bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan umum konvensi ...eprints.umm.ac.id/46507/3/bab ii.pdf · 4)...
TRANSCRIPT
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Konvensi Ketatanegaraan.
1. Istilah dan Pengertian Konvensi Ketatanegaraan.
Istilah Konvensi berasal dari kata convention merupakan
suatu aturan yang didasarkan pada kebiasaan. Dalam hasanah
pengajaran hukum tata negara Indonesia lazim dipergunakan
ungkapan “kebiasaan ketatanegaraan” atau “adat kenegaraan”.
Dengan demikian, secara keilmuan tidak ada konvensi di luar praktik
ketatanegaraan.11 Di Indonesia kata “Konvensi Ketatanegara”
diartikan kebiasaan dalam ketatanegaraan. Wade dan Godfrey
Philips merumuskan definisi tentang konvensi sebagai berikut:
“rules hot having the force of law but which can nevertheless not
be disregarded since they are sanctioned by public opinion, and
perhaps indirectly by law proper”. Yang diartikan Konvensi
adalah ketentuan-ketentuan yang meskipun tidak mempunyai
daya paksa secara hukum, tidak dapat diabaikan karena diperkuat
oleh pendapat umum, dan kemungkinan secara tidak langsung
diperkuat oleh hukum”.12
Konvensi adalah ketentuan yang mengatur bagaimana
seharusnya mahkota atau menteri melaksanakan discretionary
power. Apabila dirinci, menurut Dicey Konvensi Ketatanengaraan
adalah hal-hal berikut:13
11Bagir Manan, 2006, Konvensi Ketatanegaraan, Penerbit FH UII PRESS, Cetakan
Pertama, Yogyakarta, Hal. 69 12 Ibid. Hal. 61 13 Ibid. Hal. 60.
18
1) Konvensi adalah bagian dari kaidah ketatanegaraan
(konstitusi) yang tumbuh, diikuti dan ditaati dalam praktik
penyelenggaraan negara.
2) Konvensi sebagai bagian dari konstitusi tidak dapat ditegakan
oleh (melalui) Pengadilan.
3) Konvensi ditaati semata-mata didorong oleh tuntutan etika,
akhlak atau politik dalam penyelenggaraan negara.
4) Konvensi adalah ketentuan ketentuan mengenai bagaimana
seharusnya (sebaliknya) discretionary power dilaksanakan.
Berdasarkan pemaparan dari A.V.Dicey terkait kriteria-
kriteria dari konvensi ketatanegaraan dan bentuk langsung penerapan
di Indonesia sebagai berikut:
1) Konvensi adalah bagian dari kaidah ketatanegaraan
(konstitusi) yang tumbuh, diikuti dan ditaati dalam praktik
penyelenggaraan Negara, hal ini diterapkan di Indonesia
sendiri adalah terdapat Pidato dalam rapat umum, rapat
raksasa Presiden Republik Indonesia (orde lama) pada setiap
tanggal 16 Agustus dan juga di era reformasi adanya Sidang
Tahunan MPR yang sebelumnya sempat ditinggalkan dan di
ajukan kembali pada tahun 2014;
2) Konvensi sebagai bagian dari konstitusi tidak dapat
ditegakan oleh (melalui) Pengadilan, hal yang pernah dialami
atau dihadapi di Indonesia adalah Maklumat Pemerintah
19
tanggal 14 November No.X atas nama wakil presiden yang
merubah sistem pemerintahan dari presidensil ke
parlementer. Hal ini yang dikategorikan sebagai bahwa
konvensi ketatanegaraan tidak dapat ditegakan oleh
pengadilan Karena sifatnya berdasarkan kesepakatan oleh
seluruh penyelenggara negara dan disahkan oleh presiden;
3) Konvensi ditaati semata-mata didorong oleh tuntutan etika,
akhlak atau politik dalam penyelenggaraan Negara, praktik
musyawarah mufakat yang dilakukan oleh lembaga tinggi
negara MPR-RI, sebagai lembaga tinggi Negara yang
kedudukan sama dengan lembaga-lembaga tinggi Negara lain
yang dimana setiap hasil pertemuan dengan rapat atau sidang
harus dengan musyawarah ditentukan dengan mufakat dari
hasil rapat atau sidang tersebut;
4) Konvensi adalah ketentuan ketentuan mengenai bagaimana
seharusnya (sebaliknya) discretionary power dilaksanakan,
demikian juga terdapat di point terakhir kriteria yang
dilakukan oleh penyelnggara negara adalah Penjelasan
Presiden terhadap Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara dihadapan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai
diskresi pejabat berwenang memberikan pilihan atau opsi
kembali dalam penetapannya.
