bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan umum konvensi ...eprints.umm.ac.id/46507/3/bab ii.pdf · 4)...

28
17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Konvensi Ketatanegaraan. 1. Istilah dan Pengertian Konvensi Ketatanegaraan. Istilah Konvensi berasal dari kata convention merupakan suatu aturan yang didasarkan pada kebiasaan. Dalam hasanah pengajaran hukum tata negara Indonesia lazim dipergunakan ungkapan “kebiasaan ketatanegaraan” atau “adat kenegaraan”. Dengan demikian, secara keilmuan tidak ada konvensi di luar praktik ketatanegaraan. 11 Di Indonesia kata “Konvensi Ketatanegara” diartikan kebiasaan dalam ketatanegaraan. Wade dan Godfrey Philips merumuskan definisi tentang konvensi sebagai berikut: “rules hot having the force of law but which can nevertheless not be disregarded since they are sanctioned by public opinion, and perhaps indirectly by law proper”. Yang diartikan Konvensi adalah ketentuan-ketentuan yang meskipun tidak mempunyai daya paksa secara hukum, tidak dapat diabaikan karena diperkuat oleh pendapat umum, dan kemungkinan secara tidak langsung diperkuat oleh hukum”. 12 Konvensi adalah ketentuan yang mengatur bagaimana seharusnya mahkota atau menteri melaksanakan discretionary power. Apabila dirinci, menurut Dicey Konvensi Ketatanengaraan adalah hal-hal berikut: 13 11 Bagir Manan, 2006, Konvensi Ketatanegaraan, Penerbit FH UII PRESS, Cetakan Pertama, Yogyakarta, Hal. 69 12 Ibid. Hal. 61 13 Ibid. Hal. 60.

Upload: others

Post on 04-Nov-2020

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Konvensi ...eprints.umm.ac.id/46507/3/BAB II.pdf · 4) Konvensi adalah ketentuan ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaliknya) discretionary

17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Konvensi Ketatanegaraan.

1. Istilah dan Pengertian Konvensi Ketatanegaraan.

Istilah Konvensi berasal dari kata convention merupakan

suatu aturan yang didasarkan pada kebiasaan. Dalam hasanah

pengajaran hukum tata negara Indonesia lazim dipergunakan

ungkapan “kebiasaan ketatanegaraan” atau “adat kenegaraan”.

Dengan demikian, secara keilmuan tidak ada konvensi di luar praktik

ketatanegaraan.11 Di Indonesia kata “Konvensi Ketatanegara”

diartikan kebiasaan dalam ketatanegaraan. Wade dan Godfrey

Philips merumuskan definisi tentang konvensi sebagai berikut:

“rules hot having the force of law but which can nevertheless not

be disregarded since they are sanctioned by public opinion, and

perhaps indirectly by law proper”. Yang diartikan Konvensi

adalah ketentuan-ketentuan yang meskipun tidak mempunyai

daya paksa secara hukum, tidak dapat diabaikan karena diperkuat

oleh pendapat umum, dan kemungkinan secara tidak langsung

diperkuat oleh hukum”.12

Konvensi adalah ketentuan yang mengatur bagaimana

seharusnya mahkota atau menteri melaksanakan discretionary

power. Apabila dirinci, menurut Dicey Konvensi Ketatanengaraan

adalah hal-hal berikut:13

11Bagir Manan, 2006, Konvensi Ketatanegaraan, Penerbit FH UII PRESS, Cetakan

Pertama, Yogyakarta, Hal. 69 12 Ibid. Hal. 61 13 Ibid. Hal. 60.

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Konvensi ...eprints.umm.ac.id/46507/3/BAB II.pdf · 4) Konvensi adalah ketentuan ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaliknya) discretionary

18

1) Konvensi adalah bagian dari kaidah ketatanegaraan

(konstitusi) yang tumbuh, diikuti dan ditaati dalam praktik

penyelenggaraan negara.

2) Konvensi sebagai bagian dari konstitusi tidak dapat ditegakan

oleh (melalui) Pengadilan.

3) Konvensi ditaati semata-mata didorong oleh tuntutan etika,

akhlak atau politik dalam penyelenggaraan negara.

4) Konvensi adalah ketentuan ketentuan mengenai bagaimana

seharusnya (sebaliknya) discretionary power dilaksanakan.

Berdasarkan pemaparan dari A.V.Dicey terkait kriteria-

kriteria dari konvensi ketatanegaraan dan bentuk langsung penerapan

di Indonesia sebagai berikut:

1) Konvensi adalah bagian dari kaidah ketatanegaraan

(konstitusi) yang tumbuh, diikuti dan ditaati dalam praktik

penyelenggaraan Negara, hal ini diterapkan di Indonesia

sendiri adalah terdapat Pidato dalam rapat umum, rapat

raksasa Presiden Republik Indonesia (orde lama) pada setiap

tanggal 16 Agustus dan juga di era reformasi adanya Sidang

Tahunan MPR yang sebelumnya sempat ditinggalkan dan di

ajukan kembali pada tahun 2014;

2) Konvensi sebagai bagian dari konstitusi tidak dapat

ditegakan oleh (melalui) Pengadilan, hal yang pernah dialami

atau dihadapi di Indonesia adalah Maklumat Pemerintah

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Konvensi ...eprints.umm.ac.id/46507/3/BAB II.pdf · 4) Konvensi adalah ketentuan ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaliknya) discretionary

19

tanggal 14 November No.X atas nama wakil presiden yang

merubah sistem pemerintahan dari presidensil ke

parlementer. Hal ini yang dikategorikan sebagai bahwa

konvensi ketatanegaraan tidak dapat ditegakan oleh

pengadilan Karena sifatnya berdasarkan kesepakatan oleh

seluruh penyelenggara negara dan disahkan oleh presiden;

3) Konvensi ditaati semata-mata didorong oleh tuntutan etika,

akhlak atau politik dalam penyelenggaraan Negara, praktik

musyawarah mufakat yang dilakukan oleh lembaga tinggi

negara MPR-RI, sebagai lembaga tinggi Negara yang

kedudukan sama dengan lembaga-lembaga tinggi Negara lain

yang dimana setiap hasil pertemuan dengan rapat atau sidang

harus dengan musyawarah ditentukan dengan mufakat dari

hasil rapat atau sidang tersebut;

