bab ii revisi -...

41
15 BAB II BENTUK-BENTUK PENGUNGKAPAN EPISTEMOLOGI MENURUT AL-QUR’AN A. Makna Epistemologi dan Pengungkapannya Dalam Al-Qur’an a) Makna Epistemologi Pengertian epistemologi secara etimologi berasal dari kata episteme dan logos. Kata episteme memiliki makna pengetahuan sedang logos berarti ilmu atau teori. Jadi epistemologi adalah teori ilmu pengetahuan. Epistemologi merupakan cabang filsafat yang berbicara secara khusus mengenai sifat keaslian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan. Makna lain epistemologi ialah suatu ilmu yang secara khusus membahas dan mempersoalkan apa itu pengetahuan, dari mana pengetahuan itu diperoleh dan bagaimana cara memperolehnya. 1 Sementara itu The Liang Gie mendefinisikan, epistemologi adalah cabang filsafat yang terkait dengan masalah dasar ilmu pengetahuan, yakni dari mana pengetahuan itu diperoleh, dan bagaimana cara memperolehnya serta bagaimana tingkat validitasnya. 2 Diterangkan pula bahwa epistemologi bersangkutan dengan masalah yang meliputi, filsafat yang berusaha mencari hakekat dan kebenaran pengetahuan, metode yang berusaha mengantarkan manusia untuk memperoleh pengetahuan, sistem yang bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan. Pendapat lain menyebutkan bahwa epistemologi sama dengan filsafat pengetahuan, yaitu suatu kajian yang membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dan metode-metode apa saja yang digunakan. Selain epistemologi ada dua bentuk asas lain yang ada dalam suatu ilmu, yaitu: ontologi dan aksiologi. Ontologi ialah suatu obyek yang 1 Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 25. 2 Ibid.

Upload: hangoc

Post on 17-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

15

BAB II

BENTUK-BENTUK PENGUNGKAPAN EPISTEMOLOGI

MENURUT AL-QUR’AN

A. Makna Epistemologi dan Pengungkapannya Dalam Al-Qur’an

a) Makna Epistemologi

Pengertian epistemologi secara etimologi berasal dari kata

episteme dan logos. Kata episteme memiliki makna pengetahuan sedang

logos berarti ilmu atau teori. Jadi epistemologi adalah teori ilmu

pengetahuan. Epistemologi merupakan cabang filsafat yang berbicara

secara khusus mengenai sifat keaslian, struktur, metode dan validitas ilmu

pengetahuan. Makna lain epistemologi ialah suatu ilmu yang secara

khusus membahas dan mempersoalkan apa itu pengetahuan, dari mana

pengetahuan itu diperoleh dan bagaimana cara memperolehnya.1

Sementara itu The Liang Gie mendefinisikan, epistemologi adalah

cabang filsafat yang terkait dengan masalah dasar ilmu pengetahuan, yakni

dari mana pengetahuan itu diperoleh, dan bagaimana cara memperolehnya

serta bagaimana tingkat validitasnya.2

Diterangkan pula bahwa epistemologi bersangkutan dengan

masalah yang meliputi, filsafat yang berusaha mencari hakekat dan

kebenaran pengetahuan, metode yang berusaha mengantarkan manusia

untuk memperoleh pengetahuan, sistem yang bertujuan memperoleh

realitas kebenaran pengetahuan.

Pendapat lain menyebutkan bahwa epistemologi sama dengan

filsafat pengetahuan, yaitu suatu kajian yang membahas tentang

bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dan metode-metode apa saja

yang digunakan.

Selain epistemologi ada dua bentuk asas lain yang ada dalam suatu

ilmu, yaitu: ontologi dan aksiologi. Ontologi ialah suatu obyek yang

1Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 25.

