penanganan anestesi untuk pasien

27
PENANGANAN ANESTESI UNTUK PASIEN DENGAN CEDERA OTAK TRAUMATIKA PERDARAHAN INTRA KRANIAL BAB I A. PENDAHULUAN Di Amerika cedera kepala merupakan penyebab kematian terbanyak usia 15 – 44 tahun dan merupakan penyebab kematian ketiga untuk keseluruhan. Di negara berkembang seperti Indonesia, seiring dengan kemajuan teknologi dan pembangunan frekuensinya cenderung makin meningkat. Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma, mengingat bahwa kepala merupakan bagian yang tersering dan rentan terlibat dalam suatu kecelakaan. Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif, yaitu antara 15 – 44 tahun, dengan usia rata – rata sekitar tiga puluh tahun, dan lebih didominasi oleh kaum laki – laki dibandingkan kaum perempuan. Adapun penyebab yang tersering adalah kecelakaan lalu lintas ( 49 % ) dan kemudian disusul dengan jatuh (terutama pada kelompok usia anak – anak). Pada kehidupan sehari – hari cedera kepala adalah tantangan umum bagi kalangan medis untuk menghadapinya, di mana tampaknya keberlangsungan proses patofisiologis yang diungkapkan dengan segala terobosan investigasi diagnosik medis mutakhir cenderung bukanlah sesuatu yang sederhana. Berbagai istilah lama seperti kromosio dan kontusio kini sudah ditingalkan dan kalsifikasi cedera kepala lebih mengarah dalam aplikasi penanganan klinis dalam mencapai keberhasilan penanganan yang maksimal.

Upload: muhammad-abrar

Post on 27-Dec-2015

22 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

penanganan anestesi untuk pasien cedera kepala

TRANSCRIPT

Page 1: Penanganan Anestesi Untuk Pasien

PENANGANAN ANESTESI UNTUK PASIEN

DENGAN CEDERA OTAK TRAUMATIKA PERDARAHAN INTRA KRANIAL

BAB I

A. PENDAHULUAN

Di Amerika cedera kepala merupakan penyebab kematian terbanyak usia 15 – 44 tahun dan

merupakan penyebab kematian ketiga untuk keseluruhan. Di negara berkembang seperti

Indonesia, seiring dengan kemajuan teknologi dan pembangunan frekuensinya cenderung makin

meningkat. Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma,

mengingat bahwa kepala merupakan bagian yang tersering dan rentan terlibat dalam suatu

kecelakaan.

Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif, yaitu antara 15 –

44 tahun, dengan usia rata – rata sekitar tiga puluh tahun, dan lebih didominasi oleh kaum laki –

laki dibandingkan kaum perempuan. Adapun penyebab yang tersering adalah kecelakaan lalu

lintas ( 49 % ) dan kemudian disusul dengan jatuh (terutama pada kelompok usia anak – anak).

Pada kehidupan sehari – hari cedera kepala adalah tantangan umum bagi kalangan medis untuk

menghadapinya, di mana tampaknya keberlangsungan proses patofisiologis yang diungkapkan

dengan segala terobosan investigasi diagnosik medis mutakhir cenderung bukanlah sesuatu yang

sederhana. Berbagai istilah lama seperti kromosio dan kontusio kini sudah ditingalkan dan

kalsifikasi cedera kepala lebih mengarah dalam aplikasi penanganan klinis dalam mencapai

keberhasilan penanganan yang maksimal.

Cedera pada kepala dapat melibatkan seluruh struktur lapisan, mulai dari lapisan kulit kepala

atau tingkat yang paling ringan, tulang tengkorak , durameter, vaskuler otak, sampai jaringan

otak sendiri. Baik berupa luka tertutup, maupun trauma tembus. Dengan pemahaman landasan

biomekanisme-patofisiologi terperinci dari masing – masing proses di atas, yang dihadapkan

dengan prosedur penanganan cepat dan akurat, diharapkan dapat menekan morbilitas dan

mortalitasnya.

Jenis beban mekanik yang menimpa kepala sangat bervariasi dan rumit. Pada garis besarnya

dikelompokkan atas dua tipe yaitu beban statik dan beban dinamik. Beban statik timbul perlahan

– lahan yang dalam hal ini tenaga tekanan diterapkan pada kepala secara bertahap, hal ini bisa

terjadi bila kepala mengalami gencetan atau efek tekanan yang lambat dan berlangsung dalam

periode waktu yang lebih dari 200 mili detik. Dapat mengakibatkan terjadinya keretakan tulang,

Page 2: Penanganan Anestesi Untuk Pasien

fraktur multiple, atau kominutiva tengkorak atau dasar tulang tengkorak.Biasanya koma atau

defisit neurologik yang khas belum muncul, kecuali bila deformasi tengkorak hebat sekali

sehingga menimbulkan kompresi dan distorsi jaringan otak, serta selanjutnya mengalami

kerusakan yang fatal.

Mekanisme ruda paksa yang lebih umum adalah akibat beban dinamik, dimana peristiwa ini

berlangsung dalam waktu yang lebih singkat ( kurang dari 200 mili detik). Beban ini dibagi

menjadi beban guncangan dan beban benturan. Komplikasi kejadian ini dapat berupa hematom

intrakranial, yang dapat menjadikan penderita cedera kepala derajat ringan dalam waktu yang

singkat masuk dalam suatu keadan yang gawat dan mengancam jiwanya.

