baru sekali bab i-bab v.doc

149
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan antara negara merupakan hubungan yang paling tua dalam studi hubungan internasional dimana, hubungan internasional telah memunculkan aktor-aktor baru selain negara dalam interaksi internasional. Perkembangan ini berakibat pada lahirnya paradigma atau paham baru oleh para penstudi HI dalam mengkaji fenomena-fenomena internasional yang terjadi. Paham tersebut antara lain paham realism, pluralism, strukturalisme, dan globalisme. Dominasi aktor negara pada awal perkembangan HI menurut kaum realis di gugat oleh kaum pluralis dan menganggap bahwa actor dalam HI tidak hanya di dominasi oleh negara tetapi juga di lakukan oleh MNC , individu , NGO, serta kelompok teroris. Sementara pendekatan strukturalisme lebih memandang interaksi hubungan internasional sebagai ketergantungan negara

Upload: taufiq-quartz

Post on 14-Aug-2015

96 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hubungan antara negara merupakan hubungan yang paling tua dalam studi

hubungan internasional dimana, hubungan internasional telah memunculkan

aktor-aktor baru selain negara dalam interaksi internasional. Perkembangan ini

berakibat pada lahirnya paradigma atau paham baru oleh para penstudi HI dalam

mengkaji fenomena-fenomena internasional yang terjadi. Paham tersebut antara

lain paham realism, pluralism, strukturalisme, dan globalisme.

Dominasi aktor negara pada awal perkembangan HI menurut kaum realis di

gugat oleh kaum pluralis dan menganggap bahwa actor dalam HI tidak hanya di

dominasi oleh negara tetapi juga di lakukan oleh MNC , individu , NGO, serta

kelompok teroris. Sementara pendekatan strukturalisme lebih memandang

interaksi hubungan internasional sebagai ketergantungan negara kecil terhadap

negara besar dan dominasi negara kuat terhadap negara lemah.1Adanya faktor

tunggal dalam HI pada awal perkembangannya membuat tata hubungan

internasional pada saat itu hanya diwarnai oleh interaksi antar negara saja.

Dominasi peran antar negara tersebut kemudian menjadikannya sebagai aktor

utama dalam HI dan tatanan internasional terbentuknya sesuai dengan keinginan

negara , khususnya negara besar.

Sifat-sifat penguasa di negara-negara tertentu yang represif dan cenderung

otoriter, melahirkan rasa kekecewaan bagi rakyatnya karena keinginan untuk turut

1 Suwardi Wiraatmaja, Pengantar Hubungan Internasional, 1996 , Rafika Adikarya Bandung hal 13

2

berpartisipasi dalam bidang politik tidak dapat tersalurkan bahkan cenderung di

kekang. Ketika jalur-jalur penyampaian aspirasi politik tidak berjalan baik, maka

partisipasi tersebut kemudian diwujudkan melalui gerakan-gerakan radikal yang

pada akhirnya akan melahirkan kekerasan-kekerasan sipil.

Pasca perang dunia II, kekerasan sipil merupakan gejala yang sangat

menarik perhatian. Dibanding perang sebenarnya yaitu perang antarnegara,

kekerasan sipil jauh lebih banyak jumlahnya. Surat kabar New Yeork Times

mencatat selama kurun waktu 1946-1959 saja, telah terjadi 1.200 kekerasan sipil

yang meliputi perang saudara, aksi-aksi gerilya, huru-hara, kekacauan-kekacauan

luas, terorisme, pemberontakan dan kudeta. Peristiwa-peristiwa kekerasan itu

terutama sangat mencuat dalam dasawarsa 1960-an yang terjadi tidak saja di

negara berkembang, melainkan juga di negara-negara maju.2 Kekerasan sipil

mencakup suatu spectrum yang sangat luas, mulai dari unjuk rasa, atau protes

dengan menggunakan kekerasan, pemberontakan spontan, pemberontakan

berencana dan berlanjut, kudeta bahkan sampai ke revolusi. Perang Saudara

termasuk kekerasan politik sementara perang antar negara tidak.

Kekerasan sipil berbentuk terorisme dapat dilakukan oleh penguasa atau

negara terhadap rakyatnya sendiri atau terorisme negara, maupun oleh rakyat

terhadap penguasanya. Terorisme digunakan sebagai senjata defensive maupun

afensif untuk memelihara status quo atau untuk merusak sistem yang ada. Setelah

berakhirnya Perang Dingin, berbagai kekerasan sipil termasuk terorisme

internasional tampak semakin menjadi-jadi. Perang Saudara, terorisme dalam

2 Philips Jusario Vermonte, di terjemahkan oleh Nasution, Politik dan Kekerasan, Pustaka Gramedia Jakarta 1990 hal 34

3

berbagai bentuk, pemberontakan, pemboman, peracunan, pembantaian,

penyandraan, demonstrasi berdarah dan sebagainya memenuhi media cetak

maupun elektronik.

Amerika Serikat sebagai salah satu negara korban terorisme internasional,

seperti yang kita ketahui bahwa Amerika merupakan negara Adi Kuasa yang

terkadang memenuhi standar ganda dalam melihat suatu fenomena atau dalam

menjalankan kebijakan-kebijakannya bila berkaitan dengan isu Arab Israel,

menjadikannya objek kemarahan dari pihak-pihak yang dianggap dirugikan

ataupun tidak senang dengan kebijakan standar ganda tersebut. Hal tersebut

membuat Amerika Serikat menjadi sasaran terorisme internasional.

Terdapat banyak serangan terorisme yang dilakukan ke tempat-tempat

kepentingan Amerika Serikat, baik itu di dalam dan di luar negeri, mulai dari aksi

pemboman terhadap sebuah botel di Yaman yang banyak di huni oleh warga

Amerika Serikat (1992), gedung World Trade Center New York (1993). Kampung

Militer di Riyadh Arab Saudi (1993) basis militer AS di Dahran Arab Saudi

(1996). Kedutaan Besar AS di Kenya Tanzania (1998), kapal perang AS USS

Cole di Yaman (2000) dan yang terakhir dan sangat berdampak terhadap bangsa

dan negara Amerika Serikat yakni serangan terhadap World Trade Center dan

Pentagon dengan menggunakan pesawat terbang komersil yang menjadi tragedy

nasional bagi bangsa dan negara Amerika Serikat.3 Trauma yang sangat

mendalam sebagai akibat aksi dari serangan-serangan terorisme tersebut membuat

Amerika Serikat sangat reaksioner dalam sikapnya menghadapi issu terorisme

yang berkembang saat ini. Amerika Serikat sangat cepat merespon terhadap setiap

3 Kusnanto Anggoro, Terorisme Terhadap Amerika, Jurnal CSIS Vol.36.No.1 2007

4

issu terorisme. Hal ini tercermin dari kebijakan-kebijakan politik luar negerinya

yang berusaha mencari simpati dunia internasional dalam kampanye

pemberantasan jaringan terorisme. Hal ini sejalan dengan pendapat William

D.Coplin bahwa : “Politik luar negeri suatu negara merupakan substansi dari

hubungan internasional terselenggara sebagai sarana interaksi antar negara demi

pencapaian tujuan nasional.”4 Sebelum mengadakan serangkaian tindakan dalam

hubungan luar negerinya, suatu negara terlebih dahulu harus menentukan pola

politik luar negerinya berdasarkan atas kebutuhan nasional sehingga kepentingan

nasional berperan sebagai kontrol dalam setiap pelaksanaan politik luar negerinya.

Di sini, tujuan nasional Amerika adalah berusaha melindungi seluruh warga dan

kepentingan di dalam dan di luar negeri sedangkan instrument yang digunakan

adalah cenderung kepada politik. Menciptakan rasa aman bagi warganya dinilai

sebagai kebutuhan yang mendesak, mengingat warga dan kepentingannya tersebar

ke seluruh belahan dunia.

Isu terrorisme, ternyata bukan hanya konsumsi wilayah regional tertentu

saja seperti Timur Tengah, namun telah menyebar ke wilayah-wilayah regional

lainnya yang memiliki potensi konflik dan instabilitas seperti halnya kawasan

regional Asia Tenggara. Konflik intern di negara kawasan tersebut, bisa saja

memancing jaringan internasional untuk melakukan aksi-aksi teror di kawasan

tersebut. Sebagai contoh aksi terror yang di lakukan oleh gerilyawan Moro di

Philipina Selatan. Pada perkembangannya dinilai dapat membahayakan

keselamatan warga dan kepentingan AS di kawasan Asia Tenggara.

4 William D Coplin, Pengantar Politik Internasional , Bandung : Pustaka Bersama 1992 hal 32

5

Kemudian di Singapura 25 anggota Jemaah Islamiyah, di Malaysia dan

Singapura di duga merupakan suatu jaringan terorisme internasional yang terkait

dengan jaringan Al-Qaidah pimpinan Osama Bin Laden. Bersama penangkapan

tersebut ditemukan beberapa dokumen yang berisi rencana penyerangan terhadap

kepentingan-kepentingan AS di Asia Tenggara seperti di Singapura, Malaysia,

dan Indonesia. Selanjutnya ledakan kecil di sekitar konsulat AS di Bali, kemudian

hal ini semakin membuat kawasan tersebut rawan terhadap isu serangan aksi

teroris.

Dari pemaparan tadi penulis tertarik untuk meneliti kebijakan Amerika

Serikat dalam merespon issu terorisme di kawasan Asia Tenggara dalam suatu

bentuk skripsi dengan judul “Kebijakan Politik Luar Negeri Amerika Serikat

Terhadap Terorisme Di Asia Tenggara”

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Mengingat dalam judul yang sudah di kemukakan di atas mencakup

berbagai aspek dengan kompleksitas masalah maka dalam hal ini , penulis perlu

membatasi yaitu hanya berkisar kepada respon pemerintah AS dalam bentuk

pernyataan, aksi, dan pola kebijakan di Kawasan Asia Tenggara terutama dalam

hubungannya dengan isu terorisme internasional di kawasan tersebut.

Dari pembatasan tersebut, maka penulis merumuskannya ke dalam bentuk

pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana respon dan wujud kebijakan politik luar negeri Amerika

Serikat dalam merespon terorisme di kawasan Asia Tenggara ?

6

2. Bagaimana peluang dan tantangan Amerika Serikat dalam menghadapi

Terorisme di Asia Tenggara ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan respon serta kebijakan politik

luar negeri Amerika Serikat dalam merespon terorisme di kawasan

Asia Tenggara.

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan peluang dan tantangan yang

di hadapi Amerika Serikat dalam menghadapi terorisme di Asia

Tenggara .

2. Kegunaan Penelitian

1. Apakah tujuan tersebut dapat tercapai, maka penelitian ini Di

harapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah Indonesia dalam

menyikapi fenomena terorisme internasional dan dapat dijadikan

referensi bagi upaya antisipasi masuk atau munculnya kelompok

terorisme internasional di Indonesia.

2. Hasil penelitian ini juga Diharapkan dapat menjadi bahan referensi

bagi para pemerhati masalah-masalah internasional, khususnya

bagi para penstudi Ilmu Hubungan Internasional dalam rangka

pengembangan Ilmu Hubungan Internasional.

D. Kerangka Konseptual

7

Dalam masalah ini, konsep yang digunakan adalah teori atau konsep

kebijakan luar negeri dan kepentingan nasional. Politik luar negeri cenderung

dimaknai sebagai sebuah identitas yang menjadi karakteristik pembeda negara

Indonesia dengan negara-negara lain di dunia. Politik luar negeri adalah sebuah

posisi pembeda. Politik luar negeri adalah paradigma besar yang dianut sebuah

negara tentang cara pandang negara tersebut terhadap dunia. Politik luar negeri

adalah wawasan internasional. Oleh karena itu politik luar negeri cenderung

bersifat tetap.

Kebijakan luar negeri adalah segala tindakan suatu pemerintah terhadap

negara lain dalam politik internasional, dengan di dasarkan pada serangkaian

asumsi dan tujuan tertentu, serta dimaksudkan untuk menjamin keamanan

nasional. Kebijakan luar negeri dapat dijalankan melalui berbagai cara, namun

tiga yang paling umum adalah perang, perdamaian, dan kerjasama ekonomi.

Banyak definisi yang dibuat oleh para ahli untuk menjelaskan arti kebijakan.

Thomas Dye menyebutkan kebijakan sebagai pilihan pemerintah untuk

melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Definisi ini dibuatnya dengan

menghubungkan beberapa definisi lain dari berbagai ahli. Hugh Heglo

menyatakan bahwa : “kebijakan sebagai “a course of action intended to

accomplish some end,” atau sebagai suatu tindakan yang bermaksud untuk

mencapai suatu tujuan tertentu”.

Definisi Heglo ini kemudian di uraikan oleh Jones dalam kaitan dengan

beberapa isi dari kebijakan. Pertama yaitu, tujuan. Disini yang dimaksud adalah

tujuan tertentu yang di kehendaki untuk di capai. Bukan suatu tujuan yang sekedar

8

di inginkan saja. Dalam kehidupan sehari-hari tujuan yang hanya diinginkan saja

bukan tujuan, tetapi sekedar keinginan. Setiap orang boleh saja berkeinginan apa

saja, tetapi dalam kehidupan bernegara tidak perlu diperhitungkan. Baru

diperhitungkan kalau ada usaha untuk mencapainya, dan ada”faktor pendukung”

yang diperlukan. Kedua, rencana atau proposal yang merupakan alat atau cara

tertentu untuk mencapainya. Ketiga, program atau cara tertentu yang telah

mendapat persetujuan dan pengesahan untuk mencapai tujuan yang dimaksud.

Keempat, keputusan, yakni tindakan tertentu yang diambil untuk menentukan

tujuan, membuat dan menyesuaikan rencana, melaksanakan dan mengevaluasi

program.

Sampai saat ini belum ada definisi yang baku mengenai terorisme.

Dikalangan pakar Sosial Politik Barat sendiri sebenarnya ada kesepakatan tentang

definisi Terorisme. Teror atau Terorisme tidak selalu identik dengan kekerasan.

Terorisme adalah puncak aksi kekerasan, terrorism is the apex of violence. Bisa

saja kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan.

Terorisme tidak sama dengan intimidasi atau sabotase. Sasaran intimidasi dan

sabotase umumnya langsung, sedangkan terorisme tidak. Korban tindakan

terorisme seringkali adalah orang yang tidak bersalah.

Kaum teroris bermaksud ingin menciptakan sensasi agar masyarakat luas

memperhatikan apa yang mereka perjuangkan. Tindakan teror tidaklah sama

dengan vandalisme, yang motifnya merusak benda-benda fisik. Teror berbeda

pula dengan mafia. Tindakan mafia menekankan omerta, tutup mulut, sebagai

sumpah. Omerta merupakan bentuk ekstrem loyalitas dan solidaritas kelompok

9

dalam menghadapi pihak lain, terutama penguasa. Berbeda dengan Yakuza atau

mafia Cosa Nostra yang menekankan kode omerta, kaum teroris modern justru

seringkali mengeluarkan pernyataan dan tuntutan. Mereka ingin menarik perhatian

masyarakat luas dan memanfaatkan media massa untuk menyuarakan pesan

perjuangannya.5

Namun, belakangan, kaum teroris semakin membutuhkan dana besar dalam

kegiatan globalnya, sehingga mereka tidak suka mengklaim tindakannya, agar

dapat melakukan upaya mengumpulkan dana bagi kegiatannya. Menurut Black’s

Law Dictionary :

Terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana (Amerika atau negara bagian Amerika), yang jelas dimaksudkan untuk: mengintimidasi penduduk sipil, mempengaruhi kebijakan pemerintah, mempengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan atau pembunuhan.6

Menurut Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme :

Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:

1. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara

5 Rikard Bagun, “Indonesia di Peta Terorisme Global”, 17 November 20026 Muladi, Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III

10

merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6)7

2. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7).8

Dari definisi-definisi di atas, yang menjadi ciri dari suatu tindakan terorisme

adalah :

1. Adanya rencana untuk melakukan tindakan tersebut

2. Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu

3. Menggunakan kekerasan

4. Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud

mengintimidasi pemerintah

5. Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari

pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama .

Dalam berinteraksi dengan negara/aktor hubungan internasional lain suatu

negara harus selalu berlandaskan pada pencapaian kepentingan nasionalnya.

Konsep kepentingan nasional ini merupakan buatan manusia dan dirumuskan oleh

pemimpin-pemimpin negara dan para ahli teori politik dan dipatuhi oleh

masyarakat karena disangkutkan kepada situasi social dan mencerminkan adanya

7 Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pasal 6.8 Ibid., pasal 7.

11

nilai-nilai, ide-ide kepentingan golongan dan juga kepentingan para perumusnya.9

Karena itu kepentingan nasional adalah yang paling utama yang mendasari sikap

perumusan kebijaksanaan luar negeri suatu negara. Seperti yang di ungkapkan

oleh Holsti bahwa ide kepentingan nasional mungkin mengacu pada serangkaian

tujuan ideal yang sebenarnya diusahakan untuk diwujudkan oleh suatu negara

bangsa dalam tindakan luar negerinya.10

Terhadap kaitannya dengan masalah terorisme Internasional, rumusan

kebijakan politik luar negeri AS merupakan hasil dari proses politik dalam

menyikapi fenomena terorisme internasional yang aksi-aksinya dapat mengancam

kepentingan nasionalnya. Hasil dari rumusan itulah menjadi dasar dari segala

tindakan AS terhadap terorisme internasional. Sebagaimana konsep kebijakan luar

negeri yang di ungkapkan oleh Miriam Budiardjo sebagai berikut : “Kebijakan

adalah suatu kumpulan apa yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok

dalam usaha memiliki tujuan, kebijaksanaan itu mempunyai kekuasaan untuk

melaksanakannya.”11 Dari pendapat tersebut dapat diperoleh suatu pengertian

bahwa wujud dari kebijakan adalah sekumpulan keputusan yang kemudian

menjadi dasar serangkaian tindakan. Kebijakan dilakukan untuk mencapai tujuan

tertentu, dimana tujuan tersebut telah dipilih sebelumnya termasuk cara-cara

mencapainya. Kebijakan itu dibuat oleh pihak tertentui yg memiliki kekuasaan

untuk melaksanakannya.

9 Sufri Yusuf Hubungan Internasional dan Politik Luar Negeri Jakarta: Dunia Pustaka hal 7710 K.J.Holsti Politik Internasional Kerangka Untuk Internasional Terjemahan T.Ashari Erlangga hal 13811 Meriam Budiardjo Dasar-Dasar Ilmu Politik Jakarta: Gramedia Pustaka Utama hal 12

12

Aktualisasi dari kebijakan merupakan sekumpulan keputusan-keputusan

yang dituangkan dalam bentuk undang undang. Dimana kemudian Undang-

Undang itu menjadi dasar tindakan atas suatu negara untuk mencapai kepentingan

nasionalnya. Adapun pihak yang berperan dalam pembuat suatu kebijakan yaitu

pemerintah karena pemerintah yang memiliki kemampuan untuk

melaksanakannya, kebijakan luar negeri suatu negara menunjukkan dasar-dasar

umum yang dipakai pemerintah untuk bereaksi terhadap lingkungan internasional.

Karena kebijakan luar negeri dapat juga di artikan sebagai strategi atau rencana

tindakan yang dibentuk oleh para pembuat keputusan suatu negara dalam

menghadapi negara lain atau hubungan internasioanl lainnya.

13

E. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, dimana penulis mencoba

menggambarkan dan menjelaskan tentang Kebijakan Politik Luar Negeri Amerika

Serikat terhadap terorisme di Asia Tenggara.

