tata laksana perioperatif pada pasien penyakit paru

19
1 TATA LAKSANA PERIOPERATIF PADA PASIEN PENYAKIT PARU Alwinsyah Abidin, E.N Keliat, Herlina M. Sitorus Divisi Pulmonologi dan Alergi Immunologi Departemen Penyakit Dalam FK-USU/RSUP.H.Adam Malik/RSU dr.Pirngadi Medan Pendahuluan 1 Sesuai perkembangan di bidang kedokteran termasuk juga meningkatnya kemampuan mendiagnosis dan penatalaksanaan penyakit-penyakit yang memerlukan pembedahan,maka semakin sering dilakukan prosedur operasi termasuk pada pasien yang dahulu dianggap beresiko tinggi untuk dilakukan operasi.Termasuk pada mereka dengan Penyakit Paru yang dianggap beresiko tinggi menerima beban prosedur operasi. Seorang ahli bedah dan/atau ahli anestesi akan meminta pendapat dari seorang ahli penyakit dalam yang disebut sebagai konsultan perioperatif sebelum mereka melakukan tindakan operasi serta anestesi.Bagi seorang ahli penyakit dalam konsultasi itu berdampak professional dan hukum.Maka perlu bagi seorang ahli penyakit dalam mempunyai pengetahuan medik di bidangnya dan pemahaman akan tata cara perilaku maupun rambu- rambu yang bertujuan mengamankan si pasien maupun dokter itu sendiri. 1 Tujuan dan Prinsip Konsultasi Preoperatif 1 Dalam upaya untuk mengamankan pasien(dapat memiliki satu atau lebih penyakit) konsultasi preoperative mempunyai beberapa tujuan,yaitu: 1.Mengidentifikasikan penyakit-penyakit penyerta serta faktor-faktor risiko operasi sebelumnya tidak terdeteksi. 2.Mengoptimalkan keadaan pasien sebelum menjalani operasi 3.Memahami,mengenali dan mengobati keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya penyulit pascabedah. 4.Berperan sebagai anggota tim bersama ahli anestesi dan bedah.

Upload: others

Post on 04-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TATA LAKSANA PERIOPERATIF PADA PASIEN PENYAKIT PARU

1

TATA LAKSANA PERIOPERATIF PADA PASIEN PENYAKIT

PARU

Alwinsyah Abidin, E.N Keliat, Herlina M. Sitorus

Divisi Pulmonologi dan Alergi Immunologi Departemen Penyakit Dalam

FK-USU/RSUP.H.Adam Malik/RSU dr.Pirngadi Medan

Pendahuluan 1

Sesuai perkembangan di bidang kedokteran termasuk juga meningkatnya

kemampuan mendiagnosis dan penatalaksanaan penyakit-penyakit yang memerlukan

pembedahan,maka semakin sering dilakukan prosedur operasi termasuk pada pasien yang

dahulu dianggap beresiko tinggi untuk dilakukan operasi.Termasuk pada mereka dengan

Penyakit Paru yang dianggap beresiko tinggi menerima beban prosedur operasi.

Seorang ahli bedah dan/atau ahli anestesi akan meminta pendapat dari seorang

ahli penyakit dalam yang disebut sebagai konsultan perioperatif sebelum mereka melakukan

tindakan operasi serta anestesi.Bagi seorang ahli penyakit dalam konsultasi itu berdampak

professional dan hukum.Maka perlu bagi seorang ahli penyakit dalam mempunyai

pengetahuan medik di bidangnya dan pemahaman akan tata cara perilaku maupun rambu-

rambu yang bertujuan mengamankan si pasien maupun dokter itu sendiri.1

Tujuan dan Prinsip Konsultasi Preoperatif 1

Dalam upaya untuk mengamankan pasien(dapat memiliki satu atau lebih

penyakit) konsultasi preoperative mempunyai beberapa tujuan,yaitu:

1.Mengidentifikasikan penyakit-penyakit penyerta serta faktor-faktor risiko operasi

sebelumnya tidak terdeteksi.

2.Mengoptimalkan keadaan pasien sebelum menjalani operasi

3.Memahami,mengenali dan mengobati keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan

terjadinya penyulit pascabedah.

4.Berperan sebagai anggota tim bersama ahli anestesi dan bedah.

Page 2: TATA LAKSANA PERIOPERATIF PADA PASIEN PENYAKIT PARU

2

5. Mengupayakan keseimbangan antara faktor resiko dan manfaat dalam prosedur yang akan

dilaksanakan.

Hal diatas penting karena seorang pasien mungkin sudah mengidap penyakit

kronik atau menahun yang dapat memperberat kondisinya akibat tindakan pembedahan

maupun anestesi.Peranan seorang internis adalah upaya memberikan ketenangan pada ahli

bedah serta ahli anestesi dalam menjalankan tugasnya dengan cara mengamankan pasien

pasien dari perburukan keadaan akibat penyakit penyerta tersebut.

Dalam menjawab konsultasi perioperatif tersebut seorang internist juga diberi

batasan-batasan sehingga tidak melampaui kapasitas sebagai konsultan preoperative.Sebuah

contoh adalah pada penilian kardiopulmoner pasien yang akan dioperasi,hal-hal yang perlu

dipegang antaranya:

1. Tujuannya adalah menentukan dan melaporkan apakah terdapat risiko berlebih dan tidak

merupakan uraian penyakitnya.

2. Anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah kunci

3. Apakah ada perubahan dalam keadaan pasien atau status kesehatannya

4. Nilai toleransi terhadap beban fisik atau latihan.

5. Apakah risiko yang harus diantisipasi pada pembedahan?

Dalam menjalankan tugasnya sebagai konsultan,diperlukan pemahaman akan

beberapa prinsip dalam cara menjawab maupun cakupannya,yaitu:

1.Substansi saran yang diberikan tidak boleh keluar dari batasan kompentensi keahlian

sebagai spesialis penyakit dalam.

2.Batasi jumlah saran,terlalu banyak saran akan mengaburkan permasalahan yang seharusnya

menjadi perhatian.

3.Arahkan jawaban dan saran pada permintaan konsultasinya.Isi jawaban akan berbeda bila

permintaanya adalah”adakah kelainan di bidang TS” jika dengan “ mohon evaluasi adakah

kemungkinan risiko gangguan pernapasan pada pasien dengan PPOK”.

4. Ikuti pasien sampai masa pasca bedah/pasca operasi karena berbagai komplikasi terjadi

pada masa ini (bila mendapat izin dari dokter utama pasien.

Page 3: TATA LAKSANA PERIOPERATIF PADA PASIEN PENYAKIT PARU

3

5. Penting untuk diingat bahwa konsultan tidak menyatakan persetujuan atau tidak ada

kontraindikasi opersi”’melainkan menyatakan bahwa secara umum pada pasien didapatkan

“average risk” dari segi penyakit dalam bila tidak ada kelainan penyerta atau bila pasien

mempunyai penyakit maka nyatakan pasien dalam risiko rendah atau sedang atau berat dari

segi kelainan yang didapat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi komplikasi pada pasien paru yang menjalani

operasi 1,2,3

Komplikasi yang sering terjadi pasca operasi seperti pneumonia,bronkospasme,

atelektasis, hipoksemia sampai gagal napas yang memerlukan ventilator mekanik jangka

panjang.risiko terjadinya komplikasi paru tertinggi ada pada pasien-pasien yang menjalani

pembedahan kardiak,pembedahan toraks dan abdominal bagian atas dengan komplikasi yang

dilaporkan sebesar 9% sampai 76%.Pada pasien yang menjalani pembedahan abdomen

bawah dan pelvis bervariasi antara 2% sampai 5% dan pada prosedur pembedahan di

ekstremitas kurang 1-3%.ketika operasi non elekktif.

Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi paru yaitu karateristik pasien,adanya

penyakit paru,daerah operasi,prosedur operasi.(Table 1)

Table 1 : Faktor-faktor yang mempengaruhi dari tindakan operasi terhadap fungsi paru ACTA BIOMED 2006; 77; 69-74 Mattioli 1885

Page 4: TATA LAKSANA PERIOPERATIF PADA PASIEN PENYAKIT PARU

4

Anamnesis yang menyeluruh dan komprehensif diperlukan agar informasi

penting terkait dengan persiapan perioperatif tidak terlewatkan.Fokus anamnesis adalah untuk

mengidentifikasi adanya faktor risiko atau komorbid yang mempengaruhi risiko perioperatif..

Anamnesis untuk mengevaluasi fungsi paru seyogianya berfokus pada adanya

dan beratnya faktor risiko yang ada pada pasien. Pada pasien yang mempunyai riwayat

penyakit paru kronik harus dievaluasi secara rinci. Upaya harus dilakukan untuk menetukan

kondisi pada awal dan apakah ada terjadi perburukan pada fungsi paru seperti meningkatnya

batuk dan produksi sputum.Setiap gejala adanya infeksi saluran napas harus ditemukan dan

diatasi.Walaupun bukan suatu kontraindikasi mutlak untuk pembedahan namun lebih

bijaksana untuk menunda prosedur pembedahan yang bersifat elektif jika dijumpai

infeksi.Risiko pada usia yang lanjut diidentifikasi sebagai kompliksai paru.Dianggap

komplikasi ini disebabkan oleh keadaan komorbitas yang terjadi pada usia lanjut ini.

Merokok merupakan faktor resiko preoperatif yang sangat bermakna.Efek ini

terutama berkaitan pada penyakit paru-paru kronik,walaupun pada seseorang yang merokok

memiliki pengaruh terhadap fungsi paru-paru.Penghentian merokok selama 48 jam sebelum

operasi mengurangi carboxyhemoglobin ke tingkat yang normal,menghapuskan efek

stimulant dari nikotin pada system kardiovaskuler dan meningkatkan pernapasan

ciliary.Dalam mengurangi volume dahak diperlukan waktu 1-2 minggu menghentikan rokok

sebelum operasi,4-6 minggu menghentikan rokok untuk memperbaiki gejala dan fungsi

paru.Perokok yang merokok lebih dari 20 pack/tahun dikaitakan dengan peningkatan resiko

pasca operasi.

Komplikasi dari post operasi adalah penurunan dari volume paru-paru setelah

operasi.Pada orang dengan obesitas secara fisiologis dijumpai adanya restriktif paru dan

keadaan ini pada kondisi post operasi akan menurunkan volume paru dan kemampuan untuk

bernafas secara dalam setelah operasi.Komplikasi paru post operasi dijumpai 10% pada BMI

43kg/m2 dan 12% dengan BMI lebih dari 43kg/m2.

Pemeriksaan fisik dan Pemeriksaan Penunjang 1,6

Pemeriksan fisik diagnostik

Pemeriksaan fisik pada pasien yang mempunyai penyakit paru kronik perlu

mendapat perhatian seperti meningkatnya dimensi anteroposterior dada dan adanya bunyi

Page 5: TATA LAKSANA PERIOPERATIF PADA PASIEN PENYAKIT PARU

5

napas tambahan terutama wheezing.Adanya ronkhi atau bronkospasme mungkin

menunjukkan adanya penyakit paru atau gagal jantung.