4) Konvensi adalah ketentuan ketentuan mengenai bagaimana

seharusnya (sebaliknya) discretionary power dilaksanakan,

demikian juga terdapat di point terakhir kriteria yang

dilakukan oleh penyelnggara negara adalah Penjelasan

Presiden terhadap Rancangan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara dihadapan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai

diskresi pejabat berwenang memberikan pilihan atau opsi

kembali dalam penetapannya.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Konvensi ...eprints.umm.ac.id/46507/3/BAB II.pdf · 4) Konvensi adalah ketentuan ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaliknya) discretionary

20

Pendefinisian Konvensi ketatanegaran yang diajukan oleh

Dicey secara umum diterima secara umum oleh para akademisi dan

sarjana di Inggris. Sementara di Indonesia sendiri telah dirumuskan,

bahwa hukum dasar tidak tertulis yang dimaksud dalam penjelesan

UUD 1945 adalah konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan dan

bukan hukum adat atau yurisprudece (juga tidak tertulis). Penjelasan,

memberikan arti hukum dasar yang tidak tertulis sebagai “aturan-

aturan dassar yang timbul dan terpelihara dalam praktik

penyelenggaraan negara” itulah yang disebut dengan Konvensi

ketatanegaraan.14

2. Ruang Lingkup Konvensi Ketatanegaraan.

Konvensi, kata Dicey, berisi ketentuan-ketentuan mengenai

cara-cara bagaimana discretionary powers yang ada pada mahkota

atau menteri (sebagai aparat raja) atau aparat mahkota lainnya

diselenggarakan sebaik-baiknya.15 Discretionary powers berisi

kebebasan mahkota dengan aparatnya untuk melakukan suatu

tindakan tanpa terlebih dahulu harus meminta persetujuan atau

pengaturan oleh Parlemen. Discretionary powers umumnya

bersumber pada prerogatif dan tidak pada undang-undang. Baik

secara historis maupun dalam praktiknya sekarang, prerogatif tidak

lain dari residu (sisa) dari discretionary powers atau arbitrary

14 Ibid. Hal. 59. 15 Ibid. Hal. 64.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Konvensi ...eprints.umm.ac.id/46507/3/BAB II.pdf · 4) Konvensi adalah ketentuan ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaliknya) discretionary

21

powers (kekuasaan mutlak) yang secara hukum dibiarkan tetap

ditangan mahkota.16

Secara sosio-historis munculnya Konvensi ketatangeraan

sebagai upaya untuk memperbaiki system yang otonom dan mutlak

dari tangan raja. Sehingga dalam kesejarahanya tidak terlepas dari

Magna Carta (1215) merupakan bentuk awal pembatasan kekuasaan

raja atau ratu, yang berpuncak pada supremasi parlemen yang diikuti

system pemerintahan perlementer. Hampir semua kekuasaan raja

atau ratu beralih ke parlemen dan kabinet. Kabinet selain

menjalankan pemerintahan, juga bertanggung jawab atas jalannya

pemerintahan. Pergeseran atau perpindahan kekuasaan ini, tidak

menghabiskan (menghapus) seluruh kekuasaan raja atau ratu.17 Cara-

cara penyelenggaraan inilah diatur oleh konvensi. Dengan demikian

antara prerogatif dan discretionary powers dapat dibedakan tetapi

tidak dapat dipisahkan. Kebebasan bertindak discretionary powers

semata-mata untuk menjalankan hak prerogatif.18

Dalam perkembangan lebih lanjut, konvensi juga menentukan

tata cara pertanggungjawaban kabinet atau menteri.

Kabinet yang kehilangan dukungan mayoritas di parlemen akan

meletakan jabatan dan mengembalikan mandate kepada raja atau

ratu. Dalam hal kabinet berpendapat bahwa mereka mendapat

dukungan dari rakyat pemilih, diperbolehkan tidak

mengembalikan mandat, sebaliknya mengusulkan agar parlemen

dibubarkan. Apabila ternyata dalam pemilihan umum rakyat tidak

memberikan dukungan, maka kabinet mengundurkan diri.

16 Ibid. 17 Ibid. Hal. 65. 18 Ibid.

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Konvensi ...eprints.umm.ac.id/46507/3/BAB II.pdf · 4) Konvensi adalah ketentuan ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaliknya) discretionary

22

Konvensi juga berkembang dalam persemakmuran (Common-

wealth)19.

Lingkup-lingkup sebagaimana diuraikan diatas, menunjukan

bahwa konvensi adalah ketentuan-ketentuan berkenaan dengan

penyelenggaraan negara dan atau pemerintahan, yang oleh Dicey

disebut dengan convention of the constitutions.20

3. Hakekat Konvensi Ketatanegaraan.

Kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia menurut UUD

1945, selain dilaksankan berdasarkan kaidah-kaidah hukum tertulis,

harus pula memperhatikan dan mentatati kaidah-kaidah (hukum)

yang tidak tertulis (vide Penjelasan UUD 1945, dalam UUD sebelum

perubahan).21 Dengan demikian keduanya terus hidup berkembang

secara berdampingan. Kehadiran kaidah-kaidah hukum tidak tertulis

di akui sebagai salah satu sumber pentinng hukum tata negara.

Kaidah hukum dasar atau hukum dasar tidak tertulis yang dimaksud

adalah bukan merupakan kaidah (hukum) yang selama ini kita kenal

sebagai hukum adat atau hukum yurisprudence. Tetapi lebih kepada

konvensi.22

Terdapat perbedaan mendasar antara hukum tidak tertulis

sebagai hukum adat dan hukum tidak tertulis yang timbul dari

praktek penyelenggaraan negara. Hukum adat cenderung berasal dari

adat istiadat dan putusan putusan penguasa adat. Sedangkan kovensi

19 Ibid. Hal. 69. 20 Ibid. 21 Ibid. Hal. 43. 22 Ibid. Hal. 44

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Konvensi ...eprints.umm.ac.id/46507/3/BAB II.pdf · 4) Konvensi adalah ketentuan ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaliknya) discretionary

23

lahir dari praktik penyelenggaraan negara.23 Meskipun tidak berarti

ketentuan hukum tata negara hanya terdiri dari hukum tertulis

(perundang-undangan) dan kovensi. Melainkan hukum tata negara

juga teridiri dari kaidah hukum tidak tertulis yang bersumber baik

dari hukum adat maupun yurisprudensi.24

4. Bentuk-Bentuk Konvensi Ketatanegaraan.

Dalam kepustakaan hukum tata negara, ditemukan pandangan

tentang bentuk konvensi ketatanegaraan, antara lain oleh E.C.S.