2 Sumber dan Jenis Data

Dalam penelitian ini, jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Data

yang digunakan dalam penelitian ini berupa buku, jurnal, dokumen, dan bahan

dari internet. Data tentang kebijakan politik luar negeri dan tentang terorisme pada

penelitian ini didapatkan dari beberapa buku, jurnal, dan internet.

3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

telaah pustaka (library research) yaitu dengan mengumpulkan data dan informasi

dari literatur yang berkaitan dengan masalah yang di bahas. Selain itu juga

mengunjungi beberapa situs di internet untuk melengkapi data yang penulis

kumpulkan.

4 Teknik Analisa Data

Teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

kualitatif. Dimana, data yang dikumpulkan melalui penelitian lapang dilakukan

dengan metode kualitatif, karena sifat data penelitian ini merupakan informasi

kualitatif. Metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskrpitif berupa kata-kata tertulis maupun yang terucapkan dari para pelaku yang

diamati.

14

5. Definisi Operasional

Untuk menghindari salah penafsiran terhadap berbagai istilah atau konsep

yang digunakan dalam penelitian ini, maka beberapa istilah atau konsep diberi

batasan pengertian dalam bentuk definisi operasional :

1. Pertama, politik luar negeri merupakan pencerminan dari kepentingan

nasional yang tidak dapat dipisahkan dari kondisi-kondisi nyata dalam negeri.

Politik luar negeri cenderung dimaknai sebagai sebuah identitas yang menjadi

karakteristik pembeda suatu negara dengan negara-negara lain yang ada di

dunia. Politik luar negeri adalah paradigma besar yang dianut sebuah negara

tentang cara pandang negara tersebut terhadap dunia.

2. Kedua, Amerika Serikat merupakan sebuah negara yang saat ini menjadi

salah satu aktor utama dalam perang global melawan terorisme berdasarkan

atas resolusi DK-PBB 1373 tentang : setiap negara harus ikut berperan serta

dalam perang gobal melawan aksi teroris.

3. Ketiga, Terorisme secara akademik merupakan segala bentuk tindak

kejahatan berbagai bentuk, seperti pemberontakan, pemboman, peracunan,

pembantaian, penyandraan, demonstrasi berdarah. Secara birokrasi

merupakan tindakan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud

menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang

atau masyarakat luas. Terorisme Internasional adalah terorisme yang

dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan atau

diarahkan untuk melawan negara, lembaga, atau pemerintah asing.

15

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Politik Luar Negeri

Interaksi antarnegara dalam paradigma hubungan internasional banyak

ditentukan oleh politik luar negeri negara tersebut. Politik luar negeri tersebut

merupakan kebijaksanaan suatu negara untuk mengatur hubungan luar negerinya.

Politik luar negeri ini merupakan bagian dari kebijaksanaan nasional negara

tersebut dan semata-mata dimaksudkan untuk mengabdi kepada tujuan-tujuan

yang telah ditetapkan untuk kurun waktu yang sedang dihadapi, dan hal tersebut

lazimnya disebut kepentingan nasional. Tujuan politik luar negeri merupakan

mewujudkan kepentingan nasional negaranya. Tujuan tersebut memuat gambaran

atas keadaan negara di masa mendatang dan kondisi masa depan yang diinginkan.

Dalam membahas politik luar negeri, pengertian dasar yang harus diketahui

yaitu politik luar negeri itu pada dasarnya merupakan “action theory”, atau

kebijaksanaan suatu negara yang ditujukan ke negara lain untuk mencapai suatu

kepntingan tertentu. Secara umum, politik luar negeri (foreign policy) merupakan

suatu perangkat formula nilai, sikap, arah serta sasaran untuk mempertahankan,

mengamankan, dan memajukan kepentingan nasional di dalam percaturan dunia

internasional.12

Politik luar negeri pada dasarnya merupakan kebijakan suatu negara yang

ditujukan kepada negara lain untuk mencapai suatu kepentingan tertentu. Secara

umum, politik luar negeri (foreign policy) merupakan suatu perangkat formula,

12 DR. Anak Agung Banyu Perwira & DR. Yanyan Mochamad Yani, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Remaja Rosdakary, Bandung 2005 hal 35.

16

nilai, sikap dan arah serta sasaran untuk mempertahankan, mengamankan, dan

memajukan kepentingan nasional didalam percaturan dunia internasional.13

Dalam pelaksanaan tentang politik luar negeri terdapat tiga determinan yang

harus di perhatikan. Pertama adalah kepentingan nasional, dimana politik luar

negeri adalah pencerminan dari kepentingan nasional suatu negara terhadap

lingkungan luarnya. Politik luar negeri sebagai pencerminan dari kepentingan

nasional dikemukakan oleh J. Frankel :

Politik luar negeri merupakan pencerminan dari kepentingan nasional yang ditujukan ke luar negeri, yang tidak terpisah dari keseluruhan tujuan nasional, dan tetap merupakan komponen atau unsur dari kondisi dalam negeri.14

Yang perlu diperhatikan dalam keterkaitan kepentingan nasional dan politik

luar negeri adalah bahwa pelaksanaan politik luar negeri tersebut semaksimal

mungkin dapat menguntungkan bagi kepentingan nasional, baik di ukur dari

kepentingan keselamatan dan keamanan nasional, maupun diukur dari

peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan nasional.

Determinan kedua yang berhubungan dengan politik luar negeri adalah

kemampuan nasional. Kemampuan nasional adalah kemampuan yang dimiliki

suatu bangsa, baik secara actual maupun bersifat potensial. Dengan

kemampuannya, segenap daya bangsa baik yang manifest maupun latent yang

meliputi segala sumber daya yang melekat pada bangsa yang bersangkutan.

Strategi politik luar negeri adalah output. Sedangkan input berasal dari kondisi-kondisi lingkungan ekstern dan intern yang dikonversi menjadi input, melalui proses pemahaman situasi yang dikaitkan dengan penentuan tujuan yang akan dicapai, mobilisasi untuk

13 Perwita dan Yani, Pengantar Hubungan Internasional, PT Remaja Rosdakarya, Bandung 2005 hal 4714 J. Frankel, Hubungan Internasional, ANS Sungguh Barsaudara, Jakarta, 1990, hal 55.

17

mencapai tujuan tersebut dan upaya-upaya nyata dalam merealisasikan tujuan yang sudah ditetapkan.15

Politik luar negeri sebagai rangkaian atau sekumpulan komitmen, mengacu

kepada strategi, kepentingan dan tujuan-tujuan khusus (spesificgoals) serta

sarana-sarana (means) untuk pencapaiannya. Komitmen dan rencana tindakan ini

dapat ditelaah dari kondisi riil dan situasi nyata yang sedang berlangsung,

sehingga dapat lebih mudah diamati dan dianalisa.

Determinan ketiga adalah kondisi internasional dengan sifatnya yang

dinamis. Setiap negara merumuskan kebijakan politik luar negeri, tetapi tidak

akan mungkin mengatur dan menetapkan proses dinamika internasional sebagai

akibat dari interaksi yang terus menerus antara bangsa-bangsa di dunia.

Politik luar negeri berhubungan dengan semua usaha dari sistem politik nasioanl untuk beradaptasi dengan lingkungan geopolitiknya dan untuk menetapkan tindakan pengendalian terhadap lingkungannya agar dapat memenuhi nilai-nilai yang terdapat dalam sistemnya.16

Sufri Yusuf memberikan sebuah definisi standar menyatakan bahwa politik

luar negeri itu adalah politik untuk mencapai tujuan nasional dengan

menggunakan segala kekuasaan dan kemampuan yang ada.17 Karena situasi dan

kondisi dunia yang tidak statis, tetapi mengalami dinamika yang terus

berkembang, maka kebijaksanaan politik suatu negara selalu mengalami

penyusunan atau peyesuaian dengan kondisi politik luar negeri, karena politik luar

negeri merupakan perpanjangan tangan dari politik dalam negeri. Oleh sebab itu

kebijaksanaan politik luar negeri sangat ditentukan oleh kondisi obyektif politik

15 K.J. Holtsi, Politik Internasional : Kerangka Analisis Pedoman Ilmu, Jakarta, 1987, hal 88.16 Ibid, Hal. 13317 Sufri Yusuf, Hubungan Internasional dan Politik Luar Negeri, Sebuah Analisis Teoritis dan Uraian Pelaksanaanya, Pustaka Sinar, Jakarta, 1989, hal 110.

18

dalam negeri. Apa yang dirumuskan pada politik dalam negeri, akan menjadi

acuan untuk perumusan politik luar negeri yang di tujukan pada dunia

internasional.

Amerika Serikat sendiri dalam pelaksanaan politik luar negeri tentunya juga

berorientasi pada kepentingan nasional yang di dasarkan pada kondisi obyektif

baik di dalam negeri maupun kondisi politik internasional yang berkembang saat

ini. Bila ditinjau dari segi filsafat politik, politik luar negeri AS tampak unik

dalam menggabungkan kepraktisan yang selalu hati-hati dengan idealisme yang

utopis. Di satu sisi politik luar negeri Amerika Serikat dapat berperan untuk

melindungi negara lain dengan cara memperluas kepentingan AS di seluruh dunia,

disisi lain AS mempunyai tugas mengubah system internasional sedapat mungkin

seperti keinginannya yang di dasarkan atas kemauan dan citranya sendiri dan AS

menginginkan kedua cara itu dalam politik luar negerinya. Sifat yang dapat

dikatakan tidak taat azas itu menyebabkan politik luar negeri AS menunjukkan

ciri khas yang bertentangan.

Seperti yang kita ketahui, kepentingan nasional suatu negara bersumber dari

budaya bangsanya, yaitu hidup bangsa, pola pikir dan sikap yang terbentuk

melalui proses pengalaman sejarah yang diwariskan dari bangsa itu sendiri.

Karena politik luar negeri suatu negara merupakan kelanjutan atau perjuangan

dari kepentingan nasionalnya, maka AS sebagai negara besar dan satu-satunya

negara adi kuasa sejak berakhirnya Perang Dingin memfokuskan politik luar

negerinya terhadap penciptaan tata politik internasional yang sesuai dengan

kepentingan nasionalnya.

19

B. Konsep Kepentingan Nasional

Dalam sistem internasional, pola interaksi yang terjadi antara negara-negara

pada umumnya di landasi oleh adanya kepentingan-kepentingan tertentu yang

ingin dicapai oleh setiap negara. Masing-masing negara dalam sistem

internasional berkewjiban memberikan tanggapan-tanggapan atas situasi

internasional dalam berbagai tujuan nasional yang diinginkan sesuai dengan

kepentingan nasionalnya masing-masing. Kebutuhan dan tujuan dari berbagai

aspek kehidupan yang saling berkaitan satu sama lain dari setiap negara

dirumuskan dalam bentuk kepentingan nasional.

Kepentingan nasional merupakan konsep yang paling populer dalam analisa

hubungan internasional, baik untuk mendeskripsikan, menjelaskan, meramalkan,

maupun menganjurkan perilaku internasional. Konsep kepentingan nasional

merupakan dasar untuk menjelaskan perilaku suatu negara.18 Kepentingan

nasional merupakan konsepsi yang sangat umum tetapi merupakan unsur yang

menjadi kebutuhan sangat vital bagi negara. Unsur tersebut mencakup

kelangsungan hidup bangsa dan negara, kemerdekaan, keutuhan wilayah,

keamanan militer dan kesejahteraan ekonomi sehingga pperlu suatu usaha

untukmemperoleh kepentingan tersebut. Kepentingan nasional memberikan

ukuran konsistensi yang diperlukan dalam kebijakan nasional. Suatu negara

sangat memperhatikan kepentingan nasionalnya dalam situasi yang sangat cepat

berubah, akan lebih cenderung untuk mempertahankan keseimbangannya dan

18 Mochtar Masoed, Ilmu Hubungan Internasional : Disiplin dan Metodologi, PT. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, hal 139

20

selalu melanjutkan usaha ke arah tujuannya dari pada mengubah kepentingannya

dalam menyesuaikan diri dengan situasi baru di lingkungan sekitarnya.19

Kepentingan nasional bukanlah suatu teori yang terinci akan tetapi lebih

banyak digunakan pada waktu-waktu pemilihan apa saja dalam bentuk simbol

atau slogan. Kepentingan nasional dibentangkan kepada rakyat sebagai doktrin-

doktrin, dan dalam suatu negara, kepentingan nasional itu dapat berubah-ubah

sesuai waktu, situasi, dan kondisi.20

Berkembangnya persaingan antar negara dalam konteks internasional

menekankan arti penting untuk menggunakan formula kepentingan nasional

sebagai kerangka untuk mencapai tujuan-tujuan kebijaksanaan politik luar negeri.

Dengan mengesampingkan kenyataan bahwa kita sekarang berada dalam sistem

internasional yang ketergantungan, negara, bangsa tetap mendasarkan keputusan

kebijaksanaan luar negerinya pada kepentingan nasional mereka. Maka James

Rosenan menandaskan bahwa :

Sebagai alat analitik, kepentingan nasional dipergunakan untuk menggambarkan, menjelaskan, atau mengevaluasi sumber-sumber atau kelayakan kebijaksanaan politik luar negeri suatu negara sebagai instrument dari tindakan politik, konsep tersebut berfungsi sebagai alat untuk membenarkan, mengabaikan atau mengusulkan kebijaksanaan-kebijaksanaan.21 Morgenthau telah mendefinisikan kepentingan nasional sebagai power

(kekuatan). Dalam konteks ini, konsep kepentingan nasioanl disamakan dengan

konsep kelangsunagn hidup (National Survival). Jadi, kepentingan nasional,

merupakan esensi dari politik. Defenisinya mengenai kepentingan nasional ini

19 Jack C Plano & Roy Olton, Kamus Hubungan Internasional, Edisi Ketiga, Putra A Bardir, Jakarta, 1999, hal 7.20 Sufri Yusuf, Op Cit., hal 4721 Dahlan Nasution Politik Internasional Konsep dan Teori Erlangga Jakarta 1989 hal 26

21

konsisten dengan teori kekuatan politik, dimana sasaran dari negara-negara adalah

mempengaruhi actor lain dalam rangka mencapai kepentingan-kepentingan

negaranya.22

Kemampuan untuk mencapai kepentingan nasional sangat bergantung pada

kekuatan nasional yang dimiliki. Secara konvensional, kekuatan nasional terbagi

kedalam tiga kategori yaitu : instrument ekonomi, politik, dan militer.23 Beberapa

analisis politik internasional seperti Robert Gilpin dan Hendry Kissinger

menambahkan onstrmen-instrumen lain, seperti geografis, demografi, dan

kehendak nasional pada sumber-sumber kekuatan nasional. Tiga komponen diatas

bermanfaat bagi tujuan analitik, sedangkan pada prakteknya ketiga bentuk

kekuatan itu saling berhubungan satu sama lain.

Instrumen kekuatan ekonomi atan ekonomi berkenaan dengan digunakannya

bantuan ekonomi atau ancaman ekonomi untuk membuat seseorang atau satu

negara menuruti kebijaksanaan negara yang pertama. Misalnya Amerika Serikat

dapat menawarkan untuk menaikkan tingkat bantuan ekonominya atau sebaliknya

mengancam untuk menarik bantuannya terhadap suatu bangsa, sehubungan

dengan mau atau tidaknya negara tersebut menuruti garis kebijaksanaan Amerika

Serikat.

Instrumen kekuatan politik atau diplomatik meliputi segala aktivitas yang

terukur dan terampil dari pada diplomat suatu negara yang berusaha meyakinkan

pihak lain akan garis kebijaksanaan negaranya. Keberhasilan AS dalam

menggalang kerjasama global dalam memberantas terorisme internasional, sangat

22 Ibid, hal 27.23 Ibid, hal 29.

22

bergantung pada kekuatan politik atau diplomasinya. Keberhasilan instrument ini

secara murni relative sulit dicapai apabila tidak didukung oleh kekuatan ekonomi

atau militer. Kekuatan militer, baik itu ancaman maupun penggunaan

sesungguhnya, merupakan instrument yang ketiga dan terakhir. Dalam budaya

Amerika, penggunaan kekuatan militer adalah pilihan yang terakhir, suatu jalan

yang di ambil apabila jalan lainnya telah gagal.

Penggunaan ketiga instrument di atas tergantung sepenuhnya pada situasi

dan kondisi. Ketiga instrument inilah yang kemudian dijadikan senjata bagi AS

untuk memberantas terorisme internasioanl. Seperti embargo ekonomi kepada

negara-negara yang menjadi sponsor terorime, tekanan maupun lobi diplomatik,

dan penggunaan kekuatan militer dalam memberantas terorisme internasional.

C. Konsep Terorisme sebagai Kejahatan Transnasional

1. Sejarah dan Perkembangan Terorisme

Wacana tentang terorisme aksi terror, sejauh yang dapat direkam sejarah,

sudah berlangsung sejak era Yunani Kuno. Sejarahwan Yunani, Xenophon (430-

349 SM) pernah mengulas tentang manfaat dan efektifitas perang urat syaraf

untuk menakut-nakuti musuh.24 Tetapi sulit diketahui, kapan aksi terror mulai

dilakukan. Ada yang berpendapat, aksi terror seusia dengan sejarah peradaban

manusia sendiri. Bahaya terorisme pun berkembang semakin kompleks seiring

dengan kemajuan peradaban dan teknologi.

Serangan terorisme 11 September 2001 di New York dan Washington

mempelihatkan penggunaan teknologi tinggi oleh kaum teroris. Aksi terorisme di

24 Rene L Pattiradjawane Terorisme : Mekanisme Melawan Ketidakadilan, Pustaka Kompas Jakarta 2001

23

AS itu menjadi sebuah tragedy yang dipertontonkan di depan publik dunia. Efek

publikasi oleh media massa sangatlah tinggi.

Sampai abad ke 18, tindakan teror masih berkisar pada tindakan

penyiksaan. Pembuangan, penculikan, pembunuhan, dan penyitaan harta benda.

Ironisnya, penguasa sering menggunakan terror untuk mematahkan kekuatan

masyarakat yang dinilai membangkang. Bahkan istilah teror dan terorisme

digunakan sebagai suatu yang positif dalam pemerintahan Perancis tahun 1793-

1794.25 Meski istilah teror atau terorisme baru mulai populer pada abad ke-18,

namun fenomena yang di tunjukkannya bukanlah baru. Menurut Grand Wardlaw

dalam buku Political Terorism, manifestasi terorisme sistematis muncul sebelum

Revolusi Perancis, tetapi baru mencolok sejak paruh kedua abad ke-19. Dalam

suplemen kamus yang dikeluarkan Akademi Perancis tahun 1798, terorisme lebih

diartikan sebagai sistem rezim teror.26

Terorisme muncul pada akhir abad 19 dan menjelang terjadinya Perang

Dunia I, terjadi hampir di seluruh belahan dunia. Pada pertengahan abad ke-19,

terorisme mulai banyak dilakukan di Eropa Barat, Rusia, dan Amerika. Mereka

percaya bahwa cara yang paling efektif untuk melakukan revolusi politik maupun

sosial, dengan cara membunuh orang-orang yang berpengaruh.27 Sementara itu,

organisasi terorisme telah bermunculan dimana-mana di dunia dengan berbagai

alasan. Terorisme benar-benar menjadi gejala global. Gerakan kelompok

terdahulu seringkali memberi inspirasi bagi pembentukan dan kegiatan kelompok

yang lebih kemudian. Bahkan, dikalangan kelompok terorisme itu terdapat jalinan

25 Ibid, hal 8.26 Rikard Bagun, “Indonesia di Peta Terorisme Global”,17 November 201027 History of Terrorism, http://www.terrorismfiles.org/encyclopaedia/history_of_terrorism.html

24

kerjasama. Sindikat itu dimungkinkan oleh sistem komunikasi internasional yang

lancar, cepat, dan massal.

