endotracheal tube perioperatif

32
BAB I PENDAHULUAN Manusia memerlukan oksigen untuk hidup. Respirasi sebagai salah satu sistem berfungsi memasok oksigen ke dalam sirkulasi darah. Terhentinya pasokan dan edaran oksigen ke jaringan/sel untuk beberapa saat akan menimbulkan perubahan perangai metabolisme yang pada gilirannya akan menimbulkan kerusakan sel. Kerusakan otak yang permanen dapat terjadi jika aliran darah terhenti lebih 4-6 menit. Pemutusan aliran oksigen ke otak dan seluruh organ dapat menjadi penyebab ataupun sebagai konsekuensi henti kardiosirkulasi. 1,2 Sumbatan jalan nafas, henti nafas dan syok bahkan henti jantung cepat sekali menimbulkan kematian bila tidak mendapat pertolongan dengan segera. Penguasaan jalan nafas yang cepat dan tepat merupakan hal terpenting untuk berhasilnya penanganan pasien gawat darurat. Pasien gawat darurat adalah pasien yang perlu pertolongan yang tepat, cermat dan cepat untuk mencegah kematian atau kecacatan. Kedaruratan medis yang dapat mengancam nyawa dapat terjadi dimana saja, kapan saja dan dapat menimpa siapa saja Doktrin dasar yang digunakan ialah “time saving is life saving” dimana waktu adalah nyawa. Jika pasien mengalami hipoksemia sebelumnya, batas waktu itu jadi lebih pendek. Bantuan hidup dasar yang dilakukan dengan cara yang benar akan menghasilkan cardiac output 30 % dari cardiac output normal. 1 Indikasi penggunaan pipa endotrakeal pada pasien sadar adalah untuk menjaga impatensi jalan nafas, sedangkan pada 1

Upload: perrybonjo

Post on 30-Jun-2015

1.010 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Endotracheal tube Perioperatif

BAB I

PENDAHULUAN

Manusia memerlukan oksigen untuk hidup. Respirasi sebagai salah satu sistem berfungsi

memasok oksigen ke dalam sirkulasi darah. Terhentinya pasokan dan edaran oksigen ke

jaringan/sel untuk beberapa saat akan menimbulkan perubahan perangai metabolisme yang

pada gilirannya akan menimbulkan kerusakan sel. Kerusakan otak yang permanen dapat

terjadi jika aliran darah terhenti lebih 4-6 menit. Pemutusan aliran oksigen ke otak dan

seluruh organ dapat menjadi penyebab ataupun sebagai konsekuensi henti

kardiosirkulasi.1,2

Sumbatan jalan nafas, henti nafas dan syok bahkan henti jantung cepat sekali

menimbulkan kematian bila tidak mendapat pertolongan dengan segera. Penguasaan jalan

nafas yang cepat dan tepat merupakan hal terpenting untuk berhasilnya penanganan pasien

gawat darurat. Pasien gawat darurat adalah pasien yang perlu pertolongan yang tepat,

cermat dan cepat untuk mencegah kematian atau kecacatan. Kedaruratan medis yang dapat

mengancam nyawa dapat terjadi dimana saja, kapan saja dan dapat menimpa siapa saja

Doktrin dasar yang digunakan ialah “time saving is life saving” dimana waktu adalah

nyawa. Jika pasien mengalami hipoksemia sebelumnya, batas waktu itu jadi lebih pendek.

Bantuan hidup dasar yang dilakukan dengan cara yang benar akan menghasilkan cardiac

output 30 % dari cardiac output normal.1

Indikasi penggunaan pipa endotrakeal pada pasien sadar adalah untuk menjaga

impatensi jalan nafas, sedangkan pada pasien tidak sadar adalah untuk melakukan teknik

anastesi perioperatif maupun postoperatif. Pembahasan kali ini akan lebih bayak mengulas

mengenai penggunaan perioperatif, yang sering kali digunakan.

1

Page 2: Endotracheal tube Perioperatif

BAB II

JALAN NAFAS

2.1. Anatomi Laring

Jalan nafas dan dunia luar dihubungkan melalui dua jalur yaitu hidung yang menuju

nasofaring dan mulut yang menuju orofaring. Hidung dan mulut di bagian depan

dipisahkan oleh palatum durum dan palatum molle dan di bagian belakang bersatu di

hipofaring. Hipofaring menuju esophagus dan laring yang dipisahkan oleh epiglotis

menuju ke trakea.3

Struktur kerangka laring terdiri dari satu tulang dan beberapa kartilago yang

berpasangan ataupun tidak. Di sebelah superior terdapat os hioideum, struktur yang

berbentuk U dan dapat di palpasi di leher depan dan lewat mulut pada dinding faring

lateral. Meluas dari masing-masing sisi bagian tengah os atau korpus hioideum adalah

suatu prosesus panjang dan pendek yang mengarah ke posterior dan suatu prosesus pendek

yang mengarah ke superior. Kartilgo krikoidea yang juga mudah teraba di bawah kulit,

melekat pada kartilago tiroidea lewat ligamentum krikotiroideum. Kartilago krikoidea

berbentuk lingkaran penuh dan tidak mampu mengembang. Permukaan posterior atau

lamina krikoidea cukup lebar, sehingga kartilago ini tampak seperti signet ring. Intubasi

yang lama sering kali merusak lapisan mukosa cincin yang dapat menyebabkan stenosis

subglotis.4

Pada permukan superior lamina terletak pasangan kartilago aritenoidea, yang

masing-masing berbentuk seperti piramid bersisi tiga. Sedangkan kartilago epiglotika

merupakan struktur garis tengah tunggal yang berbentuk seperti bat pingpong. Laring juga

disokong oleh jaringan elastik. Di sebelah superior, pada kedua sisi laring terdapat

membrana kuardrangularis yang meluas ke belakang dari tepi lateral epoiglotis higga tepi

