paper manajemen perioperatif

32
BAB I PENDAHULUAN Manajemen jalan nafas perioperatif adalah hal yang sangat penting untuk menunjang keberhasilan proses anestesi dalam suatu operasi atau pembedahan. Melalui evaluasi yang cermat, penyulit intra dan pasca operatif dapat diramalkan, sehingga dapat dipersiapkan obat/alat untuk menanggulangi penyulit tersebut. Salah satu penyulit yang perlu mendapat perhatian adalah adanya sumbatan jalan nafas. Diperlukan kemampuan untuk mengenal adanya sumbatan jalan nafas atau bahaya sumbatan jalan nafas, tersedianya peralatan, kecakapan dalam mengelola jalan nafas, dan memastikan adanya ventilasi yang adekuat. Menjamin terbukanya jalan nafas merupakan langkah penting pertama untuk pemberian oksigen pada pasien. 1 Sumbatan jalan nafas, hipoventilasi, henti nafas, syok, dan bahkan henti jantung cepat sekali menimbulkan kematian bila tidak mendapat pertolongan yang cepat dan tepat. Penguasaan jalan nafas yang cepat dan tepat merupakan hal terpenting untuk berhasilnya penanganan pasien gawat darurat. Pedoman European Resuscitation Council (ERC) mengenai advanced cardiac life support (ACLS) menyatakan bahwa intubasi endotrakea harus dilakukan hanya jika penyedia layanan kesehatan telah dilatih dan memiliki pengalaman yang memadai dengan teknik tersebut. 2 sebuah survei terhadap dokter umum di daerah urban dan pedesaan menunjukkan bahwa sebagai praktisi kegawatdaruratan, merekan hanya melakukan satu intubasi setiap 2 hingga 7 bulan. 3 1

Upload: irma-novianti

Post on 08-Aug-2015

96 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Paper Manajemen Perioperatif

BAB I

PENDAHULUAN

Manajemen jalan nafas perioperatif adalah hal yang sangat penting untuk menunjang

keberhasilan proses anestesi dalam suatu operasi atau pembedahan. Melalui evaluasi yang

cermat, penyulit intra dan pasca operatif dapat diramalkan, sehingga dapat dipersiapkan

obat/alat untuk menanggulangi penyulit tersebut. Salah satu penyulit yang perlu mendapat

perhatian adalah adanya sumbatan jalan nafas. Diperlukan kemampuan untuk mengenal

adanya sumbatan jalan nafas atau bahaya sumbatan jalan nafas, tersedianya peralatan,

kecakapan dalam mengelola jalan nafas, dan memastikan adanya ventilasi yang adekuat.

Menjamin terbukanya jalan nafas merupakan langkah penting pertama untuk pemberian

oksigen pada pasien.1

Sumbatan jalan nafas, hipoventilasi, henti nafas, syok, dan bahkan henti jantung cepat sekali

menimbulkan kematian bila tidak mendapat pertolongan yang cepat dan tepat. Penguasaan

jalan nafas yang cepat dan tepat merupakan hal terpenting untuk berhasilnya penanganan

pasien gawat darurat.

Pedoman European Resuscitation Council (ERC) mengenai advanced cardiac life support

(ACLS) menyatakan bahwa intubasi endotrakea harus dilakukan hanya jika penyedia layanan

kesehatan telah dilatih dan memiliki pengalaman yang memadai dengan teknik tersebut. 2

sebuah survei terhadap dokter umum di daerah urban dan pedesaan menunjukkan bahwa

sebagai praktisi kegawatdaruratan, merekan hanya melakukan satu intubasi setiap 2 hingga 7

bulan.3

Tanpa kemampuan yang cukup, tidak hanya dalam hal intubasi namun juga melakukan

verifikasi terhadap posisi pipa yang berdasarkan panduan bantuan hidup lanjut (advanced life

support) menjadi tidak mungkin tanpa menimbulkan risiko bagi pasien. Pada saat dokter-

dokter yang merupakan anggota Helicopter Emergency Medical Services (HEMS) Jerman

menilai posisi pipa pada pasien yang diintubasi oleh dokter emergensi, maka persentase

intubasi esophagus (6,7%) ternyata sangat rendah.4 Banyak dari kekeliruan manajemen jalan

napas di lapangan seharusnya dapat dihindari dengan pelatihan yang lebih baik mengenai

teknik intubasi dan alat-alat yang digunakan dalam manajemen jalan napas.5

1

Page 2: Paper Manajemen Perioperatif

BAB II

ISI

2.1 Anatomi dan Fisiologi Pernafasan

2.1.1 Anatomi Sistem Pernafasan

Sistem pernafasan dibagi menjadi 4 bagian yaitu 6

- Pusat nafas yang terdapat di batang otak, terdiri dari area inspirasi, area ekspirasi dan

area pneumotaksik.

- Saluran nafas yang terdiri atas hidung, rongga hidung, faring, laring, trakea,

bronkiolus, bronkiolus terminalis, duktus alveolaris dan berakhir pada alveolus.

- Dada sebagai unit pompa dan daya regangnya (terdiri dari otot-otot pernafasan antara

lain Musculus Intercostalis internus, Musculus Intercostalis eksternus, Musculus

Sternocleidomastoideus, Musculus Rectus Abdominis, Musculus Scalenus dan

Musculus Serratus anterior), tulang dan diafragma.

- Paru yang merupakan struktur utama dengan fungsi membuang CO2 yang terkandung

dalam darah dan menyerap sejumlah O2 ke dalamnya.

