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil

dgn durasi singkat)

2. Intubasi setelah induksi dan suksinil

3. Pemeliharaan

Untuk persiapan induksi sebaiknya kita ingat STATICS:

S = Scope. Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-

Scope

T = Tubes. Pipa trakea. Usia > 5 tahun dengan balon(cuffed)

A = Airway. Pipa mulut faring (orofaring) dan pipa hidung faring (nasofaring)

yang digunakanuntuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak

menymbat jalan napas

T = Tape. Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut

17

Page 19: Case Anestesi Feby

I = Introductor. Stilet atau mandrin untuk pemandu agar pipa trakea mudah

dimasukkan

C = Connector. Penyambung pipa dan perlatan anestesia

S = Suction. Penyedot lendir dan ludah

Klasifikasi Mallampati :

Mudah sulitnya dilakukan intubasi dilihat dari klasifikasi Mallampati :

c. Intubasi Endotrakeal dengan napas kendali (kontrol)

Pasien sengaja dilumpuhkan/benar2 tidak bisa bernafas dan pasien dikontrol

pernafasanya dengan kita memberikan ventilasi 12 - 20 x permenit. Setelah

operasi selesai pasien dipancing dan akhirnya bisa nafas spontan kemudian kita

akhiri efek anestesinya.

Teknik sama dengan diatas

Obat pelumpuh otot non depolar (durasinya lama)

Pemeliharaan, obat pelumpuh otot dapat diulang pemberiannya.

OBAT – OBAT DALAM ANESTESI UMUM

18

Page 20: Case Anestesi Feby

Jenis obat anestesi umum diberikan dalam bentuk suntikan intravena atau

inhalasi.

1. Anestetik intravena

Penggunaan :

Untuk induksi

Obat tunggal pada operasi singkat

Tambahan pada obat inhalasi lemah

Tambahan pada regional anestesi

Sedasi

Cara pemberian :

Obat tunggal untuk induksi atau operasi singkat

Suntikan berulang (intermiten)

Diteteskan perinfus

Obat anestetik intravena meliputi :

a. Benzodiazepine

Sifat : hipnotik – sedative, amnesia anterograd, atropine like effect, pelemas

otot ringan, cepat melewati barier plasenta.

Kontraindikasi : porfiria dan hamil.

Dosis : Diazepam : induksi 0,2 – 0,6 mg/kg IV, Midazolam : induksi : 0,15 –

0,45 mg/kg IV.

b. Propofol

Merupakan salah satu anestetik intravena yang sangat penting. Propofol dapat

menghasilkan anestesi kecepatan yang sama dengan pemberian barbiturat

secara inutravena, dan waktu pemulihan yang lebih cepat. Dosis : 2 – 2,5

mg/kg IV.

c. Ketamin

Ketamin adalah suatu rapid acting nonbarbiturat general anaesthetic. Indikasi

pemakaian ketamin adalah prosedur dengan pengendalian jalan napas yang

sulit, prosedur diagnosis, tindakan ortopedi, pasien resiko tinggi dan asma.

19

Page 21: Case Anestesi Feby

Dosis pemakaian ketamin untuk bolus 1- 2 mg/kgBB dan pada pemberian IM

3 – 10 mg/kgBB.

d. Thiopentone Sodium

Merupakan bubuk kuning yang bila akan digunakan dilarutkan dalam air

menjadi larutan 2,5%atau 5%. Indikasi pemberian thiopental adalah induksi

anestesi umum, operasi singkat, sedasi anestesi regional, dan untuk mengatasi

kejang. Keuntungannya :induksi mudah, cepat, tidak ada iritasi mukosa jalan

napas. Dosis 5 mg/kg IV, hamil 3 mg/kg IV.

