laporan kasus copd

48
LAPORAN KASUS STROKE HEMORAGIK Oleh: ANNISA 060100088 ANDY 060100134 DINDA SARTIKA F. J. 060100188 WINDA OLYSIA P. 060100206 VIJAY TYNDALL LOPEZ 060100296 Pembimbing: Dr. Suherman A. Tambunan DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF

Upload: anusha-chandransikaran

Post on 14-Jul-2016

40 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

copd

TRANSCRIPT

LAPORAN KASUS

STROKE HEMORAGIK

Oleh:

ANNISA 060100088ANDY 060100134DINDA SARTIKA F. J. 060100188WINDA OLYSIA P. 060100206VIJAY TYNDALL LOPEZ 060100296

Pembimbing:Dr. Suherman A. Tambunan

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAFFAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARARSUP H. ADAM MALIK

MEDAN2010

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan

karunia-Nya sehingga pembuatan karya tulis berupa laporan kasus departemen

neurologi yang berjudul “Stroke Hemoragik” dapat tersusun dan terselesaikan tepat

pada waktunya.

Terima kasih kami ucapkan kepada Dr. Suherman A. Tambunan, selaku

pembimbing penulisan yang telah memberikan arahan dalam penyelesaian laporan

kasus ini.

Adapun pembuatan tulisan ini bertujuan untuk mendiskusikan kasus stroke

hemoragik, mulai dari pengertian hingga penatalaksanaannya pada pasien yang dirawat

inap selama masa kepaniteraan klinik penulis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam

Malik Medan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan mendukung

penerapan klinis yang lebih baik dalam memberikan kontribusi positif sistem pelayanan

kesehatan secara optimal.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan yang telah disusun ini masih

banyak terdapat kekurangan di dalam penulisannya, baik di dalam penyusunan kalimat

maupun di dalam teorinya, mengingat keterbatasan dari sumber referensi yang

diperoleh penulis serta keterbatasan penulis selaku manusia biasa yang selalu ada

kesalahan. Oleh karena itu, penulis membutuhkan kritik dan saran. Semoga karya tulis

ini bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, Mei 2010

Penulis

i

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR…………………………………………………………..…. i

DAFTAR ISI……………………………………………………………………..… ii

BAB 1 Pendahuluan…………………………………………………………….….. 1

1.1. Latar Belakang………………………………………………………………… 1

1.2. Manfaat………………………………………………………………………... 2

BAB 2 Laporan Kasus……………………………………………………………... 3

BAB 3 Tinjauan Pustaka…………………………………………………………… 26

3.1. Pengertian Stroke dan Stroke Hemoragik……………………………………... 26

3.2. Epidemiologi Stroke dan Stroke Hemoragik………………………………….. 26

3.3. Etiologi Stroke Hemoragik……………………………………………………. 26

3.4. Faktor Resiko Stroke Hemoragik…………………………………………….... 27

3.5. Patogenesis Stroke Hemoragik………………………………………………... 32

3.6. Patofisiologi Stroke Hemoragik……………………………………………….. 33

3.7. Gejala Klinis Stroke Hemoragik………………………………………………. 35

3.8. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang Stroke Hemoragik………………........ 38

3.9. Penatalaksanaan Stroke Hemoragik…………………………………………… 41

3.10. Komplikasi dan Prognosis Stroke Hemoragik……………………………….. 47

3.11. Pencegahan Stroke Hemoragik......................................................................... 48

BAB 4 Diskusi Kasus………………………………………………………………. 49

BAB 5 Permasalahan………………………………………………………………. 50

BAB 6 Penutup…………………………………………………………………….. 52

6.1. Kesimpulan…………………………………………………………..………... 52

6.2. Saran…………………………………………………………………..………. 53

Daftar Pustaka…………………………………………………………………….... 54

ii

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang

mempunyai karakteristik keterbatasan jalan napas yang irreversibel atau reversibel

parsial. Gangguan yang bersifat progresif ini disebabkan inflamasi kronik akibat

pajanan partikel atau gas beracun yang terjadi dalam waktu lama dengan gejala

utama sesak napas, batuk dan produksi sputum.

Beberapa penelitian terakhir menemukan bahwa PPOK sering disertai

dengan kelainan ekstra paru yang disebut sebagai efek sistemik pada PPOK.

American Thoracic Society (ATS) melengkapi pengertian PPOK menjadi suatu

penyakit yang dapat dicegah dan diobati ditandai dengan keterbatasan aliran udara

yang tidak sepenuhnya reversibel. Keterbatasan aliran udara ini bersifat progresif

dan berhubungan dengan respons inflamasi paru abnormal terhadap partikel atau

gas beracun terutama disebabkan oleh rokok. Meskipun PPOK mempengaruhi

paru, tetapi juga menimbulkan konsekuensi sistemik yang bermakna.

Keterbatasan aktivitas merupakan keluhan utama penderita PPOK yang

sangat mempengaruhi kualitas hidup. Disfungsi otot rangka merupakan hal utama

yang berperan dalam keterbatasan aktivitas penderita PPOK. Inflamasi sistemik,

penurunan berat badan, peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler, osteoporosis

dan depresi merupakan manifestasi sistemik PPOK. Efek sistemik ini penting

dipahami dalam penatalaksanaan PPOK sehingga didapatkan strategi terapi baru

yang memberikan kondisi dan prognosis lebih baik untuk penderita PPOK.

Menurut WHO, PPOK merupakan salah satu penyebab kematian yang

bersaing dengan HIV/AIDS untuk menempati tempat ke-4 atau ke-5 setelah

Penyakit Jantung Koroner, Penyakit Serebrovaskuler, dan Infeksi Saluran Akut

(COPD International, 2004).