Wade dan Godfrey Phillips, serta Ivor Jennings.25

E.C.S. Wade dan Godfrey Pillips mengemukakan bahwa

“conventions are a mixture of rules based on custom and

expediency, but sometimes their source is express agreement”.

Demikian pula Ivor Jennings menjelaskan bahwa “Convention

implies some form agreement, whether expressed or implied,

while ‘custom’ assumes first that the law enforced in the courts

need not be custom, and secondly that an extralegal rule cannot

created by express agreement”. Dalam kaitannya dengan

timbulnya konvensi ketatanegaraan Jennings mengungkapkan

bahwa “some of them,such as those expressed in revolutions of

the Imperial Conferences, are definite and clearly estabilished”.26

Menilik pandangan Wade dan Phillips, serta Jennings dapat

disimpulkan bahwa konvensi ketatanegaran berasal dari tiga sumber,

yaitu kebiasaan ketatanegaraan, kepatutan (expediency) dan express

agreement.27

23 Ibid. 24 Ibid. 25Betrik, Modul 5 Konvensi Ketatanegaraan, Yang dalam

https://www.academia.edu/26403082/Modul, di unduh pada tanggal 23 Desember 2018. Hal. 88 26 Ibid. 27 Ibid. Hal. 89

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Konvensi ...eprints.umm.ac.id/46507/3/BAB II.pdf · 4) Konvensi adalah ketentuan ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaliknya) discretionary

24

Sementara itu K.C. Wheare menjelaskan bahwa konvensi

ketatanegaraan sekurang-kurangnya timbul dari dua sumber.

Kadang-kadang berlaku selama masa yang lama dan bertahap lebih

dahulu mencapai kekuatan persuasif dan kemudian diwajibkan.28

Konvensi seperti ini biasanya disebut “adat”. Selain itu,

konvensi juga dapat timbul dengan lebih cepat dari itu.

Konvensi ini tidak timbul dari kebiasaan dan tidak mempunyai

sejarah pemakaian sebelumnya, tetapi muncul dari kesepakatan

(agreement). Bentuk konvensi ketatanegaraan yang kedua ini,

dalam kenyataannya dapat ditemukan dalam bentuk tertulis

berupa kesepakatan para pemimpin politik (negara).

Kesepakatan-kesepakatan ini di luar jangkauan pengaturan

konstitusi. Namun sejauh mungkin dihindarkan dari kontradiksi

antara kedua bentuk tersebut. Maksudnya, agar konvensi

ketatanegaraan tidak dijadikan alat untuk menghindar atau

menyimpang dari konstitusi.29

Beranjak dari pendapat para ahli yang telah dipaparkan, maka

dikenal dua bentuk konvensi ketatanegaraan, yaitu konvensi

ketatanegaraan yang berbentuk kebiasaan dan konvensi

ketatanegaraan yang berbentuk express agreemenrt (persetujuan

yang dinyatakan).30

Selanjutnya kedua bentuk konvensi ketatanegaraan dimaksud

akan diuraikan sebagai berikut:

a) Konvensi ketatanegaraan sebagai kebiasaan

Dalam pandangan A.V. Dicey, konvensi ketatanegaraan

merupakan kebiasaan-kebiasaan, persetujuan-persetujuan, dan

praktek-praktek yang bukan tergolong hukum dan tidak dapat

28 Ibid. 29 Ibid. 30 Ibid.

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Konvensi ...eprints.umm.ac.id/46507/3/BAB II.pdf · 4) Konvensi adalah ketentuan ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaliknya) discretionary

25

dipaksakan atau dilaksanakan oleh pengadilan. Dalam kebiasaan

terdapat unsur yang menunjukkan bahwa perbuatan yang sama

berulang-ulang dilakukan, yang kemudian diterima dan ditaati.

Meskipun konvensi ketatanegaraan diakui belum sampai pada taraf

“hukum”, tetapi untuk mendapatkan pemahaman yang lebih

konprehensif, perlu dibahas terlebih dahulu pandangan dan kriteria

kebiasaan yang dapat berubah menjadi hukum kebiasaan serta

bagaimana prosesnya menjadi hukum kebiasaan.31

Pandangan mengenai kebiasaan harus memenuhi syarat

tertentu juga dianut oleh ahli hukum Eropa Kontinental, Indonesia

dan sebagainya. Menurut konsep Eeropa Kontinental, terbentuknya

(hukum) kebiasaan harus memenuhi dua syarat, yaitu 1) satu yang

bersifat material, pemakaian yang tetap; dan 2) satu yang bersifat

psikologis (bukan psikologis perorangan melainkan psikologis

golongan), kenyakinan akan kewajiban hukum (opinio necessitatis).

Supaya kebiasaan mendapat pijakan kuat, menurut Hans

Kelsen harus memperhatikan fakta bahwa apabila di dalam suatu tata

hukum terdapat hukum dalam bentuk undang undang dan juga

hukum kebiasaan yang diterapkan organ-organ penegak hukum

terutama pengadilan dalam membentuk norma-norma hukum sama

seperti pembentukan undang undang oleh lembaga pembentuk

undang undang. Hal ini dimungkinkan jika konstitusi dalam arti

31 Ibid. Hal. 90

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Konvensi ...eprints.umm.ac.id/46507/3/BAB II.pdf · 4) Konvensi adalah ketentuan ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaliknya) discretionary

26

material, melembagakan kebiasaan – seperti konstitusi

melembagakan pembentukan undang undang, sebagai suatu prosedur

pembentukan hukum.32 Kelsen mendasarkan kebiasaan semata-mata

pada pengakuan konstitusi, sehingga tanpa melewati prosedur seperti

itu kebiasaan tidak dapat dianggap sebagai kaidah hukum.