2. Anestetik inhalasi

a. N2O

Nitrogen monoksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau,

tidak berasa dan lebih berat daripada udara. N2O biasanya tersimpan dalam

bentuk cairan bertekanan tinggi dalam baja, tekanan penguapan pada suhu

kamar ± 50 atmosfir. N2O mempunyai efek analgesic yang baik, dengan

inhalasi 20% N2O dalam oksigen efeknya seperti efek 15 mg morfin. Kadar

optimum untuk mendapatkan efek analgesic maksimum ± 35% .gas ini

sering digunakan pada partus yaitu diberikan 100% N2O pada waktu

kontraksi uterus sehingga rasa sakit hilang tanpa mengurangi kekuatan

kontraksi dan 100% O2 pada waktu relaksasi untuk mencegah terjadinya

hipoksia. Anestetik tunggal N2O digunakan secara intermiten untuk

mendapatkan analgesic pada saat proses persalinan dan Pencabutan gigi.

N2O digunakan secara umum untuk anestetik umum, dalam kombinasi

dengan zat lain

b. Halotan

Merupakan cairan tidak berwarna, berbau enak, tidak mudah terbakar dan

tidak mudah meledak meskipun dicampur dengan oksigen. Halotan bereaksi

dengan perak, tembaga, baja, magnesium, aluminium, brom, karet dan

plastic. Karet larut dalam halotan, sedangkan nikel, titanium dan polietilen

tidak sehingga pemberian obat ini harus dengan alat khusus yang disebut

fluotec. Efek analgesic halotan lemah tetapi relaksasi otot yang

20

Page 22: Case Anestesi Feby

ditimbulkannya baik. Dengan kadar yang aman waktu 10 menit untuk

induksi sehingga mempercepat digunakan kadar tinggi (3-4 volume %).

Kadar minimal untuk anestesi adalah 0,76% volume.

c. Isofluran

Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar. Secara kimiawi

mirip dengan efluran, tetapi secara farmakologi berbeda. Isofluran berbau

tajam sehingga membatasi kadar obat dalam udara yang dihisap oleh

penderita karena penderita menahan nafas dan batuk. Setelah pemberian

medikasi preanestetik stadium induksi dapat dilalui dengan lancer dan

sedikit eksitasi bila diberikan bersama N2O dan O2. isofluran merelaksasi

otot sehingga baik untuk intubasi. Tendensi timbul aritmia amat kecil sebab

isofluran tidak menyebabkan sensiitisasi jantung terhadap ketokolamin.

Peningkatan frekuensi nadi dan takikardiadihilangkan dengan pemberian

propanolol 0,2-2 mg atau dosis kecil narkotik (8-10 mg morfin atau 0,1 mg

fentanil), sesudah hipoksia atau hipertemia diatasi terlebih dulu. Penurunan

volume semenit dapat diatasi dengan mengatur dosis. Pada anestesi yang

dalam dengan isofluran tidak terjadi perangsangan SSP seperti pada

pemberian enfluran. Isofluran meningkatkan aliran darah otak pada kadar

labih dari 1,1 MAC (minimal Alveolar Concentration) dan meningkatkan

tekanan intracranial.

d. Sevofluran

Obat anestesi ini merupakan turunan eter berhalogen yang paling disukai

untuk induksi inhalasi.

SKOR PEMULIHAN PASCA ANESTESI

Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi terutama

yang menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan penilaian terlebih

dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke ruangan atau

masih perlu di observasi di ruang Recovery room (RR).

