manajemen anestesi perioperatif pada pasien appendisitisa

30
1 BAB I PENDAHULUAN Appendisitis merupakan suatu keadaan timbulnya peradangan pada saluran appendiks yang ditandai dengan nyeri pada perut bagian bawah. Appendisitis merupakan kasus nyeri perut yang sering terjadi dan membutuhkan operasi pada anak-anak dan orang dewasa di bawah umur 50 tahun. Appendisitis lebih sering mengenai usia antara 10-20 tahun. Laki-laki lebih sering terkena appendisitis dibandingkan perempuan dengan rasionya 1,4 : 1 (Humes, 2006; Cole, 2011). Menurut data dari WHO tahun 2004, insiden kasus apendistis di Asia dan di Afrika mencapai 4,8% dan 2,6% penduduk dari total populasi (WHO, 2004). Menurut penelitian dari Omran (2003) di Kanada, sebanyak 65.675 kasus appendisitis akut terjadi di Ontario, Kanada, dengan insiden kasus tertinggi pada usia 10-19 tahun dan lebih sering mengenai laki-laki dibandingkan perempuan dengan rasionya 1,4 : 1. Sedangkan menurut data dari departemen kesehatan RI pada tahun 2006, appendisitis menempati urutan ke-4 penyakit terbanyak di Indonesia setelah dispepsia, gastritis, dan duodenitis pada kasus gangguan sistem saluran cerna dengan jumlah pasien yang dirawat inap sebanyak 28.040 orang (Depkes, 2006).

Upload: suarbawa

Post on 11-Dec-2015

67 views

Category:

Documents


16 download

DESCRIPTION

anestesi perioperatif

TRANSCRIPT

Page 1: manajemen anestesi perioperatif pada pasien appendisitisa

1

BAB I

PENDAHULUAN

Appendisitis merupakan suatu keadaan timbulnya peradangan pada saluran

appendiks yang ditandai dengan nyeri pada perut bagian bawah. Appendisitis

merupakan kasus nyeri perut yang sering terjadi dan membutuhkan operasi pada

anak-anak dan orang dewasa di bawah umur 50 tahun. Appendisitis lebih sering

mengenai usia antara 10-20 tahun. Laki-laki lebih sering terkena appendisitis

dibandingkan perempuan dengan rasionya 1,4 : 1 (Humes, 2006; Cole, 2011).

Menurut data dari WHO tahun 2004, insiden kasus apendistis di Asia dan di

Afrika mencapai 4,8% dan 2,6% penduduk dari total populasi (WHO, 2004).

Menurut penelitian dari Omran (2003) di Kanada, sebanyak 65.675 kasus

appendisitis akut terjadi di Ontario, Kanada, dengan insiden kasus tertinggi pada

usia 10-19 tahun dan lebih sering mengenai laki-laki dibandingkan perempuan

dengan rasionya 1,4 : 1. Sedangkan menurut data dari departemen kesehatan RI

pada tahun 2006, appendisitis menempati urutan ke-4 penyakit terbanyak di

Indonesia setelah dispepsia, gastritis, dan duodenitis pada kasus gangguan sistem

saluran cerna dengan jumlah pasien yang dirawat inap sebanyak 28.040 orang

(Depkes, 2006).

Diagnosis appendisitis akut dapat ditegakkan melalui anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Penanganan pada kasus

appendisitis akut berupa pemberian antibiotik serta pembedahan, yakni

appendiktomi. Namun, sebelum dilakukan pembedahan, perlu diberikan antibiotik

dengan tujuan untuk menekan insiden terjadinya infeksi luka pasca operasi di

abdomen serta pembentukan abses intraabdominal (Humes, 2006). Setiap

tindakan pembedahan ini, memerlukan tatalaksana anestesi yang tepat. Oleh

karena itu, maka tatalaksana perioperatif anestesi pada kasus appendisitis akut

penting untuk dibahas dalam paper ini dalam bentuk tinjauan pustaka.

Page 2: manajemen anestesi perioperatif pada pasien appendisitisa

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Appendiks

Appendiks memiliki panjang 6-10 cm, berbentuk vermiformis, serta berisi

massa cairan limfoid. Appendiks berasal dari aspek posteromedial caecum di

sebelah inferior taut iliocaecal. Appendiks memiliki mesenterium triangular yang

pendek (mesoappendiks) yang berasal dari sisi posterior ileum terminalis.

Mesoappendiks menempel pada caecum dan bagian proximal appendiks. Posisi

appendiks lebih sering ditemukan retrocaecal (Moore, 2013).