Terorisme secara potensial terdapat di berbagai masyarakat dunia. Hanya

aktualisasinya sangat tergantung pada kerawanan kondisi, ekonomi, politik, dan

psikologis. Kehidupan sosial politik yang timpang menimbulkan frustasi dan

keputusasaan yang mendorong orang menjadi agresif dan melakukan terror.

Sementara itu, tidak sedikit yang menggunakan teror sebagai senjata perjuangan

untuk mengejar tujuan politik. Tidak jarang, aksi terorisme juga dilakukan oleh

fanatik atau militant yang bersifat religius. Sikap militansi ini bias timbul dalam

setiap agama, tanpa terkecuali. Kelompok militan, fanatic dan radikal bias timbul

di lingkunagn agama Hindu, Budha, Sikh, Yahudi, Katolik, Kristen, Islam, dan

sebagainya. Golongan fanatic ini cenderung menegasikan yang lain.28

2. Pengertian Terorisme

Istilah teror atau dalam bahasa Perancis, terreur adalah istilah yang

digunakan para pejuang revolusi perancis atas tindakan anarkis, kebuasan atau

pembunuhan yang dilakukan secara sewenang-wenang ketika berlangsungnya

revolusi perancis dari tahun 1793-1794. Sedangkan terorisme adalah usaha-usaha

atau aktivitas untuk menciptakan rasa takut yang mendalam melalui upaya-upaya

pembunuhan, penculikan, pemboman dan tindak kekerasan yang lainnya.

Sedangkan PBB mengkategorikan terorisme kedalam bentuk kejahatan terhadap

kemanusiaan (Crime against Humanity) karena setiap aksi terorisme dinilai

melanggar hak-hak asasi (Human Right) seperti hak hidup, hak bebas dari

penyiksaan, hak bebas dari rasa takut dan keamanan.

28 Hinayahtullah Hasin Gerakan Terorisme di Timur Tengah Penerbit Mizan Bandung 1999 hal 27.

25

Mendefinisikan terorisme merupakan perkara yang rumit, sebab ia merupakan

persoalan moral, dan penilaiannya sangat beragam bagi tiap orang. Upaya pendefinisian

terorisme telah diupayakan oleh berbagai pihak, terutama Amerika Serikat yang sangat

berkepentingan dalam upayanya dengan apa yang dinamakan “Perang Global Melawan

Terorisme”.29

Defenisi yang umum digunakan yaitu penggunaan kekerasan oleh

individu/kelompok demi suatu kepentingan yang lebih besar, biasanya

kepentingan politik. Defenisi ini digunakan untuk menggambarkan aksi-aksi teror

dilakukan oleh sekelompok minoritas yang merasa telah diabaikan hak atau

mendapat perlakuan diskriminatif dari kelompok mayoritas. Ketidakmampuan

untuk melawan secara langsung membuat mereka melakukan aksi-aksi teror agar

keinginan mereka dapat dipenuhi.

Terorisme menurut Konvensi PBB tahun 1937 merupakan segala bentuk

tindakan kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud dan

tujuan menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok

orang atau masyarakat luas.30

Adapun beberapa defenisi tentang terorisme dari berbagai lembaga maupun

para ahli antara lain sebagai berikut :

a. Terrorism Act 2000, UK

Terorisme mengandung arti sebagai penggunaan atau ancaman tindakan

dengan ciri-ciri :

29 Manajemen Krisis Dalam Menanggulangi Terorisme, Drs. Sudarto http://www.dephan.go.id/modules. php?name=Sections&op=viewarticle&artid=56.30 Loudewijk F. Paulus, 2006. Terorisme http://buletinlitbang.dephan.go.id

26

a. aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang,

kerugian berat terhadap harta benda, membahayakan kehidupan

seseorang, bukan kehidupan orang yang melakukan tindakan,

menciptakan resiko serius bagi kesehatan atau keselamatan publik

atau bagi tertentu yang didesain secara serius untuk campur tangan

atau mengganggu sistem elektronik.

b. penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan politik, agama atau

ideologi.

c. penggunaan atau ancaman yang masuk dalam subseksi yang

melibatkan senjata api dan bahan peledak.

b. Menurut The U.S. by the Code of Federal Regulations.31

Terorisme adalah The unlawful use of force and violence against

persons or property to intimidate or coerce a government, the civilian

population, or any segment thereof, in furtherance of political or social

objectives. (28 C.F.R. Section 0.85)

c. Menurut Konvensi PBB tahun 1937.32

Terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan

langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror

terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas.

31 Definition of Terrorism, http://www.terrorismfiles.org diakses 20 Januari 201132 Loudewijk F. Paulus, 2006. Terorisme http://buletinlitbang.dephan.go.id diakses 20 Februari

2011

27

d. Menurut sekjen PBB Koffi Annan, dalam Undang-Undang

pemberantasan tindak pidana terorisme(UU Anti Terorisme), buku putih

Dephan.33

Terorisme merupakan suatu ancaman dan negara-negara harus melindungi

warga negaranya dari ancaman itu. Negara tidak hanya mempunyai hak tetapi

juga harus sangat berhati-hati untuk memastikan bahwa tindakan-tindakan

melawan terorisme tidak berubah menjadi tindakan-tindakan untuk menutupi, atau

membenarkan pelanggaran HAM.

Pakar terorisme internasional Steven Den Besk mendefinisikan terorisme

sebagai suatu tindakan yang menimbulkan ketakutan (rasa takut) kepada suatu

kelompok orang melalui tindakan kekerasan untuk mencapai tujuan tertentu.34.

Sedangkan Erich Fromm berpendapat bahwa terorisme merupakan cara-cara

memperjuangkan kepentingan melalui aktivitas yang militant tanpa mengabaikan

nilai-nilai kemanusiaan.35 Disisi lain aktivitas terorisme sering menyita perhatian

khalayak baik itu secara local maupun internasional. Hal ini sesuai dengan

pendapat Ali Khan seorang pakar terorisme internasional dari Westborn

University School of Law Amerika Serikat bahwa para pelaku terorisme sengaja

menciptakan suasana takut dan mencekam atau teror untuk menarik perhatian

masyarakat mengenai apa-apa yang mereka inginkan atau perjuangan mereka.36

33 Petrus R. Golose, 2009. Deradikalisasi Terorisme : Humanis, Soul Approach, dan Menyentuh Akar Rumput. Hal : 5

34 Maryani Katoppo, Terorisme dan Sejarah Kekerasan Manusia Disertasi Program Master Ilmu Sejarah Program Magister Ilmu Sejarah FISIP UI, 2000 hal 32.35 Ibid.36 Ibid,. Hal 33

28

Teroris merupakan pelaku aksi-aksi terror yang biasanya gerakannya

berbasis pada ideologi anarkisme, revolusioner, dan nihilisme. Hal ini sesuai

dengan pendapat Seven Den Besk bahwa para teroris biasa memperjuangkan

kepentingannya melalui cara-cara anarki dan revolusioner.37 Menurut analisis

Anthony Storr, pelaku teror umumnya penderita psikopat agresif. Gangguan

psikologis yang parah membuat pelaku aksi terror menjadi manusia yang

kehilangan nurani, bersikap kejam, agresif, sadistis, dan tanpa ampun. Seluruh

perasaan takut seolah dibunuh habis, termasuk perasaan takut terhadap kematian

atas dirinya sendiri, apalagi kematian orang lain.38 Aksi terorisme itu merupakan

kombinasi antara kecerdasan, keberanian, kenekatan, dan pilihan mati secara

tragis. Kombinasi yang sangat aneh bagi penentang terorisme tapi bukan bagi

kaum teroris.39

Spekturm terror bisa mulai dari non-violence sampai violence, tetapi

tujuannya sama, yakni menciptakan pengaruh tidak melalui ketakutan. Buku

pegangan atau handbook yang digunakan oleh para teroris terbentang mulai dari

penyebaran sianida, virus, sampai pengeboman. Teknologi teror mengalami

pencanggihan bersamaan dengan perkembangan teknologi persenjataan. Bahkan,

banyak senjata kini diproduksi tanpa mengacu pada humanitarian principle.

Artinya, senjata-senjata itu sebenarnya di peruntukkan bagi para teroris untuk

melakukan terrorizing, misalnya bom surat atau racun yang berpengaruh langsung

pada kerja jantung. Teroris memang lebih rileks disbanding para intel karena

tinggal mencuri teori-teori yang dikembangkan operasi intelejen yang tidak kalah

37 Loc cit38 Loc cit39 Ibid,. Hal 34

29

biadab. Itulah mengapa saat ini ada gerakan untuk mengatur operasi intelegen

pada batas-batas humanitarian yang diperkenalkan melalui undang-undang dan

peraturan pemerintah.

Berdasarkan literature ilmu politik, politik teror meiliki empat komponen

yaitu : Pertama, kekerasan adalah bagian yang dibutuhkan dalam membuat aksi

politik. Kekerasan, apalagi yang dramatis, menjadi strategi yang dianggap paling

efektif untuk merebut perhatian dunia. Semakin dunia memberi perhatian,

semakin sukses aksi politik terror. Pesan politik yang hendak mereka sampaikan

jauh lebih bergema setelah perhatian public dapat diraih.

Kedua, tujuan menghalalkan cara. Seringkali dibalik terror aneka aksi

terror ada tujuan mulia. Tujuan itu dapat berupa misi ideology, bahkan

keagamaan. Mungkin pula tujuannnya adalah bagian dari perjuangan politik

sebuah kelompok yang tertindas untuk dapat meraih apa yang menjadi haknya.

Namun politik terror menghalalkan segala cara sejauh itu efektif untuk mencapai

tujuan. Bahkan jika untuk mencapai tujuan itu diperlukan korban manusia,

termasuk korban dari rakyat tidak berdosa, itupun dapat di tempuh.

Komponen yang ketiga adalah gerakan terselubung. Aksi terror dilakukan

dalam sebuah jaringan kerja yang secara sengaja disembunyikan dibawah

permukaan. Mereka tidak mempercayai mekanisme politik konvensional dapat

memenuhi tercapainya aspirasi polotik yang mereka perjuangkan. Politik non

konvensional dipilih karena dianggap satu-satunya mekanisme yang tersedia

untuk turut bicara dan didengar.

30

Keempat, militansi dan fanatisme pelaku. Berbeda dengan politik

konvensional, politik terror di dukung personel yang tingkat militansinya amat

tinggi. Apalagi jika misi utama kelompok itu berwarna keagamaan atau

kemnerdekaan sebuah bangsa. Aksi nekat yang berakhir dengan kematian pelaku

seperti bunuh diri adalah hal yang biasa.40

Bagi politisi biasa, nyawanya adalah harga tertinggi. Mereka tak mau

menukar nyawa mereka baik dengan jabatan ataupun harta. Namun bagi pelaku

aksi terror, ada cita-cita tinggi yang membuat mereka bersedia mengorbankan

nyawa.

3. Terorisme Internasional

Jangkauan gerakan terorisme terus meluas, melampaui batas-batas wilayah

negara. Mobilitas kaum teroris meningkat tajam akibat kemajuan transportasi dan

komunikasi. Kerjasama di antara gerakan terorisme membentuk jaringan

terorisme regional dan international. Hampir setiap kawasan memiliki organisasi

terorisme. Organisasi terorisme yang pernah terkenal di Amerika Latin misalnya

FARC (Fuerzas Armadas Revolucionarias de Colombia) di Kolombia, CAL

(Comandos Armados de Liberacion) di Puerto Rico Sendero Luminoso (Jalan

Terang) di Peru, dan lain-lain. Di Kanada pernah terkenal FLQ (Front de

Liberacion du Quebec).41

Secara kualitatif, kiprah kaum teroris sudah banyak berubah di bandingkan

dengan masa lalu, terutama karena kemajuan teknologi. Perkembangan dramatis

40 Meriam Budiardjo, Teror dalam Tatanan Struktur Politik PT. Gramedia Jakarta 2001 hal 52.

41 Maryani Katoppo, Op Cit. Hal 40

31

mulai terjadi pada abad ke-20 dan sekitaran tahun 1960-an dan 1970-an, ketika

kaum teroris meningkatkan pembajakan pesawat sebagai salah satu bentuk

aktifitasnya. Imbasnya kemudian terasa di Indonesia tahun 1981 ketika pesawat

DC-9 Woyla Garuda Indonesia dibajak dan dipaksa mendarat di Penang

(Malaysia) dan kemudian Don Muang, Bangkok (Thailand).42

Fenomena terorisme betambah menarik karena semula muncul dari

kondisi social cultural tertentu, tetapi berkembang pula dimensi internasionalnya.

Grant Wardlaw bahkan menyatakan terorisme merupakan sesuatu yang bisa

diekspor. Terrorism is now an export industry.43 Bahkan, Collin Wilson menyebut

terorisme sebagai The Worlds Most Sinister Growth Industry. Dalam praktiknya,

internasionalisasi terorisme tidak hanya berarti bahwa organisasi terorisme yang

satu menjadi inspitrasi bagi idea tau kegiatan untuk kelompok lain, tetapi juga ada

hubungan timbal balik dalam bidang latihan, dukungan logistik, personal, dan

bahkan orientasi ideologis yang sama.

Pada perkembangannya istilah terorisme di pakai dalam space yang lebih

luas. Karena aksi yang dilakukan oleh para teroris semakin meluas melewati

batas-batas satu wilayah negara, akibatnya ancaman kekerasan yang menyertai

aksinya dirasakan lebih mengglobal, artinya wilayah-wilayah ikut merasa

terancam. Terorisme Internasional juga merupakan ekses dari berakhirnya Perang

Dunia II, dimana keamanan negara tidak lagi diukur secara konvensional.

Keamanan negara juga sangat memperhitungkan isu-isu lain diluar perang

42 Ibid hal 4143 Ibid hal 42

32

antarnegara, seperti konflik internal, globalisasi, pasar bebas, termasuk ancaman

terorisme.

Terorisme Internasional adalah bentuk kekerasan politik yang melibatkan

warga negara atau wilayah lebih dari satu negara. Ia juga dapat diartikan sebagai

tindakan kekerasan yang dilakukan diluar ketentuan, diplomasi internasional dan

perang. Terminologi terorisme internasional seringkali digunakan dengan tidak

hati-hati dalam arti bahwa terorisme tidak hanya masalah-masalah melibatkan

antar-wilayah saja, tetapi setiap terorisme mempunyai pengaruh dalam persoalan

internasional, tidak peduli apakah ia hanya kelompok marginal atau kelompok

teroris secara tidak langsung.

Persoalan terminologi ini juga mengalami perdebatan dimana ada penulis

yang menyatakan bahwa penggunaan istilah tersebut tidak perlu, karena kata

“internasional” tidak pernah secara eksklusif di artikan sebagai hubungan-

hubungan antar-pemerintah, sebagai contoh internasional secara umum juga

dipergunakan untuk budaya, ekonomi, dan aktivitas-aktivitas lain serta transaksi-

transaksi lain yang melibatkan warga dari negara yang berlainan. Sehingga

beberapa penulis lebih suka memakai kata “transnational” bagi kelompok teroris

yang secara internasional beroperasi dengan tujuan jangka panjang revolusi global

atau menciptakan revolusi dunia.

Contoh-contoh gerakan transional terorisme atau terorisme internasional

antara lain I.R.A yang menyerang London, Bakkunist Anarchist International

yang katif di Eropa pada 1870-an, gerakan Japanese United Army (JPR) yang

33

mempunyai tujuan menciptakan “world revolution”, juga yang terjadi di Taliban

dengan Al-Qaidah nya yang menyerang gedung WTC dan Pentagon di AS.

Tindakan terorisme juga dapat dikatakan internasional jika ia secara diam-

diam berkolaborasi atau beraliansi sesama teroris dan pemerintah, serta dengan

gerakan terorime di negara lain. Singkatnya, terorisme menjadi internasional

dengan beberapa tindakan atau yang mendukungnya, antara lain:

1. Secara langsung di luar negeri atau dengan target luar negeri;

2. Diselenggarakan oleh pemerintah atau faksi lebih dari satu negara;

3. Juga mempunyai tujuan untuk mempengaruhi kebijakan negara-negara lain.44

44 http://dewitri.wordpress.com/2008/02/01/teroris-sebagai-non-state-actor-baru-dalam-hubungan-internasional/ Diakses tanggal 10 Juni 2011

34

BAB III

GAMBARAN UMUM KEBIJAKAN POLITIK LUAR NEGERI

AMERIKA SERIKAT TERHADAP TERORISME DI ASIA TENGGARA

A. Kebijakan Polugri Amerika Serikat Terhadap Terorisme Asia Tenggara

Dalam kajian politik luar negeri, perkembangan dan bahkan perubahan

baik yang terjadi di lingkungan internasional (eksternal) dan internal suatu negara

merupakan faktor-faktor signifikan yang perlu di perhatikan oleh para pengambil

keputusan. Perubahan-perubahan fundamental yang terjadi dalam hubungan

internasional beberapa waktu terakhir ini, seperti berakhirnya Perang Dingin,

bubarnya Uni Soviet, secara faktual telah memaksa aktor negara-bangsa untuk

mengubah agenda politik luar negerinya. Secara teoritis, perubahan mendasar

yang terjadi dalam sistem internasional terjadi ketika aktor negara-negara besar

melalui politik luar negeri yang di jalankannya, mengubah aturan dan norma-

norma dalam interaksi internasional mereka. Pola hubungan diplomatik antar

negara dengan demikian, tidak saja mempengaruhi hierarki dan stuktur aktor

tetapi akan memunculkan pula tingkat yang berbeda dalam tindakan (outcomes)

politik luar negerinya.

Kendati Amerika Serikat kini muncul sebagai satu-satunya negara

adikuasa, namun para pengambil keputusan politik luar negeri Amerika Serikat

merasa perlu untuk terus menerus menyesuaikan agenda politik luar negerinya

sesuai dengan perubahan sistemik dan situasional yang terjadi di lingkungan

eksternal dan internalnya. Dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat

mencerminkan pandangan Amerika Serikat sebagai negara adikuasa tunggal di

35

dunia yang saling membutuhkan dan bergantung dengan negara-negara lain. Hal

ini dapat dilihat dalam berbagai hubungan kerjasama Amerika Serikat dengan

berbagai negara di dunia dalam rangka mencapai berbagai tujuan dan kepentingan

Amerika Serikat. Pelaksanaan strategi tersebut terutama untuk mengamankan

kepentingan-kepentingannya, Amerika Serikat dapat memanfaatkan sumber daya,

seperti perekonomiannya, sekutu-sekutu di bawah kepemimpinan yang tegas

dapat menunjang politik luar negerinya. Kekuatan militer yang besar dan

diplomasi.

Pada kawasan Asia Tenggara, Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat

tampaknya tidak berbeda dengan dekade sebelumnya, yaitu kebijakan luar negeri

yang ditujukan untuk menghadapi ancaman musuh Amerika Serikat. Dengan kata

lain, kebijakan luar negeri Amerika Serikat di kawasan Asia Tenggara merupakan

usaha Amerika Serikat untuk mempertahankan kepentingan dunia bebas dan

ancaman ideologi komunis pada saat menghangatnya Perang Dingin.