Disatu pihak memang hanya sebagian saja kasus cedera kepala yang datang kerumah sakit

berlanjut menjadi hematom, tetapi dilain pihak “ frekuensi hematom ini terdapat pada 75 %

kasus yang datang sadar dan keluar meninggal “.

B. TUJUAN PENULISAN

Pembuatan refran ini bertujuan  untuk mengetahui dan memahami tentang definisi, anatomi,

aplikasi klinis, klasifikasi, etiologi, fatofisiologi perdarahan intrakranial, serta memahami

penanganan anastesi untuk pasien dengan cedera otak intrakranial.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

<!--[if !supportLists]-->A.    <!--[endif]-->DEFINISI

Cedera Kepala atau Traumatic Brain Injury (TBI) adalah salah satu dari trauma yang paling

serius dan mengancam jiwa. Terapi yang tepat dan cepat diperlukan untuk mendapatkan outcome

yang baik. Anestetist mengelola pasien ini sepanjang periode perioperatif, dari ruang gawat

darurat sampai ke tempat pemeriksaan radiologi, kamar bedah, dan neuroICU.

Sasaran utama pengelolaan anestesi untuk pasien dengan cedera otak adalah optimalisasi tekanan

perfusi otak dan oksigenasi otak, hindari cedera sekunder dan memberikan fasilitas pembedahan

untuk dokter bedah saraf. Anestesi umum dianjurkan untuk memfasilitasi fungsi respirasi dan

sirkulasi.

Cedera kepala diklasifikasikan kedalam cedera primer dan cedera sekunder. Klasifikasi ini

berguna untuk pertimbangan terapi. Cedera primer adalah kerusakan yang ditimbulkan oleh

Page 3: Penanganan Anestesi Untuk Pasien

impak mekanis dan stres aselerasi-deselerasi pada tulang kepala dan jaringan otak,

mengakibatkan patah tulang kepala (tulang kepala atau basis kranii) dan lesi intrakranial. Lesi

intrakranial diklasifikasikan kedalam dua tipe yaitu cedera difus dan fokal. Difus injuri ada dua

kategori yaitu brain concussion (bila hilangnya kesadaran berakhir < 6 jam) dan Diffus axonal

injury /DAI (bila hilangnya kesadaran berakhir > 6 jam). Fokal injury ada beberapa macam

antara lain brain contusion, epidural hematom, subdural hematom, intracerebral hematom.

Cedera sekunder berkembang dalam menit, jam atau hari sejak cedera pertama dan menimbulkan

kerusakan lanjutan dari jaringan saraf. Penyebab paling umum dari cedera sekunder adalah

hipoksia dan iskemi serebral. Cedera sekunder dapat disebabkan hal-hal berikut : 1) disfungsi

respirasi (hipoksemia, hiperkarbia), 2) instabilitas kardiovaskuler ( hipotensi, curah jantung

rendah), 3) peningkatan tekanan intrakranial, dan 4) kekacauan biokimia.

B. ANATOMI

B.1 Meninges dan Vasa Darah Otak

1.   Meninges

Meninges adalah selubung jaringan ikat non sarafi yang membungkus otak dan medulla spinalis

yang barisi liquor cerebrospinal dan berfungsi sebagai schock absorber. Meninges terdiri dari

tiga lapisan dari luar kedalam yaitu : duramater, arachnoidea dan piamater.

a.   Duramater

Merupakan selaput padat, keras dan tidak elastis. Duramater pembungkus medulla spinalis terdiri

atas satu lembar, sedangkan duramater otak terdiri atas dua lembar yaitu lamina endostealis yang

merupakan jaringan ikat fibrosa cranium, dan lamina meningealis. Membentuk lipatan /

duplikatur dibeberapa tempat, yaitu dilinea mediana diantara kedua hehemispherium cerebri

disebut falx cerebri , berbentuk segitiga yang merupakan lanjutan kekaudal dari falx cerebri

disebut Falx cerebelli, berbentuk tenda yang merupakan atap dari fossa cranii posterior

memisahkan cerebrum dengan cerebellum disebut tentorium cerebelli, dan lembaran yang

menutupi sella tursica merupakan pembungkus hipophysis disebut diafragma sellae.

Diantara dua lembar duramater, dibeberapa tempat membentuk ruangan disebut sinus ( venosus )

duramatris.

Page 4: Penanganan Anestesi Untuk Pasien

Sinus duramatis menerima aliran dari vv. Cerebri, vv. Diploicae, dan vv. Emissari. Ada dua

macam sinus duramatis yang tunggal dan yang berpasangan. Sinus duramater yang tunggal

adalah : sinus sagitalis superior, sinus sagitalis inferior, sinus rectus, dan sinus occipitalis. Sinus

sagitalis superior menerima darah dari vv. Cerebri,vv. Diploicae, dan vv. Emissari.Sinus sagitalis

inferior menerima darah dari facies medialis otak. Sinus rectus terletak diantara falx cerebri dan

tentorium cerebelli, merupakan lanjutan dari v. cerebri magna, dengan sinus sagitalis superior

membentuk confluens sinuum. Sinus occipitalis mulai dari foramen magnum, bergabung dengan

confluens sinuum.

