23 anestesi pada pasien-pasien dengan penyakit saluran nafas ok

37
BAB 23 ANESTESI PADA PASIEN-PASIEN DENGAN PENYAKIT SALURAN NAFAS Morgan GE; 2006 Konsep-Konsep Kunci Pada pasien yang mengalami serangan asma akut, PaCO2 yang normal atau tinggi menunjukkan bahwa pasien tidak dapat mempertahankan work of breathing dan hal ini biasanya merupakan suatu tanda adanya ancaman gagal nafas. Pulsus paradoksus dan elektrokardiogram yang menggambarkan ventrikel kanan ( perubahan segmen S-T, right-axis deviation dan Right bundle Branch Block) juga merupakan indikasi dari beberapa obstruksi jalan napas. Bila memungkinkan, pasien penderita asma dengan brankospasme aktif yang akan dibedah emergensi harus menjalani perawatan yang intensif. Oksigen tambahan, β 2 Agonis Aerosol dan glukokortikoid intravena dapat meningkatkan fungsi paru dalam beberapa jam Bronkospasme intraoperatif biasanya ditunjukkan dengan adanya mengi, peningkatan tekanan inflasi puncak (peak inflation pressures) (tekanan plato tidak berubah) penurunan volume tidal ekhalasi, atau peningkatan yang lambat dari gelombang kapnograf. Jika mengi tidak membaik setelah anastesi didalamkan, penyebab lain harus dipertimbangkan sebelum memberikan terapi lainnya. Obstruksi tube endotrakeal karena kinking, sekesi ataupun balon ETT yang terlalu dikembangkan, intubasi endobronkial, usaha ekspirasi aktif (straining) karena anestesi yang dangkal, edema atau emboli pulmonal dan pneumotoraks dapat mencetuskan bronkospame. Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 1 dari 37

Upload: dendikarmena

Post on 14-Feb-2015

155 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: 23 Anestesi Pada Pasien-Pasien Dengan Penyakit Saluran Nafas Ok

BAB 23

ANESTESI PADA PASIEN-PASIEN DENGAN PENYAKIT SALURAN NAFAS

Morgan GE; 2006

Konsep-Konsep Kunci

Pada pasien yang mengalami serangan asma akut, PaCO2 yang normal atau tinggi menunjukkan bahwa pasien tidak dapat mempertahankan work of breathing dan hal ini biasanya merupakan suatu tanda adanya ancaman gagal nafas. Pulsus paradoksus dan elektrokardiogram yang menggambarkan ventrikel kanan ( perubahan segmen S-T, right-axis deviation dan Right bundle Branch Block) juga merupakan indikasi dari beberapa obstruksi jalan napas.

Bila memungkinkan, pasien penderita asma dengan brankospasme aktif yang akan dibedah emergensi harus menjalani perawatan yang intensif. Oksigen tambahan, β2

Agonis Aerosol dan glukokortikoid intravena dapat meningkatkan fungsi paru dalam beberapa jam

Bronkospasme intraoperatif biasanya ditunjukkan dengan adanya mengi, peningkatan tekanan inflasi puncak (peak inflation pressures) (tekanan plato tidak berubah) penurunan volume tidal ekhalasi, atau peningkatan yang lambat dari gelombang kapnograf.

Jika mengi tidak membaik setelah anastesi didalamkan, penyebab lain harus dipertimbangkan sebelum memberikan terapi lainnya. Obstruksi tube endotrakeal karena kinking, sekesi ataupun balon ETT yang terlalu dikembangkan, intubasi endobronkial, usaha ekspirasi aktif (straining) karena anestesi yang dangkal, edema atau emboli pulmonal dan pneumotoraks dapat mencetuskan bronkospame.

Pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik, hipoksemia kronik dapat menyebabkan eritrositosis, hipertensi pulmonal dan gagal jantung kanan (kor pulmonal).

Terapi oksigen dapat meningkatkan PaCO2 yang membahayakan pada pasien dengan retensi CO2, peningkatan PaO2 diatas 60 mm Hg dapat mencetuskan gagal nafas pada pasien-pasien tersebut.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 1 dari 26

Page 2: 23 Anestesi Pada Pasien-Pasien Dengan Penyakit Saluran Nafas Ok

Intervensi preoperative bertujuan untuk mengoreksi hipoksmia, menghilangkan bronkospasme, memobilisasi dan mengurangi sekresi serta mengobati infeksi dapat menurunkan insidensi komplikasi pulmonal pasca operasi pada pasien penyakit paru obstruktif kronik. Pasien yang memiliki risiko tertinggi mengalami komplikasi adalah pasien penyakit paru obstruktif kronik dengan tes fungsi paru yang kurang dari 50 % nilai prediksi

Patients dengan bullae diparu, sangat beresiko untuk terjadinya pneumothorak intraoperatif, terutama jika diberi ventilasi dengan tekanan positif

pada penyakit paru restriktif yang ditandai dengan penurunan komplain paru. olume paru berkurang dengan cadangan laju ekpirasi yang normal. Volume ekspirasi paksa 1 detik (FEV1) dan kapasitas vital paksa (FVC) menurun, namun perbandingan FEV1/FVC normal.

Emboli pulmonal intraoperatif biasanya ditandai dengan hipotensi yang terjadi tiba-tiba tanpa penyebab yang jelas, hipoksemia atau bronkospasme. Penurunan konsentrasi End-tidal CO2 biasanya merupakan penyebab yang paling mungkin namun tidak spesifik

PENGANTAR

Dampak dari penyakit paru yang telah ada sebelumnya selama periode anestesi dan pasca operasi dapat diperkirakan. Gangguan pulmonal preoperatif berat berhubungan dengan perubahan fungsi respirasi intraoperatif yang nyata dan komplikasi pulmonal pasca operasi yang tinggi. Kegagalan untuk mengenali pasien-pasien dengan risiko tinggi adalah penyebab utama dari timbulnya komplikasi tersebut. Bab ini membahas tentang risiko pulmonal secara umum kemudian meninjau pendekatan anestetik pada pasen-pasien dengan penyakit-penyakit paru yang umum.

FAKTOR-FAKTOR RISIKO PULMONAL

Disfungsi paru adalah komplikasi pasca operasi yang umum terjadi Insidensi atelektasis, pneumonia, emboli pulmonal dan gagal nafas setelah tindakan pembedahan sangat beragam ( 6% sampai 60%) tergantung populasi pasien yang dikaji dan prosedur pembedahan yang dilakukan. Ada enam faktor risiko yang secara umum menyebabkan hal tersebut (table 23-1). Dengan pengecualian daerah operasi dan lamanya waktu pembedahan, sebagian besar faktor-faktor tersebut berhubungan

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 2 dari 26

Page 3: 23 Anestesi Pada Pasien-Pasien Dengan Penyakit Saluran Nafas Ok

dengan disfungsi pulmonal preoperatif. Dua prediktor yang paling kuat dari timbulnya komplikasi ini adalah daerah operasi dan riwayat dispnea , yang berhubungan dengan derajat penyakit pulmonal yang telah ada sebelumnya. Faktor lainnya adalah lama operasi.

Hubungan antara merokok dan penyakit paru telah lama diketahui, abnormalitas pada laju aliran mid ekspiratori maksimal (MMEF) biasanya tampak jelas sebelum gejala PPOK muncul. Bahkan pada individu yang normal, pertambahan usia berhubungan dengan prevalensi penyakit pulmonal dan peningkatan closing capacity. Obesitas menurunkan kapasitas residual fungsional (FRC), meningkatkan work of breathing dan merupakan predisposisi timbulnya trombosis vena dalam (DVT).

Tabel 23-1 Faktor Risiko Komplikasi Pulmonal Pasca Operasi

Penyakit paru yang diderita sebelumnyaPembedahan di toraks atau abdomen bagian atasMerokokObesitasUsia (>60 tahun)Tindakan anestesi yang lama (> 3 jam)

Prosedur pembedahan toraks dan abdominal bagian atas memiliki efek terhadap fungsi pulmonal. Operasi di daerah dekat diafragma dapat menyebabkan disfungsi diafragma dan defek ventilasi restriktif (lihat di bawah). Pembedahan di abdomen bagian atas secara konsisten menurunkan FRC (60-70%); Efek ini terjadi terutama pada hari pertama pasca operasi dan biasanya berlangsung 7-10 hari. Insisi vertikal menyebabkan ganggguan yang lebih berat daripada insisi horizontal. Pernafasan yang cepat dan dalam dengan batuk yang tidak efektif disebabkan oleh nyeri (splinting), penurunan kemampuan untuk nafas panjang dan gangguan klirens mukosiliari menyebabkan mikroatelektasis dan hilangnya volume paru. Shunt (pintasan) aliran darah menyebabkan hipoksemia (lihat bab 22). Efek sisa anestetik, posisi telentang, sedasi opioid, distensi abdomen dan kain penutup daerah operasi yang terlalu ketat dapat juga menyebabkan hal tersebut. Hilangnya rasa nyeri yang komplit pada anestesi regional dapat mengurangi hipoksemia namun tidak dapat mengembalikan abnormalitas tersebut sepenuhnya. Mikroatelektasis persisten dan retensi sekresi dapat menyebebkan timbulnya pneumonia pasca operasi.