Di tinjau dari sudut kepentingan nasionalnya, Amerika Serikat tentu tidak

dapat membiarkan kekuatan lain ingin menguasai kawasan Asia Tenggara karena

tertanamnya modal Amerika Serikat yang tidak sedikit di negara Asia Tenggara

yang kaya akan bahan baku dan letaknya yang sangat strategis antara dua benua

dan dua samudera. Oleh karena itu maka Asia Tenggara merupakan wilayah yang

terus diperhitungkan oleh Amerika Serikat, termasuk juga Indonesia.

Terdapat 3 (tiga) kemungkinan bagi Amerika Serikat untuk memainkan

peranannya di Asia Tenggara. Pertama, menciptakan stabilitas sambil menguasai

dan membawa Asia Tenggara dalam pengaruh Amerika Serikat. Yang kedua, ikut

36

menstabilkan wilayah tersebut secara bersama-sama dengan bangsa-bangsa Asia

Tenggara sambil mengimbangi pengaruh-pengaruh komunis yang ingin

mempengaruhi kawasan tersebut. Dan yang ketiga seperti yang diinginkan oleh

bangsa-bangsa ASEAN agar Asia Tenggara menjadi negara yang aman, damai,

bebas, dan netral.45

Secara umum, kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat dalam

menghadapi terorisme di kawasan Asia Tenggara adalah sebagai berikut :

1. Mengeluarkan kebijakan Travel Advisory dan Travel Warning terhadap

negara-negara di Kawasan Asia Tenggara yang memiliki potensi menjadi

target serangan teroris seperti Filiphina, Malaysia, Singapura, dan

Indonesia bagi warga Negara Amerika Serikat yang akan bepergian ke luar

negeri terutama lagi pasca serangan bom Bali di Indonesia.

2. Meningkatkan kuantitas jumlah personil Amerika Serikat di kawasan Asia

Tenggara. Dari jumlah 82.000 personil militer ditingkatkan menjadi

100.000 personil militer Amerika Serikat yang bertugas di seluruh

kawasan Asia karena pemerintah Amerika Serikat menilai bahwa di

kawasan Asia Tenggara terdapat negara-negara sponsor terorisme dan

negara-negara yang dinilai mempunyai gerakan fundamental/militan yang

agresif terhadap kemungkinan serangan aksi terorisme. Pemerintah

Amerika Serikat juga memprakarsai pertemuan 22 Komandan Militer se

Asia Pasifik di Singapura.

45 Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Diplomatic Year Book,1994, Washington DC. Hal 14-15.

37

3. Menggiatkan kampanye Anti Terorisme melalui forum-forum kerjasama

regional/internasional seperti APEC (dimana sebagian besar negara-negara

kawasan Asia Tenggara menjadi anggotanya) yang melahirkan pernyataan

bersama pemimpin Negara anggota APEC yakni tertuang dalam

Statementon Recent Acts of Terorism in APEC Member Economics dan

APEC leader Statement on Fighting Terorism and Promoting Growth.

4. Selanjutnya, dengan ASEAN, pemerintah AS membuat kesepakatan anti

terorisme, dalam ASEAN-US Join Declaration for Corporation to Combat

International Terorism yang akan merupakan kerjasama antara Amerika

Serikat dengan 10 negara anggota ASEAN mengenai pertukaran informasi

intelejen, kerjasama teknis dan upaya bersama menghentikan sumber

keuangan jaringan terorisme internasional.

Secara khusus, pemerintah Amerika Serikat juga mengeluarkan kebijakan

yang bersifat bilateral di kawasan Asia Tenggara, yakni :

1. Dengan Malaysia yaitu, pemerintah Amerika Serikat akan membentuk

pusat koordinasi anti terorisme regional Asia Tenggara di Malaysia. Dimana

Malaysia bersama-sama dengan Amerika Serikat akan menjadi kordinator

untuk semua aktifitas untuk mencegah aksi terorisme di kawasan tersebut.

Hal itu merupakan rangkaian penghargaan pemerintah Amerika Serikat

terhadap Malaysia atas kerjasama kedua negara memerangi terorisme.

Kemudian secara bilateral, kedua negara juga menandatangani kesepakatan

anti terorisme ketika kedua pemimpin negara tersebut bertemu di Amerika

Serikat pada tanggal 22 Mei 2002.

38

2. Dengan Filiphina. Sebagai salah satu negara sekutu terdekat Amerika

Serikat di kawasan Asia Tenggara yang akan menjadi negara penyangga

keamanan aset-aset property Amerika Serikat di Kawasan Asia Tenggara

maka Amerika Serikat secara bilateral mempunyai kebijakan khusus dengan

pemerintah Filiphina yakni : kerjasama militer dalam hal ini latihan bersama

yang terintegrasi dengan operasi penyelamatan dua sandera warga negara

Amerika Serikat dan sejumlah negara lainnya yang ditawan oleh kelompok

terorisme MILF (Kelompok Abu Sayaf di Filiphina Selatan).

Kelompok tersebut ditenggarai mempunyai hubungan dengan jaringan

terorisme internasional Al-Qaedah dan Operasi Balikatan (Bahu membahu)

merupakan wujud dari operasi pelatihan angkatan bersenjata AS-Filiphina

dengan 166 personil khusus angkatan bersenjata. Kerjasama militer tersebut

tergolong besar untuk sebuah latihan militer bersama yang melibatkan kurang

lebih 10.000 personil militer yang diantaranya 4568 serdadu Amerika Serikat,

6 kapal perang yang dimiliki kedua negara dan pesawat pengintai maritim.

Kerjasama militer ini berlangsung dari bulan Mei hingga Juli 2002. Di

samping itu Filiphina dan Amerika Serikat saling mendukung kebijakan

politik luar negeri masing-masing yang berkaitan dengan upaya kedua negara

dalam memerangi terorisme.

3. Selanjutnya dengan Indonesia. Pemerintah Amerika Serikat berusaha

dengan hati-hati mewujudkan kebijakan-kebijakan dengan hati-hati untuk

memerangi jaringan terorisme di wilayahnya. Dimana Indonesia di mata

pemerintah Amerika Serikat merupakan mata rantai yang lemah dalam

39

rangkaian kampanye. Washington memerangi terorisme di Kawasan Asia

Tenggara. Hal ini di sebabkan pemerintah Indonesia harus menghadapi

resistendi/penolakan dari masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim

terhadap kebijakan-kebijakan Amerika Serikat yang dinilai mendiskreditkan

umat dan kelompok-kelompok fundamental/militan islam di Indonesia yang

diduga terkait dengan jaringan terorisme internasional, sehingga pemerintah

Amerika Serikat melalui perwakilan resminya terlebih dahulu harus

mendekati simpul-simpul kekuatan muslim di Indonesia seperti Ormas

Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama.

Kemudian, pemerintah Amerika Serikat juga menitikberatkan kerjasama

bilateral di sector militer yang mana di khususkan kepada upaya-upaya

perang melawan terorisme internasional yang diduga telah masuk di wilayah

Indonesia. Dalam kerjasama tersebut termasuk pemberian dana hibah sebesar

50 juta USD yang akan dialokasikan untuk sector tersebut. Dari 31 juta USD

dana tersebut akan dipergunakan untuk pelatihan polisi dan program-program

pendukung lainnya (persenjataan dan termasuk teknologi pendukung), 19 juta

lainnya untuk pembentukan unit-unit satuan anti terror baru yang lebih

professional. Hal ini kembali mencairkan hubungan Amerika Serikat dan

Indonesia yang telah beku pasca pelanggaran HAM Timor Timor. Selain itu

paska peledakan bom Bali yang juga konsulat Amerika Serikat juga menjadi

sasaran semakin mengintensifkan kedua negara menjalankan kerjasama

bilateral dalam usaha memerangi terorisme internasional seperti kerjasama

antara kepolisian dan intelejen.

40

Dalam masa sebelum terjadinya tragedi 11 September, Indonesia bisa

dikatakan tidak menjadi bagian penting dalam Politik Luar Negeri Amerika

Serikat. Ada dua alasan utama mengapa hal ini terjadi. Pertama, karena faktor

historis. Dalam kadar tertentu, perhatian yang kecil dari pembuat kebijakan

Amerika Serikat terhadap Indonesia sebenarnya merefleksikan sikap public

Amerika Serikat pada umumnya. Jika dibandingkan dengan Filiphina dan

Vietnam, publik Amerika memang tidak memiliki sentiment historis yang kuat

dengan Indonesia. Indonesia tidak mempunyai pengalaman di bawah

pemerintahan Amerika Serikat seperti yang pernah dialami Filiphina. Publik

Amerika juga tidak memiliki pengalaman historis yang getir dengan Indonesia

seperti dialami tentara Amerika Serikat pada perang Vietnam di awal 1970-an

Kedua, karena faktor struktural. Harus diakui, kapabilitas power yang

dimiliki Indonesia baik dari dimensi ekonomi, militer, dan politik amat tidak

signifikan di tingkat internasional. Untuk kawasan Asia, Amerika Serikat

sebenarnya jauh lebih member perhatian kepada China, Jepang, dan India. Secara

ekonomi, misalnya, Indonesia kalah jauh dibandingkan dengan Jepang.46

Akan tetapi, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, tragedi 11

September telah mengubah pola Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat termasuk

terhadap Indonesia. Secara keseluruhan ada beberapa potensi yang dimiliki

Indonesia sehingga menimbulkan ketertarikan Amerika Serikat sehubungan

keterlibatan Indonesia dalam kampanye anti terorisme Amerika Serikat. Potensi-

potensi tersebut adalah :

46 Makmur Keliat, “Hubungan Indonesia-Amerika Serikat”. http://www.kompas.com/Diakses 20 Februari 2011

41

a. Penduduk muslim Indonesia adalah yang terbesar di dunia.

Sebagaimana yang diketahui kampanye global anti terorisme

Indonesia secara mayoritas ditujukan pada kelompok-kelompok

islam radikal seperti Al Qaeda dan Jamaah Islamiyah. Potensi yang

dimiliki Indonesia ini sangat penting bagi pelaksanaan kampanye

anti terorisme Amerika Serikat karena pabila mendapat dukungan

dari Indonesia, Amerika Serikat dapat memperbaiki sentiment yang

ditujukan pada negara tersebut sebagai negara anti muslim oleh

kebanyakan kelompok-kelompok pro Islam di dunia. Sebaliknya,

jika Indonesia berada dalam sikap konfrontasi akan meyulitkan

posisi Amerika Serikat.

b. Indonesia adalah negara penganut sistem demokrasi terbesar ketiga.

Bahkan jika melihat berdasarkan jumlah hasil pemilihan umum

tahun 1999, Indonesia menjadi negara dengan tingkat partisipasi

terbesar kedua setelah India dengan jumlah pemilih 90%.47 Hal ini

bisa dijadikan sarana untuk membangun kesamaan antara Indonesia

dengan Amerika Serikat sehingga dalam rangka mengimbangi

kebertolakbelakangan tentang gerakan radikal islam.

c. Frekuensi serangan teroris di Indonesia cukup besar mulai dari dua

kali pengeboman di Bali, JW Marriot, Kedutaan Besar Australia, dan

beberapa tempat lainnya. Beberapa kejadian itu menjadi indikasi

kuat bahwa ada kelompok teroris yang sedang beroperasi di

Indonesia.

47 www.kpu.go.id

42

d. Peran strategis Indonesia di Asia Tenggara cukup besar. Kestabilan

politik dan keamanan di Indonesia akan mempengaruhi negara-

negara Asia Tenggara sehingga juga berpengaruh pada kepentingan

Amerika Serikat di wilayah tersebut.48

e. Kondisi dunia Internasional saat ini meningkatkan arti penting

Indonesia. Saat ini, mayoritas negara-negara Islam termasuk

Indonesia yang seharusnya dekat dengan Amerika Serikat justru

tidak digarap dengan baik oleh Amerika Serikat sehingga mulai

merapat ke Rival Amerika Serkat yaitu Cina dan Rusia. Kunjungan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke cina yang disusul dengan

kunjungannnya ke Rusia membuat Amerika Serikat terusik. Hal ini

disebabkan setelah kunjungan ke Cina dan Rusia, Indonesia dapat

menjajaki kemungkinan paket non ekonomi seperti pembelian

senjata dan peralatan militer yang tentunya akan membuat Amerika

Serikat semakin risau.49

Faktor-faktor tersebut kemudian dijakdikan sebagai bagian dari kepentingan

politis Amerika Serikat yang harus ditangani secara tepat dalam kebijan politik

luar negerinya. Oleh karena itu, pemerintah Amerika Serikat merasa perlu terlibat

dalam penanganan terorisme di Asia tenggara.

B. Bentuk-Bentuk Terorisme di Asia Tenggara

48 Wiryono Sastrohandoyo. “US-Indonesia Relations Post 11 September”. http://www.eias.org/publications/briefing/2001/usindonesia911.pdf. Diakses 31 Maret 201149 “Isu Terorisme Cermin Kepentingan AS” http://www.beritasore.com/.. Diakses 2 Februari 2011

43

Asia Tenggara semakin mendapat sorotan dunia internasional lantaran

sejumlah peristiwa teror yang terjadi secara bertubi-tubi. Korban dalam jumlah

besar dan target serangan yang merupakan simbol-simbol Barat merupakan

persamaan dari serentetan teror yang terjadi di Indonesia, negara yang terletak di

kawasan Asia Tenggara. Pelaku teror ditengarai suatu kelompok yang memiliki

hubungan dengan Al Qaeda (AQ) di Afghanistan, bernama Jemaah Islamiyah.

Padahal AQ diindikasikan sebagai kelompok yang bertanggungjawab atas teror 11

November 2001 di AS.

Teror memang bukan hal baru di Asia Tenggara, sebab ada beberapa

kelompok pemberontak yang kerap menggunakan kekerasan sehingga

menyebarkan ketakutan di masyarakat. Berikut ini adalah beberapa kelompok

pemberontak dan teroris yang ada di Asia Tenggara.

Tabel 1

44

Kelompok Terorisme di Thailand

No Kelompok Terorisme

Negara Tujuan Keterangan Status

1

Pattani United Liberation Organisation (PULO) Thailand

Pemisahan diri, membentuk Negara islam

Motivasi keagamaan, diduga memiliki hubungan dengan ASG.

2 Guragan Mujahiden Islam Pattani

Thailand

Pemisahan diri, membentuk Negara Islam

Motivasi keagamaan, diduga memiliki hubungan dengan AQ and JI

3

Wae Ka Raeh Thailand

Pemisahan diri, membentuk Negara Islam

Motivasi keagamaan, diduga memiliki hubungan dengan AQ and JI

Sumber : Rohan Gunaratna, 2006. Terroris in Southeast Asia : Threat and Response. http://counterterrorismblog.org/site-resources/image/Gunaratna-Terrorism - _in_Southeast/Asia-Threat_and_Response.pdf

45

Tabel 2Kelompok Terorisme di Kamboja

No. Kelompok Teroris Negara Tujuan Kegiatan Status

1Cambodian Freedom Fighters (CFF)

Kamboja Politik lokal

2.Khmer Rouge

Kamboja Politik lokal

Sumber: Rohan Gunaratna, 2006. Terroris in Southeast Asia : Threat and Response. http://counterterrorismblog.org/site-resources/image/Gunaratna-Terrorism _in_Southeast/Asia-Threat_and_Response.pdf

Tabel 3Kelompok Terorisme di Filiphina

No. Kelompok Teroris

Negara Tujuan Kegiatan Status

1. Abu Sayyaf Group (ASG)

Filipina Selatan

Pemisahan diri, membentuk Negara Islam

Motivasi keagamaan, terkait dengan AQ

Dimasukkan dalam daftar organisasi teroris oleh AS

2. Moro Islamic Liberation Front (MILF)

Filipina Selatan

Tuntutan Otonomi, pemisahan diri, dan pembentukan negara Islam

Motivasi keagamaan, terkait dengan JI

3. Moro National Liberation Front (MNLF)

Filipina Selatan

Tuntutan Otonomi, pemisahan diri

Ethnonationalis

4. New People’s Army

Filipina Politik lokal Komunis Dimasukkan dalam daftar organisasi

46

teroris oleh AS

Tabel 4Kelompok Terorisme di Myanmar

No Kelompok Teroris

Negara Tujuan Kegiatan Status

1. Karen National Union

Myanmar

Tuntutan otonomi/ pemisahan diri

Ethnonationalis

2. Kachin Defense Army Myanmar

Tuntutan otonomi/ pemisahan diri

Ethnonationalis

3.Eastern Shan State Army

Myanmar

Tuntutan otonomi/ pemisahan diri

Ethnonationalis

4.Ommat Liberation Front

Myanmar

Tuntutan otonomi/ pemisahan diri

Ethnonationalis

5.Kawthoolei Muslim Liberation Front

Myanmar

Tuntutan otonomi/ pemisahan diri

Ethnonationalis

6. Muslim Liberation Organization of Burma

Myanmar

Tuntutan otonomi/ pemisahan diri

Ethnonationalis

Sumber : Rohan Gunaratna, 2006. Terroris in Southeast Asia : Threat and Response. http://counterterrorismblog.org/site-resources/image/Gunaratna-Terrorism _in_Southeast/Asia-Threat_and_Response.pdf

47

Selain negara-negara di atas, masih ada beberapa negara lagi yang didiami

oleh kelompok jaringan terorisme seperti Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Di

negara ini terdapat kelompok atau jaringan terorisme yaitu Jamaah Islamiah.

Di kawasan Asia Tenggara peristiwa teror banyak terjadi di Indonesia,

Filipina dan Thailand. JI diduga berada di balik teror yang melanda Indonesia,

sedangkan Abu Sayyaf bertanggunggawab atas teror yang terjadi di Filipina, dan

kelompok pemberontak adalah pihak yang kerap menebar ketakutan lewat

sejumlah aksi kekerasan di Thailand. Tidak mengherankan jika 3 kelompok

tersebut, utamanya JI, paling sering disebut-sebut sebagai pihak yang

bertanggungjawab apabila terjadi insiden teror.

a. Jamaah Islamiyah

Kelompok ini berakar dari Darul Islam, yakni sebuah gerakan yang

menginginkan diterapkannya hukum Islam di Indonesia. Darul Islam berkembang

di akhir tahun 1940an dan terus berupaya melawan pemerintahan RI. Pada 1969,

Abu Bakar Ba’asyir bersama dengan Abdullah Sungkar diduga melakukan operasi

untuk mengembangkan Darul Islam.

Menurut PG Rajamohan dalam tulisannya tentang JI, di era pemerintahan

Soeharto, Ba’asyir pernah dijebloskan ke penjara tanpa peradilan lantaran dinilai

membahayakan. Karenanya usai keluar dari penjara, Ba’asyir memilih pergi ke

Malaysia pada 1985 dan menjadi guru mengaji. Saat itulah dia dianggap sebagai

pendiri JI, di mana pengikutnya tersebar hingga di luar Malaysia. Ba’asyir bahkan

48

merekrut sukarelawan untuk berjuang melawan Brigade anti-Muslim Soviet di

Afghanistan.

Pada 1990, Ba’asyir bertemu Hambali, seorang pria yang menginginkan

berdirinya kekhalifahan Islam di Asia Tenggara yang meliputi Indonesia,

Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Brunai dan Kamboja. Kemudian Ba’asyir

menjadi pemimpin politik organisasi tersebut, sedangkan Hambali menjadi

pemimpin militer. Bahkan Hambali mendirikan perusahaan Konsojaya untuk

memfasilitasi pencucian uang sebagai bentuk dukungan pada keuangan dan

logistic JI. Meski demikian Ba’asyir menyatakan dirinya tidak terkait dan tidak

tahu menahu tentang JI.