Sinus duramater yang berpasangan yaitu sinus tranversus, sinus cavernosus, sinus sigmoideus

dan sinus petrosus superior dan inferior. Sinus tranversus menerima darah dari sinus sagitalis

superior dan sinus rectus, kemudian mengalir ke v. jugularis interna. Sinus sigmoideus

merupakan lanjutan sinus tranversus berbentuk huruf S. Sinus petrosus superior dan inferior

menerima darah dari sinus cavernosus dan mengalirkan masing – masing ke sinus traaanversus

dan v. jugularis interna.

b.   Aracnoidea

Membran halus disebelah dalam duramater, tidak masuk kedalam sulcus / fissura kecuali fissura

longitudinalis. Dari aracnoidea banyak muncul trabecula halus menuju kepiamater membentuk

bangunan seperti sarang laba – laba.

Diantara aracnoidea dan piamater terdapat ruang spatium subaracnoidale, yang dibeberapa

tempat melebar membentuk cisterna. Sedangkan celah sempit diantara duramater dan aracnoidea

disebut spatium subdurale, celah sempit diluar duramater disebut spatium epidurale.

Dari aracnoidea juga muncul jonjot – jonjot yang mengadakan invaginasi ke duramater disebut

granulasio aracnoidales terutama didaerah sinus sagitalis yang berfungsi klep satu arah

memungkinkan lalunya bahan – bahan dari LCS ke sinus venosus.

c.   Piamater

Piamater melekat erat pada otak dan medulla spinalis, mengikuti setiap lekukan, mengandung

vasa kecil. Ditempat tertentu bersama dengan ependyma membentuk tela choroidea. Piamater

berperan sebagai barrier terhadap masuknya senyawa yang membahayakan.

B.2. Vasa Darah Otak

a.   Arteri

Page 5: Penanganan Anestesi Untuk Pasien

Otak divaskularisasi oleh cabang – cabang a. carotis interna dan a. vertebralis. A. carotis interna

merupakan cabang dari a. carotis comunis yang masuk ke kavum cranii melalui canalis caroticus,

cabang- cabangnya adalah a. optalmica, a. choroidea anterior, a. cerebralis anterior dan

a.cerebralis medialis. A. opthalmica mempercabang a. centralis retina, a. cerebralis anterior

mempercabangkan a. communicans anterior, sedangkan a. cerebralis medialis mempercabangkan

a. communican posterior.

Arteri vertebralis merupakan cabang a. subclavia naik ke leher melalui foramina tranversalis.

Kedua a. vertebralis di kranial pons membentuk a. basillaris yang mempercabangkan aa. Pontis,

a.labirintina (mengikuti n. V dan n. VIII ), a. cerebellaris superior ( setinggi n. III dan n. IV ) dan

a. cerebralis posterior yang merupakan cabang terminal a. basilaris.

Cabang -.cabang a. carotis interna dan a. vertebralis membentuk circulus arteriosus Willis yang

terdapat disekitar chiasma opticum. Dibentuk oleh a. cerebralis anterior, a. cerebralis media, a.

cerebralis posterior, a. comunican posterior dan a.communican anterior. Sistem ini

memungkinkan suplai darah ke otak yang adekuat terutama jika terjadi oklusi / sumbatan.

b.   Vena

Vena diotak diklasifikasikan sebagai berikut :

-     Vena cerebri eksterna, meliputi v. cerebralis superior / lateralis / medialis / inferior dan vv.

Basallles.

-     Vena cerebri interna, meliputi v. choroidea dan v. cerebri magna.

-     Vv. Cerebellaris

-     Vv. Emissariae, yaitu vena yang menghubungkan sinus duralis dengan vena superfisialis

cranium yang berfungsi sebagai klep tekanan jika terjadi kenaiakan tekanan intrakranial. Juga

berperan dalam penyebaran infeksi ke dalam cavum cranii.

Vena yang berasal dari truncus cerebri dan cerebellum pada umumnya mengikuti kembali aliran

arterinya. Sedangkan aliran balik darah venosa di cerebrum tidak tidak mengikuti pola di

arterinya. Semua darah venosa meninggalkan otak melalui v. jugularis interna pada basis cranii.

Anastomosis venosa sangat ektensif dan efektif antara vv. Superfisialis dan vv. Profunda di

dalam otak.

C. MENIFESTASI KLINIS

Pada trauma kapitis dapat terjadi perdarahan intrakranial / hematom intrakranial yang dibagi

menjadi :hematom yang terletak diluar duramater yaitu hematom epidural, dan yang terletak

Page 6: Penanganan Anestesi Untuk Pasien

didalam duramater yaitu hematom subdural dan hematom intraserebral ; dimana masing-masing

dapat terjadi sendiri ataupun besamaan.

D. KLAFISIKASI PERDAAHAN INTRAKRANIAN

D.1 EPIDURAL HEMATOMA

D.1.a. Definisi

Hematom epidural merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak dengan duramater

( dikenal dengan istilah hematom ekstradural ). Hematom jenis ini biasanya berasal dari

perdarahan arteriel akibat adanya fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau

robekan arteri-arteri meningens ( a. Meningea media ). Fraktur tengkorak yang menyertai

dijumpai pada 8% - 95% kasus, sedangkan sisanya (9%) disebabkan oleh regangan dan robekan

arteri tanpa ada fraktur (terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas yang terjadi hanya

sementara). Hematom epidural yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang terjadi.