Di lain pihak, John Austin – sebagaimana hal penulis Anglo

Saxon lain berpandangan bahwa syarat kebiasaan terletak pada

lembaga peradilan. Menilik pemikiran tersebut, konvensi

ketatanegaraan dalam bentuk kebiasaan harus memenuhi persyaratan

antara lain :1) harus ada preseden yang timbul berkali-kali; 2)

presiden yang timbul karena adanya sebab yang secara umum dapat

dimengerti atau dapat diterima; 3) preseden itu karena kondisi politik

yang ada.33 Syarat pertama merupakan hakikat kebiasaan itu sendiri,

sebab tidak ada kebiasaan yang tidak dilakukan berulang-ulang.

Syarat kedua sama dengan “opinio necessitatis” atau kenyakinan

akan kewajiban hukum yang berlaku di Eropa Kontinental.

Kenyakinan sebagai kewajiban hukum ini idealnya tidak hanya

dirasakan oleh seseorang atau golongan tertentu, tetapi oleh sebagian

terbesar warga negara. Syarat ketiga dibutuhkan karena tuntutan

kondisi politik dalam skala yang luas, karena kehidupan politik

menuntut dibentuknya tindakan baru sebagai awal terciptanya

konvensi ketatanegaraan, atau tetapmempertahankan tradisi

32 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Alih Bahasa Soemardi, Rindi Press, (tanpa kota),

1995,hlm. 126. Dalam Betrik, Ibid. Hal. 91 33 Bagir Manan, Op Cit., hlm. 49.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Konvensi ...eprints.umm.ac.id/46507/3/BAB II.pdf · 4) Konvensi adalah ketentuan ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaliknya) discretionary

27

ketatanegaraan lama yang dianggap selama ini sudah menjadi

konvensi ketatanegaraan.

Dalam praktik ketatanegaraan Inggris terlihat dalam hal Raja

harus mengundang pemimpin partai atau koalisi partai-partai yang

paling berpengaruh dalam Majelis Rendah untuk membentuk

kabinet. Di Indonesia, praktik kebiasaan sebagai bentuk konvensi

ketatanegaraan antara lain terlihat dalam suatu kebiasaan sejak awal

kemerdekaan adalah penunjukkan seorang Perdana Menteri oleh

Presiden selama berlakunya UUD 1945 dari pemimpin-pemimpin

partai politik atau koalisi partai-partai politik yang mempunyai suara

terbanyak dalam Komite Nasional Pusat.34

b) Konvensi Ketatanegaraan Sebagai Express Agreement

Bentuk konvensi ketatanegaraan ini dapat ditemukan dalam

bentuk tertulis berupa kesepakatan para pemimpin politik (negara).

Kesepakatan-kesepakatan tersebut di luar jangkauan pengaturan

konstitusi. Menurut Ismail Suny,35 konvensi ketatanegaraan yang

disebut express agreement tidak perlu selalu merupakan ketentuan

yang tidak tertulis, yang timbul dari persetujuan agreement boleh

saja berbentuk tertulis. Konvensi tersebut mungkin berupa suatu

persetujuan yang ditandatangani oleh pemimpin-pemimpin negara

seperti persetujuan antara Wakil Presiden Indonesia dan Badan

Pekerja 16 Oktober 1945 atau suatu memorandum yang dikeluarkan

34 Betrik, Op.cit. Hal. 92 35 Ismail Suny, 1998, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru. Hal. 41

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Konvensi ...eprints.umm.ac.id/46507/3/BAB II.pdf · 4) Konvensi adalah ketentuan ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaliknya) discretionary

28

setelah pembicaraan antara menteri-menteri seperti Maklumat

pemerintah pada 14 Oktober 1945.

Dicey mengenai Konstitusi Inggris sebagai pangkal haluan,

selalu mengingat bahwa perbedaan antara apa suatu konstitusi itu

dana pa yang bukan, tidak terletak dalam jawaban kepada

pertanyaan: apakah ia sulit atau mudah dirubah, apakah ia kempal

(compact) dalam sebuah naskah atau tersebar dalam serratus

dokumen, apakah kekuasaannya lebih tinggi dari pada ketentuan-

ketentuan sistem politik yang lain. Adanya perbedaan-perbedaan

terletak dalam masalah-masalah yang disinggungnya.36

Di lain pihak, Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh

mengkritik bahwa konvensi ketatanegaraan yang mencantumkan

express agreement tidaklah mengubah sifat hakekat suatu konvensi

ketatanegaraan menjadi hak yang tertulis. Karena apabila tertulis,

maka sifatnya tidak lagi suatu konvensi. Konvensi pada hakekatnya

adalah perbuatan dalam kehidupan ketatanegaraan yang diterima dan

ditaati dalam praktek ketatanegaraan. Sedangkan Wade pun tidak

mengatakan bahwa express agreement itu adalah konvensi,

melainkan sumber (source) bagi konvensi. Dalam hal sumbernya

adalah express agreement, maka kekuatan mengikatnya adalah

segera (immediately binding) seperti dikatakan Wheare, jadi tanpa

36 Pandangan A. V. Dicey dalam Buku Bagir Manan, Ibid Hal 38.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Konvensi ...eprints.umm.ac.id/46507/3/BAB II.pdf · 4) Konvensi adalah ketentuan ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaliknya) discretionary

29

syarat dilakukan berulang-ulang.37 Kritikan Abu Daud Busroh dan

Abu Bakar Busroh ini semata mengacu pada pemikiran A.V. Dicey

ketika mengemukakan konsep konvensi ketatanegaraan, namun

harus diingat bahwa kebiasaan atau praktek ketatanegaraan tidak

berhenti ketika Dicey menulis bukunya sekitar 1885. Justru

sebaliknya praktek ketatanegaraan berkembang terus mengikuti

kebutuhan masyarakat negara-negara modern, sehingga konvensi

ketatanegaraan tidak harus dibatasi pada suatu tindakan seragam

yang dilakukan terhadap obyek yang sama.

B. Tinjauan Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia

B.1. Lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia atau

cukup disebut Majelis Permusyawaratan Rakyat (disingkat MPR-RI

atau MPR) adalah lembaga legislatif bikameral yang merupakan

salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan

Indonesia.38

MPR merupakan representasi dari mandat konstitusi sebagai

lembaga negara yang bertugas untuk mengawal ideologi dan

kedaulatan rakyat yang dijalankan menurut konstitusi negara.