Walaupun disebutkan berbagai efek samping yang terjadi pada fungsi pulmonal akibat pemberian anestesi umum (lihat bab 22), keunggulan anestesi regional dibandingkan anestesi umum pada pasien dengan gangguan fungsi paru masih belum diketahui.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 3 dari 26

Page 4: 23 Anestesi Pada Pasien-Pasien Dengan Penyakit Saluran Nafas Ok

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF

Penyakit paru obstruktif adalah bentuk yang umum dari disfungsi pulmonal. Penyakit ini antara lain asma, emfisema, bronkitis kronis, fibrosis kistik bronkiektasis dan bronkiolitis. Pokok permasalahan dari penyakit-penyakit di atas adalah resistensi aliran udara. Secara karakteristik, FEV1 maupun rasio FEV1/FVC kurang dari 70% dari nilai prediksi. Nilai MMEF < 70% (Aliran ekspirasi paksa [FEF25-75%]; lihat bab 22) merupakan satu-satunya abnormalitas yang ditemukan secara dini pada kelainan ini. Nilai normal untuk[FEF25-75%] pada laki-laki dewasa >2.0 dan wanita dewasa > 1.6 L/detik.

Peningkatan resistensi jalan nafas dan udara yang terperangkap meningkatkan work of breathing; pertukaran gas respirasi terganggu karena gangguan keseimbangan ventilasi dan perfusi (V/Q) Adanya resistensi aliran udara ekspirasi menyebabkan udara terperangkap (air-trapping) sementara volume residual dan kapasitas total paru (TLC) meningkat. Mengi merupakan gejala yang umum ditemukan dan menggambarkan turbulensi aliran udara. Namun gejala ini sering tidak tampak pada obstruksi ringan dan hanya berupa ekshalasi yang memanjang. Obstruksi progresif pada awalnya hanya berupa mengi dan berkembang menjadi mengi saat inspirasi dan ekspirasi. Pada obstruksi yang nyata, mengi bisa saja tidak ada saat aliran udara hampir terhenti.

ASMA

Pertimbangan-pertimbangan Preoperatif

Asma adalah gangguan yang umum ditemukan pada 5-7 % populasi. Pokok permasalahan dari gannguan ini adalah inflamasi jalan nafas (bronkiolar) dan hipereaktifitas respons terhadap berbagai stimuli. Secara klinis asma termanifes sebagai serangan dispnea, batuk dan mengi yang episodik. Obstruksi jalan nafas yang biasanya reversibel akibat konstriksi otot polos bronchial, edema dan sekresi yang meningkat. Secara klasik obstruksi dipresipitasi oleh berbagai substansi yang terdapat di udara (airborne) termasuk serbuk tumbuhan, bulu binatang, debu, polutan dan berbagai zat kimia. Beberapa pasien juga mengalami bronkospasme setelah meminum aspirin, obat anti inflamasi non steroid, obat yang mengandung preparat sulfit atau tartrazin dan zat pewarna lainnya. Olahraga, cetusan emosional dan infeksi virus dapat mempresipitasi bronkospasme pada banyak pasien

Istilah asma ekstrinsik (alergik) (serangan berhubungan dengan paparan lingkungan) dan asma instrinsik (idiosinkratik) (serangan biasanya terjadi tanpa provokasi) digunakan di masa lalu namun klasifikasi tersebut tidak sempurna, beberapa pasien menunjukkan gambaran dari kedua bentuk asma tersebut. Di samping itu, tumpang tindih istilah dengan bronkitis kronis juga terjadi. Saat ini asma diklasifikasikan sebagai asma akut dan kronik. Asma kronik dibagi lagi menjadi asma ringan, intermitten dan ringan, asma sedang serta asma berat persisten.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 4 dari 26

Page 5: 23 Anestesi Pada Pasien-Pasien Dengan Penyakit Saluran Nafas Ok

A. PATOFISIOLOGI

Patofisiologi asma melibatkan pelepasan berbagai mediator kimia lokal di jalan nafas, dan aktivitas yang berlebihan dari sistem saraf parasimpatis. Substansi yang terinhalasi dapat mencetuskan bronkospasme melalui mekanisme imun spesifik dan non spesifik dengan degranulasi sel mast bronkial. Pada asma alergik klasik, antigen akan berikatan dengan IgE pada permukaan sel mast menyebabkan degranulasi; Bronkokonstriksi terjadi akibat pelepasan histamin, bradikinin, leukotrien C,D,E, Platelet Activating Factor, prostaglandin (PG)PGE2, PGE2α, dan PGD2, netrofil dan eosinofil chemotactic factor. Peran serotonin, suatu bronkokonstriktor yang poten tidak diketahui dengan pasti pada manusia. Sistem saraf parasimpatis mempunyai peranan penting dalam mempertahankan tonus bronchial yang normal (lihat bab 22). Variasi diurnal tonus yang normal ditandai dengan resisensi jalan nafas puncak yang terjadi pada pukul 6 pagi. Vagal afferent pada bronkus sensitive terhadap histamin dan berbagai stimulus noksius termasuk air dingin, iritan yang terinhalasi dan instrumentasi (Contoh intubasi endotrakeal). Aktivasi refleks vagal menyebabkan bronkokonstriksi yang diperantarai siklik GMP intraseluler yang meningkat.

Selama serangan asma, bronkokonstriksi, edema mukosa dan sekresi meningkatkan resistensi terhadap aliran udara pada semua level dari jalan nafas bagian bawah. Saat serangan asma berkurang, resistensi jalan nafas kembali normal dimulai pada jalan nafas yang besar (bronkus utama, bronkus lobaris, bronkus segmental dan subsegmental) kemudian pada saluran nafas yang lebih perifer. Dengan demikian laju aliran ekspirasi menurun pada pemeriksaan FVC namun selama resolusi serangan, laju aliran ekspirasi berkurang hanya pada volume paru yang rendah. TLC, volume residual (RV) dan FRC meningkat . Pada pasien yang mengalami serangan akut, RV dan FRC meningkat lebih dari 400% dan 100%. Pemanjangan atau serangan asma berat secara nyata meningkatkan work of breathing dan dapat menyebabkan lelahnya otot-otot pernafasan Jumlah unit alveoli dengan nilai V/Q rasio yang rendah meningkat, menyebabkan hipoksemia. Takipneu terjadi karena stimulasi reseptor bronkial yang dapat menimbulkan hipokapnia. PaCO2 yang normal atau tinggi menunjukkan bahwa pasien tidak dapat mempertahankan work of breathing dan hal ini merupakan tanda adanya ancaman gagal nafas.Pulsus paradoksus dan tanda- tanda gangguan ventrikel kanan dari gambaran EKG ( perubahan S-T segmen, right axis deviation, dan RBBB juga merupakan indikasi adanya obstruksi jalan nafas yang berat.

B. TERAPI

Obat yang digunakan untuk terapi asma antara lain agonis β-adrenergik, metilxantin, glukokortikoid, antikolinergik, penghambat leukotrien dan obat stabilisasi sel mast. Umumnya obat-obat ini dapat digunakan pada terapi akut maupun kronik kecuali obat yang terakhir. Sodium kromolin dan nedokromil hanya efektif untuk mencegah bronkospasme pada pasien dengan asma ekstrinsik dan beberapa pasien dengan asma intrinsik. Walaupun memiliki efek bronkodilatasi, kedua obat tersebut menghambat degranulasi sel mast.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 5 dari 26

Page 6: 23 Anestesi Pada Pasien-Pasien Dengan Penyakit Saluran Nafas Ok

Obat-obat simpatomimetik (table 23-2) merupakan obat yang sangat berguna dan paling sering digunakan. Obat-obat tersebut menyebabkan bronkodilatasi melalui aktivitas agonis β2. Aktivasi reseptor adrenergic β2 pada otot polos bronkial menyebabkan aktivasi adenilat siklase yang menghasilkan pembentukan siklik AMP (cAMP). Obat ini biasanya diberikan melalui inhaler metered-dose atau sediaan aerosol. Penggunaan agonis β2selektif seperti terbutalin atau albuterol dapat menurunkan insidensi efek terhadap jantung yang tidak diharapkan karena aktivasi reseptor β1 namun pada dosis tinggi obat ini menjadi tidak selektif.

Table 23–2. A Comparison of Commonly Used Bronchodilators.1

AgentAdrenergic Activity

1 2

Albuterol (Ventolin) + +++

Bitolterol (Tornalate) + ++++

Epinephrine (various) ++++ ++

Fenoterol (Berotec) + +++

Formaterol (Foradil) + ++++

Isoetharine (Bronkosol) ++ +++

Isoproterenol (Isuprel) ++++ —

Metaproterenol (Alupent) + +

Pirbuterol (Maxair) + ++++

Salmeterol (Serevent) + ++++

Terbutaline (Brethaire) + +++1+ Indicates level of activity.

Metilxantin dianggap menyebabkan bronkodilatasi dengan menghambat fosfodiesterase, enzim yang berfungsi memecah cAMP. Efek terhadap pulmonal tampak lebih kompleks dan termasuk pelepasan katekolamin, penghambatan dari pelepasan histamin dan stimulasi diafragmatik.Preparat teofilin oral masa kerja panjang digunakan pada pasien dengan gejala-gejala yang timbul pada malam hari. Namun disayangkan teofilin memiliki rentang terapi yang sempit dimana kadar terapeutik dalam darah berkisar 10-20 µg/mL. Pada dosis yang rendah biasanya lebih efektif.. Aminofilin adalah satu-satunya sediaan intravena dari preparat teofilin

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 6 dari 26

Page 7: 23 Anestesi Pada Pasien-Pasien Dengan Penyakit Saluran Nafas Ok

Glukokortikoid digunakan baik untuk terapi akut dan terapi rumatan pada pasien asma karena memiliki efek anti inflamasi dan efek stabilisasi membran. Beklometason, triamsinolon, flunisolid dan budesonid adalah steroid sintetik yang umum digunakan dalam bentuk inhaler untuk terapi rumatan. Walaupun obat-obat tersebut tidak terlalu menyebabkan efek samping sistemik namun tidak seluruhnya dapat mencegah supresi adrenal. Hidrokortison intravena atau metilprednisolon digunakan pada serangan asma berat yang akut. Diikuti dengan dosis tapering yaitu prednison oral. Glukokortikoid membutuhkan waktu beberapa jam untuk mencapai efektivitasnya.