Appendiks retrocaecal memanjang ke superior dan ke arah flexura colica

dextra dalam keadaan bebas. Dasar appendiks terletak di sebelah dalam titik yang

menghubungkan spina iliaca anterior superior (SIAS) dextra dengan umbilicus

(titik McBurney). Vaskularisasi appendiks berasal dari arteri appendicularis yang

merupakan cabang dari arteri ileocolica. Arteri ini berjalan di antara lapisan

mesoappendiks. Vena ileocolica mengalirkan darah dari caecum dan appendiks

untuk dibawa kembali ke jantung. Pembuluh limfatik appendiks berjalan ke nodi

lymphatici profunda mesoappendiks dan ke nodi lympathici ileocolici yang

terletak di sepanjang arteri ileocolica. Innervasi saraf ke appendiks berasal dari

saraf simpatis dan parasimpatis dari plexus mesentericus superior di mana serabut

saraf simpatisnya berasal dari bagian thoracal bawah pada medulla spinalis,

sedangkan serabut saraf parasimpatisnya berasal dari nervus vagus (Moore, 2013).

Gambar 2.1. Anatomi Appendiks beserta Vaskularisasinya (Moore,

2013)

Page 3: manajemen anestesi perioperatif pada pasien appendisitisa

3

2.2. Etiologi dan Patofisiologi Appendisitis Akut

Appendisitis akut disebabkan oleh adanya obstruksi lumen appendiks atau

akibat infeksi bakteri. Obstruksi lumen appendiks bisa disebabkan oleh adanya

beberapa mekanisme yang bervariasi sehingga menimbulkan retensi pada mukosa

appendiks. Penyebab tersering timbulnya appendisitis akut adalah infeksi (lebih

sering pada anak-anak dan dewasa muda), serta adanya fecalith (lebih sering pada

usia tua). Fecalith didapat dari adanya endapan garam kalsium yang menempel di

dinding appendiks (Craig, 2014).

Jika infeksi bakteri terjadi, maka tekanan intraluminal meningkat sehingga

terjadi gangguan aliran limfa ke appendiks dan menimbulkan edema pada

appendiks. Proses ini menimbulkan peradangan dan nyeri tekan pada abdomen

bagian bawah kanan. Hal ini disebut sebagai catarrhal appendisitis. Jika kondisi

ini terus berlanjut, maka edema appendiks serta timbulnya kongesti vaskular pada

appendiks akan membentuk abses multipel pada dinding apendiks sehingga

menjadi appendiksitis phlegmon. Kondisi ini jika terus dibiarkan, dapat

menimbulkan disfungsi sirkularsi pada appendiks akibat infark pada bagian

mesoappendiks dan appendiks sehingga appendiks menjadi berwarna merah

kehitaman disertai area nekrosis berwarna hitam. Hal ini disebut sebagai

appendiksitis gangrenous. Jika terjadi perforasi pada appendiks, dapat

menyebabkan peritonitis (Ishikawa, 2003; Craig, 2014).

2.3. Manifestasi Klinis Appendisitis Akut

Appendisitis akut dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,

dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis dapat ditegakkan dari gejala yang

ditimbulkannya. Nyeri abdomen merupakan gejala utamanya. Nyeri abdomennya

dirasakan mulai dari periumbilikal atau epigastrik hingga menjalar ke kuadran

kanan bawah abdomen dan nyerinya dapat bersifat menetap (ligath sign). Pasien

biasanya dalam posisi berbaring dengan memfleksikan panggulnya. Gejala

penyertanya dapat berupa mual, muntah, anorexia, demam subfebris. Durasi

gejala ini < 48 jam pada 80% kasus pasien dewasa (Craig, 2014).

Pada pemeriksaan fisik, ditemukan adanya nyeri tekan pada titik McBurney

serta nyeri tekan dengan defans muskuler. Selain itu, dapat ditemukan tanda

Page 4: manajemen anestesi perioperatif pada pasien appendisitisa

4

rebound phenomenon (menekan perut pada bagian kiri dan dilepas secara

mendadak, dirasakan nyeri pada perut bagian bawah), rovsing sign (menekan

daerah colon descendens kearah colon transversum, didapatkan nyeri perut kanan

bawah), tenhorn sign (menarik testis bagian kanan, didapatkan nyeri perut kanan

bawah), psoas sign (mengangkat tungkai kanan dalam posisi ekstensi, didapatkan

nyeri perut kanan bawah), serta obturator sign (memfleksikan dan endorotasi

sendi panggul kanan, didapatkan nyeri pada perut kanan bawah). Pada

pemeriksaan rectal toucher, juga didapatkan adanya nyeri pada arah jam 10 atau

11 (Craig, 2014).

Pada pemeriksaan darah lengkap, dapat ditemukan leukositosis. Pada

pemeriksaan C-reactive Protein, didapatkan > 1 mg/dL yang mengindikasikan

terjadinya appendisitis akut. Pada hasil urinalisis, dapat ditemukan piuria ringan,

sedangkan adanya piuria berat mengindikasikan terjadinya infeksi saluran kemih

(ISK). Pada hasil USG, dapat ditemukan adanya struktur tubular yang bersifat non

kompresif dengan diameternya 7-9 mm pada appendisitis akut. USG juga

dianjurkan pada pasien anak-anak dengan appendisitis akut (Craig, 2014). Pada

pemeriksaan imaging, USG masih menjadi lini pertama pada pasien appendisitis

akut. Akan tetapi, akurasinya masih kurang dan dibutuhkan tenaga operator yang

ahli dalam mengendalikan alat USG tersebut (Pinto, 2013).