lateral kartilago aritenoidea.4

2.2. Fisiologi Laring

Walaupun biasanya laring dianggap sebagai organ penghasil suara, namun ternyata

mempunyai tiga fungsi utama-proteksi jalan nafas, respirasi dan fonasi. Kenyataannya

secara filogenetik, laring mula-mula berkembang sebagai suatu sfingter yang melindungi

saluran pernafasan, sementara perkembangan suara merupakan peristiwa yang terjadi

belakangan.4

2

Page 3: Endotracheal tube Perioperatif

Perlindungan jalan nafas selama aksi menelan terjadi melalui berbagai mekanisme

berbeda. Aditus laringis sendiri tertutup oleh kerja sfingter dari otot tiroaritenoideus dalam

plika ariepiglotika dan korda vokalis palsu. Elevasi laring dibawah pangkal lidah

melindungi laring lebih lanjut dengan mendorong epiglotis dan plika ariepiglotika ke

bawah menutup aditus. Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral, menjahui aditus

laringis dan masuk ke sinus piriformis, selanjutnya ke introitus esofagi. Relaksasi otot

krikofaringeus yang terjadi bersamaan mempermudah jalan makanan ke dalam esofagus

sehingga tidak masuk ke laring. Disamping itu, respirasi juga dihambat selama proses

menelan melalui suatu refleks yang diperantarai reseptor pada mukosa daerah supraglotis.

Hal ini mencegah inhalasi makanan atau saliva.4

2.3. Tanda dan Gejala Obstruksi

Untuk bertahan hidup manusia memerlukan oksigen. Obstruksi jalan nafas merupakan

salah satu penyebab dari gagal nafas akut.1 Terhentinya pasokan dan edaran oksigen ke

jaringan akan menimbulkan perubahan perangai metabolisme yang pada gilirannya akan

menimbulkan kerusakan sel.5 Sebab-sebab obstruksi jalan nafas yang paling sering antara

lain jatuhnya lidah ke hipofaring pada pasien yang tidak sadar serta adanya benda asing,

seperti muntahan, lendir atau darah di jalan nafas atas yang tidak dapat ditelan atau

dibatukkan keluar oleh pasien, atau gigi palsu yang terlepas dan mengakibatkan sumbatan

pada jalan nafas.1,2,3 Spasme laring pada saat anesthesia ringan juga dapat mengakibatkan

obstruksi. Disamping itu sumbatan jalan nafas bawah dapat disebabkan oleh

bronkospasme, sekresi bronkus, sembab mukosa, inhalasi isi lambung atau benda asing.2

Obstruksi jalan nafas dapat terjadi secara parsial atau total.1,2 Pada sumbatan parsial

jalan nafas, masih terdapat usaha nafas, suara nafas masih terdengar dan desiran udara

ekspirasi dari mulut atau hidung pasien masih terasa, yang dapat diketahui dengan

merasakan desiran udara melalui pemeriksaan dengan punggung tangan atau telinga dekat

mulut atau hidung pasien. Disamping itu gejala lain yang diberikan berupa adanya :

- stridor (nafasnya berbunyi), terdengar seperti ngorok, bunyi kumur-kumur atau

melengking.

- Retraksi otot dada kedalam daerah supraklavikular, suprasternal, sela iga dan

epigastrium selama inspirasi.

- Nafas paradoksal (pada watu inspirasi dinding dada menjadi cekung/datar bukannya

mengembang/membesar).

- Nafas makin berat dan sulit (kerja otot-otot nafas tambahan meningkat).

3

Page 4: Endotracheal tube Perioperatif

- Sianosis, merupakan tanda hipoksemia akibat obstrusi jalan nafas yang lebih berat.

Obstruksi total serupa dengan obstruksi parsial, akan tetapi gejalanya lebih hebat dan

stridor justru menghilang. Suara nafas sama sekali tidak terdengar, tidak terasa desiran

udara dari mulut atau hidung pasien.

- Retraksi lebih jelas

- Gerak paradoksal lebih jelas

- Kerja otot nafas tambahan meningkat dan makin jelas

- Sianosis lebih cepat timbul.2

Bila keadaan ini tidak segera ditangani dapat menyebabkan asfiksia (hipoksemia ditambah

hiperkarbia) henti nafas dan henti jantung karena hipoksia berat (jika tidak dikoreksi)

dalam waktu 5 sampai 10 menit. Sumbatan parsial berisik dan harus pula dikoreksi segera,

karena dapat menyebabkan kerusakan otak hipoksik, sembab otak atau paru dan penyulit

lain serta dapat menyebabkan kepayahan, henti nafas dan henti jantung sekunder.1 Secara

klinis, salah satu tanda/gejala tersebut di atas sudah merupakan suatu peringatan untuk

segera mengatasinya, dan bila mungkin terlebih daulu dicari penyebab dari sumbatan jalan

nafas.1,3

2.4. Tindakan Penguasaan Jalan Nafas

Terdapat beberapa prosedur untuk melapangkan jalan nafas secara maksimal. Manuver

tripel jalan nafas terdiri dari :

1. Eksetensi kepala

2. Mendorong mandibula ke depan

3. Membuka mulut.1,3,6,7

Gambar 2.

Ekstensi kepala dan mengangkat dagu5

4

Page 5: Endotracheal tube Perioperatif

Gambar 3.

Membuka mulut5

Manuver ini diindikasikan bagi penderita yang tidak sadar tanpa adanya patah tulang leher.

Ekstensi kepala, pendorongan mandibula ke depan atau keduanya, mencegah sumbatan

hipofaring oleh dasar lidah. Kedua gerak tersebut meregangkan jaringan antara laring dan

mandibula sehingga dasar lidah terangkat dari dinding posterior faring.4,6

Pada kira-kira 20% pasien tidak sadar, ekstensi kepala saja tidak cukup untuk

membuka jalan nafas. Pada keadaan demikian mandibula perlu didorong ke depan sebagai

tambahan untuk membuka jalan nafas. Bahkan bila kedua gerak inipun dilakukan bersama

masih mungkin terjadi sumbatan waktu ekspirasi di nasofaring pada kira-kira sepertiga

pasien tidak sadar jika mulut tertutup. Karena itu mulut hendaknya sedikit dibuka.

