case anestesi fatma ok

64
BAB I PENDAHULUAN Anestesiologi merupakan cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi, dan penanggulangan nyeri. Beberapa tahap yang harus dilakukan dalam penatalaksanaan anestesi terdiri dari pra anestesi, yaitu: persiapan secara fisik maupun mental pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis, dan persiapan pada hari operasi. Serta penatalaksanaan anestesi meliputi premedikasi, masa anestesi dan pemeliharaan, pemulihan, serta perawatan pasca anestesi. Trauma tajam adalah hasil dari senjata api tinggi atau kecepatan rendah, cedera tusuk, dan penetrasi benda asing ke dalam tubuh. Senjata api menyebabkan insiden tinggi (90%) pada peritoneum / cedera organ solid yang serius, dengan tingkat kematian 10-30%. Dua pertiga dari luka tusukan menembus peritoneum, dengan 50-75% dari pasien ini memiliki cedera pembuluh darah atau organ solid yang signifikan. Kematian telah dilaporkan pada 5% dari cedera tusukan serius. Luka tusukan lebih sering di sebelah kiri (penyerang dominan kanan) dan di kuadran atas. Dalam 30% dari 1

Upload: meilinda-sihite

Post on 14-Dec-2015

48 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

case anestesi

TRANSCRIPT

Page 1: Case Anestesi Fatma Ok

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesiologi merupakan cabang ilmu kedokteran yang mendasari

berbagai tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita

yang mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan

intensif pasien gawat, terapi inhalasi, dan penanggulangan nyeri.

Beberapa tahap yang harus dilakukan dalam penatalaksanaan anestesi

terdiri dari pra anestesi, yaitu: persiapan secara fisik maupun mental pasien,

perencanaan anestesi, menentukan prognosis, dan persiapan pada hari operasi.

Serta penatalaksanaan anestesi meliputi premedikasi, masa anestesi dan

pemeliharaan, pemulihan, serta perawatan pasca anestesi.

Trauma tajam adalah hasil dari senjata api tinggi atau kecepatan rendah,

cedera tusuk, dan penetrasi benda asing ke dalam tubuh. Senjata api

menyebabkan insiden tinggi (90%) pada peritoneum / cedera organ solid yang

serius, dengan tingkat kematian 10-30%. Dua pertiga dari luka tusukan

menembus peritoneum, dengan 50-75% dari pasien ini memiliki cedera

pembuluh darah atau organ solid yang signifikan. Kematian telah dilaporkan

pada 5% dari cedera tusukan serius. Luka tusukan lebih sering di sebelah kiri

(penyerang dominan kanan) dan di kuadran atas. Dalam 30% dari luka tusuk

perut, ada 30% diiringi penetrasi rongga toraks. Cedera diafragma menjadi

perhatian khusus dalam kasus ini.

1

Page 2: Case Anestesi Fatma Ok

BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN

No. RM : 01344246

Nama : Dede Rosadi

Tempat/Tanggal Lahir : -/ 01/01/1990

Umur : 23 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Ditemukan dekat toko busana Ananda,

Kebayoran Lama

Pendidikan : Tidak sekolah

Pekerjaan : -

Status Perkawinan : Belum menikah

2.2 ANAMNESIS

1. Keluhan Utama

Pasien seorang laki-laki berusia 21 tahun datang ke RSUP

Fatmawati pada hari Sabtu, 17 Januari 2015 dengan keluhan nyeri pada

perut kiri atas akibat luka tusuk oleh benda tajam.

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSUP Fatmawati diantar oleh masyarakat

dan polisi dengan kondisi tidak sadarkan diri. Pasien diduga merupakan

korban pembunuhan dengan ditemukannya luka tusuk pada perut kiri atas

dan pantat sebelah kanan. Menurut pengakuan pasien, 1,5 jam sebelum

masuk rumah sakit, ia dikeroyok oleh sejumlah orang saat sedang

berjalan dengan temannya di daerah Kebayoran Lama. Pasien secara tiba-

tiba ditusuk oleh benda tajam pada perut kiri atas dan pantat sebelah

kanan hingga mengeluarkan banyak darah. Pasien sempat melarikan diri

ke sebuah warung untuk meminta bantuan. Tidak lama kemudian, pasien

mengaku pingsan, tidak mengingat kejadian, dan saat terbangun kembali

sudah berada di rumah sakit dengan rasa nyeri hebat pada perut kiri atas

akibat luka tusuk yang dialaminya.

2

Page 3: Case Anestesi Fatma Ok

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Tidak ada riwayat asma, alergi makanan ataupun obat-obatan.

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien tidak mengenal keluarga kandungnya, pasien merupakan

anak jalanan.

5. Riwayat Kebiasaan

Pasien mengaku sering berkumpul bersama teman-temannya di

daerah Kebayoran Lama. Ia merokok selama ± 10 tahun, dan sering

minum-minuman beralkohol.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK

1. Status Generalis

a. Keadaan Umum : Tampak sakit berat

b. Kesadaran : Compos mentis, E4V5M6 (GCS 15)

c. Tanda Vital :Tekanan Darah : 104/54 mmHg

Pernapasan : 18 x/m

Nadi : 120 x/m

Suhu : 36,5C

d. Antropometri : Berat badan : 55 kg

Tinggi badan : 160 cm

BMI : 21,48 kg/m2

2. Survey Primer

Air Way

Kesadaran : Compos mentis

Jalan nafas : Clear

Leher : Deviasi trakea (-)

Look feel listen : Nafas (+) normal

Retraksi : (-)

Breathing

Frekuensi pernafasan : 18 x/m

Suara nafas : Vesikuler +/+

Suara nafas tambahan : Ronki -/- Wheezing -/-

Nafas cuping hidung : (-)

3

Page 4: Case Anestesi Fatma Ok

Circulation

Tekanan darah : 104/54 mmHg

Nadi : 120 x/m

Akral : dingin di keempat extremitas, CRT > 2 detik

Auskultasi jantung : BJ I & II reguler, murmur (-), gallop (-)

Disability

GCS : 15

3. Survey Sekunder

Kepala

Bentuk : Normosefali

Rambut : Warna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut

Wajah : Simetris ................

Mata : Konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik -/-, refleks cahaya

langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+,

palpebra oedema -/-

Telinga : Telinga sepasang, normotia, nyeri tekan dan nyeri

tarik -/-, liang telinga lapang, sekret (-), darah (-),

membran timpani intak, reflek cahaya suram (+)

Hidung : Bentuk hidung normal, cavum nasi lapang, concha

eutrofi, septum deviasi (-), massa (-), sekret (-)

Leher : Deviasi trakea (-)

Thoraks

Dari inspeksi umum thoraks didapatkan bentuk thoraks simetris, tampak

tato di ................

Paru

Inspeksi : Bentuk dada normal, pergerakan nafas kanan kiri simetris

Palpasi : Vocal fremitus simetris pada hemithoraks kanan kiri

Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : Vesikuler seluruh lapang paru, wheezing (-/-) ronkhi (-/-)

Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus kordis tidak teraba

Perkusi : Batas atas : sela iga III parasternal kiri

Batas kanan : sela iga V parasternal kanan

4

Page 5: Case Anestesi Fatma Ok

Batas kiri : 1 cm medial sela iga VI midklavikula kiri

Auskultasi : Bunyi jantung I - II reguler murni, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : Datar, tampak vulnus punctum pada regio kiri atas

dengan panjang luka ± 4cm, kedalaman ± 3cm, dan

batas tegas.

Auskultasi : Bising usus (+) 2x/m

Palpasi : Rigid, nyeri tekan (+) di seluruh kuadran abdomen

Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen

Genitalia eksterna

Kelamin : laki-laki

Ekstremitas

Superior : Tampak dipenuhi oleh tato, oedem (-/-), sianosis (-),

akral dingin (+), CRT > 2 detik

Inferior  : Tampak tato, oedem (-/-), sianosis (-), akral dingin (+),

CRT > 2 detik.

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Pemeriksaan Laboratorium Pre-Operasi (17/01/2015)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Darah Lengkap

Hemoglobin 10,2 g/dl 13,2 – 17,3

Hematokrit 32 % 33 - 45

Lekosit 19,5 ribu/ul 5 - 10

Trombosit 273 ribu/ul 150 - 440

Eritrosit 3,78 juta/ul 4,4 – 5,9

VER/HER/KHER/RDW

5

Page 6: Case Anestesi Fatma Ok

VER 84,6 fl 80 - 100

HER 27 pg 26 - 34

KHER 31,9 g/dl 32 - 36

RDW 14,8 % 11,5 – 14,5

Hemostasis

APTT 26,4 detik 27,4 – 39,3

Kontrol APTT 31,5 detik -

PT 13,4 detik 11,3 – 14,7

Kontrol PT 13,5 detik -

INR 0,99 -

Kimia klinik

Fungsi Hati

SGOT 24 U/l 0 - 34

SGPT 9 U/l 0 - 40

Albumin 3,4 g/dl 3,4 – 4,8

Fungsi Ginjal

Ureum darah 21 mg/dl 20 - 40

Kreatinin darah 0,8 mg/dl 0,6 – 1.5

Diabetes (Glukosa darah)

