paper manajemen perioperatif
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Manajemen jalan nafas perioperatif adalah hal yang sangat penting untuk menunjang
keberhasilan proses anestesi dalam suatu operasi atau pembedahan. Melalui evaluasi yang
cermat, penyulit intra dan pasca operatif dapat diramalkan, sehingga dapat dipersiapkan
obat/alat untuk menanggulangi penyulit tersebut. Salah satu penyulit yang perlu mendapat
perhatian adalah adanya sumbatan jalan nafas. Diperlukan kemampuan untuk mengenal
adanya sumbatan jalan nafas atau bahaya sumbatan jalan nafas, tersedianya peralatan,
kecakapan dalam mengelola jalan nafas, dan memastikan adanya ventilasi yang adekuat.
Menjamin terbukanya jalan nafas merupakan langkah penting pertama untuk pemberian
oksigen pada pasien.1
Sumbatan jalan nafas, hipoventilasi, henti nafas, syok, dan bahkan henti jantung cepat sekali
menimbulkan kematian bila tidak mendapat pertolongan yang cepat dan tepat. Penguasaan
jalan nafas yang cepat dan tepat merupakan hal terpenting untuk berhasilnya penanganan
pasien gawat darurat.
Pedoman European Resuscitation Council (ERC) mengenai advanced cardiac life support
(ACLS) menyatakan bahwa intubasi endotrakea harus dilakukan hanya jika penyedia layanan
kesehatan telah dilatih dan memiliki pengalaman yang memadai dengan teknik tersebut. 2
sebuah survei terhadap dokter umum di daerah urban dan pedesaan menunjukkan bahwa
sebagai praktisi kegawatdaruratan, merekan hanya melakukan satu intubasi setiap 2 hingga 7
bulan.3
Tanpa kemampuan yang cukup, tidak hanya dalam hal intubasi namun juga melakukan
verifikasi terhadap posisi pipa yang berdasarkan panduan bantuan hidup lanjut (advanced life
support) menjadi tidak mungkin tanpa menimbulkan risiko bagi pasien. Pada saat dokter-
dokter yang merupakan anggota Helicopter Emergency Medical Services (HEMS) Jerman
menilai posisi pipa pada pasien yang diintubasi oleh dokter emergensi, maka persentase
intubasi esophagus (6,7%) ternyata sangat rendah.4 Banyak dari kekeliruan manajemen jalan
napas di lapangan seharusnya dapat dihindari dengan pelatihan yang lebih baik mengenai
teknik intubasi dan alat-alat yang digunakan dalam manajemen jalan napas.5
1
BAB II
ISI
2.1 Anatomi dan Fisiologi Pernafasan
2.1.1 Anatomi Sistem Pernafasan
Sistem pernafasan dibagi menjadi 4 bagian yaitu 6
- Pusat nafas yang terdapat di batang otak, terdiri dari area inspirasi, area ekspirasi dan
area pneumotaksik.
- Saluran nafas yang terdiri atas hidung, rongga hidung, faring, laring, trakea,
bronkiolus, bronkiolus terminalis, duktus alveolaris dan berakhir pada alveolus.
- Dada sebagai unit pompa dan daya regangnya (terdiri dari otot-otot pernafasan antara
lain Musculus Intercostalis internus, Musculus Intercostalis eksternus, Musculus
Sternocleidomastoideus, Musculus Rectus Abdominis, Musculus Scalenus dan
Musculus Serratus anterior), tulang dan diafragma.
- Paru yang merupakan struktur utama dengan fungsi membuang CO2 yang terkandung
dalam darah dan menyerap sejumlah O2 ke dalamnya.
Ada 2 pintu masuk pernafasan manusia yaitu hidung yang terhubung ke nasofaring (pars
nasalis) dan mulut yang terhubung ke orofaring (pars oralis), pada bagian depan mereka
dipisahkan oleh palatum sedangkan pada bagian belakang mereka terhubung oleh faring.
Nasofaring merupakan bagian teratas dari faring, dibatasi pada bagian superior oleh dasar
tengkorak, bagian inferior oleh palatum mole, bagian anterior oleh rongga hidung (koana),
dan bagian posterior oleh margo tulang posterior dari nasofaring yang dibentuk oleh basis
tulang tengkorak, khususnya clivus, serta 2 corpus vertebrae pertama (C1 dan C2). Aspek
lateral ruang nasofaring diapit oleh mukosa dan fasia faringealis yang juga melapisi margo
tulang posterior. 7
Nasofaring memiliki ukuran relatif kecil, dimensi anteroposterior nasofaring ialah 2-3 cm,
sedangkan dimensi vertikal dan transversalnya 3-4 cm. Kavitas orofaring terletak dibawah
dari nasofaring serta tepi anterior inferior ditandai oleh palatum mole. Margo superior dan
dinding posterior mengandung banyak jaringan limfoid pada saat usia anak-anak dan seiring
dengan umur akan menghilang dengan sendirinya. Jika jaringan limfoid ini (tonsil dan
adenoid) persisten hingga dewasa dapat membingungkan dalam membedakan dengan tumor.