Rajamohan berpendapat, JI mendukung gerakan Islam di seluruh dunia.

Berdasarkan laporan AS, banyak pemimpin JI yang mendapat pelatihan di camp

teroris Pakistan dan Afghanistan. Karena itulah mereka memiliki hubungan dekat

dengan Al Qaeda dan Taliban. Lebih dari itu, AQ juga diyakini sebagai sumber

pendana utama bagi JI dan menyediakan logistik untuk mendukung kegiatan

teroris.

Peneliti terorisme Sydney Jones memaparkan, JI dibagi dalam 4 wilayah

operasi di Asia Tenggara, yakni:

Mantiqi 1: Malaysia, Singapura dan Thailand Selatan. Menitikberatkan pada

pendanaan.

Mantiqi 2: Indonesia (Jawa dan Sumatera). Dititikberatkan sebagai wilayah jihad.

49

Mantiqi 3: Filipina, Brunei Darussalam, Malaysia Timur, Indonesia (Kalimantan

dan Sulawesi). Dititikberatkan sebagai daerah pelatihan.

Mantiqi 4: Australia. Menitikberatkan pada aspek ekonomi dan pendanaan.50

Tujuan utama dari JI adalah membentuk Negara Islam yang meliputi

Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia dan Filipina. Aksi teror yang dilakukan

JI seperti terlihat dalam pengeboman di Bali dan di Jakarta adalah tipikal AQ, di

mana yang menjadi target serangan adalah kepentingan AS dan sekutunya. Sejak

tahun 2000, JI aktif melakukan teror yang antara lain dengan melakukan

pengeboman di Bali pada 2002 dan 2005, pengeboman Kedubes AS di Jakarta,

pengeboman Hotel JW Marriott Jakarta pada 2004, dan yang terbaru adalah

pengeboman Hotel Ritz Carlton dan JW Marriott Jakarta pada pertengahan 2009.

Deplu AS menyatakan, pada 2001 diperkirakan ada 200 kegiatan yang dilakukan

anggota JI di Malaysia. Di saat yang sama, pemerintah Singapura memperkirakan

total anggota JI hampir 5.000 orang.

b. Abu Sayyaf Group (ASG)

Kelompok Abu Sayyaf terbentuk pada 1991 dan berlokasi di Filipina

selatan. Pendirinya adalah Abduragak Abubakar Janjalani yang tewas tertembak

oleh polisi pada 1998. Pemimpin selanjutnya yakni Khaddafi Janjalani pernah

masuk dalam daftar teroris paling dicari oleh FBI sebelum tewas pada 2006.

Jumlah anggotanya kadang menurun dan di waktu lain meningkat tajam, bahkan

pernah tercatat ada 4.000 orang yang menjadi anggota aktif.

50 http://www.nctc.gov/site/groups/asg.html Diakses 10 Juni2011

50

Tujuan kelompok ini adalah mendirikan negara Islam di Mindanao Barat

dan di Kepulauan Sulu untuk selanjutnya mendirikan pan negara Islam di Asia

Tenggara. ASG dikenal sebagai kelompok separatis paling keras. Mereka

menggunakan teror untuk mendapatkan keuntungan finansial ataupun dalam

menyerukan jihad. Kelompok ini tidak segan-segan menculik, mengebom,

membunuh, dan juga pemerasan. ASG ditengarai memiliki keterkaitan dengan JI

karena mereka pernah memberikan tempat perlindungan bagi anggota JI dari

Indonesia yang menjadi buron.

Aksi kekerasan di Filipina juga dilakukan kelompok separatis Moro

Islamic Liberation Front (MILF) yang beroperasi di Mindanao, Kepulauan Sulu,

Basilan dan Jolo. Sejak 1978 kelompok ini telah melakukan pemberontakan

bersifat militer terhadap pemerintahan Filipina. Anggota organisasi ini

sebelumnya tergabung Moro National Liberation Front (MNLF). Pemisahan

dilakukan karena MNLF bersedia berdamai dengan pemerintah. Seperti halnya

dengan ASG, MILF juga memiliki hubungan istimewa dengan JI. MILF telah

memberikan izin untuk dilakukannya latihan militer bagi anggota JI di kamp-

kamp yang dimilikinya. Kelompok ini juga kerap memberikan bantuan kepada

ASG yang beroperasi di Basilan dan Jolo.

51

Tabel 5

Keterkaitan Kelompok Pengguna Teror di Asia Tenggara

ASG MILFKelompok Pemberontak di Thailand

JI

ASG pernah memberikan tempat perlindungan bagi anggota JI dari Indonesia yang menjadi buron.

MILF telah memberikan izin untuk dilakukannya latihan militer bagi anggota JI di kamp-kamp yang dimilikinya.

Mantiqi 3 yang juga meliputi Filipina Selatan memiliki hubungan dekat dengan MILF dalam mendapatkan senjata dan bahan peledak untuk mendukung pelatihan dan operasi.

Bersama dengan JI, kelompok pemberontak WKR bergabung dan berjuang bersama kaum Mujahidin di Afghanistan.

AQ Pendiri ASG adalah teman dari petinggi AQ, Osama bin Laden dna telah mengikuti pelatihan pada akhir 1980 di dekat Khost, Afghanistan.

Pada Desember 1991 hingga Mei 1992, seorang anggota Al Qaeda mendapat tugas

MILF pernah mengirimkan sekitar 700 anggotanya untuk mengikuti pelatihan militer dan bergabung dengan mujahidin di Afghanistan.

MILF mendapatkan pbantuan pelatihan dari AQ yang dilakukan di Mindanao dan

WKR membantu mujahidin berjuang Afghanistan.

52

melatih anggota ASG untuk membuat bom.

Afghanistan.

Salah satu anggota AQ membuat organisasi amal di Filipina untuk menyediakan bantuan melalui pendanaan pembangunan di bawah kontrol MILF.

Sumber : Rohan Gunaratna, 2006. Terroris in Southeast Asia : Threat and Response. http://counterterrorismblog.org/site-resources/image/Gunaratna-Terrorism - _in_Southeast/Asia-Threat_and_Response.pdf

Peristiwa kelam 11 September 2001, menjadi amanat bahwa tidak satu

negara pun yang luput dari ancaman terorisme jika meninggalkan kewaspadaan

sekalipun negara sekaliber Amerika Serikat. Peristiwa 11 September, juga

mengungkap sisi internasional dari sebuah aksi terorisme, yaitu para pelakunya

yang tidak hanya terdiri dari satu kewarganegaraan saja, melainkan sebuah

jaringan hydranik yang terpencar ke berbagai pelosok dunia. Peristiwa itu juga

menyadarkan dunia bahwa kelompok islam radikal atau militant dapat menjadi

ancaman potensial bagi stabilitas keamanan global. Serangan teroris atas sasaran

sipil dan militer di Amerika Serikat tersebut telah meningkatkan kekhawatiran

terhadap keberadaan perkembangan kelompok-kelompok islam militant di seluruh

penjuru dunia, termasuk Asia Tenggara.

Hampir seluruh negara di ASEAN merasakan adanya pengaruh negative

dari keberadaan kelompok-kelompok militant di wilayahnya. Indonesia sebagai

negara ASEAN dengan jumlah umat islam terbesar memang selama ini

menjalankan syariah islam dengan moderat. Namun, tentu diantara moderatnya

200-an juta penduduk muslim Indonesia, keberadaan minoritas tetap di rasakan

53

mengganjal dan siap menjadi titik api konflik di kemudia hari. Terbukti kemudian

dalam peristiwa rentetan terror bom dari bom Bali, bom hotel, dan baru-baru ini

bom buku yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia yang menelan korban yang

tidak sedikit. Demikian pula dengan Filiphina. Negara tetangga Indonesia ini

sudah kurang lebih 35 tahun berperang dengan Gerilyawan muslim Moro. Bahkan

kebijakan keras Manila terhadap islam ekstrimis pimpinan Nur Misuari tersebut

berkali-kali menganggu hubungan diplomatiknya dengan Negara-negara lainnya.

Thailand dan Malaysia juga sempat berselisih paham mengenai keberadaan

kelompok radikal islam yang kerap melakukan aksi terror di kedua negara

tersebut. Kelompok militant Radiatul Amien tersebut terkonsentrasi di wilayah

selatan Thailand, akan tetapi di motori oleh tokoh-tokoh berkewarganegaraan

Malaysia.

Namun berbeda dengan kawasan Timur Tengah dan Amerika Serikat,

aksi terorisme di wilayah Asia Tenggara tergolong minim. Hal ini di duga erat

kaitannya dengan genesis terorisme yang pada hakikatnya adalah semangat

pembebasan dan imprealisme, sedang Negara-negara Asia Tenggara sendiri

identik sebagai korban kolonialisasi dan imprealisme di masa lalu. Sejauh ini

memang jika di tinjau dari segi kuantitas, Asia Tenggara tidak separah kawasann

lain. Dalam sebuah survey di sebutkan bahwa dalam dua dasawarsa terakhir, Asia

Tenggara hanya mengalami 186 kali aksi terorisme. Angka tersebut jauh lebih

rendah bila dibandingkan dengan 2.073 kejadian di Negara Eropa, 1.621 kejadia

di Amerika Latin, 1292 kejadian di Asia Barat , atau 1.362 kejadian di Afrika. Itu

54

pun dari segi kualitas aksi terorisme di kawasan Asia Tenggara kurang mendapat

ekspos ketimbang aksi terror di kawasan-kawasan lainnya.

Kalaupun sempat terjadi aksi terorisme mengejutkan seperti pembajakan

pesawat di kawasan Asia Tenggara, maka satu-satunya peristiwa adalah

pembajakan pesawat milik Garuda Indonesia di Don Muang, Thailand 28 Maret

1981. Aksi tersebut dilakukan oleh lima orang yang menklaim diri sebagai bagian

dari kelompok islam garis keras Indonesia “Komando Jihad”, yang sudah

melakukan berbagai aksi sabotase terhadap fasilitas-fasilitas milik pemerintah

Indonesia semenjak pertengahan 1970-an. Semula Thailand menolak dengan halus

penggunaan militer asing di wilayah teritorialnya. Akan tetapi setelah melalui

tekanan Amerika Serikat dan berkat pengertian semangat kebersamaan ASEAN,

Thailand memperbolehkan Indonesia melakukan operasi komando di

teriotorialnya guna membebaskan para penumpang dan awak pesawat tersebut.

Operasi militer yang di eksekusi oleh 35 pasukan khusus Indonesia itu berhasil

membebaskan semua sandera kendati menewaskan pilot pesawat dan melukai

seorang anggota regu penyelamat. Sejak peristiwa pembajakan tersebut, praktis

tidak ada tindak terorisme yang mengejutkan di wilayah Asia Tenggara hingga

dekade 2000-an.

Pasca perubahan struktural di Indonesia, pertengahan 1998 barulah

terdengar kembali tindak kekerasan bernuansa terorisme yang menelan korban

jiwa. Bulan Agustus 2000 sebuah bom plastic C4 menghancurkan kedutaan besar

Filiphina, beberapa hari sebelum sebuah bom berkekuatan besar sedang meledak

55

di gedung Bursa Efek Jakarta (BEJ) menewaskan 10 orang. Tiga bulan kemudian

serangkaian ledakan bom di berbagai kota terjadi pada malam 24 Desember 2000.

Beberapa waktu kemudian giliran Graha Cijantung di ledakkan tak lama berselang

dengan serankaian ledakan bom serupa di Makati, Filiphina, Juni 2000.

Atas maraknya aksi terror di wilayah Asia Tenggara, mantan Perdana

Menteri Singapura, Lee Kuan Yew, pada surat kabar The Strait Times

mengungkapkan keprihatinannya atas sikap lamban pemerintah Indonesia yang

belum juga menangkap tokoh-tokoh teroris yang berada di Indonesia. Lee juga

menyebut bahwa aksi pengeboman di sebuah pusat perbelanjaan Singapura pada

awal Juli 2002 akibat tidak adanya kerjasama antar Negara sekawasan untuk

mengantisipa aksi terorisme. Salah satu indikasi pelaku peledakan adalah warga

Negara Malaysia dengan bahan peledak yang sejenis dengan bom Atrium Senen

dan Balaikota Makati. Pernyataan pejabat senior Singapura tersebut ditanggapai

keras oleh Indonesia hingga hubungan bilateral keduanya sempat mendingin.

Hanya berselang beberapa waktu setelah peristiwa gedung kembar World

Trade Center di Amerika Serikat, Asia Tenggara kembali di kejutkan oleh aksi

terorisme spektakuler. Ledakan bom di Kuta, Bali yang menelan korban jiwa

ratusan orang adalah tindak terorisme terbesar dalam sejarah Asia Tenggara.

Peristiwa tersebut seolah menyadarkan semua pihak bahwa tindak terorisme bisa

terjadi kapan dan dimana saja. Tindak terorisme tidak memilih-milih tempat,

apakah ia dilakukan di Negara yang sedang bermusuhan dengan Negara asal

56

pelaku terorisme ataukah di Negara yang selama ini sudah di pusingkan dengan

urusan dalam negeri, seperti Indonesia.

Peristiwa bom Bali 12 Oktober 2001, telah meninggalkan pesan bahwa

tidak ada satu pun kawasan di dunia ini yang aman dari serangan teroris. Itu

berarti Asia Tenggara termasuk salah satu kawasan yang rawan akan serangan

maupun tindak pidana terorisme lainnya. Pada peristiwa bom Bali, yang

mengejutkan masyarakat internasional sebenarnya merupakan suatu peristiwa

yang dapat di perkirakan sebelumnya andaikata negara-negara ASEAN telah

menerapkan kerjasama intelejen untuk mengantisipasi aksi terorisme yang

dimaksud resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1373. Indikasi-indikasi ke arah

tersebut sebenarnya sudah nampak. Beberapa hari sebelum peristiwa ledakan,

Pemerintah Amerika Serikat sudah mengingatkan akan ada serangan teroris

kepada kedutaan-kedutaan besarnya di negara-negara Asia Tenggara. Dua hari

sebelum kejadian, Amerika Serikat mengancam akan menarik seluruh korps

diplomatiknya di Indonesia jika Indonesia tidak serius menanggapi peringatannya.

Duta Besar Amerika Serikat, yang di dampangi Direktur CIA untuk kawasan Asia

Tenggara menyampaikannya secara langsung kepada Panglima TNI. Sayangnya,

reaksi para elit pemerintahan Indonesia cenderung negatif. Permintaan bantuan

keamanan ekstra dari sejumlah kilang minyak milik Amerika Serikat di tanggapi

dingin.

Selang beberapa hari setelah ledakan bom Bali Otoritas keamanan

Singapura menahan para Tokoh Rabiatul Mujahedeen, yang di golongkan sebagai

57

sel jaringan Al-Qaeda. Menurut pemerintah Singapura dari pengakuan tersangka

tersebut di sebutkan aksi-aksi terrorisme di Asia Tenggara erat kaitannya dengan

upaya penciptaan Pan Islam yang meliputi Singapura, Malaysia, Filipjina, dan

Indonesia. Untuk melancarkan rencana tersebut mereka akan mengadakan terror

terhadap kepentingan-kepentingan Amerika Serikat di wilayah Asia Tenggara dan

mengobarkan isu-isu rasialis, etnisitas, agama, dsb, karena cara-cara itulah yang

dipandang efektif untuk menghancurkan wibawa status quo.

Malaysia tidak ketinggalan dengan negara tetangganya. Selang beberapa

hari setelah tragedy bom Bali Dr. Mahatir Mohammad memerintahkan

penangkapan terhadap tokoh-tokoh Jamaah Islamiyah (JI) di negara itu.

Malaysia, Singapura, dan Filiphina menyebut Jamaah Islamiyah sebagai sel

jaringan Al Qaedah di Asia Tenggara. Di kawasan Asia Tenggara ini, Jamaah

Islamiyah menghimpun sembilan organisasi radikal islam dari tiga Negara yakni

Indonesia, Malaysia, dan Singapura, termasuk Rabiatul Mujahideen. Menurut

Deputi Perdana Menteri Malaysi pada waktu itu, Tengku Abdullah Ahmad

Badawi, Jamaah Islamiyah di duga kuat berupaya mendirikan kekhalifaan islam

raya di Asia Tenggara yang nantinya merupakan gabungan wilayah Indonesia,

Malaysia, dan Filiphina. Untuk itu, pemerintahan sekuler harus di gulingkan.

Lebih lanjut, Ahmad Badawi juga mengingatkan Bahwa Malaysia cukup potensial

menjadi pusat konsentrasi baru kegiatan terorisme mengingat semakin

meningkatnya kegiatan kaum militan (islam) di negara tersebut. Pernyataan ini

disampaikan Deputi Perdana Menteri tidak lama setelah pihak kepolisian

Malaysia menyergap 13 orang penyelundup senjata di lepas Pantai Tawau, Sabah,

58

pada tanggal 6 Juli 2002. Dari penyergapan tersebut ditemukan senapan serbu

buatan Amerika Serikat jenis M16 sebanyak 15 pucuk, 2 pistol jenis Glock dan

ribuan butir amunisi 7.62mm. Dua diantara penyelundup itu belakangan diketahui

warga Negara Indonesia anggota Majelis Mujahidin dan sisanya adalah warga

Negara Malaysia anggota Rabiatul Mujahideen.

Selang beberapa hari kemudian pemerintah Malaysia menangkap 10 orang

anggota Majelis Mujahideen yang menurut pemerintah setempat ingin membentuk

sebuah negara islam yang mirip dengan pemerintahn Taliban di Afghanistan. Dari

kesepuluh orang tersebut sasaran utama Malaysia adalah tokoh muda Majelis

Mujahidin bernama Adli Nik Abdul Aziz yang diduga kuat merencanakan

pembunuhan terhadap Perdana Menteri Mahatir, dan terlibat dalam pengiriman

Laskar Jihad Malaysia ke Maluku, Indonesia, yang tengah di landa konflik SARA.

Bersama Sembilan orang rekannya, Abdul Aziz dikenakan hukuman dua tahun

penjara berdasarkan Undang-Undang Keamanan Nasional yang memang

mengijinkan pemerintah melakukan penahanan terhadap setiap pelaku ancaman

tanpa perlu proses hukum.

Tragedi Bali pada akhirnya menjadi semacam lonceng yang dengan suara

lantang menegaskan bahwa memang terorisme ada di kawasan Asia Tenggara, di

negara ASEAN. Tidak ada satupun pemimpin negara ASEAN, bisa dikatakan

demikian, yang berani menyatakan bahwa tidak ada aksi terorisme di negaranya.

Filiphina dicengkam ketakutan setelah terjadi ledakan lima bom hampir

bersamaan di Metropolitan Manila yang menewaskan 22 orang dan melukai lebih

59

dari 200 orang lainnya. Itulah sebabnya, Pemerintah Filiphina secara tegas juga

menyatakan perang terhadap terorisme. Aaparat keamanan sendiri kemudian

membekuk Dompol Ijajil Faisal yang dituduh sebagai pelaku pengeboman

tersebut. Dari hasil pemeriksaan di ketahui bahwa tersangka Faisal adalah salah

seorang anggota Abu Sayyaf . Tidak berapa lama kemudian, aparat keamanan

Filiphina kembali melakukan penangkapan. Kali ini giliran warga Negara

Indonesia bernama Fathur Rahman Al-Ghozi yang diciduk di perkampungan

muslim Manila. Al Ghozi ditahan, meski berhasil melarikan diri atas

keanggotannya di Jamaah Islamiyah disamping tuduhan menyelundupkan bahan

peledak dan senjata api ke Filiphina.

