managemen medis perioperatif pada pasien dengan copd

35
Manajemen Medis Perioperatif pada Pasien dengan COPD Abstrak COPD dan penyakit jantung dipertimbangkan sebagai faktor resiko independen pada kematian dan komplikasi kardiopulmonary mayor setelah prmbedahan. Penyakit arteri koroner, penyakit jantung dan COPD merupakan faktor resiko yang sering tidak terkontrol, baik secara tersendiri atau kombinasi pada banyak pasien bedah. Optimalisasi perioperasi dari pasioen resoiko tingi ini patut mendapat pemahaman yang menyeluruh pada pasien kardiopulmonari sebagaimana halnya juga konsekuensi respirasi pada bedah dan anestesi. Kebalikan dengan stratifikasi resiko jantung dimana keberadaan pemyakit jantung mempengaruhi secara luas organ setelah operasi jantung., factor-faktor yang berhubungan dengan bedah (sepertio prosedur abdominal atas dan intra thoirax, durasi dari anesetesi, pemakaian tuba nasogastrik) mendominasi komorbiditas pasien sebagai faktor resiko pada komplikasi post operasoi pulmo. Meskipun sebagaian besar pasioen COPD dapat mentoleransi intubasi tracheal dibawah induksi anestesi yang “lembut” tanpa efek serius yang luas, blokade anestesi regional dan penggunaan laryngeal mask atau entilasi tekanan positif nn invasive seharusnya dipertimbangkan bila memunhgkinkan, untuk memberikan kontrol nyeri yang optimal dan untuk mencegah perlukaan jalan nafas bagian atas sebagaihalnya trauma tekanan volume paru. Prtosedur invasive yang minimal dan regimen analgesic mul;timodal modern sangat membantu untuk meminimalkan respon stress operasi, untuk mempercepat proses penyembuhan psikologis dan untuk memperpendek waktui rawat di rumah sakit. Refleks yang menginduksi konstriksi bronkus dan inflasi hiperdinamik selama ventilasi mekanik dapat dicegah dengan menggunakan anestesi volatile bronkodilator dan penyesuain setting ventilator dengan lama waktu ekspirasi. Selama operasi, kedalaman anestesi, volume sirkulasi dan blockade neuromuscular harus ditegakkan dengan alat monitor fisiologis modern untuk menurunkan penggunaan agen anestesi cairan dan obat pelumpuh otot. Pemulihan volume paru post operasi dapat difasilitasi dengan edukasi dan 1

Upload: ruika

Post on 01-Dec-2015

256 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: Managemen Medis Perioperatif Pada Pasien Dengan COPD

Manajemen Medis Perioperatif pada Pasien dengan COPD

Abstrak

COPD dan penyakit jantung dipertimbangkan sebagai faktor resiko independen pada kematian dan komplikasi kardiopulmonary mayor setelah prmbedahan. Penyakit arteri koroner, penyakit jantung dan COPD merupakan faktor resiko yang sering tidak terkontrol, baik secara tersendiri atau kombinasi pada banyak pasien bedah. Optimalisasi perioperasi dari pasioen resoiko tingi ini patut mendapat pemahaman yang menyeluruh pada pasien kardiopulmonari sebagaimana halnya juga konsekuensi respirasi pada bedah dan anestesi.

Kebalikan dengan stratifikasi resiko jantung dimana keberadaan pemyakit jantung mempengaruhi secara luas organ setelah operasi jantung., factor-faktor yang berhubungan dengan bedah (sepertio prosedur abdominal atas dan intra thoirax, durasi dari anesetesi, pemakaian tuba nasogastrik) mendominasi komorbiditas pasien sebagai faktor resiko pada komplikasi post operasoi pulmo.

Meskipun sebagaian besar pasioen COPD dapat mentoleransi intubasi tracheal dibawah induksi anestesi yang “lembut” tanpa efek serius yang luas, blokade anestesi regional dan penggunaan laryngeal mask atau entilasi tekanan positif nn invasive seharusnya dipertimbangkan bila memunhgkinkan, untuk memberikan kontrol nyeri yang optimal dan untuk mencegah perlukaan jalan nafas bagian atas sebagaihalnya trauma tekanan volume paru. Prtosedur invasive yang minimal dan regimen analgesic mul;timodal modern sangat membantu untuk meminimalkan respon stress operasi, untuk mempercepat proses penyembuhan psikologis dan untuk memperpendek waktui rawat di rumah sakit. Refleks yang menginduksi konstriksi bronkus dan inflasi hiperdinamik selama ventilasi mekanik dapat dicegah dengan menggunakan anestesi volatile bronkodilator dan penyesuain setting ventilator dengan lama waktu ekspirasi. Selama operasi, kedalaman anestesi, volume sirkulasi dan blockade neuromuscular harus ditegakkan dengan alat monitor fisiologis modern untuk menurunkan penggunaan agen anestesi cairan dan obat pelumpuh otot. Pemulihan volume paru post operasi dapat difasilitasi dengan edukasi dan pemberdayaan pasien, manuver rekrutmen, tekanan non invasif didukung ventilasi dan ambulasi dini.

Kata kunci : anestesi, bedah, COPD, atelektasis, kapasitas residual fungsional.

1

Page 2: Managemen Medis Perioperatif Pada Pasien Dengan COPD

PENDAHULUAN

COPD dan penyakit kardiovaskuler pada pasien bedah.

Saat ini, ahli bedah, ahli anestesi dan ahli paru dihadapkan dengan pasien respirasi resiko tinggi yang sangat banyak sebagai konsekuensi peningkatan usia harapan hidup, peningkatan prevalensi COPD dan kebutuhan yang lebih banyak untuk diagnostik inasif dan intervensi bedah (Halber et al, 2006). Prevalensi COPD bahkan lebih besatr diantara pasien bedah dibandingkan dengan grup populasi sesuai umur (misal 5% - 10% pasien COPD pada bedah umum, 10%-20% pada bedah jantung dan 40% pada bedah thorax dibanding 5% pada pasien COPD pada populasi umum). Sebagai faktor resiko terbanyak (yaitu perokok, usia lanjut, dan pola hidup) terdapat pada penyakit jantung dan pulmo, suatu proporsi besar deri pasien COPD yang berafiliasi dengan hipertensi (34%), penyakit penyumbatan atau aneurisma arteri (12%), gagal jantung (5%), kardiak aritmia atau blockade konduksi (12%) dan penyakit jantung iskemik (11%).

Walaupun kematian yang disebabkan langsung oleh anestesi-mungkin sekitar 1 dalam setiap 250.000 kasus- resiko kematian operasi rata-rata 0,5%-1% sebagian besar disebabkan oleh infark miokard dan gagal jantung, penyebab utama kematian pada negara barat. Tidak mengherankan, pasien dengan disfungsi organ yang telah ada sebelumnya (yaitu penyakit jantung iskemik, COPD dan insufisiensi ginjal) sepertinya menyumbangkan suatu sindrom akut koroner, gagal jantung, bronkopneumonia atau gagal nafas yuang diikuti intervensi mayor.

Pada dekade lampau, perhatian penyedia pelayanan kesehatan sebagian besar difokuskan pada kejadian iskemik kardiovaskuler dan mengesampingkan pentingnya komplikasi pulmonari post operasi. Studi kohort prospektif akhir-akhir inin telah menekankan bahwa kejadian gagal nafas (1%-3%) dan bronkopneumonia (1%-5%)setelah bedah jantung sangat mirip dengan komplikasi kardiovaskuler mayor gagal jantung (1%-2%), infark myokard (0%-6%). Sebagai tambahan pada banyaknya kematian jangka pendek dan panjang, komplikasi kardiak mayor dan komplikasi pulmo ini mengimplikasikan sebuah beban ekonomi yang besar sebagai akibat dari pasien harus dirawat inap di ICU, memperpanjang hari rawat dirumah sakit dan penggunaan terapi yang mahal. Tidak sering, komplikasi paru dan jantung terjadi pada pasien bedah yang sama. Sebagai contoh, perdarahan intraoperatif yang berat secara langsung meningkatkan resiko iskemik/infak myocard, pneumoni yang diinduksi oleh ventilator, perlukaan paru akut berhubungan sepsis dan transfusi (ALI).

Bagaimana Mendefinisikan Komplikasi Paru Post Operasi (PPC)

Sebagai persyaratan assesment resiko perioperasi, klnisi dan ilmuwan harus mendefinisikan secara jelas kriteria dari kondisi penyakit spesifik dan tujuan outcome pembedahan. Pada literatur medis, kisaran yang luas pada insidensi PPC (3-8%) menunjukkan grup populasi heterogen, diagnostik inkonsisten/definisi outcome dan data yang tidak lengkap didaptkan dari studi retrospektif. Meskipun perkembangan disfungsi respirasi dapat menyebabkan POC signifikan, hal itu juga dapat menunjukkan proses penyembuhan post operasi dan “natural”. Kecacatan sementara dan self limited pada nilai spirometri, kekuatan otot respirasi dan pertukaran gas harus dipertimbangkan sebagai respon fisiologis terhadap operasi. Sebagai contoh, sebagian besar pasien yang mengalami populasi kardiothorax atau abdomen menunjukkan beberaopa derajat hipoksemia dan atelektasis

2

Page 3: Managemen Medis Perioperatif Pada Pasien Dengan COPD

mikro diffuse yang akan memberikan akibat pada kondisi klinis post operasi. Disisi lain, effusi plura bronkospasme atau demam, atelektasis lobus atau hipoksemia yang tidak respon terhadap pemberian oksigen dapat menimbulkan kejadian misterius lebih lanjut seperti fistula bronkopleura, bronkopneumonia, ALI atau gagal nafas membutuhkan intervesi medis yang segera.

Dalam usaha untuk menstandarisasi laporan kejadian perioperasi lanjut, sebuah grup dari University Hospital of Zurich telah memvalidasi sistem skoring lima tingkat didasarkan konsekuensi terapetik dan disabilitias residu dalam hubungan dengan operasi bedah. Sebagai pengganti item seperti lama tinggal dirumah sakit, sistem skoring baru meranking kegawatan dari komplikasi post operasi dengan pemeriksaan disfungsi organ, kecacatan jangka panjang sebagaimana halnya kebutuhan untuk terapi farmakologis atau intervensi supportif/korektif (fisioterapi, endoskopi, drainase, reintervensi). Tingkat I komplikasi menunjukkan beberapa deviasi dari kasus post operasi normal tanpa kebutuhan intervensi medis, selain anti emetik, anti piretik, analgetik, elektrolit, diuretik.

Tingkat II dan III melibatkan komplikasi yang menunjukkan terapi farmakologis, transfusi darah atau endoskopi, intervensi bedah atau radiologi.

Tingkat IV meliputi komplikasi mengancam jiwa misalnya gagal organ tunggal atau multipel yang membutuhnkanperawatan ICU.

Pada puncaknya, kematian perioperasi berhubungan dengan tingkat V ketersediaan data outcome yang objektif dan detil sangat membantu pelayanan rumah sakit dan dokter dan untuk memperbaiki kualitas perawatan yang efisien harganya oleh intervensi pelayanan kesehatan dan sumber daya manusia. Pemahaman terhadap respon fisiologis pada hasil bedah, identifikasi, faktor resiko mortalitas/morbiditas dan penggalian kontrol proses pelayanan kesehatan adalah langkah awal sebelum melakukan tes dan mengimplementasikan intervensi medis yang bertujuan untuk memperbaiki outcome post operasi. Pada review ini kita akan pertama membahas faktro resiko komplikasi kardiopulmonari post operasi kemudian akan menggambarkan konsekuensi dari bedah dan anestesi terhadap respirasi akhirnya kita akan membuat panduan untuk mengoptimalisasikan pelayanan medis perioperatif pada pasien dengan COPD.