Glukosa darah sewaktu 137 mg/dl 70 - 140

Analisa Gas Darah

6

Page 7: Case Anestesi Fatma Ok

pH 7, 340 7,370 – 7,440

PCO2 25,8 mmHg 35 - 45

PO2 175,5 mmHg 83 - 108

BP 753 mmHg -

HCO3 13,6 mmol/L 21 - 28

O2 Saturasi 99,1 % 95 - 99

BE (Base Excess) -10,2 mmol/L -2,5 – 2,5

Total CO2 14,4 mmol/L 19 - 24

Elektrolit Darah

Natrium 146 mmol/L 135 - 147

Kalium 2,96 mmol/L 3,1 – 5,1

Klorida 94 mmol/L 95 - 108

Sero – Imunologi

Hepatitis

HBsAg (-)

Anti HCV (+)

Golongan Darah AB/ Rh (+)

B. Pemeriksaan Laboratorium Pre-Operasi (18/01/2015 pukul 10.30 WIB)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Darah Lengkap

Hemoglobin 7,8 g/dl 13,2 – 17,3

Hematokrit 25 % 33 - 45

7

Page 8: Case Anestesi Fatma Ok

Lekosit 18,9 ribu/ul 5 - 10

Trombosit 174 ribu/ul 150 - 440

Eritrosit 2,87 juta/ul 4,4 – 5,9

VER/HER/KHER/RDW

VER 85,6 fl 80 - 100

HER 27,3 pg 26 - 34

KHER 31,9 g/dl 32 - 36

RDW 15,0 % 11,5 – 14,5

C. Pemeriksaan Laboratorium Pre-Operasi (18/01/2015 pukul 16.00 WIB)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Darah Lengkap

Hemoglobin 6,8 g/dl 13,2 – 17,3

Hematokrit 20 % 33 - 45

Lekosit 15,3 ribu/ul 5 - 10

Trombosit 178 ribu/ul 150 - 440

Eritrosit 2,4 juta/ul 4,4 – 5,9

VER/HER/KHER/RDW

VER 83,6 fl 80 - 100

HER 28,4 pg 26 - 34

KHER 33,9 g/dl 32 - 36

RDW 15,2 % 11,5 – 14,5

8

Page 9: Case Anestesi Fatma Ok

D. Pemeriksaan Urinalis (18/01/2015 pukul 01.30 WIB)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Urinalisa

Urobilinogen 0,2 E.U/dl <1

Albumin Trace - negatif

Berat jenis >=1,030 1,005 – 1,030

Bilirubin negatif negatif

Keton negatif negatif

Nitrit negatif negatif

pH 6,0 4,8 – 7,4

Leukosit negatif negatif

Darah/Hb +1 negatif

Glukosa urin/reduksi negatif negatif

Warna Kuning Kuning

Kejernihan jernih jernih

Sedimen urin

Epitel +2

Lekosit 2-4 /LPB 0 - 5

Eritrosit 2-4 /LPB 0 - 2

Silinder negatif /LPK negatif

9

Page 10: Case Anestesi Fatma Ok

Kristal Ca Oxalat (+) negatif

Bakteri positif negatif

Lain-lain negatif negatif

E. Pemeriksaan Radiologi

- RO Thorax AP (17/01/2015)

Dari hasil pemeriksaan didapatkan hasil :

Trakea relatif di tengah

Mediastinum superior tidak melebar

Jantung tidak membesar

Aorta baik

Pulmo : Kedua hilus tidak menebal, corakan bronkovaskuler kedua

paru baik, tidak tampak infiltrat/nodul

Kedua sinus kostofrenikus dan diafragma baik

Tak tampak tanda-tanda fraktur pada tulang-tulang dinding dada

Kesan :

Jantung dan pumo dalam batas normal

Tak tampak fraktur pada tulang-tulang dinding dada

- USG Abdomen (18/01/2015)

10

Page 11: Case Anestesi Fatma Ok

Pemeriksaan USG Abdomen dengan hasil sebagai berikut :

Hepar: bentuk dan ukurang tepi tajam, ekhogenitas parenkim

homogen. Tak tampak pelebaran duktus biliaris intrahepatik maupun

sistem vaskuler. Tak tampak laserasi. Tak tampak efusi pleura.

Tak tampak gambaran cairan bebas

Kandung empedu : bentuk dan ukuran normal, dinding tidak menebal.

Tak tampak batu/sludge.

11

Page 12: Case Anestesi Fatma Ok

Ginjal kanan : bentuk dan ukuran normal. Diferensiasi korteks dan

medula jelas. Sistem pelviokalises tak melebar. Tak tampak batu. Tak

tampak lesi patologis.

Ginjal kiri : bentuk dan ukuran normal. Diferensiasi korteks dan

medula jelas. Sistem pelviokalises tak melebar. Tak tampak batu.

Tampak lesi isoekhoik perirenal kiri.

Lien : bentuk dan ukuran normal. Tak tampak lesi patologis.

Aorta : ukuran normal. Tak tampak pembesaran KGB paraaorta.

Tampak hematome usus regio bilateral abdomen kiri bawah

Buli : Tidak terisi optimal. Tampang terpasang balon kateter.

Kesan :

Suspek hematome subskapsuler ginjal kiri dan hematome usus regio

bilateral abdomen kiri bawah

Tak tampak cairan bebas intraabdomen

2.5 DIAGNOSIS PRE-OPERATIF

Trauma tusuk abdomen

2.6 TATALAKSANA

1. Tanggal operasi : 18 Januari 2015

2. Diagnosis pra-bedah : Trauma tusuk abdomen

3. Keadaan umum pra bedah

ASA : 3 E (Pasien dengan penyakit sistemik berat sehingga aktivitasnya

terbatas (CITO))

4. Macam operasi : Laparatomi eksplorasi

5. Spesialis bedah : dr. Simangunsong, Sp.B

6. Spesialis anestesi : dr. Badar, Sp.An

7. Lama operasi : 2 jam 45 menit

8. Lama anestesi : 2 jam 50 menit

2.7 LAPORAN ANESTESI

1. Persiapan operasi

a. Persetujuan operasi tertulis

12

Page 13: Case Anestesi Fatma Ok

b. Puasa 6 jam pre-operasi

c. Persiapan PRC 1000 cc dan FFP 750 cc

2. Jenis anestesi : General anestesi

3. Teknik anestesi : Anestesia intravena

4. Posisi : Terlentang

5. Premedikasi : Fentanyl 100 µg

6. Induksi : Propofol 200 mg, roculax 30 mg

7. Jalan nafas : Terpasang Endotrakeal Tube (ETT) kinking No. 7,5

Intubasi sesudah tidur

Oral

Preoksigenisasi

Mudah mask ventilasi

Mudah face mask

8. Ventilasi : Ventilator dengan TV 420 cc, RR 15 x/m

9. Medikasi : Ranitidin 100 mg

Roculax 30 mg

Fentanyl 100 µg

Ketorolac 30 mg

Tramadol 100 mg

Sulfas Atropin 0,5 mg

Prostigmin 1 mg

Ondansetron 4 mg

10. Maintenance : N2O/O2 = 2L/2L , Isoflurane 1,5 vol %

11. Cairan : Ringer Laktat 1000 cc; NaCl 0,9% 1000 cc; HES 6%

500 cc; PRC 500 cc.

12. Monitoring : Tanda vital, kedalaman anestesi, cairan, perdarahan,

produksi urin, dan NGT

13. Perawatan pasca anestesi di ICU

2.8 TINDAKAN ANESTESI

1. Di ruang persiapan

13

Page 14: Case Anestesi Fatma Ok

Pasien tiba di ruang persiapan tanggal 18 Januari 2015 pada pukul 22.45

WIB

a. Memeriksa persetujuan operasi dan identitas pasien

b. Pemeriksaan tanda-tanda vital

Tekanan darah : 104/54 mmHg

Nadi : 120 x/m

Suhu : Afebris

c. Digantikan pakaian dengan pakaian khusus kamar operasi

d. Memeriksa kelengkapan obat-obatan dan peralatan anestesi

e. Telah terpasang infus RL vasofix no. 20G terpasang di tangan kiri, infus

RL vasofix no. 18G terpasang di tangan kanan, CVC, serta kateter urin.

2. Di ruang operasi

Pasien laki-laki berusia 21 tahun bernama Tn. Dede Rosadi diantar ke

ruang operasi untuk menjalani operasi cito laparatomi eksplorasi pada

tanggal 18 Januari 2015 dengan diagnosis pre-operatif Trauma Tumpul

Abdomen. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang disimpulkan bahwa pasien masuk ke dalam ASA 3 E.

Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 6-8 jam.

Penggantian puasa dengan memberikan terapi cairan RL 500 cc/6 jam. Pada

pasien ini sudah diberikan antibiotik berupa Amikasin 1x1gr dan

Metronidazole 1x1,5gr. Persetujuan operasi juga dilakukan sebelum

dilakukan tindakan sebagai informed consent.

14

Page 15: Case Anestesi Fatma Ok

15

Page 16: Case Anestesi Fatma Ok

Operasi dilakukan pada tanggal 18 Januari 2015. Pasien masuk ke ruang OK Cito

pada pukul 22.50 WIB, dilakukan pemantauan EKG lead II, SpO2, NIBP, CVP,

vena line, dan kateter urin.

a. Jam 23.00 WIB diberikan premedikasi injeksi Fentanyl 100 µg.

Kemudian dilakukan induksi dengan Propofol 200 mg dan Roculax 30

mg. Face mask didekatkan pada hidung dengan O2 4L/menit selama

kurang lebih 5 menit. Dilakukan pemeriksaan refleks bulu mata.