Ada 2 pintu masuk pernafasan manusia yaitu hidung yang terhubung ke nasofaring (pars

nasalis) dan mulut yang terhubung ke orofaring (pars oralis), pada bagian depan mereka

dipisahkan oleh palatum sedangkan pada bagian belakang mereka terhubung oleh faring.

Nasofaring merupakan bagian teratas dari faring, dibatasi pada bagian superior oleh dasar

tengkorak, bagian inferior oleh palatum mole, bagian anterior oleh rongga hidung (koana),

dan bagian posterior oleh margo tulang posterior dari nasofaring yang dibentuk oleh basis

tulang tengkorak, khususnya clivus, serta 2 corpus vertebrae pertama (C1 dan C2). Aspek

lateral ruang nasofaring diapit oleh mukosa dan fasia faringealis yang juga melapisi margo

tulang posterior. 7

Nasofaring memiliki ukuran relatif kecil, dimensi anteroposterior nasofaring ialah 2-3 cm,

sedangkan dimensi vertikal dan transversalnya 3-4 cm. Kavitas orofaring terletak dibawah

dari nasofaring serta tepi anterior inferior ditandai oleh palatum mole. Margo superior dan

dinding posterior mengandung banyak jaringan limfoid pada saat usia anak-anak dan seiring

dengan umur akan menghilang dengan sendirinya. Jika jaringan limfoid ini (tonsil dan

adenoid) persisten hingga dewasa dapat membingungkan dalam membedakan dengan tumor.

2

Page 3: Paper Manajemen Perioperatif

Nasofaring terpisah dari orofaring oleh suatu batas imaginer. Pada basis dari lidah, epiglotis

berfungsi sebagai pembatas dari orofaring ke laringofaring. Epiglotis ini melindungi sistem

pernafasan dari aspirasi dengan menutup glotis yang merupakan pintu masuk menuju laring

pada saat menelan.6,7

Sistem persarafan sensori pada sistem pernafasan bagian atas berasal dari saraf kranialis.

Membran mukosa hidung dan palatum dipersarafi oleh nervus trigeminalis cabang

oftalmikus (N V1) pada bagian anterior dan cabang maksilaris (N V2) pada bagian posterior

dan maksila. Cabang ketiga mempersarafi bagian mandibula. Nervus glosofaringeus dan

lingual (cabang nervus fasialis) memberikan sensasi rasa pada lidah. Nervus glosofaringeus

juga menginervasi atap faring, tonsil dan lapisan bawah dari soft palate. Nervus vagus

memberikan sensasi pada pernafasan di bagian bawah epiglotis. Superior laryngeal nerve

yang merupakan cabang dari nervus vagus mempersarafi laring di antara epiglotis dan pita

suara (sensori dan motori). Cabang lain dari nervus vagus yaitu Reccurent laryngeal nerve

menginervasi laring di bawah pita suara dan trakea.7

Laring menerima suplai darah dari cabang arteri tiroid. Salah satu cabang arteri tiroid adalah

arteri tiroid superior yang kemudian menjadi arteri krikotiroid.

Gambar 1. Anatomi Sistem Pernafasan Bagian Atas

Pembagian lain menyebutkan sistem pernafasan dibagi menjadi bagian atas yang terdiri dari

hidung, ruang hidung, sinus paranasalis dan faring yang berfungsi menyaring, menghangatkan

dan melembabkan udara pernafasan dan bagian bawah yang terdiri dari laring, trakea, bronki,

bronkioli dan alveoli. Trakea merupakan sebuah pipa fibromuskular dengan ukuran panjang

10-12 cm dengan diameter 18-20 mm, memiliki sel-sel bersilia yang selalu bergerak 12-20 3

Page 4: Paper Manajemen Perioperatif

kali tiap menit dan sel-sel yang dapat menghasilkan lendir. Cabang-cabangnya antara lain

bronkus utama dengan ukuran 13 mm, bronkus lobaris 5-7 mm, bronkus segmentalis 3-4 mm,

bronkus kecil 1 mm, bronkiolus utama 0,5-1 mm, bronkiolus terminalis 0,5 mm, bronkiolus

respiratorius 0,5 mm dan duktus alveolaris 0,3 mm.6,7

2.1.2 Fisiologi Pernafasan

Fisiologi pernapasan dibagi menjadi 2 antara lain:7

1. Respirasi Eksternal

Ketika udara masuk ke dalam paru-paru terjadilah oksigenisasi darah (terjadi difusi antara

darah dan udara yang masuk ke dalam paru-paru), CO2 dilepas dan O2 diikat oleh darah.

Respirasi eksternal ini terdiri dari 4 komponen yaitu:

- Ventilasi : Merupakan pergerakan udara atau gas dari satu tempat ke tempat

yang lainnya. Lebih spesifik lagi adalah pergerakan udara ke dalam

paru-paru dan dari dalam paru-paru.

- Distribusi : Merupakan perjalanan dan percampuran molekul-molekul gas

intrapulmoner.

- Difusi : Merupakan proses pertukaran O2 dalam alveoli dan CO2 yang berada

dalam darah di arteri pulmonaris.

- Perfusi : Merupakan pengambilan gas-gas oleh aliran darah kapiler paru yang

adekuat.

2. Respirasi Internal7

Ketika darah yang sudah teroksigenisasi tersebut meninggalkan paru-paru, kemudian darah

tersebut menuju ke jantung dan keseluruh tubuh. Proses dilanjutkan dengan cara darah

beroksigenisasi mentransfer oksigen ke jaringan kemudian darah pun akan menyerap CO2 dari

jaringan tersebut. Respirasi eksternal dibagi menjadi:

- Efisiensi kardiosirkulasi

- Distribusi kapiler

- Difusi, perjalanan gas ke ruang interstisial dan menembus dinding sel.