Di level global, PPOK adalah masalah kesehatan masyarakat yang

signifikan dan menduduki peringkat keempat sebagai penyebab penyakit dan

kematian di dunia, dan pada tahun 2030 diperkirakan akan menduduki peringkat

ketiga sebagai penyebab kematian (Papadopoulos, 2011).

WHO memperkirakan, 600 juta orang menderita PPOK di seluruh dunia.

Dan ini diperkirakan akan terus meningkat. Jumlah penderita PPOK di Amerika

Serikat 12,1 juta orang dan di Asia Pasifik sebanyak 56,7 juta orang (GOLD,

2010).

Di Indonesia, diperkirakan terdapat 4,8 juta (5,6%) penderita PPOK. Dan

pada penelitian Khairun Nisa (2010) jumlah penderita PPOK di RSUP H. Adam

Malik Medan pada tahun 2009 sebanyak 54 orang. Kejadian ini akan terus

meningkat yang salah satunya disebabkan oleh banyaknya jumlah perokok karena

90% penderita PPOK disebabkan oleh current smoker atau ex-smoker (JRI, 2007).

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI.

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah suatu penyakit yang

dikarakteristikkan oleh adanya hambatan aliran udara secara kronis dan

perubahan-perubahan patologi pada paru, dimana hambatan aliran udara saluran

nafas bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversibel dan berhubungan dengan

respon inflamasi yang abnormal dari paru-paru terhadap gas atau partikel yang

berbahaya.1,2

2.2 EPIDEMIOLOGI.

Pada studi populasi selama 40 tahun, didapati bahwa hipersekresi mukus

merupakan suatu gejala yang paling sering terjadi pada PPOK, penelitian ini

menunjukkan bahwa batuk kronis, sebagai mekanisme pertahanan akan

hipersekresi mukus di dapati sebanyak 15-53% pada pria paruh umur, dengan

prevalensi yang lebih rendah pada wanita sebanyak 8-22%. Studi prevalensi

PPOK pada tahun 1987 di Inggris dari 2484 pria dan 3063 wanita yang berumur

18-64 tahun dengan nilai VEP1 berada 2 simpang baku di bawah VEP prediksi,

dimana jumlahnya meningkat seiring usia, khususnya pada perokok.16

WHO memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK

akan meningkat sehingga sebagai penyebab penyakit tersering peringkatnya

meningkat dari ke-12 menjadi ke-5 dan sebagai penyebab kematian tersering

peringkatnya juga meningkat dari ke-6 menjadi ke-3. Pada 12 negara Asia Pasifik,

WHO menyatakan angka prevalensi PPOK sedang-berat pada usia 30 tahun

keatas, dengan rerata sebesar 6,3%, dimana Hongkong dan Singapura dengan

angka prevalensi terkecil yaitu 3,5% dan Vietnam sebesar 6,7%.

Indonesia sendiri belumlah memiliki data pasti mengenai PPOK ini

sendiri, hanya Survei Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI 1992 menyebutkan

bahwa PPOK bersama-sama dengan asma bronkhial menduduki peringkat ke-6

dari penyebab kematian terbanyak di Indonesia.1,2,7

Tingkat morbiditas dan mortalitas PPOK sendiri cukup tinggi di seluruh

dunia. Hal ini di buktikan dengan besarnya kejadian rawat inap, seperti di

Amerika Serikat pada tahun 2000 terdapat 8 juta penderita PPOK rawat jalan dan

sebesar 1,5 juta kunjungan pada Unit Gawat Darurat dan 673.000 kejadian rawat

inap. Angka kematian sendiri juga semakin meningkat sejak tahun 1970, dimana

pada tahun 2000, kematian karena PPOK sebesar 59.936 vs 59.118 pada wanita vs

pria secara berurutan. Di bawah ini di gambarkan angka kematian pria per

100.000 populasi

2.3. Faktor Risiko.

PPOK yang merupakan inflamasi lokal saluran nafas paru, akan ditandai

dengan hipersekresi mucus dan sumbatan aliran udara yang persisten. Gambaran

ini muncul dikarenakan adanya pembesaran kelenjar di bronkus pada perokok dan

membaik saat merokok di hentikan. Terdapat banyak faktor risiko yang diduga

kuat merupakan etiologi dari PPOK. Faktor-faktor risiko yang ada adalah genetik,

paparan partikel, pertumbuhan dan perkembangan paru, stres oksidatif, jenis

kelamin, umur, infeksi saluran nafas, status sosioekonomi, nutrisi dan

komorbiditas.1,16

2.3.1 Genetik.

PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai interaksi

lingkungan genetik yang sederhana. Faktor risiko genetik yang paling besar dan

telah di teliti lama adalah defisiensi α1 antitripsin, yang merupakan protease serin

inhibitor. Biasanya jenis PPOK yang merupakan contoh defisiensi α1 antitripsin

adalah emfisema paru yang dapat muncul baik pada perokok maupun bukan

perokok, tetapi memang akan diperberat oleh paparan rokok. Bahkan pada

beberapa studi genetika, dikaitkan bahwa patogenesis PPOK itu dengan gen yang

terdapat pada kromosom 2q.1

2.3.2 Paparan Partikel Inhalasi.

Setiap individu pasti akan terpapar oleh beragam partikel inhalasi selama

hidupnya. Tipe dari suatu partikel, termasuk ukuran dan komposisinya, dapat

berkontribusi terhadap perbedaan dari besarnya risiko dan total dari risiko ini akan