37 Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh, Asas-asas Hukum Tata Negara, Ghalia

Indonesia, Jakarta,1983, hlm. 59 dan 60. 38Wikipedia,https://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Permusyawaratan_Rakyat_Republik_I

ndonesia, di akses pada tanggal 23 Desember 2018

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Konvensi ...eprints.umm.ac.id/46507/3/BAB II.pdf · 4) Konvensi adalah ketentuan ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaliknya) discretionary

30

MPR merupakan lembaga pelaksana kedaulatan rakyat oleh

karena anggota MPR adalah para wakil rakyat yang berasal dari

pemilihan umum. MPR bukan pelaksana sepenuhnya kedaulatan

rakyat sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945

,perubahan ketiga bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan

dilaksanakan menurut undang-undang dasar.39 Sebagaimana dalam

pembukaan konstitusi:

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) mengamanatkan bahwa

Susunan Negara Republik Indonesia adalah negara yang

berkedaulatan rakyat yang dalam pelaksanaannya menganut

prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan

dalam permusyawaratan/perwakilan. Untuk mewujudkan hal

tersebut, dibentuk lembaga permusyawaratan rakyat dan

lembaga perwakilan yang diharapkan mampu memperjuangkan

aspirasi rakyat dalam rangka menegakkan nilai-nilai demokrasi,

keadilan dan kesejahteraan rakyat dalam wadah Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Atas dasar pemikiran tersebut, dalam sistem ketatanegaraan

Indonesia dibentuk lembaga-lembaga negara yang

mengejawantahkan fungsi permusyawaratan dan perwakilan sebagai

bagian dari pelaksanaan kedaulatan rakyat, dimana keberadaan,

wewenang, tugas, dan fungsinya ditentukan oleh Undang-Undang

Dasar.40

Lembaga negara merupakan lembaga pemerintahan negara

yang berkedudukan di pusat yang fungsi, tugas, dan wewenangnya

diatur secara tegas dalam UUD. Dalam UUD NRI Tahun 1945,

39Majelis Permusyawaratan Rakyat, selayang pandang,

http://v1.mpr.go.id/halaman/d/tugas-dan-wewenang,, di akses pada tanggal 23 Desember 2018. 40 Ibid.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Konvensi ...eprints.umm.ac.id/46507/3/BAB II.pdf · 4) Konvensi adalah ketentuan ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaliknya) discretionary

31

lembaga negara adalah MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, MK,

dan KY yang kedudukannya sejajar dan melaksanakan tugas dan

fungsinya sesuai dengan ketentuan dalam UUD untuk

mengembangkan kehidupan demokrasi, menjamin keterwakilan,

serta mengembangkan mekanisme checks and balances antar

lembaga negara demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan

rakyat.41

B.2. Susunan dan Kedudukan MPR-RI.

a. Sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam sistem ketatanegaraan republik Indonesia

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 (yang selanjutnya disingkat UUD NRI Tahun

1945 atau UUD NRI) menempatkan MPR sebagai lembaga yang

berkedudukan sebagai lembaga tertinggi. Kedudukannya

membawahi semua lembaga negara yang disebutkan dalam UUD

NRI seperti Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Mahkamah

Agung, Dewan Pertimbangan Agung, dan Badan Perimbangan

Agung, sebagai lembaga tinggi negara.42

Oleh karena kedudukan MPR merupakan Lembaga Tertinggi

Negara yang mengatur kedudukan dan kewenangan Lembaga-

lembaga Tinggi Negara yang ada di bawahnya maka MPR dapat

41 Ibid. 42 Ah. Mujib Rohmat, Kedudukan Dan Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Dalam Era Reformasi, Jurnal Pembaharuan Hukum Volume III No. 2 Mei - Agustus 2016, Hal.

184

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Konvensi ...eprints.umm.ac.id/46507/3/BAB II.pdf · 4) Konvensi adalah ketentuan ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaliknya) discretionary

32

mengatur penyelenggaraan negara sesuai kehendak dirinya sendiri.43

Pengaturan semua lembaga negara tersebut dilakukan oleh MPR

melalui perubahan dan penetapan UUD 1945 dan melalui berbagai

ketetapan MPR yang menempati kedudukan tertinggi pula dalam

hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Dalam perspektif demokrasi, konstruksi konstitusi yang

demikian tentu tidak sehat karena tidak memberi ruang bagi

berkembangnya secara leluasa demokrasi dan sistem saling

mengontrol dan mengimbangi antar cabang kekuasaan negara.

Situasi dan tingkat demokrasi di negara.44 kita saat itu tergantung

dari kemauan dan kehendak MPR yang diwujudkan melalui berbagai

ketetapan MPR. Oleh karena UUD 1945 memberikan kedudukan

tertinggi kepada MPR maka sistem yang dipakai dalam

penyelenggaraan negara Indonesia sering juga disebut sebagai

“Sistem MPR” atau “Supremasi MPR”. Penamaan ini sebagai

cermin dan wujud betapa tingginya kedudukan dan besarnya peranan

MPR dalam sistem ketatanegaraan kita.45

Namun harus diakui bahwa sejarah pemerintahan Indonesia

pada masa awal kemeerdekaan hingga masuknya orde baru,

merupakan system pemerintahan yang sangat otoriter dan

militeristik. Arah gerak lembaga negara ditentukan oleh sistem

pemerintahan dibawah kontrol Soekarno dan Soeharto. Terlebih

43 Ibid. Hal. 44 Ibid. Hal.185 45 Ibid.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Konvensi ...eprints.umm.ac.id/46507/3/BAB II.pdf · 4) Konvensi adalah ketentuan ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaliknya) discretionary

33

semakin kuat posisi Presiden dengan melalui MPR yang merupakan

lembaga negara “super body”. Sebagai alat politik kekuasan

presiden. Sebagaimana di uraiakan oleh salah satu anggota komisi

IX DPR-RI:

Walaupun secara normative konstitusional MPR menempati

kedudukan tertinggi dalam struktur lembaga-lembaga negara di

Indonesia, namun dalam riil politik kenegaraan, selama

pemerintahan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, peran

MPR tidak sama persis dengan kedudukannya yang tertinggi

tersebut. Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto-lah yang

mempunyai peranan paling menentukan, termasuk menentukan

arah dan kebijakan serta keputusan yang akan diambil MPR. Hal

ini dikarenakan UUD 1945 sendiri menentukan bahwa Presiden

mempunyai kekuasaan yang dominan dan mempunyai kedudukan

yang sangat kuat (executive heavy).46

Presidenlah yang sesungguhnya secara riil mengatur MPR

melalui kebijakan-kebijakan politiknya, termasuk dalam hal ini siapa

yang dapat diangkat menjadi Utusan Daerah dan Utusan Golongan,

siapa-siapa anggota MPR yang direncanakan untuk menjadi

pimpinan MPR, dan materi-materi apa yang akan diputuskan oleh

MPR. Selain itu, anggota MPR yang berasal dari anggota DPR

hanya dapat menjadi anggota DPR setelah sebelumnya lulus

penelitian khusus (screening) yang dilakukan secara ketat oleh

pemerintahan (dipraktikkan dalam masa Presiden Soeharto).47

Dapat disimpulkan bahwa penempatan MPR sebagai lembaga

tertinggi negara membawa dampak pada system demokrasi yang

berjalan. Dengan pemusatan kewenangan Presiden dan didukung

46 Ibid. 47 Ibid.

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Konvensi ...eprints.umm.ac.id/46507/3/BAB II.pdf · 4) Konvensi adalah ketentuan ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaliknya) discretionary

34

oleh lembaga yang memberikan keputusan politik system

pemerintahanya, sehingga sangat sentral pengambilan keputusan dan

kebijakan penyelenggaraan negara.

b. Sesudah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945.

Hadirnya angin segara reformasi, akibat gejolak

perekonomian dan pemerintahan yang dibentangkan oleh elemen

masyarakat, sehingga mampu meruntuhkan tembok yang pemeritah

otoriter dan militeristik. Gerakan rakyat ini tidak benar benar tuntas,

sehingga hanya mampu mereformasi beberapa aspek yang cukup

familiar di gunakan sebagai alat politik negara. Hasilnya mampu

merubah konstitusi selama empat kali, dan termasuk merubah

kedudukan kelembagaan ABRI.

Amandemen UUD 1945 tersebut membawa dampak kepada

kedudukan dan kewenangan lembaga negara. Lembaga negara yang

condong untuk kentingan politik praktis negara dan cukup rentan

untuk terjaminya demokrasi rakyat. Sehingga banyak lembaga

negara yang dirubah baik kedudukan maupun kewenanganya,

bahkan ada pula lembaga negara yang dihapus karena tidak memiliki

nilai faedah dalam penyelenggraan negara seperti Dewan

Pertimbangan Agung.

Kedudukan MPR setelah dilakukan perubahan UUD 1945

tidak lagi menempati sebagai Lembaga Tertinggi Negara. MPR

mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat dengan lembaga-

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Konvensi ...eprints.umm.ac.id/46507/3/BAB II.pdf · 4) Konvensi adalah ketentuan ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaliknya) discretionary

35

lembaga negara lainnya (Presiden, DPR, DPD, MA, BPK, dan MK).

MPR secara sukarela dan sadar telah menurunkan kedudukannya

sendiri melalui perubahan konstitusi yang dilakukannya pada awal

era Reformasi (1999-2002).48

MPR pada awal era Reformasi menyadari sepenuhnya bahwa

“Sistem MPR” yang dianut selama masa pemerintahan Soekarno dan

Soeharto tidak sesuai dan tidak sejalan dengan prinsip demokrasi,

keterbukaan, dan kebebasan. Atas dasar itu MPR melakukan

perubahan mendasar dengan “menurunkan” derajat kedudukan MPR

menjadi lembaga negara yang sejajar dan sama kedudukannya

dengan lembaga negara lainnya, yang berbeda hanya pada tugas dan

wewenangnya.49

Dianutnya “Supremasi Konstitusi” dalam sistem

ketatanegaraan kita sebagaimana dimuat dalam UUD 1945

merupakan wujud dari dianutnya paham Konstitusionalisme dalam

konstitusi kita dan di negara kita. Konstitusionalisme adalah paham

yang menempatkan konstitusi pada kedudukan tertinggi dalam

negara, dan menjadikan konstitusi sebagai pedoman pokok yang

pertama dalam mengatur dan membatasi kekuasaan dan

penyelenggaraan negara. Konstitusionalisme yang kita anut

48 Ibid. Hal. 186 49 Ibid.

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Konvensi ...eprints.umm.ac.id/46507/3/BAB II.pdf · 4) Konvensi adalah ketentuan ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaliknya) discretionary

36

berdasarkan pada hukum sesuai ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD

1945 yaitu “Negara Indonesia adalah negara hukum”.50

B.3. Wewenang dan Tugas MPR-RI.

a. Sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar 1945.

UUD 1945 sebelum mengalami perubahan pada awal era

Reformasi mengatur dan memberikan kewenangan yang sangat besar

kepada MPR. Bahkan Penjelasan UUD 1945 menyebutkan MPR

mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas.51

Kewenangan MPR mengubah dan menetapkan UUD

merupakan kewenangan yang dianggap standar untuk lembaga

negara yang memiliki ciri khas seperti MPR. Kewenangan tersebut

juga ada di lembaga-lembaga negara di berbagai negara lain karena

memang harus ada sebuah lembaga negara yang diberi kewenangan

oleh konstitusi untuk mengubah atau menetapkan UUD.

Kewenangan MPR memilih, mengangkat, dan

memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa

jabatannya merupakan salah satu kewenangan yang sangat besar.

Dalam perjalanan MPR selama pemerintahan Presiden Soekarno,

lembaga ini telah menetapkan Soekarno sebagai Presiden Seumur

Hidup.