20
Pendefinisian Konvensi ketatanegaran yang diajukan oleh
Dicey secara umum diterima secara umum oleh para akademisi dan
sarjana di Inggris. Sementara di Indonesia sendiri telah dirumuskan,
bahwa hukum dasar tidak tertulis yang dimaksud dalam penjelesan
UUD 1945 adalah konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan dan
bukan hukum adat atau yurisprudece (juga tidak tertulis). Penjelasan,
memberikan arti hukum dasar yang tidak tertulis sebagai “aturan-
aturan dassar yang timbul dan terpelihara dalam praktik
penyelenggaraan negara” itulah yang disebut dengan Konvensi
ketatanegaraan.14
2. Ruang Lingkup Konvensi Ketatanegaraan.
Konvensi, kata Dicey, berisi ketentuan-ketentuan mengenai
cara-cara bagaimana discretionary powers yang ada pada mahkota
atau menteri (sebagai aparat raja) atau aparat mahkota lainnya
diselenggarakan sebaik-baiknya.15 Discretionary powers berisi
kebebasan mahkota dengan aparatnya untuk melakukan suatu
tindakan tanpa terlebih dahulu harus meminta persetujuan atau
pengaturan oleh Parlemen. Discretionary powers umumnya
bersumber pada prerogatif dan tidak pada undang-undang. Baik
secara historis maupun dalam praktiknya sekarang, prerogatif tidak
lain dari residu (sisa) dari discretionary powers atau arbitrary
14 Ibid. Hal. 59. 15 Ibid. Hal. 64.
21
powers (kekuasaan mutlak) yang secara hukum dibiarkan tetap
ditangan mahkota.16
Secara sosio-historis munculnya Konvensi ketatangeraan
sebagai upaya untuk memperbaiki system yang otonom dan mutlak
dari tangan raja. Sehingga dalam kesejarahanya tidak terlepas dari
Magna Carta (1215) merupakan bentuk awal pembatasan kekuasaan
raja atau ratu, yang berpuncak pada supremasi parlemen yang diikuti
system pemerintahan perlementer. Hampir semua kekuasaan raja
atau ratu beralih ke parlemen dan kabinet. Kabinet selain
menjalankan pemerintahan, juga bertanggung jawab atas jalannya
pemerintahan. Pergeseran atau perpindahan kekuasaan ini, tidak
menghabiskan (menghapus) seluruh kekuasaan raja atau ratu.17 Cara-
cara penyelenggaraan inilah diatur oleh konvensi. Dengan demikian
antara prerogatif dan discretionary powers dapat dibedakan tetapi
tidak dapat dipisahkan. Kebebasan bertindak discretionary powers
semata-mata untuk menjalankan hak prerogatif.18
Dalam perkembangan lebih lanjut, konvensi juga menentukan
tata cara pertanggungjawaban kabinet atau menteri.
Kabinet yang kehilangan dukungan mayoritas di parlemen akan
meletakan jabatan dan mengembalikan mandate kepada raja atau
ratu. Dalam hal kabinet berpendapat bahwa mereka mendapat
dukungan dari rakyat pemilih, diperbolehkan tidak
mengembalikan mandat, sebaliknya mengusulkan agar parlemen
dibubarkan. Apabila ternyata dalam pemilihan umum rakyat tidak
memberikan dukungan, maka kabinet mengundurkan diri.
16 Ibid. 17 Ibid. Hal. 65. 18 Ibid.
22
Konvensi juga berkembang dalam persemakmuran (Common-
wealth)19.
Lingkup-lingkup sebagaimana diuraikan diatas, menunjukan
bahwa konvensi adalah ketentuan-ketentuan berkenaan dengan
penyelenggaraan negara dan atau pemerintahan, yang oleh Dicey
disebut dengan convention of the constitutions.20
3. Hakekat Konvensi Ketatanegaraan.
Kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia menurut UUD
1945, selain dilaksankan berdasarkan kaidah-kaidah hukum tertulis,
harus pula memperhatikan dan mentatati kaidah-kaidah (hukum)
yang tidak tertulis (vide Penjelasan UUD 1945, dalam UUD sebelum
perubahan).21 Dengan demikian keduanya terus hidup berkembang
secara berdampingan. Kehadiran kaidah-kaidah hukum tidak tertulis
di akui sebagai salah satu sumber pentinng hukum tata negara.
Kaidah hukum dasar atau hukum dasar tidak tertulis yang dimaksud
adalah bukan merupakan kaidah (hukum) yang selama ini kita kenal
sebagai hukum adat atau hukum yurisprudence. Tetapi lebih kepada
konvensi.22
Terdapat perbedaan mendasar antara hukum tidak tertulis
sebagai hukum adat dan hukum tidak tertulis yang timbul dari
praktek penyelenggaraan negara. Hukum adat cenderung berasal dari
adat istiadat dan putusan putusan penguasa adat. Sedangkan kovensi
19 Ibid. Hal. 69. 20 Ibid. 21 Ibid. Hal. 43. 22 Ibid. Hal. 44
23
lahir dari praktik penyelenggaraan negara.23 Meskipun tidak berarti
ketentuan hukum tata negara hanya terdiri dari hukum tertulis
(perundang-undangan) dan kovensi. Melainkan hukum tata negara
juga teridiri dari kaidah hukum tidak tertulis yang bersumber baik
dari hukum adat maupun yurisprudensi.24
4. Bentuk-Bentuk Konvensi Ketatanegaraan.
Dalam kepustakaan hukum tata negara, ditemukan pandangan
tentang bentuk konvensi ketatanegaraan, antara lain oleh E.C.S.
Wade dan Godfrey Phillips, serta Ivor Jennings.25
E.C.S. Wade dan Godfrey Pillips mengemukakan bahwa
“conventions are a mixture of rules based on custom and
expediency, but sometimes their source is express agreement”.