Faktor Resiko pada Kematian Post Operasi dan Kesakitan Kardiopulmonal

Stratifikasi Resiko

Seiring dengan kemajuan besar manajemen pada bedah dan anestesi, angka kesakitan dan kematian operasi telah menurun selama 20 tahun terakhir. Sebagai contoh, setelah reseksi paru dan rekonstruksi aorta abdominal, kematian operasi telah menurun dari 10% pada era 80an sampai saat ini kurangh dari 3% pada banyak rumah sakit rujukan pusat. Pada konteks ini, pasien dan faktor resiko yang berhubungan dengan prosedur perlu untuk dievaluasi ulang dengan memperhatikan akibat mereka pada post operasi jantung dan outcome pulmo.

3

Page 4: Managemen Medis Perioperatif Pada Pasien Dengan COPD

Stratifikasi Resiko Jantung

Pada 1999 (Lee et al. 1999) menganalisis suatu database skala bedah komperhensif dan mengidentifikasi 5 faktor resiko independen pada komplikasi jantung post operasi mayor: (1) bukti untuk penyakit arteri koroner (2) riwayat penyakit serebrovaskuler (stroke, serangan iskemik) (3) insufisiensi ginjal sedang sampai berat (creatinin > 180mm/l) (4) Diabetes melitus dan (5) bedah resiko tinggi (dada, abdomen, pembuluh darah). Setelah validasi pada studi prospektif lebih jauh, lima item ini dipersatukan dalam revised cardiac risk index (RCRI) yang telah diakui oleh American College of Cardiology dan American Heart Association. Penting untuk dicatat, pasien dengan satu atau lebih resiko ini (RCRI) sebagian mereka dengan kapasitas aktivitas terbatas (< 4 MET; 1 MET = Basal Metabolic Rate) dan mereka yang memiliki prosedur bedah mayor harus dipertimbangkan untuk test non invasive pre operasi untuk menyingkirkan fungsi ventricular, disfungsi valvular atau penyakit arteri koroner tersembunyi, pada puncaknya pemeriksaan klinis preopreasi (RCRI) dan test jantung (Thallium Scintigraphy, Echocardiography, Stress Test) sangat bermanfaat untuk mengidentifikasi pasien dengan penyakit jantung iskemik yang mungkin mendapatkan manfaat dari revaskularisasi preoperasi dan teknik protektif jantung perioperasi (yaitu: beta blocker, anti platelet, statin).

Data terkini menunjukkan bahwa faktor resiko kematian yang dapat dikendalikan mengikuti bedah non kardiak sangat tinggi pada pasien dengan stenosis aorta (10-28%) atau gagal jantung (11,7%) daripada faktor resiko pada penyakit arteri koroner (6,6%) ketika permukaan area katup aorta < 0,5 cm2/m2 dari permukaan tubuh, penggantian katup buatan harus direncanakan sebelum operasi non kardiak elektif atau harus dipertimbangkan pilihan non bedah. Gagal jantung kronik memimpin stadium akhir dari dari kebanykan kasus hipertensi, penyakit koroner dan katup. Karena peningkatan populasi usia lanjut dan peningkatan usia harapan hidup dengan terapi modern, beban penyakit kardiovaskuler juga meningkat diantara pasien COPD. Pada dewasa > 65 tahun, 2-9% menderita stenosis katup aorta dan prevalensi gagal jantung kongestif berkisar antara 8%-12%.

Faktor Resiko Pulmo

Pada dua studi prospektif, suatu grup dari ahli paru kanada telah mempertanyakan apakah pemeriksaan klinis preoperatif, tes fungsi paru dan intervensi intraoperasi dapat memperkirakan kejadian PPC, seperti pneumonia, atelektasis, gagal nafas, pneumothorax dan effusi pleura. Ahli anestesi merujuk hanya 8% dari kasus pada konsultasi spesialis dan PPC terbaik diperkirakan dengan penanda ini: usia lanjut (≥ 65 tahun, ood ratio (OR) 5,9), tes batuk positif (+ OR 3,8) perokok > 40 pak setahun (OR 1,9) penggunaan nasogaqstrik tube (OR 7,7) dan anestesi dengan durasi 2,5 jam (OR 3,3). Keterbatasn utama dari studi ini adalah melibatkan sampel [populasi kecil (n=1,55) dan 272 pasien secara resprektif) angka kejadian PPC yang kecil 2,8 dan 8%), proporsi yang kecil dari prosedur bedah mayor dan pengecualian pasien resiko tinggi, misalnya pasien dengan sindrom sleep apneu, penyakit neuromuskular dan COPD yang berat membutuhkan suatu perawatan terencana di ICU.

Pada 2001, faktor resiko paru pertama menunjukkan pneumonia dan gagal nafas telah divalidasi dengan menganalisis dua kohort besar termasuk lebih dari 160.000 veteran yang menjalani bedah nono kardiak. Sebagai analogio dengan RCRI, skor resiko pulmo ini didirikan dengan beberapa poin faktor perkiraan pneumonia (14 variable) dan gagal nafas (12 variabel). Secara keseluruhan, kontributor utama pada PPC berhubungan dengan usia lanjut (>70 thn), tipe operasi (vaskular,

4

Page 5: Managemen Medis Perioperatif Pada Pasien Dengan COPD

thoraks) keberadaan COPD. Gagal jantung atau status nutrisi yang buruk seperti halnya keberadaan kehilangan darah intraoperasi mayor (> 4 unit) paket sel darah.

Dewasa ini, review sebuah penelitian sistematik meliputi 145 studi (kohort, kasus kontrol, kasus serial, dan Randomized Controlled Trial) dari 27 analisa multivarian yang dilaporkan telah menunjukkan pandangan kritis lebih lanjut pada stratifikasi resiko pulmo preoperasi. Insidensi PPC secara keseluruhan adalah 6,8% (berkisar dari 2-19%). Tidak mengejutkan studi klinis ini sangat heterogen sesuai ukuran sample mereka (median 148 pasien per grup), studi objektif, definisi dari PPC dan kriteria inklusi. Berkebalikan dengan stratifikasi resiko jantung dimana keberadaan penyakit jantung sebagian besar menentukan outcome kardiak post operasi, faktor yang berhubungan dengan prosedur sebagian besar mendominasi pasien yang berhubungan dengan komorbiditas untuk memperkirakan PPC. Prosedur perifer dan ortopedi dipertimbangkan pada resiko rendah untuk mengembangkan PPC dimana intervensi bedah meliputi toraks, abdomen atas, sebagaimana regio kepala leher, lebih mempengaruhi fungsi respirasi, sebagian dalam konteks trauma jaringan luas, pergeseran cairan tubuh luas dan multiple transfusi. Diantara prediksi yang berhubungan dengan pasien, item dibawah ini ditemukan berhubungan independen dengan PPC: (1). Usia lanjut (> 70 thn), (2) status ASA kelas ≥ 2 (3) riwayat gagal jantung kongestif, (4) jeberadaan COPD, (5) kondisi umum yang buruk dan (6) level albumin darah yang rendah (< 35 g/l).

Faktor Resiko Spesifik untuk Komplikasi Paru

COPD

Eksaserbasi dari inflamasi bronkus dengan insrumetasi jalan nafas, kolonisasi bakteri preoperatif pada jalan nafas, imunosupresi yang diinduksi oleh operasi dan peningkatan kerja otot pada pernafasan dapat meningkatkan onset PPC. Meskipun hasil dari seri yang kecil telah mendorong resiko operasi yang dapat diterima pada pasien COPD angka kejadian PPC (kecuali atelektasis) lebih sering sejajar dengan keparahan perlukaan respirasi (moderat jika FEV1 50-80%, berat jika FEV1 < 50%), sebagian pada pasien dengan penemuan klinis abnormal (penurunan suara nafas, wheezing, rhonki, ekspirasi prolong) dan / atau peningkatan pertukaran gas (PaCO2 > 7 kPa, Hipoksemia yang membutuhkan suplemen oksigen). Prognosis terburuk pada pasien dengan hipertensi arteri pulmo dan kelelahan kronis otot nafas memberikan resiko gagal ventrikel kanan dengan kolaps hemodinamik dan ketergantungan ventilator.

Pada pasien yang mengalami reseksi paru FEV1 < 60% menunjukkan 2-3 peningkatan resiko untuk kematian operasi dan komplikasi respiratori mayor. Disamping keparahan COPD, reseksi paru yang luas, kolonisasi bronkus dan jenis kelamin pria juga diidentifikasi sebagai prediktor pada pneumonia post operasi.

AsmaGejala asma saat ini, penggunaan saat ini anti-obat asma dan sejarah intubasi trakea untuk

asma semuanya telah diasosiasikan perkembangan PPC. Sebaliknya, studi klinis lain telah menunjukkan bahwa pasien dengan asma yang dikendalikan baik menimbulkan gejala yang sama untuk PPCs sebagai pasien tanpa asma, terlepas dari jenis anestesinya. (Tirumalasetty dan Grammer 2006). Dalam studi Warner lebih dari 1.500 pasien asma, tingkat PPC baik pada anestesi umum dan anestesi regional adalah serupa, menyangkal gagasan empiris bahwa daerah anestesi teknik yang lebih aman (Warner et al 1996). Meskipun jarang berhubungan dengan PPCs utama, bronkospasme

5

Page 6: Managemen Medis Perioperatif Pada Pasien Dengan COPD

berkelanjutan atau tidak dikenal yang disebabkan oleh udara yang di instrumentasi jalan nafas cara dapat menyebabkan hipoksemia mengancam jiwa, sedangkan pengobatan terlalu berlebihan dengan beta-adrenergik agonis dapat menyebabkan aritmia ventrikel yang fatal. Dalam studi klaim tertutup dari American Society of anestesi, bronkospasme berat yang menyebabkan kematian atau kerusakan otak ireversibel yang terlibat dalam 90% kasus dibebankan karena masalah pernapasan yang parah intraoperatif.

Anestesi umum (GA) Agen anestesi umum opiat, relaksan otot serta ventilasi mekanis diketahui mengganggu sistem pernafasan. Dampak gabungan dari posisi terlentang, GA dan sayatan dada / perut menghasilkan penurunan segera dalam volume paru dengan pembentukan atelektasis di bagian yang paling tergantung dari paru-paru (Hedenstierna dan Edmark 2005). Selain itu, blokade neuromuskuler sisa bertahan setelah munculnya anestesi diwaspadai dengan tanda kekurangan reflek batuk, drive ventilasi depresi hipoksia dan "diam" inhalasi isi lambung (Berg dkk 1997). Anestesi umum melebihi 2,5-4 jam diidentifikasi sebagai prediktor kuat PPCs (Arozullah et al, 2000, 2001). Memang, kontak yang terlalu lama anestesi umum mengubah pertahanan kekebalan dan kapasitas pertukaran gas terutama dengan menekan fungsi makrofag alveolar, mengganggu produksi surfaktan, perlambatan dari pembersihan mucociliary dan meningkatkan permeabilitas penghalang alveolar-kapiler. Mekanisme merusak lain melibatkan peningkatan sensitivitas dari pembuluh darah paru untuk mediator neurohumoral, aktivasi sintase nitrat oksida-alveolar dan rilis ditingkatkan pro-inflamasi sitokin. Instrumentasi saluran udara bagian atas (misalnya, intubasi trakea) dan menghirup iritan (misalnya, desflurane, disin eksternal fectants) dapat memicu refleks bronchocon vagally diperantarai striction sehingga meningkatkan runtuhnya ekspirasi saluran napas perifer dengan tidak lengkapny pengosongan alveolar paru-paru (Berry et al 1999; Goff dkk 2000).