Dalam masa pemerintahan Presiden Soeharto, MPR selalu

memilih dan mengangkat Soeharto berkali-kali (tujuh kali) menjadi

50 Ibid. 51 Ibid.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Konvensi ...eprints.umm.ac.id/46507/3/BAB II.pdf · 4) Konvensi adalah ketentuan ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaliknya) discretionary

37

Presiden. Proses pemilihan Presiden oleh MPR selama pemerintahan

Soeharto menunjukkan bahwa lembaga ini tidak independen dalam

melaksanakan kewenangannya, namun lebih banyak mengikuti

kehendak Presiden Soeharto yang secara riil politik lebih berkuasa

dibandingkan MPR. Oleh karena itu Soeharto selalu terpilih kembali

menjadi Presiden selama tujuh kali sidang MPR dan baru bersedia

berhenti dari kursi kepresidenannya setelah terjadi gejolak

gelombang unjuk rasa besar-besaran di tanah air pada Mei 1998

lalu.52

Di sisi lain, kewenangan memberhentikan Presiden dan/atau

Wakil Presiden tidak dibatasi dengan kriteria atau ukuran yang jelas,

tegas dan diatur dalam UUD 1945 yang menyebabkan seorang

Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa

jabatannya (impeachment).53

Dalam Penjelasan UUD 1945 hanya disebutkan apabila

Presiden dan/atau Wakil Presiden dianggap melakukan pelanggaran

terhadap haluan negara, maka ia dapat diproses untuk dilakukan

pemakzulan (impeachment). Penafsiran apa yang disebut “haluan

negara” tergantung dari MPR itu sendiri sehingga bersifat subyektif

dan sesuai keinginan/kehendak MPR. oleh karena MPR juga

memiliki bobot politik yang besar karena diisi oleh para anggota

DPR yang berasal dari partai politik (plus ABRI dan TNI sampai

52 Ibid. Hal.187 53 Ibid.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Konvensi ...eprints.umm.ac.id/46507/3/BAB II.pdf · 4) Konvensi adalah ketentuan ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaliknya) discretionary

38

dengan 2004) maka alasan pemberhentian seorang Presiden lebih

banyak bersifat politik dibanding alasan hukum.54

b. Sesudah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945.

Setelah terjadi perubahan UUD 1945, kewenangan MPR

dikurangi secara signifikan. Kewenangan yang dicabut dari MPR

antara lain memilih Presiden dan Wakil Presiden serta tidak lagi

menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara (termasuk di

dalamnya GBHN). MPR tidak lagi berwenang memilih Presiden dan

Wakil Presiden sebagai konsekuensi logis dari dipilihnya sistem

pemiliham Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat

dalam perubahan UUD 1945 (tercantum dalam Pasal 6A).55

Presiden dan Wakil Presiden secara langsung merupakan

langkah perubahan mendasar dalam sistem pemilu Presiden dan

Wakil Presiden yang sebelumnya selalu dilakukan oleh MPR.

Banyak kritik disampaikan ketika MPR yang hanya beranggotakan

beberapa ratus orang tetapi memilih Presiden dan Wakil Presiden

yang akan memimpin seluruh rakyat Indonesia selama lima tahun.

Dengan diberikannya wewenang rakyat untuk memilih Presiden dan

Wakil Presiden secara langsung dalam pemilu maka Indonesia

memasuki era demokrasi yang lebih berkualitas dibandingkan era

sebelumnya.

54 Ibid. 55 Ibid.

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Konvensi ...eprints.umm.ac.id/46507/3/BAB II.pdf · 4) Konvensi adalah ketentuan ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaliknya) discretionary

39

Bahkan Indonesia kini sejajar dengan negara-negara

demokrasi yang telah menerapkan sistem pemilu Presiden secara

langsung melalui pemilu. Praktik Pemilu Presiden dan Wakil

Presiden secara langsung oleh rakyat selama ini (telah berlangsung

tiga kali, 2004, 2009, dan 2014) yang berlangsung demokratis, jujur

dan adil, serta aman, dengan catatan masih ada beberapa kekurangan

dan kelemahannya, membuktikan kesiapan rakyat Indonesia untuk

melaksanakan haknya untuk memilih pemimpin secara baik. Melalui

pemilu secara langsung oleh rakyat, Presiden dan Wakil Presiden

telah diperkuat legitimasinya sehingga makin kuat kedudukannya.

MPR pasca perubahan UUD 1945 juga tidak berwenang lagi

menetapkan garis-garis besar dari pada haluan negara (termasuk

GBHN). Kondisi ini juga merupakan konsekuensi logis dari sistem

pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat.

Visi, misi, dan program kerja Presiden dan Wakil Presiden terpilih-

lah yang menjadi acuan dan pedoman dalam penyusunan program

pembangunan dan penyelenggaraan negara.

MPR tetap diberi kewenangan melakukan pemakzulan

terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya.

Namun kewenangan ini telah diatur dan dibatasi dengan alasan

konstitusional pemakzulan yang tercantum jelas dan tegas dalam

UUD 1945 serta proses dan mekanisme yang melibatkan cabang

kekuasaan yudikatif, yakni MK. Dengan adanya dua hal ini, MPR

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Konvensi ...eprints.umm.ac.id/46507/3/BAB II.pdf · 4) Konvensi adalah ketentuan ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaliknya) discretionary

40

tidak dapat lagi melakukan pemakzulan atas dasar atau lebih besar

alasan politiknya dibanding alasan hukum atau menggunakan

alasan-alasan lain diluar alasan yang sudah ditetapkan UUD

1945.56

Secara lengakap kewenangan MPR diatur dalam Pasal 4 UU

MD3, Yakni :

a.mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945; b. melantik Presiden dan/atau

Wakil Presiden hasil pemilihan umum; c. memutuskan usul

DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden

dalam masa jabatannya, setelah Mahkamah Konstitusi

memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti

melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap

negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau

perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau

Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden

dan/atau Wakil Presiden; d. melantik Wakil Presiden menjadi

Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau

tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya; e.

memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh

Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden

dalam masa jabatannya; dan f. memilih Presiden dan Wakil

Presiden apabila keduanya mangkat, berhenti, diberhentikan,

atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa

jabatannya secara bersamaan, dari 2 (dua) pasangan calon

presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik

atau gabungan partai politik yang pasangan calon presiden dan

wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua

dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa

jabatannya.57

c. Keanggotaan MPR-RI.