Foto toraks

Pemeriksaan foto toraks preoperative diindikasikan pada pasien yang dinilai

beresiko. Pada foto toraks jika dijumpai emfisema hal ini sudah dapat didiagnosis dari awal

dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.Pemeriksaan foto toraks dilakukan pada pasien

dengan usia lebih dari 50 tahun yang akan menjalani operasi besar,untuk pasien dengan

penyakit kardiopulmonal dan untuk pasien yang kemungkinan menderita penyakit

kardiopulmonal yang tidak terdeteksi sebelumnya Dijumpai kurang 1 % hasil dari foto toraks

yang abnormal mengubah diagnose dan tata laksana operasi.

Spirometri

Pemeriksaan spirometri dilakukan pada pasien yang telah diketahui kondisi

klinisnya ataupun tidak adanya kepastian telah terjadi gangguan paru-paru.Sebuah gambaran

klinis yang ambigu mengenai bronkospasme adanya COPD,respon terhadap bronkodilator

dapat diklarifikasi melalui spirometri.Spirometri non invasive dapat memberikan informasi

penting tentang adanya penyakit paru-paru.

Tes yang dilakukan adalah pemeriksaan Kapasitas Ekspirasi Paksa dalam 1 detik

(FEV1) dan Kapasitas Vital Paksa (FVC).Hasil spirometri yang abnormalpada obstruktif

(apakah FEV1 rendah atau rasio FEV1/FVC rendah) dapat digunakan secara kuantitatif

memprediksi risiko komplikasi pulmonar.Walaupun pada pasien dengan hasil spirometri

abnormal berat(< 0,5%) dapat menjalani pada operasi emergensi dengan antisipasi risiko

yang sudah diketahui dan penangananya (seperti pemakaian ventilator sesudah operasi bial

terjadi gagal napas)

Ada beberapa kondisi yang memerlukan pemeriksaan spirometri (table 2 dan

table 4)

Page 6: TATA LAKSANA PERIOPERATIF PADA PASIEN PENYAKIT PARU

6

Analisa Gas Darah

Pemeriksaan analisa gas darah tidak diperlukan untuk semua kasus,pada keadaan

yang diragukan adanya hiperkapnia atau hipoksemia sedangkan spirometri tidak bisa

dilakukan dapat dilakukan pemeriksaan ini.Walaupun pada pasien preoperative sering

dijumpai kelainan pada gas darah tetapi pada pasien yang secara gambaran klinis dijumpai

kondisi PPOK yang berat dan dipastikan adanya hiperkapnia melalui gas darah.Kondisi ini

bukan merupakan kontrandikasi absolute operasi tetapi menunjukan risiko dari

operasi.Hipoksemia tidak menunjukan risiko lebih dari risiko dasarnya.

Pada waktu operasi dan pasca operasi pasien sering mengalami kelainan pada

oksigenasi dan ventilasi.Analisa gas darah tidak menambah kelainan risiko karena kebutuhan

tambahan oksigen ditentukan pada tingkat oksigenasi dan hemoglobin setelah operasi. Jika

telah diketahui riwayat penyakit sebelumnya kemudian dilakukan pemeriksaan fisik maka

dengan pemakain pulse oximetry maka dapt dinilai kadar oksigen tanpa melakukan tindakan

invasive, cepat dan hemat biaya.Pada pasien hipoksemia akan terdeteksi kejenuhan

oksigenasi arterial abnormal.

Tabel 2: Jenis operasi yang memerlukan pemeriksaan spirometri (Chest 1995; 107:1294-97)

Table 3 : Kondisi pasien dan tindakan operasi yang diindikasikan pemeriksaan

spirometri(Chest 1995; 107:1294-97)

Page 7: TATA LAKSANA PERIOPERATIF PADA PASIEN PENYAKIT PARU

7

Pemeriksaan Albumin Serum

Albumin serum merupakan salah satu dari pemeriksaan laboratorium yang

penting dalam menetukan risiko komplikasi dari pulmonar.Kadar albumin serum yang rendah

(<3 gr/dl) meningkatkan komplikasi pulmonar risiko ini sebanding dengan paien PPOK.

PENATALAKSANAAN PERIOPERATIF PADA PASIEN PARU

ASMA 1,7,8,9,10

Persiapan pra operasi

Prevalensi asma jumlahnya meningkat di Indonesia,hal ini akan mempengaruhi

meningkatnya pasien asma yang akan menjalani operasi.Maka penting pemahaman mengenai

pasien asma yang akan dioperasi untuk menghindari atau mengurangi komplikasi paru pasca

operasi seperti pneumonia,bronchitis,hipoksemia,gagal napas sampai pemanjangan

pemakaian ventilasi mekanik.Asma mempunyai sifat yang rentan ditandai dengan

hiperaktivitas,inflamasi dan obstruksi saluran nafas terhadap pemicu terhadap obat-obat yang

dipakai selama tindakan operasi maupun sesudah operasi.

Dilaporkan di masyarakat umum kejadian bronkospasme selama operasi terjadi

pada 1,6 kejadian setiap 1000 operasi, sedangkan pada pasien asma berkisar antara 6,5 –

7,1%.Walaupun umumnya dapat diatasi dengan baik data diatas menunjukan perlu adanya

pemahaman pasien-pasien yang akan dioperasi.Sedangkan jenis anestesi tidak dapat

ditentukan sebagai merupakan faktor resiko karena komplikasi dari general aneatesi maupun

regional anestesi adalah sama.