D.1.b Etiologi

Kausa yang menyebabkan terjadinya hematom epidural meliputi :

<!--[if !supportLists]-->-          <!--[endif]-->Trauma kepala

<!--[if !supportLists]-->-          <!--[endif]-->Sobekan a/v meningea mediana

<!--[if !supportLists]-->-          <!--[endif]-->Ruptur sinus sagitalis / sinus tranversum

<!--[if !supportLists]-->-          <!--[endif]-->Ruptur v diplorica

Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arterial akibat adanya fraktur linier yang

menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri meningea mediana.Fraktur tengkorak yang

menyertainya dijumpai 85-95 % kasus, sedang sisanya ( 9 % ) disebabkan oleh regangan dan

robekan arteri tanpa ada fraktur terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas yang terjadi

hanya sementara.

Hematom jenis ini yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang terjadi, umumnya disebabkan

oleh laserasi sinus duramatris oleh fraktur oksipital, parietal atau tulang sfenoid.

D.1.c. Klasifikasi

Berdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi :

Page 7: Penanganan Anestesi Untuk Pasien

1. Akut : ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma

2. Subakut : ditentukan diagnosisnya antara 24 jam – 7 hari

3. Kronis : ditentukan diagnosisnya hari ke 7

III.1.d. Patofisiologi

Hematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam waktu yang lambat,

seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir selalu berhubungan dengan fraktur cranial

linier. Pada kebanyakan pasien, perdarahan terjadi pada arteri meningeal tengah, vena atau

keduanya. Pembuluh darah meningeal tengah cedera ketikaterjadi garis fraktur melewati lekukan

minengeal pada squama temporal.

III.1.e. Gejala klinis

Gejala klinis hematom epidural terdiri dari tria gejala;

1.   Interval lusid (interval bebas)

Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang diikuti dengan perkembangan

yang merugikan pada kesadaran dan hemisphere contralateral. Lebih dari 50% pasien tidak

ditemukan adanya interval lucid, dan ketidaksadaran yang terjadi dari saat terjadinya cedera.

Sakit kepala yang sangat sakit biasa terjadi, karena terbukanya jalan dura dari bagian dalam

cranium, dan biasanya progresif bila terdapat interval lucid.

Interval lucid dapat terjadi pada kerusakan parenkimal yang minimal. Interval ini

menggambarkan waktu yang lalu antara ketidak sadaran yang pertama diderita karena trauma

dan dimulainya kekacauan pada diencephalic karena herniasi transtentorial. Panjang dari interval

lucid yang pendek memungkinkan adanya perdarahan yang dimungkinkan berasal dari arteri.

2.   Hemiparesis

      Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung dari efek pembesaran massa

pada daerah corticispinal. Ipsilateral hemiparesis sampai penjendalan dapat juga menyebabkan

tekanan pada cerebral kontralateral peduncle pada permukaan tentorial.

3.   Anisokor pupil

      Yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal

dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi negatif. Terjadi pula

kenaikan tekanan darah dan bradikardi.pada tahap ahir, kesadaran menurun sampai koma yang

dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak

menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.

Page 8: Penanganan Anestesi Untuk Pasien

D.1.f. Terapi

Hematom epidural adalah tindakan pembedahan untuk evakuasi secepat mungkin, dekompresi

jaringan otak di bawahnya dan mengatasi sumber perdarahan.

Biasanya pasca operasi dipasang drainase selama 2 x 24 jam untuk menghindari terjadinya

pengumpulan darah yamg baru.

- Trepanasi –kraniotomi, evakuasi hematom

- Kraniotomi-evakuasi hematom

D.1.g. Komplikasi Dan Outcome

Hematom epidural dapat memberikan komplikasi :

<!--[if !supportLists]-->-          <!--[endif]-->Edema serebri, merupakan keadaan-gejala

patologis, radiologis, maupun tampilan ntra-operatif dimana keadaan ini mempunyai peranan

yang sangat bermakna pada kejadian pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan tekanan

intrakranial

<!--[if !supportLists]-->-          <!--[endif]-->Kompresi batang otak – meninggal

Sedangkan outcome pada hematom epidural yaitu :

<!--[if !supportLists]-->-          <!--[endif]-->Mortalitas 20% -30%

<!--[if !supportLists]-->-          <!--[endif]-->Sembuh dengan defisit neurologik 5% - 10%

<!--[if !supportLists]-->-          <!--[endif]-->Sembuh tanpa defisit neurologik

<!--[if !supportLists]-->-          <!--[endif]-->Hidup dalam kondisi status vegetatif

D.2 SUBDURAL HEMATOMA

D.2. a Definisi

Perdarahan subdural ialah perdarahan yang terjadi diantara duramater dan araknoid. Perdarahan

subdural dapat berasal dari:

1.   Ruptur vena jembatan ( "Bridging vein") yaitu vena yang berjalan dari ruangan subaraknoid

atau korteks serebri melintasi ruangan subdural dan bermuara di dalam sinus venosus dura mater.