terintegrasi secara langsung terhadap pejanan inhalasi yang didapat. Dari berbagai

macam pejanan inhalasi yang ada selama kehidupan, hanya asap rokok dan debu-

debu pada tempat kerja serta zat-zat kimia yang diketahui sebagai penyebab

PPOK. Paparan itu sendiri tidak hanya mengenai mereka yang merupakan

perokok aktif, bahkan pada perokok pasif atau dengan kata lain environmental

smokers itu sendiri pun ternyata risiko menderita PPOK menjadi tinggi juga. Pada

perokok pasif didapati penurunan VEP1 tahunan yang cukup bermakna pada

orang muda yang bukan perokok. Bahkan yang lebih menarik adalah pengaruh

rokok pada bayi jika ibunya perokok aktif atau bapaknya perokok aktif dan ibunya

menjadi perokok pasif, selain didapati berat bayi lebih rendah, maka insidensi

anak untuk menderita penyakit saluran pernafasan pada 3 tahun pertama menjadi

meningkat.1,16 Shahab dkk melaporkan hal yang juga amat menarik bahwa

ternyata mereka mendapatkan besarnya insidensi PPOK yang telah terlambat

didiagnosis, memiliki kebiasaan merokok yang tinggi. PPOK yang berat

berdasarkan derajat spirometri, didapatkan hanya sebesar 46,8% ( 95% CI 39,1-

54,6) yang mengatakan bahwa mereka menderita penyakit saluran nafas, sisanya

tidak mengetahui bahwa mereka menderita penyakit paru dan tetap merokok.

Status merokok justru didapatkan pada penderita PPOK sedang dibandingkan

dengan derajat keparahan yang lain. Begitu juga mengenai riwayat merokok yang

ada, ternyata prevalensinya tetap lebih tinggi pada penderita PPOK yang sedang

(7,1%, p<0,02).23

Paparan lainya yang dianggap cukup mengganggu adalah debu-debu yang

terkait dengan pekerjaan ( occupational dusts ) dan bahan-bahan kimia. Meskipun

bahan-bahan ini tidak terlalu menjadi sorotan menjadi penyebab tingginya

insidensi dan prevalensi PPOK, tetapi debu-debu organik dan inorganik

berdasarkan analisa studi populasi NHANES III didapati hampir 10.000 orang

dewasa berumur 30-75 tahun menderita PPOK terkait karena pekerjaan. American

Thoracic Society (ATS) sendiri menyimpulkan 10-20% paparan pada pekerjaan

memberikan gejala dan kerusakan yang bermakna pada PPOK.16

Polusi udara dalam ruangan yang dapat berupa kayu-kayuan, kotoran

hewan, sisa-sisa serangga, batubara, asap dari kompor juga akan menyebabkan

peningkatan insidensi PPOK khususnya pada wanita. Selain itu, polusi udara

diluar ruangan juga dapat menyebabkan progresifitas kearah PPOK menjadi tinggi

seperti seperti emisi bahan bakar kendaraan bermotor. Kadar sulfur dioksida

(SO2) dan nitrogen dioksida (NO2) juga dapat memberikan sumbatan pada

saluran nafas kecil (Bronkiolitis) yang semakin memberikan perburukan kepada

fungsi paru.1,17

2.3.3 Pertumbuhan dan perkembangan paru.

Pertumbuhan dan perkembangan paru yang kemudian menyokong kepada

terjadinya PPOK pada masa berikutnya lebih mengarah kepada status nutrisi bayi

bayi pada saat dalam kandungan, saat lahir, dan dalam masa pertumbuhannya.