2 Ibid.

Page 2: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

16

menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu

ilmu pengetahuan yang secara khusus membahas tentang nilai, manfaat,

kegunaan serta fungsi ilmu itu sendiri. Dalam hal ini secara sederhana

dapat dipahami bahwa sesuatu yang perlu dipikirkan disebut (ontologi),

yakni ada objek yang jelas, kemudian bagaimana proses kerjanya yang

disebut epistemologi, dan baru kemudian bagaimana manfaat atau

kegunaannya yang disebut aksiologi. Dengan demikian pengetahuan yang

benar yaitu harus memiliki unsur ontologis, epistemologis dan aksiologis.3

P. Hardono Hadi mendefinisikan epistemologi sebagaimana yang

dikutip oleh Mujamil Qomar, epistemologi adalah bagian filsafat yang

mempelajari dan menentukan kodrat dan arah pengetahuan. Jadi

epistemologi adalah cabang filsafat yang berurusan mengenai hakikat dan

ruang lingkup pengetahuan.4

Pengertian-pengertian di atas pada dasarnya hampir sama adapun

yang membedakannya adalah pada kodrat dan hakikat pengetahuan.

Kodrat pengetahuan itu berkaitan dengan keaslian sifat pengetahuan,

sedangkan hakikat pengetahuan itu berkaitan dengan ciri-ciri pengetahuan

sehingga menghasilkan suatu pengertian yang benar.

Masalah epistemologi para ahli filsafat mempunyai pandangan

berbeda walaupun pada dasarnya memiliki kesamaan tujuan. Adapun

pandangan para ahli tersebut bisa dicermati sebagaimana berikut:

1. Dagobert D. Runes; menyatakan epistemologi adalah cabang filsafat

yang membahas sumber, struktur, metode-metode, dan validitas

pengetahuan.

2. Azyumardi Azra; mendefinisikan bahwa epistemologi adalah sebagai

ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode

dan validitas ilmu pengetahuan.

3 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan, 1990), hlm. 105. 4 Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Penerbit Erlangga, t. th),

hlm. 3

Page 3: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

17

3. Mudlor Achmad; epistemologi ialah bagian filsafat yang

mempertanyakan, hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran

pengetahuan.

4. M. Arifin; epistemologi yaitu cabang filsafat yang mempertanyakan

asal pengetahuan yang meliput hakikat, sumber, dan validitas

pengetahuan.

5. A.M. Saefuddin menyebutkan epistemologi mencakup pertanyaan

yang harus dijawab; apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa

sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat

dan benar, apa kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang

benar, apa yang dapat kita ketahui, dan sampai di manakah

batasannya, yang dapat diringkan menjadi dua masalah pokok, yaitu

masalah sumber ilmu dan masalah kebenaran ilmu.5

Dari berbagai pengertian di atas dapatlah digarisbawahi bahwa

epistemologi adalah cabang filsafat yang mempersoalkan bagaimana

memperoleh pengetahuan, dengan apa pengetahuan itu di peroleh dan

bagaimana hakekatnya yang dikajinya dengan menggunakan metode

ilmiah, yaitu cara untuk menyusun pengetahuan yang benar. Metode

ilmiah merupakan prosedur untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang

benar, sehingga secara akademik hasilnya dapat dipertanggung jawabkan.

Jadi pengetahuan yang benar itu harus diperoleh melalui metode yang

benar.

Diketahui pula bahwa tidak semua ilmu itu disebut ilmiah, karena

ada ilmu yang diyakini kebenarannya namun secara akademik tidak

dianggap benar dan ilmiah karena secara akademik tidak mampu

menunjukkan secara ilmiah, contoh ilmu magic. Sedangkan ilmu yang

dianggap ilmiah ialah Ilmu yang mampu menjelaskan keberadaannya

secara ilmiah, yakni memiliki metodologi yang jelas, sehingga secara

akademik dia mampu membuktikan kebenaran secara benar dan ilmiah.

5Ibid.,I hlm. 4.