Obstruktif apnea syndrome (OAS) Riwayat preoperatif mendengkur, apnea saat tidur dan kelainan dari orofaring (amandel besar, retrognathia, rahang atas hipoplasia) yang sangat mempengaruhi dari OAS, terutama pada obesitas dimana kesulitan dengan instrumentasi saluran udara harus diantisipasi. Bahkan konsentrasi yang sangat rendah anestesi, obat penenang dan opiat dapat memicu atau memperburuk OSA dengan menurunkan tonus otot pharyngeal dan menurunkan respon ventilasi dan obstruksi jalan napas atas dan hiperkarbi. Mengingat prevalensi mereka lebih tinggi hipertensi, aritmia, kongestif (kanan) gagal jantung dan penyakit arteri koroner, pasien dengan OAS lebih rentan untuk mengembangkan pascabedah erative jantung dan kerusakan otak ischemik.

UsiaSetelah penyesuaian untuk penyakit sistemik penyerta, usia lanjut (> 70 tahun) tetap

merupakan prediktor independen kematian operatif, PPCs dan morbiditas jantung (Polanczyk et al, 2001). Hilangnya cadangan organ fisiologis dan "silent" disfungsi organ membuat orang tua cenderung rentan terhadap komplikasi kardiopulmoner dan serebrovaskular ketika menghadapi cedera pembedahan atau traumatis. Misalnya, penutupan jalan nafas meningkat dengan bertambahnya usia sehingga perfusi paru dengan ventilasi rendah/rasio perfusi (VA / Q) yang mengakibatkan campuran vena dan kerusakan oksigenasi darah (Hedenstierna dan Edmark 2005). Anehnya, terjadinya atelektasis tidak tergantung pada usia, anak-anak dan remaja menunjukkan atelektasis sebanyak pasien usia lanjut (Gunnarsson, Tokics, Gustaysson et al 1991).

ObesitasKolaps prematur saluran napas perifer yang paling mungkin terjadi pada pasien obesitas

karena pola ventilasi restriktif dan meningkatnya penutupan kapasitas saluran udara (von Ungern -

6

Page 7: Managemen Medis Perioperatif Pada Pasien Dengan COPD

Sternberg et al 2004). Meskipun penurunan kapasitas cadangan fungsional (FRC) memfasilitasi pembentukan atelektasis dan memperburuk hipoksemia pasca operasi, investigasi klinis tidak dapat mendokumentasikan adanya hubungan antara ringan sampai sedang obesitas dan PPCs parah, kecuali antara subset dari pasien dengan OSA. Indeks massa tubuh melebihi 40 kg/m² juga menunjukkan risiko lebih tinggi untuk PPCs. Angka kesakitan pasien obesitas, kemungkinan untuk berkembang menjadi atelektasis atau pneumonia setelah operasi perut ditemukan hampir 30% dengan rasio odds yang disesuaikan 2,8 (95% confidence interval 1,7 • -4,8) dibandingkan dengan non-obesitas pasien (von. Ungern- Sternberg et al 2004). Selain gangguan paru fungsional, kecenderungan lebih besar untuk berkembangnya infeksi luka pasca operasi dan kejadian tromboemboli telah ditunjukkan pada pasien kelebihan berat badan.

Status Umum dan kebugaran fisikLima tingkatan klasifikasi Amerika Anestesiologi (ASA) diterapkan di seluruh dunia oleh semua

ahli anestesi. Sistem penilaian status fisik pada awalnya dirancang untuk memperkirakan risiko kematian operatif. Selanjutnya, sejumlah studi telah memperluas penggunaannya untuk memprediksi keluaran pascabedah. Pasien yang termasuk kelas ASA 3 dan 4 berada pada risiko lebih tinggi untuk komplikasi kardiopulmoner dari pasien ASA 1 dan 2 (Tabel 3) (Wolters et al 1996).

Demikian pula, informasi sederhana dari riwayat pasien dan pemeriksaan klinis seperti sensorium berubah, ketidakmampuan untuk mendaki setidaknya dua tangga dan ketergantungan fungsional (yaitu, kebutuhan bantuan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari) telah terbukti menjadi prediksi komplikasi cardiopulmonary. Assesmen fisiologis yang lebih memuaskan seperti penentuan ambang anaerobik selama latihan (konsumsi oksigen maksimal, V02 max) dan tes berjalan 6 menit juga memberikan informasi prognostik yang berharga pada pasien borderline (Win et al 2005). Sebelum reseksi paru-paru, VO2 max kurang dari 15 ml / kg / menit, jarak berjalan kaki kurang dari 300 m di atas 6 menit atau ketidakmampuan untuk menaiki setidaknya empat tangga adalah prediktor yang lebih baik daripada variabel spirometric untuk membedakan pasien yang akan, atau tidak akan, mengembangkan komplikasi kardiopulmoner. Hilangnya cadangan fisiologis jantung dan paru harus dibedakan dari dekondisi otot akibat penyakit kronis yang melemahkan sebagai kemungkinan penyebab penurunan kapasitas latihan aerobik.

Merokok Asap rokok mengandung lebih dari 1.000 komponen dengan luas efek pada fungsi paru,

jantung dan kekebalan tubuh, penyembuhan luka, hemostasis, obat metabolisme dan status pasien mental, yang semuanya mungkin influsience hasil pasca operasi (Moller et al, 2002; Warner 2006). Status merokok merupakan faktor risiko yang konsisten univariat untuk Adverse Cardiac Events dan berbagai efek samping paru seperti bronkospasme, batuk spasme laring, dan hipoksemia membutuhkan masuk ICU. Dalam studi penelitian menggunakan analisis multivariat, merokok saat ini (>20 unit tahun pack) telah diidentifikasi sebagai faktor resiko sederhana untuk PPCs serius (OR 1,26 dengan CI 95%, 1,01-1,56) dan jaringan penyembuhan masalah tetapi tidak untuk komplikasi jantung, meskipun perilaku merokok jelas mempengaruhi perkembangan pembuluh darah atheromatosis dan kelangsungan hidup jangka panjang (Smetana et al 2006). Tidak hanya merokok aktif tetapi juga paparan pasif untuk merokok pada anak-anak dan orang dewasa telah ditemukan meningkatkan risiko masalah pernapasan intra dan pasca operasi dan untuk memperpanjang efek dari agen penghambat neuromuscular(Drongowski et al 2003; Reisli et al 2004).

Beberapa mekanisme membuat perokok lebih mudah untuk menjadi PPCs: produksi lendir yang berlebihan, peningkatan sensitivitas refleks saluran napas bagian atas, memperlambat pembersihan lendir bronkus, perubahan dalam sintesis surfaktan, peningkatan permeabilitas epitel paru serta gangguan aktivitas makrofag dan sitotoksik natural Killer.

Jumlah bungkus rokok/cerutu per tahun dan waktu berhenti merokok dapat mempengaruhi baik kepekaan dan reaksi dari transportasi, pohon trakeobronkial mukosiliar serta terjadinya PPCs (Warner et al 1989). Sebenarnya, gangguan penyembuhan luka/tulang, kerentanan terhadap infeksi

7

Page 8: Managemen Medis Perioperatif Pada Pasien Dengan COPD

bakteri dan dehisensi dari anastomosis pembuluh darah / usus mungkin akibat dari terbatasnya ketersediaan oksigen dalam jaringan penyembuhan bersama dengan anti-proliferasi efek nikotin pada sel darah merah, fibroblas dan makrofag.

Menariknya, dosis yang diperlukan untuk induksi anestesi dan analgesia pasca operasi opiat sedikit lebih tinggi pada perokok dibandingkan dengan bukan perokok sedangkan kejadian mengherankan untuk mual dan muntah adalah rendah (Creelcmore et al 2004; Lysakowski et al 2006; Whalen F et al 2006). Meskipun stres dasar meningkat sering dilaporkan di antara perokok, perubahan stres yang dirasakan selama periode perioperatif dan gejala penarikan akut tidak berhubungan dengan status merokok saat ini (Warner et a12004; Warner 2006).

Alkohol Risiko dua kali lipat dari ALI telah diamati di kalangan konsumen alkohol berat (lebih dari 60 g etanol per hari) dirawat di ICU dan reseksi paru-paru dibandingkan dengan pasien bebas alcohol(Licker, de Perrot et al 2003). Data eksperimen menunjukkan bahwa etanol menyebabkan penipisan glutathione antioksidan paru yang pada gilirannya menyebabkan produksi surfaktan menurun, yang menyebabkan gangguan cairan alveolar dan perubahan dalam permeabilitas sel epitel (Burnham et al 2004). Selain itu, pecandu alkohol kronis memiliki kerentanan yang lebih besar untuk perdarahan pasca operasi dan infeksi dengan akibat status kekebalan yang terganggu (misalnya, menekan interleukin-6 untuk interleukin-10 rasio), defisit nutrisi dan bronchoaspiration dalam konteks disfungsi saraf otonom dan sindrom penarikan alokohol (Paull et al 2004).

Konsekuensi pernafasan dari teknik anestesi dan bedah anestesi dan fungsi pernapasan Pernapasan mekanik dan anestesi umum

Pada subyek sadar yang terlentang , kontraksi dari otot-otot inspirasi menyebabkan ekspansi paru bersama dengan pergeseran ke bawah dari diafragma sedangkan selama masa pasif, diafragma berbentuk kubah bergerak cranial sebagai akibat dari paru-paru mundur elastis dan relaksasi otot-otot inspirasi ; gradien tekanan hidrostatik karena perut terisi dan kontraksi aktif akhirnya otot-otot dinding perut ekspirasi lebih lanjut dapat menggantikan diafragma ke arah kranial (Gambar 1). Setelah induksi anestesi dengan atau tanpa kelumpuhan otot - semua otot pernafasan yang relaksasi, ada penurunan kapasitas cadangan fungsional (FRC) dengan pergeseran cephalad konsisten dari dependen bagian dari diafragma sedangkan diameter bagian nondependen pragmatik bergerak sedikit ke bawah atau tetap statis (Warner 2002). Dengan ventilasi mekanis, tekanan transpulmonary positif menyebabkan perpindahan terbesar dari bagian nondependent, meskipun dengan tidal volume besar, semua bagian dari gerakan diafragma sama ("piston-seperti" gerak). Pembiusan-pembiusan yang disebabkan perubahan dalam gerakan diafragma telah diamati pada subyek sehat serta pada pasien PPOK (Gunnarsson, Tokics, Lundquist et al 1991).

Seperti yang ditunjukkan oleh foto thorax, atelektasis, terjadi di hampir 90% pasien yang dibius, yang melibatkan sebanyak 5% -20% dari volume total paru, dominan di bagian dependennya (Hedenstierna dan Edmark 2005). Dengan mengubah posisi dari tegak ke terlentang pada orang dewasa sehat, FRC berkurang dengan 0.8-1.0 L dan terjadi penurunan lebih lanjut dengan 0,4-0,5 L setelah induksi anestesia. Penurunan FRC (3,5-2 L, dekat volume residu) sesuai dengan pembentukan atelektasis dan daerah ventilasi perfusi yang rendah (Gambar 1) yang pada gilirannya mengurangi kepatuhan pada sistem pernapasan (dari rata-rata 95-60 ml / cm 1,120). Tidak mengherankan, ukuran daerah atelectatic berkorelasi dengan penurunan FRC dan penurunan saturasi oksigen arteri (Lindberg et al 1992).