Dimana pada suatu studi yang besar didapatkan hubungan yang positif antara

berat lahir dan VEP1 pada masa dewasanya.1

2.3.4 Stres Oksidatif.

Paparan oksidan baik dari endogen maupun eksogen terus menerus

dialami oleh paru-paru. Sel paru-paru sendiri sebenarnya telah memiliki proteksi

yang cukup baik secara enzimatik maupun non enzimatik. Perubahan

keseimbangan antara oksidan dan anti oksidan yang ada akan menyebabkan stres

oksidasi pada paru-paru. Hal ini akan mengaktivasi respon inflamasi pada paru-

paru. Ketidak seimbangan inilah yang kemudian memainkan peranan yang

penting terhadap patogenesis PPOK.1

2.3.5 Jenis Kelamin.

Jenis kelamin sebenarnya belum menjadi faktor risiko yang jelas pada

PPOK. Pada beberapa waktu yang lalu memang tampak bahwa prevalensi PPOK

lebih sering terjadi pada Pria di bandingkan pada wanita, tetapi penelitian dari

beberapa negara maju menunjukkan bahwa ternyata saat ini insidensi antara pria

dan wanita ternyata hampir sama, dan terdapat beberapa studi yang mengatakan

bahwa ternyata wanita lebih rentan untuk dirusak oleh asap rokok dibandingkan

pria. Hal ini dikarenakan perubahan kebiasaan, dimana wanita lebih banyak yang

merupakan perokok saat ini.24

2.3.6 Infeksi.

Infeksi, baik viral maupun bakteri akan memberikan peranan yang besar

terhadap patogenesis dan progresifitas PPOK dan kolonisasi bakteri berhubungan

dengan terjadinya inflamasi pada saluran pernafasan dan juga memberikan

peranan yang penting terhadap terjadinya eksaserbasi. Kecurigaan terhadap

infeksi virus juga dihubungkan dengan PPOK, dimana kolonisasi virus seperti

rhinovirus pada saluran nafas berhubungan dengan peradangan saluran nafas dan

jelas sekali berperan pada terjadinya eksaserbasi akut pada PPOK. Riwayat

tuberkulosis juga dihubungkan dengan di temukannya obstruksi saluran nafas

pada dewasa tua pada saat umur diatas 40 tahun.1,17

2.3.7 Status sosioekonomi dan nutrisi.

Meskipun tidak terlalu jelas hubungannya, apakah paparan polutan baik

indoor maupun outdoor dan status nutrisi yang jelek serta faktor lain yang

berhubungan dengan kejadian PPOK, tetapi semua faktor-faktor tersebut

berhubungan erat dengan status sisioekonomi.1

2.3.8 Komorbiditas.

Asma memiliki faktor risiko terhadap kejadian PPOK, dimana didapatkan

dari suatu penelitian pada Tucson Epidemiologi Study of Airway Obstructive

Disease, bahwa orang dewasa dengan asma akan mengalami 12 kali lebih tinggi

risiko menderita PPOK.1

2.4 PATOLOGI, PATOGENESIS dan PATOFISIOLOGI.

Perubahan patologi pada PPOK mencakup saluran nafas yang besar dan

kecil bahkan unit respiratori terminal. Secara gamblang, terdapat 2 kondisi pada

PPOK yang menjadi dasar patologi yaitu bronkitis kronis dengan hipersekresi

mukusnya dan emfisema paru yang ditandai dengan pembesaran permanen dari

ruang udara yang ada, mulai dari distal bronkiolus terminalis, diikuti destruksi

dindingnya tanpa fibrosis yang nyata.16

Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar dan kecil

yang disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas terhadap respon

inflamasi yang persisten. Epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel skuamous

akan mengalami metaplasia, sel-sel silia mengalami atropi dan kelenjar mukus

menjadi hipertropi. Proses ini akan direspon dengan terjadinya remodeling saluran

nafas tersebut, hanya saja proses remodeling ini justru akan merangsang dan

mempertahankan inflamasi yang terjadi dimana T CD8+ dan limfosit B

menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran nafas yang kecil akan memberikan beragam

lesi penyempitan pada saluran nafasnya, termasuk hiperplasia sel goblet, infiltrasi

sel-sel radang pada mukosa dan submukosa, peningkatan otot polos.17

Pada emfisema paru yang dimulai dengan peningkatan jumlah alveolar

dan septal dari alveolus yang rusak, dapat terbagi atas emfisema sentrisinar

(sentrilobular ), emfisema panasinar ( panlobular ) dan emfisema periasinar

(perilobular ) yang sering dibahas dan skar emfisema atau irreguler dan emfisema

dengan bulla yang agak jarang dibahas. Pola kerusakan saluran nafas pada

emfisema ini menyebabkan terjadinya pembesaran rongga udara pada permukaan

saluran nafas yang kemudian menjadikan paru-paru menjadi terfiksasi pada saat

proses inflasi.16

Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon

inflamasi yang diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme ini

yang rutin dibicarakan pada bronkitis kronis, sedangkan pada emfisema paru,

ketidak seimbangan pada protease dan anti protease serta defisiensi α 1 antitripsin

menjadi dasar patogenesis PPOK. Proses inflamasi yang melibatkan netrofil,

makrofag dan limfosit akan melepaskan mediator-mediator inflamasi dan akan

berinteraksi dengan struktur sel pada saluran nafas dan parenkim. Secara umum,

perubahan struktur dan inflamasi saluran nafas ini meningkat seiring derajat

keparahan penyakit dan menetap meskipun setelah berhenti merokok.18

Peningkatan netrofil, makrofag dan limfosit T di paru-paru akan

memperberat keparahan PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan beragam

sitokin dan mediator yang berperan dalam proses penyakit, diantaranya adalah

leucotrien B4, chemotactic factors seperti CXC chemokines, interlukin 8 dan

growth related oncogene α, TNF α, IL-1ß dan TGFß. Selain itu

ketidakseimbangan aktifitas protease atau inaktifitas antiprotease, adanya stres

oksidatif dan paparan faktor risiko juga akan memacu proses inflamasi seperti

produksi netrofil dan makrofagserta aktivasi faktor transkripsi seperti nuclear

factor κß sehingga terjadi lagi pemacuan dari faktor-faktor inflamasi yang

sebelumnya telah ada.19,20

Hipersekresi mukus menyebabkan abtuk produktif yang kronik serta

disfungsi silier mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan

menyebabkan obstruksi saluran nafas pada saluran nafas yang kecil dengan

diameter < 2 mm dan air trapping pada emfisema paru. Proses ini kemudian akan

berlanjut kepada abnormalitas perbandingan ventilasi : perfusi yang pada tahap

lanjut dapat berupa hipoksemia arterial dengan atau tanpa hiperkapnia.

Progresifitas ini berlanjut kepada hipertensi pulmonal dimana abnormalitas

perubahan gas yang berat telah terjadi. Faktor konstriksi arteri pulmonalis sebagai

respon dari hipoksia, disfungsi endotel dan remodeling arteri pulmonalis

(hipertropi dan hiperplasi otot polos) dan destruksi Pulmonary capillary bad

menjadi faktor yang turut memberikan kontribusi terhadap hipertensi

pulmonal.16,25

2.5 INFLAMASI PADA PPOK.

2.5.1 Inflamasi Lokal dan Sistemik.

Belakangan ini banyak bukti terhadap inflamasi sistemik pada PPOK

peningkatan kadar sitokin pro inflamasi dan protein fase akut tampak pada PPOK

yang stabil, dimana sebelumnya memang sudah diketahui luas bahwa kedua faktor

inflamasi itu terkait dengan eksaserbasi pada PPOK. Inflamasi ini kemudian akan

mempengaruhi banyak sistem sehingga menelurkan pendapat bahwa PPOK

sebagai penyakit multi komponen.19

Hambatan aliran udara pada saluran nafas, terkait dengan perubahan-

perubahan seluler dan struktural pada PPOK ketika proses inflamasi tersebut

meluas keparenkim dan arteri pulmonalis. Asap rokok diamati memang

memancing reaksi inflamasi yang ditandai dengan infiltrasi limfosit T, neutropil

dan makrofag pada dinding saluran nafas. Disamping itu terjadi juga pergeseran

akan keseimbangan limfosit T CD4+/CD8+, dimana limfosit T sitotoksik (CD8+)