- Metabolisme sel yang melibatkan enzim.

2.2 Peralatan yang Digunakan dalam Manajemen Airway8

2.2.1 Oral dan Nasal Airway

Oropharyngeal airway (juga dikenal sebagai oral Airway, OPA atau Guedel) adalah

perangkat medis yang disebut Airway adjunct digunakan untuk menjaga jalan nafas tetap 4

Page 5: Paper Manajemen Perioperatif

terbuka. Ini dilakukan dengan mencegah lidah (baik sebagian atau sepenuhnya) meliputi

katup nafas, yang dapat mencegah pasien bernapas. Saat seseorang berada dalam keadaan

tidak sadar, otot di rahang berelaksasi sehingga lidah akan jatuh dan menghambat jalan nafas,

kenyataannya lidah adalah yang paling umum penyebab tersumbatnya jalan nafas. OPA

didesain oleh Arthur E. Guedel (1883-1956).6,8

Oropharyngeal airways memiliki beragam ukuran, dari anak-anak sampai dewasa dan

biasanya digunakan di pre-hospital emergency care.

Gambar 2. OPA dalam Berbagai Ukuran

Oropharyngeal airways diindikasikan pada pasien yang tidak sadar karena pada pasien yang

sadar alat ini dapat menstimulasi reflek muntah yang dapat semakin menyumbat jalan nafas.

Pada pasien yang sadar biasanya digunakan nasopharyngeal airway.8

Pemilihan ukuran guedel dapat dilakukan dengan mengukur jarak antara daun telinga dan

sudut mulut pasien, kemudian OPA dimasukkan ke dalam mulut dari arah atas ke bawah

(berputar 180º). Untuk mengeluarkan langsung mengikuti lekukan lidah, tidak perlu rotasi.

Risiko penggunaan OPA adalah:

- Jika pasien mengalami reflek gag maka pasien akan muntah

- Jika ukurannya terlalu besar maka OPA dapat menutup glotis sehingga jalan nafas akan

tersumbat

- Ukuran yang salah juga dapat menyebabkan pendarahan pada jalan nafas.

2.2.2 Sungkup Muka

Sungkup muka atau face mask adalah suatu alat yang digunakan untuk mengefektifkan udara

pernafasan atau O2 atau gas yang akan dimasukkan ke dalam paru melalui suatu selang.

Sungkup muka ini didesain sedemikian rupa sehingga udara tidak bocor keluar saat digunakan

5

Page 6: Paper Manajemen Perioperatif

pada pernafasan spontan tetapi hal ini juga tergantung pada praktisi yang menggunakannya.

Terbuat dari bahan transparan agar terlihat jika terjadi muntah atau keluar cairan atau lendir

dari mulut atau hidung pasien.8

Ukuran dan bentuk yang digunakan berragam tergantung dari usia pengguna dan pembuatnya.

Ukuran 03 untuk bayi baru lahir, ukuran 02, 01 dan 1 untuk anak-anak, ukuran 2 dan 3 untuk

anak yang lebih besar dan ukuran 4 serta 5 untuk dewasa.

Cara praktisi memegang dan memfiksasi sungkup muka sangat penting untuk mencegah

bocornya udara. Jika sungkup dipegang dengan tangan kiri maka tangan kanan praktisi

memegang kantong nafas untuk memberi tekanan positif pada pernafasan pasien. Ibu jari dan

telunjuk menekan sungkup pada wajah dan jari ketiga dan keempat memfasilitasi ekstensi

pada sendi atlantoocipital, kelingking menahan sudut rahang atau jaw thrust, manuver ini

berguna sekali untuk memfasilitasi ventilasi pasien. Pada keadaan yang sulit, sungkup

dipegang dengan kedua tangan agar jaw thrust yang dilakukan semakin efektif dan

dibutuhkan asisten untuk memegang kantong udara. Dapat dilakukan dengan cara seperti

sebelumnya atau dengan kedua jempol di atas sungkup dan sisa jari digunakan untuk jaw

thrust. Dapat juga digunakan OPA atau guedel untuk membantu menjaga jalan nafas. Yang

tak kalah penting adalah hati-hati pada penggunaan yang terlalu lama karena dapat

menyebabkan cedera pada nervus trigeminal, fasial dan bahkan abrasi korneal.9

2.2.3 Laryngeal Mask Airway (LMA)

Laryngeal Mask Airway atau LMA atau sungkup laring digunakan dalam anestesi dan pada

pengobatan darurat untuk manajemen jalan nafas. LMA terdiri dari selang dengan cuff yang

dapat dikembungkan yang dimasukkan ke dalam faring. LMA lebih mudah digunakan dan

tidak terasa nyeri seperti pada penggunaan endotracheal tube. Namun, LMA tidak melindungi

paru-paru dari aspirasi, sehingga tidak cocok untuk pasien yang beresiko untuk komplikasi

ini. Selain itu suction tidak dapat masuk melalui LMA.8,9

Perangkat ini berguna dalam situasi di mana pasien terperangkap dalam posisi duduk atau

diduga trauma pada cervical spine atau ketika intubasi gagal. LMA dimasukkan sampai batas

atas dari laring dan tidak perlu sampai melalui trakea, dapat digunakan pada pernafasan

spontan atau dengan ventilator.