Beberapa bagian yang collaps bertahan pada periode pasca operasi dan diperparah oleh gerakan pernapasan terbatas karena kontrol nyeri yang tidak memadai, cedera otot pernapasan dan / atau disfungsi diafragma setelah manipulasi visera abdomen atau intra-toraks intervensi. Peningkatan "kekakuan" dari kompartemen dada / perut dan resistensi jalan napas meningkat karena volume paru-paru yang lebih rendah berkontribusi meningkatkan kerja pernapasan setelah prosedur pembedahan utama (Hedenstierna dan Edmark 2005).

8

Page 9: Managemen Medis Perioperatif Pada Pasien Dengan COPD

Agen Anestesi umum Agen anestesi umum memodulasi fungsi pernafasan pada 3 tingkat utama: (1) perintah

meduler pusat dan jalur saraf refleks pernafasan, (2) tonus otot dan muco-ciliary clearance, dan (3) yang vasokonstriksi paru hipoksia (HPV) yang mengontrol distribusi aliran darah terhadap ventilasi (Tabel 4). Dari beberapa catatan, penurunan anestesi diinduksi dalam fungsi pernapasan hanya sementara dan pola pernapasan sepenuhnya normal dalam waktu 2 sampai 6 jam setelah munculnya anestesi pada sukarelawan dan pada abdomial bawah.

Opiat, benzodiazepin dan agen anestesi menipiskan refleks kemosensitif pusat dan perifer dengan depresi tergantung dosis akibat dari respon ventilasi hipoksia dan hiperkapnia (van den Eisen et al 1995, 1998; Dahan et al 2004). Obat penenang sedikit yang tidak memiliki efek depresi sentral pernapasan: droperidol berpotensi menyebabkan ventilasi hipoksia dengan menghalangi pelepasan dopamin endogen dan histamin-antagonis, diphenhydramine, melawan penurunan alfentanil diinduksi di lereng respon ventilasi CO2 (Babenco et al 1998). Tak satu pun dari agen intravena yang dianggap mengganggu otot polos bronkus tidak dengan respon HPV.

Sebaliknya, anestesi volatil agen (halotan, isoflu rane, desflurane, sevoflurane) dikenal untuk mengendurkan otot halus bronkial langsung dan pembuluh darah (Rooke et al 1997). Dalam persiapan paru terisolasi dengan atelektasis lobar atau ventilasi hipoksia, anestesi volatile diberikan pada dua kali alveolar konsentrasi ibu Mini (2 MAC) telah terbukti menurunkan respon HPV sebesar 50% jika aliran paru dipertahankan konstan. Dalam kondisi eksperimental, tribution Redis aliran darah paru menuju daerah kurang beroksigen memberikan kontribusi untuk memperluas gradien alveolar-arteri oksigen (PA-a02) dan menyebabkan desaturasi oksigen arteri dengan meningkatkan intra-paru shunting (Moudgil et al 2005). Dalam praktek klinis, hanya gangguan ringan dalam perubahan gas darah diamati di bawah konsentrasi yang lebih rendah dari anestesi hirup (1-1,5 MAC), karena langsung bius-dalam penghambatan diproduksi dari respon HPV sebagian ditentang oleh tekanan vena campuran oksigen berkurang akibat depresi anestesi diinduksi miokard.

MyorelaxantsSeperti yang telah disebutkan, blokade neuromuskuler residual adalah prediktor independen

PPCs dan dipengaruhi hipoventilasi di alveolar dan regurgitasi lambung diam dengan bronchoaspiration. Memang, blokade ringan dari reseptor muscarinic dengan myorelaxants telah terbukti melemahkan respon ventilasi terhadap hipoksia dan merusak kapasitas otot faringolaring, sehingga berpengaruh dengan kontrol saluran napas atas (Eikermann dkk)

Volume paru Volume paruAtelektasis di daerah paru-paru tergantungPenurunan kapasitas Fungsional pernapasan (FRC)Peningkatan Penutupan VolumePenurunan Paru kompliansPada pasien PPOK: peningkatan FRC dan peingkatan ruang mati (perangkap udara)karena pengosongan yang tidak lengkap ekspirasi merupakan penyebab penyakit terbanyak

AirwaysBronchodilatation (volatile anestesi agen)Penurunan Tonic aktivitas otot mengendalikan saluran napas atasPenurunan bronkial muco-ciliary

9

Page 10: Managemen Medis Perioperatif Pada Pasien Dengan COPD

Peningkatan resistensi airway

Ventilasi kontrolPenurunan ventilasi menanggapi hiperkarbiaPenurunan ventilasi menanggapi hipoksiaPenurunan ventilasi menanggapi asidosis

Sirkulasi Paru Penurunan respon vasokonstriktor hipoksia (volatile anestesi agen)Darah pertukaran gasPeningkatan PA-2 O2, gradien karena ketidak ssuaian di daerah VA / Q rasio

Fungsi ImunMenurunkan aktivitas bakterisidal makrofagMeningkatkan pelepasan sitokin pro-inflamasi

Singkatan: P, 01 gradien, alveolar-arteri gradien oksigen; VA / Q rasio, ventilasi - perfusi rasio.

Selain itu, anestesi volatil agen dan agen farmakologis beberapa (misalnya, magnesium, aminoglikosida) diketahui meningkatkan efek myorelaxants di endplate neuromuskuler menurunkan pelepasan asetilkolin saraf, yang mendorong perubahan konformasi dalam reseptor kolinergik dan / atau dengan mengubah intra otot-sinyal (Eriksson 1994). Selain itu, neuro blokade berkepanjangan otot harus diantisipasi pada pasien dengan kelainan jalur pembersihan metabolik (hati atau gagal ginjal) dan mereka dengan gangguan neuromuskuler (yaitu, myasthenia, deconditioning, sindrom Guillain-Barre), terutama jika myorelaxants berefek panjang dan diberikan berulang-ulang atau terus-menerus.

Anestesi RegionalAnestesi spinal dan epidural di tingkat lumbal tidak memiliki efek signifikan pada fungsi

pernapasan, kecuali pada pasien gemuk yang kurang sehat di mana blokade neuraxial telah terbukti menghasilkan penurunan 25%-20% volume ekspirasi fungsional (FEV1, FVC) yang dapat mengganggu kemampuan untuk batuk dan membersihkan sekresi bronkial akibat menghalangi otot-otot dinding perut (Regli et al 2006).

Konsentrasi anestesi lokal (lidokain 2%, bupivakain 0,5%), kelumpuhan dari otot-otot interkostal dan dinding perut bertanggung jawab untuk penurunan -10% menjadi -20% dalam kapasitas inspirasi dan ekspirasi tanpa mempengaruhi HPV, otot bronchial halus dan respon ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkarbia (Groeben et al 1994; Sakura dkk 1996). Fungsi diafragma tak terganggu sejauh blokade neuraxial tetap di bawah serviks saraf frenikus (C3-05). Selain menghalangi afferen nosiseptif langsung menekan aliran saraf simpatis eferen (dari C8 untuk T4), dan mengurangi 20% persyaratan hipnosis dan memberikan efek pelindung jantung dengan menambah aliran darah koroner, menurunkan konsumsi oksigen miokard, mengurangi

10

Page 11: Managemen Medis Perioperatif Pada Pasien Dengan COPD

hyperaggregability trombosit dan meningkatkan aritmia ventrikuler serta ambang batas atrium (Groban et al, 1999; Hodgson dan Liu 2001; Spiliopoulos et al 2003; Liu et al 2004).

Mengenai blokade saraf tepi, teknik supraklavikula (yaitu, interscalene anestesi blok) merupakan kontraindikasi pada pasien dengan penyakit paru yang parah dimulai dari kelumpuhan hemidiaphragm ipsilateral terjadi pada 100% kasus sampai dengan keterbatasan akibat dari volume paru-paru (rata-rata -32% FEV1, - 30 FVC%) (Urmey dan Gloeggler 1993). Studi awal menunjukkan bahwa teknik-teknik infraklavikula - kecuali pendekatan Raj diubah - juga menghasilkan penurunan fungsi pernafasan ringan sampai sedang (Rettig et al 2005).

Yang perlu diperhatikan, reabsorpsi sistemik melalui iv ataupun anestesi lokal memberi efek langsung saraf pusat yang dimanifestasikan oleh peningkatan ringan dari pengendali ventilasi dan menurunkan input nosiseptif.

Pertukaran Gas Darah Meskipun pemberian oksigen 30% -40% dalam gas terinspirasi, peningkatan gradien selama

anestesi umum, terlepas dari jenis agen anestesi dan modus ventilasi (spontan atau mekanis dikendalikan). Bahkan dengan menghirup oksigen murni dapat meningkatkan PA-a 02 dengan memperbaiki kolaps alveolar rendah pada daerah VA / T (Rothen dkk 1995).

Peningkatan PA-a 02 terutama terkait dengan campuran vena (efek "shunting”) sebagai akibat dari pembentukan atelektasis, ketidak sesuaian yang lebih besar dalam VA / T unit dan diperlemah dari respon HPV (Rothen dkk 1998). Menurut model paru-paru tiga kompartemen, GA menghasilkan "penyusutan" dari FRC: kompartemen paru dengan normal VA / Q menjadi lebih kecil sedangkan dua lainnya kompartemen menjadi lebih besar, satu dengan atelektasis ("efek shunt murni") dan satu dengan rendah VA / T unit ("shunt”) sebagai konsekuensi dari meningkatnya saluran udara (Hedenstierna dan Edmark 2005).

Pada hari kedua dan ketiga setelah operasi besar, episode berulang hypoxemic dapat dikaitkan dengan gangguan tidur dan pola pernapasan abnormal yang dapat diperburuk oleh administrasi analgesik dan obat sedasi konservatif (Rosenberg et al, 1999). Selain tidak normal pola ventilasi yan tidak normal, kegagalan sirkulasi, sepsis dan hipermetabolik kondisi tersebut juga dapat mengubah pertukaran oksigen (Fleischmann et al 2003, de Perrot et al 2003). Misalnya, tekanan hidrostatik kapiler meningkat karena gagal jantung akut dan kerusakan inflamasi penghalang alveolar-kapiler dapat menghasilkan edema paru interstisial dan penuhnya alveolar mengakibatkan kapasitas difusi miskin oksigen.

Anestesi dan teknik analgesik pada pasien COPDPada pasien dengan penyakit bronchospastik, efek dari anestesi volatile bronchodilatasi

berhubungan dengan ventilasi mekanik yang ditingkatkan melampaui hambatan parsial dari HPV dan peningkatan konsekuensi dalam shunting intra-paru (Volta et al 2005).

Menariknya, penurunan perioperatif dalam pertukaran gas tidak paralel dengan tingkat keparahan pada penyakit paru-paru (Bardoczky et a12000). Memang, oksigenasi darah lebih baik dipertahankan dalam 10 menit pertama satu-paru ventilasi pada pasien dengan COPD akhir bertahap dibandingkan dengan subyek pada kontrol sehat (Aschkenasy et al 2005). Kurangnya pembentukan ectasis Atel dan usaha mempertahankan FRC pada pasien COPD dapat dijelaskan oleh tiga mekanisme yang saling melengkapi (Gunnarsson, Tokics, Lundquist et al 1991; Kleinman dkk 2002; Warner 2002): (1) obstruksi aliran udara kronis yang menghasilkan akhir positif intrinsik -ekspirasi tekanan (PEEPi), (2) hilangnya kemampuan elastis paru dan meningkatnya kekakuan dari

11

Page 12: Managemen Medis Perioperatif Pada Pasien Dengan COPD

dinding dada, (3) relaksasi pada otot perut (difasilitasi dengan analgesia) mendorong perpindahan diafragma.