2.4. Manajemen Anestesi Perioperatif pada Appendisitis Akut

2.4.1. Evaluasi preoperatif

Sebelum dilakukan tindakan operasi pada appendisitis akut baik pada orang

dewasa maupun anak-anak, sangat penting dilakukan persiapan preoperatif.

Tujuan dilakukannya evaluasi ini adalah :

1. Memperkirakan keadaan fisik dan psikis dari pasien.

2. Menghindari kejadian salah identitas serta salah operasi.

3. Mengetahui adanya kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti

adanya riwayat hipertensi, asma, atau alergi (serta manifestasinya baik

berupa dyspnea atau urtikaria) pada pasien dengan apendisitis akut.

4. Mengetahui riwayat operasi pasien serta pengobatan pasien sebelumnya.

Page 5: manajemen anestesi perioperatif pada pasien appendisitisa

5

5. Mengetahui tahapan risiko anestesi (status ASA) dan kemungkinan

perbaikan status preoperasi (pemeriksaan tambahan dan terapi yang

diperlukan).

6. Mengetahui pemilihan jenis anestesi yang digunakan serta penjelasan

persetujuan operasi (informed consent) kepada pasien.

7. Mengetahui pemberian obat-obatan premedikasi yang digunakan

sehingga dapat mengurangi dosis obat induksi yang akan digunakan

pada pasien.

Evaluasi preoperatif yang dilakukan, meliputi anamnesis kepada pasien

dengan menanyakan keluhan utama yang dialami pasien saat ini serta AMPLE

(Allergy, Medication, Past Medical History, Last Meal, Elicit History),

pemeriksaan fisik dengan 6B (Brain, Breath, Blood, Bowel, Bladder, Bone/Body),

serta pemeriksaan penunjang (darah lengkap, C-reactive Protein, USG, dan

lainnya untuk mendukung diagnosis kerja dari appendisits akut). Selanjutnya

dokter anestesi juga harus menjelaskan kepada pasien mengenai manajemen

anestesi yang akan dilakukan yang tercermin dalam informed consent serta

memberitahukan kepada pasien untuk puasa sebelum dilakukan operasi jika

pasien tersebut setuju untuk dioperasi untuk menghindari terjadi regurgitasi pada

esofagus serta aspirasi (Latief, 2009).

A. Anamnesis

Pada kasus appendisitis akut, perlu ditanyakan kepada pasiennya mengenai

nyeri perut yang dirasakannya, awal mula timbulnya nyeri tersebut, serta gejala

penyerta yang dialaminya (mual, muntah, anorexia, demam subfebris). Di

samping itu, perlu juga ditanyakan kepada pasien mengenai riwayat penyakit

terdahulu yang dialaminya untuk mengetahui apakah ada penyulit lain yang bisa

menyebabkan timbulnya appendisitis akut. Riwayat makanan juga perlu

ditanyakan untuk mengetahui penyebab timbulnya appendisits akut, apakah

berasal dari feccalith atu dari infeksi hematogen. Riwayat lainnya seperti riwayat

pengobatan serta riwayat operasi sebelumnya juga perlu ditanyakan untuk

Page 6: manajemen anestesi perioperatif pada pasien appendisitisa

6

mengetahui kemungkinan penyulit atau komplikasi lainnya yang dapat dialami

pasien appendisitis akut.

B. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan kepada pasien dengan appendisitis

akut, meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, respiratory rate, suhu, skala

nyeri), pemeriksaan paru-paru, pemeriksaan jantung, pemeriksaan abdomen, serta

pemeriksaan sistem muskuloskeletal. Pemeriksaan neurologis juga penting

dilakukan terutama pada pengguanan anestesi regional sehingga bisa diketahui

adanya defisit neurologis sebelum dilakukan anestesi regional.

Pemeriksaan airway juga perlu dilakukan untuk mengetahui jalan nafas

pasien. Pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher

pendek, serta kaku pada otot, juga sangat penting dilakukan untuk mengetahui

apakah ada penyulitan dalam melakukan intubasi ketika dilakukan general

anesthesia baik pada pasien anak-anak maupun orang dewasa. Kesesuaian masker

untuk anestesi harus sudah diperkirakan pada pasien dengan abnormalitas wajah

yang signifikan. Mikrognatia (jarak yang pendek antara dagu dengan tulang

hyoid), incisivus bawah yang besar, makroglosia, Range of Motion (ROM) yang

terbatas pada sendi temporomandibular atau vertebrae servikal, serta leher yang

pendek, mengindikasikan dapat terjadi kesulitan untuk dilakukan intubasi pada

pasien dengan general anesthesia baik pada anak-anak maupun orang dewasa.