Demikian pula Ivor Jennings menjelaskan bahwa “Convention
implies some form agreement, whether expressed or implied,
while ‘custom’ assumes first that the law enforced in the courts
need not be custom, and secondly that an extralegal rule cannot
created by express agreement”. Dalam kaitannya dengan
timbulnya konvensi ketatanegaraan Jennings mengungkapkan
bahwa “some of them,such as those expressed in revolutions of
the Imperial Conferences, are definite and clearly estabilished”.26
Menilik pandangan Wade dan Phillips, serta Jennings dapat
disimpulkan bahwa konvensi ketatanegaran berasal dari tiga sumber,
yaitu kebiasaan ketatanegaraan, kepatutan (expediency) dan express
agreement.27
23 Ibid. 24 Ibid. 25Betrik, Modul 5 Konvensi Ketatanegaraan, Yang dalam
https://www.academia.edu/26403082/Modul, di unduh pada tanggal 23 Desember 2018. Hal. 88 26 Ibid. 27 Ibid. Hal. 89
24
Sementara itu K.C. Wheare menjelaskan bahwa konvensi
ketatanegaraan sekurang-kurangnya timbul dari dua sumber.
Kadang-kadang berlaku selama masa yang lama dan bertahap lebih
dahulu mencapai kekuatan persuasif dan kemudian diwajibkan.28
Konvensi seperti ini biasanya disebut “adat”. Selain itu,
konvensi juga dapat timbul dengan lebih cepat dari itu.
Konvensi ini tidak timbul dari kebiasaan dan tidak mempunyai
sejarah pemakaian sebelumnya, tetapi muncul dari kesepakatan
(agreement). Bentuk konvensi ketatanegaraan yang kedua ini,
dalam kenyataannya dapat ditemukan dalam bentuk tertulis
berupa kesepakatan para pemimpin politik (negara).
Kesepakatan-kesepakatan ini di luar jangkauan pengaturan
konstitusi. Namun sejauh mungkin dihindarkan dari kontradiksi
antara kedua bentuk tersebut. Maksudnya, agar konvensi
ketatanegaraan tidak dijadikan alat untuk menghindar atau
menyimpang dari konstitusi.29
Beranjak dari pendapat para ahli yang telah dipaparkan, maka
dikenal dua bentuk konvensi ketatanegaraan, yaitu konvensi
ketatanegaraan yang berbentuk kebiasaan dan konvensi
ketatanegaraan yang berbentuk express agreemenrt (persetujuan
yang dinyatakan).30
Selanjutnya kedua bentuk konvensi ketatanegaraan dimaksud
akan diuraikan sebagai berikut:
a) Konvensi ketatanegaraan sebagai kebiasaan
Dalam pandangan A.V. Dicey, konvensi ketatanegaraan
merupakan kebiasaan-kebiasaan, persetujuan-persetujuan, dan
praktek-praktek yang bukan tergolong hukum dan tidak dapat
28 Ibid. 29 Ibid. 30 Ibid.
25
dipaksakan atau dilaksanakan oleh pengadilan. Dalam kebiasaan
terdapat unsur yang menunjukkan bahwa perbuatan yang sama
berulang-ulang dilakukan, yang kemudian diterima dan ditaati.
Meskipun konvensi ketatanegaraan diakui belum sampai pada taraf
“hukum”, tetapi untuk mendapatkan pemahaman yang lebih
konprehensif, perlu dibahas terlebih dahulu pandangan dan kriteria
kebiasaan yang dapat berubah menjadi hukum kebiasaan serta
bagaimana prosesnya menjadi hukum kebiasaan.31
Pandangan mengenai kebiasaan harus memenuhi syarat
tertentu juga dianut oleh ahli hukum Eropa Kontinental, Indonesia
dan sebagainya. Menurut konsep Eeropa Kontinental, terbentuknya
(hukum) kebiasaan harus memenuhi dua syarat, yaitu 1) satu yang
bersifat material, pemakaian yang tetap; dan 2) satu yang bersifat
psikologis (bukan psikologis perorangan melainkan psikologis
golongan), kenyakinan akan kewajiban hukum (opinio necessitatis).
Supaya kebiasaan mendapat pijakan kuat, menurut Hans
Kelsen harus memperhatikan fakta bahwa apabila di dalam suatu tata
hukum terdapat hukum dalam bentuk undang undang dan juga
hukum kebiasaan yang diterapkan organ-organ penegak hukum
terutama pengadilan dalam membentuk norma-norma hukum sama
seperti pembentukan undang undang oleh lembaga pembentuk
undang undang. Hal ini dimungkinkan jika konstitusi dalam arti
31 Ibid. Hal. 90
26
material, melembagakan kebiasaan – seperti konstitusi
melembagakan pembentukan undang undang, sebagai suatu prosedur
pembentukan hukum.32 Kelsen mendasarkan kebiasaan semata-mata
pada pengakuan konstitusi, sehingga tanpa melewati prosedur seperti
itu kebiasaan tidak dapat dianggap sebagai kaidah hukum.
Di lain pihak, John Austin – sebagaimana hal penulis Anglo
Saxon lain berpandangan bahwa syarat kebiasaan terletak pada
lembaga peradilan. Menilik pemikiran tersebut, konvensi
ketatanegaraan dalam bentuk kebiasaan harus memenuhi persyaratan
antara lain :1) harus ada preseden yang timbul berkali-kali; 2)
presiden yang timbul karena adanya sebab yang secara umum dapat
dimengerti atau dapat diterima; 3) preseden itu karena kondisi politik
yang ada.33 Syarat pertama merupakan hakikat kebiasaan itu sendiri,
sebab tidak ada kebiasaan yang tidak dilakukan berulang-ulang.
Syarat kedua sama dengan “opinio necessitatis” atau kenyakinan
akan kewajiban hukum yang berlaku di Eropa Kontinental.