2
Nasofaring terpisah dari orofaring oleh suatu batas imaginer. Pada basis dari lidah, epiglotis
berfungsi sebagai pembatas dari orofaring ke laringofaring. Epiglotis ini melindungi sistem
pernafasan dari aspirasi dengan menutup glotis yang merupakan pintu masuk menuju laring
pada saat menelan.6,7
Sistem persarafan sensori pada sistem pernafasan bagian atas berasal dari saraf kranialis.
Membran mukosa hidung dan palatum dipersarafi oleh nervus trigeminalis cabang
oftalmikus (N V1) pada bagian anterior dan cabang maksilaris (N V2) pada bagian posterior
dan maksila. Cabang ketiga mempersarafi bagian mandibula. Nervus glosofaringeus dan
lingual (cabang nervus fasialis) memberikan sensasi rasa pada lidah. Nervus glosofaringeus
juga menginervasi atap faring, tonsil dan lapisan bawah dari soft palate. Nervus vagus
memberikan sensasi pada pernafasan di bagian bawah epiglotis. Superior laryngeal nerve
yang merupakan cabang dari nervus vagus mempersarafi laring di antara epiglotis dan pita
suara (sensori dan motori). Cabang lain dari nervus vagus yaitu Reccurent laryngeal nerve
menginervasi laring di bawah pita suara dan trakea.7
Laring menerima suplai darah dari cabang arteri tiroid. Salah satu cabang arteri tiroid adalah
arteri tiroid superior yang kemudian menjadi arteri krikotiroid.
Gambar 1. Anatomi Sistem Pernafasan Bagian Atas
Pembagian lain menyebutkan sistem pernafasan dibagi menjadi bagian atas yang terdiri dari
hidung, ruang hidung, sinus paranasalis dan faring yang berfungsi menyaring, menghangatkan
dan melembabkan udara pernafasan dan bagian bawah yang terdiri dari laring, trakea, bronki,
bronkioli dan alveoli. Trakea merupakan sebuah pipa fibromuskular dengan ukuran panjang
10-12 cm dengan diameter 18-20 mm, memiliki sel-sel bersilia yang selalu bergerak 12-20 3
kali tiap menit dan sel-sel yang dapat menghasilkan lendir. Cabang-cabangnya antara lain
bronkus utama dengan ukuran 13 mm, bronkus lobaris 5-7 mm, bronkus segmentalis 3-4 mm,
bronkus kecil 1 mm, bronkiolus utama 0,5-1 mm, bronkiolus terminalis 0,5 mm, bronkiolus
respiratorius 0,5 mm dan duktus alveolaris 0,3 mm.6,7
2.1.2 Fisiologi Pernafasan
Fisiologi pernapasan dibagi menjadi 2 antara lain:7
1. Respirasi Eksternal
Ketika udara masuk ke dalam paru-paru terjadilah oksigenisasi darah (terjadi difusi antara
darah dan udara yang masuk ke dalam paru-paru), CO2 dilepas dan O2 diikat oleh darah.
Respirasi eksternal ini terdiri dari 4 komponen yaitu:
- Ventilasi : Merupakan pergerakan udara atau gas dari satu tempat ke tempat
yang lainnya. Lebih spesifik lagi adalah pergerakan udara ke dalam
paru-paru dan dari dalam paru-paru.
- Distribusi : Merupakan perjalanan dan percampuran molekul-molekul gas
intrapulmoner.
- Difusi : Merupakan proses pertukaran O2 dalam alveoli dan CO2 yang berada
dalam darah di arteri pulmonaris.
- Perfusi : Merupakan pengambilan gas-gas oleh aliran darah kapiler paru yang
adekuat.
2. Respirasi Internal7
Ketika darah yang sudah teroksigenisasi tersebut meninggalkan paru-paru, kemudian darah
tersebut menuju ke jantung dan keseluruh tubuh. Proses dilanjutkan dengan cara darah
beroksigenisasi mentransfer oksigen ke jaringan kemudian darah pun akan menyerap CO2 dari
jaringan tersebut. Respirasi eksternal dibagi menjadi:
- Efisiensi kardiosirkulasi
- Distribusi kapiler
- Difusi, perjalanan gas ke ruang interstisial dan menembus dinding sel.
- Metabolisme sel yang melibatkan enzim.
2.2 Peralatan yang Digunakan dalam Manajemen Airway8
2.2.1 Oral dan Nasal Airway
Oropharyngeal airway (juga dikenal sebagai oral Airway, OPA atau Guedel) adalah
perangkat medis yang disebut Airway adjunct digunakan untuk menjaga jalan nafas tetap 4
terbuka. Ini dilakukan dengan mencegah lidah (baik sebagian atau sepenuhnya) meliputi
katup nafas, yang dapat mencegah pasien bernapas. Saat seseorang berada dalam keadaan
tidak sadar, otot di rahang berelaksasi sehingga lidah akan jatuh dan menghambat jalan nafas,
kenyataannya lidah adalah yang paling umum penyebab tersumbatnya jalan nafas. OPA
didesain oleh Arthur E. Guedel (1883-1956).6,8
Oropharyngeal airways memiliki beragam ukuran, dari anak-anak sampai dewasa dan
biasanya digunakan di pre-hospital emergency care.