56 Ibid. 57 Lihat Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Konvensi ...eprints.umm.ac.id/46507/3/BAB II.pdf · 4) Konvensi adalah ketentuan ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaliknya) discretionary

41

Pasal 2 ayat (1) hasil perubahan keempat UUD NRI

berbunyi “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota

Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah

yang dipilih oleh pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan

Undang-Undang”.58 Dengan demikian MPR posisi bagi setiap

daerah untuk terlibat dalam pemerintahan untuk mewakili setiap

daerahnya secara masing-masing.

Kemudian berkaitan dengan pimpinan Majelis

Permusyawaratan Rakyat, baik pada Pasal 7 Ayat (1) dalam

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003

disebutkan bahwa pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat

terdiri atas seorang Ketua dan tiga orang wakil ketua yang

mencerminkan unsur Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan

Perwakilan Daerah yang dipilih dari dan oleh anggota Majelis

Permusyawaratan Rakyat dalam Sidang Paripurna Majelis

Permusyawaratan Rakyat.59

Dengan konfigurasi keanggotaan MPR sebagaimana dianut

UUD NRI sekarang ini, DPR jauh lebih kuat dan menentukan

dibanding DPD untuk oleh karena jumlah anggota DPD tidak akan

pernah lebih besar dari sepertiga jumlah anggota DPR. Kondisi ini

akan menyulitkan bagi DPD untuk menggeolkan gagasan dan

58 Patrialis Akbar, 2015, lembaga negara menurut UUD NRI tahun 1945, Penerbit Sinar

Grafika, Jakarta, Hal. 86 59 I Gede Yusa, 2016, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD NRI tahun 1945,

Penerbit: Setara Press, Malang, Hal. 102

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Konvensi ...eprints.umm.ac.id/46507/3/BAB II.pdf · 4) Konvensi adalah ketentuan ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaliknya) discretionary

42

keinginannya yang terkait dengan kewenangan MPR. Sebaliknya

bagi DPR, Lembaga perwakilan politik ini akan lebih mudah

mewujudkan kehendaknya di MPR selama DPR menginginkannya.

Selama perbandingan jumlah anggota DPR dan DPD sebagaimana

tercantum dalam UUD’NRI Tahun 1945 tidak diubah maka MPR

lebih banyak menjadi forum permusywaratan dengan pemain

utama DPR sementara DPD lebih condong menjadi pemain

pelengkap belaka.

Idealnya, ketika berbicara mengenai anggota MPR tidak

lagi berbicara mengenai anggota DPR dan anggota DPD, yang ada

adalah anggota MPR. Pengambilan suara sebagaimana diatur dalam

pasal 27 UUD NRI adalah suara anggota MPR. Disinilah dapat

dilihat apakah anggota-anggota DPD dapat melakukan lobi kepada

fraksi-fraksi di MPR, bisa jadi sebagian anggota MPR dari fraksi

tertentu bisa bergabung dengan anggota DPD, sehingga bisa saja

pengambilan keputusan justru dimenangkan oleh anggota-anggota

DPD dari fraksi yang mendukungnya. Tidak tertutup kemungkinan

fraksi-fraksi koalisi di pemerintahan minta dukungan anggota-

anggota DPD di MPR agar Presiden yang sedang melaksanakan

peerintahannya tidak diberhentikan atau pasal-pasal tertentu diluar

UUD NRI tidak diubah.

Secara normatif keanggotaan MPR RI diatur dalam Pasal 7

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 jo Nomor 2 Tahun 2018

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Konvensi ...eprints.umm.ac.id/46507/3/BAB II.pdf · 4) Konvensi adalah ketentuan ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaliknya) discretionary

43

Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah yakni dalam ayat (1) Keanggotaan MPR diresmikan dengan

keputusan Presiden. Masa jabatan anggota MPR adalah 5 (lima)

tahun dan berakhir pada saat anggota MPR yang baru

mengucapkan sumpah/janji.60

C. Tinjauan Umum Teori Keabsahan.

1. Arti dari Keabsahan.

Istilah dari Keabsahan berdasarkan Kamus Besar Bahasa

Indonesia adalah sifat yang sah61, yang dapat dimaknai suatu sifat

dari pemaknaan yang ditetapkan berdasarkan keaslian dari produk

atau barang tertentu dalam hal ini ketatapan atau keputusan dalam

hukum itu sendiri.

Selanjutnya, istilah keabsahan merupakan terjemahan dari

istilah hukum Belanda “recht matig” yang secara harfiah dapat

diartikan sebagai “berdasarkan atas hukum”. Dalam Bahasa

Inggris, istilah keabsahan disebut “legality” yang mempunyai arti

“lawfullnes” atau sesuai dengan hukum. Konsep tersebut bermula

dari lahirnya konsep negara hukum (rechtstaat) yang mana

tindakan kekuasaan harus didasarkan pada adanya ketentuan

60 Ibid. Lihat Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014

Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 61 Kamus Besar Bahasa Indonesia.” Arti Kata Keabsahan”.

http://www.kamuskbbi.id/kbbi/artikata.php?mod=view&Keabsahan&id=35839-arti-maksud-

definisi-pengertian-Keabsahan.html. Diakses 14 februari 2019.

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Konvensi ...eprints.umm.ac.id/46507/3/BAB II.pdf · 4) Konvensi adalah ketentuan ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaliknya) discretionary

44

hukum yang mengatur “recht matig van het bestuur”62, yang

berintikan pada adanya penerapan prinsip legalitas dalam semua

tindakan hukum kekuasaan. Artinya bahwa konsep tersebut lahir

sebagai upaya untuk membatasi kekuasaan Raja pada waktu itu

terkenal adegium (pepatah) king cando not wrong untuk itu.

Hukum lahir sebagai batasan kekuasaan sehingga, apabila tindakan

suatu kekuasaan negara tidak didasarkan pada hukum atau melebihi

ketentuan yang telah ditetapkan oleh hukum, maka tindakan

kekuasaan menjadi cacat hukum (onrechtmatig) atau tidak absah.63

Dengan demikian, maka prinsip keabsahan/legalitas ini

sangat erat kaitannya dengan tujuan untuk melindungi hak-hak

rakyat dari tindakan kekuasaan.

62 Jurnal Cita Hukum. “Prinsip Keabsahan (Rechtmatigheid) Dalam Penetapan

Keputusan Tata Usaha Negara”. Vol 5 No. 2. Desember 2017. 63 Ibid.