Page 4: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

18

Dengan demikian metode ilmiah dalam ilmu pengetahuan merupakan

syarat mutlak yang harus dipenuhinya.6

Dari kerangka pemikiran di atas dapat dipahami, epistemologi

adalah salah satu sub sistem dari sistem filsafat (ontologi, epistemologi,

dan aksiologi), sehingga epistemologi itu sendiri tidak bisa memisahkan

diri dari filsafat. Dalam konteks ini epistemologi ialah segala bentuk

pekerjaan dan pemikiran manusia yang selalu mempertanyakan dari mana

ilmu pengetahuan itu diperoleh.7

Aktivitas-aktivitas dalam filsafat pengetahuan dapat ditempuh

melalui kontemplasi atau perenungan-perenungan secara filosofis dan

analitik. Kontemplasi atau perenungan ini dalam bahasa Arab disebut

dengan istilah tafakkar, tadabbar, tadakkar, dan sebagainya. Masalah ini

dalam Al-Qur’an disebutkan kurang lebih 130 ayat yang menyuruh

manusia menggunakan akalnya untuk merenung dan berfikir. Sebagai

contoh, Allah berfirman: Yang artinya: “Dan apakah mereka tidak

memperhatikan kejadian langit dan bumi dan segala sesuatu yang

diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka?

Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al-

Qur’an”. (QS. al-A’raf: 185).8 Merenung dan berfikir yang telah diyakini

sebagai cirikhas cara kerja berfikir filosofis, karena tidak akan ada filsafat

tanpa melalui perenungan-peenungan (kontemplasi) itu. Filsafat selalu

mengandalkan kontemplasi (berfikir mendalam), baik ketika menelaah

wilayah kerja (kajian) ontology, axiology, maupun epistemology,

walaupun tidak menutup kemungkinan menggunakan pendekatan lain,

seperti analisis konsep, atau analisis bahasa.

Epistemologi (teori ilmu pengetahuan) ialah inti sentral setiap

keilmuan. Dalam konteks Islam epistemologi merupakan parameter yang

6 Jujun S. Suriasumantri, op. cit., hlm. 105. 7 Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim; Pengantar Filsafat Pendidikan

Islam dan Modern, (Yogyakarta: Sipress, 1993), hlm. 53. 8 Zakiyah Daradjat, dkk, Islam Untuk Disiplin Ilmu Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang,

1998), hlm. 22.

Page 5: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

19

bisa memetakkan apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin menurut

bidang-bidangnya, yakni apa yang mungkin diketahui dan harus diketahui

serta apa yang sama sekali tidak mungkin diketahui. Dengan demikian

epistemologi dapat dijadikan sebagai filter terhadap objek-objek

pengetahuan karena tidak semua objek mesti dapat dijelajahi oleh

pengetahuan manusia. Epistemologi merupakan cara dan arah berfikir

manusia untuk memperoleh dan menemukan ilmu pengetahuan dibangun

melalui kemampuan rasio (akal), indera dan intuisi.9

b) Diskursus Epistemologi Dikalangan Ulama

a. ULAMA’ FIQIH

FIQIH, SECARA BAHASA BERARTI FAHAM TERHADAP TUJUAN

SESEORANG PEMBICARA DARI PEMBICARAANNYA. MENURUT ISTILAH

FIQIH IALAH MENGETAHUI HUKUM-HUKUM SYARA’ MENGENAI

PERBUATAN MANUSIA MELALUI DALIL-DALILNYA YANG TERPERINCI.

PENGERTIAN LAIN FIQIH ADALAH ILMU YANG DIHASILKAN OLEH PIKIRAN

SERTA IJTIHAD (PENELITIAN). OLEH KARENA ITU TUHAN TIDAK BISA

DISEBUT SEBAGAI “FAQIH” (AHLI ILMU FIQIH), KARENA BAGINYA TIDAK

ADA SESUATU YANG TIDAK JELAS. DENGAN DEMIKIAN FIQIH ADALAH

SUATU BIDANG KEILMUAN AGAMA, SECARA KHUSUS BERBICARA

MENGENAI HUKUM (SYARI’AT10) AGAMA BERFUNGSI UNTUK MENGATUR

TATA KEHIDUPAN MANUSIA DIMANA BELUM DIKETAHUI ATAU BELUM

JELAS KEDUDUKAN HUKUMNYA YANG BISA DIJALANKAN ATAU

DIAMALKAN.11. SEDANGKAN PARA ULAMA HUKUM ISLAM SECARA GARIS

BESAR MEMAKNAI FIQIH ADALAH SEBAGAI HUKUM-HUKUM SYARI’AH

9 Jujun S. Suria Sumantri, op. cit., hlm. 17. 10 Syariat adalah apa (hukum-hukum) yang diadakan oleh Tuhan untuk hamba-hambanya,