Pasca operasi, resiko insufisiensi pernapasan yang memerlukan ventilasi mekanis ini terutama disebabkan kontrol ventilasi abnormal dan / atau pompa gagal otot ure (Schweizer et al, 2002, de Perrot et al 2003). Adanya penghalang alveolar-kapiler bocor yang berhubungan dengan sepsis atau tekanan kapiler paru meningkat karena kelebihan cairan atau gagal jantung merupakan mekanisme alternatif dari kegagalan pernafasan akut. Sebagai aturan, sebagian besar pasien PPOK menunjukkan HPV lemah dan tanggapan ventilasi tumpul menjadi CO2 dan hipoksia. Mendatar dan memendeknya diafragma merupakan kerugian mekanis sedangkan efisiensi pompa diafragma mungkin terganggu oleh dekondisi pengiriman, kurangnya 02 dan katabolisme otot ditingkatkan sebagai hasil dari istirahat di tempat tidur, gagal jantung serta respon neuroendokrin dan inflamasi untuk operasi. Namun demikian, efisiensi kontraktil dalam bagian crural dan pesisir diafragma sebagian dipelihara oleh proses adaptasi panjang dimana serat otot kronis disingkat kehilangan sarkomer kelebihan dan dengan waktu, sarkomer yang tersisa dikembalikan ke panjang operasi yang optimal, menghasilkan kontraksi yang normal (Gunnarsson, Tokics, Lundquist et al 1991; Gorman dkk 2002).

Berbeda dengan opiat parenteral dan obat penenang yang dapat memperburuk ventilasi dan OAS depresi, TEH mewakili sents modalitas analgesik yang ideal setelah operasi perut dada dan bagian atas. Mengingat sensitivitas diferensial dari saraf motorik dan sensitif terhadap analgesik, TEH menggunakan konsentrasi rendah agen anestesi lokal dan dosis rendah opiat efektif untuk menekan kedua input nociceptive aferen dan eferen output simpatis sedangkan aktivitas otot pernapasan dan respon IIPV terjaga dengan baik . Yang penting, pada pasien PPOK berat, TEH telah terbukti meningkatkan ventilasi mekanik yang mengakibatkan resistensi saluran napas menurun, kerja lebih rendah dari pernapasan dan mempengaruhi kapasitas inspirasi dan ekspirasi yang memungkinkan manuver perekrutan paru-paru dan drainase sukarela sekresi bronkial (Groehen, Schafer et pada 2002).

Pengaruh operasi besar pada fungsi pernapasanBerbeda dengan pembedahan abdomen bawah, ortopedi dan bedah superfisial; prosedur

pembedahan abdomen atas dan intra-toraks menghasilkan perubahan ditandai dengan peningkatan fungsi pernafasan yang dibuktikan dengan standar tes fungsional paru, teknik pencitraan (USG, radiologi, CT-scan) dan pengukuran fisiologis berbagai seperti elektromiografi , tubuh plethysmography serta tekanan esofagus dan lambung (PGA, Pes) (Hedenstierna dan Rothen 2000; Hedenstiema dan Edmark 2005).

Sindrom rekstriksi paru setelah operasi dada dan perut ditandai dengan pengurangan substansial pada volume paru-paru (-30% dari kapasitas paru-paru FRC dan total, -40% sampai 60% dari FEV1) dengan peningkatan tekanan oklusi saluran udara tinggi dan pola pernapasan "dada" dangkal (Hedenstierna dan Edmark 2005). Perubahan pernapasan ini berpuncak dalam 24-48 jam pertama dan kembali normal selama 4-10 hari ke depan. Biasanya, ventilasi menit dipertahankan dengan meningkatkan frekuensi napas pada volume yang lebih kecil sedangkan penurunan aktivitas otot diafragma dikaitkan dengan ekspansi inspirasi dari dada bukan perjalanan perut normal (Nimmo dan Drummond 1996; Hedenstierna dan Rothen 2000; Groeben, Schafer et al, 2002). Setelah kasus bedah sederhana, jalur saraf dan otot diafragma tetap utuh fungsional seperti yang ditunjukkan oleh

12

Page 13: Managemen Medis Perioperatif Pada Pasien Dengan COPD

pemulihan ayunan tekanan trans diafragma ketika saraf frenikus elektrik dirangsang pada tingkat serviks atau ketika pasien hanya diminta untuk "mengambil napas dalam-dalam".

Secara keseluruhan, disfungsi diafragma pasca operasi dihubungkan dengan 3 mekanisme yang berbeda: cedera langsung saraf frenikus, penghambatan refleks saraf frenikus dan kegagalan pompa berotot.

Cedera langsung saraf frenikus agak jarang terjadi sebagai akibat dari perpanjangan saraf karena retraktor bedah atau malposisi leher, diseksi bedah, penerapan dingin kemasan atau infus cairan dingin di rongga dada. Dalam kasus gangguan pernapasan akut pasca operasi, dada dan fluoroskopi ultrasound sangat membantu untuk mendokumentasikan hemidiaphragma ditinggikan dengan gerakan ke atas paradoks selama inspirasi atau tes "mengendus".

Penghambatan refleks output saraf frenikus secara langsung terkait dengan manipulasi perut dan dada yang telah ditunjukkan untuk mengaktifkan jalur aferen meduler (Sprung et al 1992). Selain itu, dengan pengendali sentral meningkat menjadi napas, aktivitas otot interkostal meningkat melebihi aktivitas diafragma menghasilkan rasio PGA / Pes menurun dan pada gilirannya, gerakan diafragma berkurang. Tonus kegiatan berkelanjutan dari otot-otot dinding perut yang berlangsung selama fase awal inspirasi lebih lanjut dapat mencegah perpindahan ekor dari diafragma. Sebaliknya, relaksasi tiba-tiba otot-otot perut pada awal inspirasi telah terbukti untuk menghasilkan gerakan perut paradoksal pada beberapa pasien PPOK.

Akhirnya, studi klinis membandingkan laparoskopi dan tradisional "terbuka", pendekatan bedah ini mendukung hipotesis bahwa perubahan indeks dari fungsi diafragma sejajar dengan keparahan trauma bedah menyebabkan penghambatan refleks dari saraf frenikus dan inspirasi aktivitas otot. Tidak mengherankan, fungsi diafragma kurang terganggu dan volume pernafasan yang lebih baik setelah pendekatan bedah invasif minimal diberi tanggapan inflarrunatory dan neurohumoral yang lebih rendah (Ciofolo et al 1990; Hasukic et al 2002). Sebaliknya, stres yang berkepanjangan dan acara bedah septik mengaktifkan hipotalamus-hipofisis-adrenal axis menyebabkan atrofi progresif otot pernapasan melalui produksi glukokortikoid dan pelepasan sitokin, oksida nitrat dan oksigen yang diturunkan dari radikal bebas (Lanone et al 2005). Pada pasien ini kritis-sakit, penurunan kekuatan diafragma maksimal selama beberapa hari sejalan dengan penurunan massa otot akibat trauma oksidatif myofibrillar, meningkatkan aktivitas protease dan regulasi rendah pertumbuhan insulin. Dalam upaya untuk membatasi proses yang berlanjut, pelepasan beta-endorphin mengurangi aktivasi otot-otot pernapasan, dengan mengubah pola pernapasan yang menjadi lebih cepat dan dangkal. Selain gangguan neurohumoral dan inflamasi, berkelanjutan inspirasi yang berlebihan dapat mendorong diafragma berotot "kelelahan" sedangkan ketidakseimbangan elektrolit (hipo kalemia, hypophosphatemia, hipokalsemia), gizi buruk dan kegagalan peredaran darah lebih lanjut dapat mengganggu kapasitas dari otot-otot pernapasan.

Berbeda dengan opiat parenteral, menghalangi afferences saraf nosiseptif dan viseral oleh anestesi neuraxial pusat telah terbukti membalikkan pola pernapasan abnormal (Pansard et al 1993; Vassilakopoulos et al 2000). Memang, berikut adalah pembedahan perut, penyediaan TEH disertai dengan memperlambat laju pernapasan, meningkatkan volume tidal dan pemulihan fungsi diafragma (aktivitas elektromiografi dan tekanan transdiaphragmatic). Selain antar masukan aferen yang berasal dari dada dan perut, TEH menggunakan konsentrasi tinggi anestesi lokal juga blok keluaran eferen mencapai otot-otot ekspirasi perut dan otot interkostal, sehingga membatasi kemampuan untuk batuk untuk membersihkan sekresi bronkial (Polaner et al 1993). Selain itu, telah berspekulasi bahwa blokade motorik perut akan memfasilitasi perpindahan dialog phragmatic ke

13

Page 14: Managemen Medis Perioperatif Pada Pasien Dengan COPD

bawah dengan menekan gangguan aktivitas berkelanjutan otot tonik perut pada indeks aktivitas diafragma bukan dengan mengubah aktivitas diafragma nyata.

Secara keseluruhan, hewan dan percobaan klinis mendukung konsep bahwa perut / dada manipulasi mengaktifkan jalur meduler aferen menyebabkan penghambatan refleks dari output saraf frenikus sedangkan inflamasi Media tor (misalnya, sitokin), oksigen radikal bebas dan tidak cukup 02 pengiriman langsung dapat mengganggu kapasitas kontraktil dari myofibrilles diafragma.

Prinsip perawatan anestesi perioperatifDi antara pasien PPOK yang menjalani operasi besar, PPCs dan komplikasi jantung sama-sama

lazim dan secara klinis penting dalam hal tingkat kematian / tingkat morbiditas dan konsumsi sumber daya rumah sakit. Perawatan bundel, paket praktek berbasis bukti terbaik sedang diperkenalkan ke daerah beberapa obat untuk mempercepat proses pemulihan, mempersingkat tinggal di rumah sakit dan mengurangi biaya intervensi perawatan kesehatan. Pengetahuan medis saat ini mendukung pelaksanaan strategi perioperatif bertujuan untuk mengurangi risiko jantung, paru dan komplikasi com menular (Tabel 5) (Buhre dan Rossaint 2003; Lawrence et al 2006).

Konsultasi Preoperasi

Pasien beresiko tinggi komplikasi jantung dan pernapasan dapat diidentifikasi dengan menggabungkan informasi yang dikumpulkan dari riwayat klinis (usia, komorbiditas, penyakit penyerta) serta penilaian otonomi fungsional (ketergantungan sosial, toleransi exercise) dan keparahan dari stres bedah. Konsultasi anestesi bertujuan untuk menjawab pertanyaan kunci berikut: "Apakah cocok pasien untuk operasi? Apakah mungkin untuk memperbaiki kondisi pasien? Apakah ada modalitas terapi alternate ve? Apa saja risiko spesifik dan manfaat yang terkait dengan pilihan perawatan bedah?" (Anon 2002).

Untuk stratifikasi risiko jantung, hasil pemeriksaan preoperasi difokuskan pada skrining prediktor untuk mengetahui komplikasi jantung: aorta stenosis yang parah, gagal jantung parah, toleransi exercise yang buruk (<4 MET) serta lima item dari RCRI (operasi besar, koroner penyakit arteri, ginjal insuficiency, riwayat stroke, diabetes mellitus) (Fleisher et al 2006). Untuk melengkapi penilaian klinis dan fungsional, tes jantung harus dilakukan selektif untuk mengevaluasi luasnya penyakit iskemik / katup dan pada kinerja jantung.