Obat antikolinergik menyebabkan bronkodilatasi melalui aksi antimuskarinik dan dapat menghambat refleks bronkokonstriksi. Ipratropium, bentuk lain dari atropin yang dapat diberikan melalui inhaler metered-dose atau aerosol adalah bronkodilator yang cukup efektif tanpa efek antikolinergik sistemik.

PERTIMBANGAN ANESTETIK

A. Penatalaksanaan Preoperatif

Titik berat dalam mengevaluasi pasien asma harus ditekankan pada penentuan saat terakhir serangan dari penyakit ini (tinjauan peak flow diary jika tersedia) dan apakah pasien dirawat di rumah sakit karena suatu serangan asma akut dan menjamin bahwa pasien sedang dalam kondisi yang optimal. Perbedaan antara tindakan anestesi pada pasien asma yang dalam waktu dekat dirawat di rumah sakit atau dengan mengi yang jelas terdengar dengan pasien asma tanpa riwayat perawatan di rumah sakit atau temuan pada pemeriksaan fisik diagnostik berpotensi untuk mencetuskan situasi yang mengancam jiwa sementara pada keadaan yang kedua tidak demikian.

Riwayat klinis pasien sangat penting diketahui. Tidak adanya dispnea , mengi atau batuk yang minimal berarti pasien dalam kondisi yang optimal. Perbaikan yang tuntas dari suatu serangan asma yang terakhir harus dipastikan dengan auskultasi dada. Pasien dengan bronkospasme yang frekuen atau kronik harus mendapatkan terapi bronkodilator yang optimal termasuk agonis adrenergik β2, glukokortikoid harus dipertimbangkan. Tes fungsi paru khusunya pengukuran laju nafas ekspirasi seperti FEV1, FEV1/FVC, laju aliran ekspirasi puncak (PEFR) harus digunakan untuk memastikan temuan klinis. Perbandingan dengan hasil pengukuran sebelumnya tidak begitu berguna. Nilai FEV1 secara normal lebih dari 3L pada laki-laki dan 2 L pada wanita. FEV1/FVC secara normal harus melebihi 70%. Nilai normal PEFR 200 L/m (biasanya > 500 L/m pada laki-laki dewasa muda) FEV1, FEV1/FVC atau PEFR kurang dari 50% merupalkan indikasi asma sedang sampai berat. Pemeriksaan foto toraks sangat berguna untuk menentukan adanya air-trapping. Adanya hiperinflasi diketahui dari diafragma yang mendatar , jantung yang terlihat mengecil dan lapangan paru yang hiperlusen.

Pasien asma dengan bronkospasme aktif yang perlu dilakukan pembedahan emergensi harus menjalani terapi intensif bila memungkinkan. Oksigen suplemen, aerosol agonis β2 dan glukokortikoid intravena dapat meningkatkan fungsi paru dalam beberapa jam. Analisis gas darah arterial mungkin berguna pada kasus yang berat.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 7 dari 26

Page 8: 23 Anestesi Pada Pasien-Pasien Dengan Penyakit Saluran Nafas Ok

Hipoksemia dan hipokapnia tipikal pada asma sedang dan berat bahkan hiperkapnia ringan merupakan indikasi adanya udara yang terperangkap dan merupakan tanda adanya ancaman gagal nafas. FEV1 di bawah 40% dari nilai normal dapat memprediksi adanya gagal nafas.

Sedasi preoperatif sangat dibutuhkan pada pasien yang akan menjalani pembedahan elektif terutama pada pasien dengan asma yang dicetuskan oleh faktor emosional. Secara umum benzodiazepin adalah obat yang paling memuaskan untuk premedikasi. Obat antikolinergik tidak biasa diberikan kecuali bila terdapat sekret yang berlebihan atau jika menggunakan ketamin untuk induksi anestesi. Pada dosis intramuskular, antikolinergik tidak efektif mencegah refleks bronkospasme setelah intubasi. Penggunaan obat penghambat H2 (seperti simetidin atau ranitidin) secara teoretis merugikan karena aktivasi reseptor H2 secara normal menyebabkan bronkodilatasi. Pada saat terjadi pelepasan histamin aktivasi H1 yang tidak dihambat dan penghambatan H2 dapat memperberat bronkokonstriksi.

Bronkodilator harus diteruskan sampai saat pembedahan agar efektivitasnya tercapai yaitu agonis β, glukokortikoid inhalasi, penghambat leukotrien, kromon, teofilin dan antikolinergik. Pasien yang mendapat terapi glukokortikoid jangka panjang harus diberikan dosis suplemen untuk menghindari supresi adrenal. Hidrokortison (50-100 mg preoperatif dan 100 mg tiap 8 jam selama 1 sampai 3 hari pasca operasi tergantung derajat stres operasi) yang paling sering digunakan.

B. Penatalaksanaan Intraoperatif

Saat yang paling kritis pada pasien asma yang diberikan tindakan anestesi adalah selama instrumentasi jalan nafas. Anestesi umum menggunakan mask atau anestesi regional dapat mengatasi hal ini namun tidak sepenuhnya menghilangkan kemungkinan timbulnya bronkospasme. Beberapa klinisi mempercayai bahwa spinal tinggi atau anestesi epidural dapat mencetuskan bronkokonstriksi dengan menghambat tonus simpatis pada jalan nafas bagian bawah (T1-T4) dan memungkinkan aktivitas parasimpatis yang tak terhambat. Nyeri, stres emosional atau stimulasi pada anestesi umum yang dangkal dapat mencetuskan bronkospasme. Obat-obat sering berhubungan dengan pelepasan histamin (contoh kurare, atrakurium, mivakurium, morfin, meperidin) harus dihindari atau diberikan secara perlahan . Tujuan dari anestesi umum adalah induksi yang lancar dan emergence (bangun dengan mudah) dengan kedalaman anestesi yang disesuaikan dengan stimulasi.

Jenis obat induksi yang dipilih tidak terlalu penting, namun pencapaian anestesi yang dalam sebelum intubasi dan stimulasi pembedahan. Tiopental paling sering digunakan pada dewasa namun kadang-kadang dapat menyebabkan bronkospasme karena peningkatan pelepasan histamin. Propofol dan etomidat adalah alternatif yang sesuai dan disukai oleh banyak klinisi. Ketamin adalah satu-satunya obat intravena dengan sifat bronkodilatasi adalah pilihan yang tepat untuk pasien-pasien asma yang secara hemodinamik tidak stabil. Ketamin tidak boleh digunakan pada pasien yang mendapat teofilin dosis tinggi dimana kombinasi kedua obat tersebut dapat mencetuskan kejang. Halotan biasanya menghasilkan

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 8 dari 26

Page 9: 23 Anestesi Pada Pasien-Pasien Dengan Penyakit Saluran Nafas Ok

induksi inhalasi yang paling baik dengan bronkodilatasi pada anak-anak penderita asma. Isofluran dan desfluran menghasilkan bronkodilatasi yang sama namun harus dinaikkan secara perlahan karena bisa memperkuat efek iritasi ringan dari obat-obat tersebut pada jalan nafas.

Refleks bronkospasme dapat dihilangkan sebelum intubasi dengan penambahan dosis tiopental (1-2 mg/kg) memberikan ventilasi dengan zat volatil, 2-3 konsentrasi minimal alveolar (MAC) selama 5 menit atau memberikan lidokain (1-2 mg/kg) intravena atau intratrakeal. Perlu diperhatikan bahwa lidokain sendiri juga dapat mencetuskan bronkospasme bila dosis tiopental yang digunakan untuk induksi tidak adekuat. Antikolinergik dosis besar (atropin 2 mg atau glikopirolat 1 mg dapat menghambat refleks bronkospasme namun dapat menyebabkan takikardi yang hebat. Walaupun suksinilkolin pada saat tertentu dapat menyebabkan pelepasan histamine namun secara umum,aman digunakan pada sebagian besar penderita asma. Bila kapnograf tidak tersedia untuk memastikan intubasi endotrakeal yang benar dilakukan dengan auskultasi dada, tetapi hal ini bias menjadi sukar dilakukan bila terjadi bronkospasme.

Anestesi volatile paling sering digunakan untuk rumatan anestesi untuk mendapatkan efek bronkodilatasi yang cukup poten. Halotan dapat mensensitisasi jantung terhadap aminofilin dan agonis β adrenergik yang diberikan selama anestesi. Karena alasan tersebut, bersamaan dengan pertimbangan bahwa halotan bersifat hepatotoksik maka penggunaannya dihindari pada pasien dewasa. Ventilasi harus dikontrol dengan gas hangat yang dilembabkan jika memungkinkan. Obstruksi aliran udara selama ekspirasi tampak pada peningkatan nilai end-tidal CO2 yang tertunda. Beratnya obstruksi berbanding terbalik dengan laju peningkatan end-tidal CO2. Bronkospasme berat dimanifestasikan dengan peningkatan tekanan inspirasi puncak dan ekshalasi inkomplit. Di masa lalu volume tidal 10-12 mL/kg dengan frekuensi ventilasi 8-10 kali/menit dinilai cukup baik. Namun akhir-akhir ini volume tidal dikurangi (≤ 10 mL/kg) dengan pemanjangan waktu ekspirasi dapat memungkinkan distribusialiran udara yang sama di kedua paru dan dapat mencegah udara terperangksp (air-trapping) PaCO2 dapat meningkat dimana hal ini masih diperbolehkan bila tidak ada kontraindikasi terhadap kardiovaskular dan neurologik.