Melakukan intubasi setelah pasien tidur, yakni memasang Endotrakeal

Tube (ETT) kingking No. 7,5. Setelah ETT terpasang dengan baik

dilanjutkan pemberian nafas buatan dengan pompa manual yang

dilanjutkan dengan metode nafas kendali dengan ventilator: volume tidal

420 ml dan frekuensi 15x/menit. Mengalirkan N2O/O2 = 2L/2L. Selain itu

secara bersamaan, cairan infus RL digantikan dengan PRC I sejumlah

250 cc melalui IV line pada tangan kiri.

b. Jam 23.05 WIB tekanan darah pasien 100/50 mmHg kemudian dialirkan

agen anestesi rumatan berupa Isoflurane 1.5 vol%. Selain itu, diberikan

juga bolus ranitidin 100 mg melalui IV line.

c. Jam 23.10 WIB kedalaman anestesi berkurang sehingga diberikan obat

pelumpuh otot, yaitu roculax 10 mg dan obat hipnotik, yaitu fentanyl 50

µg.

d. Jam 23.35 WIB kedalaman anestesi berkurang sehingga diberikan

tambahan roculax 10 mg dan fentanyl 25 µg.

e. Jam 23.45 WIB tekanan darah pasien turun mencapai 85/55 mmHg

selama 30 menit dengan denyut nadi 90x/m, kemudian dikoreksi dengan

pemberian HES 6% 500 cc melalui IV line.

f. Jam 00.30 WIB tekanan darah pasien mencapai 120/60 mmHg dengan

denyut nadi 95 x/m.

g. Jam 00.40 WIB kedalaman anestesi berkurang sehingga diberikan

kembali tambahan roculax 10 mg dan fentanyl 25 µg.

h. Jam 00.45 WIB tekanan darah pasien mecapai 105/55 mmHg dengan

denyut nadi 90x/m.

i. Jam 01.15 WIB pasien diberikan bolus ondancentron 4 mg, ketorolac 30

mg, dan tramadol 100 mg melalui IV line.

16

Page 17: Case Anestesi Fatma Ok

j. Pembedahan selesai pada pukul 01.45 WIB, kemudian dilakukan

ekstubasi dalam

k. Jam 01.45 WIB diberikan penawar obat pelumpuh otot, yakni sulfas

atropin 0,5 mg dan prostigmin 1 mg, kemudian pasien bangun dalam

kondisi belum sadar penuh. Selain itu, diberikan PRC II sejumlah 250 cc.

Jam Tekanan Darah Nadi (permenit)

23.00 100/50 mmHg 120

23.15 110/60 mmHg 120

23.30 120/70 mmHg 125

23.45 120/68 mmHg 130

00.00 85/55 mmHg 90

00.15 85/50 mmHg 90

00.30 120/60 mmHg 95

00.45 105/55 mmHg 90

01.00 106/50 mmHg 92

01.15 108/55 mmHg 90

01.30 96/58 mmHg 88

01.45 98/55 mmHg 80

17

Page 18: Case Anestesi Fatma Ok

BAB III

ANALISIS KASUS

Masalah yang terdapat pada pasien Tn. Dede Rosadi terbagi berdasarkan interval

waktu, yaitu masalah pre-operatif, intraoperatif, dan post-operatif.

3.1 PRE OPERATIF

Masalah pre-operatif didapatkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik

pada pasien. Berdasarkan anamnesis, pasien merupakan anak jalanan yang

menjadi korban pembunuhan oleh sekelompok orang dengan ditemukannya

luka tusuk abdomen regio kiri atas. Pasien ditemukan oleh polisi dan

masyarakat setempat sehingga dibawa ke IGD RSUP Fatmawati dalam

kondisi tidak sadarkan diri dan mengalami syok hipovolemi akibat perdarahan

masif dari luka tusuk tersebut. Kondisi syok hipovolemi diatasi di IGD dan

pasien masuk ke ruang operasi OK Cito dengan hemodinamik yang tidak

stabil.

Adapun pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien diperoleh hasil

sebagai berikut:

1. Status Generalis

a. Keadaan Umum : Tampak sakit berat

b. Kesadaran : Pasien tidak mengalami penurunan kesadaran

c. Tanda Vital :Tekanan Darah : hipotensi

Pernafasan : eupnea

Nadi : takikardi

Suhu : afebris

d. Antropometri : normoweight (BMI = 21,48 kg/m2 )

2. Survey Primer

Air Way

Clear

Breathing

Tidak didapatkan masalah pada pasien

18

Page 19: Case Anestesi Fatma Ok

Circulation

Hipotensi (104/54 mmHg), takikardi (120x/m) dengan akral ke empat

ekstremitas dingin, CRT > 2 detik

Disability

Tidak didapatkan masalah pada pasien

3. Survey Sekunder

Kepala

Pada pemeriksaan wajah didapatkan moon face (+) dan pertumbuhan

kumis serta pada pemeriksaan leher didapatkan jakun membesar seperti

pria yang menunjukkan gejala cushing syndrome pada pasien.

Thoraks

Dari inspeksi umum thoraks didapatkan bentuk thoraks simetris dan

terdapat tato. Perkusi, palpasi serta auskultasi paru dan jantung dalam

batas normal.

Abdomen

Inspeksi : Datar, tampak vulnus punctum pada regio kiri atas

dengan panjang luka ± 4cm, kedalaman ± 3cm, dan

batas tegas.

Auskultasi : Bising usus (+) 2x/m

Palpasi : Rigid, nyeri tekan (+) di seluruh kuadran abdomen

Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen

Genitalia eksterna

Tidak ada kelainan.

Ekstremitas

Pada kedua ekstremitas superior ditemukan tato yang hampir memenuhi

seluruh lengan sedangkan pada kedua ekstremitas inferior ditemukan tato

pada regio cruris lateral saja. Akral ke-empat ekstremitas diraba dingin

dan CRT > 2 detik.

Adapun pada pemeriksaan laboratorium dan radiologi didapatkan :

Penurunan hemoglobin dari 10,2 g/dl hingga 6,8 g/dl dan penurunan

hematokrit dari 32% menjadi 20%.

19

Page 20: Case Anestesi Fatma Ok

Leukositosis dari 3 kali pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukosit

19, 5 ribu/ul, 18,9 ribu/ul, dan 15,3 ribu/ul

Eritrositopeni dari 3,78 juta/ul hingga menjadi 2,4 juta/ul

Asidosis metabolik

Hipokalemi (2,96 mmol/L) dan hipoklorida (94 mmol/L)

Leukosit (2-4/LPB), silinder Ca.Oxalat (+), dan bakteri nitrit (+) pada

urinalisis

Pada USG Abdomen didapatkan kesan suspek hematome subskapsuler

ginjal kiri dan hematome usus regio bilateral abdomen kiri bawah

Kebutuhan Cairan Perioperatif

Terdapat tiga periode yang dialami oleh pasien apabila mejalani tindakan

pembedahan, yaitu: pra-bedah, selama pembedahan dan pasca bedah.

1. Terapi cairan prabedah

Tujuan dari terapi cairan ini adalah mengganti cairan dan kalori yang

dialami pasien pra-bedah akibat puasa. Cairan yang digunakan adalah cairan

pemeliharaan dan cairan untuk koreksi defisit puasa.

Tujuan dari cairan pemeliharaan untuk mengganti kehilangan air tubuh

lewat urin, feses, paru dan keringat. Kebutuhan pemeliharaan normal dapat

diestimasi dengan:

Pada pasien berat badan : 55 kg

Berat Kebutuhan

10 kg pertama

10-20 kg kedua

Masing-masing kg > 20 kg

4 ml/kg/jam

2 ml/kg/jam

1 ml/kg/jam

4 x 10 = 40

2 x 10 = 20

1 x 35 = 35

95 ml/jam

Pasien yang akan dioperasi setelah semalam puasa tanpa intake cairan

akan menyebabkan defisit cairan sebanding dengan lamanya puasa. Defisit ini

dapat diperkirakan dengan mengalikan kebutuhan cairan pemeliharaan normal

dengan lamanya puasa. Untuk berat badan 55 kg dan puasa 6 jam: 95 ml/jam x 6

= 570 ml. Pada pasien diberikan cairan ringer laktat 500 ml/6 jam.

20

Page 21: Case Anestesi Fatma Ok

2. Terapi cairan selama operasi

Tujuannya adalah sebagai fasilitas vena terbuka, koreksi kehilangan

cairan melalui luka operasi, mengganti perdarahan dan mengganti cairan yang

hilang melalui organ ekskresi.

Terapi cairan diberikan dengan menjumlahkan kebutuhan cairan

pemeliharaan, kebutuhan cairan selama operasi dan puasa. Perhitungan cairan

yang hilang berdasarkan jenis operasi yang dilakukan dengan asumsi:

Operasi besar : 6-8 ml/kg/jam

Operasi sedang : 4-6 ml/kg/jam

Operasi kecil : 2-4 ml/kg/jam

Operasi laparatomi eksplorasi dikategorikan sebagai operasi berat. Koreksi

cairan berdasarkan jenis operasi 6-8 x 55 kg = 330-440 ml/jam.

Pemberian jam I : M + O + ½ P = 95 + 440 + 285 = 820 ml

Pemberian jam II : M + O + ¼ P = 95 + 440 + 142,5 = 678 ml

Pemberian jam III : M + O + ¼ P = 100 + 480 + 1 42,5 = 678 ml +

Total cairan : = 2.176 ml

Operasi berlangsung selama 2 jam 45 menit. Pada pasien mendapatkan terapi

cairan 2500 ml (ringer laktat 1000 ml + NaCl 0,9% 1000 ml + Voluven 500 ml)

selama operasi. Berdasarkan pemberian cairan pada pasien sudah mencukupi

berdasarkan perhitungan kebutuhan cairan selama operasi.