Pemeriksaan ekokardiografi diamanfatkan pada kebanyakan pasien dengan riwayat akut paru, edema abnormalitas tanda klinis (murmur jantung, fine crackles di daerah basal paru, distensi vena leher, edema perifer) dan / atau toleransi exercise yang buruk (<4 MET) (Lee et al, 1999; Rohde et al, 2001).

Untuk stratifikasi risiko pernapasan, pasien harus secara spesifik ditanya tentang frekuensi serangan dispnea dan batuk, intensitas pengobatan medis, kebiasaan merokok, riwyat masuk rumah sakit sebelumnya dan infeksi baru (Smetana et al 2006). Prosedur yang berhubungan dengan faktor-faktor seperti lokasi sayatan, durasi intervensi dan kebutuhan transfusi harus didiskusikan dengan ahli bedah, dengan mempertimbangkan keadaan patologi, dan terapi invasive yang lebih sedikit. X ray thorak rutin dan tes laborat fungsional tidak membantu untuk penilaian risiko paru, kecuali jika

14

Page 15: Managemen Medis Perioperatif Pada Pasien Dengan COPD

diagnosis penyakit paru-paru tidak jelas, dalam kasus pemburukan klinis (yaitu, asma tidak terkontrol, onset demam atau dahak kuning kehijauan) dan pada pasien dijadwalkan untuk menjalani reseksi paru-paru. Sebuah survei besar yang dilakukan di Amerika Serikat mengungkapkan bahwa ahli anestesi memerintahkan tes fungsi paru pra operasi pada sekitar 60% dari calon bedah yang mengalami penyakit paru-paru kronis: 68% pasien dengan asma, 80% pasien COPD dan 53% pasien dengan scoliosis parah ( Anon 2002).

Persiapan PasienPengaturan pra operasi menyediakan "teaching window" atas dukungan yang efektif dari latihan olahraga, merokok dan alkohol dan instruksi untuk fisioterapi dada. Misalnya, pendidikan dalam manuver ekspansi paru mengurangi komplikasi paru yang lebih besar ketika informasi edukatif disediakan sebelum, bukan setelah operasi (Castillo dan Haas 1985). Latihan daya tahan muskuler dan re-nutrisi dapat meningkatkan kekuatan otot pernapasandan memfasilitasi weaning dari ventilator setelah operasi besar atau memanjang. Menariknya, program rehabilitasi telah menunjukkan cost-efektif pada pasien PPOK berat, dibandingkan dengan operasi pengurangan volume paru-paru (Nici et a12006).

Preoperative inhalasi agonis adrenergik beta-2 (salbutamol) dan agen antikolinergik (ipratropium)harus dilanjutkan sampai hari operasi pada semua gejala asmatik dan pada pasien COPD dengan hiperreaktivitas bronkial. Pengobatan jangka pendek dengan sistemik atau inhalasi kortikosteroid telah terbukti meningkatkan fungsi paru-paru dan menurunkan insiden wheezing intubasi endotrakea tanpa meningkatkan risiko infeksi atau luka dehisiensi (Silwanus et al 2004). Antibiotik harus diresepkan hanya jika karakter dahak atau lavage choalveolar menunjukkan infeksi dan, bila memungkinkan, prosedur bedah harus ditunda selama setidaknya 10 hari. Meskipun teofilin efektif untuk melemahkan bronkospasme dan memperkuat kontraktilitas diafragma, maka tidak ada lagi obat lini depan untuk mengelola kegagalan pernafasan akut dan ia memiliki potensi untuk menghasilkan aritmia fatal dan episode kejang. Untuk mencegah infark miokard, penatalaksanaan farmakologi kardioprotektif dianjurkan padapasien dengan penyakit arteri koroner atau dengan factor resiko (Fleisher et al 2006). Anti-adrenergik agen, trombosit anti-aggregants dan / atau statin harus dilanjutkan atau dimulai sebelum operasi (Karthikeyan dan Bhargava 2006). Meskipun beta-adrenergik blocker kontraindiksi pada kasusgangguan bronchospastic modrat sampai berat, sebuah meta-analisis mendukung keamanan beta selektif,-blocker pada kebanyakan pasien PPOK di antaranya FEV1 stabil. Pada kondisi tertentu, inhalasi agonis beta-2 adrenergik masih efektif dalam mengurangi bronchoconstrictive eksaserbasi akut, meskipun chronic beta-blockade (McGory et al 2005). Pasien dengan kombinasi bronchospastik dan penyakit arteri koroner mungkin bermanfaat dengan pemberian alfa-2 agonis adrenergik (misalnya, clonidine, dexmedetomidine). Memang, agen ini adalah tanpa efek bronchospastic dan telah terbukti untuk mencegah iskemia myokard ketika penurunan sekaligus mengurangi kebutuhan obat bius / analgesik dan menumpulkan thermoregulatory menggigil selama periode perioperatif (Salpeter et al 2004).

Mengingat risiko kematian mendadak dan gagal jantung akut, menunda operasi elektif disarankan pada pasien dengan gejala jantung terakhir (sinkop, angina) dan bahkan pada pasien tanpa gejala dengan stenosis kelas tinggi (rata-rata trans-valvular gradient 50 mm atau area katup <> 0,5

15

Page 16: Managemen Medis Perioperatif Pada Pasien Dengan COPD

em2/m2) (Wahid et al 2005). Bagi mereka dengan gagal jantung (NYHA kelas 3 dan 4), prosedur invasif yang lebih rendah harus dipertimbangkan dan pengobatan harus hati-hati dioptimalkan dengan menggabungkan beberapa obat seperti inhibitor enzim angiotensin converting, angiotensin II antagonis, beta-adrenergik bloker dan diuretik. Dalam kasus dipilih dari gagal jantung (misalnya, bundel blokade cabang), jantung kembali sinkronisasi dengan multi-lead stimulasi listrik mungkin meningkatkan penampilan ventrikel dan meningkatkan hasil jangka pendek perioperatif.

Penghentian merokok segera sebelum operasi kardiotoraks (kurang dari 2 bulan) tidak dihubungkan dengan pengurangan yang signifikan dalam PPCs (Warner et pada 1989; Barrera et al 2005). Sebuah "hang-over" efek sebanding dengan delirium dan produksi dahak yang meningkat sebenarnya dapat meningkatkan risiko PPCs, terutama atelektasis dan diam ransum bronchoaspi. ransum. Berhenti merokok berhasil dalam waktu kurang dari 30% kasus. Lebih sedikit jaringan penyembuhan masalah dan PPCs telah diamati hanya setelah lebih dari 8 minggu mengurangi merokok, dibandingkan dengan pasien tidak merokok (Moller et al, 2002; Barrera et a12005). Manfaat kesehatan yang luar biasa dalam berhenti merokok bertambah dengan semakin lamanya tidak merokok. Pertama, tingkat carboxyhemoglobin menurun dan efek rangsang nikotin dihapuskan dalam waktu 48 jam. Gejala pernapasan membaik setelah 4 sampai 6 minggu, dengan FEV, semakin besar di tahun pertama. Risiko untuk iskemi miokard dan kejadian serebrovaskular berkurang setelah 2-5 tahun dan risiko lebih rendah untuk kanker diamati setelah 5-9 tahun (Warner 2006).

Struktur Rumah Sakit dan Proses Perawatan KesehatanVolume prosedur dan aspek struktural

Selain perawatan kesehatan pelatihan keahlian khusus, profesional dan keterampilan teknis, hasil operasi sangat dipengaruhi oleh jumlah prosedur utama yang dilakukan di sebuah institusi tunggal, menekankan pentingnya proses organisasi dan pendekatan tim multidisiplin terkoordinasi (ticker et al 2001; Birkmeyer dan Birkmeyer 2006). Dalam rumah sakit bervolume besar dan jaringan kesehatan,hasil yang lebih baik dalam hal kematian pasien / morbiditas data dan pengendalian biaya dapat dicapai dengan mengadopsi praktek-praktek keselamatan yang ketat, strategi organ menerapkan pelindung, standar izing proses perawatan dan mendefinisikan jalur klinis untuk patien kelompok homogen. Di beberapa rumah sakit Amerika terkemuka, proyek peningkatan kualitas kesehatan difokuskan pada target spesifik seperti penggunaan perioperatif beta-blocker, komputerisasi dari file medis dan keperawatan serta ketersediaan unit HND 24 jam. Oleh karena itu, otoritas kesehatan beberapa dan perusahaan asuransi merekomendasikan rujukan berisiko tinggi pasien dan operasi kompleks untuk volume tinggi rumah sakit di mana semua fasilitas pendukung yang diperlukan tersedia dan dimana intervensi medis berbasis bukti dan hemat biaya dan perawatan yang lebih mungkin untuk diterapkan .

Prosedur Invasif Minimal

Dibandingkan dengan operasi standar "terbuka", prosedur invasif minimal (misalnya, prothesa aorta endovascular, laparoskopi) menghasilkan kerusakan jaringan yang lebih rendah dan pada gilirannya, respon inflamasi neurohumoral dilemahkan (Ciofolo et al 1990; Hasukic et al 2002). Akibatnya, pendekatan invasif minimal menghasilkan keuntungan utama dalam hal tinggal di rumah sakit lebih

16

Page 17: Managemen Medis Perioperatif Pada Pasien Dengan COPD

pendek, makan dan ambulasi lebih awal, dengan kebutuhan yang lebih rendah untuk obat analgesik dan peresepan yang lebih baik dari volume paru-paru fungsional (Johnson et al 2005; Aziz dkk 2006). Karena pasien PPOK yang memerlukan rekonstruksi"terbuka" aorta ab dominal, pendekatan retro-peritoneal harus lebih disukai karena memproduksi penurunan yang lebih rendah dalam fungsi pernapasan dan PPCs lebih sedikit daripada laparotomy median klasik (Compton et a12005).

Nasogastrik drainase

Drainase nasogastrik rutin gagal untuk mempercepat pemulihan usus dan bahkan dapat meningkatkan risiko bronkoaspirasi silent. Percobaan kontrol random telah menunjukkan bahwa drainase nasogastrik selektif pada fungsi usus lebih awal dan lebih sedikit PPCs dibandingkan dengan drainase lambung rutin (Nelson et al 2005). Oleh karena itu, indikasi untuk dekompresi nasogastrik harus dibatasi pada situasi darurat (perut akut, trauma kepala, overdosis obat), distensi abdomen dan mual muntah berulang atau.

Agen-Agen dan Tehnik Anasthesi

Anestesi Umum

Bila mungkin, blokade neuraxial pusat, saraf perifer atau blokade anestesi umum tanpa intubasi trakea dapat dipertimbangkan pada pasien PPOK. Sungkup laring menawarkan kelebihan beberapa minimal iritasi saluran nafas bagian atas dibandingkan dengan endotrakeal tube; berbagai mode ventilasi dibantu spontan, ventilasi tekanan dukungan atau volume yang dikendalikan ventilasi dapat diterapkan tergantung pada status pernapasan pasien dan rencana intervensi (Berry et al 1999).

Setelah intubasi endotrakeal, wheezing lebih mungkin terjadi ketika barbiturat digunakan sebagai agen induksi anestesi, dibandingkan dengan propofol, ketamin atau volatile anestesi (Brown dan Wagner 1999; Goff et al 2000). Untuk mennurunkan refleks bronkhokonstriksi karena intubasi endotrakheal atau penyedotan, dilakukan pengobatan profilaksis dengan lidokain (intravena atau inhalasi) dan / atau agonis beta2-adrenergik yang direkomendasikan pada pasien penderita asma dan PPOK dengan respon bronchospastik (Groeben, Schlicht et al 2002). Intravena lidokain memiliiki dosis 1-2 mg / kg berat badan telah terbukti melemahkan histamin-induced bronkhokonstriksi pada sukarelawan penderita asma sedangkan lidokain nebulasi menghasilkan iritasi saluran napas transien reaktivitas bronkial tumpul diikuti reaksi yang terjadi pada plasma lebih rendah daripada konsentrasi setelah pemberian sistemik.