Kenyakinan sebagai kewajiban hukum ini idealnya tidak hanya
dirasakan oleh seseorang atau golongan tertentu, tetapi oleh sebagian
terbesar warga negara. Syarat ketiga dibutuhkan karena tuntutan
kondisi politik dalam skala yang luas, karena kehidupan politik
menuntut dibentuknya tindakan baru sebagai awal terciptanya
konvensi ketatanegaraan, atau tetapmempertahankan tradisi
32 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Alih Bahasa Soemardi, Rindi Press, (tanpa kota),
1995,hlm. 126. Dalam Betrik, Ibid. Hal. 91 33 Bagir Manan, Op Cit., hlm. 49.
27
ketatanegaraan lama yang dianggap selama ini sudah menjadi
konvensi ketatanegaraan.
Dalam praktik ketatanegaraan Inggris terlihat dalam hal Raja
harus mengundang pemimpin partai atau koalisi partai-partai yang
paling berpengaruh dalam Majelis Rendah untuk membentuk
kabinet. Di Indonesia, praktik kebiasaan sebagai bentuk konvensi
ketatanegaraan antara lain terlihat dalam suatu kebiasaan sejak awal
kemerdekaan adalah penunjukkan seorang Perdana Menteri oleh
Presiden selama berlakunya UUD 1945 dari pemimpin-pemimpin
partai politik atau koalisi partai-partai politik yang mempunyai suara
terbanyak dalam Komite Nasional Pusat.34
b) Konvensi Ketatanegaraan Sebagai Express Agreement
Bentuk konvensi ketatanegaraan ini dapat ditemukan dalam
bentuk tertulis berupa kesepakatan para pemimpin politik (negara).
Kesepakatan-kesepakatan tersebut di luar jangkauan pengaturan
konstitusi. Menurut Ismail Suny,35 konvensi ketatanegaraan yang
disebut express agreement tidak perlu selalu merupakan ketentuan
yang tidak tertulis, yang timbul dari persetujuan agreement boleh
saja berbentuk tertulis. Konvensi tersebut mungkin berupa suatu
persetujuan yang ditandatangani oleh pemimpin-pemimpin negara
seperti persetujuan antara Wakil Presiden Indonesia dan Badan
Pekerja 16 Oktober 1945 atau suatu memorandum yang dikeluarkan
34 Betrik, Op.cit. Hal. 92 35 Ismail Suny, 1998, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru. Hal. 41
28
setelah pembicaraan antara menteri-menteri seperti Maklumat
pemerintah pada 14 Oktober 1945.
Dicey mengenai Konstitusi Inggris sebagai pangkal haluan,
selalu mengingat bahwa perbedaan antara apa suatu konstitusi itu
dana pa yang bukan, tidak terletak dalam jawaban kepada
pertanyaan: apakah ia sulit atau mudah dirubah, apakah ia kempal
(compact) dalam sebuah naskah atau tersebar dalam serratus
dokumen, apakah kekuasaannya lebih tinggi dari pada ketentuan-
ketentuan sistem politik yang lain. Adanya perbedaan-perbedaan
terletak dalam masalah-masalah yang disinggungnya.36
Di lain pihak, Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh
mengkritik bahwa konvensi ketatanegaraan yang mencantumkan
express agreement tidaklah mengubah sifat hakekat suatu konvensi
ketatanegaraan menjadi hak yang tertulis. Karena apabila tertulis,
maka sifatnya tidak lagi suatu konvensi. Konvensi pada hakekatnya
adalah perbuatan dalam kehidupan ketatanegaraan yang diterima dan
ditaati dalam praktek ketatanegaraan. Sedangkan Wade pun tidak
mengatakan bahwa express agreement itu adalah konvensi,
melainkan sumber (source) bagi konvensi. Dalam hal sumbernya
adalah express agreement, maka kekuatan mengikatnya adalah
segera (immediately binding) seperti dikatakan Wheare, jadi tanpa
36 Pandangan A. V. Dicey dalam Buku Bagir Manan, Ibid Hal 38.
29
syarat dilakukan berulang-ulang.37 Kritikan Abu Daud Busroh dan
Abu Bakar Busroh ini semata mengacu pada pemikiran A.V. Dicey
ketika mengemukakan konsep konvensi ketatanegaraan, namun
harus diingat bahwa kebiasaan atau praktek ketatanegaraan tidak
berhenti ketika Dicey menulis bukunya sekitar 1885. Justru
sebaliknya praktek ketatanegaraan berkembang terus mengikuti
kebutuhan masyarakat negara-negara modern, sehingga konvensi
ketatanegaraan tidak harus dibatasi pada suatu tindakan seragam
yang dilakukan terhadap obyek yang sama.
B. Tinjauan Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia
B.1. Lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia atau
cukup disebut Majelis Permusyawaratan Rakyat (disingkat MPR-RI
atau MPR) adalah lembaga legislatif bikameral yang merupakan
salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia.38
MPR merupakan representasi dari mandat konstitusi sebagai
lembaga negara yang bertugas untuk mengawal ideologi dan
kedaulatan rakyat yang dijalankan menurut konstitusi negara.