Penelitian menunjukan pada asma terjadinya komplikasi paru meningkat bila pasien

masih dijumpai mengi ataui arus puncak eksiprasi < 80% dari nilai terbaiknya atau prediksi.

Risiko terjadinya bronkospasme pada mas perioperatif rendah bila asma dalam keadaan

stabil atau terkontrol dan kalaupun terjadinya komplikasi biasanya ringan.Oleh karena itu

pasien asma yang akan menjalani operasi diupayakan secepatnya dalam keadaan

terkontrol.Seperti diketahui klasifikasi asma berdasarkan beratnya asma,karena lebih rumit

dan belum pernah divalidasi mulai ditinggalkan dan hanya digunakan dalam

penelitian,sedangkan untuk npraktek sehari-hari dipakai klasifikasi control asma. Tes

Kontrol Asma adalah contoh alat ukur untuk menilai apakah kondisi asma pasien telah

terkontrol apa belum.TKA yang terdiri atas komponen aktivitas,sesak napas,bangun

Page 8: TATA LAKSANA PERIOPERATIF PADA PASIEN PENYAKIT PARU

8

malam,pemakaian obat pelega serta kontrol asma menurut penilaian pasien. TKA

memberikan skor 20 sampai 24 untuk asma terkontrol baik dan 25 untuk kontrol sempurna.

Skor <20 sebaiknya segera mungkin ditingkatkan dengan obat sama dan penghindaran

faktor pencetus.Ada beberapa hal yang harus diperhatikan jika dijumpai serangan

1.Perlu untuk diperhatikan obat-obat dan bahan-bahan dapat mencetuskan serangan asma

perioperatif seperti aspirin,obat anti infalamasi non steroid,penyekat beta dan antibiotic.

2.Pada pasien yang baru mendapat serangan asma dan pasien asma yang menderita infeksi

saluran nafas agar mendapat terapi yang adekuat.Dan hl-hal lain juga perlu diperhatikan

seperti usia pasien,obesitas,pemakaian steroid jangka panjang serta keadaan malnutrisi yang

mengakibatkan kelemahan otot-otot pernafasan.

3.Menghentikan rokok sebelum tindakan operasi.

4.Jenis dari operasi,lamanya tindakan operasi dan dilakukannya intubasi meningkatkan

komplikasi dari operasi.

Pasien asma yang asimtomatik dan tidak mengunakan obat dapat dikatakan resiko

operasinya tidak tinggi. Kedaan ini diketahui dengan tidak dijumpainya serangan asma dan

FEV1 lebih dari 80%.Menurut Parker jika pasien dengan keadaan asimtomatik tetapi

FEV1<80% maka dapat diberikan kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi,edema saluran

napas dan mengurangi produksi secret.Adapula yang menganjurkan kombinasi inhalasi

kortikosteroid dan agonis beta2.

Pada pasien asma yang memerlukan tindakan intubasi disarakan untuk memberikan

inhalasi agonis beta2 yang kerja cepat dengan dua sampai empat puff atau pemberian

nebulizer 30 menit sebelum intubasi .Beberapa penulis menyarakan memberikan

kortikosteroid secara sistemik 12 jam sebelum intubasi tetapi tidak memberikan

keuntungan.Pada penelitian dijumpai pemberian steroid sistemik lebih bermanfaat pada

pasien asma ,berat atau tergantung pada kortikosteroid.

Pada pasien asma asimtomatik karena pemakaian obat harus tetap meneruskan obat

tersebut.Pada pasien yang mengunakan kortikosteroid atau inhalasi dosis tinggi diperlukan

tambahan kortikosteroid sistemik untuk mencegah insifisiensi adrenal.Kortikosteroid dapat

diberikan 24-48 jam sebelum operasi dengan dosis prednison 40-60mg.Pemakaian jangka

pendek tidak memerlukan tapering off dan tidak menyebabkan infeksi luka atau

Page 9: TATA LAKSANA PERIOPERATIF PADA PASIEN PENYAKIT PARU

9

perlambatan penyembuhan.Matsuse dkk memberikan prednisolon 10-20mg/hari selama 1-2

hari sebelum operasi,metil prednisolon 80-125mg 2 jam sebelum operasi dan dilanjutkan

dengan 80 mg segera setelah operasi dan dijumpai pada 75 pasien asma intermitten dan

persisten ringan ternyata hanya 4% yang mengalami gejala asma ringan.

Pasien yang dijumpai gejala asma sebelum operasi harus mendapat terapi agonis beta2

dan kortikosteroid.Teofilin tidak dianjurkan sebagai lini pertama karena lebih banyak

keburukannya.Meskipun kondisi dapat membaik dan rencana operasi dapat dilakukan tetapi

harus dilakukann pengawasan tinggi karena reakititas saluran cerna masih tinggi.Bagi

pasien yang masih dijumpai gejala rencana operasi dapat ditunda kecuali pada pasien

emergensi.pada pasien yang operasi tidak dapat ditunda dan masih menunjukan gejala asma

diberikan inhalasi beta2 dan kortikosteroid sistemik dan dilanjutkan selama operasi.Tabel

dibawah ini adalah tindakan operasi sesuai dengan gejala asma yang dialami

Pemberian antibiotik tidak bermanfaat untuk mencegah pneumonia p

ada pasien asma kecuali dijumpai keadaan infeksi saluran napas atau immunodefisiensi

antibiotik diberikan sebelum operasi pada pasien yang dijumpai infeksi saluran nafas seperti

dahak yang purulent.Operasi elektif harus ditunda sampai pengobatan selesai dan gejala

membaik.Tabel dibawah ini adalah prosedur penatalaksanaan tindakan preoperatif sesuai

dengan tindakan operasi elektif atau emergency dan kondisi asma.