akan menginfiltrasi saluran nafas sentral dan perifer. Neutrofil yang juga

meningkat pada kelenjar bronkus pasien dengan PPOK memberikan peranan yang

penting juga terhadap hipersekresi mukus, dimana hal ini kemudian memacu

ekspresi gen IL-4 yang mengekspresikan sejumlah besar sel-sel inflamasi pada

subepitel bronkus dan kelenjar submukosa penghasil sekret.19

TNF α yang merupakan sitokin proinflamasi yang potensial akan

berkoordinasi dan menyebabkan peningkatan sitokin-sitokin lainnya seperti IL-1

dan IL-6 yang kemudian akan menginduksi angiogenesis. Peningkatan sitokin-

sitoin diatas selain berada didalam saluran nafas, juga beredar di sirkulasi

sistemik. Peningkatan sitokin-sitokin proinflamasi pada saluran nafas sebagai

petanda inflamasi lokal, juga akan memberikan gambaran pada peningkatan sel-

sel inflamasi secara sistemik, termasuk didalamnya neutrofil dan limfosit pada

gambaran darah tepi.5

Asal inflamasi sistemik pada PPOK sebenarnya tidaklah terlalu jelas

dimengerti, tetapi terdapat beberapa jalur yang diperhitungkan dapat menjelaskan

proses tersebut. Mekanisme pertama yang telah diketahui luas adalah salah satu

faktor risiko yaitu asap rokok.

Selain menyebabkan inflamasi pada saluran nafas, asap rokok sendiri

secara independen menyebabkan efek ekstra pulmoner seperti kejadian

kardiovaskular dan inflamasi sistemik melalui stres oksidatif sistemik dan

disfungsi endotel vaskular perifer dan menariknya kejadian ini juga akan dialami

oleh perokok pasif meski hanya terpapar beberapa tahun. Mekanisme kedua yang

bertolak belakang dari mekanisme pertama menyatakan bahwa respon inflamasi

lokal ber diri sendiri, begitu juga inflamasi sistemik. Hal ini dibuktikan dari

penelitian akan kadar TNFαR dan IL8 pada sputum yang ternyata meskipun tinggi

pada sputum, ternyata tidak menunjukkan adanya inflamasi sistemik yang berat.

Begitu juga pada orang sehat yang dipaparkan akan produk bakterial yang pro

inflamasi, lipopolisakarida memang menunjukkan adanya proses inflamasi lokal

berupa kenaikan temperatur tubuh, reaktifitas saluran nafas dan penurunan FEV1,

hanya saja terjadi perbedaan dimana memang inflamasi sistemik tampak pada

subjek yang mengalami demam, tetapi tidak pada subjek yang hanya mengalami

gangguan saluran nafas tanpa demam. Mekanisme ketiga yang diduga adalah

hipoksia, dan ini merupakan masalah berulang pada PPOK, dimana hipoksia yang

terjadi akibat penyempitan saluran nafas, akan mengaktivasi sistem TNF dan

makrofag yang menyebabkan peningkatan sitokin proinflamasi pada sirkulasi

perifer.21

Gambar 3. Lingkaran terjadinya proses kerusakan pada PPOK.26

DIAGNOSIS.

Penderita yang datang dengan keluhan klinis dispneu, batuk kronik atau

produksi sputum dengan atau tanpa riwayat paparan faktor risiko PPOK sebaiknya

dipikirkan sebagai PPOK. Diagnosis PPOK di pastikan melalui pemeriksaan

spirometri paksa bronkhodilator. Perasaan rasa sesak nafas dan dada terasa

menyempit merupakan gejala non spesifik yang dapat bervariasi seiring waktu

yang dapat muncul pada seluruh derajat keparahan PPOK.1

Pemeriksaan fisik memainkan peranan penting untuk diagnosis PPOK.

Tanda fisik hambatan aliran udara biasanya tidak muncul hingga terdapat

kerusakan yang bermakna dari fungsi paru muncul, dan deteksi memiliki nilai

sensitifitas dan spesifisitas yang rendah. Pada inspeksi dapat di temukan sentral

sianosis, bentuk dada “barel-shaped”, takhipneu, edema tungkai bawah sebagai

tanda kegagalan jantung kanan. Perkusi dan palpasi jarang membantu diagnosis

PPOK kecuali tanda-tanda hiperinflasi yang akan mengaburkan batas jantung dan

menurunkan batas paru-hati. Auskultasi sering memberikan kelemahan saluran

nafas, dapat dengan disertai adanya mengi.17

Uji faal paru dengan spirometri merupakan suatu hal yang wajib di

lakukan pada penderita yang memang sudah di curigai PPOK untuk lebih

memastikan diagnosa yang ada sekaligus memantau progresifitas penyakit.