37 Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh, Asas-asas Hukum Tata Negara, Ghalia
Indonesia, Jakarta,1983, hlm. 59 dan 60. 38Wikipedia,https://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Permusyawaratan_Rakyat_Republik_I
ndonesia, di akses pada tanggal 23 Desember 2018
30
MPR merupakan lembaga pelaksana kedaulatan rakyat oleh
karena anggota MPR adalah para wakil rakyat yang berasal dari
pemilihan umum. MPR bukan pelaksana sepenuhnya kedaulatan
rakyat sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945
,perubahan ketiga bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut undang-undang dasar.39 Sebagaimana dalam
pembukaan konstitusi:
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) mengamanatkan bahwa
Susunan Negara Republik Indonesia adalah negara yang
berkedaulatan rakyat yang dalam pelaksanaannya menganut
prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan. Untuk mewujudkan hal
tersebut, dibentuk lembaga permusyawaratan rakyat dan
lembaga perwakilan yang diharapkan mampu memperjuangkan
aspirasi rakyat dalam rangka menegakkan nilai-nilai demokrasi,
keadilan dan kesejahteraan rakyat dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Atas dasar pemikiran tersebut, dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia dibentuk lembaga-lembaga negara yang
mengejawantahkan fungsi permusyawaratan dan perwakilan sebagai
bagian dari pelaksanaan kedaulatan rakyat, dimana keberadaan,
wewenang, tugas, dan fungsinya ditentukan oleh Undang-Undang
Dasar.40
Lembaga negara merupakan lembaga pemerintahan negara
yang berkedudukan di pusat yang fungsi, tugas, dan wewenangnya
diatur secara tegas dalam UUD. Dalam UUD NRI Tahun 1945,
39Majelis Permusyawaratan Rakyat, selayang pandang,
http://v1.mpr.go.id/halaman/d/tugas-dan-wewenang,, di akses pada tanggal 23 Desember 2018. 40 Ibid.
31
lembaga negara adalah MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, MK,
dan KY yang kedudukannya sejajar dan melaksanakan tugas dan
fungsinya sesuai dengan ketentuan dalam UUD untuk
mengembangkan kehidupan demokrasi, menjamin keterwakilan,
serta mengembangkan mekanisme checks and balances antar
lembaga negara demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan
rakyat.41
B.2. Susunan dan Kedudukan MPR-RI.
a. Sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam sistem ketatanegaraan republik Indonesia
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (yang selanjutnya disingkat UUD NRI Tahun
1945 atau UUD NRI) menempatkan MPR sebagai lembaga yang
berkedudukan sebagai lembaga tertinggi. Kedudukannya
membawahi semua lembaga negara yang disebutkan dalam UUD
NRI seperti Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Mahkamah
Agung, Dewan Pertimbangan Agung, dan Badan Perimbangan
Agung, sebagai lembaga tinggi negara.42
Oleh karena kedudukan MPR merupakan Lembaga Tertinggi
Negara yang mengatur kedudukan dan kewenangan Lembaga-
lembaga Tinggi Negara yang ada di bawahnya maka MPR dapat
41 Ibid. 42 Ah. Mujib Rohmat, Kedudukan Dan Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Dalam Era Reformasi, Jurnal Pembaharuan Hukum Volume III No. 2 Mei - Agustus 2016, Hal.
184
32
mengatur penyelenggaraan negara sesuai kehendak dirinya sendiri.43
Pengaturan semua lembaga negara tersebut dilakukan oleh MPR
melalui perubahan dan penetapan UUD 1945 dan melalui berbagai
ketetapan MPR yang menempati kedudukan tertinggi pula dalam
hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Dalam perspektif demokrasi, konstruksi konstitusi yang
demikian tentu tidak sehat karena tidak memberi ruang bagi
berkembangnya secara leluasa demokrasi dan sistem saling
mengontrol dan mengimbangi antar cabang kekuasaan negara.