Gambar 2. OPA dalam Berbagai Ukuran
Oropharyngeal airways diindikasikan pada pasien yang tidak sadar karena pada pasien yang
sadar alat ini dapat menstimulasi reflek muntah yang dapat semakin menyumbat jalan nafas.
Pada pasien yang sadar biasanya digunakan nasopharyngeal airway.8
Pemilihan ukuran guedel dapat dilakukan dengan mengukur jarak antara daun telinga dan
sudut mulut pasien, kemudian OPA dimasukkan ke dalam mulut dari arah atas ke bawah
(berputar 180º). Untuk mengeluarkan langsung mengikuti lekukan lidah, tidak perlu rotasi.
Risiko penggunaan OPA adalah:
- Jika pasien mengalami reflek gag maka pasien akan muntah
- Jika ukurannya terlalu besar maka OPA dapat menutup glotis sehingga jalan nafas akan
tersumbat
- Ukuran yang salah juga dapat menyebabkan pendarahan pada jalan nafas.
2.2.2 Sungkup Muka
Sungkup muka atau face mask adalah suatu alat yang digunakan untuk mengefektifkan udara
pernafasan atau O2 atau gas yang akan dimasukkan ke dalam paru melalui suatu selang.
Sungkup muka ini didesain sedemikian rupa sehingga udara tidak bocor keluar saat digunakan
5
pada pernafasan spontan tetapi hal ini juga tergantung pada praktisi yang menggunakannya.
Terbuat dari bahan transparan agar terlihat jika terjadi muntah atau keluar cairan atau lendir
dari mulut atau hidung pasien.8
Ukuran dan bentuk yang digunakan berragam tergantung dari usia pengguna dan pembuatnya.
Ukuran 03 untuk bayi baru lahir, ukuran 02, 01 dan 1 untuk anak-anak, ukuran 2 dan 3 untuk
anak yang lebih besar dan ukuran 4 serta 5 untuk dewasa.
Cara praktisi memegang dan memfiksasi sungkup muka sangat penting untuk mencegah
bocornya udara. Jika sungkup dipegang dengan tangan kiri maka tangan kanan praktisi
memegang kantong nafas untuk memberi tekanan positif pada pernafasan pasien. Ibu jari dan
telunjuk menekan sungkup pada wajah dan jari ketiga dan keempat memfasilitasi ekstensi
pada sendi atlantoocipital, kelingking menahan sudut rahang atau jaw thrust, manuver ini
berguna sekali untuk memfasilitasi ventilasi pasien. Pada keadaan yang sulit, sungkup
dipegang dengan kedua tangan agar jaw thrust yang dilakukan semakin efektif dan
dibutuhkan asisten untuk memegang kantong udara. Dapat dilakukan dengan cara seperti
sebelumnya atau dengan kedua jempol di atas sungkup dan sisa jari digunakan untuk jaw
thrust. Dapat juga digunakan OPA atau guedel untuk membantu menjaga jalan nafas. Yang
tak kalah penting adalah hati-hati pada penggunaan yang terlalu lama karena dapat
menyebabkan cedera pada nervus trigeminal, fasial dan bahkan abrasi korneal.9
2.2.3 Laryngeal Mask Airway (LMA)
Laryngeal Mask Airway atau LMA atau sungkup laring digunakan dalam anestesi dan pada
pengobatan darurat untuk manajemen jalan nafas. LMA terdiri dari selang dengan cuff yang
dapat dikembungkan yang dimasukkan ke dalam faring. LMA lebih mudah digunakan dan
tidak terasa nyeri seperti pada penggunaan endotracheal tube. Namun, LMA tidak melindungi
paru-paru dari aspirasi, sehingga tidak cocok untuk pasien yang beresiko untuk komplikasi
ini. Selain itu suction tidak dapat masuk melalui LMA.8,9
Perangkat ini berguna dalam situasi di mana pasien terperangkap dalam posisi duduk atau
diduga trauma pada cervical spine atau ketika intubasi gagal. LMA dimasukkan sampai batas
atas dari laring dan tidak perlu sampai melalui trakea, dapat digunakan pada pernafasan
spontan atau dengan ventilator.
6
Gambar 3. LMA atau Sungkup Laring
LMA memiliki beragam ukuran dan dimasukkan dalam keadaan cuff kempis dan sudah
dilubrikasi dengan jel. Pasien dibuat tidak sadar dan leher diekstensikan serta mulut dibuka.
Setelah masuk dan berhenti pada fosa piriformis kemudian cuff dikembungkan. Cara
mengetahui udara sudah masuk secara efektif pada paru adalah dengan mendengarkan suara
paru dengan stetoskop. Pemilihan ukuran didasarkan pada berat badan dan usia seseorang.