Dalam kasus appendisitis akut, pemeriksaan fisik lebih diutamakan pada

pemeriksaan abdomen serta nyeri pada titik McBurney. Pada pemeriksaan

abdomen, hampir keseluruhan dalam batas normal. Akan tetapi, adanya nyeri

tekan pada titik McBurney di regio kuadran bawah kanan abdomen

mengindikasikan bahwa pasien tersebut menderita appendisitis akut. Di samping

itu, psoas sign serta obturator sign juga dapat ditemukan sebagian besar pada

pasien appendisitis akut.

Skor Mallampati juga perlu dilakukan untuk mengetahui level kesulitan

pada intubasi pasien yang sedang menjalani proses pembedahan dengan general

anesthesia. Skor ini dapat diklasifikasikan menjadi 4 jenis :

Mallampati I : Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan

Page 7: manajemen anestesi perioperatif pada pasien appendisitisa

7

Mallampati II : Terlihat palatum mole dan durum, serta bagian atas tonsil dan

uvula.

Mallampati III : Terlihat palatum mole dan durum, serta dasar uvula.

Mallampati IV : Hanya terlihat palatum durum.

C. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan tambahan atau penunjang yang dibutuhkan dalam preoperasi

pada appendisitis akut juga perlu dicantumkan. Pemeriksaan penunjang yang

dicantumkan meliputi darah lengkap, C-reactive protein, serta USG. Pada

pemeriksaan darah lengkap, dapat ditemukan leukosit mengalami peningkatan

(leukositosis). Hal ini disebabkan oleh karena adanya proses infeksi yang terjadi

pada daerah appendiks sehingga dapat menimbulkan peradangan. Pada hasil C-

reactive protein, dapat ditemukan > 1 mg/dL yang mengindikasikan terjadi

appendisitis akut. Pada USG, dapat ditemukan juga adanya pembesaran pada

appendiks dengan struktur tubular yang bersifat non kompresif, diameternya 7-9

mm.

D. Penentuan status ASA

Klasifikasi status fisik ASA bukan merupakan alat perkiraan risiko

anestesi karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping

pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6

selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan terhadap adanya brain-dead organ

donor. Status fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas

perioperatif. Klasifikasi status fisik ASA digunakan dalam perencanaan

manajemen anestesi serta teknik monitoring (Barash, 2009) :

ASA I : Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri

ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa

keterbatasan aktivitas sehari-hari

ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, serta aktivitas fisik normal yang

terbatas

ASA IV : Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dengan maupun

tanpa operasi

Page 8: manajemen anestesi perioperatif pada pasien appendisitisa

8

ASA V : Pasien dengan penyakit berat yang memiliki harapan hidup kecil dengan

atau tanpa operasi

ASA VI : Pasien dengan kematian batang otak yang organ tubuhnya akan diambil

untuk tujuan donor (brain-dead organ donor)

Pada kasus appendisitis akut, lebih sering ditemukan ke dalam klasifikasi

ASA II. Hal ini disebabkan oleh karena appendisitis akut tidak sering dapat

mengalami gangguan sistemik yang berat dan penyulit yang sering ditemukan

berupa leukositosis. Akan tetapi, status ASA pada pasien appendisitis akut dapat

berubah menjadi ASA III atau IV, jika ada mengalami penyulit komplikasi yang

lain seperti gangguan pada sistem liver, ginjal, paru-paru, dan organ sistem

lainnya.

E. Informed Consent

Informed consent yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan dapat

melindungi dokter dari tuntutan. Dalam hal ini, perlu dipastikan bahwa pasien

sudah mendapatkan informasi yang cukup mengenai prosedur yang akan

dilakukan beserta risikonya.

Jika pasien tersebut setuju untuk dilakukan tindakan appendektomi, maka

operasi tersebut dapat segera dilaksanakan. Jika pasien tersebut tidak setuju, maka

dapat diberikan obat antibiotik untuk mengatasi infeksi pada appendiks tersebut.

Pemberian antibiotik dapat diberikan pada pasien dengan appendisitis akut tanpa

komplikasi. Akan tetapi, tindakan operasi masih merupakan gold standard dalam

penanganan appendisitis akut (Pisano, 2013).

2.4.2. Premedikasi

Premedikasi adalah pemberian obat selama 1-2 jam sebelum dilakukan

induksi anestesi kepada pasien dalam menjalani operasi dengan tujuan untuk

melancarkan induksi, rumatan, serta bangun dari anesthesia. Di samping itu,

premedikasi juga bertujuan untuk meredakan kecemasan, mengurangi sekresi

kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah obat anestetik, mengurangi

mual muntah pasca bedah, membuat pasien menjadi hipnotik, serta mengurangi

reflek yang membahayakan. Pemberian premedikasi dapat diberikan secara

Page 9: manajemen anestesi perioperatif pada pasien appendisitisa

9

suntikan intramuskular (30-45 menit sebelum induksi anestesia), atau suntikan

intravena (5-10 menit sebelum induksi anestesia). Komposisi dan dosis obat

premedikasi yang akan diberikan kepada pasien serta cara pemberiannya

disesuaikan dengan masalah yang dijumpai pada pasien (Miller, 2009).