Indonesia justru melakukan hal yang sebaliknya. Yang terjadi Indonesia

malah melakukan kampanye anti barat termasuk aksi sweeping terhadap warga

Negara asing di berbagai kota. Setelah ledakan terjadi, tudingan segera diarahkan

pada badan intelejen America Serikat atau CIA atau Mossadnya Israel sebagai

pelaku bom Bali. Lebih tepatnya opini yang berkembang dari elit politik hingga

masyarakat umumnya mengarah pada kerjasama elemen-elemen tertentu yang

tidak puas di tubuh militer (TNI) dengan CIA atau Mossad. Tujuannya yaitu

mempermalukan pemerintah saat ini. Maka iniloah jalan bagi kalangan militer pro

Amerika Serikat dan Yahudi untuk kembali ke tahta kekuasaan.Opini umum

lainnya yang tak kalah simplitis menyebut elemen-elemen garis keras di tubuh

militer (TNI) yang justru bekerjasama dengan jaringan Al-Qaedah di Asia

Tenggara (Jamaah Islamiyah) untuk mendongkel kalangan pro Amerika Serikat

dan Israel. Kerjasama ini telah terbina sejak konflik kemanusiaan di Maluku dan

60

Poso dengan metode yang sama untuk menurunkan pemerintah yang di anggap

korup dan tak berwibawa. Tidak heran jika insiden pecah di Ambon dan Poso

sesaat ledakan bom di Kuta.

Proses disinformasi ini berkembang demikian cepat sehingga tersebar

sebagai persepsi umum dan membentuk opini publik di Indonesia. Amerika pun

menjadi berang dan sebagai tanda kemarahannya Amerika Serikat memanggil

pulang sebagian besar staf kedutaan, menghentikan segala bentuk kerjasama

kemitraan yang mengakibatkan dipulangkannya empat instruktur tamu asal

Amerika Serikat di kepolisian Sumatra Selatan, dan menghimbau seluruh warga

negaranya untuk meninggalkan Indonesia. Belum cukup, Amerika juga

memindahkan impor produk tekstilnya ke RRC, sehingga membuat dunia tekstil

Indonesia tenggelam dalam krisis.

Dampak terburuk yang diterima Indonesia bukan hanya sektor tekstil,

melainkan kehancuran industry pariwisata. Para wisatawan mancanegara yang

mengunjungi Bali dalm kondisi normal mencapai 5000 orang, kini hanya sekitar

1500 orang. Jika dikalkulasi selama ini seorang wisatawan membelanjakan rata-

rata 400 USD, maka Indonesia kehilangan pendapatan pariwisata sebesar 600.000

USD atau sekitar 5,4 miliar rupiah setiap harinya. Angka yang tidak kecil. Angka

tersebut belum termasuk kerugiaan gulung tikarnya industry pariwisata seperti

berbagai home industry cindera mata, perusahaan-perusahaan penyewaan, dan

menurunnya tingkat hunian hotel yang berujung pada pemutusan hubungan kerja.

Reaksi positif Indonesia terhadap pemberantasan terorisme walau dinilai

lamban akhirnya muncul. Menanggapi tuntutan internasional akan perlunya

61

sebuah perangkat hukum untuk menjerat para pelaku terorisme pemerintah Negara

itu pun mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2/2002

tentang pemberantasan tindak terorisme . Salah satu tindakan nyata yang diambil

adalah penangkapan terhadap pimpinan pusat Majelis Mujahidin Abdullah Abu

Bakar Ba’asyir. Menurut kepolisian, Ba’asyir di tangkap atas tuduhan melakukan

perintah aksi-aksi terorisme dan rencana pembunuhan terhadap Mantan Presiden

Megawati. Sedangkan oleh Malaysia dan Singapura Ba’asyir dituduh sebagai

dalang berbagai peristiwa terror yang dilancarkan oleh kelompok Jamaah

Islamiyah dan sel Al-Qaeda lainnya bersama pucuk pimpinan lainnya bernama

Ridwan Isamuddin alias Hambali yang diringkus oleh Badan Intelejen Amerika

Serikat (CIA) di New York. Menurut CIA, Hambali diduga kuat adalah komandan

operasi Al-Qaeda untuk kawasan Asia Tenggara.

62

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Respon Amerika Serikat Terhadap Terorisme di Asia Tenggara

Dalam merespon serangan terorisme tanggal 11 September, kalkulasi

kebijakan keamanan, pertahanan, dan luar negeri AS dapat dikatakan berubah

secara signifikan. Hal ini pada gilirannya telah mempebgaruhi konstelasi politik

internasional. Respon AS memang cukup keras, Presiden George Walker

Bushmenegaskan hal tersebut dengan pernyataannya bahwa AS tidak akan

membedakan antara teroris yang melakukan aksi-aksi ini dan pihak yang

melindungi mereka.51

Dengan sikapnya yang keras ini, Amerika Serikat tampaknya ingin

melahirkan semacam struktur bipolar baru yang memperumit pola-pola hubungan

antar negara. Pernyataan Presiden George W. Bush, “either you are with us or you

51 Rensselaer Lee and Raphael Perl. “Terorism, the Future, and US Foreign Policy”. CRS Issue Brief for Congress, 2002 hal 1.

63

are wit the terrorist”, secara hitam putih menggambarkan dunia yang terpilah

dalam sebuah pertarungan antara kekuatan baik dan kekuatan jahat.52

Tragedi 11 September, juga telah membuka kemungkinan berubahnya

parameter yang digunakan Amerika Serikat dalam menentukan penilaiannya

terhadap negara lain. Sekarang ini, Amerika Serikat memiliki kecenderungan

untuk lebih menghoraukan masalah terorisme ketimbang isu demokrasi dan hak

asasi manusia. Kenyataan bahwa Presiden Perves Musharraf di Pakistan naik ke

panggung kekuasaan melalui kudeta militer, misalnya, tidak lagi menjadi

penghalang bagi Amerika Serikat untuk menjalin aliansi anti-terorisme dengan

negara itu.53

Dengan kata lain, Amerika Serikat tampaknya cenderung menjadikan

“komitmen” melawan terorisme-dibandingkan dengan komitmen terhadap

demokrasi dan HAM-sebagai alat menilai siapa lawan dan kawan. Akibatnya,

telah terjadi pergeseran agenda global dari demokrasi dan HAM menjadi perang

melawan terorisme yang dianggap mengancam kepentingan dan keamanan

Amerika Serikat secara langsung.

Akumulasi dari pandangan-pandangan inilah yang digunakan Amerika

Serikat sebagai landasan paradigm anti-terorismenya yang kemudian menjadi

awal “kebangkitan” negara tersebut. Meskipun sebelum tanggal tragedi 11

September, telah ada indikator menuju hal tersebut, akan tetatpi pada akhirnya

tragedi 11 September, inilah yang telah memberikan sebuah titik balik kepada

52 Rizal Sukma. “Keamanan Internasional Pasca 11 September : Terorisme, Hegemoni AS dan Implikasi Regional” hal 4.53 ibid

64

pemerintah Amerika Serikat melalui pelaksanaan kampanye anti-terorisme secara

luas.

Pemerintah Amerika Serikat sendiri menganggap terorisme sebagai

kejahatan politik. Definisi itu diberikan pemerintah Amerika Serikat mengenai

terorisme adalah “the unlawful use or threat of violence against persons or

property to futher political or social objectives”. Untuk itu sejak awal pemerintah

Amerika Serikat bersikap tegas, tidak melakukan kompromi, dan menolak

melakukan negosiasi dengan kelompok terorisme karena menganggap negosiasi

hanya akan memperkuat posisi kelompok terorisme tersebut. Pemerintah Amerika

Serikat menolak setiap upaya negosiasi dengan kelompok teroris, baik itu berupa

upaya pembayaran tebusan, perubahan kebijakan, penukaran atau pembebasan

tawanan. Sikap Amerika Serikat ini kemudian diikuti oleh negara barat sekutunya.

Sikap tegas pemerintah Amerika Serikat terhadap masalah terorisme ini juga

di pengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, terorisme dianggap sangat

membahayakan kepentingan nasional Amerika Serikat. Terutama karena

seringnya warga negara, gedung kedutaan maupun perusahaan milik Amerika

Serikat menjadi sasaran tindakan terorisme. Antara tahun 1995-2000, 109 warga

negara Amerika Serikat terluka setiap tahunnya akibat terorisme. Kedua, tindakan

terorisme juga seringkali dianggap mengganggu proses perdamaian yang telah

diupayakan Amerika Serikat selama lebih dari dua puluh tahun di Timur Tengah

dalam masalah konflik Arab-Israel. Ketiga, terorisme juga mengancam stabilitas

keamanan di negara-negara yang menjadi aliansi Amerika Serikat. Keempat,

terorisme selalu terkait dengan tindakan kekerasan sehingga dianggap

65

bertentangan dengan prinsip demokrasi dan HAM. Dengan keempat faKtor di atas

yang dianggap sangat merugikan kepentingan Amerika Serikat, maka negara ini

merasa berhak berada di posisi paling depan dalam upaya melawan terorisme

internasional.

Sejak 25 Desember 2001, Amerika Serikat memberlakukan UU baru yang

di sebut Patriot Act 2001. Undang-undang ini dengan keras menyatakan

menentang terorisme dan berbagai kegiatan yang mendukungnya atau bersentuhan

dengan aksi terorisme dinyatakan dilarang. Terutama, larangan pemberian

bantuan dana pada jaringan terorisme harus diberlakukan. Dalam upaya melawan

terorisme ini, Amerika Serikat juga menggunakan kekuatan ekonominya sebagai

senjata, selain dengan cara embargo ekonominya sebagai senjata yang sudah

lazim dipergunakan di dalam hubungan internasional, Amerika Serikat juga

berusaha mematikan seluruh jaringan bisnis dari kelompok yang di curigainya

sebagai kelompok teroris dan pendukungnya di seluruh dunia. Meskipun diyakini

Undang-Undang ini belum sempurna, karena dapat menimbulkan penyalahgunaan

kekuasaan dan bertentangan dengan hak kebebasan sipil warga negara sebab

memberikan kekuasaan kepada polisi dan pihak intelejen untuk melakukan semua

tindakan yang dianggap perlu demi memberantas terorisme dan pihak yang diduga

melindungi dan memberikan bantuan keuangan terhadap gerakan ini. Kongres

bersedia mengesahkan dalam waktu singkat.

Terorisme merupakan kejahatan terhadap sipil, karena pada akhir rakyat

yang tidak berdosa yang menjadi korban paling banyak dalam setiap kejahatan

teroris, untuk itu perang terhadap terorisme tidak dapat di tangguhkan lagi dan

66

tragedy Black Tuesday tidak boleh terulang kembali.54 Hal ini menjadi factor.

Kongres Amerika Serikat menyetujui anggaran sebesar 14 milyar dollar untuk

program pemberantasan terorisme, termasuk dalam usaha ini adalah bantuan

pembaruan hukum kepada negara lain sehingga setiap negara yang mendukung

pemberantasan terorisme memiliki landasan dalam tindakannya. Pembaharuan

bidang hukum itu lebih diutamakan, sebab Amerika Serikat ingin pemberantasan

terorisme di seluruh dunia harus tetap mengacu pada hukum. Terorisme dianggap

bukan sekedar ancaman fisik atau keamanan, melainkan tindakan multi sektor,

sehingga harus dihadapi dari berbagai bidang secara bersama-sama. Pembaharuan

hukum itu, terutama diarahkan untuk menghadapi dan membekukan financing

terrorism. Setiap negara diharapkan mempercepat pembuatan peraturan yang

melarang perijinan money loundering , dan menghalangi masuknya uang teroris

ke dalam industri legal di Amerika Serikat dengan pasal hukum yang disebut

Willfull Blindes.

Amerika Serikat juga menggunakan beberapa strategi containment policy

yang pernah digunakan dalam era Perang Dingin, yaitu pemberian bantuan social

dan ekonomi dengan tujuan pembangunan semacam Marshal Plan di Eropa

setelah Perang Dunia II berakhir. Penyebarluasan nilai-nilai demokrasi yang

dianut Amerika Serikat melalui berbagai kerjasama antara LSM dan organisasi-

organisasi pemerintahan Amerika Serikat, maupun pembentukan pemerintahan

baru yang pro demokrasi. Kemiskinan dianggap merupakan salah satu factor yang

menyebabkan kelompok-kelompok teroris di negara berkembang. Dengan

menguatnya ekonomi dan menyebarluaskan kemakmuran di wilayah-wilayah

54 Collin Powel, A Strategy of Patnership, Foreign Affairs, 2004, hal.22

67

yang rentan terhadap terorisme dianggap dapat membantu menciptakan stabilitas

dan perdamaian dunia. Meskipun dianggap kurang efektif dibandingkan

penggunaan kekuatan militer, strategi semacam ini tetap perlu dilakukan demi

kepentingan jangka panjang. Sebagian pihak bahkan menyanggah kemiskinan

sebagai factor yang melahirkan terorisme juga lahir di negara-negara maju dan

relative makmur.

Osama Bin Laden sendiri lahir dari keluarga kaya dan berpengaruh di Arab

Saudi. Sehingga, upaya perlawanan terhadap terorisme melalui upaya pengentasan

kemiskinan oleh Marshal Plan dianggap kurang efektif.

Kebijakan Amerika Serikat yang cukup kontroversial lainnya adalah UU

The Anti-Terorism dan Efektive Death Penalty Act tahun 1996, yang secara umum

melegitimasi setiap kebijakan pemerintah memerangi terorisme di dalam dan di

luar negeri. Termasuk dalam kewenangan pemerintah Amerika Serikat.

Berdasarkan UU ini adalah melakukan ekstradisi bagi para teroris yang

melakukan penyerangan terhadap warga negara dan property Amerika Serikat

untuk diadili di Amerika Serikat, dan pemerintah Amerika Serikat juga berhak

membekukan aset keuangan pihak-pihak yang dicurigai melakukan kegiatan

terorisme di Amerika Serikat. Hal itu tentu saja menimbulkan polemik dalam

hubungan bilateral Amerika Serikat dengan negara lain yang tidak mudah

diselesaikan karena tidak semua negara mau menyerahkan warga negaranya untuk

di adili di Amerika Serikat, terlebih lagi karena berdasarkan UU yang terbukti

bersalah melakukan terorisme dapat dijatuhi hukuman mati.

68

Amerika Serikat bergabung dengan banyak negara untuk melawan teroris.

Kerjasama atau koalisi pemberantasan teroris ini berlandaskan empat prinsip.

Pertama, tidak ada konsesi terhadap terorisme dan akan menolak untuk tawar-

menawar dengan mereka. Kedua, bertujuan unuk membawa teroris guna diadili

terhadap kejahatan yang telah dilakukannya. Ketiga, akan mengisolasi terorisme

agar mau mengubah sifatnya. Keempat, akan memperkuat kemampuan anti-

terorisme diantara negara yang mau bekerjasama dan yang membutuhkan

bantuan. Amerika Serikat mempunyai program pelatihan anti-terorisme yang di

tawarkan kepada sejumlah negara sahabat. Hingga tahun 2001 telah lebih dari

15.000 personel dari 80 negara pernah ikut serta dalam pelatihan ini. Berbagai

upaya melawan terorisme internasional ini terus diambangkan Amerika Serikat.

Hal ini disebabkan karena organisasi teroris juga semakin beragam dalam

memotivasi kegiatannya juga semakin canggih baik dalam persenjataan dan

pengorganisasiannya.

Secara sepihak, upaya yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat dalam

melawan terorisme adalah pertama, mengisolasi negara memberikan dukungan

terhadap kelompok teroris agar negara tersebut menghentikan bantuannya. Kedua,

memperkuat peraturan dan hukum yang pada intinya melawan tindakan terorisme

melalui berbagai kerjasama internasional. Ketiga, bersikap tegas dan menolak

upaya tawar menawar maupun negosiasi yang diminta kelompok teroris.

Kebanyakan tindakan terorisme terhadap Amerika Serikat ditujukan kepada

Amerika Serikat dilakukan diluar negeri, sehingga upaya melawan terorisme

internasional ini Amerika Serikat jelas memerlukan dukungan negara-negara lain

69

karena masalah terorisme internasional ini sangat kompleks dan harus

ditanggulangi dengan kerjasama.

Amerika Serikat menekan negara yang dianggap sebagai sponsor atau

melindungi kelompok terorisme. Hal ini penting dilakukan karena selama masih

ada dukungan dana dan moral, menyediakan tempat persembunyian, memasok

persenjataan, maupun memberikan bantuan logistic maka upaya pemberantasan

terorisme akan sulit dilaksanakan.

Setiap tahun Amerika Serikat melakukan pemetaan dan menganalisa

kebijakan setiap negara terhadap terorisme dalam tiga kelompok, yaitu negara

sponsor terorisme dan negara-negara tidak sungguh-sungguh menanggulangi

kegiatan terorisme. Kebijakan yang diterapkan apakah itu tekanan ekonomi,

diplomatic, maupun militer akan dilakukan sebagai tindak lanjut dari hasil

pemetaan dan pengelompokan tersebut terhadap negara-negara terkait. Contoh

upaya Amerika Serikat agar negara tersebut mau bekerjasama dengan Amerika

Serikat dalam melawan terorisme dalam melalui tekanan ekonomi. Amerika

Serikat akan memveto pinjaman yang akan diberikan lembaga-lembaga donor

internasional kepada negara pendukung terorisme. Sehingga, negara-negara

tersebut mengalami kesulitan ekonomi untuk melakukan pembangunan

nasionalnya.

B. Strategi Kebijakan Amerika Serikat Dalam Menghadapi Terorisme Di Asia Tenggara

Peristiwa peledakan bom di Legian, Bali (2002), telah membawa makna

tersendiri bagi masyarakat akan bahaya perkembangan teror-teror dalam entitas

masyarakat sipil di Indonesia. Tragedi yang memiliki dampak sangat besar serta

70

membawa trauma yang mendalam bagi pemerintah (khususnya pada saat itu

Pemerintahan Megawati) dan masyarakat dalam melihat perkembangan-

perkembangan tindakan terorisme.

Dalam menangani aksi teroris itu, Indonesia perlu meyakinkan

masyarakatnya bahwa ancaman teroris sudah mencapai tahap yang sangat

membahayakan. Oleh karena itu Indonesia melakukan langkah pro aktif untuk

memerangi aksi teror tersebut. Sedangkan dalam kebijakan politik luar negeri

Indonesia harus menunjukkan keseriusan dan konsistensinya dalam melakukan

kerjasama bilateral, regional maupun multilateral untuk memerangi bahaya atau

ancaman terorisme global.

Sejak insiden di Bali, Indonesia cenderung dituding sebagai wilayah bagi

kegiatan Al-Qaeda dengan jaringannya Jamaah Islamiyah. Para ahli mengatakan

bahwa serangan-serangan teroris di Indonesia, termasuk pengeboman gereja dan

pusat pembelanjaan (masing-masing terjadi pada tahun 2000 dan 2001) berkaitan

dengan kegiatan terorisme internasional. Mengenai tuduhan bahwa Indonesia

menjadi tempat bagi kegiatan Al-Qaeda, Menteri Pertahanan Indonesia pernah

menggarisbawahi bahwa kegiatan Al-Qaeda memang eksis di Indonesia.