Gambar 23-1. Kapnograf pada pasien obstruksi jalan nafas ekspiratori

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 9 dari 26

Page 10: 23 Anestesi Pada Pasien-Pasien Dengan Penyakit Saluran Nafas Ok

Bronkospasme intraoperatif biasanya ditunjukkan dengan adanya mengi, peningkatan tekanan inflasi puncak (peak inflation pressures) (tekanan plato tidak berubah, penurunan volume tidal ekhalasi, atau peningkatan yang lambat dari gelombang kapnograf. Hal ini harus diatasi dengan meningkatkan konsentrasi zat volatile (memperdalam anestetik). Jika mengi tidak membaik setelah anastesi didalamkan, penyebab lain harus dipertimbangkan sebelum memberikan terapi lainnya. Obstruksi tube endotrakeal karena kinking, sekesi ataupun balon ETT yang terlalu dikembangkan, intubasi endobronkial, usaha ekspirasi aktif (straining) karena anstesi yang dangkal,edema atau emboli pulmonal dan pneumotoraks dapat mencetuskan bronkospame

Bronkospasme harus diatasi dengan pemberian agonis β adrenergic secara aerosol atau inhaler metered- dose ke dalam lengan inspirasi (inspiratory limb)dari sirkuit pernafasan. (Gas pembawa yang digunakan pada inhaler metered-dose dapat mengganggu pembacaan mass spectrometer). Hidrokortison intravena (1,5-2 mg/kg) dapat diberikan terutama pada pasien dengan riwayat terapi glukokortikoid.

Pada akhir pembedahan pasien harus benar-benar terbebas dari mengi. Reversi dari pelumpuh otot non depolarisasi dengan obat antikolinesterase tidak mempresipitasi bronkokonstriksi jika didahului dengan pemberian zat antikolinergik (lihat bab 10). Ekstubasi dalam (sebelum refleks jalan nafas kembali) dapat mencegah bronkospasme pada saat pasien bangun (emergence). Lidokain bolus (1,5-2 mg/kl) atau infuse kontinyu (1-2 mg/menit) dapat menumpulkan refleks jalan nafas selama proses bangun.

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

Pertimbangan-pertimbangan Preoperatif

PPOK adalah penyakit pulmonal yang umum ditemukan dalam praktik anestesi. Prevalensinya meningkat dengan pertambahan usia, hal ini berhubungan erat dengan kebiasaan merokok dan umumnya terjadi pada laki-laki (mempengaruhi hampir 20% laki-laki) Kebanyakan pasien asimptomatik atau simptomatik ringan namun menunjukkan obstruksi aliran udara ekspirasi selama tes fungsi paru. Pada banyak pasien obstruksi bersifat reversible, yaitu gejala brongko spasme yang membaik setelah pemberian bronkodilator.Dengan perkembangan penyakit, maldistribusi dari ventilasi maupun aliran darah pulmonal digambarkan dengan rasio V/Q yang rendah (shunt intrapulmonal) begitu pula dengan are V?Q rasio yang tinggi (dead space). Secara istilah lama pasien diklasifikasi menjadi bronchitis kronis dan emfisema.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 10 dari 26

Page 11: 23 Anestesi Pada Pasien-Pasien Dengan Penyakit Saluran Nafas Ok

Tabel 23-3 Tanda-tanda dan gejala Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Gambaran Bronkitis Kronik Emfisema

Batuk SputumHematokrit PaCO2

Foto toraks Rekoil elastik Resistensi jalan nafasKor pulmonal

FrekuenBanyak Meningkat Sering meningkat (>40) Corakan paru bertambah Normal Meningkat Awal

Disertai sesakSedikit NormalBiasanya normal (<40) Hiperinflasi Menurun Normal sampai sedikit Meningkat

Lambat

A. BRONKITIS KRONIK

Diagnosis klinis dari bronchitis kronis didefinisikan dengan adanya batuk produktif hamper setiap hari selama 3 bulan berturut-turut dalam 2 tahun berturut-turut. Selain itu, kebiasaan merokok, polusi udara, paparan debu akibat pekerjaan, infeksi pulmonal rekuren dan faktor familial juga menjadi faktor yang menetukan.Sekresi kelenjar mukosa dari bronkus yang hipertrofi dan edema mukosa akibat inflamasi jalan nafas menyebabkan obstruksi aliran udara. Istilah bronkitis kronik asmatik dapat dipakai bila bronkospasme adalah gejala utamanya.Infeksi pulmonal rekuren (viral dan bakterial) merupakan sebab yang umum dan sering berhubungan dengan terjadinya dengan bronkospasme. RV meningkat namun TLC biasanya normal. Shunting (pintas) intrapulmonal terjadi dan hipoksia timbul.

Hipoksemia kronik menyebabkan eritrositosis, hipertensi pulmonal dan bahkan gagal jantung kanan (kor pulmonal). Kombinasi dari hal tersebut biasanya disebut sindrom blue bloater, namun , 5% pasien PPOK sesuai dengan deskripsi tersebut. Sejalan dengan perkembangan penyakit, pasien secara bertahap akan mengalami retensi CO2 , ventilatory drive yang normal menjadi kurang sensitif terhadap tekanan CO2 arterial dan dapat tertekan dengan pemberian oksigen (di bawah)

B. EMFISEMA

Emfisema adalah kelainan patologik dengan pelebaran jalan nafas, distal dari bronkus terminal yang ireversibel dan destruksi septa alveolar. Diagnosis dapat ditegakkan dengan CT scan dada. Perubahan emfisematus ringan di apeks paru adalah normal namun secara klinis tidak dapat dihubungkan dengan penuaan. Emfisema yang signifikan biasanya berhubungan dengan kebiasaanmerokok. Pada beberapa kasus emfisema terjadi pada usia muda dan hal ini berhubungan dengan defisiensi α1-antitripsin. Protease inhibitor ini dapat mencegah aktivitas enzim proteolitik yang berlebihan (terutama elastase) pada paru-paru. Enzi mini dihasilkan oleh sel netrofil dan makrofag paru-paru sebagai respons terhadap infeksi dan polutan. Emfisema berhubungan dengan merokok biasanya terjadi akibat ketidakseimbangan aktivitas protease an antiprotease pada individu yang rentan. Hilangnya elastisitas yang secara normal menunjang jalan nafas yang lebih kecil

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 11 dari 26

Page 12: 23 Anestesi Pada Pasien-Pasien Dengan Penyakit Saluran Nafas Ok

melalui traksi radial yang memungkinkan kollaps premature selama ekshalasi (kolaps jalan nafas dinamik). Pasien ini memiliki karakteristik antara lain peningkatan RV, FRC,TLC dan rasio RV/TLC.

Destruksi kapiler pulmonal di septa alveolar menurunkan kapasitas difusi karbonmonoksida (lihat bab 22) dan juga menyebabkan hipertensi pulmonal pada tahap akhir penyakit ini. Area kistik yang luas atau bulla berkembang pada beberapa pasien. Peningkatan dead space adalah gambaran utama emfisema. Tekanan oksigen arterial biasanya normal atau hanya sedikit berkurang. Tekanan CO2 juga normal. Saat dispnea, pasien emfisema biasanya melipat bibirnya untuk menunda penutupan jalan nafas yang kecil. Yang biasanya disebut dengan pink puffer. Sebagian besar pasien merupakan kombinasi dari bronchitis dan emfisema dan didiagnosis dengan PPOK.

C.TERAPI

Terapi PPOK umumnya bersifat suportif. Intervensi yang terpenting adalah penghentian kebiasaan merokok. Pasien yang menunjukkan tanda-tanda obstruksi jalan nafas yang reversible (perbaikan FEV1 > 15% setelah pemberian bronkodilator) harus memulaiterapi bronkodilator jangka lama. Agonis β2-adrenrgik, glikokortikoid dan ipratropium sangatlah berguna; ipratropium memiliki peran penting dalam penatalaksanaan pasien ini dibandinkan pasien asma. Bahkan pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan dari tes fungsi paru terhadap penggunaan bronkodilator dapat membaik secara klinis dengan terapi bronkodilator.Eksaserbasi berhubungan bronchitis yang ditandai dngan perubahan sputum, terapi yang teratur dengan antibiotic spectrum luas (contoh ampisilin, tetrasiklin, sulfametoksazol-trimetoprim) penting dilakukan. Hipoksemia harus diatasi dengan hati-hati menggunakan oksigen suplemen. Psien denga hiposemia kronik (PAO2< 55mmHg) dan hipertensi pulmonal membutuhkan terapi oksigen low-flow (1-2L/menit)

Terapi oksigen dapat meningkatkan PaCO2 yang membahayakan pada pasien dengan retensi CO2, peningkatan PaO2 diatas 60 mm Hg dapat mencetuskan gagal nafas pada pasien-pasien tersebut. Penghilangan hypoxic ventilatory drive atau pelepasan vasokonstriksi hipoksia mengakibatkan aliran darah yang lebih banyak ke are dengan rasio V/Q yang rendah. Bila terjadi cor pulmonal diuretic digunakan untuk mengontrol edema perifer, efek yang menguntungkan dari digoksin dan vasodilator bersifat tidak konsisten. Pengkondisian fisik tidak memiliki efek terhadap tesfungsi paru namun ditujukan untuk memperbaiki gejala. Beberapa penelitian bahkan memenganjurkan kemampuan untuk meningkatkan konsumsi oksigen selama latihan berbanding terbalik dengan komplikasi pasca operasi.