6

Page 7: Paper Manajemen Perioperatif

Gambar 3. LMA atau Sungkup Laring

LMA memiliki beragam ukuran dan dimasukkan dalam keadaan cuff kempis dan sudah

dilubrikasi dengan jel. Pasien dibuat tidak sadar dan leher diekstensikan serta mulut dibuka.

Setelah masuk dan berhenti pada fosa piriformis kemudian cuff dikembungkan. Cara

mengetahui udara sudah masuk secara efektif pada paru adalah dengan mendengarkan suara

paru dengan stetoskop. Pemilihan ukuran didasarkan pada berat badan dan usia seseorang.

Dikenal 2 macam LMA yaitu sungkup laring standar dengan 1 pipa nafas dan sungkup laring

dengan 2 pipa yaitu 1 pipa standar dan 1 pipa lagi yang terhubung ke esofagus.10

Tabel 1. Indikasi Pemilihan Ukuran LMA

Ukuran Usia Berat

1.0 neonatal <3

2.0 Bayi 3-10

3.0 Anak kecil 10-20

4.0 Anak 20-30

5.0 Dewasa kecil 30-40

6.0 Dewasa normal 40-60

7.0 Dewasa besar >60

2.2.4 Tracheal Tube

Endotracheal tube (juga disebut ET tube/ETT atau pipa endotrakeal/PET) digunakan pada

anestesi umum, perawatan intensif dan pengobatan darurat untuk manajeman jalan nafas serta

ventilasi mekanik (ventilator). Tabung yang dimasukkan ke dalam trakea untuk memastikan

bahwa jalan nafas tidak tertutup dan udara dapat mencapai paru-paru. ETT dianggap sebagai

metode yang paling handal untuk melindungi jalan nafas pasien.10

7

Page 8: Paper Manajemen Perioperatif

Sir Ivan Whiteside Magill (1888-1986) adalah seorang anestesiolog kelahiran Irlandia yang

banyak mengembangkan peralatan anestesi modern adalah penemu ETT. Proses memasukkan

sebuah ETT disebut intubasi. Intubasi biasanya membutuhkan anestesi umum dan relaksasi

otot tetapi dapat dicapai dalam terjaga pasien dengan pembiusan lokal atau dalam keadaan

darurat tanpa anestesi, walaupun ini sangat tidak nyaman dan biasanya dihindari dalam

keadaan lainnya. Seorang praktisi akan memegang laringoskop pada tangan kiri dan ETT

pada tangan kanannya. ETT dimasukkan ke dalam trakea melalui mulut, kadang juga melalui

lubang hidung atau trakea dengan trakeostomi, tergantung pada keadaan pasien. Untuk lebih

lanjutnya akan dijelaskan pada bahasan intubasi. 11

Indikasi penggunaan ETT adalah:

1. Cardiac arrest, di mana ventilasi dengan sungkup tidak mungkin dilakukan atau

kurang efektif.

2. Respiratory arrest, ketika respirasi tidak lagi adekuat.

3. Pasien tidak dapat menjaga jalan nafasnya (cardiac arrest, coma. areflexia)

4. Anestesi umum

5. Ventilasi kendali

Ada banyak jenis ETT dengan ukuran diameter internal 2-10,5 mm. Berbagai ukuran yang

dipilih berdasarkan ukuran tubuh pasien. Ukuran lebih kecil digunakan untuk bayi dan anak-

anak. Pada pasien dewasa biasanya digunakan ukuran 7 untuk wanita dan 7.5 untuk pria dan

panjangnya biasanya berdasarkan ukuran diameternya dikali 3. Cara pemilihan pipa trakea

untuk bayi dan anak kecil adalah dengan rumus 4+ ¼ usia dalam tahun untuk diameternya

(dalam mm) dan 12+ ½ umur dalam tahun untuk panjang pipa orotrakeal dan nasotrakeal

(dalam cm).11

Terdapat 2 jenis ETT yaitu yang rigid atau kaku (kinking) dan yang lentur atau fleksibel (non-

kinking). Pemilihan jenis didasarkan pada jenis operasi yang dilakukan dan keadaan pasien.

Pada operasi yang memiliki resiko untuk tertekuknya ETT atau pada pasien dengan trauma

pada wajah digunakanlah jenis yang lentur.

8

Page 9: Paper Manajemen Perioperatif

Gambar 4. Orotracheal Tube

Sesaat setelah pipa endotrakeal masuk ke dalam trakea dengan bantuan laringoskop kemudian

cuff dikembangkan dan dilakukan uji dengan stetoskop untuk mengetahui apakah pipa sudah

masuk ke trakea atau ke salah satu bronkus. Cuff berfungsi untuk mencegah terjadinya

aspirasi dan bocornya udara yang dimasukkan dalam pipa endotrakeal untuk disalurkan dalam

paru agar tidak kembali keluar. Pada ujung dari pipa endotrakeal terdapat lubang seperti mata

yang berfungsi untuk jalan keluar udara jika ujung terbuka dari ETT tertutup saat masuk ke

trakea.6,11

9

Gambar 5. Nasotracheal Tube

Page 10: Paper Manajemen Perioperatif

2.2.5 Laringoskop

Laringoskop adalah suatu alat yang digunakan untuk memudahkan melihat laring secara

langsung sehingga proses pemasukan pipa endotakeal atau ETT berada dalam jalur yang

benar. Secara garis besar terdapat 2 macam laringoskop yaitu bilah, daun atau blade yang

lurus (macintosh) untuk bayi, anak dan dewasa dan jenis yang kedua adalah yang memiliki

bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar dan dewasa. Untuk keadaan yang sulit

digunakan laringoskop spesial tipe Wu (dengan kateter suction, dan pipa oksigen) dan Billard

yang merupakan versi yang lebih baru dengan handle yang dirancang dengan lebih baik.6