Gambar 1 : Evaluasi preoperatif pada pasien asma (Preoperative evaluation of the patient with

pulmonary disease; Revista Brasileria De Anestesiola, 19 November 2012 :11.

Page 10: TATA LAKSANA PERIOPERATIF PADA PASIEN PENYAKIT PARU

10

Pada masa operasi 4

Tugas utama spesialis penyakit dalam menyiapkan kondisi seoptimal mungkin pada

pasien yang akan menjalani operasi.Pada umumnya selama operasi dan di dalam ruangan

transit masih dalam pengawasan spesialis anestesi.Pemilihan obat-obat anestesi,dan

premedikasi dan jenis anestesi yang diberikan tergantung dari pertimbangan dan

pengalaman spesialis anestesi.

Komplikasi yang paling dikhawatirkan adalah risiko bronkospasme intraoperatif.

Kejadian ini meningkat pada pasien yang dijumpai atopi, rhinitis alergi, dan kondisi lain

dari peradangan kronis.Anamnesa riwayat keluarga asma dan atopi harus dicari,merokok

atau paparan untuk perokok pasif memberikan kontribusi untuk kontrol asma yang buruk

dan juga merupakan faktor risiko independen untuk kejadian pernapasan buruk di bawah

umum anestesi. Jika waktu memungkinkan, pasien harus disarankan untuk berhenti

merokok selama 2 bulan sebelum operasi elektif.Dan jika ada pilihan maka teknik anestesi

regional adalah pilihan, untuk menghindari tindakan instrumentasi pada saluran napas.

Karena risiko komplikasi paru lebih rendah ketika anestesi dilakukan dengan epidural atau

spinal.

Tanda-tanda bronkospasme intraoperatif mungkin termasuk mengi, adanya perubahan

kapnografi (upslope pada gelombang CO2, atau menurun / tidak ada gelombang CO2),

penurunan volume tidal, atau puncak inspirasi dengan tekanan yang tinggi. Dokter juga

Gambar 2 : Alogaritma penatalaksnaan preoperatif pada pasien paru (Preoperative evaluation of

the patient with pulmonary disease; Revista Brasileria De Anestesiola, 19 November 2012 :11.

Page 11: TATA LAKSANA PERIOPERATIF PADA PASIEN PENYAKIT PARU

11

harus menyelidiki diagnosis alternatif termasuk kerusakan ventilator, tabung endotrakeal

obstruksi(mis berbelit,lendir, bekuan), intubasi endobronkial, atau kondisi medis seperti

tension pneumothorax atau emboli paru sebelum membuat diagnosis definitif

bronkospasme.

Strategi bronkodilatasi lainnya termasuk pemberian antikolinergik, steroid intravena,

dan intravena atau subkutan beta-agonis seperti epinefrin. Terbutalin mungkin lebih baik

daripada epinefrin pada pasien hamil karena efek tocolytic. Teofilin (atau aminofilin

intravena) dapat ditambahkan untuk refraktori bronchospasm. Inhalasi magnesium sulfat

telah disarankan sebagai pengobatan yang bermanfaat untuk eksaserbasi asma berat pada

orang dewasa. Namun tidak didukung oleh penelitian meta-analisis terhadap manfaat

inhalasi magnesium sulfat yang diberikan kepada orang dewasa dengan eksaserbasi asma

akut, dan juga penambahan magnesium intravena untuk orang dewasa dan anak-anak dengan

asma akut tidak didukung oleh penelitian meta analisis. Efek yang bermanfaat dari pemberian

magnesium sulfat intravena dapat mengurangi takikardia terkait dengan pengobatan beta-

agonist

Pasca operasi

Sesudah operasi perlu diperhatikan adanya bronkospasme /obstruksi saluran napas,

dan pemakaian obat-obat penghilang rasa nyeri golongan anti infalamasi non-steroid harus

berhati-hati karena dapat menimbulkan bronkospasme yang berat.Kejadian bronkospasme

lebih sering sesudah operasi daripada selama operasi. Perawatan pasca operasi pasien asma

sering juga diakibatkan oleh kondisi intraoperatif. Jika operasi itu lancar, dan nyeri, mual,

dan status pernafasan terkendali dengan baik, penderita asma mungkin aman dipulangkan

untuk perawatan di rumah atau ke unit rawat inap yang sesuai tanpa intervensi lebih lanjut.

Namun, dalam penentuan komplikasi intraoperatif harus teliti seperti bronkospasme berat.

Perawatan khusus harus dilakukan untuk memastikan keselamatan pasien selama periode

pasca operasi dan pemberian ventilasi pasca operasi harus dipertimbangkan, sehingga

diperoleh keadaan untuk pemulihan fungsi saluran napas, dan juga untuk metabolisme

blocker neuromuskuler tanpa perlu pemberian agen antidotumnya.