2.   Robekan pembuluh darah kortikal, subaraknoid, atau araknoid' <!--[if !vml]--><!--[endif]-->

D. 2. b Etiologi

<!--[if !supportLists]-->1.      <!--[endif]-->Trauma kepala.

<!--[if !supportLists]-->2.      <!--[endif]-->Malformasi arteriovenosa.

Page 9: Penanganan Anestesi Untuk Pasien

<!--[if !supportLists]-->3.      <!--[endif]-->Diskrasia darah.

<!--[if !supportLists]-->4.      <!--[endif]-->Terapi antikoagulan

D.2.c. Klasifikasi

1.   Perdarahan akut

      Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma.Biasanya terjadi pada cedera

kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang

biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm

tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi hiperdens.

2.   Perdarahan sub akut

      Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada subdural

sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah . Perdarahan dapat lebih tebal

tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening tomografinya

didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel

darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.

3.   Perdarahan kronik

      Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih.Perdarahan kronik subdural,

gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang

ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan

perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan

pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma ini

lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan

penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk

mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di

daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada

selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada

sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan

meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan

perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan

membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma

akan membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma

Page 10: Penanganan Anestesi Untuk Pasien

subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening

tomografinya didapatkan lesi hipodens

D. 2.d. Patofisiologi

Vena cortical menuju dura atau sinus dural pecahdan mengalami memar atau laserasi, adalah

lokasi umum terjadinya perdarahan. Hal ini sangat berhubungan dengan comtusio serebral dan

oedem otak. CT Scan menunjukkan effect massa dan pergeseran garis tengah dalam exsess dari

ketebalan hematom yamg berhubungan dengan trauma otak.

D. 2.e. Gejala klinis

Gejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai penutunan

kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat deperti kasus cedera

neuronal primer, kecuali bila ada effek massa atau lesi lainnya.

Gejala yang timbul tidak khas dan meruoakan manisfestasi dari peninggian tekanan intrakranial

seperti : sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n. III,

epilepsi, anisokor pupil, dan defisit neurologis lainnya.kadang kala yang riwayat traumanya tidak

jelas, sering diduga tumor otak.

D.2.f. Terapi

Tindakan terapi pada kasus kasus ini adalah kraniotomi evakuasi hematom secepatnya dengan

irigasi via burr-hole. Khusus pada penderita hematom subdural kronis usia tua dimana biasanya

mempunyai kapsul hematom yang tebal dan jaringan otaknya sudah mengalami atrofi, biasanya

lebih dianjurkan untuk melakukan operasi kraniotomi (diandingkan dengan burr-hole saja).

D.2.g. Komplikasi Dan Outcome

Subdural hematom dapat memberikan komplikasi berupa :

1.   Hemiparese/hemiplegia.

2.   Disfasia/afasia

3.   Epilepsi.

4.   Hidrosepalus.

5.   Subdural empiema

Sedangakan outcome untuk subdural hematom adalah :

1.   Mortalitas pada subdural hematom akut sekitar 75%-85%

2.   Pada sub dural hematom kronis :

-     Sembuh tanpa gangguan neurologi sekitar 50%-80%.

Page 11: Penanganan Anestesi Untuk Pasien

-     Sembuh dengan gangguan neurologi sekitar 20%-50%.

D.3 INTRASEREBRAL HEMATOM

D.3.a. Definisi

Adalah perdarahan yang terjadi didalam jaringan otak. Hematom intraserbral pasca traumatik

merupkan koleksi darah fokal yang biasanya diakibatkan cedera regangan atau robekan rasional

terhadap pembuluh-pembuluh darahintraparenkimal otak atau kadang-kadang cedera penetrans.

Ukuran hematom ini bervariasi dari beberapa milimeter sampai beberapa centimeter dan dapat

terjadi pada 2%-16% kasus cedera.

Intracerebral hematom mengacu pada hemorragi / perdarahan lebih dari 5 mldalam substansi

otak (hemoragi yang lebih kecil dinamakan punctate atau petechial /bercak). <!--[if !vml]--><!--

[endif]-->

D.3.b. Etiologi

Intraserebral hematom dapat disebabkan oleh :

1. Trauma kepala.

2. Hipertensi.

3. Malformasi arteriovenosa.

4. Aneurisme

5. Terapi antikoagulan

6. Diskrasia darah

D.3.c. Klasifikasi

Klasifikasi intraserebral hematom menurut letaknya ;

1. Hematom supra tentoral.

2. Hematom serbeller.

3. Hematom pons-batang otak.

III.3.d. Patofisiologi

Hematom intraserebral biasanta 80%-90% berlokasi di frontotemporal atau di daerah ganglia

basalis, dan kerap disertai dengan lesi neuronal primer lainnya serta fraktur kalvaria.

D.3.e. Gejala klinis.

Page 12: Penanganan Anestesi Untuk Pasien

Klinis penderita tidak begitu khas dan sering (30%-50%) tetap sadar, mirip dengan hematom

ekstra aksial lainnya. Manifestasi klinis pada puncaknya tampak setelah 2-4 hari pasca cedera,

namun dengan adanya scan computer tomografi otak  diagnosanya dapat ditegakkan lebih cepat.