Sebelumnya, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Hendropriyono juga pernah

menyebutkan bahwa teroris asing pernah berlatih di Sulawesi. Meskipun

demikian, Indonesia harus lebih berhati-hati dalam menanggapi pernyataan

beberapa negara Barat itu. Pada intinya Indonesia dan Amerika Serikat sepakat

dengan tegas untuk memerangi aksi terorisme internasional. Dalam kerangka

kerjasama anti terorisme, pihak Administrasi Amerika Serikat merencanakan akan

71

mengajukan anggaran sebesar US$ 14 juta untuk Indonesia tahun 2005.

Kerjasama ini lebih diarahkan kepada pihak Kepolisian Indonesia (Polri).

Kerjasama yang dilakukan Indonesia dengan masyarakat internasional

dalam menangani masalah pasca bom di Bali pada Oktober 2002, dinilai berhasil

dan merupakan contoh bagi upaya membangun kekuatan melawan terorisme.

Dalam pernyataannya yang dikeluarkan Deplu AS di Washington, Rabu, Realuyo

mengatakan, setelah peristiwa di Bali tersebut komunitas internasional bersama-

sama membantu Indonesia untuk menghadapi masalah terorisme. “Setelah bom

yang mengejutkan itu, Indonesia tanpa kenal lelah bekerja dengan pihak

internasional untuk memperkuat pertahanan melawan ancaman terorisme,

termasuk upaya untuk menghentikan aliran dana teroris,” katanya.

Dalam menjalankan kebijakan anti terorismenya, Amerika Serikat

menggunakan platform kebijakan preemptive dan preventive.55. Kebijakan

preemptive adalah kebijakan jangka pendek yang ditujukan untuk mengantisipasi

secara cepat potensi serangan terorisme. Sedangkan kebijakan preventive adalah

kebijakan jangka menegah dan jangka panjang yang sifatnya tidak terlalu agresif.

Inti dari kebijakan preemptive adalah penerapan strategi menyerang

sebelum diserang. Melalui doktrin ini, Amerika Serikat secara sepihak

memberikan hak kepada dirinya sendiri untuk mengambil tindakan terlebih

dahulu, khususnya melalui tindakan militer unilateral, untuk menghancurkan apa

yang di persepsikannya sebagai kemungkinan ancaman terror terhadap

kepentingan Amerika Serikat kapanpun dan dimanapun.

55 Scott Moore “The Preemptive and Preventive Use of Force in the Age ogf Global Terror”. http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-transitional.dtd. Diakses 22 Mei 2011

72

Di sisi lain, kebijakan preventive merupakan strategi untuk menghilangkan

kondisi-kondisi yang dapat mendukung kemunculan, perkembangan dan

pertumbuhan organisasi terorisme. Kebijakan ini mencakup antara lain

peningkatan pertahanan keamanan, penegakan hukum dan demokrasi, mengurangi

tingkat kemiskinan dan lain-lain.

Selanjutnya, sejalan dengan doktrin preemptive dan preventive, Amerika

Serikat kini tampil sebagai negara adidaya tunggal yang meyakini bahwa

pendekatan militer merupakan pendekatan terbaik yang dapat dilakukan dalam

usaha memenuhi dan melindungi kepentingan-kepentingan keamanannya.56

Penekanan kepada pendekatan militer itu terlihat juga melalui peningkatan

anggaran pertahanan yang signifikan dalam pemerintah Amerika Serikat sejak

tragedy 11 September, peran Pentagon yang dominan dalam menjalankan

kebijakan luar negeri, dan peningkatan bantuan militer kepada pemerintah di

negara-negara yang di harapkan Amerika Serikat dapat menjadi mitra dalam

perang melawan terorisme, seperti Pakistan, Filiphina, Indonesia, dan negara-

negara lain di Asia Tenggara dan Timur Tengah.

Diselaraskan dengan dua platform kebijakan tersebut, kebijakan anti

terorisme Amerika Serikat secara konseptual meliputi empat pilar utama, yaitu

defeating, denying, diminishing, dan defending. Empat pilar tersebut dijabarkan

sebagai berikut :

56 Rizal Sukma . “Keamanan Internasional Pasca 11 September: Terorisme, Hegemoni AS dan Implikasi Regional” Hal5

73

a. Defeating: bersama dengan sekutu-sekutunya, Amerika Serikat

mengalahkan teroris dengan cara menyerang markas, pemimpin, dan

seluruh infrastruktur gerakan mereka.

b. Denying : menentang dan menolak segala bentuk bantuan,

dukungan serta perlindungan terhadap teroris. Tujuan utama strategi

ini adalah untuk menjaga agar negara lain menghalanhi segala

usaha-usaha tersebut dalam wilayah kekuasaan mereka.

c. Diminishing : memperbaiki kondisi yang mendukung munculnya

terorisme dengan mendukung pertumbuhan ekonomi, perkembangan

politik, penciptaan erkonomi berbasis pasar, dan penegakan hukum.

d. Defending : melindungi warga negara dan kepentingan-kepentingan

Amerika Serikat di dalam dan di luar negeri termasuk perlindungan

infrastruktur dan cyber.57

Empat pilar tersebut dikombinasikan dengan penggunaan sarana-sarana

startegis Amerika Serikat berupa :

a. Pendekatan Diplomasi : Penggunaan diplomasi untuk membantu

menciptakan koalisi global anti-terorisme merupakan komponen

utama dalam kebijakan anti-terorisme Pemerintah Amerika Serikat.

Dalam hal ini, media massa juga menjadi sarana diplomasi yang kuat

dalam menghadapi teroris dengan cara membangun ketertarikan dan

mempengaruhi cara berfirik masyarakat.

57 Raphael Perl. “US Anti-Terror Strategy and the 9/11 Commission Report”. CRS Report for Congres 2004 hal 3

74

b. Sanksi Ekonomi : Jika sebelumnya saksi ekonomi hanya diberikan

kepada negara yang aktif mendukung atau mensponsori terorisme

internasional, maka pada saat sekarang, sanksi dapat juga dikenakan

pada asset-aset yang dikelola langsung kelompok terorisme, seperti

pembekuan asset pribadi para tersangka terorisme.

c. Bantuan Ekonomi : Tindakan ini merupakan bentuk usaha mengubah

kondisi social ekonomi yang mendukung berkembangnya terorisme.

Dengan pengurangan angka kemiskinan diyakini akan dapat

mengubah pola hidup dan menekan potensi-potensi terorisme.

d. Aksi Tertutup : Tindakan ini meliputi pengumpulan data intelejen,

penyergapan kelompok teroris, dan operasi militer bersifat rahasia.

Sebagian besar tindakan ini ditujukan untuk mengawasi dan mencari

tahu tujuan, kemampuan atau bahkan rencana strategis organisasi

teroris

e. Penawaran hadiah untuk informasi yang berguna : Model ini

dipakai karena terbukti berhasil dalam menangani penyelundupan

obat-obatan terlarang dan pemberontakan di beberapa negara.

f. Kerjasama dalam penegakan hukum dan ekstradisi : Kerjasama

internasional di bidang penegakan hukum, pengawasan, dan kegiatan

intelejen termasuk dalam bagian esensial dari kebijakan anti-

terorisme pemerintah Amerika Serikat. Kebijakan ekstradisi dalam

hal ini termasuk yang krusial mengingat banyak negara yang

membatasi perjanjian ekstradisi khususnya yang sifatnya politis.

75

g. Kekuatan militer : Penggunaan kekuatan militer bukanlah hal yang

menjadi kendala bagi negara dengan kekuatan militer seperti

Amerika Serikat. Untuk penanganan terorisme di tingkatan domestic

maupun internasional, Amerika Serikat di dukung oleh kepemilikan

senjata canggih dan mutakhir.

h. Konversi Internasional : Amerika Serikat bersama dengan

komunitas internasional telah dan sedang mengembangkan

konvensi-konvensi internasional dalam penanganan terorisme.

Konvensi-konvensi tersebut mengajak keterlibatan dalam sebuah

misi menghukukm para pelaku terror atau mengekstradisi mereka ke

negara tempat aksi berlangsung.58

Sarana yang dimiliki Amerika Serikat dalam kampanye anti terorismenya

kemudian diimasukkan dalam kebijakan anti terorisme Amerika Serikat untuk

skala internasional dan menghasilkan strategi-strategi pengamanan bagi

kepentingan Amerika Serikat di luar negeri.

Dari strategi-strategi tersebut, beberapa diantaranya memiliki dampak luas

dalam konstalasi politik internasional. Strategi yang diamksud adalah penolakan

terhadap segala bentuk bantuan kepada terorisme. Dalam hal ini targetnya adalah

menjaga agar negara lain mengambil langkah yang sama dengan Amerika Serikat

dalam wilayah kekuasaan mereka. Implementasi dari strategi ini meliputi :

a. Merumuskan kebijakan yang dapat membuat negara sponsor teroris

mengubah kebijakan mereka.

58 CRS Issue Brief for Conggress : Terrorism, the future, and U.S. Foreign Policy.” http://www.iwar.orang.uk/news-archive/crs/9040.pdf Diakses tanggal 22 Mei 2011

76

b. Membentuk dan mengkampanyekan standarisasi internasional dalam

mengangani terorisme.

c. Memusnahkan tempat perlindungan teroris

d. Menghalangi lalu lintas darat, air, udara, dan cyber dalam rangka

memutuskan akses teroris terhadap senjata, pendanaan.59

Peran Amerika Serikat Dalam Mengatasi Munculnya Terorisme

Dalam hal ini Amerika Serikat bukan sedang mengincar umat Islam,

melainkan terorisme. Hanya, kebetulan teroris itu beragama Islam. Pemerintah

Amerika Serikat memang tidak bermaksud untuk memproduksi makna Islam

dengan terorisme. Juga tidak berniat untuk menciptakan benturan antar peradaban,

sebagaimana diteorikan Samuel P. Huntington “Dunia sekarang semakin

menyempit. Interaksi antara orang yang berbeda peradaban semakin meningkat.

Peningkatan interaksi ini, selain mempertajam kesadaran dan rasa perbedaan

peradaban antara orang-orang atau masyarakat yang berbeda, juga mempertajam

kesadaran akan kesamaan-kesamaan yang terdapat dalam peradaban-peradaban

itu.

Terorisme, menurut Martha Crenshaw, pada dasarnya merupakan tindakan

yang dilakukan guna mengekspresikan strategi politik. Tindakan tersebut

memiliki motif-motif politik. Teroris dan Islam adalah dua term yang seringkali

secara tidak disadari dipadukan sehingga menimbulkan kesan bahwa Al-Qaeda

59 Raphael Perl. “U.S. Anti-Teror Stategy and the 9/11 Commission Report http://www.fpc.state.gov/documents/organizations/44943.pdf. Diakses 22 Mei 2011

77

dan Osama adalah representasi kekuatan Islam yang sedang menggeliat dan

memberontak dengan menggunakan aksi teror atau kekerasan. Pemaduan ini

menjadi berbahaya dan tidak kondusif bagi perkembangan keduanya, Barat dan

Islam. Sebab, masing-masing akan terjebak pada stereotipe yang tidak

menguntungkan bagi masa depan peradaban global.

Perang melawan terorisme adalah perang yang tidak bisa hanya dilakukan di

medan perang, melainkan di berbagai bidang. Selain melalui diplomasi, perang

bisa dilakukan dengan menggalang kerja sama intelijen, pembekuan aset financial,

hingga pencegahan imigrasi illegal. Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia,

Ralph L Boyce, dalam kuliah umum berjudul “US-Indonesian Relations in the

Post-September 11 World” di Universitas Paramadina, Jakarta, menjelaskan

bahwa terorisme itu harus diperangi melalui bidang diplomatik, melalui kerja

sama intelijen dan saling berbagi informasi serta membangun koalisi. Di bidang

finansial, harus ada kerja sama untuk membekukan asaet-aset teroris serta kerja

sama domestik dan internasional untuk mencegah praktik pencucian uang dan

imigrasi illegal.

Strategi Amerika Serikat bukan sekedar menangani ancaman nyata. Yang

lebih tandas dari itu adalah mengalahkan sumber ancaman itu. Namun, sayangnya,

fokus yang amat terarah ke garis depan dalam memerangi terorisme membuat

orang sulit memahami strategi Amerika Serikat. Walau Pemerintah Amerika

Serikat tampaknya berhasil mengembangkan strategi kebijakan luar negeri yang

masuk akal, tak mudah membuat orang mengerti kebijakan tersebut. Kemudian

dalam visi pemerintahan Bush-Powell kembali menjelaskan persoalan itu secara

78

lebih luas. Presiden Bush mempunyai banyak strategi yang pertama kali

dijabarkan secara tebuka pada September 2002 dalam Strategi Keamanan

Nasional AS (National Security Strategy of the United State/NSS). Dalam

dokumen setebal hampir 40 halaman itu, NSS menjabarkan prioritas kebijakan AS

menjadi delapan bab sebagai sebuah strategi yang terintegrasi secara luas dan

dalam, sesuai kesempatan maupun tantangan yang dihadapi AS. Tentu saja sebuah

dokumen strategi yang ditujukan bagi publik tak akan bisa sepenuhnya terbuka

supaya tidak diketahui musuh-musuh kami. Meskipun demikian, dokumen ini

dengan jujur merefleksikan kepribadian presiden, yang dengan konsistensinya

mengatakan apa yang dia maksudkan dan meyakini apa yang dia katakanya.

Peristiwa WTC bagi Amerika Serikat sendiri merupakan pukulan telak bagi

supremasi adidaya, yang menuntut respon dalam bentuk “perang” terhadap

terorisme. Hal ini tentunya juga membuka mata bagi negara lainnya, ini

menyadarkan mereka bahwa ancaman serius terhadap kemanusiaan dapat

mengambil bentuk yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, tragedy WTC

dan respon AS terhadap terorisme merupakan awal dari terbangunnya sebuah

tatanan politik dunia yang ditandai oleh meningkatnya ancaman non-tradisional

(khususnya dalam bentuk terorisme) dan hegemoni AS sebagai adidaya tunggal.

Serangan menara kembar dimanfaatkan oleh Amerika Serikat untuk

merubah kebijakan keamanan, pertahanan, dan luar negeri AS, dan akan

mempengaruhi politik dunia internasional.

Pertama, dengan sikap kerasnya, AS tampak ingin melahirkan semacam

struktur bipolar baru. Pernyataan Presiden George W. Bush, “either you are with

79

us or you with terrorist”, secara jelas menggambarkan dunia yang terpilah dalam

sebuah pertarungan antara kekuatan baik dan kekuatan jahat.

Kedua, tragedy 11 September, juga telah membuka kemungkinan

berubahnya parameter yang digunakan AS dalam menilai seuah negara. Sekarang

ini, AS cenderung lebih mengkhawatirkan masalah terorisme daripada isu

demokrasi dan hak asasi manusia.

Ketiga, ditambah dengan adanya kecenderungan yang mengaitkan islam

dengan terorisme di kalangan para pengambil kebijakan di AS, tatanan politik

global semakin diperumit oleh ketegangan antara AS dengan negara-negara Islam

ataupun negara dengan penduduk mayoritas islam.

Keempat, untuk mengantisipasi kemungkinan serangan-serangan teroris di

masa depan, AS membentuk sebuah doktrin baru,yakni doktrin preemption.

Melalui doktrin ini, AS secara sepihak memberikan hak kepada dirinya sendiri

untuk mengambil tindakan terlebih dahulu, khususnya melalui tindakan militer,

untuk menghancurkan apa yang dianggapnya berpotensi sebagai ancaman terror

terhadap kepentingan AS dimana saja, termasuk Asia Tenggara. Doktrin

Preemption tersebut jelas meresahkan banyak negara, dan dapat mengubah

tatanan, nilai dan norma-norma hubungan antarnegara. Dalam konteks doktrim

preemption, prinsip kedaulatan negara, arti penting dan peran institusi-institusi

multilateral seperti PBB dan organisasi regional, serta ketentuan-ketentuan hukum

internasional dapat saja diabaikan.

Kelima, AS kini tampil sebagai negara adidaya tunggal yang sangat yakin

bahwa pendekatan militer merupakan pendekatan terbaik dalam memenuhi dan

80

melindungi kepentingan-kepentingan kepentingannya. Aksi serangan militer ke

Afghnaistan dan invasi ke Irak merupakan contoh nyata dari pendekatan ini.60

Dari strategi yang di terapkan AS di atas, tersirat bahwa AS berusaha untuk

menunjukkan hegemoninya kepada dunia dan adanya keinginan untuk memerangi

teroris yang sampai dengan saat ini identik dengan dunia islam. Penggiringan

opini bahwa pelaku adalah umat islam, terlepas dari tanpa bukti dan fakta,

menyebabkan antipati publik terhadap islam. Terlebih lagi beberapa kelompok

islam yang dituding sebagai pelaku tindak terorisme menunjukkan indikasi

membenarkan aktivitas-aktivitas tersebut.

Asia Tenggara dengan jumlah muslim terbanyak tentunya menjadi sorotan

bagi Amerika Serikat dalam penerapan kebijakannya. Malaysia memberlakukan

Undang-Undang yang akan memungkinkan negosiasi perjanjian bantuan hukum

timabal balik dengan negara lain. Malaysia telah menandatangani deklarasi anti

terorisme dari kerjasama dengan Amerika Serikat, dan menyetujui pembentukan

pusat pelatihan anti-terorisme regional di Kuala Lumpur.

Indonesia, pada tahun 2005 Bush menyetujui partisipasi Indonesia Military

Education and Training (IMET). Dan diteruskan dengan keputusannya Bush pada

Mei 2005 untuk mengaktifkan kembali non-lethal Foreign Military Sales (FMS)

di Indonesia dan November 2005 diputuskan juga untuk membatasi Foreign

Military Financing (FMF) karena kekhawatiran keamanan nasional AS.

Filiphina, Pemerintahan Bush mendukung kebijakan pemerintah Filiphina

menerapkan militer untuk menekan Abu Sayyaf dan mencari penyelesaian yang di

60 Rizal Sukma . “Keamanan Internasional Pasca 11 September: Terorisme, Hegemoni AS dan Implikasi Regional” Hal 6-7

81

negosiasikan dengan MILF. Pada tahun 2002, Amerika memasukkan 1.300

pasukan ke Filiphina Selatan untuk membantu Filiphina dalam Operasi melawan

Abu Sayyaf di Pulau Brasilian daya Mindanao. Thailand, Pembentukan Counter

Terrorism Intellegence Center (CTIC) tahun 2001 yang merupakan kerjasama

Thailan dengan dinas Intilejen AS, CIA.