Sehubungan dengan ini perlu dicatat bahwa jika mulut terbuka lebar keregangan leher akan

berkurang, sehingga sumbatan total atau parsial di hipofaring kembali lagi. Akan tetapi

keregangan leher yang diperlukan dapat diperoleh kembali dengan mendorong mandibula

ke depan.1

Jika pasien bernafas spontan, tempatkanlah diri anda pada verteksnya. Peganglah

kedua ramus asenden mandibula di depan daun telinganya dengan mengguanakan jari 2-5

(atau 2-4) kedua tangan dan tarik dengan paksa ke atas (ke depan). Ini akan mendorong

mandibula sehingga gigi geligi bawah berada di depan gigi geligi atas. Retraksikan bibir

bawah dengan kedua ibu jari. Jangan memegang ramus horizontal mandibula kerena ini

dapat menutup mulut.

Tindakan ini menyebabkan nyeri. Kerena itu selain membuat jalan nafas paten ini

juga berguna menilai dalamnya ketidaksadaran. Pasien yang tidak memberikan tanggapan

yang bertujuan dapat dianggap berada dalam koma.

5

Page 6: Endotracheal tube Perioperatif

Untuk ventilasi mulut ke mulut langsung dengan ekstensi kepala ditambah

pendorongan mandibula, tempatkan diri anda pada posisi kepala pasien. Sesuaikan tangan

pada posisi nyaman (misal: kedua siku bertopang pada tanah), lingkarilah mulut pasien

seluasnya dengan kedua bibir dan tutup hidung pasien dengan pipi ketika meniup. Untuk

ventilasi mulut ke hidung lingkari seluruh hidung dengan bibir dan tutup mulut pasien

dengan pipi atau ibu jari. 6

Pada pasien dengan kecurigaan cedera leher ekstensi kepala maksimum dapat

memperberat cedera medulla spinalis (fleksi dan rotasi kepala merupakan indikasi kontra

mutlak), maka pendorongan mandibula ke depan dengan ekstensi kepala sedang

merupakan cara terbaik penguasaan jalan nafas selain daripada intubasi trakea. 1,6

Bila sumbatan tetap terjadi walaupun telah dilakukan ekstensi kepala, pembukaan

mulut dan pendorongan mandibula dan dicurigai adanya benda asing di jalan nafas atas,

maka mulut harus dibuka dengan paksa dan dibersihkan dari benda asing baik secara

manual dengan menggunakan jari serta memiringkan kepala atau dengan alat penghisap.

Gambar 4. Mengorek keluar benda asing pada rongga mulut5

Pada anestesia umum, hal utama yang harus diperhatikan adalah menjaga agar jalan

nafas selalu bebas dan nafas dapat berjalan lancar dan teratur.2 Salah satu caranya adalah

dengan memasang pipa khusus atau pipa endotrakea ke dalam trakea. Pemasangan pipa ini

memerlukan ketrampilan dan tenaga anestesi yang terlatih. Sehingga di daerah-daerah

kadang-kadang anestesia umum dilakukan tanpa pemasangan pipa endotrakea.

Pada anestesia umum tanpa pemasangan pipa endotrakea ada kalanya terjadi

gangguan nafas yang disebabkan obstruksi di jalan nafas atas (JNA). Bila obstruksi ini

berat dan akut, dapat berakibat fatal. Karena itu harus dipahami gejala-gejalanya, cara

pencegahan maupun penanggulangannya. Gejala obstruksi jalan nafas sebenarnya mudah

dikenal dan apapun penyebabnya langkah-langkah penanggulangannya hampir sama, yaitu:

6

Page 7: Endotracheal tube Perioperatif

BAB III

PIPA ENDOTRAKEA PERIOPERATIF

3.1. Karakteristik Pipa Endotrakea

Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan nafas, mempertahankan

patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah ventilasi, oksigenasi dan pengisapan.

Gambar 5. Pipa endotrakea12

Pipa endotrakea terbuat dari material silicon PVC (Polyvinyl Chloride) yang bebas

lateks, dilengkapi dengan 15mm konektor standar. Termosensitif untuk melindungi

jaringan mukosa dan memungkinkan pertukaran gas, serta struktur radioopak yang

memungkinkan perkiraan lokasi pipa secara tepat. Pada tabung didapatkan ukuran dengan

jarak setiap 1cm untuk memastikan kedalaman pipa.12

Anatomi laring dan rima glotis harus dikenal lebih dulu. Besar pipa trakea

disesuaikan dengan besarnya trakea. Besar trakea tergantung pada umur. Pipa endotrakea

yang baik untuk seorang pasien adalah yang terbesar yang masih dapat melalui rima glotis

tanpa trauma. Pada anak dibawah umur 8 tahun trakea berbentuk corong, karena ada

penyempitan di daerah subglotis (makin kecil makin sempit). Oleh karena itu pipa

endaotrakeal yang dipakai pada anak, terutama adalah pipa tanpa balon (cuff). Bila dipakai

pipa tanpa balon hendaknya dipasang kasa yang ditempatkan di faring di sekeliling pipa

tersebut untuk mencegah aspirasi untuk fiksasi dan agar tidak terjadi kebocoran udara

inspirasi. Bila intubasi secara langsung (memakai laringoskop dan melihat rima glotis)

tidak berhasil, intubasi dilakukan secara tidak langsung (tanpa melihat trakea) yang juga

disebut intubasi tanpa lihat (blind). Cara lain adalah dengan menggunakan laringoskop

serat optik

7

Page 8: Endotracheal tube Perioperatif

Untuk orang dewasa dan anak diatas 6 tahun dianjurkan untuk memakai pipa

dengan balon lunak volume besar tekanan rendah, untuk anak kecil dan bayi pipa tanpa

balon lebih baik. Balon sempit volume kecil tekanan tinggi hendaknya tidak dipakai karena

dapat menyebabkan nekrosis mukosa trakea. Pengembangan balon yang terlalu besar dapat

dihindari dengan memonitor tekanan dalam balon (yang pada balon lunak besar sama

dengan tekanan dinding trakea dan jalan nafas) atau dengan memakai balon tekanan

terbatas. Pipa hendaknya dibuat dari plastik yang tidak iritasif.