Dikenal 2 macam LMA yaitu sungkup laring standar dengan 1 pipa nafas dan sungkup laring
dengan 2 pipa yaitu 1 pipa standar dan 1 pipa lagi yang terhubung ke esofagus.10
Tabel 1. Indikasi Pemilihan Ukuran LMA
Ukuran Usia Berat
1.0 neonatal <3
2.0 Bayi 3-10
3.0 Anak kecil 10-20
4.0 Anak 20-30
5.0 Dewasa kecil 30-40
6.0 Dewasa normal 40-60
7.0 Dewasa besar >60
2.2.4 Tracheal Tube
Endotracheal tube (juga disebut ET tube/ETT atau pipa endotrakeal/PET) digunakan pada
anestesi umum, perawatan intensif dan pengobatan darurat untuk manajeman jalan nafas serta
ventilasi mekanik (ventilator). Tabung yang dimasukkan ke dalam trakea untuk memastikan
bahwa jalan nafas tidak tertutup dan udara dapat mencapai paru-paru. ETT dianggap sebagai
metode yang paling handal untuk melindungi jalan nafas pasien.10
7
Sir Ivan Whiteside Magill (1888-1986) adalah seorang anestesiolog kelahiran Irlandia yang
banyak mengembangkan peralatan anestesi modern adalah penemu ETT. Proses memasukkan
sebuah ETT disebut intubasi. Intubasi biasanya membutuhkan anestesi umum dan relaksasi
otot tetapi dapat dicapai dalam terjaga pasien dengan pembiusan lokal atau dalam keadaan
darurat tanpa anestesi, walaupun ini sangat tidak nyaman dan biasanya dihindari dalam
keadaan lainnya. Seorang praktisi akan memegang laringoskop pada tangan kiri dan ETT
pada tangan kanannya. ETT dimasukkan ke dalam trakea melalui mulut, kadang juga melalui
lubang hidung atau trakea dengan trakeostomi, tergantung pada keadaan pasien. Untuk lebih
lanjutnya akan dijelaskan pada bahasan intubasi. 11
Indikasi penggunaan ETT adalah:
1. Cardiac arrest, di mana ventilasi dengan sungkup tidak mungkin dilakukan atau
kurang efektif.
2. Respiratory arrest, ketika respirasi tidak lagi adekuat.
3. Pasien tidak dapat menjaga jalan nafasnya (cardiac arrest, coma. areflexia)
4. Anestesi umum
5. Ventilasi kendali
Ada banyak jenis ETT dengan ukuran diameter internal 2-10,5 mm. Berbagai ukuran yang
dipilih berdasarkan ukuran tubuh pasien. Ukuran lebih kecil digunakan untuk bayi dan anak-
anak. Pada pasien dewasa biasanya digunakan ukuran 7 untuk wanita dan 7.5 untuk pria dan
panjangnya biasanya berdasarkan ukuran diameternya dikali 3. Cara pemilihan pipa trakea
untuk bayi dan anak kecil adalah dengan rumus 4+ ¼ usia dalam tahun untuk diameternya
(dalam mm) dan 12+ ½ umur dalam tahun untuk panjang pipa orotrakeal dan nasotrakeal
(dalam cm).11
Terdapat 2 jenis ETT yaitu yang rigid atau kaku (kinking) dan yang lentur atau fleksibel (non-
kinking). Pemilihan jenis didasarkan pada jenis operasi yang dilakukan dan keadaan pasien.
Pada operasi yang memiliki resiko untuk tertekuknya ETT atau pada pasien dengan trauma
pada wajah digunakanlah jenis yang lentur.
8
Gambar 4. Orotracheal Tube
Sesaat setelah pipa endotrakeal masuk ke dalam trakea dengan bantuan laringoskop kemudian
cuff dikembangkan dan dilakukan uji dengan stetoskop untuk mengetahui apakah pipa sudah
masuk ke trakea atau ke salah satu bronkus. Cuff berfungsi untuk mencegah terjadinya
aspirasi dan bocornya udara yang dimasukkan dalam pipa endotrakeal untuk disalurkan dalam
paru agar tidak kembali keluar. Pada ujung dari pipa endotrakeal terdapat lubang seperti mata
yang berfungsi untuk jalan keluar udara jika ujung terbuka dari ETT tertutup saat masuk ke
trakea.6,11
9
Gambar 5. Nasotracheal Tube
2.2.5 Laringoskop
Laringoskop adalah suatu alat yang digunakan untuk memudahkan melihat laring secara
langsung sehingga proses pemasukan pipa endotakeal atau ETT berada dalam jalur yang
benar. Secara garis besar terdapat 2 macam laringoskop yaitu bilah, daun atau blade yang
lurus (macintosh) untuk bayi, anak dan dewasa dan jenis yang kedua adalah yang memiliki
bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar dan dewasa. Untuk keadaan yang sulit
digunakan laringoskop spesial tipe Wu (dengan kateter suction, dan pipa oksigen) dan Billard
yang merupakan versi yang lebih baru dengan handle yang dirancang dengan lebih baik.6
2.2.6 Bronkoskop
Bronkoskop dibuat untuk melihat atau meneropong keadaan bronkus. Merupakan suatu alat
yang didesain dengan cara memasukkan alat melalui mulut atau lubang trakeostomi. Sumber
cahaya berasal dari sisi untuk meneropong dan cahaya diteruskan melalui sepanjang kabel
hingga sisi yang masuk dalam saluran nafas. Bronkoskop juga dilengkapi suction.6,8
Ada 2 macam bronkoskop yaitu yang rigid dan yang fleksibel (Flexible Fiberoptic
Bronchoscopes). Pada keadaan pasien tertentu seperti pada fraktur tulang servikal, pergerakan
sendi temporomandibular yang terbatas, atau pada kelainan jalan nafas atas baik yang