Pada pasien ini dilakukan transfusi darah dengan indikasi ialah :

Perdarahan akut dengan Hb 6,8 g/dl dan Ht 20 %

Koreksi akibat perdarahan akut yang terjadi ini diberikan PRC sejumlah :

PRC : ∆ Hb x BB x 4

: (13,2-6,8) x 55 x 4

: 6,4 x 55 x 4 = 1.408 cc

Namun, PRC yang tersedia hanya 500 cc, dan seluruhnya sudah diberikan selama

intraoperatif.

3. Terapi cairan pasca bedah

Tujuannya adalah fasilitas vena terbuka, pemberian cairan pemeliharaan,

nutrisi parenteral dan koreksi terhadap kelainan akibat terapi yang lain.

21

Page 22: Case Anestesi Fatma Ok

3.2 INTRA OPERATIF

Masalah – masalah intraoperatif disebabkan stress anestesi dan stress operatif.

Adapun masalah pada pasien ini berupa hemodinamik yang tidak stabil

1. Gangguan Hemodinamik

2. SIRS

22

Page 23: Case Anestesi Fatma Ok

BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

4.1 Anatomi Abdomen

Abdomen merupakan bagian tubuh yang terletak di antara toraks dan

pelvis. Rongga abdomen yang sebenarnya dipisahkan dari rongga toraks di

sebelah atas oleh diafragma dan dari rongga pelvis di sebelah bawah oleh suatu

bidang miring yang disebut pintu atas panggul.9

Rongga abdomen atau cavitas abdominis berisi sebagian besar organ

sistem digestivus, sebagian organ urinarium, sistem genitalia, lien, glandula

suprarenalis, dan plexus nervorum. Juga berisi peritoneum yang merupakan

membrane serosa dari sistem digestivus. Untuk menentukan lokalisasi yang lebih

teliti dari rasa nyeri, pembengkakan atau letak suatu organ, maka abdomen

dibagi menjadi sembilan region oleh dua bidang horizontal yaitu bidang

subcostalis dan bidang transtubercularis serta dua bidang vertikal yang melalui

linea midklavikularis kanan dan kiri.9

Gambar 1. Pembagian Regio Abdomen

23

Page 24: Case Anestesi Fatma Ok

Proyeksi letak organ dalam abdomen

Hipokondrium kanan Epigastrium Hipokondrium kiri Lobus kanan dari

hepar Kantung empedu Sebagian dari

duodenum Fleksura hepatik

dari kolon Sebagian dari ginjal

kanan Kelenjar suprarenal

kanan

Pilorus gaster Duodenum Pankreas Sebagian dari hepar

Lambung Limpa Bagian kaudal dari

pankreas Fleksura lienalis dari

kolon Kutub atas dari

ginjal kiri Kelenjar suprarenal

kiri

Lumbal kanan Umbilikal Lumbal kiri Kolon asendens Bagian bawah dari

ginjal kanan Sebagian daru

duodenum dan jejunum

Omentum Mesenterium Bagian bawah dari

duodenum Jejunum dan ileum

Kolon desendens Bagian bawah dari

ginjal kiri Sebagian jejunum

dan ileum

Inguinal kanan Hipogastrium Inguinal kiri Sekum Apendiks Bagian akhir dari

ileum Ureter kanan

Ileum Kandung kemih Uterus (pada

kehamilan)

Kolon sigmoid Ureter kiri Ovarium kiri

4.2 Trauma Abdomen

Definisi

Trauma abdomen didefinisikan sebagai trauma yang melibatkan daerah

antara diafragma atas dan panggul bawah. 10

Epidemiologi

Insiden trauma abdomen meningkat dari tahun ke tahun. Mortalitas

biasanya lebih tinggi pada trauma tumpul abdomen dari pada trauma tusuk. Jejas

pada abdomen dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam. Pada

trauma tumpul dengan velositas rendah (misalnya akibat tinju) biasanya

menimbulkan kerusakan satu organ. Sedangkan trauma tumpul velositas tinggi

sering menimbulkan kerusakan organ multipel. Pada intraperitoneal, trauma

tumpul abdomen paling sering menciderai organlimpa (40-55%), hati (35-45%),

dan usus halus (5-10%). Sedangkan pada retroperitoneal, organ yang paling

24

Page 25: Case Anestesi Fatma Ok

sering cedera adalah ginjal, dan organ yang paling jarang cedera adalah pankreas

dan ureter. Pada trauma tajam abdomen paling sering mengenai hati(40%), usus

kecil (30%), diafragma (20%), dan usus besar (15%). 10

Jenis Trauma Abdomen

1) Trauma Tumpul

Pukulan langsung, misalnya kena pinggir bawah stir mobil atau pintu yang

masuk (intruded) pada tabrakan kendaraan bermotor, dapat mengakibatkan

cedera tekanan atau tindasan pada isi abdomen. Kekuatan ini merusak bentuk

organ padat atau berongga dan dapat mengakibatkan ruptur, khususnya pada

organ yang menggembung (misalnya uterus yang hamil), dengan perdarahan

sekunder dan peritonitis. Shearing injuries pada organ isi abdomen merupakan

bentuk trauma yang dapat terjadi bila suatu alat penahan (seperti sabuk

pengaman jenis lap belt atau komponen sabuk bahu)dipakai dengan cara yang

salah. Penderita yang cedera dalam tabrakan kendaraan bermotor juga dapat

menderita cedera deceleration karena gerakan yang berbeda dari bagian badan

yang bergerak dan yang tidak bergerak, pada hati dan limpa yang sering terjadi

(organ bergerak) ditempat jaringan pendukung (struktur tetap) pada tabrakan

tersebut. Pada penderita yang dilakukan laparatomi oleh karena trauma tumpul

(blun injury), organ yang paling sering cedera, adalah limpa (40 – 55%), hati (35-

45%)dan hematoma retroperitoneum (15%). 11

2) Trauma Tajam

Luka tusuk ataupun luka tembak ( kecepatan rendah) akan mengakibatkan

kerusakan jaringan karena laserasi ataupun terpotong, luka tembak dengan

kecepatan tinggi akan menyebabkan transfer energy kinetic yang lebih besar

terhadap organ viscera, dengan adanya efek tambahan berupa temporary

cavitation, dan bisa pecah menjadi fragmen yang mengakibatkan kerusakan

lainnya.

Luka tusuk tersering mengenai hepar (40%), usus halus (30%), diafragma

(20%) dan colon (15%). Luka tembak mengakibatkan kerusakan yang lebih

besar, yang ditentukan oleh jauhnya perjalanan peluru, dan berapa besar energi

kinetiknya maupun kemungkinan pantulan peluru oleh organ tulang, maupun

efek pecahan tulangnya. Luka tembak paling sering mengenai usus halus (50%),

colon (40%), hepar (30%), dan pembuluh darah abdominal (25%). 11

25

Page 26: Case Anestesi Fatma Ok

Teori-teori tradisional mengharuskan seluruh kasus luka tembak dengan

kecurigaan trauma intra-abdominal, memerlukan tindakan laparotomi

eksplorasi. Beberapa penulis telah mendeskripsikan pendekatan yang lebih

tidak agresif untuk beberapa kasus pasien dengan trauma tajam abdomen,

termasuk luka tembak kecepatan rendah. Penatalaksanaan non-operatif pada

pasien dengan luka tembak dengan penetrasi peritoneum masih bersifat

kontroversial. Pasien yang menunjukkan tanda hipotensi walaupun telah

mendapat resusitasi cairan kristaloid membutuhkan laparotomi eksplorasi

segera, antibiotika, dan booster tetanus. Bagi pasien dengan hemodinamik

stabil, setelah invasi intraperitoneal sudah dipastikan tidak terjadi,

penatalaksanaan konservatif terhadap luka superfisial abdomen dapat

dilaksanakan. Untuk semua kasus luka tembak abdomen, segera minta

bantuan konsultasi bagian bedah. 10-11

Beberapa institusi telah membuat kebijakan akan dilakukannya

laparotomi untuk luka tembak abdominal berdasarkan tingginya insidensi

trauma organ pada kasus luka tembak. Satu-satunya pengecualian kebijakan

ini adalah pada pasien stabil dengan jalur peluru yang tidak jelas, keraguan

akan penetrasi peritoneal, atau luka pada regio torakoabdominal sehingga

penilaian selanjutnya diperlukan untuk mengetahui apakan trauma tersebut

hanya murni thorax. Pada kasus ini, laparoskopi sebaiknya dilakukan pada

pasien yang telah dipersiapkan untuk laparotomi dengan pengalaman dalam

menilai luka tembak. 11

Pasien dengan luka tusuk membutuhkan resusitasi, booster tetanus, dan

antibiotika jika terjadi kecurigaan terlibatnya intraperitoneal. Seorang ahli

bedah sebaiknya melakukan seluruh prosedur ini untuk semua luka terutama

luka superfisial dengan staf dan pencahayaan yang adekuat. DPL, CT-scan,

dan laparoskopi dapat digunakan. Bila keterlibatan peritoneal telah dipastikan

tidak terjadi, pasien dapat dipulangkan dengan instruksi luka lokal. Bila

peritoneum telah terlibat, berdasarkan teori tradisional, harus membutuhkan

laparotomi eksplorasi. Beberapa ahli bedah mulai meneliti beberapa pasien

tanpa tanda pasti trauma intraperitoneal pada pemeriksaan fisik atau

identifikasi dengan menggunakan radiologi, dapat diberikan penatalaksanaan

yang hampir sama seperti pada luka tembak kecepatan rendah. Pada kasus

penetrasi peritoneal, laparatomi merupakan suatu keharusan, maka dari itu

26

Page 27: Case Anestesi Fatma Ok

pada kasus penetrasi peritoneal harus dilakukan laparoskopi atau eksplorasi

luka pada ruang operasi.