A. Aldrete Score

21

Page 23: Case Anestesi Feby

Nilai Warna

Merah muda, 2

Pucat, 1

Sianosis, 0

Pernapasan

Dapat bernapas dalam dan batuk, 2

Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1

 Apnoea atau obstruksi, 0

Sirkulasi

Tekanan darah menyimpang <20% dari normal, 2

Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal, 1

Tekanan darah menyimpang >50% dari normal, 0

Kesadaran  

Sadar, siaga dan orientasi, 2

Bangun namun cepat kembali tertidur, 1

Tidak berespons, 0

Aktivitas  

Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2

Dua ekstremitas dapat digerakkan,1

Tidak bergerak, 0

Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan

 B. Steward Score (anak-anak)

Pergerakan

Gerak bertujuan 2

Gerak tak bertujuan 1

Tidak bergerak 0

Pernafasan

Batuk, menangis 2

Pertahankan jalan nafas 1

Perlu bantuan 0

22

Page 24: Case Anestesi Feby

Kesadaran

Menangis 2

Bereaksi terhadap rangsangan 1

Tidak bereaksi 0

Jika jumlah > 5, penderita dapat dipindahkan ke ruangan

III. Laringoskopi dan Intubasi

Tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakhea adalah suatu tindakan untuk

menjaga jalan nafas dengan cara memasukkan pipa endotrakhea ke dalam trakhea

melalui mulut atau hidung dengan bantuan laringoskop. Pada tahun 1880 Sir

William Mac. Ewen ahli bedah Scotlandia yang pertama kali melakukan intubasi

endotrakhea tanpa melalui trakeostomi. Tahun 1895 Kirstein pertama kali

melakukan intubasi endotrakhea dengan bantuan laringoskop. Intubasi

endotrakeal merupakan hal yang rutin dilakukan oleh ahli anestesi, terutama pada

anestesi umum. Perkembangan peralatan dan pemakaian pelumpuh otot yang

disertai ketrampilan ahli anestesi menjadikan intubasi endotrakheal adalah

tindakan yang aman dan umum dilakukan dalam dunia anestesi.

Tindakan laringoskopi dan intubasi sering menimbulkan efek samping yang

tidak diinginkan. Komplikasi yang timbul dapat berupa nyeri tenggorokan,

obliterasi trakea total, pada sistem kardiovaskuler (disritmia, peningkatan tekanan

darah), sistem respirasi (spasme laring, spasme bronkus, hipoksia, hiperkarbia),

susunan saraf pusat (peningkatan tekanan intrakranial), mata (peningkatan tekanan

intraokuler), saluran pencernaan (muntah dan teraspirasinya isi lambung), dan

lain-lain. Respon tersebut terjadi akibat adanya peningkatan rangsangan simpatis

oleh karena penekanan pada saraf laryngeus superior dan saraf recurren

laryngeus oleh ujung laringoskop maupun pipa endotrakhea. Peningkatan

rangsangan simpatis ini akan menyebabkan kelenjar adrenal mensekresi hormone

adrenalin dan noradrenalin sehingga pada sistem kardiovaskuler akan terjadi

peningkatan tekanan darah, laju jantung, dan disritmia. Cork dkk, dalam

penelitiannya mendapatkan, terjadinya peningkatan signifikan kadar plasma

23

Page 25: Case Anestesi Feby

(epinefrin, norepinefrin, dopamin) dan beta endorfin akibat tindakan laringoskopi

dan intubasi endotrakhea. Peningkatan rangsangan simpatis terhadap jantung

berupa peningkatan kecepatan timbulnya impuls pada nodus SA, peningkatan

kecepatan rangsang terhadap semua bagian jantung, serta peningkatan kekuatan

kontraksi otot jantung. Rangsangan terhadap saraf simpatis akan menyebabkan

kelenjar adrenal mensekresi hormon adrenalin dan noradrenalin, di mana hormon

ini akan meningkatkan permeabilitas membran sel otot jantung terhadap ion

natrium dan ion kalsium, terhadap nodus SA akan berakibat meningkatnya

frekuensi denyut jantung. Peningkatan permeabilitas terhadap kalsium akan

meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung. Peningkatan tekanan darah sebagai

respon sistem kardiovaskuler terhadap laringoskopi dan intubasi baik terhadap

tekanan sistolik maupun diastolik terjadi mulai 5 detik sejak tindakan

laringoskopi, mencapai puncaknya dalam 1-2 menit, dan akan kembali seperti

sebelum tindakan laringoskopi dalam waktu 5 menit. Pada orang sehat rata-rata

peningkatan tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik masing-masing

lebih dari 53 dan 34 mmHg. Laju jantung meningkat rata-rata 23 kali/menit.