kongenital maupun dapatan wajib menggunakan bronkoskop tipe fleksibel. Cara meneropong
dengan bronkoskop harus dilakukan dengan tepat untuk menyetir alat dan mendapat hasil
peneropongan yang maksimal. Alat tidak boleh tertekuk karena dengan demikian menipulasi
pergerakan bronkoskop menjadi terhambat.11
10
Gambar 6. Perlengkapan Intubasi
2.3 Intubasi11
2.3.1 Indikasi Intubasi
Secara umum, intubasi diindikasikan untuk pasien yang memiliki risiko aspirasi dan pasien
yang akan menjalani prosedur bedah mencakup rongga tubuh atau kepala dan leher. Indikasi
intubasi sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut:
1. Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun (kelainan anatomi, bedah khusus, bedah
posisi khusus, pembersihan sekret jalan nafas, dll)
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi (saat resusitasi, ventilasi jangka panjang)
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
2.3.2 Pemilihan dan Persiapan Alat
1. Persiapan Laringoskopi11
Laring mencegah benda asing masuk ke paru. Laringoskop merupakan instrumen yang
digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat memasukkan pipa
endotrakea/PET dengan baik dan benar (intubasi). Laringoskop terdiri atas gagang
(handle) dan bilah (blade). Gagang biasanya berisi baterai untuk menyalakan lampu pada
bilah. Blade Macintosh dan Miller merupakan desain bilah lengkung dan lurus yang
terpopuler. Pemilihan bilah tergantung operator dan anatomi pasien. Karena tidak ada
bilah yang sempurna untuk semua situasi, klinisi harus familiar dan cakap dengan
berbagai macam desain bilah.
Pipa endotrakea (PET) menghantarkan udara/gas anestetik langsung ke dalam trakea dan
biasanya dibuat dari bahan standar polivinil klorida. Ukuran diameter lubang PET dalam
milimeter. Karena penampang trakea bayi, anak kecil, dan dewasa berbeda, penampang
melintang trakea bayi dan anak kecil di bawah usia 5 tahun hampir bulat, sedangkan
dewasa seperti huruf D, maka untuk bayi dan anak kecil digunakan tanpa balon (cuff) dan
untuk anak besar dan dewasa dengan balon, supaya tidak bocor.
Ukuran pipa endotrakea didasarkan atas umur pasien. Pada bayi yang cukup umur
digunakan PET dengan diameter 3,5 mm dan panjang 12 cm; pada anak digunakan PET
dengan diameter 4 + ¼ umur (tahun) mm dan panjang 14 + ½ umur (tahun) cm; dan untuk
dewasa wanita digunakan PET dengan diameter 7,0-7,5 cm dan panjang 24 cm, sedangkan
dewasa pria diameter PET 7,5-8,0 mm dengan panjang 24 cm.8,11
11
Persiapan alat-alat intubasi (disingkat STATICS) terdiri dari :
- S : Stethoscope & Laryngoscope
- T : Tube, yaitu pipa trakea dengan atau tanpa cuff
- A : Airway, pipa oro-faring (Guedel) atau pipa naso-faring
- T : Tape, perekat/plester untuk fiksasi
- I : Introducer, stylet sebagai pemandu agar pipa trakea mudah dimasukkan
- C : Connector, penyambung antara pipa dan peralatan anestesi
- S : Suction, penyedot lendir.
2. Intubasi Orotrakea
Persiapan untuk intubasi mencakup pengecekan alat dan posisi pasien yang benar. PET
harus diperiksa. Sistem inflasi balon pada pipa dapat dites dengan mengembangkan balon
menggunakan jarum suntik. Konektor harus ditekan ke dalam pipa sedalam mungkin
untuk menurunkan kemungkinan diskoneksi. Jika stylet digunakan, maka harus
dimasukkan ke dalam PET, yang akan membentuk sudut seperti tongkat hoki. Bentuk ini
akan memfasilitasi intubasi pada laring posisi anterior. Peralatan suction juga dibutuhkan
untuk membersihkan jalan napas dalam kasus sekresi yang tidak diinginkan seperti darah
atau muntahan.11
Keberhasilan intubasi juga tergantung dari posisi pasien yang benar. Posisi yang baik
untuk melihat laring adalah dengan leher sedikit fleksi dan kepala ekstensi pada leher.
Pada orang dewasa dibantu dengan meletakkan satu atau dua bantal dibelakang leher,
pada anak kecil tidak dibutuhkan bantal, dan pada neonatus dibutuhkan bantal kecil
dibawah bahu. Kepala pasien sebaiknya sejajar dengan pinggang anestesiologis atau lebih
tinggi untuk mencegah cedera tulang belakang yang tidak perlu selama laringoskop. 12
Gambar 7. Pipa Endotrakea/PET
Laringoskop menggeser jaringan lunak faring untuk menciptakan garis langsung
penglihatan dari mulut ke pembukaan glotis. Peninggian kepala sedang (5-10 cm di atas
meja operasi) dan ekstensi sendi atlantooksipital akan menempatkan pasien pada posisi
yang sesuai. Persiapan untuk induksi dan intubasi juga meliputi preoksigenasi rutin
dengan oksigen 100%.11
3. Intubasi Nasotrakea
Intubasi nasotrakea dilakukan pada pasien yang akan menjalani prosedur intraoral.