Situasi dan tingkat demokrasi di negara.44 kita saat itu tergantung
dari kemauan dan kehendak MPR yang diwujudkan melalui berbagai
ketetapan MPR. Oleh karena UUD 1945 memberikan kedudukan
tertinggi kepada MPR maka sistem yang dipakai dalam
penyelenggaraan negara Indonesia sering juga disebut sebagai
“Sistem MPR” atau “Supremasi MPR”. Penamaan ini sebagai
cermin dan wujud betapa tingginya kedudukan dan besarnya peranan
MPR dalam sistem ketatanegaraan kita.45
Namun harus diakui bahwa sejarah pemerintahan Indonesia
pada masa awal kemeerdekaan hingga masuknya orde baru,
merupakan system pemerintahan yang sangat otoriter dan
militeristik. Arah gerak lembaga negara ditentukan oleh sistem
pemerintahan dibawah kontrol Soekarno dan Soeharto. Terlebih
43 Ibid. Hal. 44 Ibid. Hal.185 45 Ibid.
33
semakin kuat posisi Presiden dengan melalui MPR yang merupakan
lembaga negara “super body”. Sebagai alat politik kekuasan
presiden. Sebagaimana di uraiakan oleh salah satu anggota komisi
IX DPR-RI:
Walaupun secara normative konstitusional MPR menempati
kedudukan tertinggi dalam struktur lembaga-lembaga negara di
Indonesia, namun dalam riil politik kenegaraan, selama
pemerintahan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, peran
MPR tidak sama persis dengan kedudukannya yang tertinggi
tersebut. Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto-lah yang
mempunyai peranan paling menentukan, termasuk menentukan
arah dan kebijakan serta keputusan yang akan diambil MPR. Hal
ini dikarenakan UUD 1945 sendiri menentukan bahwa Presiden
mempunyai kekuasaan yang dominan dan mempunyai kedudukan
yang sangat kuat (executive heavy).46
Presidenlah yang sesungguhnya secara riil mengatur MPR
melalui kebijakan-kebijakan politiknya, termasuk dalam hal ini siapa
yang dapat diangkat menjadi Utusan Daerah dan Utusan Golongan,
siapa-siapa anggota MPR yang direncanakan untuk menjadi
pimpinan MPR, dan materi-materi apa yang akan diputuskan oleh
MPR. Selain itu, anggota MPR yang berasal dari anggota DPR
hanya dapat menjadi anggota DPR setelah sebelumnya lulus
penelitian khusus (screening) yang dilakukan secara ketat oleh
pemerintahan (dipraktikkan dalam masa Presiden Soeharto).47
Dapat disimpulkan bahwa penempatan MPR sebagai lembaga
tertinggi negara membawa dampak pada system demokrasi yang
berjalan. Dengan pemusatan kewenangan Presiden dan didukung
46 Ibid. 47 Ibid.
34
oleh lembaga yang memberikan keputusan politik system
pemerintahanya, sehingga sangat sentral pengambilan keputusan dan
kebijakan penyelenggaraan negara.
b. Sesudah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945.
Hadirnya angin segara reformasi, akibat gejolak
perekonomian dan pemerintahan yang dibentangkan oleh elemen
masyarakat, sehingga mampu meruntuhkan tembok yang pemeritah
otoriter dan militeristik. Gerakan rakyat ini tidak benar benar tuntas,
sehingga hanya mampu mereformasi beberapa aspek yang cukup
familiar di gunakan sebagai alat politik negara. Hasilnya mampu
merubah konstitusi selama empat kali, dan termasuk merubah
kedudukan kelembagaan ABRI.
Amandemen UUD 1945 tersebut membawa dampak kepada
kedudukan dan kewenangan lembaga negara. Lembaga negara yang
condong untuk kentingan politik praktis negara dan cukup rentan
untuk terjaminya demokrasi rakyat. Sehingga banyak lembaga
negara yang dirubah baik kedudukan maupun kewenanganya,
bahkan ada pula lembaga negara yang dihapus karena tidak memiliki
nilai faedah dalam penyelenggraan negara seperti Dewan
Pertimbangan Agung.
Kedudukan MPR setelah dilakukan perubahan UUD 1945
tidak lagi menempati sebagai Lembaga Tertinggi Negara. MPR
mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat dengan lembaga-
35
lembaga negara lainnya (Presiden, DPR, DPD, MA, BPK, dan MK).
MPR secara sukarela dan sadar telah menurunkan kedudukannya
sendiri melalui perubahan konstitusi yang dilakukannya pada awal
era Reformasi (1999-2002).48
MPR pada awal era Reformasi menyadari sepenuhnya bahwa
“Sistem MPR” yang dianut selama masa pemerintahan Soekarno dan
Soeharto tidak sesuai dan tidak sejalan dengan prinsip demokrasi,
keterbukaan, dan kebebasan. Atas dasar itu MPR melakukan
perubahan mendasar dengan “menurunkan” derajat kedudukan MPR
menjadi lembaga negara yang sejajar dan sama kedudukannya
dengan lembaga negara lainnya, yang berbeda hanya pada tugas dan
wewenangnya.49
Dianutnya “Supremasi Konstitusi” dalam sistem
ketatanegaraan kita sebagaimana dimuat dalam UUD 1945
merupakan wujud dari dianutnya paham Konstitusionalisme dalam
konstitusi kita dan di negara kita. Konstitusionalisme adalah paham
yang menempatkan konstitusi pada kedudukan tertinggi dalam
negara, dan menjadikan konstitusi sebagai pedoman pokok yang
pertama dalam mengatur dan membatasi kekuasaan dan
penyelenggaraan negara. Konstitusionalisme yang kita anut
48 Ibid. Hal. 186 49 Ibid.
36
berdasarkan pada hukum sesuai ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD
1945 yaitu “Negara Indonesia adalah negara hukum”.50
B.3. Wewenang dan Tugas MPR-RI.
a. Sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar 1945.
UUD 1945 sebelum mengalami perubahan pada awal era
Reformasi mengatur dan memberikan kewenangan yang sangat besar
kepada MPR. Bahkan Penjelasan UUD 1945 menyebutkan MPR
mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas.51
Kewenangan MPR mengubah dan menetapkan UUD
merupakan kewenangan yang dianggap standar untuk lembaga
negara yang memiliki ciri khas seperti MPR. Kewenangan tersebut
juga ada di lembaga-lembaga negara di berbagai negara lain karena
memang harus ada sebuah lembaga negara yang diberi kewenangan
oleh konstitusi untuk mengubah atau menetapkan UUD.
Kewenangan MPR memilih, mengangkat, dan
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya merupakan salah satu kewenangan yang sangat besar.
Dalam perjalanan MPR selama pemerintahan Presiden Soekarno,
lembaga ini telah menetapkan Soekarno sebagai Presiden Seumur
Hidup.