PERTIMBANGAN-PERTIMBANGAN ANESTETIK

A. Penatalaksanaan Preoperatif

Pasien PPOK harus dipersiapkan secara optimal sebelum menghadapi pembedahan elektif sebagaimana yang dilakukan pada pasien asma. Pasien sebelumnya diwawancara mengenai perubahan terakhir dari dispnea, sputum dan

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 12 dari 26

Page 13: 23 Anestesi Pada Pasien-Pasien Dengan Penyakit Saluran Nafas Ok

mengi. Pasien dengan FEV1 kurang dari 50% dari nilai normal (1,2-1,5L) biasanya mengalami dispnea saat beraktivitas sementara pasien dengan FEV1 kurang dari 25% (<1L pada laki-laki) secara tipikal mengalami dispnea saat beraktivitas ringan.Pada kasus tersebut, pasien dengan bronchitis kronis biasanya berhubunan dengan retensi CO2 dan hipertensi pulmonal. Tes fungsi paru, foto toraks analisis gas darah arterial harus ditelaah dengan hati-hati. Adanya perubahan bullous dari pemeriksaan foto toraks harus diketahui. Beberapa pasien memiliki penyakit jantung dan juga harus mendapatkan evaluasi kardiovaskular yang ketat.(lihat bab 20).

Berbeda dengan asma, pada PPOK hanya terjadi perbaikan fungsi respirasi yang terbatas setelah pesiapan preoperatif intensif yang singkat. Intervensi preoperatif bertujuan untuk mengoreksi hipoksemia, menghilangkan bronkospasme, memobilisasi dan mengurangi sekresi serta mengobati infeksi dapat menurunkan insidensi komplikasi pulmonal pasca operasi pada pasien penyakit paru obstruktif kronik. Pasien yang memiliki risiko tertinggi mengalami komplikasi adalah pasien penyakit paru obstruktif kronik dengan tes fungsi paru yang kurang dari 50 % prediksi. Kemungkinan ventilasi pasca operasi sangat penting pada pasien risiko tinggi harus didiskusikan oleh pasien dan ahli bedah.

Merokok harus dihentikan selama lebih kurang 6-8 minngu sebelum operasi untuk menurunkan sekresi dan untuk mengurangi komplikasi pulmonal. Merokok meningkatkan produksi mucus dan menurunkan klirens. Baik gas yang terkandung maupun fase partikulat dari asap rokok dapat menurunkan glutation dan vitamin C dan dapat menyebabkan jejas oksidatif pada jaringan.Karbonmonoksida meningkatkan karboksihemoglobin sementara pemecahan produk oksida nitrit dan nitrogen dioksida dapat meningkatkan kadar methemoglobin. Penghentian merokok selama paling kurang 24 jam secara toretik memiliki efek yang menguntungkan pada oksigen carrying capacity dari hemoglobin namun hal ini belum dibuktikan melalui penelitian klinis.

Fisioterapi dada preoperative(perkusi dada dan drainase postural) dan antibiotic untuk pasien dengan perubahan sputum sangat menguntungkan ntuk mengurangi sekresi. Bronkospasme harus diterapi dengan bronkodilator. Pasien dengan PPOK sedang-berat sangat baik diterapi dengan glukokortikoid. Pasien dengan malnutrisi harus mendapatkan suplementasi nutrisi sebelum pembedahan mayor. Hipertensi pulmonal harus diobati dengan menoptimalisasi oksigenasi. Digitalisasi preoperative sangat berguna pada pasien cor pulmonal terutama jika didapatkan gagal jantung kanan.

B. Penatalaksanaan Intraoperatif

Walaupun anestesi regional sering dipertimbangkan dibandingkan anestesi umum, spinal tinggi atau anstesi epidural dapat menurunkan volume paru, membatasi kerja otot-otot pernafasan tambahan dan menghasilkan batuk yang tidak efektif menyebabkan dispnea dan retensi secret. Hilangnya propriosepsi dada dan posisi yang tidak biasa seperti litotomi atau lateral dekubitus dapat memperberat dispnea pada pasien yang terjaga.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 13 dari 26

Page 14: 23 Anestesi Pada Pasien-Pasien Dengan Penyakit Saluran Nafas Ok

Preoksigenasi sebelum induksi anestesi umum mencegah desaturasi oksigen yang cepat yang sering tampak pada pasien ini. Pemilihan obat anestetik dan penatalaksaan intraoperatif umum sama dengan pasien asma. Namun sayangnya penggunaan zat anestetik yang bersifat bronkodilator hanya dapat memperbaiki komponen reversible dari bronkospasme akibat obstruksi aliran udara. Obstruksi ekspirasi yang signifikan sering terjadi bahkan pada anestesi yang dalam sekalipun.Peningkatan depresi respirasi dari anestesi sering tampak pada penyakit yang tergolong sedang dan berat. Seperti pada pasien asma, ventilasi harus dikontrol denan volume tidal yang kecil sampai sedang dengan laju yang lambat untuk mencegah air-trapping. Gas yang dilembabkan harus digunakan pada bronkospasme yang signifikan dan untuk prosedur pembedahan yang lama (> 2 jam). Nitrous oksida harus dihindari pada pasien dengan bula dan hipertensi pulmonal. Pneumotoraks karena ekspansi dan elevasi tekanan arteri pulmonal terjadi karena gas ini. Penghambatan vasokonstriksi pulmonal hipoksik oleh anestesi inhalasi secara klinis biasanya tidak signifikan pada dosis biasa.

Pengukuran gas darah arterial sangat diperlukan pada pembedahan perifer yang lama, intra abdominal ekstensif dan pembedahan toraks . Walaupun pulse oksimetri dapat mendeteksi desaturasi arterial signifikan secara akurat, pengukuran langsung terhadap ekanan oksigen arterial dapat mendeteksi perubahan khusus pada shunting intrapulmonal. Dengan demikian Pengukuran CO2 arterial harus dilakukan untuk memandu ventilasi karena dead space yang meningkat , memperlebar gradien arterial –end tidal CO2 normal. Ventilasi harus selalu disesuaikan untuk mempertahankan pH arterial normal. Normalisasi PaCO2 pada pasien dengan retensi CO2 preoperatif menimbulkan alkalosis. Monitoring hemodinmik harus dipandu dengan disfungsi kardiak yang mendasari sesuai dengan pemanjangan dan perluasan operasi. Pada pasien hipertensi pulmonal pengukuran tekanan vena sentral mencerminkan fungsi ventrikel kanan dibandingkan volume intravaskular.

Pada akhir pembedahan, saat ekstubasi harus seimbang dengan risiko timbulnya bronkospasme dengan insufisiensi pulmonal. Namun bukti menganjurkan ekstubasi awal (di kamar operasi) sangat menguntungkan. Ekstubasi terjaga memungkinkan penilaian yang akurat dari fungsi paru pasca operasi kecuali risiko bronkospasme. Ekstubasi dalam mengurangi risiko refleks bronkospasme namun harus diyakinkan bahwa pasien mampu untuk mempertahankan ventilasi yang adekuat. Pasien dengan FEV1 dibawah 50% membutuhkan ventilas pasca operasi, terutama setelah prosedur pembedahan abdominal bagian atas dan toraks. Kriteria umum untuk ekstubasi didiskusikan pada bab 5 dan 50).

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 14 dari 26

Page 15: 23 Anestesi Pada Pasien-Pasien Dengan Penyakit Saluran Nafas Ok

PENYAKIT PARU RESTRIKTIF

Penyakit paru restriktif ditandai dengan penurunan komplians paru . Volume paru berkurang dengan cadangan laju aliran ekspirasi yang normal.Baik FEV1 dan FVC berkurang tetapi rasio FEV1/FVC normal.

Penyakit paru restriktif termasuk berbagai kelainan pulmonal instrinsik kronis dan ekstrinsik (ekstrapulmonal) yang melibatkan pleura, dinding dada, diafragma dan fungsi neuromuskular. Penurunan komplians paru meningkatkan work of breathing, ditandai dengan pernafasan yang cepat dan dangkal. Pertukaran gas respirasi biasanya dipertahankan sampai proses penyakit berkembang lebih jauh.

KELAINAN PULMONAL INTRINSIK AKUT

Kelainan ini termasuk edema pulmonal, (termasuk ARDS), pneumonia infeksius dan pneumonitis aspirasi.

Pertimbangan-pertimbangan Preoperatif

Penurunan komplians paru pada kelainan ini secara primer akibat peningkatan cairan paru ekstravaskular, peningkatan tekanan kapiler pulmonal atau peningkatan permeabilitas kapiler (lihat bab 50). Peningkatan tekanan terjadi disertai gagal jantung kiri sementara permeabilitas yang meningkat tampak pada pasien ARDS. Permeabilitas yang meningkat terlokalisir atau tergeneralisasi dapat terjadi setelah aspirasi atau pneumonitis infeksius.

Pertimbangan Anestetik

A. PENATALAKSANAAN PREOPERATIF

Pasien dengan penyakit pulmonal akut harus menjalani operasi elektif. Dalam persiapan untuk operasi emergensi oksigenasi dan ventilasi harus dioptimalkan saat preoperatif jika memungkinkan. Kelebihan cairan harus diatasi dengan diuretik. Gagal jantung juga memerlukan vasodilator dan inotropik. Drainase efusi pleura yang besar harus dipertimbangkan. Selain itu distensi abdominal masif darus dikurangi dengan dekompresi nasogastrik atau drainase asites. Hipoksemia persisten membutuhkan PEEP. Gangguan sistemik yang berhubungan seperti hipotensi atau infeksi haru diterapi secara agresif.