Dibandingkan dengan PET, diameter maksimal yang dapat diakomodasi biasanya lebih
kecil dan resistensi pernafasan cenderung lebih tinggi. Rute nasotrakea jarang digunakan
untuk intubasi jangka panjang karena menyebabkan peningkatan resistensi jalan nafas dan
risiko sinusitis.12
Kontraindikasi intubasi nasotrakea biasanya pada fraktur tengkorak basilar, terutama
tulang etmoid, fraktur nasal, epistaksis, polip hidung, koagulopati, trombolisis atau
pemakaian antikoagulan sistemik (pada pasien dengan infark miokard akut).12
Anestesi topikal dan vasokonstriksi pada mukosa nasal menggunakan campuran lidokain
3% dan phenylephrine 0,25%. Jika kedua lubang hidung tidak obstruksi, naris kanan
dipilih untuk intubasi karena akan langsung menghubungkan permukaan PET dengan
septum nasal. Setelah melewati naris menuju faring, pipa akan melewati pembukaan
glotis. Intubasi dilakukan melalui penglihatan langsung dengan laringoskopi atau
bronkoskopi fiberoptik atau dipandu oleh forsep Magill.12
13
Gambar 8. Posisi Intubasi dengan Macintosh Blade
2.3.3 Teknik Intubasi
Sebelum melakukan intubasi maka dilakukan ventilasi terhadap pasien dengan menggunakan
O2 100%. Kemudian dilakukan persiapan dan pengecekan alat-alat yang dibutuhkan. Setelah
ventilasi dan persiapan maka langkah-langkah yang harus dilakukan yaitu :11
1. Posisikan kepala pasien kemudian lakukan Sellick manuver.
2. Tekan dagu pasien ke bawah, masukkan bilah laringoskop ke sisi kanan mulut pasien
dengan hati-hati, hindari trauma pada gigi. Tekan lidah ke sisi kiri, arahkan bilah menurun
untuk melihat epiglotis.
3. Gunakan bilah laringoskop untuk mengangkat lidah dan epiglotis terlihat dalam satu garis
lurus sehingga pembukaan glotis dapat diidentifikasi
4. Masukkan PET di sepanjang sisi kanan begitu epiglotis terlihat. Pada saat pembukaan
glotis (atau kartilage aritenoid) teridentifikasi, sisipkan PET hingga kedalaman 5 cm
setelah pita suara(cords)
5. Begitu PET dalam posisi stabil, keluarkan stylet, inflasi balon (cuff) dan hubungkan
dengan ambubag (bag-valve) kemudian lakukan pengecekan.
6. Mulailah ventilasi menggunakan konsentrasi oksigen yang cukup volume tidal.
7. Periksalah apakah pipa tidak salah masuk dengan cara :
- Idealnya dengan melihat langsung ke dalam laring
- Jika pasien bernafas dan kita dapat merasakan nafasnya dan mendengar suara nafasnya
pada ujung pipa bagian atas, maka letaknya benar. Jika masuk esophagus nafas
terdengar disekitar pipa, tidak melalui pipa.
- Jika pasien tidak bernafas karena pelumpuh otot, maka dilakukan penekanan diatas
sternum, jika pipa masuk ke dalam trakea, maka akan deras aliran udara dari pipa.
- Atau periksalah dengan memompa udara melalui pipa, jika letaknya benar maka
dinding dada akan mengembang bila udara dipompakan masuk, dan mengempis bila
udara keluar. Tapi bila masuk ke dalam esophagus, maka perut akan mengembang dan
terdengar suara berdeguk.
- Juga harus diperiksa posisi pipa dengan mendengarkan suara aliran udara dengan
stetoskop pada kedua apeks dan dasar paru dan perut pada saat memompa udara secara
manual.
- Penentuan konsentrasi end tidal CO2 juga dapat digunakan untuk konfirmasi ventilasi
yang adekuat.
14
Gambar 9. Teknik Intubasi
2.4 Ekstubasi
Indikasi dan Teknik Ekstubasi
Memutuskan kapan melepaskan pipa endotrakea merupakan seni anestesiologi yang
berkembang sesuai dengan pengalaman. Secara umum, ekstubasi sangat baik dilakukan ketika
pasien dalam keadaan anestesi atau sadar. Pada kasus lain, pemulihan adekuat dari pengaruh
pelumpuh otot harus dipastikan sebelum ekstubasi.11
Ekstubasi selama fase anestesi (misalnya pasien masih berada dalam tahap antara tidak sadar
dan sadar) harus dihindari karena peningkatan risiko laringospasme. Perbedaan antara anestesi
dalam dan permukaan biasanya terlihat selama suction faring. Setiap reaksi saat suction
15
(seperti nafas dalam, batuk) menandakan ekstubasi pada pasien sadar biasanya disertai dengan
batuk. Reaksi ini akan meningkatkan denyut jantung, tekanan vena sentral, tekanan darah
arteri, tekanan intrakranial, dan tekanan intraokular. Hal ini juga dapat mengakibatkan
terbukanya luka operasi dan perdarahan. Terdapatnya pipa endotrakeal pada pasien asma yang
sadar biasanya memicu bronkospasme.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah faring penderita harus dibersihkan sebelum ekstubasi
untuk menurunkan resiko aspirasi atau spasme laring. Sebelum ekstubasi pasien juga harus
diberikan oksigen 100%, plester pipa endotrakea dilepaskan, dan balon dikempiskan. Pipa
ditarik dalam gerakan tunggal yang lembut, dan sungkup muka digunakan untuk
menghantarkan oksigen 100% hingga pasien cukup stabil untuk transportasi menuju ruang
pemulihan.11
2.5 Komplikasi
Komplikasi laringoskopi dan intubasi biasanya tergantung dari kesalahan posisi pipa, trauma
jalan nafas, respon fisiologis terhadap instrumentasi jalan nafas, atau malfungsi pipa.