2.2.6 Bronkoskop

Bronkoskop dibuat untuk melihat atau meneropong keadaan bronkus. Merupakan suatu alat

yang didesain dengan cara memasukkan alat melalui mulut atau lubang trakeostomi. Sumber

cahaya berasal dari sisi untuk meneropong dan cahaya diteruskan melalui sepanjang kabel

hingga sisi yang masuk dalam saluran nafas. Bronkoskop juga dilengkapi suction.6,8

Ada 2 macam bronkoskop yaitu yang rigid dan yang fleksibel (Flexible Fiberoptic

Bronchoscopes). Pada keadaan pasien tertentu seperti pada fraktur tulang servikal, pergerakan

sendi temporomandibular yang terbatas, atau pada kelainan jalan nafas atas baik yang

kongenital maupun dapatan wajib menggunakan bronkoskop tipe fleksibel. Cara meneropong

dengan bronkoskop harus dilakukan dengan tepat untuk menyetir alat dan mendapat hasil

peneropongan yang maksimal. Alat tidak boleh tertekuk karena dengan demikian menipulasi

pergerakan bronkoskop menjadi terhambat.11

10

Gambar 6. Perlengkapan Intubasi

Page 11: Paper Manajemen Perioperatif

2.3 Intubasi11

2.3.1 Indikasi Intubasi

Secara umum, intubasi diindikasikan untuk pasien yang memiliki risiko aspirasi dan pasien

yang akan menjalani prosedur bedah mencakup rongga tubuh atau kepala dan leher. Indikasi

intubasi sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut:

1. Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun (kelainan anatomi, bedah khusus, bedah

posisi khusus, pembersihan sekret jalan nafas, dll)

2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi (saat resusitasi, ventilasi jangka panjang)

3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi

2.3.2 Pemilihan dan Persiapan Alat

1. Persiapan Laringoskopi11

Laring mencegah benda asing masuk ke paru. Laringoskop merupakan instrumen yang

digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat memasukkan pipa

endotrakea/PET dengan baik dan benar (intubasi). Laringoskop terdiri atas gagang

(handle) dan bilah (blade). Gagang biasanya berisi baterai untuk menyalakan lampu pada

bilah. Blade Macintosh dan Miller merupakan desain bilah lengkung dan lurus yang

terpopuler. Pemilihan bilah tergantung operator dan anatomi pasien. Karena tidak ada

bilah yang sempurna untuk semua situasi, klinisi harus familiar dan cakap dengan

berbagai macam desain bilah.

Pipa endotrakea (PET) menghantarkan udara/gas anestetik langsung ke dalam trakea dan

biasanya dibuat dari bahan standar polivinil klorida. Ukuran diameter lubang PET dalam

milimeter. Karena penampang trakea bayi, anak kecil, dan dewasa berbeda, penampang

melintang trakea bayi dan anak kecil di bawah usia 5 tahun hampir bulat, sedangkan

dewasa seperti huruf D, maka untuk bayi dan anak kecil digunakan tanpa balon (cuff) dan

untuk anak besar dan dewasa dengan balon, supaya tidak bocor.

Ukuran pipa endotrakea didasarkan atas umur pasien. Pada bayi yang cukup umur

digunakan PET dengan diameter 3,5 mm dan panjang 12 cm; pada anak digunakan PET

dengan diameter 4 + ¼ umur (tahun) mm dan panjang 14 + ½ umur (tahun) cm; dan untuk

dewasa wanita digunakan PET dengan diameter 7,0-7,5 cm dan panjang 24 cm, sedangkan

dewasa pria diameter PET 7,5-8,0 mm dengan panjang 24 cm.8,11

11

Page 12: Paper Manajemen Perioperatif

Persiapan alat-alat intubasi (disingkat STATICS) terdiri dari :

- S : Stethoscope & Laryngoscope

- T : Tube, yaitu pipa trakea dengan atau tanpa cuff

- A : Airway, pipa oro-faring (Guedel) atau pipa naso-faring

- T : Tape, perekat/plester untuk fiksasi

- I : Introducer, stylet sebagai pemandu agar pipa trakea mudah dimasukkan

- C : Connector, penyambung antara pipa dan peralatan anestesi

- S : Suction, penyedot lendir.

2. Intubasi Orotrakea

Persiapan untuk intubasi mencakup pengecekan alat dan posisi pasien yang benar. PET

harus diperiksa. Sistem inflasi balon pada pipa dapat dites dengan mengembangkan balon

menggunakan jarum suntik. Konektor harus ditekan ke dalam pipa sedalam mungkin

untuk menurunkan kemungkinan diskoneksi. Jika stylet digunakan, maka harus

dimasukkan ke dalam PET, yang akan membentuk sudut seperti tongkat hoki. Bentuk ini

akan memfasilitasi intubasi pada laring posisi anterior. Peralatan suction juga dibutuhkan

untuk membersihkan jalan napas dalam kasus sekresi yang tidak diinginkan seperti darah

atau muntahan.11

Keberhasilan intubasi juga tergantung dari posisi pasien yang benar. Posisi yang baik

untuk melihat laring adalah dengan leher sedikit fleksi dan kepala ekstensi pada leher.