B. PENATALAKSANAAN INTRAOPERATIF

Pemilihan obat anestesi harus disesuaikan pada setiap pasien. Pasien yang akan menjalani pembedahan dengan penyakit paru akut seperti ARDS, edema pulmonal-kardiogenik atau pneumonia merupakan pasien critically

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 15 dari 26

Page 16: 23 Anestesi Pada Pasien-Pasien Dengan Penyakit Saluran Nafas Ok

ill.Penatalaksanaan anestesi yang diberikan haruslah kelanjutan dari perawatan intensif preoperatif sebelumnya. Anestesi yang diberikan berupa kombinasi obat intravena dan inhalasi bersamaan dengan penghambat neuromuskular. Konsentrasi oksigen inspirasi yang tinggi dan PEEP sangat diperlukan. Penurunan komplians paru tercermin dari tekanan inspirasi puncak yang tinggi selama ventilasi tekanan positif dan peningkatan risiko barotrauma dan volum trauma. Volume tidal pada pasien ini harus dikurangi sampai 4-8 mL/kg dengan peningkatan frekuensi pernafasan sebagai kompensasi (14-18 x/menit).Bahkan jika terjadi peningkatan end-tidal CO2. Tekanan jalan nafas secara umum tidak melebihi 30 cm H2O. Ventilator padda mesin anestesi terbukti tidak adekuat pada pasien ARDS berat karena kemampuan aliran gas yang terbatas, keterbatasan setting pada tekanan rendah, dan tidak tersedianya mode ventilator tertentu.Ventilator ruang perawatan intensif yang lebih canggih harus digunakan pada keadaan-keadaan demikian. Monitoring hemodinamik yang agresif sangat disarankan.

KELAINAN PULMONAL INTRINSIK KRONIS

Kelompok kelainan ini sering disebut penyakit interstisial paru. Tanpa memperhitungkan etiologi, proses penyakit it ini secara umum ditandai dengan onset yang insidious, inflamasi dinding alveolar dan jaringan perialveolar kronik dan fibrosis paru progresif. Fibrosis ini dapat diintervensi dengan pertukaran gas dan fungsi ventilasi. Proses inflamasi merupakan proses yang bersumber dari paru atau merupakan bagian dari suatu proses multiorgan. Penyebabnya antara lain pneumonitis hipersensitif karena polutan akibat pekerjaan dan lingkungan, toksisitas obat (bleomisin dan nitrofurantoin), pneumonitis radiasi, fibrosis paru idiopatik, penyakit autoimun dan sarkoidosis. Aspirasi paru kronik, toksisitas oksigen dan ARDS berat juga dapat menyebebkan fibrosis kronik.

Pertimbangan-pertimbangan Preoperatif

Pasien secara tipikal ditandai dengan dispnea pada saat beraktivitas dan kadang disertai batuk non produktif. Gejala dari kor pulonal terjadi pada penyakit yang telah lanjut. Pemeriksaan fisik menujukkan ronki (kering)yang jelas pada basal paru dan pada tahap lanjut ditemukan tanda-tanda gagal jantung kanan. Gambaran foto toraks berkembang mulai dari ground-glass appearance sampai gambaran retikulonodular yang disebut honey-comb appearance. Gas darah arterial menunjukkan hipoksemia ringan dengan normokarbia. Tes fungsi paru menunjukkan tipe defek ventilasi restriktif dan kapasita difusi karbonmonoksida yang berkurang 30-50%.

Terapi ditujukan untuk menghilangkan proses penyakit dan mencegah pemaparan yang lebih jauh dari agen penyebab (jika diketahui). Terapi glukokortikoid dan imunosupresif dapat diberikan pada fibrosis paru idiopatik, kelainan autoimun

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 16 dari 26

Page 17: 23 Anestesi Pada Pasien-Pasien Dengan Penyakit Saluran Nafas Ok

dan sarkoidosis. Jika pasien mengalami hipoksemia kronik, terapi oksigen dapat dimulai untuk mencegah atau menghilangkan gagal ventrikel kanan

Pertimbangan-pertimbangan Anestetik

A. PENATALAKSANAAN PREOPERATIF

Evaluasi preoperatif harus difokuskan pada penentuan derajat gangguan paru sebagaimana proses penyakit yang mendasarinya. Tujuannya agar dapat menentukan keterlibatan potensial dari organ lainnya. Riwayat dispnea saat beraktivitas (atau saat tidur) harus divaluasi dengan tes fungsi paru daan analisis gas darah arterial. Kapasitas vital kurang dari 15 mL/kg adalah indikasi adanya disfungsi berat (normal > 70 mL/kg) . Pemeriksaan foto toraks sangat membantu penilaian tingkat keparahan penyakit.

B. PENATALAKSAAN INTRAOPERATIF

Penatalaksanaan pasien ini cukup kompleks, dengan adanya predisposisi untuk timbulnya hipoksemia dan perlunya untuk mengontrol ventilasi dalam menjamin pertukaran gas yang optimum, pemilihan obat anestetik secara umum tidak begitu penting. Pengurangan FRC (dan penyimpanan oksigen) merupakan predisposisi terjadinya hipoksemia yang cepat setelah induksi anestesi (lihat bab 22) . Ambilan dari anestetik inhalasi dapat juga dipercepat. Karena pasien-pasien biasanya lebih rentan terhadap toksisitas yang diinduksi oksigen, khususnya pada pasien yang mendapat terapi dengan bleomisin. Konsentrasi fraksional terinspirasi dari oksigen harus dipertahankan pada konsentrasi minimum yang kompatibel dengan oksigen yang dapat diterima (SpO2 > 88-92%) Puncak tekanan inspirasi yang tinggi selama ventilasi mekanik meningkatkan risiko pneumotoraks dan harus diberikan volume tidal yang lebih kecil dengan frekuensi yang lebih sering.

KELAINAN-KELAINAN PULMONAL EKSTRINSIK RESTRIKTIF

Gangguan ini mengubah pertukaran gas dengan cara mengganggu ekspansi paru yang normal. Gangguan ini antara lain efusi pleura, pneumotoraks, massa mediastinal, kifoskoliosis, pektus ekskavatum gangguan neuromuskular dan peningkatan tekanan intraabdominal karena asites, kehamilan atau perdarahan. Obesitas yang nyata juga menyebabkan defek ventilasi restriktif. Pertimbangan anestetik sama dengan gangguan restriktif instrinsik.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 17 dari 26

Page 18: 23 Anestesi Pada Pasien-Pasien Dengan Penyakit Saluran Nafas Ok

EMBOLI PULMONAL

Pertimbangan Preoperatif

Emboli pulmonal (paru) terjadi akibat masuknya bekuan darah, lemak, sel tumor, udara, cairan amnion atau benda asing ke dalam sistem vena. Bekuan dari ekstremitas bawah (biasanya di atas lutut), vena pelvis atau kadang lebih jarang dari jantung kanan sebagai penyebabnya. Stasis vena atau hiperkoagulabilitas sering menjadi faktor penyebab pada beberapa kasus. Emboli paru dapat terjadi intraoperatif, pada individu normal yang menjalani pembedahan. Emboli lemak didiskusikan pada bab 40, emboli udara dibicarakan pada bab 26.

A. PATOFISIOLOGI

Oklusi emboli pada sirkulasi pulmonal meningkatkan dead space dan jika minute ventilation tidak berubah peningkatan dead space ini secara teoretik juga dapat meningkatkan PaCO2. Namun pada praktiknya hipoksemia sering terjadi. Emboli paru akut meningkatkan resistensi vaskular paru dengan mengurangi area cross-sectional dari pembuluh darah paru menyebabkan refleks dan vasokonstriksi humoral. Refleks bronkokonstriksi yang terlokalisir dan umum meninkatkan area dengan V/Q rasio yang rendah .Efeknya adalah peningkatan shunt pulmonal dan hipoksemia. Daerah yang terkena, kehilangan surfaktan dalam beberapa jam dan mengalami atelektasis dalam 24-48 jam. Infark pulmonal terjadi jika emboli melibatkan pembuluh darah besar dan aliran darah kolateral dari sirkulasi bronkial yang insufisiensi pada bagian paru tersebut (insidensi < 10%) Pada orang sehat, oklusi lebih dari 50% dari sirkulasi pulmonal (Emboli paru masif) biasanya terjadi sebelum gejala hipertensi pulmonal yang berlanjut muncul. Pasien dengan penyakit kardiopulmonal yang telah ada sebelumnya dapat mengalami hipertensi pulmonal akut dengan oklusi yang tidak begitu besar. Peningkatan afterload ventrikel kanan yang terus-menerus dapat mencetuskan gagal jantung kanan. Jika pasien dapat bertahan pada tromboemboli pulmonal akut thrombus biasanya akan membaik dalam 1-2 minggu.