Jika terjadi bronkospasme maka diberikan inhalasi agonis B2 dan kortikosteroid

intravena dan oksigen.Jika gejala asma tidak hilang perlu dipikirkan adanya emboli

paru,gagal jantung akut atau pneumotoraks.Mempertahankan posisi tidur dengan kepala

Page 12: TATA LAKSANA PERIOPERATIF PADA PASIEN PENYAKIT PARU

12

tetap tegak ke depan sangat baik untuk pencegahan atelektasis. Pemulihan dan

pemeliharaan ventilasi pertukaran gas dengan rehabilitasi pernafasan awal,merupakan

tindakan pencegahan komplikasi paru lebih lanjut dan memungkinkan untuk dipulangkan

lebih awal

TUBERKULOSIS 1,11

Pasien yang ditemukan basil tahan asam yang positif adalah keadaan infeksius dimana

setiap batuk atau bersin maka kuman infeksius akan tersembur keluar dan menular ke orang

disekitarnya.Keadaan tuberculosis akan memburuk pada keadaan immunokompresi dan

keadaan stress yang dialami seseorang sebelum-selama dan sesudah operasi juga

menimbulkan keadaan imunkompromis ringan.Persiapan operasi pada pasien tuberculosis

dibagi atas beberapa jenis operasi dan kondisi infeksi tuberculosis.

Jenis operasi terdiri atas operasi elektif dan emergensi:

Elektif

Pada operasi elektif infeksi pada pasien dengan BTA positif haruslah disembuhkan

dahulu dengan mengingat bahwa infeksi kronik dengan cara menghilangkan basil tahan

asam (konversi) maka penularan terbuka ke sekitarnya akan banyak dikurangi sambil

memberikan minimal 4 obat anti tuberculosis yang diperkirakan sensitive minimal 3

minggu.Sesudah operasi kamar operasi harus disterilkan dengan ultraviolet dan pasien harus

dirawat di ruang isolasi.

Pada pasien dengan pemeriksaan mikroskopik basil tahan (BTA) negative pada

keadaan ini minimal 3 minggu sebelum operasi diberikan obat anti tuberculosis (sedikitnya

terdiri atas 4 obat di mana 2 diantaranya adalah Rifampisin dan INH).Sama seperti pasien

dengan BTA positif maka kamar operasi harus disterilkan dengan ultra violet,pasien harus

dirawat ruang isolasi.

Pada pasien elektif dengan TB diseminata dengan BTA positif pada keadaan ini sama

dengan TB paru dengan BTA positif, yaitu terdiri atas 4 macam dengan 2 diantaranya

rifampisin dan INH sampai BTA konversi Sama seperti pasien dengan BTA positif maka

kamar operasi harus disterilkan dengan ultra violet,pasien harus dirawat ruang isolasi.

Page 13: TATA LAKSANA PERIOPERATIF PADA PASIEN PENYAKIT PARU

13

Pada pasien elektif dengan TB diseminata dengan BTA negatif pada keadaan ini sama

dengan TB paru dengan BTA positif, yaitu terdiri atas 4 macam dengan 2 diantaranya

rifampisin dan INH sampai BTA konversi Sama seperti pasien dengan BTA positif maka

kamar operasi harus disterilkan dengan ultra violet,pasien harus dirawat ruang isolasi.

Pasien dengan operasi elektif yang memiliki Tb ekstra paru obat anti tuberculosis

diberikan minimal 3 minggu sebelum hari operasi (sedikitnya terdiri dari 4 obat dimana 2

diantaranya rifampisin dan INH.

Operasi Emergensi

Pada kondisi emergensi operasi bisa dilakukan jika dijumpai kondisi emergensi yang

memerlukan tindakan operasi.Untuk meninimalkan penularan atau memburuknya keadaan

penyaki TB maka obat anti tuberculosis dapat diberikan sesudah operasi dengan rejimen

minimal 4 macam dan ruang operasi harus disterilkan dengan sinar ultraviolet dan pasien

dirawat diruang isolasi.

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK 1,2,3,4,5

Komplikasi yang dijumpai pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik

(PPOK) dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu merokok,kondisi kesehatan yang

buruk,umur,obesitas,dan kondisi keparahan dari PPOK itu sendiri.Penyakit ini sendiri dapat

mempengaruhi organ di luar paru yang dapat memperberat kondisi pasien yang ditandai

dengan terbatasnya aliran udara pada umumnya progresif dan dihubungkan dengan respons

inflamasi yang abnormal pada paru.

Penyakit paru Obstruktif Kronik merupakan faktor risiko yang penting pada operasi.

Pada penelitian retrospektif dijumpai pasien PPOK yang mendapat penatalaksanaan terapi

preoperative komplikasi paru lebih sedikit dibandingkan dengan pasien tanpa

penatalaksanaan tersebut. Jika dijumpai FEV1< 40% maka komplikasi pascaoperasi 6 kali

lebih besar dan dipertimbangkan keuntungan operasi dari kesulitan yang ada. Evaluasi

persiapan operasi harus dilakukan dengan hati-hati termasuk identifikasi pasien dengan

risiko tinggi dan memerlukan pengobatan yang agresif. Pasien PPOK sering dijumpai

kelemahan otot-otot pernafasan yang kronik.Nutrisi yang buruk,gangguan elektrolit dan

hormone mempengaruhi kelemahan otot pernafasan dan hal ini harus diperbaiki sebelum

tindakan operasi.Pasien dengan PPOK juga harus diselidiki apa sudah memyebabkan

komplikasi jantung dan jika dijumpai keadaan ini maka harus diterapi sebelum operasi.