Komplikasi dapat terjadi saat laringoskopi dan intubasi, ketika pipa di jalan nafas, atau setelah
ekstubasi.11
Trauma Jalan Napas
Instrumentasi dengan blade laringoskop metal dan insersi PET biasanya merusak jaringan
jalan napas. Meskipun kerusakan gigi menjadi penyebab tersering tuntutan malpraktik,
laringoskopi dan intubasi juga dapat menyebabkan beragam komplikasi dari nyeri
tenggorokan hingga stenosis trakea. Sebagian besar disebabkan karena tekanan eksternal yang
berkepanjangan terhadap struktur jalan napas yang sensitif. Ketika tekanan melewati tekanan
darah arteriol-kapiler (sekitar 30 mmHg), iskemik jaringan dapat menyebabkan inflamasi,
laserasi, granulasi dan stenosis.
Peradangan pada laring dan trakea (croup) pasca intubasi yang disebabkan karena edema
glotis, laring atau trakea merupakan komplikasi serius pada anak-anak. Manfaat
kortikosteroid (seperti deksametason dosis 0,2 mg/kg hingga maksimum 12 mg) dalam
mencegah edema saluran napas pasca ekstubasi masih kontroversi. Paralisis pita suara akibat
kompresi balon atau trauma lainnya pada saraf laringeal menyebabkan serak dan
meningkatkan risiko aspirasi. Beberapa komplikasi tersebut mungkin berkurang dengan
menggunakan PET yang memiliki bentuk sama dengan anatomi jalan napas (seperti Lindholm
16
Anatomical Tracheal Tube). Insiden serak pasca operasi meningkat sejalan dengan obesitas,
kesulitan intubasi, dan durasi panjang anestesi. Penerapan lubrikan larut air atau gel yang
mengandung anestetik pada ujung atau balon PET tidak dapat menurunkan insiden dari nyeri
tenggorokan atau serak pasca operasi. Pemakaian pipa yang lebih kecil (ukuran 6.5 pada
perempuan dan 7.0 pada laki-laki) menimbulkan keluhan nyeri tenggorokan pasca operasi
yang lebih sedikit.11
Kesalahan Posisi PET
Intubasi esofagus yang tidak hati-hati dapat menimbulkan katastropik. Pencegahan terhadap
komplikasi ini tergantung dari visualisasi langsung pada ujung PET saat melewati pita suara,
auskultasi yang cermat untuk mengetahui suara napas bilateral dan tidak adanya bising usus
pada saat ventilasi melalui PET, analisis gas yang dihirup untuk adanya CO2, radiografi toraks
atau pemakaian FOB.
Meski telah dikonfirmasi bahwa pipa berada dalam trakea, namun terdapat kemungkinan
bahwa hal tersebut tidak sepenuhnya dalam posisi yang benar. Insersi berlebihan biasanya
menyebabkan intubasi pada cabang bronkus kanan karena struktur anatomisnya kurang
memiliki sudut dengan trakea. Diagnosis dari bronkial intubasi dapat dilihat dari adanya suara
napas unilateral, inflasi balon PET yang tidak dapat dipalpasi dan penurunan compliance
breathing-bag. 11
Sebaliknya, kedalaman insersi yang kurang akan menempatkan posisi balon di laring,
predisposisi untuk trauma laring. Kedalaman yang kurang dapat diketahui dengan palpasi
balon pada kartilage tiroid. Karena tidak ada satu pun teknik yang melindungi terhadap
kemungkinan adanya kesalahan penempatan PET, tes minimal sebaiknya meliputi auskultasi
dada, kapnografi rutin dan palpasi balon.
Respon Fisiologis terhadap Instrumen Jalan Napas 11
Laringoskopi dan intubasi trakea mengganggu refleks proteksi jalan napas pasien dan
memungkinkan terjadinya hipertensi dan takikardi. Respon ini biasanya terjadi sementara dan
tidak berbahaya disebabkan oleh penurunan tonus vagal ataupun peningkatan aktivitas
simpatetik, sedangkan insersi LMA jarang menyebabkan perubahan hemodinamik. Perubahan
hemodinamik ini dapat diatasi dengan administrasi obat intravena (lidocaine (1,5 mg/kg)1-2
menit, atau fentanyl (0,5-1 g/kg) 4-5 menit) sebelum laringoskopi. Agen hipotensi, meliputi
17
sodium nitropruside, nitroglyceryn, β blocker dan Ca Channel blockers juga efektif dalam
mengurangi respon hipertensi transien terkait laringoskopi dan intubasi.