Kriteria diagnosis hematom supra tentorial nyeri kepala mendadak  penurunan tingkat kesadaran

dalam waktu 24-48 jam.

Tanda fokal yang mungkin terjadi ;

<!--[if !supportLists]-->-          <!--[endif]-->Hemiparesis / hemiplegi.

<!--[if !supportLists]-->-          <!--[endif]-->Hemisensorik.

<!--[if !supportLists]-->-          <!--[endif]-->Hemi anopsia homonim

<!--[if !supportLists]-->-          <!--[endif]-->Parese nervus III.

Kriteria diagnosis hematom serebeller ;

<!--[if !supportLists]-->-          <!--[endif]-->Nyeri kepala akut.

<!--[if !supportLists]-->-          <!--[endif]-->Penurunan kesadaran.

<!--[if !supportLists]-->-          <!--[endif]-->Ataksia

<!--[if !supportLists]-->-          <!--[endif]-->Tanda tanda peninggian tekanan intrakranial.

Kriteria diagnosis hematom pons batang otak:

<!--[if !supportLists]-->-          <!--[endif]-->Penurunan kesadaran koma.

<!--[if !supportLists]-->-          <!--[endif]-->Tetraparesa

<!--[if !supportLists]-->-          <!--[endif]-->Respirasi irreguler

<!--[if !supportLists]-->-          <!--[endif]-->Pupil pint point

<!--[if !supportLists]-->-          <!--[endif]-->Pireksia

<!--[if !supportLists]-->-          <!--[endif]-->Gerakan mata diskonjugat.

D.3.f. Terapi umum

Untuk hemmoragi kecil treatmentnya adalah observatif dan supportif. Tekanan darah harus

diawasi. Hipertensi dapat memacu timbulnya hemmoragi. Intra cerebral hematom yang luas

dapat ditreatment dengan hiperventilasi, manitol dan steroid dengan monitorong tekanan

intrakranial sebagai uasaha untuk menghindari pembedahan. Pembedahan dilakukan untuk

hematom masif yang luas dan pasien dengan kekacauan neurologis atau adanya elevasi tekanan

intrakranial karena terapi medis

Konservatif

<!--[if !supportLists]-->-          <!--[endif]-->Bila perdarahan lebih dari 30 cc supratentorial

Page 13: Penanganan Anestesi Untuk Pasien

<!--[if !supportLists]-->-          <!--[endif]-->Bila perdarahan kurang dari 15 cc celebeller

<!--[if !supportLists]-->-          <!--[endif]-->Bila perdarahan pons batang otak.

Pembedahan

Kraniotomi

<!--[if !supportLists]-->-          <!--[endif]-->Bila perdarahan supratentorial lebih dari 30 cc

dengan effek massa

<!--[if !supportLists]-->-      <!--[endif]-->Bila perdarahan cerebeller lebih dari 15 cc dengan

effek massa

E. PENANGANAN

Persiapan anastesi

1. Pemeriksaan prabedah

Pemeriksaan prabedah sama seperti pemeriksaan rutin untuk tindakan anestesi lain, hanya

ditambah dengan evaluasi tekanan intrakranial, efek samping kelainan serebral, terapi dan

pemeriksaan sebelumnya, hasil CT-scan, MRI dll. CT scan menunjukkan adanya peningkatan

tekanan intrakranial dengan adanya midline shift, obliterasi sisterna basalis, hilangnya sulkus,

hilangnya ventrikel (atau pembesaran, dalam kasus hidrosefalus), dan edema (adanya daerah

hipodensitas).

Indikasi untuk pemasangan monitor tekanan intrakranial adalah 1) CT scan abnormal dan GCS

3-8 setelah resusitasi syok dan hipoksia adekuat, 2) CT scan normal dan GCS 3-8 dan disertai

dua atau lebih : umur > 40 tahun, posturing, tekanan sistolik < 90 mmHg. Pemantauan tekanan

intrakranial menggunakan kateter intraventrikuler lebih disukai karena selain dapat membaca

tekanan intrakranial juga dapat digunakan untuk terapi peningkatan tekanan intrakranial dengan

cara drainase cairan serebrospinal. Terapi untuk menurunkan tekanan intrakranial umumnya

dimulai pada level tekanan intrakranial 20-25 mmHg. Tujuannya untuk mempertahankan

tekanan perfusi otak > 70 mmHg.

Pengobatan hipertensi intrakranial adalah level kepala 150 sampai 300, mengendalikan kejang,

ventilasi PaCO2 normal rendah (35 mmHg), suhu tubuh normal, tidak ada obstruksi drainase

vena jugularis, optimal resusitasi cairan dan semua homeostasis fisiologis, dan pemberian sedasi

dan obat pelumpuh otot bila diperlukan. Bila tindakan ini gagal untuk menurunkan tekanan

intrakranial, tambahan terapi diberikan dalam manuver first-tier dan second-tier terapi.

Page 14: Penanganan Anestesi Untuk Pasien

First-tier terapi adalah : 1) drainase CSF secara inkremental melalui kateter intraventricular, 2)

Diuresis dengan mannitol, 0.25-1.5 g/kg diberikan lebih dari 10 menit, 3) hiperventilasi moderat.