Obat-obatan yang dapat digunakan dalam premedikasi pada pasien dapat

dijabarkan pada tabel di bawah ini :

Tabel 2.1

Obat Premedikasi (Mangku, 2009)

No Jenis Obat Dosis (Dewasa)

1 Sedatif :

Diazepam

Diphenhidramine

Promethazine

Midazolam

5-10 mg

1 mg/kgBB

1 mg/kgBB

0,1-0,2 mg/kgBB

2 Analgetik Opiat :

Petidin

Morfin

Fentanil

1-2 mg/kgBB

0,1-0,2 mg/kgBB

1-2 µg/kgBB

3 Antikholinergik :

Sulfas Atropine 0,1 mg/kgBB

4 Antiemetik :

Ondansetron

Metoklopramid

4-8 mg (iv) dewasa

10 mg (iv) dewasa

Page 10: manajemen anestesi perioperatif pada pasien appendisitisa

10

2.4.3. Pemilihan Teknik Anestesi

Dalam pemilihan teknik anestesi, perlu dipertimbangkan faktor-faktor

yang berperan dalam keamanan dan kenyamanan pasien (Mangku, 2009) :

1. Usia pasien

Pada usia bayi dan anak, lebih baik dilakukan teknik general anesteshia oleh

karena pasien usia demikian lebih sering tidak kooperatif. Sedangkan pada

pasien dewasa, jika digunakan untuk tindakan singkat, dapat dilakukan teknik

anestesi regional atau general anesteshia.

2. Status fisik pasien

a. Riwayat penyakit dan anestesi terdahulu, sangat penting untuk ditanyakan

beserta komplikasi sebelum maupun pasca pembedahan yang dialami

pasien saat itu. Penggunaan anestesi regional sebaiknya dihindari pada

pasien dengan diabetik neuropati karena dapat memperburuk gejala yang

ada.

b. Pada pasien dengan adanya penyulit gangguan kardiovaskular yang berat,

hindari penggunaan general anesthesia karena dapat mengakibatkan

depresi nafas serta gangguan hemodinamik pada kardiovaskular. Oleh

sebab itu, sebaiknya dipilih menggunakan anestesi lokal atau regional.

c. Pada pasien yang tidak kooperatif atau mengalami gangguan psikiatri

lainnya, sebaiknya dilakukan general anesteshia.

d. Pada pasien obesitas dengan leher pendek dan besar sehingga

menimbulkan risiko gangguan sumbatan jalan nafas, sebaiknya dipilih

teknik anestesi regional.

3. Posisi pembedahan

Posisi miring, tengkurap, duduk, atau litotomi memerlukan general

anesthesia dengan endotrakea untuk menjamin ventilasi selama pembedahan.

Akan tetapi, pada posisi demikian, dapat juga digunakan pada anestesi

regional.

4. Keterampilan dan pengalaman dokter bedah

Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan keterampilan dan

kebutuhan dokter bedah, seperti teknik hipotensif untuk mengurangi

Page 11: manajemen anestesi perioperatif pada pasien appendisitisa

11

pendarahan, relaksasi otot pada laparotomi, pemakaian adrenalin untuk bedah

plastik, dan lainnya.

5. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesi

Preferensi pengalaman dan keterampilan dokter anestesi sangat menentukan

pilihan teknik anestesi. Sebaiknya tidak melakukan teknik anestesi tertentu

bila belum ada pengalaman dan keterampilan.

6. Keinginan pasien

Keinginan pasien untuk pilihan teknik anestesi dapat diperhatikan dan

dipertimbangkan bila keadaan pasien memungkinkan dan membahayakan

keberhasilan operasi.

7. Bahaya kebakaran dan ledakan

Pemakaian obat anestesi yang tidak terbakar dan tidak eksploratif adalah

pilihan utama pada pembedahan dengan memakai alat elektrokauter.

A. Anestesi Regional dengan Sub-arachnoid Block

Anestesi regional meliputi 2 cara, yaitu blok sentral (blok spinal, epidural,

dan kaudal), dan blok perifer (blok pleksus, brachialis, aksiller, anestesi regional

intravena). Anestesi spinal merupakan pemberian obat anestetik lokal ke dalam

ruang subarachnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestesi

lokal ke dalam ruang subarachnoid sehingga terjadi blok saraf yang reversibel

pada radiks anterior dan radiks posterior, radiks ganglion, dan sebagian medulla

spinalis yang menyebabkan hilangnya aktivitas sensoris, motoris, dan otonom

(Latief, 2009).

Teknik anestesi spinal dimulai dengan memposisikan pasien duduk atau

posisi tidur lateral. Posisi tidur lateral adalah yang paling sering dikerjakan.

Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan

penyebaran obat. Berikut teknik anesthesia spinal dengan blok subarachnoid

(Salinas, 2005; Latief, 2009):

1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien dalam posisi dekubitus lateral. Beri bantal

kepala dengan tujuan agar tulang spinosus mudah teraba.

Page 12: manajemen anestesi perioperatif pada pasien appendisitisa

12

2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan

tulang punggung, yakni L4 atau L4-L5. Tentukan tempat tusukannya, di L2-

L3, L3-L4 atau L4-L5.

3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.

4. Beri anastetik lokal pada tempat tusukan dengan lidokain 1-2% sebanyak 2-3

ml.

5. Untuk jarum spinal ukuran 22 G, 23 G, atau 25 G dapat langsung digunakan.

Sedangkan untuk ukuran 27 G atau 29 G, dianjurkan menggunakan

introducer (penuntun jarum), yakni jarum suntik biasa pada spuite 10 cc.

Tusukkan introducer sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit ke arah sefal,

kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum

tersebut. Setelah resistensi menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan

keluar likuor, lalu pasang semprit berisi obat anestetik dan dimasukkan secara

perlahan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit untuk meyakinkan posisi

jarum tetap baik.

Gambar 2.2. Lapisan pada spinal saat akan dilakukan regional anesthesia di

lapisan subarachnoid (Salinas, 2005).

Page 13: manajemen anestesi perioperatif pada pasien appendisitisa

13

Gambar 2.3. Posisi tempat tusukkan saat akan diberikan anestesi spinal

(Anonim, 2010)

Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37oC adalah 1,003-1,008.

Anestetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobarik. Anestetik

lokal dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik. Anestetik lokal

dengan berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik. Anestetik lokal yang

sering digunakan adalah jenis hiperbarik dengan mencampur anestetik lokal

dengan dekstrosa 5 %. Untuk jenis hipobarik, biasanya digunakan tetrakain

dengan mencampur dengan air injeksi (aquabides). Faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi blokade saraf pada pemberian anestesi spinal, antara lain barisitas,

posisi pasien selama dan sesaat setelah injeksi, serta dosis obat (Latief, 2009).

Pada umumnya, makin tinggi dosis dan posisi injeksi, maka level anestesinya

akan semakin tinggi. Oleh karena itu, pada posisi supine head down, cairan

hiperbarik akan menyebar ke arah kepala dan cairan hipobarik akan menyebar ke

kaudal dan sebaliknya pada posisi head up. Sementara pada posisi lateral, cairan

spinal hiperbarik akan berefek pada bagian yang lebih rendah dan cairan hipobarik

akan mencapai daerah yang lebih tinggi (Morgan, 2006).

Obat yang sering digunakan pada anestesi spinal ini adalah bupivacaine

hiperbarik dan tetrakain. Toksisitas bupivacaine lebih rendah dibandingkan

lidocaine. Walaupun onset kerja bupivacaine lebih lama (10-15 menit)

dibandigkan lidocaine (5-10 menit) tetapi durasi kerjanya lebih lama, yaitu 1,5-8

jam dibandingkan lidocaine (1-2 jam). Penggunaan lidocaine harus diperhatikan

Page 14: manajemen anestesi perioperatif pada pasien appendisitisa

14

karena seringkali menyebabkan transient neurological symptoms (TNS) dan cauda

equina syndrome. Namun, ada beberapa ahli yang menyatakan penggunaan

lidocaine ini aman pada anestesi spinal dengan dosis terbatas 60 mg dan

diencerkan menjadi 2,5%. Oleh karena itu, penggunaan bupivacaine lebih aman

dan lebih efektif (Morgan, 2006).

B. General Anesthesia

General anesthesia merupakan tindakan menghilangkan rasa nyeri secara

sentral diseritai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel. General anesthesia

lebih sering dipakai pada pasien anak-anak dengan apendisitis akut dibandingkan

orang dewasa. Perjalanan anestesi umum terdiri dari 5 bagian yang berbeda,

meliputi : premedikasi, induksi, pemeliharaan, pengembalian, pemulihan, dan

masa pasca operasi. Pada tahap premedikasi, ada 2 tujuan dalam penggunaan obat

ini. Pertama, untuk mencegah efek parasimpatomimetik anestesi, dan kedua,

berhubungan dengan kebutuhan untuk menghilangkan efek sedasi aktif sehingga

menimbulkan amnesia sementara. Tahap induksi bertujuan untuk memulai agar

proses anestesi cepat dan nyaman. Masa pemeliharaan dilakukan ketika prosedur

pembedahan atau prosedur lainnya dilaksanakan. Masa pengembalian merupakan

bagian pertama pemulihan dan dikerjakan dibawah pengawasan langsung oleh

dokter ahli anestesi dan biasanya dilakukan di dalam ruang operasi (Soenarto,

2012).