Laringospasme merupakan spasme involunter pada otot laring yang disebabkan karena
stimulasi sensori pada nervus laringeal superior. Rangsang yang dapat memicu meliputi
sekresi faring atau saat PET melewati laring selama ekstubasi. Laringospasme biasanya dapat
dicegah dengan ekstubasi pasien setelah benar-benar sadar. Pengobatan laringospasme antara
lain dengan menyediakan ventilasi tekanan positif dengan sungkup dan kantong anestesi
menggunakan 100% oksigen atau administrasi lidocain intravena (1-1,5 mg/kg). Jika
laringospasme menetap dan timbul hipoksia, maka sebaiknya diberikan suksinilkolin (0,25-1
mg/kg) untuk relaksasi otot laring dan mengendalikan ventilasi. Bronkospasme adalah respon
refleks lainnya terhadap intubasi dan paling sering terjadi pada pasien asma. Bronkospasme
dapat menjadi penanda intubasi bronkial. Efek patofisiologi lain dari intubasi juga dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan intraokular.
Tabel 2. Komplikasi Intubasi (Lange Anesthesiology, Section I: Anesthetic Equipment & Monitors , Chapter 5. Airway Management)11
Saat Laringoskopi dan
Intubasi
Malposisi Intubasi esophagus
Intubasi bronchial
Posisi balon laryngeal
Trauma jalan napas Kerusakan gigi
Laserasi bibir, lidah atau mukosa
Radang tenggorokan
Dislokasi mandibula
Diseksi retrofaring
Reflex fisiologis Hipoksia, hiperkarbia
Hipertensi, takikardi
Intracranial hipertensi
Intraocular hipertensi
Laringospasme
Saat Pipa di Jalan Napas
18
Trauma jalan napas Inflamasi dan laserasi mukosa
Ekskoriasi hidung
Malfungsi pipa Eksplosi
Obstruksi
Setelah ekstubasi
Trauma jalan napas Edema dan stenosis
Serak (granuloma vocal cord/
paralisis)
Malfungsi laring
laringospasme
19
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas maka hal yang dapat disimpulkan antara lain :
1. Manajemen jalan nafas perioperatif adalah hal yang sangat penting untuk menunjang
keberhasilan proses anestesi dalam suatu operasi atau pembedahan
2. Peralatan yang digunakan dalam manajemen perioperatif jalan napas antara lain adalah
oropharyngeal airway/guedel, sungkup muka, Laryngeal Mask Airway/LMA, tracheal
tube, laringoskop dan bronkoskop
3. Manajemen perioperatif jalan napas terutama mencakup indikasi, teknik serta komplikasi
dari intubasi dan ekstubasi
3.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, adapun rekomendasi yang ditawarkan adalah
sebagai berikut :
1. Kajian lebih lanjut mengenai manajemen perioperatif jalan napas perlu dilakukan
mengingat masih terdapat kekurangan dalam pembahasan karya tinjauan pustaka ini,
sekaligus sebagai salah satu upaya untuk menyebarkan informasi dan pengetahuan kepada
rekan mahasiswa pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
2. Teknik pelaksanaan manajemen perioperatif jalan napas perlu senantiasa dilatih sehingga
setiap komponen kesehatan terutama dokter memiliki kemampuan yang memadai dalam
hal penanganan kegawatdaruratan.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangku G. Standar Pelayanan dan Tatalaksana Anestesia-Analgesia dan Terapi Intensif.
Staf Fungsional/ Laboratorium Anestesiologi dan Terapi Intensif. Denpasar. 2000
2. Nolan JP, et al. European Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation 2005.
(Section 4). Adult Advanced Life Support. Resuscitation 2005, 67(S1):S39-86
3. Genzwürker HV, et al: Incidence of Endotracheal Intubation in Physician Staffed Rescue
Systems: Adequate Experience Not Possible Without Clinical Routine. Anästh
Intensivmed 2008
4. Timmermann A, et al: The Out-of-Hospital Esophageal and Endobronchial Intubations
Performed by Emergency Physicians. Anesth Analg 2007, 104:619-623
5. Genzwuerker, HV, et al. Prehospital Airway Management: the Patient Needs Oxygen.
Scandinavian Journal of Trauma. Resuscitation and Emergency Medicine 2008, 16:3
6. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anesthesia. 4th ed. Lippincot Williams &
Wilkins, Washington; 2001.hal. 441-454
7. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. EGC, Jakarta;1997
8. Latief SA, Dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi kedua. Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2002
9. Longnecker E.David,et al. Principles and Practice of Anesthesiology. 2nd ed. Mosby St
Louis. 1998; hal.
10. Miller RD. Anesthesia. 6th ed. Churchill Livingstone, Philadelphia; 2005. hal. 3249-3253,
106-113
11. Morgan, GD, et al. Clinical Anesthesiology. 4th ed. Lange Medical Books/McGraw-
Hill.2006
12. Dunn, Peter F. Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts General Hospital. 7th
ed. Lippincott Williams & Wilkins, Washington; 2007.hal 209-228
21