Dalam masa pemerintahan Presiden Soeharto, MPR selalu
memilih dan mengangkat Soeharto berkali-kali (tujuh kali) menjadi
50 Ibid. 51 Ibid.
37
Presiden. Proses pemilihan Presiden oleh MPR selama pemerintahan
Soeharto menunjukkan bahwa lembaga ini tidak independen dalam
melaksanakan kewenangannya, namun lebih banyak mengikuti
kehendak Presiden Soeharto yang secara riil politik lebih berkuasa
dibandingkan MPR. Oleh karena itu Soeharto selalu terpilih kembali
menjadi Presiden selama tujuh kali sidang MPR dan baru bersedia
berhenti dari kursi kepresidenannya setelah terjadi gejolak
gelombang unjuk rasa besar-besaran di tanah air pada Mei 1998
lalu.52
Di sisi lain, kewenangan memberhentikan Presiden dan/atau
Wakil Presiden tidak dibatasi dengan kriteria atau ukuran yang jelas,
tegas dan diatur dalam UUD 1945 yang menyebabkan seorang
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya (impeachment).53
Dalam Penjelasan UUD 1945 hanya disebutkan apabila
Presiden dan/atau Wakil Presiden dianggap melakukan pelanggaran
terhadap haluan negara, maka ia dapat diproses untuk dilakukan
pemakzulan (impeachment). Penafsiran apa yang disebut “haluan
negara” tergantung dari MPR itu sendiri sehingga bersifat subyektif
dan sesuai keinginan/kehendak MPR. oleh karena MPR juga
memiliki bobot politik yang besar karena diisi oleh para anggota
DPR yang berasal dari partai politik (plus ABRI dan TNI sampai
52 Ibid. Hal.187 53 Ibid.
38
dengan 2004) maka alasan pemberhentian seorang Presiden lebih
banyak bersifat politik dibanding alasan hukum.54
b. Sesudah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945.
Setelah terjadi perubahan UUD 1945, kewenangan MPR
dikurangi secara signifikan. Kewenangan yang dicabut dari MPR
antara lain memilih Presiden dan Wakil Presiden serta tidak lagi
menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara (termasuk di
dalamnya GBHN). MPR tidak lagi berwenang memilih Presiden dan
Wakil Presiden sebagai konsekuensi logis dari dipilihnya sistem
pemiliham Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat
dalam perubahan UUD 1945 (tercantum dalam Pasal 6A).55
Presiden dan Wakil Presiden secara langsung merupakan
langkah perubahan mendasar dalam sistem pemilu Presiden dan
Wakil Presiden yang sebelumnya selalu dilakukan oleh MPR.
Banyak kritik disampaikan ketika MPR yang hanya beranggotakan
beberapa ratus orang tetapi memilih Presiden dan Wakil Presiden
yang akan memimpin seluruh rakyat Indonesia selama lima tahun.
Dengan diberikannya wewenang rakyat untuk memilih Presiden dan
Wakil Presiden secara langsung dalam pemilu maka Indonesia
memasuki era demokrasi yang lebih berkualitas dibandingkan era
sebelumnya.
54 Ibid. 55 Ibid.
39
Bahkan Indonesia kini sejajar dengan negara-negara
demokrasi yang telah menerapkan sistem pemilu Presiden secara
langsung melalui pemilu. Praktik Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden secara langsung oleh rakyat selama ini (telah berlangsung
tiga kali, 2004, 2009, dan 2014) yang berlangsung demokratis, jujur
dan adil, serta aman, dengan catatan masih ada beberapa kekurangan
dan kelemahannya, membuktikan kesiapan rakyat Indonesia untuk
melaksanakan haknya untuk memilih pemimpin secara baik. Melalui
pemilu secara langsung oleh rakyat, Presiden dan Wakil Presiden
telah diperkuat legitimasinya sehingga makin kuat kedudukannya.
MPR pasca perubahan UUD 1945 juga tidak berwenang lagi
menetapkan garis-garis besar dari pada haluan negara (termasuk
GBHN). Kondisi ini juga merupakan konsekuensi logis dari sistem
pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat.
Visi, misi, dan program kerja Presiden dan Wakil Presiden terpilih-
lah yang menjadi acuan dan pedoman dalam penyusunan program
pembangunan dan penyelenggaraan negara.
MPR tetap diberi kewenangan melakukan pemakzulan
terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
Namun kewenangan ini telah diatur dan dibatasi dengan alasan
konstitusional pemakzulan yang tercantum jelas dan tegas dalam
UUD 1945 serta proses dan mekanisme yang melibatkan cabang
kekuasaan yudikatif, yakni MK. Dengan adanya dua hal ini, MPR
40
tidak dapat lagi melakukan pemakzulan atas dasar atau lebih besar
alasan politiknya dibanding alasan hukum atau menggunakan
alasan-alasan lain diluar alasan yang sudah ditetapkan UUD
1945.56
Secara lengakap kewenangan MPR diatur dalam Pasal 4 UU
MD3, Yakni :
a.mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; b. melantik Presiden dan/atau
Wakil Presiden hasil pemilihan umum; c. memutuskan usul
DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden
dalam masa jabatannya, setelah Mahkamah Konstitusi
memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden; d. melantik Wakil Presiden menjadi
Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau
tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya; e.
memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh
Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden
dalam masa jabatannya; dan f. memilih Presiden dan Wakil
Presiden apabila keduanya mangkat, berhenti, diberhentikan,
atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa
jabatannya secara bersamaan, dari 2 (dua) pasangan calon
presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik yang pasangan calon presiden dan
wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua
dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa
jabatannya.57
c. Keanggotaan MPR-RI.
56 Ibid. 57 Lihat Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
41
Pasal 2 ayat (1) hasil perubahan keempat UUD NRI
berbunyi “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah
yang dipilih oleh pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan
Undang-Undang”.58 Dengan demikian MPR posisi bagi setiap
daerah untuk terlibat dalam pemerintahan untuk mewakili setiap
daerahnya secara masing-masing.