4.3 Syok

Definisi

Syok adalah suatu sindrom klinis yang ditandai dengan adanya gangguan

sistem sirkulasi yang mengakibatkan tidak adekuatnya perfusi dan oksigenasi

untuk mempertahankan metabolisme aerobik sel secara normal.12

Tipe Tipe Syok

Syok hipovolemik disebabkan oleh kehilangan volume akut sebesar

lebihdari sama dengan 20-25% dari volume darah yang beredar. Penyebab

dari syok hipovolemik termasuk hemoragi dan penumpukan cairan dalam

tubuh, misalnya pada obstruksi usus. Syok hipovolemik dikenali dari

penurunan BP,CO,CVPdan tekanan arteri pulmonal.

Syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan utama jantung untuk

menghasilkan CO yang adekuat. Penyebab tersering adalah infark miokard

dan komplikasi akutnya . Syok kardiogenik ditandai dengan hipotensi,CO

rendah walaupun status volume adekuat, peningkatan tekanan arteri

pulmonal dan tekanan perfusi pulmonal

Syok distributif dikenali dari penurunan denyut vaskuler akibat vasodilatasi

arterial , venous pooling dan redistribusi aliran darah. Hal ini dapat

dikarenakan oleh bakteria hidup dan produk mereka dalam syok septik ,

mediator sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS) berbagai macam bahan

vasoaktif dalam syok anafilaktik atau dikarenakan hilangnya denyut vaskuler

dalam syok neurogenik . syok distributif dikenali dengan hipotensi dan CO

yang tinggi.

Syok obstruktif dikaitkan dengan kesukaran mekanis pada arus balik vena

dan/atau aliran arteri ke jantung. Penyebab-[enyebabnya antara lain tension

pneumothorax, emboli pulmonal, pericardial tamponade, sindrom

kompartemen abdominal dan kadang kadang ventilasi tekanan positif, PEEP

dan atuto PEEP. Syok obstruktid dikenali dari penurunan BP dan Co disertai

kenaikan CVP.

Mekanisme Kompensasi Syok

27

Page 28: Case Anestesi Fatma Ok

1. Respon neurohumoral : meningkatkan rangsang simpatetik, dimana hal ini

akan menaikkan kontraktilitas miokardial dan vasokonstriksi peripheral , serta

melepaskan hormon-hormon stress seperti epinefrin,glukagon,aldosteron,

kortisol dan hormon anti diuretic.

2.Respon metabolik melepaskan hormon-hormon anti insulin yang merangsang

resistensi insulin hiperglikemia dan lipolysis.

3.Pelepasan mediator inflamasi menyababkan proteolisis otot,menghasilkan asam

amino yang penting untuk menyokong sintesis protein sebagai dasar pertahanan

host (misalnya reaktan-reaktan fase akut). Keadaan katabolik yang umum ini

dapat menyebabkan muscle wasting,kelemahan,penyembuhan luka yang buruk ,

kehilangan integritas mukosa gastrointestinal, hipoalbuminemia dan energi. Luka

seluler juga dapat disebabkan oleh reperfusi jaringan ketika oksigen, metabolit-

metabolit lokal dan enzim-enzim oksidatif menghasilkan radikal-radikal bebas

dan zat0zat sitotoksik lainnya. 12

Tanda dan gejala perfusi tidak adektuat :

SSP : perubahan status mental

Jantung : nyeridada , iskemia, hemodinamik tidak stabil

Ginjal : penurunan jumlah urin , peningkatan konsentrasi urea, nitrogen dan

serum kreatinin dalam darah

GI : nyeri abdominal dan kembung , penurunan bising usus dan hematochezia

Perifer : akral dingin, waktu pengisian kapiler yang buruk dan pulsasi yang

lemah

Tanda tanda klinis hipoperfusi jaringan dan disfungsi seluler

Tekanan darah arteri dan CO rendah, pengeluaran urin sedikit ,

penurunan turgor kulit, perubahan status mental

Asidosis metabolik,defisit basa,bikarbonat serum rendah

Peningkatan laktat serum

pH intra gastric rendah

Mixed venous PO2 rendah

Determinan Mixed venous PO2

28

Page 29: Case Anestesi Fatma Ok

Cardiac output

PaO2

O2 dissociation curve shift

Konsumsi O2 jaringan (VO2)

Pengelolaan syok

- Akses Intravena

- Evaluasi Jalan napas

Harus dilakukan karena intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanin

mungkin diperlukan ketika terjadi hipoksemia,hiperkarbia, edema jalan

napas atau perubahan status mental

- Penggantian volume intravaskuler

o Kristaloid

o Koloid

- Farmakologi

Jika penggantian cairan yang tepat gagal untuk mengembalikan tekanan

darah dan perfusi organ yang adekuat , terapi vasopresor harus segera

dilakukan. Terapi vasopresor juga dibutuhkan untuk menjaga perfusi

organ menghadapi hipotensi. 13

Inotropik dan Vasopresor yang umum digunakan

Nama obat Target reseptor Efek

Katekolamin

- Dopamin

- Epinefrin

- Norepinefrin

Katekolamin Sintesis

- Dobutamin

- Dopexamin

- Efedrin

- Fenilefrin

Inhibitor

Fosfodiesterase-III

- Milrinon

Alfa1,Beta1,Gamma

Alfa1,Beta1,Beta2

Alfa1,Beta1

Beta1,Beta2

Beta1,Beta2,Gamma

Alfa1,Beta1,Beta2

Alfa1

Cyclic GMP mediated

CO,BP,HR,Perfusi ginjal

CO,BP,HR,Bronkodilator

CO,BP

CO, HR,BP

CO,HR,Perfusi ginjal

Seperti epinefrin

BP,HR,CO

BP,HR,CO

29

Page 30: Case Anestesi Fatma Ok

Hormon

- Vasopresin

G protein mediated BP

1. Dopamin adalah pelopor norepinefrin dan epinefrin. Pada dosis rendah

akan mempengaruhi vascular gamma1 dopamine receptors (ginjal dan

mesenterika) mengarah ke vasodilatasi. Pada dosis lebih tinggi dopamin

akan mempengaruhi beta 1adrenergic menjadi inotropik positif dan dan

efek kronotropik. Pada dosis yang jauh lebih akan mengajak alfa1

adrenergic dengan efek vasokonstriksi. 12-13

2. Dobutamin juga menstimulasi reseptor beta adrenergik tetapi tidak pada

gamma dan alfa sehingga meniakkan kontraktilitas jantung dan

menurunkan denyut vaskuler .

3. Dopexamin adalah turunan sintestis dari dopamin dengan gamma dan

beta 2 yang lebih baik dibandingkan aktifitas beta1 serta tidak ada

aktifitas alfa.

4. Epinefrin adalah katekolamin kuat yanng menstimulasi alfa,beta1 dan

beta2 adrenergik.

5. Norepinefrin memiliki aktifitas alda dan beta adrenergik.Baik untuk

pasien yang membutuhkan bantuan untuk denyut vaskule dan

kontraktilitas miokardial , norepinefrin tidak memiliki aktifitas beta2.

6. Inhibitor PDE-III meningkatkan kontraktilitas miokardial dan relaksasi

diastolik serta menurunkan dneyut vaskuler.

Vasopresor

1. Phenylephrine adalah agonis alfa1 selektif yang menyebabkan vasokonstriksi

arterial murni. Fenilefrin meningkatkan BP dengan cepat berkaitan dengan reflek

bradikardi.

2. Vasopresin adalah hormon yang disintesis dalam hipotalamus dan disimpoan

dalam pitiutari posterior. Merupakan vasokonstriktor langsung tanpa efek

inotropiuk atau kronotropik.

3. Efedrin adalah alfaindirek dan agonis beta yang menyebabkan peningkatan

denyut jantung dan kardiak output dengan vasokonstrisi sedang.

4.4 Sepsis

30

Page 31: Case Anestesi Fatma Ok

Definisi

Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) adalah pasien yang

memiliki dua atau lebih kriteria sebagai berikut :

1) Suhu > 38o C atau < 36o C

2) Denyut jantung > 90 x permenit

3) Respirasi > 20 x permenit atau Pa CO2 < 32 mmHg

4) Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau >10% sel imatur (band)

Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui (ditentukan

dengan biakan positif terhadap organisme dari tempat tersebut). Biakan darah

tidak harus positif. Meskipun SIRS, sepsis dan syok septik biasanya

berhubungan dengan infeksi bakteri, tidak harus terdapat bakteremia. Bakteremia

adalah keadaan bakteri hidup dalam komponen darah. Sepsis berat adalah sepsis

yang berkaitan dengan disfungsi organ, kelainan hipoperfusi, atau hipotensi.