Pada orang dewasa dibantu dengan meletakkan satu atau dua bantal dibelakang leher,

pada anak kecil tidak dibutuhkan bantal, dan pada neonatus dibutuhkan bantal kecil

dibawah bahu. Kepala pasien sebaiknya sejajar dengan pinggang anestesiologis atau lebih

tinggi untuk mencegah cedera tulang belakang yang tidak perlu selama laringoskop. 12

Gambar 7. Pipa Endotrakea/PET

Page 13: Paper Manajemen Perioperatif

Laringoskop menggeser jaringan lunak faring untuk menciptakan garis langsung

penglihatan dari mulut ke pembukaan glotis. Peninggian kepala sedang (5-10 cm di atas

meja operasi) dan ekstensi sendi atlantooksipital akan menempatkan pasien pada posisi

yang sesuai. Persiapan untuk induksi dan intubasi juga meliputi preoksigenasi rutin

dengan oksigen 100%.11

3. Intubasi Nasotrakea

Intubasi nasotrakea dilakukan pada pasien yang akan menjalani prosedur intraoral.

Dibandingkan dengan PET, diameter maksimal yang dapat diakomodasi biasanya lebih

kecil dan resistensi pernafasan cenderung lebih tinggi. Rute nasotrakea jarang digunakan

untuk intubasi jangka panjang karena menyebabkan peningkatan resistensi jalan nafas dan

risiko sinusitis.12

Kontraindikasi intubasi nasotrakea biasanya pada fraktur tengkorak basilar, terutama

tulang etmoid, fraktur nasal, epistaksis, polip hidung, koagulopati, trombolisis atau

pemakaian antikoagulan sistemik (pada pasien dengan infark miokard akut).12

Anestesi topikal dan vasokonstriksi pada mukosa nasal menggunakan campuran lidokain

3% dan phenylephrine 0,25%. Jika kedua lubang hidung tidak obstruksi, naris kanan

dipilih untuk intubasi karena akan langsung menghubungkan permukaan PET dengan

septum nasal. Setelah melewati naris menuju faring, pipa akan melewati pembukaan

glotis. Intubasi dilakukan melalui penglihatan langsung dengan laringoskopi atau

bronkoskopi fiberoptik atau dipandu oleh forsep Magill.12

13

Gambar 8. Posisi Intubasi dengan Macintosh Blade

Page 14: Paper Manajemen Perioperatif

2.3.3 Teknik Intubasi

Sebelum melakukan intubasi maka dilakukan ventilasi terhadap pasien dengan menggunakan

O2 100%. Kemudian dilakukan persiapan dan pengecekan alat-alat yang dibutuhkan. Setelah

ventilasi dan persiapan maka langkah-langkah yang harus dilakukan yaitu :11

1. Posisikan kepala pasien kemudian lakukan Sellick manuver.

2. Tekan dagu pasien ke bawah, masukkan bilah laringoskop ke sisi kanan mulut pasien

dengan hati-hati, hindari trauma pada gigi. Tekan lidah ke sisi kiri, arahkan bilah menurun

untuk melihat epiglotis.

3. Gunakan bilah laringoskop untuk mengangkat lidah dan epiglotis terlihat dalam satu garis

lurus sehingga pembukaan glotis dapat diidentifikasi

4. Masukkan PET di sepanjang sisi kanan begitu epiglotis terlihat. Pada saat pembukaan

glotis (atau kartilage aritenoid) teridentifikasi, sisipkan PET hingga kedalaman 5 cm

setelah pita suara(cords)

5. Begitu PET dalam posisi stabil, keluarkan stylet, inflasi balon (cuff) dan hubungkan

dengan ambubag (bag-valve) kemudian lakukan pengecekan.

6. Mulailah ventilasi menggunakan konsentrasi oksigen yang cukup volume tidal.

7. Periksalah apakah pipa tidak salah masuk dengan cara :

- Idealnya dengan melihat langsung ke dalam laring

- Jika pasien bernafas dan kita dapat merasakan nafasnya dan mendengar suara nafasnya

pada ujung pipa bagian atas, maka letaknya benar. Jika masuk esophagus nafas

terdengar disekitar pipa, tidak melalui pipa.

- Jika pasien tidak bernafas karena pelumpuh otot, maka dilakukan penekanan diatas

sternum, jika pipa masuk ke dalam trakea, maka akan deras aliran udara dari pipa.

- Atau periksalah dengan memompa udara melalui pipa, jika letaknya benar maka

dinding dada akan mengembang bila udara dipompakan masuk, dan mengempis bila

udara keluar. Tapi bila masuk ke dalam esophagus, maka perut akan mengembang dan

terdengar suara berdeguk.

- Juga harus diperiksa posisi pipa dengan mendengarkan suara aliran udara dengan

stetoskop pada kedua apeks dan dasar paru dan perut pada saat memompa udara secara

manual.

- Penentuan konsentrasi end tidal CO2 juga dapat digunakan untuk konfirmasi ventilasi

yang adekuat.

14

Page 15: Paper Manajemen Perioperatif

Gambar 9. Teknik Intubasi

2.4 Ekstubasi

Indikasi dan Teknik Ekstubasi

Memutuskan kapan melepaskan pipa endotrakea merupakan seni anestesiologi yang

berkembang sesuai dengan pengalaman. Secara umum, ekstubasi sangat baik dilakukan ketika

pasien dalam keadaan anestesi atau sadar. Pada kasus lain, pemulihan adekuat dari pengaruh

pelumpuh otot harus dipastikan sebelum ekstubasi.11

Ekstubasi selama fase anestesi (misalnya pasien masih berada dalam tahap antara tidak sadar

dan sadar) harus dihindari karena peningkatan risiko laringospasme. Perbedaan antara anestesi

dalam dan permukaan biasanya terlihat selama suction faring. Setiap reaksi saat suction

15

Page 16: Paper Manajemen Perioperatif

(seperti nafas dalam, batuk) menandakan ekstubasi pada pasien sadar biasanya disertai dengan

batuk. Reaksi ini akan meningkatkan denyut jantung, tekanan vena sentral, tekanan darah

arteri, tekanan intrakranial, dan tekanan intraokular. Hal ini juga dapat mengakibatkan

terbukanya luka operasi dan perdarahan. Terdapatnya pipa endotrakeal pada pasien asma yang

sadar biasanya memicu bronkospasme.