Mannitol menurunkan tekanan intrakranial dengan cara mengurangi edema otak dan

memperbaiki aliran darah otak. Akan tetapi, mannitol dapat menyebabkan diuresis dan hipotensi,

terutama pada fase resusitasi awal bila tidak dipasang alat pantau invasif dan adanya cedera lain

tidak diketahui. Karena itu, dipertahankan euvolemia atau sedikit hipervolemia selama terapi

mannitol dan osmolaritas serum dipantau serta dipertahankan dibawah 320 mOsm/L.

Hiperventilatisi moderat untuk mencapai PaCO2 antara 35 sampai 40 mmHg juga menurunkan

tekanan intrakranial dengan mengurangi aliran darah otak. Hiperventilasi harus dilakukan

dengan singkat untuk mengobati gangguan neurologis akut atau peningkatan tekanan intrakranial

yang refrakter terhadap drainase cairan serebrospinal dan pemberian mannitol.

Second-tier terapi adalah: 1) hiperventilasi agressif, 2) dosis tinggi barbiturat dan, 3) craniektomi

decompresif. Hiperventilasi agressif untuk mencapai PaCO2 < 30 mmHg mungkin diperlukan

untuk peningkatan tekanan intrakranial yang tidak berespon terhadap first-tier terapi. Bila

digunakan aggresif hiperventilasi, pemantauan jugular venous oxygen saturation (SJO2) atau

cerebral tissue oxygenation dianjurkan untuk menilai pengaruh penurunan aliran darah otak pada

metabolisme oksigen serebral.

Herniasi otak adalah satu hal yang paling ditakutkan sebagai akibat penyakit intrakranial

misalnya tumor otak atau cedera kepala. Dari pasien cedera kepala yang berkembang menjadi

herniasi transtentorial, hanya 18% mempunyai outcome yang baik, didefinisikan sebagai good

recovery atau moderate disability.

Secara klasik, trias yang dihubungkan dengan herniasi transtentorial yaitu penurunan kesadaran,

dilatasi pupil, motor posturing timbul sebagai konsekwensi adanya massa hemisperic. Tanda

pertama dan ketiga akan hilang bila pasien dianestesi dan yang kedua memerlukan pemantauan

pupil yang sering.

Pengelolaan klinis sindroma herniasi adalah sama dengan pengelolaan hipertensi intrakranial

yaitu dirancang untuk mengurangi volume otak dan volume darah otak yaitu dengan cara:

berikan mannitol, hiperventilasi. Tambahan tindakan yang mungkin digunakan adalah posisi

kepala head-up (supaya drainase vena serebral baik), posisi leher netral (untuk menghindari

penekanan vena jugularis), pola ventilasi yang tepat, glukokortikoid (hanya untuk tumor atau

abses otak, tidak efektif untuk stroke dan kerusakan akibat hipoksia), sedasi, pelumpuh otot dan

Page 15: Penanganan Anestesi Untuk Pasien

terapi demam (lakukan hipotermi ringan). Bila tekanan darah naik, harus dikurangi secara hati-

hati karena hipertensi umumnya sekunder bukan primer (merupakan komponen dari trias

Cushing).

Pengelolaan pasien tanpa adanya tanda klinis herniasi otak. Bila tidak ada tanda herniasi

transtentorial, sedasi dan pelumpuh otot harus digunakan selama transportasi pasien untuk

kemudahan dan keamanan selama transportasi. Agitasi, confus sering terdapat pada pasien

cedera kepala dan memerlukan pertimbangan pemberian sedasi. Pelumpuh otot mempunyai

keterbatasan untuk evaluasi pupil serta dalam pemeriksaan CT scan. Karena itu,

penggunaannnya pada pasien tanpa tanda herniasi otak adalah bila pemberian sedatif saja tidak

cukup untuk menjamin keamanan dan kemudahan transportasi pasien. Bila akan digunakan

pelumpuh otot, pakailah yang masa kerjanya pendek. Tidak perlu mannitol karena dapat

menimbulkan hipovolemia. Tidak perlu dilakukan hiperventilasi tapi asal optimal oksigenasi dan

normal ventilasi.

Pengelolaan pasien dengan adanya tanda klinis herniasi otak. Bila ada tanda herniasi

transtentorial atau perubahan progresif dari memburuknya neurologis yang bukan disebabkan

akibat ekstrakranial, diindikasikan untuk melakukan terapi agresif peningkatan tekanan

intrakranial. Hiperventilasi mudah dilakukan dengan meningkatkan frekuensi ventilasi dan tidak

tergantung pada sukses atau tidaknya resusitasi volume. Disebabkan hipotensi dapat

menimbulkan memburuknya neurologis dan hipertensi intrakranial maka pemberian mannitol

hanya bila volume sirkulasi adekuat. Bila belum adekuat jangan dulu diberi mannitol.

2. Anestesi

Pasien dengan cedera kepala berat (GCS 3-8) biasanya telah dilakukan intubasi di unit gawat

darurat atau untuk keperluan CT-scan. Bila pasen datang ke kamar operasi belum dilakukan

intubasi, dilakukan oksigenasi dan bebaskan jalan nafas. Spesialis anestesi harus waspada bahwa

pasien ini mungkin dalam keadaan lambung penuh, hipovolemia, dan cervical spine injury.