Perangkat ini merupakan alat bantu diagnosis yang paling objektif, terstandarisasi

dan most reproducible akan adanya hambatan aliran nafas. Spirometri akan

menilai Kapasitas Vital Paksa (KVP) Paru dan Volume Ekspirasi Paksa 1 detik

(VEP1) yang didasarkan pada umur, tinggi badan, jenis kelamin dan ras. Diagnosa

PPOK ditegakkan bila didapati nilai paksa paska bronkodilatornya VEP1/KVP <

0,70 dan VEP1 < 80% prediksi, dan berdasarkan penilaian VEP1 tadi, dapat

dinilai derajat keparahan dari PPOK.27,28

Gambaran foto dada yang abnormal jarang tampak pada PPOK, kecuali

adanya bulosa pada paru. Perubahan radiologis yang mungkin adalah adanya

tanda hiperinflasi (pendataran diafragma dan peningkatan volume udara pada

rongga retrosternal), hiperlusensi paru dan peningkatan corak vaskuler paru.

Selain itu radiologis membantu dalam melihat komorbiditas seperti gambaran

gagal jantung. Untuk kepentingan operatif, CT Scan paru juga memegang peranan

penting.1

PENATALAKSANAAN

2.9 Penatalaksanaan

Tata laksana PPOK secara umum berupa tata laksana farmakologis dan non

farmakalogis.

A. Penatalaksanaan Non farmakologis

Penatalaksaan non farmakologis memegang peranan penting dalam PPOK.

Di negara maju, telah disediakan layanan yang disebut dengan Pulmonary

rehabilitation. Kegiatan disesuaikan dengan jenis penyakit dan kondisi pasien.

Menurut American Thoracic Society, Pulmonary rehabilitation adalah program

multidisiplin yang merawat pasien-pasien dengan kegagalan respiratori yang

kronik yang secara individual disesuaikan dan dirancang secara individual untuk

mengoptimalkan kemampuan fisik, sosial dan autonomi7,8. Di Indonesia sendiri

disebut dengan Rehabilitasi PPOK. Program dilaksanakan di dalam maupun diluar

rumah sakit oleh suatu tim multi disiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi,

respiratori terapis dan psikolog2.

1.Edukasi2

Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada

PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena

PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi

adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan

fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari

pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan

dari asma.

Tujuan edukasi pada pasien PPOK:

1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan

2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal

3. Mencapai aktivitas optimal

4. Meningkatkan kualitas hidup

Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah pengetahuan dasar

tentang PPOK, obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya, cara pencegahan

perburukan penyakit, menghindari pencetus (berhenti merokok), penyesuaian

aktivitas.

2. Nutrisi

Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya

kebutuhan energi akibat kerja otot respirasi yang meningkat karena hipoksemia

kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme3.

Malnutrisi dapat dievaluasi dengan2 :

Penurunan berat badan

Kadar albumin darah

Antropometri

Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)

Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)

Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan

mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat

mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Komposisi

nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat. Kebutuhan

protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan ventilasi semenit

oxygen comsumption dan respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapni.2

3. Latihan Fisis

Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti sistem transportasi

oksigen. Latihan fisis yang baik akan menghasilkan peningkatan VO2 max,

perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobik, peningkatan cardiac output

dan stroke volume, peningkatan efisiensi distribusi darah, pemendekkan waktu

yang diperlukan untuk recovery, latihan untuk meningkatkan kemampuan otot

pernapasan, latihan untuk meningkatkan otot pernapasan2.

a. Latihan untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan

Latihan ini diprogramkan bagi penderita PPOK yang mengalami kelelahan

pada otot pernapasannya sehingga tidak dapat menghasilkan tekanan insipirasi

yang cukup untuk melakukan ventilasi maksimum yang dibutuhkan. Latihan

khusus pada otot pernapasan akan mengakibatkan bertambahnya kemampuan

ventilasi maksimum, memperbaiki kualitas hidup dan mengurangi sesak napas.

b. Endurance exercise

Respons kardiovaskuler tidak seluruhnya dapat terjadi pada penderita PPOK.

Bertambahnya cardiac output maksimal dan transportasi oksigen tidak sebesar

pada orang sehat. Latihan jasmani pada penderita PPOK akan berakibat

meningkatnya toleransi latihan karena meningkatnya toleransi karena

meningkatnya kapasitas kerja maksimal dengan rendahnya konsumsi oksigen.

Pada penderita PPOK berat, kelelahan kaki mungkin merupakan faktor yang

dominan untuk menghentikan latihannya. Berkurangnya aktivitas kegiatan sehari-

hari akan menyebabkan penurunan fungsi otot skeletal. Berbaring ditempat tidur

dalam jangka waktu yang lama menyebabkan menurunnya oxygen uptake dan

control kardiovaskuler.

4. Latihan Pernapasan

Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mengontrol sesak napas.

Teknik latihan meliputi pernapasan diafragma dan pursed lips guna memperbaiki

ventilasi dan menyinkronkan kerja otot abdomen dan toraks. Serta berguna juga

untuk melatih ekspektorasi dan memperkuat otot ekstrimitas2,3,7.

5. Psikososial

Banyak pasien dengan PPOK memiliki kecemasan dan depresi, yang pada

gilirannya akan menyebabkan penurunan kualitas hidup. Keadaan ini mungkin

desibabkan oleh banyaknya faktor seperti isolisasi sosial, gejala yang persisten,

dan ketidakmampuan pada berbagai aktivitas sehari-hari. Perlu digali keadaan

psikis pasien untuk menghindari kemunduran status mental pasien. Disinilah

peran psikolog dan keluarga. Jika ternyata kecemasan dan depresi ditemukan,

penggunaan obat-obatan seperti benzodiaxepin dapat dilakukan walaupun hal ini

harus berada dalam pengawasann ketat karena penggunaan yang agresif justru

dapat mengakibatkan penekanan pada respiratori3.