Berikut ditampilkan berbagai ukuran pipa endotrakea baik dengn atau tanpa cuff.

Ukuran penggunaan bervariasi bergantung pada usia pasien. Untuk bayi dan anak kecil

pemilihan diameter dalam pipa (mm) = 4 + ¼ umur (tahun).

Size PLAIN

Size CUFFED

2.5 mm 4.5 mm3.0 mm 5.0 mm3.5 mm 5.5 mm4.0 mm 6.0 mm4.5 mm 6.5 mm

7.0 mm7.5 mm8.0 mm8.5 mm9.0 mm

Pemakaian pipa endotrakea sesudah 7 sampai 10 hari hendaknya dipertimbangkan

trakeostomi, bahkan pada beberapa kasus lebih dini. Pada hari ke-4 timbul kolonisasi

bakteri yang dapat menyebabkan kondritis bahkan stenosis subglotis.13 Kerusakan pada

laringotrakea telah jauh berkurang dengan adanya perbaikan balon dan pipa. Jadi

trakeostomi pada pasien koma dapat ditunda jika ekstubasi diperkirakan dapat dilakukan

dalam waktu 1-2 minggu. Akan tetapi pasien sadar tertentu memerlukan ventilasi

intratrakea jangka panjang mungkin merasa lebih nyaman dan diberi kemungkinan untuk

mampu berbicara jika trakeotomi dilakukan lebih dini.6

3.2. Indikasi Intubasi Perioperatif

Intubasi trakea merupakan suatu tindakan memasukkan pipa khusus kedalam trakea

sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu atau dikendalikan.2 Dapat

merupakan tindakan pertolongan darurat (penyelamatan hidup) dan sangat sering dilakukan

di unit terapi intesif untuk pasien yang refleks laringnya terganggu serta gagal nafas akut. 7,8

Intubasi endotrakea diindikasikan sebagai pilihan terakhir penguasaan jalan nafas darurat

8

Page 9: Endotracheal tube Perioperatif

pada pasien tidak sadar. Intubasi tersebut dapat dikerjakan dengan mengunakan pipa

orotrakeal, nasotrakeal atau trakeostomi.

Indikasi utama dilakukannya intubasi pada anestesia umum bertujuan untuk:

1. Mempermudah pemberian anestesia.

2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas, mempertahankan kelancaran

pernafasan.

3. Mencegah kemungkinan aspirasi isi lambung (pada keadaan-keadaan tidak sadar,

lambung penuh, tidak ada refleks batuk).

4. Memudahkan pengisapan sekret trakeo bronkial.

5. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.

6. Mengatasi obstruksi laring akut.

Anestesia umum dengan teknik endotrakea dilakukan pada operasi-operasi lama yang

memerlukan nafas kendali, operasi daerah leher-kepala, operasi dengan posisi miring,

tengkurap atau duduk dimana jalan nafas bebas sulit dipertahankan.2

Intubasi yang sulit dapat diperkirakan pada pasien dengan leher pendek berotot,

mandibula menonjol, maksila/gigi depan menonjol, uvula tidak terlihat (malampati 3 atau

4), gerak sendi temporo-mandibular terbatas, gerak vertebra servikal terbatas, adanya

massa di faring atau laring.

3.3. Teknik Intubasi

Alat-alat yang digunakan pada intubasi yaitu :

1. Laringoskop: yaitu alat untuk melihat laring. Terdiri dari bagian pegangan atau

batang (handle) dan bilah (blade). Ada 3-4 ukuran bilah (ukuran bayi, anak, dewasa

normal dan yang besar)

Jenis-jenis laringoskop :

1.1. Tipe magil (bilah lurus), sering digunakan oleh ahli THT pada waktu

laringoskopi, trakeoskopi, bronkoskopi. Jarang dipakai intubasi karena trumatis.

1.2. Tipe macintosh (bilah bengkok), paling sering dipakai untuk tindakan intubasi

karena kurang traumatis dan lapangan pandangan luas serta kemungkinan timbul

refleks vagal berkurang.

1.3. Laringoskop serat optik digunakan untuk kasus intubasi yang sulit dilakukan

dengan laringoskop biasa.

2. Pipa khusus (pipa endotrakea).

Ada bermacam-macam jenis yang disesuaikan menurut kebutuhannya, yaitu :

9

Page 10: Endotracheal tube Perioperatif

2.1. Dengan atau tanpa balon (“cuff”), berfungsi mencegah aspirasi isi faring ke dalam

trakea dan memastikan tidak ada kebocoran selama ventilasi bertekanan positif.

Tekanannya antara 20-30mm H2O diukur dengan manometer.10

2.2. Jenis nasal atau oral

2.3. Terbuat dari bahan karet, PVC (plastik) atau diperkuat dengan kawat spiral.

Tiga hal yang harus diperhatikan untuk dapat membantu memudahkan atau mengurangi

trauma pada waktu intubasi trakea adalah :

1. Penderita tidak sadar/tidur (pada penderita sadar teknis lebih sulit).

2. Posisi kepala (kepala lebih ekstensi dengan bantal tipis dibawah kepala).

3. Relaksasi otot yang baik.

.