Respon peningkatan laju jantung pada laringoskopi saja bervariasi, meningkat

pada 50% kasus. Selama tindakan laringoskopi jarang terjadi perubahan EKG

(biasanya extrasystole atau premature contraction), tetapi lebih sering terjadi pada

tindakan intubasi. Respon ini secara klinis mungkin kurang berarti pada pasien

yang sehat, tetapi dapat berbahaya pada pasien dengan kelainan cerebrovasculer

disease. Pada pasien dengan penyakit jantung iskemik terjadi gangguan

keseimbangan antara oxygen demand and supply. Kenaikan tekanan darah dan

laju jantung akan meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung dan hal ini bisa

berkembang menjadi iskemik dan infark otot jantung. Beberapa peneliti

mengatakan pasien yang sebelumnya mempunyai riwayat infark miokard,

kejadian reinfark setelah operasi lebih tinggi daripada pasien yang pada periode

intraoperatif terjadi peningkatan tekanan darah dan laju jantung. Dari hasil

penelitian didapatkan bahwa pengurangan gejolak kardiovaskuler akan

menurunkan morbiditas dan mortalitas.

24

Page 26: Case Anestesi Feby

IV. Lidokain

Lidokain merupakan obat anestesi golongan amida, selain sebagai obat

anestesi lokal lidokain juga digunakan sebagai obat antiaritmia kelas IB karena

mampu mencegah depolarisasi pada membran sel melalui penghambatan

masuknya ion natrium pada kanal natrium.

Pemakaian lidokain di klinik antara lain sebagai: anestesi lokal, terapi aritmia

ventrikuler, mengurangi fasikulasi suksinilkolin dan untuk mengurangi gejolak

kardiovaskuler serta menekan batuk pada tindakan laringoskopi dan intubasi

endotrakheal. Dosis yang diberikan pada terapi aritmia ventrikuler (takikardi

ventrikel) adalah 1-1,5 mg/kgBB bolus intravena kemudian diikuti infus 1-4

mg/kgBB/menit.Cara ini biasanya menghasilkan kadar dalam plasma 2-6 mg/L,

bila tidak diikuti dengan infus, kadar dalam plasma akan menurun dalam 30 menit

setelah dosis bolus. Hal ini memerlukan bolus lanjutan 0,5 mg/kgBB. Untuk

mengurangi gejolak kardiovaskuler pada tindakan laringoskopi biasanya diberikan

dosis 1-2 mg/kgBB bolus intravena sebelum tindakan. Efek ini sebagian

disebabkan oleh efek analgesik dan efek anestesi lokal dari lidokain. Sebagai obat

anestesi lokal lidokain dapat diberikan dosis 3-4 mg/kgBB, bila ditambahkan

adrenalin dosis maksimal mencapai 6 mg/kgBB. Lidokain menyebabkan

penurunan tekanan intrakranial (tergantung dosis) yang disebabkan oleh efek

sekunder peningkatan resistensi vaskuler otak dan penurunan aliran darah otak.

Farmakodinamik

Sebagai obat antiaritmia kelas IB (penyekat kanal natrium) lidokain dapat

menempati reseptornya pada protein kanal sewaktu teraktivasi (fase 0) atau

inaktivasi (fase 2), karena pada kedua fase ini afinitas lidokain terhadap

reseptornya tinggi sedangkan pada fase istirahat afinitasnya rendah. Bila

resptornya ditempati maka ion Na+ tidak dapat masuk ke dalam sel (Gambar 2-b).

Lidokain menempati reseptornya dan terlepas selama siklus perubahan

konformasi kanal Na+. Kanal sel normal yang dihambat lidokain selama siklus

aktivasi-inaktivasi akan cepat terlepas dari reseptornya pada dalam fase istirahat.