B. Penatalaksanaan Farmakologis

1. Obat –obatan

a. Bronkodilator

Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan

disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat

diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.

Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau

obat berefek panjang (long acting).

Macam - macam bronkodilator :

Golongan antikolinergik

Karakteristik obstruksi saluran napas pada PPOK yaitu adanya banyaknya hal

yang dapat menginduksinya dan secara reversibel parsial dapat meningkatkan

respon kolinergik. Lebih lanjut, mekanisme yang dimediasi oleh nervus vagus

menjelaskan bagaiman peningkatan sekresi kelenjar submukosa pada pasien

PPOK. Hal ini lah yang mendasari pemberian antikolinergik3. Ada tiga jenis

reseptor muskarinik. M1 dan M3 menyebabkan bronkokonstriksi sedangkan M2

bekerja sebaliknya. Obat-obat yang bekerja pada reseptor yang tepat dapat

menghasilkan relaksasi otot polos dan dilatasi saluran napas3,8. Pengguaan

tiotropium dan salmaterol dapat meningkatkan outcome pada pasien PPOK.

Golongan agonis β-2

β-2 agonis bekerja langsung pada β-2 adrenoceptor menyebabkan otot polos

relaksasi dan saluran napas berdilatasi. Obat ini dibagi atas Short Acting β-2

Agonist (SABA) dan Long Acting β-2 Agonist (LABA)3,7,8.

Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah

penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat

pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk

nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan

untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk

mengatasi eksaserbasi berat2.

Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2

Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi,

karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu

penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita2.

Golongan xantin

Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,

terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk

mengatasi sesak (pelega nafas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi

eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar

aminofilin darah.

b. Antiinflamasi

Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi

intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan

metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang

diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1

pasca bronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.

c. Antibiotika

Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :

Lini I : amoksisilin makrolid

Lini II : amoksisilin & asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon, makrolid

baru

Perawatan di Rumah Sakit (dapat dipilih) :

Amoksilin dan klavulanat

Sefalosporin generasi II & III injeksi

Kuinolon per oral ditambah dengan yang anti pseudomonas

Aminoglikose per injeksi

Kuinolon per injeksi

Sefalosporin generasi IV per injeksi

d. Antioksidan

Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N -

asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak

dianjurkan sebagai pemberian yang rutin2.

e. Mukolitik

Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat

perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang

viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak

dianjurkan sebagai pemberian rutin2.

1. Terapi Oksigen

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang

menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan

hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah

kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya. Manfaat oksigen antara

lain mengurangi sesak, memperbaiki aktivitas, mengurangi hipertensi pulmonal,

mengurangi vasokonstriksi, mengurangi hematokrit, memperbaiki fungsi

neuropsikiatri, meningkatkan kualitas hidup2.

Indikasi terapi oksigen sendiri yaitu PaO2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%, atau

PaO2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan

P pulmonal, Ht >55% dan tanda-tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit

paru lain2,3,7,8.

Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi

oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan

gagal napas kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK

eksaserbasi akut di unit gawat darurat, ruang rawat ataupun ICU. Pemberian

oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di rumah dibedakan :

Pemberian oksigen jangka panjang (Long Term Oxygen Therapy = LTOT)

Pemberian oksigen pada waktu aktivitas

Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak

Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil

terutama bila tidur atau sedang aktivitas, lama pemberian 15 jam setiap hari,

pemberian oksigen dengan nasal kanul 1-2 L/menit. Terapi oksigen pada waktu

tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur.

Terapi oksigen pada waktu aktivitas bertujuan menghilangkan sesak napas dan

meningkatkan kemampuan aktivitas. Sebagai parameter digunakan analisis gas

darah atau pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di

atas 90%2,8.

1. Ventilasi Mekanik

Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal

napas akut, gagal nafas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK

derajat berat dengan nafas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah

sakit di ruang ICU atau di rumah. Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara2

:

ventilasi mekanik dengan intubasi

ventilasi mekanik tanpa intubasi

Ventilasi mekanik tanpa intubasi

Ventilasi mekanik tanpa intubasi digunakan pada PPOK dengan gagal napas

kronik dan dapat digunakan selama di rumah. Bentuk ventilasi mekanik tanpa

intubasi adalah Nonivasive Intermitten Positif Pressure (NIPPV) atau Negative

Pessure Ventilation (NPV)2.

NIPPV bila digunakan bersamaan dengan terapi oksigen terus menerus

(LTOT/ Long Tern Oxygen Theraphy) akan memberikan perbaikan yang

signifikan pada analisis gas darah, kualitas dan kuantitas tidur, kualitas hidup,

analisis gas darah2.

Indikasi penggunaan NIPPV :

Sesak napas sedang sampai berat dengan penggunaan muskulus respirasi

dan abdominal paradoksal

Asidosis sedang sampai berat pH < 7,30 - 7, 35

Frekuensi nafas > 25 kali per menit

Ventilasi mekanik dengan intubasi

Pasien PPOK dipertimbangkan untuk menggunakan ventilasi mekanik di

rumah sakit bila ditemukan keadaan gagal nafas yang pertama kali, perburukan

yang belum lama terjadi dengan penyebab yang jelas dan dapat diperbaiki,

misalnya pneumonia, aktivitas sebelumnya tidak terbatas2.