Prosedur persiapan :

Saat melakukan intubasi pada pasien, terdapat beberapa hal penting yang harus

diperhatikan untuk memastikan keamanan proses intubasi yang

disebut SALT, yaitu :

Suction. Merupakan hal yang sangat penting. Seringkali pada faring pasien terdapat

benda asing yang menyulitkan visualisasi dari pita suara. Disamping itu, aspirasi

dari paru juga harus dihindari.

Airway. Pastikan jalan nafas melalui mulut baik, untuk mencegah jatuhnya lidah ke

bagian belakang faring.

Laryngoscope. Merupakan alat yang paling penting untuk membantu penempatan

pipa endotracheal.

Tube. Pipa Endotrakea memiliki berbagai macam ukuran. Umumnya pada orang

dewasa menggunakan ukuran 7 atau 8.9

Cara intubasi : (pada waktu induksi anestesia)

1. Pastikan bahwa alat-alat yang diperlukan sudah lengkap dan baik.

2. Bila perlu sediakan oksigen dan diperiksa bahwa tabung oksigen masih berisi

dan dapat dipakai (manometer, flowmeter dan pipa oksigen).

3. Setelah pasien tidur (biasanya dengan pemberian obat induksi intravena,

tiopental 5 mg/kgBB atau ketamin 1,5 mg/kgBB) berikan obat pelemas otot

suksinilkolin 1 mg/kgBB intravena.

Akan nampak fasikulasi pada otot kerangka tubuh yang kadang-kadang hebat.

10

Page 11: Endotracheal tube Perioperatif

4. Bila fasikulasi sudah mulai berkurang, berikan ventilasi buatan dengan

oksigen kurang lebih selama 30 detik.

5. Batang laringoskop dipegang dengan tangan kiri dan tangan yang lain

mendorong kepala sehingga sedikit ekstensi, dan mulut pasien akan dengan

sendirinya membuka. Bila mulut tidak juga membuka, maka setelah melakukan

ekstensi kepala, mulut dibuka dengan tangan (jempol, telunjuk dan atau dengan

jari tengah). Salah satu tangan tetap memegang laringoskop.

6. Setelah lampu laringoskop kita nyalakan, masukkan bilah ke dalam mulut

berawal dari sudut mulut sebelah kanan.

7. Bilah dimasukkan sedikit demi sedikit sedemikian rupa, sehingga

menyelusuri sebelah kanan lidah, sambil menggeser lidah ke kiri. Hendaknya

jangan meletakkan bilah dipertengahan lidah, karena akan mengganggu

pandangan.

8. Sambil memasukkan bilah kedalam carilah epiglotis. Bila bilah bengkok,

tempatkan ujung bilah di valekula.

9. Dengan sedikit mengangkat laringoskop (arah gerakan sama dengan sumbu

batang laringoskop) maka akan tampak rima glotis (jangan dicongkel). Bila perlu

orang lain menekan trakea dari luar untuk melihat rima glotis.

10. Bila nampak rima glotis, maka akan nampak pita suara berwarna putih tidak

bergerak karena henti nafas dan sekitarnya berwarna merah.

11. Bila perlu berikan obat analgetik dengan semprotan (lidokain 10%) pada

laring dan trakea.

12. Pipa endotrakea dimasukkan melalui rima glotis.

13. Pipa endotrakea dihubungkan dengan alat anestesia atau alat resusitasi dan

pernapasan tetap dikendalikan sampai kembali spontan dan adekuat.2

Bila sebelum melakukan tindakan intubasi kita sudah sangsi akan keberhasilan

intubasi, maka hendaknya tidak memberi obat-obatan yang membuat pasien tidur,

melainkan cukup diberi sedatif saja dengan lebih dulu memberi analgetik topikal

dalam mulut, faring, laring sebelum intubasi. Dapat juga pasien di buat tidur dengan

cukup dalam tetapi biarkan bernafas spontan (tanpa pelemas otot).2

Bila dengan cara tidak lihat (blind) dan laringoskop serat optik juga gagal baru

dipertimbangkan trakeostomi. Namun saat ini cara intubasi blind sebaiknya tidak

dilakukan lagi.4

11

Page 12: Endotracheal tube Perioperatif

Pada keadaan-keadaan tertentu dimana kesulitan intubasi tidak dapat diduga

sebelumnya maka pada waktu tindakan intubasi sedang berlangsung hendaknya

selalu diperhatikan nadi dan perifer/mukosa mulut. Bila timbul bradikardia dan atau

sianosis hendaknya tindakan dihentikan. Berikan kembali bantuan nafas dan oksigen.

Hal-hal yang harus diperhatikan setelah pipa endotrakea masuk :

1. Rongga dada kiri dan kanan harus sama-sama mengembang serta bunyi udara

inspirasi paru kanan dan kiri harus terdengar sama keras dengan memakai

stetoskop. Bila pipa masuk terlalu dalam seringkali pipa masuk ke bronkus kanan

sehingga bunyi nafas hanya terdengar pada satu paru. Pipa harus ditarik sedikit,

lalu periksa kembali dengan stetoskop.

2. Balon cuff diisi sampai tidak ada tanda-tanda bocor (kebocoran dapat

diketahui dengan mendengar bunyi di mulut pada saat paru di inflasi/ditiup).

3. Pasang alat pencegah tergigitnya pipa.

4. Lakukan fiksasi dengan plester atau dengan tali pengikat agar pipa tidak

bergerak (malposisi).2

Pada umumnya intubasi endotrakeal dibatasi, tidak lebih dari 2 minggu.