2.4.4. Durante Operasi dan Monitoring

Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau

kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular

weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid mengandung

zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer besar. Cairan

koloid berfungsi untuk menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan dapat

digunakan untuk sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat

menyeimbangkan dengan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler

(Morgan, 2006).

Page 15: manajemen anestesi perioperatif pada pasien appendisitisa

15

Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan.

Untuk kehilangan cairan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan

hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika melibatkan air dan

elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, disebut sebagai cairan

jenis replacement (Morgan, 2006).

Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah cairan isotonik,

maka cairan jenis replacement yang umum digunakan. Cairan yang paling umum

digunakan adalah larutan Ringer Laktat. Meskiput sedikit mengandung hipotonik,

cairan ini menyediakan sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung dapat

menurunkan serum natrium sebanyak 130 mEq/L. Ringer Laktat umumnya

memiliki efek yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler dan

merupakan cairan yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan.

Kehilangan darah pada durante operasi ini biasanya digantikan dengan cairan RL

sebanyak 3 hingga 4 kali dari jumlah volume darah yang hilang (Morgan, 2006).

Titik transfusi dapat ditentukan saat preoperasi dari hematokrit dan

estimated blood volume (EBV). Pasien dengan hematokrit normal biasanya

ditransfusi apabila kehilangan lebih dari 10-20% dari volume darah. Waktu yang

tepat untuk transfusi ditentukan oleh kondisi pasien dan prosedur operasi yang

dilakukan (Morgan, 2006).

Proses monitoring sangat perlu dilakukan oleh dokter anestesi dalam

membantu mempertahankan kondisi pasien. Standard monitoring intraoperatif

yang digunakan, diadopsi dari ASA, yaitu Standard Basic Anesthetic Monitoring.

Standard ini diterapkan di semua perawatan anastesi walaupun pada kondisi

emergensi, appopriate life support harus diutamakan. Standar ini ditujukan

tentang monitoring anestesi dasar, yang merupakan salah satu komponen

perawatan anestesi. Pada beberapa kasus yang jarang atau tidak lazim, beberapa

metode monitoring ini mungkin tidak praktis secara klinis dan penggunaan yang

sesuai dengan metode monitoring mungkin gagal untuk mendeteksi

perkembangan klinis selanjutnya. Parameter yang biasanya digunakan untuk

monitor pasien selama anestesi, adalah (Morgan, 2006) :

- Frekuensi nafas serta kedalaman nafas

- Denyut nadi, jantung, serta kualitasnya

Page 16: manajemen anestesi perioperatif pada pasien appendisitisa

16

- Warna membran mukosa dan capillary refill time

- Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas

reflek palpebra)

- Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi

- Pulse oximetry : tekanan darah, saturasi oksigen, serta denyut nadi

2.5. Manajemen Anestesi Post Operasi

Pada pasien dengan regional anestesi, lebih mudah mengalami recovery

dibandingkan dengan general anesteshia. Hal ini disebabkan oleh karena pasien

dengan regional anestesi masih dalam kondisi sadar, sehingga komplikasi yang

terkait airway, breathing, dan circulation lebih sedikit dibandingkan dengan

general anesthesia. Meskipun demikian, perlu dilakukan monitoring tekanan

darah, nadi, saturasi oksigen, dan frekuensi nafas hingga pasien tersebut stabil

(Dunn, 2007). Fungsi neuromuskular juga harus dinilai untuk mengetahui adanya

kaku pada otot terutama pada otot di daerah abdomen pasca appendektomi.

Evaluasi post operatif juga harus dilakukan dalam 24-48 jam setelah operasi

dan dicatat dalam rekam medis pasien. Kunjungan ini meliputi review dari rekam

medis, anamnesis terakhir terkait keluhan subjektif post operasi pada pasien,

pemeriksaan fisik secara keseluruhan, serta pemeriksaan penunjang. Komplikasi

yang kemungkinan akan dialami pasien seperti muntah, nyeri tenggorokan,

kerusakan gigi, cedera saraf, cedera pada daerah okular, pneumonia, serta

perubahan status mental, juga harus diperhatikan (Dunn, 2007).

Page 17: manajemen anestesi perioperatif pada pasien appendisitisa

17

BAB III

SIMPULAN

Appendisitis merupakan kasus nyeri perut yang sering terjadi dan

membutuhkan operasi pada anak-anak dan orang dewasa di bawah umur 50 tahun.

Penyebab tersering timbulnya appendisitis akut adalah infeksi (lebih sering pada

anak-anak dan dewasa muda), serta adanya fecalith (lebih sering pada usia tua).