Kelainan hipoperfusi meliputi (tetapi tidak terbatas) pada asidosis laktat, oliguria,

atau perubahan akut pada status mental.14

Berdasarkan konferensi internasional pada tahun 2001, terdapat tambahan

pada kriteria sebelumnya. Dimana pada konferensi tahun 2001 menambahkan

kriteria diagnostik baru pada sepsis. Bagian yang terpenting adalah dengan

memasukkan petanda biomolekuler yaitu pricalcitonin (PCT) dan C reactive

protein (CRP), sebagai langkah awal dalam diagnosis sepsis. Rekomendasi yang

utama adalah implementasi dari suatu sistem tingkatan Predisposition, Insult

infection, Response dan Organ disfunction (PIRO) untuk menentukan

pengobatan secara maksimum berdasarkan karakteristik pasien dengan

stratifikasi gejala dan resiko.14

Etiologi

Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram negatif dengan

presentase 60 sampai 70% kasus, yang menghasilkan berbagai produk yang

menstimulasi sel imun. Stafilokokus, pneumokokus, streptokokus dan bakteri

gram positif lain jarang menyebabkan sepsis, dengan angka kejadian sepsis 20

sampai 40 % dari keseluruhan kasus. Selain itu jamur oportunistik, virus,

(Dengue dan Herpes) atau protozoa (Falciparum malariae) dilaporkan dapat

menyebabkan sepsis walaupun jarang.14

Patofisiologi

31

Page 32: Case Anestesi Fatma Ok

1. Mekanisme Host Untuk Mengenali mikroba

Kemampuan untuk mengenali berbagai mikroba mungkin mempengaruhi

potensi dari pertahanan host dan pathogenesis sepsis. Kebanyakan bakteri aerob

dan gram negative anaerob memicu severe sepsis dan syok (termasuk E.coli,

Klebsiella, Enterobakter). Ketika mereka menginvasi host sering melewati barier

epitel, infeksi biasanya di jaringan subepitelial. Jika terjadi bakterimia, selalu

intermiten dan low-grade, dimana bakteri ini dihilangkan dari aliran darah oleh

sel kupffer dan makrofag limfa. Sehingga akan menimbulkan terjadinya sepsis

dengan memicu terjadinya peradangan lokal daripada beredar didalam aliran

darah.15

2. Respon lokal dan sistemik host dalam menginvasi mikroba

Pengenalan mikroba oleh fagosit jaringan memicu produksi dan atau

pelepasan berbagai molekul host (sitokin, kemokin, prostanoid, leukotrien, dan

yang lainnya) yang akan terjadi peningkatan aliran darah ke jaringan yang

terinfeksi, peningkatan permeabilitas dari pembuluh darah lokal, banyaknya

neutrofil yang dating ke tempat infeksi, dan peningkatan nyeri. Fenomena ini

merupakan elemen dari terjadinya peradangan lokal, pertahanan awal tubuh

untuk mengeliminasi mikroba.15

Respon sistemik diaktifasi oleh neural dan humoral dengan hypothalamus

dan batang otak, respon ini akan meningkatkan pertahanan lokal dengan

meningkatkan aliran darah ke area yang terinfeksi, peningkatan jumlah neutrofil

di sirkulasi, dan meningkatnya jumlah molekul di darah yang mempunyai fungsi

anti infeksi.15

Sitokin dan mediator lain

Respon tubuh terhadap suatu pathogen melibatkan berbagai macam

komponen sistem imun dan berbagai macam sitokin baik itu yang bersifat

proinflamasi dan antiinflamasi. Yang termasuk sitokin proinflamasi adalah TNF,

IL-1, interferon yang bekerja membantu sel untuk menghancurkan

mikroorganisme yang menginfeksi. Termasuk sitokin antiinflamasi adalah

interleukin 1 reseptor antagonis, IL-4, IL-10 yang bertugas untuk memodulasi,

koordinasi atau represi terhadap respon yang berlebihan. Karena

ketidakseimbangan antara proinflamasi dan inflamasi akan menimbulkan

kerugian bagi tubuh. IL-6 adalah sitokin yang merupakan respon fase akut yang

dapat sebagai sitokin pro-inflamasi karena IL-6 dihasilkan oleh makrofag yang

32

Page 33: Case Anestesi Fatma Ok

teraktivasi dan dilain pihak sebagai sitokin anti-inflamatori karena juga

dihasilkan dari sel Th2 yang teraktifasi.15

Seperti yang telah dijelaskan di keterangan sebelumnya, maka limfosit T

akan mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai imunomodulator

yaitu: IFN-γ, IL-2, dan granulocyte macrophage colony stimulating factor (GM-

CSF). Sedangkan limfosit Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10.

IFN-γ merangsang makrofag mengeluarkan IL-1β dan TNF-α, kesemuanya ini

merupakan sitokin proinflamatori, sehingga akan terjadi peningkatan pada

keadaan sepsis. IL-2 dan TNF-α selain merupakan reaksi terhadap sepsis dapat

pula merusakkan endotel pembuluh darah yang mekanisme nya sampai saat ini

belum jelas. IL-1β sebagai imuno regulator utama juga mempunyai efek pada sel

endothelial termasuk didalamnya pembentukkan prostaglandin E2 dan

merangsang ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1). Dengan

adanya ICAM-1 menyebabkan neutrofil yang telah tersensitasi oleh GM-CSF

akan mudah mengadakan adhesi.15

Interaksi endotel dengan neutrofil terdiri atas tiga langkah yaitu:

1. Bergulirnya neutrofil, P dan E-selektin yang dikeluarkan oleh endotel dan

L-selektin neutrofil dalam mengikat ligan respektif.

2. Merupakan langkah yang sangat penting, adhesi dan aktivasi neutrofil

yang mengikat intergretin CD-11 atau CD-18, yang melekatkan neutrofil

pada endotel dengan molekul adhesi (ICAM) yang dihasilkan oleh

endotel.

3. Transmigrasi neutrofil menembus dinding endotel.

Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisosim yang

akan menyebabkan dinding endotel lisis, akibatnya endotel terbuka. Neutrofil

juga membawa superoksidan yang termasuk dalam radikal bebas yang akan

mempengaruhi oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMPs. Akibat proses

tersebut endotel menjadi nekrosis, sehingga terjadi kerusakan endotel pembuluh

darah dan terjadi gangguan vaskuler (vascular leak) sehingga menyebabkan

kerusakan organ multipel.15

Diagnosa

33

Page 34: Case Anestesi Fatma Ok

Diagnosis sepsis meliputi riwayat medis yang cermat, manifestasi klinis,

pemeriksaan fisik, uji laboratorium yang sesuai, dan tindak lanjut status

hemodinamik.

Manifestasi klinis

Manifestasi klinis sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya didahului oleh

tanda – tanda sepsis non spesifik, meliputi demam, menggigil, dan gejala

konstitusi seperti lelah, malaise, gelisah atau kebingungan. Gejala tersebut tidak

khusus untuk infeksi dan dapat dijumpai pada banyak macam kondisi inflamasi

non infeksius. Manifestasi respons septik biasanya tumpang tindih atau

memperkuat gejala dan tanda penyakit penyebab dan infeksi primernya. Rata –

rata perkembangan gejala dan tanda berbeda dari satu pasien dengan pasien lain

dan bervariasi dalam tampilan klinis. Sebagai contoh, beberapa pasien sepsis

normo- atau hipotermi; tidak demam pada neonatus, pada pasien yang lebih tua,

dan pada orang dengan uremia atau alkoholik. Gejala sepsis tersebut akan

menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, dan

gagal organ utama. Sumber infeksi merupakan determinan penting untuk

terjadinya berat dan tidaknya gejala – gejala sepsis.15

Hiperventilasi adalah tanda yang paling sering dan awal. Disorientasi,

gelisah, dan manifestasi lain dari ensefalopati bisa juga terjadi pada respons

septik awal, terutama pada yang lebih tua dan pasien yang memiliki gangguan

neurologi sebelumnya.15

Banyak jaringan yang tidak dapat mengekstraksi oksigen dari darah

dengan normal, sehingga terjadi metabolisme anaerob. Kadar laktat darah

meningkat awalnya, karena peningkatan glikolisis dengan gangguan klirens

laktat dan piruvat oleh hati dan ginjal. Karena hipoperfusi, jaringan hipoksia

menghasilkan banyak asam laktat, berperan dalam asidosis metabolik. Kadar

gula darah sering meningkat, terutama pada pasien dengan diabetes, meskipun

gangguan glukoneogenesis dan pelepasan insulin berlebihan menyebabkan

hipoglikemia.15

Kriteria Sepsis adalah Systemic Inflammatory Response Syndrome

(SIRS) ditambah dugaan infeksi atau terbukti adanya infeksi. SIRS adalah pasien

yang memiliki dua atau lebih kriteria berikut:

1. Demam (temperatur oral > 38º C) atau hipotermi (< 36º C)

2. Takipneu (> 24 kali/ menit)

34

Page 35: Case Anestesi Fatma Ok

3. Takikardi (denyut jantung > 90 kali/ menit)

4. Leukositosis (>12.000/ mm3), leucopenia (< 4.000/ mm3), atau > 10% sel

imatur (band)

Sedangkan disebut sepsis berat jika sepsis dengan satu atau lebih disfungsi

organ, contohnya:14

1. Kardiovaskular

Tekanan darah sistolik arteri ≤ 90 mmHg atau Mean Arterial Pressure

(MAP) ≤ 70 mmHg yang respon pada cairan intravena.

2. Ginjal

Urine output < 0,5 cc/ kg BB/ jam selama 1 jam meskipun sudah

resusitasi cairan adekuat.