Tindakan trakeostomi sebaiknya dihindari, kecuali bila bantuan jalan nafas masih

diperlukan untuk jangka waktu tertentu. Keuntungan intubasi lama ialah bahwa

komplikasi trakeostomi dapat dihindari, walaupun diketahui bahwa intubasi sendiri

memiliki berbagai komplikasi, diantaranya komplikasi selama intubasi berupa trauma

gigi geligi; laserasi bibir, gusi, laring; merangsang saraf simpatis (hipertensi-

takikardi); intubasi bronkus; intubasi esofagus; aspirasi; spasme bronkus. Komplikasi

setelah ekstubasi berupa spasme laring, aspirasi, gangguan fonasi, edema glotis-

subglotis, infeksi laring, infeksi faring dan infeksi trakea.3,7

12

Page 13: Endotracheal tube Perioperatif

Gambar 6. Perlengkapan intubasi endotrakea

Kebanyakan pipa endotrakea terlalu panjang dan harus dipotong. Panjang pipa

yang dibutuhkan dapat diperkirakan dengan meletakkannya disamping muka dan leher

pasien dengan bifurkasio trakea terletak pada pertemuan manubrium-sternum. Diameter

pipa yang tepat sangat penting, terutama dalam pemilihan pipa untuk anak, tetapi dapat

diperkirakan dari besarnya diameter jari kelingking anak. Untuk meja resusitasi persediaan

pipa dengan diameter 6-10 mencukupi.

Stilet plastik atau logam berujung tumpul yang dapat dibentuk membuat lengkung

pipa dapat diatur. Bila digunakan, ujung stilet hendaknya tidak keluar dari ujung distal

pipa. Pemakaian stilet lurus yang dibengkokkan 450 pada seperlima bagian distal , bersama

dengan daun laringoskop bengkok memudahkan intubasi pada keadan sulit, bahkan jika

hanya epiglotis yang dapat dilihat.6

Pasien dengan lambung yang penuh yang memerlukan anestesia umum atau dalam

koma akibat penyakit atau cedera, mungkin memerlukan intubasi cepat. Persiapkan

pengisap untuk regurgitasi. Pilihan antara posisi terlentang atau setengah duduk

kontroversi. Posisi terlentang (terutama jika kepala direndahkan) dapat mengatasi aspirasi,

sedangkan posisi setengah duduk dapat mengurangi kemungkinan regurgitasi. Sesudah

preoksigenasi (lebih disukai dengan oksigen 100% tanpa tekanan positif), tutuplah

esofagus pasien dengan tekanan pada krikoid (Sellick) dan lumpuhkan pasien dengan

suksinilkolin. Intubasi secepatnya.

Pasien asfiksia yang kejang dengan cedera kepala merupakan contoh tantangan.

Pasien ini mungkin harus diintubasi dengan pelumpuh otot, karena batuk dan mengedan

13

Page 14: Endotracheal tube Perioperatif

pada keadaan memar otak, dapat menambah sembab otak dan perdarahan. Intubasi cepat

mungkin berbahaya jika ditangani tenaga yang tidak berpengalaman. Intubasi endotrakea

pasien sadar oleh beberapa orang dianggap diindikasikan sebelum anestesia umum pada

risiko aspirasi dan insufisiensi paru berat.6

3.4. Ekstubasi Perioperatif

Setelah opersi berakhir, pasien memasuki prosedur pemulihan yaitu pengembalian fungsi

respirasi pasien dari nafas kendali menjadi nafas spontan. Sesaat setelah obat bius

dihentikan segeralah berikan oksigen 100% disertai penilaian apakan pemulihan nafas

spontan telah terjadi dan apakah ada hambatan nafas yang mungkin menjadi komplikasi.

Bila dijumpai hambatan nafas, tentukaan apakah hambatan pada central atau perifer.

Teknik ekstubasi pasien dengan membuat pasien sadar betul atau pilihan lainnya

pasien tidak sadar (tidur dalam), jangan lakukan dalam keadaan setengah sadar ditakutkan

adanya vagal refleks. Bila ekstubasi pasien sadar, segera hentikan obat-obat anastesi

hipnotik maka pasien berangsu-angsur akan sadar. Evaluasi tanda-tanda kesadaran pasien

mulai dari gerakan motorik otot-otot tangan, gerak dinding dada, bahkan sampai

kemampuan membuka mata spontan. Yakinkan pasien sudah bernafas spontan dengan

jalan nafas yang lapang dan saat inspirasi maksimal. Pada ekstubasi pasien tidak sadar

diperlukan dosis pelumpuh otot dalam jumlah yang cukup banyak, dan setelahnya pasien

menggunakan alat untuk memastikan jalan nafas tetap lapang berupa pipa orofaring atau

nasofaring dan disertai pula dengan triple airway manufer standar.

14

Page 15: Endotracheal tube Perioperatif

BAB IV

LAPORAN KASUS

A. Evaluasi Pra Anestesia

I. Identitas pasien

Nama : Ni Kt Murni

Umur : 38 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Br. Belong Sanur, Kaja, Denpasar Selatan

Status : Menikah

Agama : Hindu

Suku/Bangsa : Bali/Indonesia

Pendidikan : Tamat SLTA

Tanggal operasi : 4 Juni 2007

Diagnosis Bedah : Soliter Nodul Tiroid bilateral

Tindakan : Total tiroidektomi

II. Anamnesis

II.1. Anamnesis Khusus

Keluhan benjolan pada kedua leher sejak ± 8 tahun yang lalu. Benjolan timbul

perlahan-lahan dan semakin lama semakin membesar. Benjolan dirasakan ikut

bergerak sewaktu menelan dan tidak dikeluhkan gangguan bicara maupun

menelan. Pasien tidak merasakan nyeri pada benjolan tersebut. Keluhan dada

berdebar-debar dan berkeringat malam disangkal. Pasien mengatakan nafsu

makannya meningkat, tetapi berat badannya dirasakan menurun. Keluhan

diare dan tremor tidak didapatkan.

Pasien belum pernah mendapatkan pengobatan maupun pembedahan untuk

keluhannya saat ini. Keluhan bola mata menonjol tidak didapatkan.