Seperti yang ditunjukkan sebelumnya, anestesi volatile adalah agen bronchodilating efektif dan saat ini direkomendasikan untuk memperbaiki pemeliharaan anestesi pada pasien COPD dengan hyperreactive saluran napas (Rooke et al, 1997; Volta et al 2005). Sehubungan dengan keberhasilan mereka dalam mengobati intraoperatif bronchospasm , anestesi volatile adalah equipotent (isoflurane, desflurane, sevofluran), kecuali desflurane yang bahkan dapat menimbulkan batuk, bronkospasme, spasme laring dan hipersekresi bron chial (Di kmen et al 2003). Dalam kasus yang jarang dimana hipoksemia adalah disebabkan penghambatan respon HPV, pemberian anestesi volatile harus diganti dengan infus kontinu propofol intravena atau ketamin.

17

Page 18: Managemen Medis Perioperatif Pada Pasien Dengan COPD

Ketika relaksan otot yang diperlukan, short-acting agen dititrasi untuk mempertahankan kedalaman yang memadai blokade otot sebagaimana dinilai oleh tes neuromuskuler. Sisa blokade neuromuskuler harus dikembalikan sebelum ekstubasi trakea dengan pemberian cholinesterase inhibitor (prostigmine).

Kontol mekanik ventilasi dan inspirasiFraksi oksigenPada pasien dengan paru-paru sehat, manuver perekrutan paru-paru lebih efektif daripada penerapan PEEP terus menerus untuk mencegah kembalinya intra-operasi atelektasis (Rothen dkk 1999; Oczenski et al 2004). Pembukaan kembali 50u/0-100% dari daerah Atel ectatic memerlukani tekanan 30 sampai 40 cm H2O harus dipertahankan selama 7 detik pada pasien dengan paru-paru sehat. Seperti inflasi yang besar sesuai dengan volume inspirasi maksimal (kapasitas vital) yang mungkin dikompensasi secara sementara oleh hemodinamiko dengan mempengaruhi preload, afterload dan kontraktilitas dari ventrikel. Pada pasien obesitas, Wahlen dkk menunjukkan kelebihan dari perekrutan alveolar untuk meningkatkan oksigenasi. Namun, efek positif ventilasi berumur pendek dan terkait dengan persyaratan yang lebih besar untuk beberapa vasopressor (FX Whalen et al 2006).

Pada pasien PPOK, intermiten tekanan ventilasi positif (IPPV) dapat memperburuk hiperinflasi dinamis dan menyebabkan penutupan dini saluran udara kecil yang mengarah perbandingan yang lebih jauh untuk ventilasi / perfusi (Alvisi dkk 2003). Dengan demikian, pengaturan ventilasi harus tepat disesuaikan untuk memaksimalkan pengosongan gas alveolar dan menghindari hiperinflasi dinamis (frekuensi tingkat rendah, inspirasi / ekspirasi rasio; PEEP intrinsik) (Gambar 2).

Modus tekanan ventilasi (PV) dengan aliran lambat memiliki keunggulan potensi penurunan tekanan jalan nafas puncak dan memberikan distribusi yang lebih homogen dari aliran udara inspirasi pada tekanan yang mengembang lebih rendah atau sama rata (Yu et al 2006). Aliran udara terus menerus dari ventilator dua tingkat tekanan saluran udara positif (BiPAP: dua tingkat yang berbeda dari Tampilan saluran udara inspirasi dan ekspirasi) dapat memberikan tekanan adaptif untuk mencegah runtuhnya saluran napas dinamis yang cenderung terjadi dengan ventilasi standar pada pasien PPOK (Ferrer et al 2002). Aliran memicu selama BiPAP memungkinkan bernapas spontan sepanjang siklus ventilasi mekanik, memungkinkan gerakan yang tidak terbatas dari diafragma. Pada pasien pasca operasi dan pada hewan percobaan dengan bronkokonstriksi, BiPAP telah terbukti memperbaiki ketidakseimbangan ventilasi-perfusi dan pertukaran gas darah bila dibandingkan dengan IPPV konvensional (dengan atau tanpa PEEP).

Pada pasien dengan ALI, pengaturan PEEP sedikit lebih tinggi dari titik perubahan yang lebih rendah pada kurva tekanan-volume dan batas volume ventilasi tidal (5-7 ml / kg) telah menunjukkan untuk mencegah atelektasis siklik, untuk meredam stres mekanik dan biologis dan bertindak pada tingkat alveolar-kapiler untuk meningkatkan hasil pasca operasi (Moran et al 2005). Hampir sama pengaturan ventilasi pelindung telah dibuktikan untuk menumpulkan respon inflamasi paru, oleh karenanya, BiPAP atau PV dengan volume tidal rendah dan manuver perekrutan paru-paru saat ini menganjurkan selama operasi besar, terutama reseksi paru pada pasien PPOK (Licker, de Perrot et al

18

Page 19: Managemen Medis Perioperatif Pada Pasien Dengan COPD

2003; Fernandez -Perez dkk 2006).

Selain profilaksis antibiotik iv dan pemeliharaan normothermia dan normoglycemia, pengiriman daritinggi persentase oksigen inspirasi (80% secara intraoperative dan oksigen tambahan hingga 2 jam setelah operasi) telah terbukti menurunkan risiko infeksi luka sementara itu dann berpotensi dapat meningkatkan produksi oksigen yang diturunkan radikal bebas (Belda et al 2005). Meskipun pembentukan atelektasis resorpsi terjadi pada semua pasien bernapas dengan oksigen dalam waktu 7 menit setelah induksi anestesi, jumlah daerah atelectatic jauh lebih sedikit pada pasien berventilasi dengan konsentrasi 80% oksigen pernafasan dan hampir tidak ada pada mereka berventilasi dengan 60%. Demikian, pencegahan resorpsi gas alveolar dan prservasi aktivitas bakterisidal sel-sel inflamasi dapat dicapai dengan menetapkan fraksi oksigen inspirasi antara 50% -80% dan periodik dengan melakukan "manuver kapasitas vital". Ini kontras proposal baru dengan praktek saat ini pengaturan inspirasi terendah oksigen fraksi, biasanya sekitar 30% yang secara teoritis meminimalkan resiko kerusakan oksidatif.

Regional anestesi dan analgesia

Penyediaan bantuan nyeri yang efektif statis dan dinamis merupakan prasyarat untuk mempercepat pemulihan pasca operasi. Regional anestesi teknik dan pasien yang dikendalikan "on demand" rejimen obat adalah landasan strategi analgesik modern. Dengan menggabungkan agen analgesik yang berbeda (opioid, parasetamol, non-steroid anti-inflamasi), efektivitas kontrol nyeri dapat lebih meningkat sementara efek samping obat dapat diminimalkan (Sedasi, depresi pernafasan, mual dan muntah) (Elia et al 2005; Marret et al 2005).Beberapa meta-analisis mendukungan konsep bahwa daerah teknik anestesi meningkatkan hasil bedah tidak hanya melalui kontrol nyeri yang lebih baik tetapi juga melalui atenuasi dari respon neuroendokrin operasi, pemeliharaan fungsi kekebalan tubuh, perbaikan oksigenasi jaringan dan modulasi fase katabolik. Penggunaan intraoperative teknik neuraxial (tulang belakang / epidural) telah dikaitkan dengan penurunan tingkat kematian operatif dan sedikit episode trombosis vena dalam, emboli paru dan stroke serta kebutuhan yang lebih rendah untuk transfusi darah. Seperti saling melengkapi, pemeliharaan analgesia epidural thoraks (TEA) selama beberapa hari setelah operasi perut dan dada besar telah terbukti mengurangi angka kematian operatif serta kejadian miokard infark, aritmia, atelektasis, bronkopneumonia dan kegagalan pernafasan (Beattie et al 2001; Rigg et al, 2002; Lawrence dkk 2006; Licker et al 2006). Dengan menghalangi rangsangan nosiseptif aferen dan menghambat aliran keluar simpatik eferen, TEA memberikan perlindungan jantung dan paru seperti yang ditunjukkan oleh perbaikan neraca oksigen miokard, penghambatan hyperaggregability trombosit, keterbatasan miokard infark dan ukuran dan pelestarian fungsi diafragma (Pansard et al 1993; Polaner et al 1993; Groban et al, 1999; Liu et al 2004). Selain itu, waktu untuk ekstubasi dipersingkat pada pasien dengan TEA sebagai dosis yang lebih rendah dari opiat dan anestesi obat diberikan secara intraoperative. Pemulihan lebih cepat motilitas usus memungkinkan pemulihan awal dari asupan oral dan menumpulkan dari katabolisme protein memfasilitasi mobilisasi cepat, menghindari konsekuensi dari istirahat dengan trombosis pengecilan otot, kelelahan dan trombosis vena (Carli et al, 2002).Dibandingkan dengan teknik analgesik epidural, satu suntikan intra-teka morfin (0,2 mg-I) di lokasi lumbal lebih sederhana, lebih cepat dan lebih mudah dilakukan oleh seseorang yang kurang berpengalaman. Sebuah meta-analisis ini termasuk 668 pasien bedah gagal untuk

19

Page 20: Managemen Medis Perioperatif Pada Pasien Dengan COPD

mendokumentasikan manfaat dalam hal kematian dan komplikasi kardiopulmoner utama setelah operasi jantung (Liu et al 2004). Namun demikian, dosis yang jauh lebih rendah dari opiat wajib memberikan analgesia melalui rute epidural / spinal. Misalnya, intra-teka morfin adalah 100 kali lebih kuat daripada setelah injeksi sistemik, karena adanya reseptor opioid pada substantia gelatinosa dari sumsum tulang belakang. Studi klinis telah menunjukkan efek menguntungkan dari intra-teka opiat pada endpoint pengganti diantara lain berapa: modulasi respon stres perioperatif, mengurangi sakit untuk 24 jam pertama setelah operasi, memperpendek waktu ekstubasi dan peningkatan fungsi pernapasan awal pasca operasi (Liu et al 2004). Yang terpenting, efek depresi pernafasan berhubungan dengan intra-thekal morfin dapat terjadi dalam 24 jam pertama setelah injeksi dosis bila melebihi 0,5 mg (Bailey et al 1993).Meskipun terdapat keuntungan pada neuraxial pusat, kekhawatiran telah dikemukakan mengenai dua jenis komplikasi: serangan jantung karena overdosis obat bius atau obat penenang konkuren (2,5-6,4 per 10.000 anestesi spinal; 0-2,5 per 10.000 anestesi epidural) dan hematoma tulang belakang dengan sindrom kelumpuhan (1/1, 150.000 dengan anestesi epidural dan 1/220, 000 dengan anestesi spinal) (Horlocker et al 2003). Untuk alasan dimengerti, ketakutan kejadian hematoma dan cedera saraf tulang belakang akan terus mengkhawatirkan beberapa ahli anestesi untuk melakukan teknik anestesi regional pada pasien risiko rendah dengan berbagai kombinasi opiat parenteral, non-steroid anti-inflamasi dan parasetamol mungkin lebih disukai. Sebaliknya, pada pasien pada risiko tinggi untuk komplikasi kardiopulmoner, analisis risiko-manfaat berbicara dalam mendukung blokade neuraxial pusat. Isu-isu penting harus didiskusikan sebelum operasi dengan setiap pasien. Misalnya, calon pasien bedah yang menjalani operasi aorta besar memiliki risiko -5% rata-rata 3% dari infark miokard dan resiko 5% -10% dari PPCs. Mengingat fakta bahwa blokade neuraxial pusat menyumbangkan penurunan 30% menjadi 50% risiko rata-rata relatif untuk komplikasi jantung dan paru, infark miokard kemudian satu dan satu PPC dapat dihindari untuk setiap 30 sampai 60 pasien dirawat. Selanjutnya, untuk setiap orang yang menderita lebam tulang belakang (1 dalam 150.000), dapat diperkirakan bahwa TEA dapat mencegah setidaknya 40 hingga 100 kematian pada kelompok berisiko tinggi pasien PPOK yang menjalani operasi besar.