3. Respirasi

PaOa/FIO2 ≤ 250, atau jika hanya paru – paru disfungsi ≤ 200

4. Hematologi

Jumlah platelet < 80.000/ µL atau menurun 50 % dari nilai tertinggi pada

3 hari sebelumnya.

5. Asidosis metabolik yang tidak terjelaskan

pH ≤ 7,3 atau base deficit ≥ 5,0 mEq/L dan kadar laktat plasma > 1,5 kali

di atas batas atau nilai normal

6. Resusitasi cairan adekuat

Tekanan arteri paru ≥ 12 mmHg atau tekanan vena sentral ≥ 8 mmHg.

Sedangkan disebut syok septik apabila sepsis dengan hipotensi (tekanan

darah arteri < 90 mmHg sistolik, atau 40 mmHg kurang dari tekanan darah

normal) selama paling sedikit 1 jam meskipun resusitasi cairan adekuat; atau

membutuhkan vasopresor untuk menjaga tekanan darah sistolik ≥ 90 mmHg atau

MAP ≥ 70 mmHg.14

Data laboratorium

Uji laboratorium meliputi Complete Blood Count (CBC) dengan hitung

diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi, glukosa, urea darah, nitrogen,

kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah arteri,

elektrokardiogram, dan foto toraks. Biakan darah, sputum, urin, dan tempat lain

yang terinfeksi harus dilakukan. Lakukan pewarnaan Gram di tempat yang

biasanya steril (darah, CSF, cairan artikular, ruang pleura) dengan aspirasi.

Minimal dua sampel biakan darah harus diambil dalam periode 24 jam. Jka terapi

35

Page 36: Case Anestesi Fatma Ok

antibiotik sudah dimulai, beberapa macam antibiotik dapat dideaktivasi di

laboratorium klinis.15

Tergantung pada status klinis pasien dan resiko – resiko terkait, pemeriksaan

dapat juga menggunakan foto abdomen, CT Scan, MRI, ekokardiografi, dan/atau

lumbal pungsi.15

Pada sepsis awal, hasil laboratorium yang dapat dijumpai adalah

leukositosis, trombositopenia, hiperbilirubinemia, dan proteinuria. Dapat terjadi

leucopenia. Neutrofil mengandung granulasi toksik, badan Dohle, atau vakuola

sitoplasma. Hiperventilasi menimbulkan alkalosis respiratori. Penderita diabetes

dapat mengalami hiperglikemia. Lipid serum meningkat.

Selanjutnya, trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu

trobin, penurunan fibrinogen, dan keberadaan D- dimer yang menunjukkan DIC

(Disseminated Intravascular Coagulation). Azotemia dan hiperbilirubinemia

lebih dominan. Aminotransferase (enzim liver) meningkat. Bila otot pernapasan

lelah, tejadi akumulasi laktat serum. Hiperglikemia diabetic dapat menimbulkan

ketoasidosis yang memperburuk hipotensi.15

Terapi

Tiga prioritas utama dalam terapi sepsis, yaitu :16

1. Stabilisasi Pasien Langsung

Masalah mendesak yang dihadapi pasien dengan sepsis berat adalah

pemulihan abnormalitas yang membahayakan jiwa (ABC :airway, breathing,

circulation). Pemberian resusitasi awal sangat penting pada penderita sepsis,

dapat diberikan kristaloid atau koloid untuk mempertahankan stabilitas

hemodinamik. Perubahan status mental atau penurunan tingkat kesadaran akibat

sepsis memerlukan perlindungan langsung terhadap jalan nafas pasien. Intubasi

diperlukan juga untuk memberikan kadar oksigen lebih tinggi. Ventilasi mekanis

dapat membantu menurunkan konsumsi oksigen oleh otot pernafasan dan

peningkatan ketersediaan oksigen untuk jaringan lain. Peredaran darah terancam,

dan penurunan bermakna pada tekanan darah memerlukan terapi empirik

gabungan yang agresif dengan cairan (ditambah kristaloid atau koloid) dan

inotrop / vasopresor (dopamin, dobutamin, fenilefrin, epinefrin atau

norepinefrin). Pada sepsis berat diperlukan pemantauan peredaran darah. CVP 8

– 12 mmHg; Mean arterial pressure ≥ 65 mmHg; urine output ≥ 0.5 ml/kg/jam;

36

Page 37: Case Anestesi Fatma Ok

Central venous (superior vena cava) oxygen saturation ≥ 70% atau mixed venous

≥ 65%.

Pasien dengan sepsis berat harus dimasukkan dalam ICU. Tanda vita

pasien (tekanan darah, denyut jantung, laju nafas, dan suhu badan) harus

dipantau. Frekuensinya tergantung pada berat sepsis. Pertahankan curah jantung

dan ventilasi yang memadai dengan obat. Pertimbangkan dialisis untuk

membantu fungsi ginjal. Pertahankan tekanan darah arteri pada pasien hipotensif

dengan obat vasoaktif, misal dopamin, dobutamin atau norepinefrin.

2. Pemberian Antibiotik yang Adekuat

Agen antimikrobial tertentu dapat memperburuk keadaan pasien. Diyakini

bahwa antimikrobial tertentu menyebabkan pelepasan lebih banyak LPS

sehingga menimbulkan lebih banyak masalah bagi pasien. Antimikrobial yang

tidak menyebabkan pasien memburuk adalah : karbapenem, seftriakson, sefepim,

glikopeptida, aminoglikosida dan quinolon.

Perlu segera diberikan terapi empirik dengan antimikrobial, artinya bahwa

diberikan antibiotika sebelum hasil kultur dan sensitivitas tes terhadap kuman

didapatkan. Pemberian antimikrobial secara dini diketahui menurunkan

perkembangan syok dan angka mortalitas. Setelah hasil kultus dan sensitivitas

didapatkan maka terapi empirik diubah menjadi terapi rasional sesuai dengan

hasil kultur dan sensitivitas, pengobatan tersebut akan mengurangi jumlah

antibiotika yang diberikan sebelumnya (dieskalasi). Diperlukan regimen

antimikrobial dengan spektrum aktivitas luas sesuai dengan hasil kultur. Hal ini

karena terapi antimikrobial hampir selalu diberikan sebelum organisme yang

menyebabkan sepsis diidentifikasi.

Obat yang digunakan tergantung sumber sepsis.

1. Untuk pneumonia dapatn komunitas biasanya digunakan 2 regimen

obat. Biasanya sefalosporin generasi ketiga (seftriakson) atau keempat

(sefepim) diberikan dengan aminoglikosida (biasanya gentamisin).

2. Pneumonia nosokomial : sefipim atau iminem – silastatin dan

aminoglikosida.

3. Infeksi abdomen : imipenem – silastatin atau pipersilin – tazobaktam

dan aminoglikosida.

4. Infeksi abdomen nosokomial : imipenem – silastatin dan

aminoglikosida atau pipersilin – tazobaktam dan amfoterisin B.

37

Page 38: Case Anestesi Fatma Ok

5. Kulit / jaringan lunak : vankomisin dan imipenem – silastatin atau

pipersilin – tazobaktam.

6. Kulit / jaringan lunak nosokomial : vankomisin dan sefipim.

7. Infeksi traktus urinaris : siprofloksasin dan aminoglikosida.

8. Infeksi traktus urinaris nosokomial : vankomisin dan sefipim.

9. Infeksi CNS : vankomisin dan sefalosporin generasi ketiga atau

meropenem.

10. Infeksi CNS nosokomial : meropenem dan vankomisin.

Regimen obat tunggal biasanya hanya diindikasikan bila organisme

penyebab sepsis telah diidentifikasi dan uji sensitivitas antibiotik menunjukkan

macan antimikrobial yang terhadapnya organisme memiliki sensitivitas.

3. Fokus infeksi awal harus dieliminasi

Hilangkan benda asing. Salurkan eksudat purulen, khususnya untuk infeksi

anaerobik. Angkat organ yang terinfeksi, hilangkan atau potong jaringan yang

gangren.1

4. Pemberian nutrisi yang adekuat

Pemberian nutrisi merupakan terapi tambahan yang sangat penting berupa

makro dan mikronutrient. Makronutrient terdiri dari omega 3 dan golongan

nukleotida yaitu glutamin, sedangkan mikronutrient berupa vitamin dan trace

element.1

5. Terapi Suportif

Eli Lily dan Company mengumumkan bahwa hasil uji klinis phase III

menunjukkan drotrecogin alfa (protein C teraktifkan rekombinan, Zovant)

menurunkan resiko relatif kematian akibat sepsis dengan disfungsi organ akut

terkait (dikenal dengan sepsis berat) sebesar 19,4 persen. Zovant merupakan

antikoagulan.1

Early Goal Directed Therapy (EGDT)

Rivers (2001), dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa metode

resusitasi yang berorientasi pada perbaikan oksigenasi jaringan sebagai tujuan

akhir (end point) di unit gawat darurat, telah berhasil menurunkan angka

mortalitas syok sepsis menjadi 16%. Resusita yang dikembangkan oleh Rivers

dkk ini lebih kita kenal dengan metode resusitasi Early Goal Directed Therapy

(EGDT). Kelompok studi The Surviving Sepsis Compaign (SSC) sejak tahun

38

Page 39: Case Anestesi Fatma Ok

2003 telah mengembangkan pedoman pengelolaan pasien dengan sepsis dalam

bentuk rekomendasi. Pada edisi revisi tahun 2008 kelompok studi sepsis ini

merekomendasikan EGDT sebagai metode resusitasi pasien dengan sepsis berat

dan syok sepsis 6 jam pertama pasien datang. Penilaian awal hemodinamik pada

temuan pemeriksaan klinis, tanda vital, central venous pressure /CVP, dan

jumlah urin (urinary output) gagal mendeteksi keadaan hipoksia jaringan

sistemik. Strategi resusitasi definitif yang berorientasi sasaran (Goal Directed

Therapy) dengan memanipulasi cardiac preload, afterload, dan kontraktilitas

untuk mencapai keseimbangan systemic oxygen delivery/DO2 dan kebutuhan

oksigen (oxygen demand). Hasil akhir yang diharapkan adalah tercapainya nilai

normal dari saturasi oksigen vena sentral (central venous oxygen

saturation/ScvO2.), konsentrasi laktat, base deficit, dan pH. Saturasi oksigen vena

sentral adalah petunjuk yang mewakili nilai kardiak indeks yang merupakan

target terapi homodinamik. Pada beberapa kasus pemasangan kateter arteri

pulmonalis (pulmonary-artery catheter) dinilai tidak praktis, pengukuran saturasi

oksigen vena (venous oxygen saturation) dapat diukur di sirkulasi sentral.