Indikasi penggunaan ventilasi mekanik invasif2 :

Sesak napas berat dengan penggunaan muskulus respirasi tambahan dan

pergerakan abdominal paradoksal

Frekuensi napas > 35 permenit

Hipoksemia yang mengancam jiwa (Pao2 < 40 mmHg)

Asidosis berat pH < 7,25 dan hiperkapni (Pao2 < 60 mmHg)

Henti nafas

Samnolen, gangguan kesadaran

Komplikasi kardiovaskuler (hipotensi, syok, gagal jantung)

Komplikasi lain (gangguan metabolisme, sepsis, pneumonia, emboli paru,

barotrauma, efusi pleura masif)

Telah gagal dalam penggunaan NIPPV

Ventilasi mekanik sebaiknya tidak diberikan pada pasien PPOK dengan

kondisi sebagai berikut2 :

PPOK derajat berat yang telah mendapat terapi maksimal sebelumnya

Terdapat ko-morbid yang berat, misalnya edema paru, keganasan

Aktivitas sebelumnya terbatas meskipun terapi sudah maksimal

Karakteristik dan Rekomendasi Pengobatan berdasarkan Derajat PPOK

Derajat Karakteristik Rekomendasi Pengobatan

Edukasi (Hindari faktor pencetus) Bronkodilator kerja singkat (SABA,

antikolinergik kerja cepat, xantin) bila perlu Vaksinasi influenza

Derajat I : PPOK Ringan

VEP1/KVP < 70%.

VEP1 ≥ 80% prediksi

Dengan atau tanpa gejala

Bronkodilator kerja singkat (SABA, antikolinergik kerja cepat, xantin) bila perlu

Derajat II : PPOK Sedang

VEP1/KVP < 70%.

50% < VEP1 < 80% prediksi

Dengan atau tanpa gejala

1. Pengobatan regular dengan bronkodilator:

a. Antikolinergik kerja lama sebagai terapi pemeliharaan

b. LABAc. Simptomatik

2. Rehabilitasi (edukasi, nutrisi, rehabilitasi respirasi)

Derajat III : PPOK Berat

VEP1/KVP < 70%.

30% ≤ VEP1 ≤ 50% prediksi

Dengan atau tanpa gejala

1. Pengobatan regular dengan 1 atau lebih bronkodilator:

a. Antikolinergik kerja lama sebagai terapi pemeliharaan

b. LABAc. Simptomatikd. Kortikosteroid inhalasi bila memberikan

respon klinis atau eksaserbasi berulang

2. Rehabilitasi (edukasi, nutrisi, rehabilitasi respirasi)

Derajat III : PPOK Berat

VEP1/KVP < 70%.

30% ≤ VEP1 ≤ 50% prediksi

Dengan atau tanpa gejala

1. Pengobatan regular dengan 1 atau lebih bronkodilator:

a. Antikolinergik kerja lama sebagai terapi pemeliharaan

b. LABAc. Simptomatikd. Kortikosteroid inhalasi bila memberikan

respon klinis atau eksaserbasi berulang

2. Rehabilitasi (edukasi, nutrisi, rehabilitasi

respirasi)

Derajat IV : PPOK Sangat Berat

VEP1/KVP < 70%.

VEP1 < 30% prediksi atau gagal nafas atau gagal jantung kanan

1. Pengobatan regular dengan 1 atau lebih bronkodilator:

a. Antikolinergik kerja lama sebagai terapi pemeliharaan

b. LABAc. Simptomatikd. Kortikosteroid inhalasi bila memberikan

respon klinis atau eksaserbasi berulang

2. Rehabilitasi (edukasi, nutrisi, rehabilitasi respirasi)

3. Terapi oksigen jangka panjang jika gagal nafas

4. Ventilasi mekanis noninvasif5. Pertimbangkan terapi pembedahan

Algoritme penanganan PPOK Stabil

Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi

Gejala eksaserbasi :

Batuk makin sering / hebat

Produksi sputum bertambah banyak

Sputum berubah warna

Sesak nafas bertambah

Keterbatasan aktivitas bertambah

Terdapat gagal nafas akut pada gagal nafas kronik

Kesadaran menurun

Penatalaksanaan eksaserbasi akut dapat dilakukan di :

poliklinik rawat jalan

unit gawat darurat

ruang rawat

ruang ICU

Prinsip penatalaksanaan eksaserbasi PPOK :

Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal napas

akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale. Gagal napas

kronik ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah berupa PaO2<60 mmHg dan

PaCO2>50 mmHg, serta pH dapat normal. Gagal napas akut pada gagal napas kronik

ditandai oleh sesak napas dengan atau tanpa sianosis, volume sputum bertambah dan

purulen, demam, dan kesadaran menurun. Pada pasien PPOK produksi sputum yang

berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi

berulang. Selain itu, pada kondisi kronik ini imunitas tubuh menjadi lebih rendah,

ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah. Adanya kor pulmonale ditandai

oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan dapat disertai gagal jantung

kanan. PDPI

PROGNOSIS

Beberapa faktor yang telah diidentifikasikan dapat memprediksi survival

jelek pada PPOK adalah FEV1 rendah, masih merokok, hipoksemia, nutrisi jelek,

cor pulmonal, penyakit komorbid dan kapasitas difusi rendah. Untuk five years

survival dengan sesak berat mencapai 30%. Sedahgkan 30% penderita PPOM

dengan sumbatan yang berat akan meninggal dalam waktu 1 tahun, dan 95%

meninggal dalam waktu 10 tahun. Kematian bisa disebabkan oleh kegagalan

pernafasan, pneumonia, pneumotoraks (masuknya udara ke dalam rongga paru),

aritmia jantung atau emboli paru (penyumbatan arteri yang menuju ke paru-paru).

Penderita PPOM juga memiliki resiko tinggi terhadap terjadinya kanker paru.####