Sebaliknya kanal yang dalam keadaan depolarisasi kronis yaitu potensial

25

Page 27: Case Anestesi Feby

istirahatnya (Vm) lebih positif, bila diberi lidokain (atau penyekat kanal Na+

lainnya) akan pulih lebih lama. Dengan cara demikian, maka lidokain

menghambat aktivitas listrik jantung berlebihan pada keadaan misalnya takikardi.

Pada sistem kardiovaskuler lidokain merupakan stabilisator membrane

dengan efek elektrofisiologinya meliputi pengurangan durasi aksi potensial,

periode refrakter efektif, respon dan otomatisasi membran sistem his-purkinje dan

otot ventrikel secara bermakna, tetapi kurang berefek pada atrium. Pada penderita

26

Page 28: Case Anestesi Feby

dengan gangguan konduksi atrioventrikuler sebelumnya dapat menginduksi

blokade otot jantung total atau henti jantung. Pada blok total atrioventrikuler,

lidokain dapat menyebabkan bradikardi berat sampai asistol. Lidokain

mempunyai efek elektrofisiologi yang kecil pada jaringan jantung normal.

Sebaliknya, sebagian kanal natrium yang terdepolarisasi tetap terhambat selama

diastolik. Lidokain menekan aktivitas listrik jaringan aritmigenok yang

terdepolarisasi, sehingga lidokain dapat untuk menekan aritmia yang berhubungan

dengan depolarisasi, tetapi kurang efektif terhadap aritmia yang terjadi pada

jaringan dengan polarisasi normal (fibrilasi atrium). Lidokain menekan masa kerja

potensial aksi dan masa refrakter efektif pada serabut otot ventrikel dan serabut

purkinje secara bermakna tetapi tidak berefek pada atrium. Lidokain meninggikan

nilai ambang fibrilasi ventrikel pada serabut purkinje. Lidokain meninggikan

konduksi ion K+ transmembran tetapi tidak mempengaruhi potensial istirahat.

Pada depolarisasi parsial awal potensial membran, lidokain menurunkan respon

ion Na+ pada kanal cepat yang disebabkan oleh peningkatan aliran ion K+ keluar.

Hal ini merupakan pengaruh langsung konsentrasi ion kalium ekstrasel. Sebagai

obat anestesi lokal lidokain menstabilisasi membran sel saraf dengan cara

mencegah depolarisasi pada membran sel saraf melalui penghambatan masuknya

ion natrium. Lidokain berdifusi menembus membrane yang merupakan matriks

lipoprotein terdiri dari 90% lemak dan 10% protein masuk ke dalam aksoplasma

kemudian memasuki kanal natrium dan berinteraksi dengan reseptor di dalamnya.

Lidokain bekerja pada penghambatan transmisi (salah satu rangkaian proses nyeri)

yaitu proses penyaluran impuls nyeri melalui serabut A delta dan serabut C tak

bermielin dari perifer ke medula spinalis.

Farmakokinetik

Lidokain hanya efektif bila diberikan intravena. Pada pemberian peroral

kadar lidokain dalam plasma sangat kecil dan dicapai dalam waktu yang lama.

Pada pemberian intravena kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 3-5

27

Page 29: Case Anestesi Feby

menit dan waktu paruh 30-120 menit. Lidokain hampir semuanya dimetabolisme

di hati menjadi monoethylglycinexylidide melalui proses dealkylation, kemudian

diikuti dengan hidrolisis menjadi xylidide. Monoethylglycinexylidide mempunyai

aktivitas 80% dari lidokain sebagai antidisritmia, sedangkan xylidide mempunyai

aktivitas antidisritmia hanya 10%. Xylidide diekskresi dalam urin sekitar 75%

dalam bentuk hydroxy-2,6-dimethylaniline. Lidokain sekitar 50% terikat dengan

albumin dalam plasma. Pada penderita payah jantung atau penyakit hati, dosis

harus dikurangi karena waktu paruh dan volume distribusi akan memanjang.