II.2. Anamnesis Umum

Riwayat penyakit sistemik tidak ada

Riwayat pemakaian obat tidak ada

Riwayat operasi sebelumnya tidak ada

Kebiasaan merokok, alkohol, maupun pemakaian obat terlarang tidak ada

15

Page 16: Endotracheal tube Perioperatif

Riwayat alergi obat dan makanan tidak ada

III. Status Present

Kesadaran : Composmentis (E4V5M6)

Respirasi : 20 kali/menit

Sirkulasi : Tek darah: 120/80 mmHg, Nadi : 80 kali/menit

Temperatur aksila : 36,8 0 c

Berat badan : 55 Kg

Tinggi : 160 Cm

VAS : 0 ( Tidak nyeri )

IV. Pemeriksaan Fisik

4.1. Pemeriksaan fisik umum

1. SSP : Normal

2. Respirasi : Sumbatan jalan nafas tidak ada

3. Sirkulasi : Normal

4. Hematologi : Normal

5. Urinari : Normal

6. Saluran cerna : Normal

7. Hepatobilier : Normal

8. Metabolik : Peningkatan Basal Metabolisme Rate (penurunan berat

badan)

9. Otot Rangka : Mallampati I f/d normal

4.2.Pemeriksaan fisik khusus

1. Keadaan gigi : Normal

2. Kemampuan membuka mulut : Normal

3. Fleksi dan ekstensi leher : Normal

4. Deskripsi massa: Massa padat berjumlah 2 buah, masing-masing pada

leher kanan dan kiri. Konsistensi kenyal, mobile, ukuran 6x6cm dan 5x4cm.

V. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Penunjang

WBC : 7,41 . 10 –6 /μL ( 4,5-11 . 10 –6 /μL)

HGB : 13,4 g/dL (12-16 g/dL)

16

Page 17: Endotracheal tube Perioperatif

HCT : 38,9 % (36-48 %)

PLT : 312 . 10 –3 /μL ( 150-440 . 10 –3 /μL)

Bleeding time : 1’ 00” (1’-3’)

Clothing time : 7’ 00” (5’-15’)

Fungsi hati ( Normal )

AST : 19 Iμ/L ( 11-32 Iμ/L )

ALT : 17 Iμ/L ( 4-36 Iμ/L )

Fungsi ginjal ( Normal )

BUN : 12,5 mg/dL ( 5-23 mg/dL )

SC : 0,81 mg/dL ( 0,5-1,2 mg/dL )

Metabolik endokrin

BS : 98 mg/dL ( 70-110 mg/dL )

Alb : 4,3 g/dL ( 4-5,7 g/dL )

FT4 : 1,32 ng/dL ( 0,71-1,85 ng/dL )

TsHs : 0,625 mcIU/mL ( 0,47-4,64 mcIU/mL )

Kardiovaskuler

Foto Thoraks : Kesan thoraks normal

Fr. lama costae S posterior multiple (3-7)

EKG : Irama sinus

VI. Kesimpulan : ASA 1

B. Persiapan Pra-Anestesia

I. Persiapan di ruangan

Surat perjanjian operasi sudah ditandatangani

Persiapan psikis : penjelasan mengenai rencana anestesi dan pembedahan yang

direncanakankepada pasien dan keluarga, pemberian obat sedatif : Diazepam 2

x 5 mg per oral (malam dan pagi hari)

Persiapan fisik : puasa 8 jam sebelum operasi, melepaskan aksesoris yang

dipakai (cincin, gelang, kalung), penderita mandi bersih kemudian

menggunakan pakaian khusus untuk operasi

II. Persiapan di ruang persiapan IBS

Memeriksa kembali identitas pasien dan surat persetujuan operasi

17

Page 18: Endotracheal tube Perioperatif

Memberikan premedikasi sedatif dan analgetik ( Midazolam 5 mg dan Pethidin

70 mg intramuskuler ).

Memasang infus di tangan kiri

RL 500 cc

kebutuhan cairan : I. 110 cc + 50% X 1100 cc = 6600 cc.

III. Persiapan di kamar operasi

Persiapan mesin anestesia dengan sistem aliran gasnya

Persiapan alat dan obat anestesia : Pentotal 250 mg

Persiapan alat dan obat resusitasi

Persiapan alat pantau dan kartu anestesia

4.1. Pengelolaan Anestesia :

o Jenis Anestesia : General Anestesia- Oro-Tracheal Tube

o Teknik Anestesi :

Pasien tidur telentang, dipasang monitor. Preoksigenasi dengan oksigen 100 %

8L/mnt selama 3-5 menit. Prekurarisasi dengan atrakurium 2 mg iv à induksi

dengan propofol 150 mg ivà suksinilkholin 60 mg iv à laringoskopi- intubasi

dengan PET 7, cuff (+) à hubungkan dengan sirkuit nafas à maintenance

dengan O2 1 Lt/menit, N2O 2 Lt/menit, Isofluran 1 vol %

Medikasi yang lain : petidin 175 mg + ketorolac 60 mg dalam D 5% 20 tts/mnt

o Respirasi : kendali

o Lama operasi : 2 jam 45 menit

o Lama Anestesi : 3 jam 5 menit

o Fase Pemulihan : Ekstubasi sadar, pasien sadar baik dan tanpa komplikasi.

o Keadaan akhir pembedahan :

Tekanan darah : 100/60 mmHg

Nadi : 92 x/menit

o Rekapitulasi :

Cairan masuk : RL 1000 cc, Petidin 175 mg + ketorolac 60 mg dalam D5%.

3.4 Pemantauan pasca Anestesia :

o Aldrette score dari kamar operasi ke ruang pemulihan : 8

18

Page 19: Endotracheal tube Perioperatif

o Aldrette score dari kamar pemulihan ke ruangan : 10

o Terpasang IVFD RL

o Instruksi di ruangan :

Bila kesakitan : IVFD D 5% + petidin 175 mg + ketorolac 60 mg 20 tts/mnt

Bila mual-muntah : ondansetron 4 mg iv

Makan dan minum bebas bila sudah sadar baik.