Page 14: TATA LAKSANA PERIOPERATIF PADA PASIEN PENYAKIT PARU

14

Dalam persiapan operasi pada pasien PPOK kita harus mengetahui tingkatan risiko

pada pasien melalui klasifikasi PPOK

TABEL 4 :KLASIFIKASI TINGKAT KEPARAHAN PPOK

(SETELAH PEMBERIAN BRONKODILATOR)

GOLD 1 RINGAN FEV1 ≥ 80%

GOLD 2 SEDANG 50% ≤ FEV1 < 80%

GOLD 3 BERAT 30% ≤ FEV1 < 50%

GOLD 4 SANGAT BERAT FEV1<30%

GOLD Report (update2013)

Setelah tindakan operasi akan dijumpai komplikasi pasca operasi yaitu: gagal

napas,pneumonia,atelektasis,penggunaan ventilasi mekanik yang lama,PPOK dengan

eksaserbasi,bronkospasme dan tromboemboli.Oleh karena komplikasi diatas maka perlu

dilakukan persiapan preoperative secara optimal.

Penilaian risiko operasi harus berdasarkan anamnesis,adanya keluhan sesuai dengan

PPOK yang akan meningkatkan risiko operasi diantaranya:kebiasaan merokok,adanya batuk

kronik,riwayat asma,riwayat TB,keluhan sesak napas adanya keluarga perokok

berat.pemeriksaan fisis ditemukan sesak napas,sianosis,jari clubbing,bentuk dada

(kifosis,skloliosis),adanya bunyi napas vesikuler yang melemah,ronki kering,ekspirasi

memanjang atau wheezing.Pada laboratorium dijumpai adanya tanda infeksi atau tidak,foto

toraks dijumpai emfisema,infiltrate,spirometri dijumpai keadaan obstruksi atau restriksi

berat,analisa gas darah apakah dijumpai hiperkapnia,hipoksia.

Pasien beresiko tinggi untuk tindakan operasi dengan anestesi umum jika dijumpai

FEV1/FVC < 70% ( <65%),FEV1 <70%, FVC <40% (untuk operasi toraks/abdominal bagian

atas) atau pada pasien yang tidak mampu atau terdapat kontraindikasi spirometri sebagai

berikut: hiperkapnia: PaCO2 >45% (PPOK Berat) beresiko tinggi walaupun tidak dilarang

untuk tindakan operasi.

Penanganan pasien sebelum operasi sangat penting untuk mengurangi komplikasi

pasca operasi diantaranya:

1.Berhenti merokok

Page 15: TATA LAKSANA PERIOPERATIF PADA PASIEN PENYAKIT PARU

15

Merokok merupakan faktor risiko penting pada komplikasi paru pasca operasi.Beberapa

penelitian menununjukan adanya peningkatan risiko terhadap komplikasi paru 4 kali lebih

tinggi bahkan pada yang bukan PPOK.Dianjurkan adanya intervensi (berhenti merokok) pada

6-8 minggu sebelum operasi dan diteruskan sampai 10 hari pasca operasi.

2.Kurangi berat badan

3.Penanganan agresif pada pasien PPOK untuk mengoptimalkan fungsi paru dengan

bronkodilator,steroid,fisioterapi dada.Pada pasien dengan gejala PPOK harus mendapat

inhalasi ipratropium atau tiotropium,inhalasi agonis beta2 diberikan jika dijumpai gejala dan

wheezing.pemberian teofilin tidak diindikasikan pada pasien PPOK yang akan menjalani

operasi.Jika tetap dijumpai wheezing yang menetap dan fungsi pernapasan yang terganggu

walaupun telah diberikan bronkodilator maka harus diberikan kortikosteroid sewaktu

penataksanaan preoperative

4.Pemberian antibiotik jika dijumpai infeksi dan operasi ditunda sampai infeksi dapat

ditangani.

5. Edukasi pasien yaitu cara bernafas yang benar,latihan napas.Pasien yang mendapat latihan

napas ternyata meningkatkan kekuatan otot pernafasan dibandingkan dengan pasien yang

tidak melakukan latihan napas.

6.Pada pasien yang mengalami hypoxemia kronik dapat diberikan oksigen tekanan rendah

jangka pendek dan ternyata berhasil mencegah hipertensi pulmonal,gagal jantung.

Pada pasien PPOK keadaan saat operasi perlu juga diketahui yaitu jenis anestesi,lokasi

operasi,lamanya anestesi dan tipe insisi operasi.

Pada penelitian 1984 dijumpai tidak ada perbedaan antara anestesi spinal dan anestesi

umum pada operasi abdomen.Beberapa penelitian(Yeager,1987,Pederson,1990) mendapat

komplikasi lebih tinggi pada pasien dengan anestesi umum dibandingkan anestesi

spinal.Anestesi spinal dan epidural lebih aman dibandingkan dengan anestesi umum pada

pasien dengan risiko tinggi.Lokasi operasi di daerah abdomen ke atas lebih berisiko dari pada

daerah lainnya.Operasi kolesistektomi dengan laparoskopi mempunyai insiden komplikasi

yang rendah dibandingkan dengan tindakan laparatomi.Lamanya operasi diatas 4 jam

mempunyai komplikasi lebih tinggi dari operasi dibawah 2 jam. Operasi abdomen dengan

Page 16: TATA LAKSANA PERIOPERATIF PADA PASIEN PENYAKIT PARU

16

insisi yang kecil mengurangi manipulasi organ visceral dan meminimalkan efek yang tidak

diinginkan pada otot respirasi.