Tekad AS memerangi terorisme bukanlah sebuah ungkapan kemarahan

semata. Kesungguhan AS dalam hal ini terlihat jelas ketika AS menjadikan “war

against terrorism” sebagai salah satu bagian dari Strategi Keamanan Nasional AS

2002 (National Security Strategy/NSS). Dan upaya AS memberantas terorisme ini

tidak terbatas pada wilayah teritorial AS saja, tetapi juga diseluruh penjuru dunia,

dimana kelompok-kelompok militan dan teroris bersembunyi. Afganistan

bukanlah satu-satunya wilayah dimana AS berusaha menangkap dan

menghancurkan kelompok taliban dan Al-Qaeda. Tetapi ribuan kelompok teroris

yang terlatih secara militer dan sebagian besar diantaranya merupakan jaringan

Al-Qaeda, telah tersebar di berbagai kawasan seperti belahan benua Amerika utara

dan selatan, Eropa, Afrika, Timur Tengah, serta Asia.61

Hal tersulit yang ditemukan dalam perang melawan terorisme adalah untuk

menemukan musuh. Karena musuh disini bukan lagi negara, tetapi kelompok-

kelompok orang yang membentuk jaringan-jaringan teroris. Untuk itu AS

menegaskan bahwa dibutuhkan kerjasama yang baik antar negara dan kawasan

agar kampanye ini menjadi efektif.62

61 The National Security Strategy of The United States of America.2002 hal 562 Ibid. hal 6

82

Akan tetapi, meyakinkan dunia bahwa war against terorrism juga

merupakan upaya AS untuk menciptakan keamanan dan perdamaian masyarakat

internasional yang lebih baik, bukanlah hal yang mudah. Penyebab utamanya

adalah karena terjadi perdebatan diantara negara-negara mengenai terminologi

terorisme itu sendiri, termasuk pro dan kontra mengenai kategori kelompok-

kelompok yang ditetapkan sebagai teroris internasional.

Oleh karena itu AS memandang perlu mengadakan perang terhadap

pemikiran-pemikiran untuk memenangkan pertempuran melawan terorisme

internasional. Cara-cara yang akan dilakukan AS meliputi:

Dengan mempergunakan pengaruh besar AS dan bekerjasama dengan

negara-negara sahabat dan sekutu, Menegaskan bahwa seluruh tindakan

terorisme adalah “haram” sehingga terorisme akan dipandang setara

dengan perbudakan, pembajakan, serta pembunuhan masal. Dengan

demikian tidak ada negara yang dapat menghargai atau mendukung prilaku

teroris, sebaliknya harus ditentang.

Mendukungi pemerintahan moderat dan modern khususnya dikawasan

dengan penganut mayoritas muslim, untuk menjamin bahwa tidak ada

tempat dimana kondisi dan ideologi yang membantu kemajuan

perkembangan terorisme

Mengurangi kondisi-kondisi yang menimbulkan terorisme dengan cara

membuat masyarakat internasional untuk fokus terhadap sumber-sumber

yang menimbulkan kondisi tersebut

83

Mempergunakan diplomasi publik yang efektif untuk memajukan aliran

informasi yang bebas untuk membangkitkan harapan-harapan dan aspirasi

kebebasan dalam lingkungan yang ruled by the sponsors of global

terorism.63

C. Peluang dan Tantangan Amerika Serikat dalam Menghadapi Terorisme

di Asia Tenggara

Peristiwa ledakan bom di Gedung WTC 11 September 2001 yang lalu cukup

memberikan pengaruh pada situasi politik internasional belakangan ini. Menyusul

ledakan WTC ini. Presiden AS, George W. Bush berpidato, “Amerika beikut

sahabat dan aliansi kami akan bergabung dengan semua pihak yang menginginkan

perdamaian dan keamanan di dunia ini. Kita akan bersama-sama berdiri melawan

dan memenangkan peperangan terhadap terorisme”.

Masalah memberantas ini kemudian menjadi urusan bersama dunia. Tak

pelak lagi, hampir seluruh kepala negara-negara di dunia, termasuk penguasa di

negeri-negeri Islam, tunduk pada tuntutan AS. Perang melawan ‘terorisme‘, kini

telah menjadi kebijakan politik luar negeri AS yang dominan.

Pada masa kepemimpinan yang baru, Obama menggunakan pendekatan

baru dalam mengelola perang terhadap terorisme. Strategi baru ini menurutnya

adalah pendekatan realis yang di rancang untuk memperbaiki reputasi moral

Amerika Sekaligus memperkuat keamanan nasionalnya, tidak seperti kebijakan

Bush yang divergen sebelumnya.

63 Ibid. hal 6

84

Obama berusaha memisahkan dua tantangan yang diidentifikasinya saling

terkait tetapi keduanya sangat berbeda. Tantangan pertama adalah apa yang

disebutnya immediate-near term challenge yakni persistent-evolving Al-Qaedah

and its affliation. Terhadap tantangan ini, Obama menegaskan sikapnya pada

inagurasi “our nation is at war against a far-reaching network of violence and

hatred. And to win this war against Al-Qaedah, the administration continues to be

unrelenting, using every tool in its toolbox and every arrow its quiver”. Untuk

menghadapinya, Presiden Amerika Serikat ini mengoptimalkan kekuatan militer

termasuk meningkatkan kapabilitas terutama angkatan darat dan angkatan laut,

memimpin rezim global nonproliferasi, adaptasi, dan penguatan komunitas

intelijen termasuk peningkatan kemampuan linguistic-kultural, kolaborasi dan

koordinasi dengan partner intelijen luar negeri.

Adapun tantangan kedua adalah apa yang disebutnya sebagai long term

challenge-the threat of violent extremism generally, termasuk factor-faktor politik,

ekonomi dan sosial yang dinilai menjadikan banyak individu berada dalam jalur

kekerasan, maka pendekatan militer, operasi intelijen dan penegakan hukum saja

menurutnya tidak akan mampu mengatasi masalah ini.

Ada lima elemen pendekatan Obama untuk mengatasi masalah ini, yaitu :

1. Perlawanan terhadap teroris, khususnya di kawasan Asia Tenggara

diletakkan pada posisi yang tidak lagi mendistorsi keamanan nasional dan

kebijakan luar negeri AS tetapi menjadi bagian penting dari kebijakan-

kebijakannya yang lebih luas tersebut.

85

2. Obama tidak lagi menggunakan War On Terrorism untuk mendefinisikan

tantangan AS karena menurutnya terorisme tidak lain adalah taktik atau

alat untuk mencapai tujuan.

3. Obama menolak istilah “jihadist” pada teroris muslim, khususnya di

kawasan Asia Tenggara karena akan memberikan legitimasi relijius dan

pada saat yang sama memneri kesan AS sedang berperang dengan islam.

Definisi tantangan yang dikembangkan pemerintah Obama adalah AS

sedang berperang dengan “Violent extremism” dan “Ideologies of

Violences”.

4. Mengatasi faktor-faktor hulu pemicu “violent extremism” dengan

menjawab kebutuhan dasar masyarakat seperti keamanan, pendidikan,

lapangan pekerjaan untuk mengisolasi ekstrimis dari masyarakat luas yang

hendak mereka layani. Para ekstrimis dininilai memanfaatkan kemiskinan

masyarakat untuk merekrut mereka melalui jaminan sosial yang mereka

tawarkan lalu mengindoktrinisasi masyarakat untuk melakukan tindakan

terror. Dengan mengatasi faktor-faktor hulu ini di harapkan opini yang

salah-yang dikembangkan para ekstrimis-bahwa AS sebenarnya ingin

menjadikan masyarakat tetap melarat dan lemah akan bisa dihapuskan.

Selanjutnya, masyarakatlah yang kemudian akan mengisolasi para

ekstrimis dan bukan AS yang harus melakukannya.

86

5. Menggunakan semua elemen kekuatan nasional untuk mengatasi penyebab

dan kondisi pemicu berbagai ancaman termasuk violent extremism.64

Sejumlah rekomendasi kebijakan asistensi keamanan Amerika Serikat di

Asia Tenggara dalam rangka menjaga kepentingannya dilakukan melalui langkah-

langkah :

1. Mengintegrasikan secara lebih baik strategi Counerterorisme, hukum dan

peraturan serta kebijakan-kebijakan pembangunan untuk mengatasi isu-isu

korupsi di wilayah ini. Hal ini dinilai krusial agar para pejabat terpilih dan

birokrat mampu memenangkan kepercayaan komunitas mereka sendiri dan

dengan cara demikian mengabaikan teroris dan pengaruh politik mereka.

2. Melanjutkan reformasi polisi di Filiphina dan Thailand.

3. Membantu menciptakan wilayah yang tidak terlalu ramah bagi para

terorisme di Asia Tenggara melalui peningkatan dukungan terhadap

institusi-institusi regional seperti ASEAN, ASEAN Regional Forum,

APEC, dan EAS (East Asia Summit). Penyaluran bantuan keamanan, dan

pendampingan counterterorisme melalui kerangka kolaboratif semacam ini

diharapkan akan mengurangi persepsi bahwa terorisme adalah kepentingan

khusus Amerika Serikat.

64 http://dreamlandaulah.wordpress.com/2010/05/26/obama-dan-narasi-baru-terorisme/ Diakses tanggal 5 Juni 2011

87

4. Menekan kesepuluh negara ASEAN untuk menandatangani dan

meratifikasi seluruh (16) konvensi PBB terkait counterterorisme.65

Kebijakan AS untuk memimpin perang melawan terorisme sepertinya

semakin berhasil dengan dikeluarkannya resolusi DK PBB No.1373 Tahun 2001.

Resolusi tersebut memuat langkah-langkah dalam menanggulangi terorisme dan

mendukung tindakan pencegahan dan pemberantasan terorisme. Dengan

demikian, AS semakin memiliki kemudahan dalam mendapatkan akses untuk

menghadirkan militernya di luar negeri dengan dalih terorisme.

Hal inilah yang kemudian menjadi kekhawatiran banyak negara, terutama

mereka yang tidak cukup kuat untuk menolak penetrasi militer AS kedalam

wilayahnya. Seperti yang selalu ditekan pemerintah AS bahwa perang ini tidak

berhenti sampai disini (afghanistan), maka kecenderungan pasca perang di

Afghanistan dan Iraq adalah melanjutkan dengan memberikan perhatian terhadap

aktivitas terorisme di belahan lain dunia, dalam hal ini berdasarkan dokumen dan

rekaman kaset video yang ditemukan dalam markas Al-Qaeda di Afghanistan.66

Asia Tenggara merupakan kawasan yang sangat merasakan dampak

langsung dari langkah-langkah AS tersebut. Karena tidak lama setelah AS

menyerang Afghanistan, pejabat pemerintahan Bush mengumumkan: adanya

upaya Osama Bin Laden dan pengikutnya untuk memperluas kegiatan-kegiatan

mereka di Asia Tenggara, tidak hanya di filipina, tetapi juga di Singapura dan

Indonesia.67Berbagai media cetak AS juga banyak mengeluarkan artikel mengenai

65 http://dreamlandaulah.wordpress.com/2010/05/26/obama-dan-narasi-baru-terorisme/ Diakses tanggal 5 Juni 2011

66 http://www.nbr.org/publications/analysis Diakses 10 Juni 201167 http://www.afsc.org/pwork/0112/011214.htm. Diakses 10 Juni 2011

88

potensi teror dari gerakan-gerakan kelompok Islam radikal yang berkembang

dengan subur di Asia Tenggara.

Implikasi lebih jauh yang dirasakan Asia Tenggara adalah ketika PBB resmi

menyatakan bahwa kelompok “Jamaah Islamiah” digolongkan sebagai organisasi

teroris internasional. Keputusan PBB ini tentu saja sangat mempengaruhi Asia

Tenggara, dimana selama ini AS selalu menekankan bahwa Jamaah Islamiah

merupakan perpanjangan tangan Al-Qaeda, dan jaringannya menyebar di

Malaysia, Singapura, serta Indonesia. Sehingga AS mempunyai kekuatan untuk

menekan pemerintahan negara-negara Asia Tenggara agar lebih aktif bekerjasama

dalam memberantas terorisme seperti yang diinginkan AS.

Pada akhirnya “War on Terrorism”, menjadi instrumen AS untuk dapat

menghadirkan kekuatan militernya diluar teritorialnya. Khususnya bagi Asia

Tenggara, indikasi menjadi “second front” dari perang melawan terorisme

semakin terlihat jelas. AS telah menempatkan Asia Tenggara menjadi salah satu

prioritas dalam kebijakan luar negeri-nya setelah sekian lama kawasan ini

menghilang dari layar radar AS. Sebagai kawasan dengan tingkat prioritas

kepentingan yang tinggi, maka AS perlu memastikan kehadiran kekuatan

militernya di Asia Tenggara untuk menjaga kepentingan-kepentingan tersebut.

Dibawah spanduk “global war on terrorism”, pemerintahan presiden

Amerika Serikat (AS) pada waktu itu,  George W. Bush mulai mendorong kepala

pemerintahan negara-negara Asia Tenggara untuk bekerjasama dengan AS. Ada

pendapat yang berkembang, bahwa kemunduran pengaruh AS di kawasan Asia

Tenggara selama beberapa dekade sebelumnya melatarbelakangi pemikiran untuk

89

menghadirkan kembali militernya di kawasan ini. Namun yang pasti, setelah

serangan militer pertama dimulai dengan menyerang Al-Qaeda dan rezim Taliban

di Afghanistan pada 7 Oktober 2001, dan spekulasipun dengan cepat

menggunung, bahwa operasi-operasi selanjutnya akan segera dilakukan di tempat

lain. Hal ini muncul tidak lama setelah Asia Tenggara disebut-sebut sebagai

“Second Front in the war on terrorism”.68

Ada beberapa alasan yang tidak mungkin dilepaskan mengapa Asia

Tenggara menjadi fokus AS dalam memberantas terorisme, antara lain:

1. Seperti yang diberitakan, ada koneksitas antara Asia Tenggara dengan

serangan 11 September. Beberapa pembajak, termasuk petinggi-

petingginya yaitu Mohhammad Atta dan Zacarias Moussaoui yang sejauh

ini diklaim AS memiliki keterlibatan  dengan serangan 11 september,

dimana mreka diketahui telah mengadakan pertemuan di kuala Lumpur

untuk membicarakan rencana-rencana mereka.

2. Sebelum serangan 11 September terjadi, AS telah memperingatkan

mengenai operasi kelompok-kelompok militan Islam radikal di kawasan

Asia Tenggara, termasuk beberapa diantaranya berhubungan langsung

dengan jaringan Al-Qaedah. Antara lain Al-Ma’unah (Malaysia), Laskar

Jihad (Indonesia), beberapa cabang Moro (Filipina).

3. Asia Tenggara adalah rumah dari umat Muslim, dimana Indonesia dan

Malaysia mayoritas penduduknya adalah Muslim. Dengan Jumlah

68 Mathew. “US may turn attention to far east terror groups”, The Guardian, 11 Oktober 2001

90

penduduk yang besar, batas-batas wilayah yang rawan serta lemahnya

institusi negara, membuat AS telah lama mengindentifikasi Kawasan ini 

potensial menjadi surganya teroris.69

Dengan ketiga faktor diatas, kemudian dengan peristiwa Bom Bali-

Indonesia, 12 Oktober 2002, memperkuat kesan bahwa Asia Tenggara akan

menjadi kawasan penting dalam perjuangan melawan para militan Islamis.70 Rizal

Sukma mengemukan beberapa faktor mengapa diskursus mengenai kemungkinan

Asia Tenggara menjadi “the second front” dari perang melawan terorisme muncul

kepermukaan:

1. Adanya fakta bahwa Asia Tenggara merupakan kawasan dengan jumlah

penduduk muslim yang sangat signifikan. Bahkan Indonesia merupakan

sebuah negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Fakta ini

kemudian dikaitkan dengan adanya pandangan bahwa kebanyakan dari

teroris dan kelompok-kelompok militan identik dengan ideologi islam

radikal. Sehingga ketika kemunduran kondisi ekonomi dan sosial yang

dialami Asia Tenggara pasca krisis ekonomi serta kerusuhan politik yang

terjadi di indonesia, menciptakan lingkungan yang sangat ideal bagi

pertumbuhan dan perkembangan aktivitas teroris, kelompok radikal, serta

kelompok-kelompok separatisme.

2. Eksistensi pergerakan kelompok separatis di Asia Tenggara ini mendorong

kemungkinan hadirnya terorisme dan jaringan teroris di sekitar daerah

pusat gerakan tersebut terjadi.

69 http://www.ceri-sciences-po.org Diakses tanggal 10 Juni 201170 Ibid

91

3. Meningkatnya peran serta pengaruh kelompok-kelompok islam militan di

Indonesia {Laskar Jihad, Fron Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin

Indonesia (MMI)}, Malaysia {Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM)},

dan Singapura {Jemaah Islamiah (JI)}.

4. Berkenaan dengan 3 faktor diatas, diperkuat dengan ditangkapnya orang-

orang dari kelompok-kelompok tersebut yang disinyalir memiliki

keterlibatan dengan aktivitas terorisme, semakin meyakinkan bahwa

adanya jaringan terorisme di Asia Tenggara.

5. Ancaman-ancaman teroris di kawasan Asia Tenggara yang terus

meningkat acapkali memperlihatkan sentimen anti-amerika dikalangan

komunitas muslim setelah peristiwa 11 September dan serangan militer

AS ke Afghanistan.71

71 Rizal Sukma, “The Second Front Discourse: Southeast Asia & The Problem of Terrorism”, dalam Asia Pacific Security: Uncertainty in a Changing World Order” (Kuala Lumpur, 2002), hal. 78-80

92

BAB V

PENUTUP

A. KesimpulanBerdasarkan pemaparan hasil penelitian, maka penulis menarik beberapa

kesimpulan yang dianggap merupakan sebagai hasil elaborasi dari penelitian ini

yaitu sebagai berikut :

1. Dalam menghadapi terorisme, khususnya di Asia Tenggara, Pemerintah

Amerika Serikat memilih untuk bersikap tegas, tidak melakukan

kompromi, dan menolak secara tegas untuk melakukan negosiasi dengan

kelompok terorisme, baik itu berupa tebusan, perubahan kebijakaan,

penukaran atau pembebasan tawanan. Pemerintah Amerika Serikat

memberlakukan Undang-Undang baru yaitu Patriot Act 2001 yang berisi

93

menentang terorisme dan berbagai kegiatan yang mendukungnya atau

bersentuhan dengan aksi terorisme yang dilarang, seperti larangan

pemberian bantuan dana pada jaringan terorisme.

2. Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan politik luar negeri

secara umum dalam menghadapi terorisme internasional di kawasan Asia

Tenggara yakni, mengeluarkan Kebijakan travel advisory dan travel

warning terhadap Negara-negara yang potensial mendapat serangan

terorisme di Kawasan Asia Tenggara. Meningkatkan kuantitas personil

militer di kawasan Asia untuk melindungi kepentingan dan warga

negaranya. Menggiatkan kampanye anti terorisme internasional melalui

forum kerjasama regional seperti APEC dan ASEAN.

3. Kebijakan luar negeri secara khusus yang bersifat bilateral antara

pemerintah Amerika Serikat dan beberapa negara di kawasan Asia

Tenggara. Dengan Malaysia berupa kerjasama pembentukan pusat

koordinasi anti terorisme regional Asia Tenggara di Malaysia. Bersama

Filiphina melakukan kerjasama latihan militer. Dengan Indonesia,

pemerintah Amerika Serikat memberikan bantuan dana sebesar 50 juta

USD untuk membiayai pelatihan dan pembentukan satuan anti terror yang

profesional.

B. Saran

1. Perlunya dibuat suatu kerangka kerjasama yang progresif dan terintegrasi

dengan system hokum internasional mengenai penanganan dan

94

pemberantasan terorisme antara PemerintaH Amerika Serikat dan Negara-

negara Asia Tenggara.

2. Diharapkan kepada negara-negara di Kawasan Asia Tenggara untuk

meningkatkan pengawasannya terhadap jaringan-jaringan terorisme yang

ada di kawasan tersebut.

3. Perlunya koordinasi antara aparat terkait dalam hal ini pihak keamanan

dan intelejen antara pemerintah Amerika Serikat dan Negara Asia

Tenggara sehingga dapat dilakukan tindakan-tindakan pencegahan

terhadap aksi-aksi terror yang terjadi di kawasan tersebut.