Hal lain yang harus diperhatikan adalah faring penderita harus dibersihkan sebelum ekstubasi

untuk menurunkan resiko aspirasi atau spasme laring. Sebelum ekstubasi pasien juga harus

diberikan oksigen 100%, plester pipa endotrakea dilepaskan, dan balon dikempiskan. Pipa

ditarik dalam gerakan tunggal yang lembut, dan sungkup muka digunakan untuk

menghantarkan oksigen 100% hingga pasien cukup stabil untuk transportasi menuju ruang

pemulihan.11

2.5 Komplikasi

Komplikasi laringoskopi dan intubasi biasanya tergantung dari kesalahan posisi pipa, trauma

jalan nafas, respon fisiologis terhadap instrumentasi jalan nafas, atau malfungsi pipa.

Komplikasi dapat terjadi saat laringoskopi dan intubasi, ketika pipa di jalan nafas, atau setelah

ekstubasi.11

Trauma Jalan Napas

Instrumentasi dengan blade laringoskop metal dan insersi PET biasanya merusak jaringan

jalan napas. Meskipun kerusakan gigi menjadi penyebab tersering tuntutan malpraktik,

laringoskopi dan intubasi juga dapat menyebabkan beragam komplikasi dari nyeri

tenggorokan hingga stenosis trakea. Sebagian besar disebabkan karena tekanan eksternal yang

berkepanjangan terhadap struktur jalan napas yang sensitif. Ketika tekanan melewati tekanan

darah arteriol-kapiler (sekitar 30 mmHg), iskemik jaringan dapat menyebabkan inflamasi,

laserasi, granulasi dan stenosis.

Peradangan pada laring dan trakea (croup) pasca intubasi yang disebabkan karena edema

glotis, laring atau trakea merupakan komplikasi serius pada anak-anak. Manfaat

kortikosteroid (seperti deksametason dosis 0,2 mg/kg hingga maksimum 12 mg) dalam

mencegah edema saluran napas pasca ekstubasi masih kontroversi. Paralisis pita suara akibat

kompresi balon atau trauma lainnya pada saraf laringeal menyebabkan serak dan

meningkatkan risiko aspirasi. Beberapa komplikasi tersebut mungkin berkurang dengan

menggunakan PET yang memiliki bentuk sama dengan anatomi jalan napas (seperti Lindholm

16

Page 17: Paper Manajemen Perioperatif

Anatomical Tracheal Tube). Insiden serak pasca operasi meningkat sejalan dengan obesitas,

kesulitan intubasi, dan durasi panjang anestesi. Penerapan lubrikan larut air atau gel yang

mengandung anestetik pada ujung atau balon PET tidak dapat menurunkan insiden dari nyeri

tenggorokan atau serak pasca operasi. Pemakaian pipa yang lebih kecil (ukuran 6.5 pada

perempuan dan 7.0 pada laki-laki) menimbulkan keluhan nyeri tenggorokan pasca operasi

yang lebih sedikit.11

Kesalahan Posisi PET

Intubasi esofagus yang tidak hati-hati dapat menimbulkan katastropik. Pencegahan terhadap

komplikasi ini tergantung dari visualisasi langsung pada ujung PET saat melewati pita suara,

auskultasi yang cermat untuk mengetahui suara napas bilateral dan tidak adanya bising usus

pada saat ventilasi melalui PET, analisis gas yang dihirup untuk adanya CO2, radiografi toraks

atau pemakaian FOB.

Meski telah dikonfirmasi bahwa pipa berada dalam trakea, namun terdapat kemungkinan

bahwa hal tersebut tidak sepenuhnya dalam posisi yang benar. Insersi berlebihan biasanya

menyebabkan intubasi pada cabang bronkus kanan karena struktur anatomisnya kurang

memiliki sudut dengan trakea. Diagnosis dari bronkial intubasi dapat dilihat dari adanya suara

napas unilateral, inflasi balon PET yang tidak dapat dipalpasi dan penurunan compliance

breathing-bag. 11

Sebaliknya, kedalaman insersi yang kurang akan menempatkan posisi balon di laring,

predisposisi untuk trauma laring. Kedalaman yang kurang dapat diketahui dengan palpasi

balon pada kartilage tiroid. Karena tidak ada satu pun teknik yang melindungi terhadap

kemungkinan adanya kesalahan penempatan PET, tes minimal sebaiknya meliputi auskultasi

dada, kapnografi rutin dan palpasi balon.

Respon Fisiologis terhadap Instrumen Jalan Napas 11

Laringoskopi dan intubasi trakea mengganggu refleks proteksi jalan napas pasien dan

memungkinkan terjadinya hipertensi dan takikardi. Respon ini biasanya terjadi sementara dan

tidak berbahaya disebabkan oleh penurunan tonus vagal ataupun peningkatan aktivitas

simpatetik, sedangkan insersi LMA jarang menyebabkan perubahan hemodinamik. Perubahan

hemodinamik ini dapat diatasi dengan administrasi obat intravena (lidocaine (1,5 mg/kg)1-2

menit, atau fentanyl (0,5-1 g/kg) 4-5 menit) sebelum laringoskopi. Agen hipotensi, meliputi

17

Page 18: Paper Manajemen Perioperatif

sodium nitropruside, nitroglyceryn, β blocker dan Ca Channel blockers juga efektif dalam

mengurangi respon hipertensi transien terkait laringoskopi dan intubasi.