Kemudian berkaitan dengan pimpinan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, baik pada Pasal 7 Ayat (1) dalam
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003
disebutkan bahwa pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat
terdiri atas seorang Ketua dan tiga orang wakil ketua yang
mencerminkan unsur Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Daerah yang dipilih dari dan oleh anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat dalam Sidang Paripurna Majelis
Permusyawaratan Rakyat.59
Dengan konfigurasi keanggotaan MPR sebagaimana dianut
UUD NRI sekarang ini, DPR jauh lebih kuat dan menentukan
dibanding DPD untuk oleh karena jumlah anggota DPD tidak akan
pernah lebih besar dari sepertiga jumlah anggota DPR. Kondisi ini
akan menyulitkan bagi DPD untuk menggeolkan gagasan dan
58 Patrialis Akbar, 2015, lembaga negara menurut UUD NRI tahun 1945, Penerbit Sinar
Grafika, Jakarta, Hal. 86 59 I Gede Yusa, 2016, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD NRI tahun 1945,
Penerbit: Setara Press, Malang, Hal. 102
42
keinginannya yang terkait dengan kewenangan MPR. Sebaliknya
bagi DPR, Lembaga perwakilan politik ini akan lebih mudah
mewujudkan kehendaknya di MPR selama DPR menginginkannya.
Selama perbandingan jumlah anggota DPR dan DPD sebagaimana
tercantum dalam UUD’NRI Tahun 1945 tidak diubah maka MPR
lebih banyak menjadi forum permusywaratan dengan pemain
utama DPR sementara DPD lebih condong menjadi pemain
pelengkap belaka.
Idealnya, ketika berbicara mengenai anggota MPR tidak
lagi berbicara mengenai anggota DPR dan anggota DPD, yang ada
adalah anggota MPR. Pengambilan suara sebagaimana diatur dalam
pasal 27 UUD NRI adalah suara anggota MPR. Disinilah dapat
dilihat apakah anggota-anggota DPD dapat melakukan lobi kepada
fraksi-fraksi di MPR, bisa jadi sebagian anggota MPR dari fraksi
tertentu bisa bergabung dengan anggota DPD, sehingga bisa saja
pengambilan keputusan justru dimenangkan oleh anggota-anggota
DPD dari fraksi yang mendukungnya. Tidak tertutup kemungkinan
fraksi-fraksi koalisi di pemerintahan minta dukungan anggota-
anggota DPD di MPR agar Presiden yang sedang melaksanakan
peerintahannya tidak diberhentikan atau pasal-pasal tertentu diluar
UUD NRI tidak diubah.
Secara normatif keanggotaan MPR RI diatur dalam Pasal 7
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 jo Nomor 2 Tahun 2018
43
Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah yakni dalam ayat (1) Keanggotaan MPR diresmikan dengan
keputusan Presiden. Masa jabatan anggota MPR adalah 5 (lima)
tahun dan berakhir pada saat anggota MPR yang baru
mengucapkan sumpah/janji.60
C. Tinjauan Umum Teori Keabsahan.
1. Arti dari Keabsahan.
Istilah dari Keabsahan berdasarkan Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah sifat yang sah61, yang dapat dimaknai suatu sifat
dari pemaknaan yang ditetapkan berdasarkan keaslian dari produk
atau barang tertentu dalam hal ini ketatapan atau keputusan dalam
hukum itu sendiri.
Selanjutnya, istilah keabsahan merupakan terjemahan dari
istilah hukum Belanda “recht matig” yang secara harfiah dapat
diartikan sebagai “berdasarkan atas hukum”. Dalam Bahasa
Inggris, istilah keabsahan disebut “legality” yang mempunyai arti
“lawfullnes” atau sesuai dengan hukum. Konsep tersebut bermula
dari lahirnya konsep negara hukum (rechtstaat) yang mana
tindakan kekuasaan harus didasarkan pada adanya ketentuan
60 Ibid. Lihat Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014
Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 61 Kamus Besar Bahasa Indonesia.” Arti Kata Keabsahan”.
http://www.kamuskbbi.id/kbbi/artikata.php?mod=view&Keabsahan&id=35839-arti-maksud-
definisi-pengertian-Keabsahan.html. Diakses 14 februari 2019.
44
hukum yang mengatur “recht matig van het bestuur”62, yang
berintikan pada adanya penerapan prinsip legalitas dalam semua
tindakan hukum kekuasaan. Artinya bahwa konsep tersebut lahir
sebagai upaya untuk membatasi kekuasaan Raja pada waktu itu
terkenal adegium (pepatah) king cando not wrong untuk itu.
Hukum lahir sebagai batasan kekuasaan sehingga, apabila tindakan
suatu kekuasaan negara tidak didasarkan pada hukum atau melebihi
ketentuan yang telah ditetapkan oleh hukum, maka tindakan
kekuasaan menjadi cacat hukum (onrechtmatig) atau tidak absah.63
Dengan demikian, maka prinsip keabsahan/legalitas ini
sangat erat kaitannya dengan tujuan untuk melindungi hak-hak
rakyat dari tindakan kekuasaan.
62 Jurnal Cita Hukum. “Prinsip Keabsahan (Rechtmatigheid) Dalam Penetapan
Keputusan Tata Usaha Negara”. Vol 5 No. 2. Desember 2017. 63 Ibid.