BAB V

19

Page 20: Endotracheal tube Perioperatif

PEMBAHASAN

Perempuan 38tahun, keluhan benjolan pada kedua leher sejak 8tahun yang lalu dengan

semakin lama semakin membesar. Benjolan tersebut dirasakan ikut bergerak sewaktu

menelan, nyeri dan gangguan bicara maupun menelan disangkal. Di keluhkan penurunan

berat badan tanpa sebab yang jelas seiring dengan pembesaran kedua benjolan tersebut.

Riwayat operasi sebelumnya tidak ada, riwayat penyakit sistemik tidak ada, riwayat

pemakaian obat tidak ada, riwayat alergi obat tidak ada. Pasien didiagnosa dengan soliter

nodul tiroid bilateral, dengan hasil histopatologi folokular neoplasia. Dari status present

dalam batas normal dan pemeriksaan fisik umum dan penunjang dalam batas normal.

Kesimpulan pada pasien ini adalah Status Fisik ASA 1.

Pasien ini dilakukan total tiroidektomi. Pada prosedur ini menggunakan tehnik

anestesi dengan general anestesi dengan pemasangan pipa endotrakea. Pemilihan teknik

anestesi tersebut dengan pertimbangan: lokasi lapangan operasi, posisi pasien pada kondisi

ini harus telentang dan durasi operasi yang cukup lama (2jam 45 menit). Sebelum operasi

dilakukan persiapan rutin di ruangan yang meliputi persiapan psikis dengan memberi

penjelasan kepada pasien dan keluarga perihal rencana anestesi dan pembedahan, dan

persiapan fisik.

Di ruang persiapan pasien diberikan premedikasi yaitu berupa Midazolam 5 mg

(dosis 0,05-0,1 mg/kg BB) dan petidin 50 μg (dosis1 mg/kg BB) yang diberikan secara

intravena. Midazolam merupakan sedatif yang memberikan ketenangan pasien dan petidin

pada dosis tersebut diberikan sebagai analgetik untuk pembedahan.

Pemberian pelumpuh otot pada pasien ini digunakan untuk memudahkan intubasi.

Dipilih suksinilkholin karena obat ini mula kerjanya cepat dan masa kerja yang singkat,

untuk mengatasi efek fasikulasinya diberi prekurarisasi dengan atrakurium. Induksi

digunakan propofol karena disamping onset dan pemulihannya cepat, efek mual muntah

post operasi lebih jarang karena propofol memiliki efek antiemetik. Maintenance dengan

memberi Anestesi inhalasi (N2O, O2, dan isofluran) dengan pipa endotrakea. Pemberian

Anestesi inhalasi untuk memiliki beberapa keuntungan yaitu kedalaman Anestesi dapat

dikontrol dengan menyesuaikan vaporizer output, pola ventilasi, dan total flow rate,

oksigen dengan konsentrasi tinggi diberikan bersama dengan obat Anestesi inhalasi selama

pemeliharaan anestesi, hal ini akan menambah kandungan oksigen di darah. SSelain itu

penggunaan pipa endotrakea memberikan keuntungan berupa proteksi jalan nafas.

DAFTAR PUSTAKA

20

Page 21: Endotracheal tube Perioperatif

1. Mangku G. Bantuan Hidup Dasar. dalam : Diktat Kuliah Anestesiologi dan

Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Denpasar.

2. Mulyono I. Jalan Nafas Atas Pada Anestesia Umum. Dalam : Muhiman M., Thaib

MR., Sunatrio S., Dahlan R. Editors. Anestesiologi. Jakarta : Bagian Anestesiologi

dan Terapi Intensif FKUI, 1989.

3. Latief SA., Suryadi KA., Dachlan MR., Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi

kedua. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI, 2002.

4. Boeis. Anatomi dan Fisiologi Laring. dalam : Buku Ajar Penyakit THT edisi ke-6.

EGC. Jakarta, 1997; 369-377.

5. Washington J. Airway Management. Available at :

http://www.continuingeducation.com/nursing/airway/airway.pdf . Acccesed: 3rd

June 2007

6. Safar P. Cardiopulmonary Ressucitation. W.B. Saunders. Canada.1981

7. Muhardi., Mulyono I., Susilo. Intubasi Endotrakeal Dan Trakeostomi. Dalam :

Muhiman M. Editor. Penatalaksanaan Pasien di Intensive Care Unit, Edisi kedua.

Jakarta : Sagung Seto, 2001.

8. Hadiwakarta A., Rusmarjono., Soepardi E. Penanggulangan Sumbatan Laring.

Dalam : Soepardi EA., Iskandar N. Editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga

Hidung Tengorok Kepala Leher, Edisi kelima. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2003.

9. Prazeres GA. Orotracheal Intubation. Available at :

http://www.medstudents.com.br/proced5/intubat.htm . Accessed : 3rd June 2007

10. Sengupta P, et all. Endotracheal Tube Cuff Pressure in Three Hospitals, and the

Volume Required to Produce an Appropriate Cuff Pressure. Available at:

http://www.biomedcentral.com/1471-2253/4/8. Accessed: 3rd June 2007

11. Endotracheal Tube. Available at: http://en.wikipedia.org/wiki/Endotracheal_tube.

Accessed: 3rd June 2007

12. Endotracheal Tube (Breathing Tube). Available at: http://www.suru.com/endo.htm.

Accessed: 3rd June 2007

13. Friedland DR, et all. Bacterial Colonization of Endotracheal Tubes in Intubated

Neonatal in Arch Otolaringol Head and Neck Surg 2001;127:525-528. Available at:

http://www.archoto.com. Accessed: 3rd June 2007

21