Laringospasme merupakan spasme involunter pada otot laring yang disebabkan karena

stimulasi sensori pada nervus laringeal superior. Rangsang yang dapat memicu meliputi

sekresi faring atau saat PET melewati laring selama ekstubasi. Laringospasme biasanya dapat

dicegah dengan ekstubasi pasien setelah benar-benar sadar. Pengobatan laringospasme antara

lain dengan menyediakan ventilasi tekanan positif dengan sungkup dan kantong anestesi

menggunakan 100% oksigen atau administrasi lidocain intravena (1-1,5 mg/kg). Jika

laringospasme menetap dan timbul hipoksia, maka sebaiknya diberikan suksinilkolin (0,25-1

mg/kg) untuk relaksasi otot laring dan mengendalikan ventilasi. Bronkospasme adalah respon

refleks lainnya terhadap intubasi dan paling sering terjadi pada pasien asma. Bronkospasme

dapat menjadi penanda intubasi bronkial. Efek patofisiologi lain dari intubasi juga dapat

menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan intraokular.

Tabel 2. Komplikasi Intubasi (Lange Anesthesiology, Section I: Anesthetic Equipment & Monitors , Chapter 5. Airway Management)11

Saat Laringoskopi dan

Intubasi

Malposisi Intubasi esophagus

Intubasi bronchial

Posisi balon laryngeal

Trauma jalan napas Kerusakan gigi

Laserasi bibir, lidah atau mukosa

Radang tenggorokan

Dislokasi mandibula

Diseksi retrofaring

Reflex fisiologis Hipoksia, hiperkarbia

Hipertensi, takikardi

Intracranial hipertensi

Intraocular hipertensi

Laringospasme

Saat Pipa di Jalan Napas

18

Page 19: Paper Manajemen Perioperatif

Trauma jalan napas Inflamasi dan laserasi mukosa

Ekskoriasi hidung

Malfungsi pipa Eksplosi

Obstruksi

Setelah ekstubasi

Trauma jalan napas Edema dan stenosis

Serak (granuloma vocal cord/

paralisis)

Malfungsi laring

laringospasme

19

Page 20: Paper Manajemen Perioperatif

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas maka hal yang dapat disimpulkan antara lain :

1. Manajemen jalan nafas perioperatif adalah hal yang sangat penting untuk menunjang

keberhasilan proses anestesi dalam suatu operasi atau pembedahan

2. Peralatan yang digunakan dalam manajemen perioperatif jalan napas antara lain adalah

oropharyngeal airway/guedel, sungkup muka, Laryngeal Mask Airway/LMA, tracheal

tube, laringoskop dan bronkoskop

3. Manajemen perioperatif jalan napas terutama mencakup indikasi, teknik serta komplikasi

dari intubasi dan ekstubasi

3.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, adapun rekomendasi yang ditawarkan adalah

sebagai berikut :

1. Kajian lebih lanjut mengenai manajemen perioperatif jalan napas perlu dilakukan

mengingat masih terdapat kekurangan dalam pembahasan karya tinjauan pustaka ini,

sekaligus sebagai salah satu upaya untuk menyebarkan informasi dan pengetahuan kepada

rekan mahasiswa pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

2. Teknik pelaksanaan manajemen perioperatif jalan napas perlu senantiasa dilatih sehingga

setiap komponen kesehatan terutama dokter memiliki kemampuan yang memadai dalam

hal penanganan kegawatdaruratan.

20

Page 21: Paper Manajemen Perioperatif

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangku G. Standar Pelayanan dan Tatalaksana Anestesia-Analgesia dan Terapi Intensif.

Staf Fungsional/ Laboratorium Anestesiologi dan Terapi Intensif. Denpasar. 2000

2. Nolan JP, et al. European Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation 2005.

(Section 4). Adult Advanced Life Support. Resuscitation 2005, 67(S1):S39-86

3. Genzwürker HV, et al: Incidence of Endotracheal Intubation in Physician Staffed Rescue

Systems: Adequate Experience Not Possible Without Clinical Routine. Anästh

Intensivmed 2008

4. Timmermann A, et al: The Out-of-Hospital Esophageal and Endobronchial Intubations

Performed by Emergency Physicians. Anesth Analg 2007, 104:619-623

5. Genzwuerker, HV, et al. Prehospital Airway Management: the Patient Needs Oxygen.

Scandinavian Journal of Trauma. Resuscitation and Emergency Medicine 2008, 16:3

6. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anesthesia. 4th ed. Lippincot Williams &

Wilkins, Washington; 2001.hal. 441-454

7. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. EGC, Jakarta;1997

8. Latief SA, Dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi kedua. Bagian Anestesiologi dan

Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2002

9. Longnecker E.David,et al. Principles and Practice of Anesthesiology. 2nd ed. Mosby St

Louis. 1998; hal.

10. Miller RD. Anesthesia. 6th ed. Churchill Livingstone, Philadelphia; 2005. hal. 3249-3253,

106-113

11. Morgan, GD, et al. Clinical Anesthesiology. 4th ed. Lange Medical Books/McGraw-

Hill.2006

12. Dunn, Peter F. Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts General Hospital. 7th

ed. Lippincott Williams & Wilkins, Washington; 2007.hal 209-228

21