TUMOR PARU12

Evaluasi pada pasien Tumor paru mencakup jenis dan luasnya tumor,serta kondisi

dari kardiopulmonal.Pada tahun 2003 The American College of Chest Physicians

merekomendasikan petunjuk pada pasien tumor paru yang akan menjalani operasi (tabel 5)

Pada suatu penelitian ditemukan bahwa resiko operasi lebih tinggi pada pasien tumor

paru yang memiliki nilai fibrinogen dan lactate dihidrogenase yang tinggi.Penelitian yang

Tabel 5: Preoperative Physiologic Assessment of Lung Cancer Patients Undergoing Lung

Resection (CHEST / 132 / 5 / NOVEMBER, 2007)

Page 17: TATA LAKSANA PERIOPERATIF PADA PASIEN PENYAKIT PARU

17

lain menemukan luasnya tumor,lamanya operasi,adanya gangguan jantung,dan usia tua juga

menimbulkan resiko tinggi pada operasi.

Resiko preoperative dapat diturunkan pada pasien yang mengkonsumsi alkohol

(alkoholic) dan yang mendapat rehabilitasi paru. Pada alkoholic mempunyai resiko mendapat

acute lung injury pada operasi toraks,juga mendapat infeksi pascaoperasi,gagal napas dan

juga lamanya hari rawat.Pada penelitian yang dilakukan tahun 2005 pada pasien tumor paru

yang mendapat rehabilitasi paru ditemukan lama rawat yang lebih singkat,dan nilai FEV1

yang lebih baik post operasi torax.Rehabilitasi paru meliputi latihan pernapasan dan

pengaturan diet.

KESIMPULAN 1,2

Dalam menjawab konsultasi persiapan operasi jawaban untuk risiko operasi yaitu

ringan,sedang,berat untuk operasi dalam narkose,bukan ada atau tidak adanya kontra

indikasi.Walaupun permintaan konsultasi untuk tindakan anestesi regional tetap disiapkan

untuk narkose ( anestesi umum),dengan alasan apabila operasi dengan regional anestesi gagal

dan perlu dilanjutkan dengan narkose umun,maka persiapan sudah cukup tidak perlu

menunda operasi.

Dalam persiapan operasi pasien harus dipersiapkan benar sampai layak atau risiko

ringan untuk operasi.Apabila ada risiko sedang atau berat,maka perlu ditangani dulu

masalahnya,dilakukan pengobatan dan fisioterapi bila perlu.Namun kita tidak boleh

menunggu terlalu lama sampai pasien benar-benar memungkinkan untuk operasi dalam

narkose,karena penundaan tersebut mengakibatkan kondisi pasien memburuk akibat

terlambatnya operasi.Apabila hasil pemeriksaan tidak memungkinkan untuk operasi dalam

narkose,maka perlu dijawab risiko berat untuk operasi dalam narkose.

Persiapan preoperasi yang baik pada pasien Asma,TB Paru,PPOK dan Tumor Paru

akan mengurangi komplikasi pasca operasi. Mengidentifikasi keadaan pasien dan melakukan

penatalaksaan pada pasien yang berisiko akan mengurangi komplikasi intra dan pasca

operasi.

Page 18: TATA LAKSANA PERIOPERATIF PADA PASIEN PENYAKIT PARU

18

Page 19: TATA LAKSANA PERIOPERATIF PADA PASIEN PENYAKIT PARU

19

DAFTAR PUSTAKA

1.Mansjoer Arif,Sudoyo A,S,Alwi Idrus,Rinaldi, Ikhwan,dan lain-lain,Kedokteran

perioperatif Evaluasi dan Tata laksana di bidang Ilmu penyakit dalam,Pusat pnertiban Ilmu

Penyakit dalam,Jakarta,Desember 2007

2. Gerald W. Smetana, MD, Beth Israel Deaconess.Preoperative pulmonary evaluation:

Identifying and reducing risks for pulmonary complications,Cleveland clinic Journal of

medicine March 2006:vol 73

3. Jeng Shing Wang,Pulmonary function tests in preoperative pulmonary evaluation, Section

of Respiratory Medicine, January 2004:10.

4. Luiza Helena Degani-Costa, Sonia Maria Faresina, Luiz Fernando dos Reis Falcão. Preoperative evaluation of the patient with pulmonary disease; Revista Brasileria De

Anestesiola, 19 November 2012 :11.

5. Peter Rock, MD, MBA, Anthony Passannante, MD. Preoperative assessment pulmonary,

Anesthesiology Clin N Am 22 (2004) 77– 91

6. Hulzebos EH, Smit Y, Helders PP, van Meeteren NL. Preoperative physical therapy for

elective cardiac surgery patients. Cochrane Database Syst Rev 2012; 11

7. Gold Herlich M. A study of complications related to anesthesia in asthmatic patients.

Anesth Analg 1963; 42:238.

8. National Asthma Education and Prevention Program: Expert panel report III: Guidelines

for the diagnosis and management of asthma. Bethesda, MD: National Heart, Lung, and

Blood Institute, 2007..

9.Kabalin CS, Yarnold PR, Grammer LC. Low complication rate of corticosteroid-treated

asthmatics undergoing surgical procedures. Arch Intern Med 1995; 155:1379.

10.Pien LC, Grammer LC, Patterson R. Minimal complications in a surgical population with

severe asthma receiving prophylactic corticosteroids. J Allergy Clin Immunol 1988; 82:696.

11.Janice A Neil RN. Perioperative Care of the Patient with Tuberculosis, AORN J 88

(December 2008) 942-958.

12; Julia Feliz Whitaker, Tara Schulz, Eugene S. Chu,, Richard K. Albert, Preoperative

Evaluation of the Patient With Pulmonary Disease:Chest 5 November 2007,132