Apendisitis akut dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, dapat ditemukan gejala nyeri abdomen,

mual, muntah, anorexia, serta demam subfebris. Pada pemeriksaan fisik,

ditemukan adanya nyeri tekan pada titik McBurney serta nyeri tekan dengan

defans muskuler. Di samping itu dapat ditemukan tanda rebound phenomenon,

rovsing sign, tenhorn sign, psoas sign, serta obturator sign. Pada pemeriksaan

penunjang, dapat ditemukan leukositosis pada hasil darah lengkap, C-reactive

protein > 1 mg/dL, piuria ringan pada hasil urinalisis, serta adanya pembesaran

appendiks dengan struktur tubular yang bersifat non kompresif dengan

diameternya 7-9 mm pada hasil USG.

Manajemen anestesi Perioperatif pada kasus appendisitis akut, meliputi

evaluasi pre-operatif (anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan

penunjang), pemberian obat pre-medikasi, pemilihan teknik anestesi (anestesi

regional blok subarachnoid atau general anesthesia), serta durante operasi dan

monitoring (meliputi monitoring tanda-tanda vital, cairan, serta pendarahan).

Manajemen anestesi pasca operasi meliputi evaluasi post operatif (review dari

rekam medis, anamnesis terakhir terkait keluhan subjektif post operasi pada

pasien, pemeriksaan fisik secara keseluruhan, serta pemeriksaan penunjang) dan

monitoring (kesadaran, respirasi, sirkulasi, fungsi ginjal dan saluran kencing,

fungsi saluran cerna, aktivitas motorik, suhu tubuh, serta nyeri).

Page 18: manajemen anestesi perioperatif pada pasien appendisitisa

18

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Spinal Anesthesia Technique. Available at :

www.medbox.org/spinal-anesthesia-technique-handout/download.pdf

(Akses : 11 Mei 2015).

Barash, P.G., Cullen, B.F., Stoelting, R.K., Cahalan, M.K., Stock, M.C. 2009.

Handbook of clinical anesthesia 6th ed. Lippimcoltt Williams & Wilkins:

USA.

Cole, M.A., Maldonado, N. 2011. Emergency Medicine Practice: Evidence-Based

Management of Suspected Appendicitis in the Emergency Department.

13;10: p.1-32.

Craig, S., Brenner, B.E., Hardin, E., Lober, W., Talavera, F. 2014. Appendicitis.

eMedicineMedscape. Available at :

http://emedicine.medscape.com/article/773895-overview (Akses : 28 April

2015).

Depkes RI. 2006. Laporan prevalensi kasus appendisitis akut di Indonesia. (Akses

: 11 Mei 2015).

Dunn, P.F., Theodore, A.A., Baker, K.H., Davison, J.K., Kwo, J., Rosow, C.,

2007. Clinical Anesthesia Procedures of The Massachusets General Hospital

7th edition. Lippincott Williams & Wilkins: USA.

Humes, D.J., Simpson, J. 2006. Acute Appendicitis. BMJ ;333:p.530-534.

Ishikawa, H. 2003. Diagnosis and Treatment of Acute Appendicitis. JMAJ; 46(3):

p.217-221.

Latief, S.A., Suryadi, K.A., Dachlan, M.R. 2009. Petunjuk praktis anestesiologi

edisi kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI: Jakarta.

Mangku, G., Senapathi, T.G., 2009. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi.

Jakarta: Indeks Jakarta.

Miller, R.D., Eriksson L.I., Fleisher, L.A., Wienner, J.P., Young, W.L., 2009.

Miller’s Anesthesia 7th ed. Elsevier: USA.

Moore, K.L., Dalley, A.F. 2013. Anatomi Berorientasi Klinis Edisi Kelima Jilid 1.

Jakarta: Erlangga.

Page 19: manajemen anestesi perioperatif pada pasien appendisitisa

19

Morgan, G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J. 2006. Clinical Anesthesiology 4th

edition. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.

Omran, M.A., Mamdani, M.M., McLeod, R.S. 2003. Epidemiologic features of

acute appendicitis in Ontario, Canada. Can J Surg: 46(4);p.263-268.

Pinto, F., Pinto, A., Russo, A., Coppolino, F., Bracale, R., Fonio, P., Macarini, L.,

Giganti, M. 2013. Accuracy of ultrasonography in the diagnosis of acute

appendicitis in adult patients: review of the literature. Critical Ultrasound

Journal. 5(1);p.1-3.

Pisano, M., Coccolini, F., Poiasina, E., Bertoli, P., Capponi, M.G., Poletti, E.,

Naspro, R., Ansaloni, L. 2013. Conservative treatment for uncomplicated

acute appendicitis in adults. Emerg Med Health Care J. 1:2.

Salinas, F., 2005. Spinal Anesthesia. In “Essentials of pain medicine and regional

anesthesia”. 2nd ed. p.566-574.

Soenarto., Ratna, F., Chandra, S. 2012. Buku Ajar Anestesiologi. Departemen

Anestesiologi dan Intensive Care FKUI: Jakarta.

WHO. 2004. Global Burden Disease. Available at :

http://www.who.int/healthinfo/global_burden_disease/BD_report_2004upda

te_AnnexA.pdf (Akses : 4 Mei 2015).