Pemantauan Meskipun tidak ada perangkat, pemantauan tunggal telah terbukti meningkatkan hasil di ruang operasi dan ICU, kombinasi dari EKG, Oxymetry pulse, pemantauan tekanan darah dan kapnografi dapat mengidentifikasi kritis jantung-paru dan memicu peristiwa langkah-langkah perbaikan. Mengingat kurangnya manfaat dan risiko tambahan yang terkait dengan kateterisasi jantung kanan, ada kecenderungan yang lebih rendah menggunakan alat Monitor invasif seperti USG Doppler, arteri analisis pulsa kontur dan teknik thermodilution sederhana, untuk menilai volume darah beredar, paru ekstravaskuler kadar air dan indeks kontraktilitas ventrikel (Rocco et al 2004; Cholley dan Payen 2005). Studi klinis masa depan masih diperlukan untuk menunjukkan manfaat hasil akhirnya berorientasi pada tujuan perawatan hemodinamik.

Sebagai tingkat moderat hipotermia (34 ° C-35 ° C) telah dikaitkan dengan insiden yang lebih tinggi dari iskemia miokard dan infeksi luka, suhu tubuh harus diukur dan dipertahankan di atas 36 ° C dengan mencegah kehilangan panas dan menggunakan perangkat pemanasan (selimut udara berdenyut , cairan infus penghangat, perangkat kasur hangat).

20

Page 21: Managemen Medis Perioperatif Pada Pasien Dengan COPD

Pemantauan fungsi neuromuskuler adalah wajib untuk memastikan kedua kedalaman relaksasi otot dan pemulihan fungsional sebelum ekstubasi trakea. Kemampuan untuk mengangkat kepala selama 5 detik, untuk membuka mata pada permintaan atau mengambil napas dalam-dalam inspirasi adalah tanda-tanda pemulihan neuromuskuler tidak dapat diandalkan dan harus rutin comple mented oleh neuromuskuler pengujian (Pino 2006). Modus yang berbeda dari stimulasi listrik telah diusulkan, dimana metode kereta-dari-empat dan double-burst banyak digunakan. Otot Squeletal sangat bervariasi dalam kepekaan mereka untuk relaksan otot: diafragma yang paling tahan sedangkan otot kecil perifer tangan dan kaki, saluran udara bagian atas dan otot-otot faring lebih sensitif (Eriksson 1994).

Peningkatan pengolahan sinyal electroencephalographic dan menimbulkan potensial-potensial dapat membantu untuk target kedalaman yang cukup anestesi. Bukti awal menunjukkan bahwa pemberian anestesi umum dipandu oleh bispectral Indeks dari electroencephalogram menurunkan risiko kesadaran intraoperatif dan bahkan mungkin meningkatkan keseluruhan pasca operasi hasil (Anon 2006). Memang, dua prospec studi tive termasuk lebih dari 6.000 pasien menunjukkan bahwa pemeliharaan lebih dari tingkat anestesi dikaitkan dengan tinggi 1-tahun angka kematian pasca operasi pada pasien berusia 40 tahun atau lebih menjalani operasi noncardiac utama (Ekman et al 2004; Monk et al 2005). Risiko kematian dalam waktu 1-tahun setelah operasi meningkat hampir 20% untuk setiap jam yang pasien memiliki monitor skor indeks bispektrum kurang dari 45 (yang menunjukkan tingkat yang berlebihan hipnotis dalam).

Manuver Ekspansi Paru

Untuk melengkapi manuver intraoperatif kapasitas vital, berbagai teknik fisioterapi pernapasan seperti spirometri insentif, latihan pernapasan, pernapasan diaphrag matic, intermiten tekanan positif pernapasan, saluran udara tekanan positif kontinu (CPAP) atau non-invasif ventilasi tekanan positif (NIPPV) adalah saat ini diterapkan untuk mencegah jatuhnya pasca operasi pada volume paru-paru fungsional dan / atau membuka kembali daerah atelectatic. Meskipun batas Bias beberapa penafsiran studi klinis yang paling (masuknya kelompok risiko rendah, titik akhir klinis didefinisikan kurang tepat, non-standar intervensi pernapasan), meta-analisis dari 14 uji coba terkontrol secara acak menunjukkan bahwa spirometri insentif dan pernapasan dalam latihan setiap mengurangi sekitar 50% risiko komplikasi pasca operasi. Kombinasi dari teknik-teknik ini gagal untuk memberikan manfaat tambahan (Thomas dan McIntosh 1994).

Pemberdayaan pasien dapat diperkuat dengan konsultasi informasi pra operasi termasuk demonstrasi praktis dari manuver pernapasan profilaksis yang ditujukan untuk membalikkan disfungsi diafragma konsekuen untuk operasi perut dan dada atas (Mackay dkk 2005). Dampak positif dari analgesia yang optimal tanpa sedasi berlebihan dan mobilisasi dini juga harus ditekankan.

Aplikasi profilaksis CPAP atau NIPPV sama efektif tetapi kurang efisien biaya, karena membutuhkan perangkat yang lebih canggih dan ketersediaan personil rumah sakit yang terlatih. Penggunaan CPAP harus dibatasi untuk pasien tidak dapat melakukan latihan pernapasan (atau spirometri insentif). NIPPV yang memberikan tekanan ventilasi dukungan positif ditambah PEEP melalui masker wajah-, telah muncul sebagai kemajuan yang signifikan dalam pengelolaan OAS, edema paru kardiogenik dan kegagalan pernafasan, terutama pada pasien pasca operasi dan mereka yang memiliki eksaserbasi akut PPOK (Joris et al, 1997, 2005; Ram et al 2005; Skuadron et al 2005; Fernandez-Perez

21

Page 22: Managemen Medis Perioperatif Pada Pasien Dengan COPD

dkk 2006; Yu et al 2006). Pada pasien obesitas setelah gastroplasty, penerapan NIPPV profilaksis telah terbukti mengurangi besarnya sindrom paru restriktif (Doris et al 1997). Dengan membongkar otot-otot inspirasi dan meningkatkan pertukaran gas, NIPPV menghindari kebutuhan untuk kembali intubasi pasien dan dengan demikian menurunkan risiko infeksi nosokomial.

Cairan infus

Sampai saat ini, algoritma pemberian cairan perioperatif didasarkan pada asumsi bahwa defisit pra operasi, cairan pemeliharaan, kerugian ruang ketiga dan kehilangan darah harus diganti dengan kristaloid atau kombinasi koloid dan kristaloid. Untuk pembedahan perut besar, aturan yang diusulkan untuk memberi sejumlah besar cairan garam (kristaloid 10-15 ml / kg / jam intraoperatively diikuti oleh 1,5-2 L per hari pasca operasi), menghasilkan keseimbangan cairan positif L 1-3 dan kelebihan berat badan sering melebihi 10% selama 3 hari pertama pasca operasi (Cirocott et al 2005). Intravaskuler volume plasma yang berlebihan menyebabkan akumulasi cairan ekstravaskuler dan edema jaringan yang akan mempengaruhi pernapasan pasien / gagal jantung, infeksi luka, dehiscence anastomotic dan memperpanjang puasa. Dalam sebuah penelitian retrospektif besar, Arieff (1999) menemukan bahwa edema paru akut terjadi pada 7,6% pasien yang menjalani prosedur bedah yang beragam (n = 612/8052). Menariknya, hidrasi berlebihan yang mengarah ke retensi cairan bersih melebihi 90 ml / kg / hari adalah faktor penyumbang tunggal pada 2,6% pasien, yang bebas dari penyakit kardiopulmuner.

Berdasarkan studi terkontrol prospektif, dua strategi infus cairan telah diusulkan: (1) tujuan hemodinamik- loading cairan diarahkan bertujuan untuk meningkatkan cardiac output dan memperbaiki hepovolemia tersembunyi dan (2) pemberian cairan ketat (tidak ada kompensasi kehilangann ruang ketiga dan blokade epiduralkombinasi) berlanjut selama 2-3 hari dan menargetkan kenaikan berat badan maksimal 10% (Grocott et al 2005).

Sebuah rejimen cairan "kering" telah diadopsi secara luas dalam operasi paru yang mengakibatkan penurunan risiko AL1. Pada pembedahan perut besar, tiga penelitian dengan metode CRT mendukung efek keselamatan dan menguntungkan secararestriktif: hemodinamik tetap stabil, fungsi ginjal tidak terganggu, komplikasi pasien lebih sedikit, fungsi pencernaan pulih lebih awal dan waktu menuju rumah sakit lebih cepat (Grocott et al 2005).

Kesimpulan Sampai saat ini, dokter perioperatif dihadapkan dengan peningkatan jumlah pasien dengan penyakit COPD dan kardiovaskular yang tidak boleh ditolak untuk mendapatkan terapi bedah. Selain komorbiditas pasien, factor yang berhubungan dengan prosedur (intervensi thorakoabdominal bagian atas, operasi yang lama) adalah faktor risiko utama untuk PPCs dan efek samping jantung yang nyata akan berdampak pada ketahanan pasien jangka panjang, sumber daya rumah sakit dan biaya kesehatan.

Bukti ilmiah yang kuat mendukung konsep bahwa keselamatan pasien dan hasil bedah dapat ditingkatkan dengan skrining pra operasi pasien berisiko tinggi, optimisasi fungsi organ, kontrol dari respon neuroendokrin dan inflamasi serta standarisasi proses perawatan kesehatan.

22

Page 23: Managemen Medis Perioperatif Pada Pasien Dengan COPD

Beberapa kemajuan dalam operasi dan perawatan anestesi telah terbukti sangat bermanfaat pada pasien PPOK:

meminimalkan prosedur invasif dan drainase nasogastrik selektif Implementasi strategi kardioprotektif (misalnya beta-blocker, anti-platelet aggregants,

alpha2-agonis, statines, analgesia epidural torak) Blockade anestesi regional dan lanringeal mask untuk meminimalisasi instrument airway Agen anestesi volatile dengan sifat bronkodilatasi (missal svofluran) Monitoring fisiologi untuk mencapai volume sirkulasi yang memadai, pertukaran gas darah,

kedalaman anestesi dan aktifitas neuromuskuler. Pencegahan dan terapi untuk atelektasis dengan lung recruitment maneuvers sambil

menghindari cedera paru-paru yang disebabkan oleh stres (low tidal volume ventilation) Multimodal analgesic untuk memblok nociceptive Anestesi cepat dan NIPPV untuk menghindari efek buruk dari intubasi trakea dan ventilasi

mekanik yang berkepanjangan. Pemeliharaan normothermia, kontrol ketat glukosa darah dan penyediaan oksigen

tambahan untuk mengurangi infeksi luka. Penyesuaian infus cairan (koloid, cristalloids, produk darah) untuk mempertahankan volume

sirkulasi yang memadai, pembekuan darah dan pengiriman oksigen ke semua jaringan

23