Dalam perkembangannya protokol untuk penatalaksanaan sepsis berat

dan syok sepsis pemeriksaan nilai serum laktat sebaiknya dilakukan sesegera

mungkin setelah pasien masuk ke IGD walau pun pada pasien tidak dijumpai

adanya hipotensi, peningkatan nilai serum laktat ≥ 4 mmol/L merupakan indikasi

terjadinya hipoksia dan perlu tindakan EGDT segera untuk optimalisasi pasien.

39

Page 40: Case Anestesi Fatma Ok

Gambar 2. Resusitasi metode Early Goal Directed Therapy (EGDT)17

Komplikasi

a. Komplikasi Cardiopulmonary

Mismatching ventilasi-perfusi menghasilkan penurunan PO2 arteri di

awal perjalanan penyakit. Peningkatan permeabilitas alveolar kapiler

menghasilkan peningkatan kadar air paru, yang menurunkan kemampuan paru

dan mengganggu pertukaran oksigen. Infiltrat paru difus progresif dan

hipoksemia arteri (pao2 / Fio, <200) menunjukkan berkembangnya sindrom

gangguan pernapasan akut (ARDS). ARDS berkembang pada 50% dari pasien

dengan sepsis berat atau syok septik. Kegagalan otot pernafasan bisa

memperburuk hipoksemia dan hypercapnia. Sebuah peninggian tekanan baji

kapiler paru (> 18 mmhg) lebih menunjukkan overload volume cairan atau gagal

40

Page 41: Case Anestesi Fatma Ok

jantung daripada ARDS. Pneumonia disebabkan oleh virus atau oleh

Pneumocystis mungkin secara klinis tidak dapat dibedakan dari ARDS. Sepsis

hipotensi-induced biasanya hasil dari maldistribution umum aliran darah dan

volume darah serta dari hipovolemia yang jatuh tempo, setidaknya sebagian,

kebocoran cairan kapiler intravaskuler. Faktor lain yang dapat menurunkan

volume intravaskuler efektif termasuk dehidrasi dari penyakit terdahulu atau

kerugian cairan yang tidak disadari, muntah atau diare, dan poliuria.15

Selama awal syok septik, resistensi vaskuler sistemik biasanya meningkat

dan output jantung mungkin rendah. Setelah pemenuhan cairan, sebaliknya,

output jantung biasanya meningkat dan resistensi pembuluh darah sistemik

menurun. Output jantung yang normal atau meningkat dan penurunan resistensi

pembuluh darah sistemik membedakan dari syok kardiogenik, obstruktif

extracardiac, dan hipovolemik shock, proses-proses lain yang dapat

menghasilkan kombinasi ini termasuk anafilaksis, beriberi, sirosis, dan overdosis

dari nitroprusside atau narkotika.

Depresi fungsi miokard, dinyatakan sebagai peningkatan volume

ventricular end diastolic dan sistolik dengan penurunan fraksi ejeksi, berkembang

dalam waktu 24 jam pada kebanyakan pasien dengan sepsis berat. Cardiac

output dipenuhi, terlepas dari fraksi ejeksi rendah, karena

dilatasi ventrikel memungkinkan volume normal stroke. Pada penderita, fungsi

miokard kembali normal selama beberapa hari. Meskipun disfungsi miokard

dapat berkontribusi terhadap hipotensi, hipotensi refractory biasanya karena

resistensi pembuluh darah sistemik yang rendah, dan kematian hasil dari shock

refraktori atau kegagalan organ multiple bukan dari disfungsi jantung.

b. Komplikasi ginjal

Oliguria, azotemia, proteinuria, dan cast kemih nonspesifik sering ditemukan.

Banyak pasien yang dengan polyuria tidak sesuai ; hiperglikemia dapat

memperburuk kecenderungan ini. Kebanyakan kegagalan ginjal adalah karena

nekrosis tubular akut yang disebabkan oleh hipotensi atau cedera kapiler,

meskipun beberapa pasien juga memiliki glomerulonefritis, nekrosis korteks

ginjal, atau nefritis interstisial. Kerusakan ginjal drug-induced mungkin

mempersulit terapi, khususnya pasien ketika hipotensi diberikan antibiotik

aminoglikosida.

41

Page 42: Case Anestesi Fatma Ok

c. Koagulasi

Meskipun trombositopenia terjadi dalam 10 sampai 30% dari pasien, mekanisme

yang mendasari tidak dipahami. Trombosit biasanya sangat rendah (<50.000 / µl)

pada pasien dengan DIC; jumlah ini rendah mungkin mencerminkan cedera

endotel menyebar atau trombosis mikrovaskuler.

d. Komplikasi neurologis

Ketika sepsis berlangsung selama berminggu-minggu sampai bulan, "krisis-

penyakit" polineuropati dapat menghambat dukungan ventilasi dan menghasilkan

kelemahan motorik distal.

Prognosis

Setidaknya 20-35% pasien dengan sepsis berat dan 40 sampai 60% dari

pasien dengan syok septik meninggal dalam waktu 30 hari. Kematian lainnya

dalam 6 bulan berikutnya. Kematian pada akhirnya sering disebabkan infeksi

yang kurang dikendalikan, komplikasi dari perawatan intensif, kegagalan dari

beberapa organ, atau penyakit yang mendasari pasien. Sistem stratifikasi

prognosis seperti APACHE II menunjukkan bahwa faktor dalam usia pasien,

kondisi yang mendasari, dan berbagai variabel fisiologis dapat menghasilkan

perkiraan resiko kematian dari sepsis berat. Dari kovariat individu, tingkat

keparahan dari penyakit yang mendasari paling kuat mempengaruhi risiko

kematian. Syok septik juga predileksi mortalitas jangka pendek dan jangka

panjang yang kuat.

42

Page 43: Case Anestesi Fatma Ok

BAB V

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Ilmu Penyakit

Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing, 2009. p. 1630-3

2. Silbernagl S, Lang F. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta:

EGC, 2006.

3. Sherwood L. fisiologi manusia dari sel ke sistem. 2nd ed. Jakarta: EGC,

2001. p. 337

4. Mangku G, Senapathi T. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi.

Jakarta: Indeks, 2009. p. 24-46

5. Said Latief, Kartini A. Suryadi, M. Ruswan. Petunjuk Praktis

Anestesiologi. Edisi 2. Bagian Aanastesiologi dan Terapi Intensif FK UI;

2001

6. Morgan, G. Edward. 2005. Clinical Anesthesiology, 4th Edition. Mc

Graw-Hill Companies, Inc. United State

7. Scheer B, Perel A, Pfeiffer UJ. Clinical review: complications and risk

factors of peripheral arterial catheters used for haemodynamic monitoring

in anaesthesia and intensive care medicine. Crit Care. Jun 2002;6(3):199-

204.

8. Milzma D, Janchar T. Arterial puncture and cannulation. In: Roberts JR,

Hedges JR. Clinical Procedures in Emergency Medicine. 4th.

Philidelphia: W.B. Saunders; 2004:384-400.

9. Moore KL, Agur AMR. 2008, Anatomi Klinik Dasar, Penerbit EGC,

Jakarta. P. 80-90

10. American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support Untuk

Dokter Edisi 7. Jakarta: IKABI. 2004, Bab 5; Trauma Abdomen.

11. Ahmadsyah, I. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara

Publisher, 2009, Bab 2; Digestive.

43

Page 44: Case Anestesi Fatma Ok

12. Stacey R, Keith B, Luca B. Hemodinamic management in: Critical care

hand booj of Massachusetts General Hospital fourth ed. FCCS third ed.

Society of critical care medicine .USA 2002

13. Marino PL. The little ICU Book of fact and formula. Lippincott Williams

Wilkins, a Wolters Kluwer. 2009;97-171

14. Levy MM, Fink MP, Marshall JC, et al: 2001

SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis Definitions

Conference. Crit Care Med 2003; 31:1250–1256.

15. Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of

Severe Sepsis and Septic Shock: 2012. Februari 2013. Volume 41.

Number 2.

16. Cinel I, Dellinger RP: Current treatment of severe sepsis. Curr Infect Dis

Rep 2006; 8:358–365

17. Osbom MT. Early goal directed therapy in severe septic shock revisited.

Chest 2006; 130: 1579-95

44