B. DIAGNOSIS

Manifestasi klinis dari emboli paru antara lain takipnea yang terjadi tiba-tiba, dispnea, nyeri dada atau hemoptisis. Gejala yang terakhir menunjukkan adanya infark. Gejala seringkali tidak tampak atau ringan dan nonspesifik kecuali emboli masif telah terjadi. Mengi dapat ditemukan pada auskultasi. Analisis gas darah arterial secara tipikal menunjukkan hipoksemia ringan dengan alkalosis respiratorik karena peningkatan respirasi. Foto toraks umumnya normal namun dapat juga menggambarkan oligemia (radiolusen) densitas wedge-shape dengan infark , atelektasis dengan diafragma yang terangkat atau pelebaran arteri pulmonal proksimal dengan hipertensi pulmonal akut. Tanda-tanda kardiak antara lain takikardi dengan splitting yang melebar dari bunyi jantung kedua, hipotensi dengan

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 18 dari 26

Page 19: 23 Anestesi Pada Pasien-Pasien Dengan Penyakit Saluran Nafas Ok

peningkatan tekanan vena sentral biasanya indikasi adanya gagal jantung kanan. EKG biasanya menunjukkan gambaran takikardi dan dapat menunjukkan tanda-tanda kor pulmonal akut seperti right axis deviation, RBBB dan gelombang T yang tinggi. Pletismografi impedans sangat membantu daalam menunjukkan trombosis vena dalam di atas lutut. Diagnosis emboli lebih sulit diketahui saat operasi. Angiografi pulmonal adalah pemeriksaan yang paling akurat pada emboli pulmonal, namun pemeriksaan perfusi pulmonal noninvasif dan pencitraan (scan) ventilasi menggunakan emisi gamma radionukleotida dapat membantu dan telah banyak digunakan. Hasil pencitraan dari perfusi yang normal biasanya menyingkirkan kemungkinan emboli yang signifikan. Hasil pencitraan yang menggambarkan perfusi abnormal dapat menegakkan diagnosis bila defek perfusi tampak pada daerah dengan ventilasi yang normal. Pencitraan CT Helikal (Helical CT scanning) saat ini banyak digunakan di berbagai senter pelayanan medik untuk mendiagnosisi emboli pulmonal

Tabel 23-4. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Trombosis Vena Dalam dan Emboli Pulmonal

1. Tirah baring yang lama

2. Masa postpartum

3. Fraktur ekstremitas bawah

4. Pembedahan di ekstremitas bawah

5. Karsinoma

6. Gagal jantung

7. Obesitas

8. Pembedahan lebih dari 30 menit

9. Hiperkoagulabilitasa. Defisiensi antitrombin IIIb. Defisiensi protein Cc. Defisiensi protein Sd. Defisiensi aktivator plasmonogen

C. TERAPI

Terapi yang terbaik untuk emboli pulmonal adalah pencegahan terhadap timbulnya hal tersebut. Terapi dengan heparin (Heparin tidak terfraksinasi 5000 U sub kutan setiap 12 jam dimulai preoperative atau segera pasca operasi pada pasien dengan risiko tinggi), antikoagulasi oral (warfarin), aspirin atau dekstran bersamaan dengan ambulasi dini dapat menurunkan insidensi emboli pasca operasi. Penggunaan stoking elastic dan kompresi pneumatic pada tungkai juga dapat menurunkan insidensi trombosis vena pada tungkai namun tidak demikian pada pelvis dan jantung.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 19 dari 26

Page 20: 23 Anestesi Pada Pasien-Pasien Dengan Penyakit Saluran Nafas Ok

Antikoagulan sistemik mencegah pembentukan bekuan darah yang baru atau perluasan dari bekuan darah yang telah ada sebelumnya. Terapi heparin dimulai dengan tujuan untuk mencapai suatu nilai aPTT (activated partial thromboplastin time) 1,5-2,4 kali nilai normal. Heparin berat jenis rendah (LMWH) merupakan antikoagulan yang efektif, diberikan secara sub kutan dengan dosis yang telah ditetapkan ( berdasarkan berat badan) tanpa monitoring secara laboratorik. LMWH lebih mahal dibandingkan heparin tidak terfraksionasi namun secara pembiayaan lebih efektif. Pada pasien-pasien risiko tinggi, LMWH dimulai 12 jam sebelum pembedahan, 12-24 jam setelah pembedahan atau 50% dosis biasa diberikan 4-6 jam setelah pembedahan. Semua pasienharus memulai terapi warfarin bersamaan dengan saat memulai terapi heparin dan keduanya harus diberikan selama 4-5 hari. Nilai INR PT (International Normalized Ratio) harus berada dalam rentang terapeutik pada dua pengukuran berturut-turut dengan jarak waktu sedikitnya 24 jam sebelum terapi heparin dihentikan. Warfarin harus diteruskan selama 3-12 bulan. Terapi trombolitik dengan tissue plasminogen activator atau streptokinase diindikasikan pada pasien dengan emboli pulmonal massif atau kolaps sirkulasi. Pembedahan terakhir dan perdarahan aktif merupakan kontraindikasi terapi anti koagulasi dan trombolitik. Pada kasus ini filter umbrella vena cava inferior ditempatkan untukmencegah emboli pulmonal.Embolektomi pulmonal diindikasikan untuk pasien emboli massif dimana terapi trombolitik merupakan kontraindikasi.

Pertimbangan-pertimbangan Anesetik

A. PENATALAKSANAAN PREOPERATIF

Pasien dengan emboli pulmonal akut dapat menjalani pembedahan untuk pemasangan filter kaval atau kadang-kadang embolektomi pulmonal. Pada beberapa kasus pasien memiliki riwayat emboli pulmonal dan dating ke kamar operasi untuk menjalani pembedahan yang tidak ada hubungannya dengan penyakit sebelumnya. Pada kelompok pasien ini risiko terapi antikoagulan perioperatif tidak diketahui. Jika episode akut di atas usia satu tahun, risiko penghentian sementara terapi antikoagulan mungkin kecil. Selain itu, fungsi pulmonal biasanya kembali normal kecuali pada kasus emboli pulmonal kronik rekuren. Perhatian utama pada tahap perioperatif adalah mencegah terjadinya episode baru emboli.

B. PENATALAKSANAAN INTRAOPERATIF

Filter vena kava biasanya dimasukkan secara per kutan dalam lokal anestesi dengan sedasi. Pasien dapat menunjukkan peningkatan sensitivitas terhadap efek sirkulasi dari obat-obat anestesi.

Walaupun tidak ada rekomendasi yang pasti mengenai pilihan anestesi pada pasien dengan riwayat emboli pulmonal, beberapa penelitian menganjurkan regional anestesi pada beberapa jenis operasi (contoh operasi pnggul) dimana jenis anestesi ini dapat menurunkan insidensi trombosis vena dalam dan emboli pulmonal pasca operasi. Penggunaan anestesi regional dikontraindikasikan pada pasien dengan antikoagulasi residual atau pemanjangan waktu perdarahan. Bila anestesi umum

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 20 dari 26

Page 21: 23 Anestesi Pada Pasien-Pasien Dengan Penyakit Saluran Nafas Ok

yang dipilih, penggunaan obat-obat anestesi dengan masa kerja pendek memungkinkan ambulasi dini pasca operasi.

Pasien yang menjalani embolektomi pulmonal merupakan pasien critically ill. Pasien ini biasanya telah terintubasi namun tidak dapat mentoleransi ventilasi tekanan positif. Support inotropik sangat dibutuhkan sampai bekuan darah diangkat. Pasien –pasien tersebut juga tidak dapat mentoleransi obat-obat anestesi. OPiat, etomidat atau ketamin dosis kecil dapat digunakan, namun ketamin secara teoretik dapat meningkatkan tekanan arteri pulmonal.Pintas kardiopulmonal dibutuhkan pada kasus ini.

C. EMBOLI PULMONAL INTRAOPERATIF

Emboli pulmonal yang signifikan jarang terjadi selama anestesi. Diagnosis membutuhkan kewaspadaan yang tinggi. Emboli udara umum terjadi namun sering dikhawatirkan, kecuali sejumlah besar udara masuk. Emboli lemak dapat terjadi selama operasi ortopedi. Emboli cairan amnion jarang terjadi, tidak dapat diprediksi dan sering bersifat fatal, dan merupaan komplikasi dari persalinan obstetric (lihat bab 43). Tromboemboli dapat terjadi intraoperatif pada operasi yang lama. Bekuan atau sumbatan dapat terjadi sebelum pembedahan atau terbentuk selama intraoperasi. Manipulasi bedah atau perubahan posisi pasien dapat melepaskan thrombus vena. Manipulasi tumor dengan ekstensi intravascular juga dapat mengakibatkan emboli pulmonal.

Emboli pulmonal intraoperatif biasanya muncul sebagai suatu hipotensi mendadak yang tidak dapat diketahui sebabnya, hipoksemia atau bronkospasme. Penurunan konsentrasi end-tidal CO2 merupakan tanda-tanda emboli pulmonal namun tidak spesifik. Monitoring invasive dapat menunjukkan adanya peningkatan tekanan vena sentral dan arteri pulmonal. Transesofagial ekokardiogram dapat membantu menegakkan diagnosis tergantung pada tipe dan lokasi emboli. Jika udara teridentifikasi pada atrium kanan atau jika hal tersebut kita curigai, kanulasi vena sentral dan aspirasi udara secara emergensi merupakan tindakan penyelamatan jiwa. Semua jenis emboli lainnya pnatalaksanaannya adalah tindakan suportif dengan cairan intravena dan obat inotropik. Pemasangan filter vena cafa harus dipertimbangkan pasca-operasi.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 21 dari 26

Page 22: 23 Anestesi Pada Pasien-Pasien Dengan Penyakit Saluran Nafas Ok

CASE DISCUSSION: LAPAROSCOPIC SURGERY

A 45-year-old woman is scheduled for a laparoscopic cholecystectomy. Known medical problems include obesity and a history of smoking.

What Are the Advantages of Laparoscopic Cholecystectomy Compared with Open Cholecystectomy?