Indikasi utama pemakaian lidokain selain sebagai anestesi lokal juga dipakai

untuk mencegah takikardi ventrikel dan mencegah fibrilasi setelah infark miokard

akut. Lidokain tidak efektif pada aritmia supraventrikuler kecuali yang

berhubungan dengan sindroma wolf parkinson white atau karena keracunan obat

digitalis.

Efek Samping

Lidokain terutama bersifat toksik pada susunan saraf pusat. Efek yang

terjadi akibat toksisitas dapat berupa kejang, agitasi, disorientasi, euforia,

pandangan kabur, dan mengantuk. Kejang berlangsung singkat dan berespon baik

dengan pemberian diazepam. Secara umum bila kadar dalam plasma tidak

mencapai 9 mg/ml, maka lidokain dapat ditoleransi dengan baik.

28

Page 30: Case Anestesi Feby

DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia 2009.

2. Omuigui . The Anaesthesia Drugs Handbook, 2nded, Mosby year Book Inc,

1995.

3. Dachlan, R.,dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi

dan Terapi FK UI. Jakarta

4. Mallick A, Klein H, Mosse E. Prevention of cardiovascular response to

tracheal intubation. Br J Anesth; 1996: 296-77

5. Flemming DC, Orkin Fk, Kirby RR. Hazards of tracheal intubation. In:

Nikolous G, Robert RK. Complication in anesthesiology. 2nd ed.

Philadelphia: Lippincottraven; 1996: 229-37

6. Shribman AJ, Achola KJ. Cardiovascular and catecholamine responses to

laryngoscopy with and without tracheal intubation. Br J Anesth; 1997: 59:295-

99

7. Madi A, Keszler H, Yacoub JM. Cardiovascular reaction to laryngoscopy and

intubation following small and large doses of lidocaine. Can J Anesth; 1977:

24:12-90

8. Fuji Y, Saitoh Y, Shinji. Combined diltiazem and lidocaine reduces

cardiovascular response to tracheal extubation and anesthesia emergence in

hyperternsive patients. Can J Anesth; 1999: 46:952-6

9. Hung O, Understanding hemodynamic response to tracheal intubation. Can J

Anesth; 2001: 48:723-26

10. Singh M. Stress response and anesthesia altering the pre and post-operative

management. Indian J Anesth; 2003: 47:427-34

11. Stoelting RK. Cardiac antidysrhythhmic drugs. In: Stoelting RK.

Pharmacology and physiology in anesthetic practice. 4th ed. Philadelphia:

Lippincott William & Wilkins; 2006: 370-86

29

Page 31: Case Anestesi Feby

12. Glaaser IW, Clancy CE. Cardiac Na+ channel as therapeutic targets for

antiarrhythmic agents. In: Kass RS, Clancy CE. Basis and treatment of cardiac

arrhythmias. Berlin: Springer; 2006: 99-120

13. Takita K, Morimoto Y, Kemmotsu O. Tracheal lidocaine attenuates the

cardiovascular response to endotracheal intubation. Canadian Journal of

Anesthesia; 2001: 48:732-736

14. Muchtar A, Suyatna FD. Obat antiaritmia. Dalam: Ganiswarna S, Setiabudy

R, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafriadi, editor. Farmakologi dan terapi. Edisi

4. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta:

Gaya Baru; 1995: 289-314

15. Mardiyanto B, Moeslichan S, Satroasmoro S. Perkiraan besar sampel. Dalam:

Sastroasmoro S. Ismael S, editor. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis.

Edisi 2. Jakarta: CV Sagung Seto; 2002: 259-86

16. Sukron. Perbandingan Efek Magnesium Sulfat 30 mg/kgBB Intravena dengan

Lidokain 1,5 mg/kgBB terhadap Respon Kardiovaskuler Akibat Tindakan

Laringoskopi dan Intubasi. Semarang: Bagian Anestesi Fakultas Kedokteran

Universitas Diponegoro, 2009. 56 pp. Tesis.

30