Beberapa teknik induksi dapat dilakukan dan keadaan hemodinamik yang stabil menentukan

pilihan teknik induksinya. Rapid sequence induction dapat dipertimbangkan pada pasien dengan

hemodinamik yang stabil walaupun prosedur ini dapat meningkatkan tekanan darah dan tekanan

intrakranial. Selama pemberian oksigen 100%, dosis induksi pentotal 3-4 mg/kg atau propofol 1-

2 mg/kg dan succinylcholin1,5 mg/kg diberikan, lidokain 1,5 mg/kg lalu dilakukan intubasi

endotrakheal. Etomidate 0,2-0,3 mg/kg dapat diberikan pada pasien dengan status sirkulasi

Page 16: Penanganan Anestesi Untuk Pasien

diragukan. Pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil dosis induksi diturunkan atau tidak

diberikan. Akan tetap, depresi kardiovaskuler selalu menjadi pertimbangan, terutama pada pasien

dengan hipovolemia.

Succinylcholin dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Pemberian dosis kecil pelumpuh otot

nondepolarisasi dapat mencegah kenaikkan tekanan intrakranial, akan tetapi keadaan ini tidak

dapat dipastikan. Succinylcholin tetapi merupakan pilihan, terutama, untuk memfasilitasi

laringoskopi dan intubasi yang cepat. Rocuronium 0,6 -1 mg/kg merupakan alternatif yang

memuaskan disebabkan karena onsetnya yang cepat dan sedikit pengaruhnya pada dinamika

intrakranial.

Bila pasien stabil dan tidak ada lambung penuh, induksi intravena dapat dilakukan dengan titrasi

pentotal atau propofol untuk mengurangi efeknya pada sirkulasi. Berikan dosis intubasi

pelumpuh otot tanpa diberikan priming terlebih dulu. Sebagai contoh, dengan rocuronium 0,6-1

mg/kg diperoleh kondisi intubasi yang baik dalam watu 60-90 detik. Fentanyl 1-4 ug/kg

diberikan untuk menumpulkan respon hemodinamik terhadap laringoskopi dan intubasi.

Lidokain 1,5 mg/kg intravena diberikan 90 detik sebelum laringoskopi dapat mencegah kenaikan

tekanan intrakranial.

Intubasi dengan pipa endotrakheal sebesar mungkin yang bisa masuk, dan pasang pipa

nasogastrik untuk aspirasi cairan lambung dan biarkan mengalir secara pasif selama

berlangsungnya operasi. Jangan dipasang melalui nasal disebabkan kemungkinan adanya fraktur

basis kranii dapat menyebabkan masuknya pipa nasogastrik kedalam rongga cranium.

Pemeliharaan anestesi dipilih dengan obat yang ideal yang mampu menurunkan tekanan

intrakranial, mempertahankan pasokan oksigen yang adekuat ke otak, dan melindungi otak dari

akibat iskemia. Pemilihan obat anestesi berdasarkan pertimbangan patologi intrakranial, kondisi

sistemik, dan adanya multiple trauma.

Tiopental dan pentobarbital menurunkan aliran darah otak, volume darah otak, dan tekanan

intrakranial. Penurunan tekanan intrakranial oleh obat ini berhubungan dengan penurunan aliran

darah otak dan volume darah otak akibat depresi metabolisme. Obat-obat ini juga mempunyai

efek pada pasien yang respon terhadap CO2nya terganggu. Tiopental dan pentobarbital

mempunyai efek proteksi melawan iskemia otak fokal. Pada cedera kepala, iskemia merupakan

sequele yang umum terjadi. Walaupun barbiturat mungkin efektif pada brain trauma, tapi tidak

ada penelitian Randomized Controlled Trial yang menunjukkan secara definitif memperbaiki

Page 17: Penanganan Anestesi Untuk Pasien

outcome setelah cedera otak traumatika. Sebagai tambahan, tiopental dapat mempunyai efek

buruk bila tekanan darah turun.

3. Pascabedah

Bila pasien prabedah GCS 8 kebawah, pasca bedah tetap diintubasi. Bila masih tidak sadar,

pasien mungkin dilakukan ventilasi mekanik atau nafas spontan. Harus diperhatikan bahwa

pasien dalam keadaan posisi netral-head up, jalan nafas bebas sepanjang waktu, normokapni,

oksigenasi adekuat, normotensi, normovolemia, isoosmoler, normoglikemia, normotermia (35-

360C). Berikan fenitoin sampai 1 minggu pascabedah untuk profilaksis kejang. Nutrisi enteral

dimulai dalam 24 jam pascabedah.

DAFTAR PUSTAKA

<!--[if !supportLists]-->1.      <!--[endif]-->Bisri T. Dasar-Dasar Neuroanestesi. Olah Saga Citra;

2008.

<!--[if !supportLists]-->2.      <!--[endif]-->Bisri T. Penentuan Jugular Bulb Oxygen Saturation

(SJO2) dan Cerebral Extraction of Oxygen (CEO2) sebagai indikator utama proteksi otak pada

teknik anestesi untuk operasi cedera kepala. Disertasi. Universitas Padjadjaran 2002.

<!--[if !supportLists]-->3.      <!--[endif]-->Newfield P, Cottrell JE. Handbook of

Neuroanesthesia, 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007:91-110.