Laparoscopic techniques have rapidly increased in popularity because of the multiple benefits associated with much smaller incisions than with traditional open techniques. These benefits include decreased postoperative pain, less postoperative pulmonary impairment, a reduction in postoperative ileus, shorter hospital stays, earlier ambulation, and smaller surgical scars. Thus, laparoscopic surgery can provide substantial medical and economic advantages.

How Does Laparoscopic Surgery Affect Intraoperative Pulmonary Function?

The hallmark of laparoscopy is the creation of a pneumoperitoneum with pressurized CO2. The resulting increase in intraabdominal pressure displaces the diaphragm cephalad, causing a decrease in lung compliance and an increase in peak inspiratory pressure. Atelectasis, diminished FRC, ventilation/perfusion mismatch, and pulmonary shunting contribute to a decrease in arterial oxygenation. These changes should be exaggerated in this obese patient with a long history of tobacco use.

The high solubility of CO2 increases systemic absorption by the vasculature of the peritoneum. This, combined with smaller tidal volumes because of poor lung compliance, leads to increased arterial CO2 levels and decreased pH.

Why Does Patient Position Affect Oxygenation?

A head-down (Trendelenburg) position is commonly requested during insertion of the Veress needle and cannula. This position causes a cephalad shift in abdominal viscera and the diaphragm. FRC, total lung volume, and pulmonary compliance will be decreased. Although these changes are usually well tolerated by healthy patients, this patient's obesity and presumed preexisting lung disease increase the likelihood for hypoxemia. A head-down position also tends to shift the trachea upward, so that a tracheal tube anchored at the mouth may migrate into the right mainstem bronchus. This tracheobronchial shift may be exacerbated during insufflation of the abdomen.

After insufflation, the patient's position is usually changed to a steep head-up position (reverse Trendelenburg) to facilitate surgical dissection. The respiratory effects of the head-up position are the opposite of the head-down position: FRC increases and the work of breathing decreases.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 22 dari 26

Page 23: 23 Anestesi Pada Pasien-Pasien Dengan Penyakit Saluran Nafas Ok

Does Laparoscopic Surgery Affect Cardiac Function?

Moderate insufflation pressures usually leave heart rate, central venous pressure, and cardiac output unchanged or slightly elevated. This appears to result from increased effective cardiac filling because blood tends to be forced out of the abdomen and into the chest. Higher insufflation pressures (> 25 cm H2O or 18 mm Hg), however, tend to collapse the major abdominal veins (particularly the inferior vena cava), which decreases venous return and leads to a drop in preload and cardiac output in some patients.

Hypercarbia, if allowed to develop, will stimulate the sympathetic nervous system and thus increase blood pressure, heart rate, and the risk of arrhythmias. Attempting to compensate by increasing the tidal volume or respiratory rate will increase the mean intrathoracic pressure, further hindering venous return and increasing mean pulmonary artery pressures. These effects can prove particularly challenging in patients with restrictive lung disease, impaired cardiac function, or intravascular volume depletion.

Although the Trendelenburg position increases preload, mean arterial pressure and cardiac output usually either remain unchanged or decrease. These seemingly paradoxical responses may be explained by carotid and aortic baroreceptor-mediated reflexes. The reverse Trendelenburg position decreases preload, cardiac output, and mean arterial pressure.

Describe the Advantages and Disadvantages of Alternative Anesthetic Techniques for This Patient.

Anesthetic approaches to laparoscopic surgery include infiltration of local anesthetic with an intravenous sedative, epidural or spinal anesthesia, or general anesthesia. Experience with local anesthesia has been largely limited to brief gynecologic procedures (laparoscopic tubal sterilization, intrafallopian transfers) in young, healthy, and motivated patients. Although postoperative recovery is rapid, patient discomfort and suboptimal visualization of intraabdominal organs preclude the use of this local anesthesia technique for laparoscopic cholecystectomy.

Epidural or spinal anesthesia represents another alternative for laparoscopic surgery. A high level is required for complete muscle relaxation and to prevent diaphragmatic irritation caused by gas insufflation and surgical manipulations, however. An obese patient with lung disease may not be able to increase spontaneous ventilation to maintain normocarbia in the face of a high (T2 level) regional block during insufflation and a 20˚ Trendelenburg position. Another disadvantage of a regional technique is the occasional occurrence of referred shoulder pain from diaphragmatic irritation. General anesthesia would therefore be the preferred technique for this patient.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 23 dari 26

Page 24: 23 Anestesi Pada Pasien-Pasien Dengan Penyakit Saluran Nafas Ok

Does a General Anesthetic Technique Require Tracheal Intubation?

Tracheal intubation with positive-pressure ventilation is usually favored for many reasons: the risk of regurgitation from increased intraabdominal pressure during insufflation; the necessity for controlled ventilation to prevent hypercapnia; the relatively high peak inspiratory pressures required because of the pneumoperitoneum; the need for neuromuscular blockade during surgery to allow lower insufflation pressures, provide better visualization, and prevent unexpected patient movement; and the placement of a nasogastric tube and gastric decompression to minimize the risk of visceral perforation during trocar introduction and optimize visualization. The obese patient presented here would benefit from intubation to decrease the likelihood of hypoxemia, hypercarbia, and aspiration.

What Special Monitoring Should Be Considered for This Patient?

Monitoring end-tidal CO2 normally provides an adequate guide for determining the minute ventilation required to maintain normocarbia. This assumes a constant gradient between arterial CO2 and end-tidal CO2, which is generally valid in healthy patients undergoing laparoscopy. This assumption would not apply if alveolar dead space changes during surgery. For example, any significant reduction in lung perfusion increases alveolar dead space, dilutes expired CO2, and thereby decreases end-tidal CO2 measurements. This may occur during laparoscopy if cardiac output drops because of high inflation pressures, the reverse Trendelenburg position, or gas embolism. Furthermore, abdominal distention lowers pulmonary compliance. Large tidal volumes are usually avoided because they are associated with high peak inspiratory pressures and can cause considerable movement of the surgical field. The resulting choice of lower tidal volumes and higher respiratory rates may lead to poor alveolar gas sampling and erroneous end-tidal CO2 measurements. In fact, end-tidal CO2 values have been found to be particularly unreliable in patients with significant cardiac or pulmonary disease undergoing laparoscopy. Thus, placement of an arterial catheter should be considered in patients with cardiopulmonary disease.

What Are Some Possible Complications of Laparoscopic Surgery?

Surgical complications include hemorrhage if a major abdominal vessel is lacerated or peritonitis if a viscus is perforated during trocar introduction. Significant intraoperative hemorrhage may go unrecognized because of the limitations of laparoscopic visualization. Fulguration has been associated with bowel burns and bowel gas explosions. The use of pressurized gas introduces the possibility of extravasation of CO2 along tissue planes, resulting in subcutaneous emphysema, pneumomediastinum, or pneumothorax. Nitrous oxide should be discontinued and insufflating pressures decreased as much as possible. Patients with this complication

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 24 dari 26

Page 25: 23 Anestesi Pada Pasien-Pasien Dengan Penyakit Saluran Nafas Ok

may benefit from the continuation of mechanical ventilation into the immediate postoperative period.

Venous CO2 embolism resulting from unintentional insufflation of gas into an open vein may lead to hypoxemia, pulmonary hypertension, pulmonary edema, and cardiovascular collapse. Unlike air embolism, end-tidal CO2 may transiently increase during CO2 gas embolism. Treatment includes immediate release of the pneumoperitoneum, discontinuation of nitrous oxide, insertion of a central venous catheter for gas aspiration, and placement of the patient in a head-down left lateral decubitus position.

Vagal stimulation during trocar insertion, peritoneal insufflation, or manipulation of viscera can result in bradycardia and even sinus arrest. Although this usually resolves spontaneously, elimination of the stimulus (eg, deflation of the peritoneum) and administration of a vagolytic drug (eg, atropine sulfate) should be considered. Intraoperative hypotension may be more common during laparoscopic cholecystectomy than during cholecystectomy by laparotomy. Preoperative fluid loading has been recommended to avoid this complication.

Even though laparoscopic procedures are associated with less muscle trauma and incisional pain than is open surgery, pulmonary dysfunction can persist for at least 24 h postoperatively. For example, forced expiratory volume, forced vital capacity, and forced expiratory flow are reduced by approximately 25% following laparoscopic cholecystectomy as opposed to a 50% reduction following open cholecystectomy. The cause of this dysfunction may be related to diaphragmatic tension during the pneumoperitoneum.

Nausea and vomiting are common following laparoscopic procedures, despite routine emptying of the stomach with a nasogastric tube. Pharmacological prophylaxis is recommended.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 25 dari 26

Page 26: 23 Anestesi Pada Pasien-Pasien Dengan Penyakit Saluran Nafas Ok

BACAAN YANG DIANJURKAN

1. Benumof J: Anesthesia and Uncommon Diseases, 4th ed. W.B. Saunders, 1998.

2. Evers AS, Maze M: Anesthetic Pharmacology.Physiologic Principles and Clinical Practice. Churchill Livingstone, 2004. Chapters 20 and 40 are excellent chapters that provide good reviews of pulmonary function and bronchodilator therapy.

3. Hurford WE: The bronchospastic patient. Int Anesthesiol Clin 2000;38:77. [PMID: 10723670]

4. Lumb A, Nunn JF: Nunn's Applied Respiratory Physiology, 5th ed. Butterworth-Heinemann, 2000.

5. Reilly JJ Jr: Evidence-based preoperative evaluation candidates for thoracotomy. Chest 1999;116:474.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 26 dari 26