yang dibawa oleh salah seorang nabi-nya saw., baik hukum-hukum tersebut berhubungan dengan cara mengadakan perbuatan yaitu yang diebbut sebagai “hukum-hukum cabang dan amalan”, dan untuknya maka dihimpunlah ilmu fiqih; atau berhubungan dengan cara mengadakan kepercayaan (‘itikad), yaitu yang disebut sebagai “hukum-hukum pokok” dan kepercayaan, dan untuknya maka dihimpun ilmu kalam. Syari’at (syara’) disebut “agama”.

11 Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm. 10.

Page 6: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

20

YANG BERSIFAT AMALIAH, YANG TELAH DIISTINBATKAN OLEH PARA

MUJTAHID DARI DALIL-DALIL SYAR’I YANG TERPERINCI.12

KAJIAN DALAM ILMU FIQH ITU MELIPUTI SELURUH HUKUM

AGAMA, BAIK YANG BERHUBUNGAN DENGAN HUKUM-HUKUM

KEPERCAYAAN ATAU HUKUM-HUKUM PERBUATAN DAN ATAU HUKUM-

HUKUM AKHLAK.

PARA ULAMA YANG BERKECIMPUNG DALAM HUKUM ISLAM

(FIQH) MEREKA SEPAKAT BAHWA SUMBER HUKUM ISLAM, YAKNI

SUMBER HUKUM YANG DIJADIKAN PIJAKAN DALAM MENGURAI

PERSOALAN-PERSOALAN HUKUM YANG BELUM JELAS KETENTUAN

HUKUMNYA. MAKA YANG MENJADI LANDASAN HUKUM ISLAM ADALAH

TEKS (AL-QUR’AN/ WAHYU, HADITS, DAN IJTIHAD13 ULAMA, SERTA

IJMA’14 DAN QIYAS15). SECARA EPISTEMOLOGI SUMBER PENGETAHUAN

HUKUM ISLAM, PERTAMA BERASAL DARI TEKS (WAHYU). DALAM

FILSAFAT ISLAM HAL INI MENGACU PADA EPISTEMOLOGI BAYANI.

BAYANI ADALAH METODE PEMIKIRAN KHAS ARAB YANG

MENEKANKAN OTORITAS TEKS (NASH), SECARA LANGSUNG ATAU TIDAK

12 Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih I, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), hlm.14-15. 13 Ijtihat artinya mencurahkan segala kemampuan intelektual untuk memperoleh hukum

syara’ dari dalil-dalilnya. Hasby Ash Shiddiqi mengemukakan ijtihad adalah menggunakan segala kesanggupan untuk mencari suatu hukum syara’ dengan jalan praduga (zhan).

14Ijma’ adalah setiap pendapat yang didukung oleh hujah, sekalipun pendapat itu muncul dari seseorang. Al-Ghozali mendefinisikan bahwa ijma’ adalah kesepakan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama. Sedangkan As-Syafi’i berpendapat bahwa ijma’ harus dilakukan dan dihasilkan oleh seluruh umat islam, karena suatu pendapat yang dapat terhindar dari suatu kesalahan hanyalah apabila disepakati oleh seluruh umat. Sementara Jumhur ulama berpendapat ijma’ adalah ke sepakan seluruh mujtahid islam dalam suatu massa, sesudah wafat rasulullah, akan suatu hukum syari’at yang amali. Dalam hal ini ijma’ dibedakan dalam dua bentuk, yaitu ijma’ qath’i, yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan hukum suatu malah tanpa ada bantahan di antara mereka. Ijma’ ini dapat dijadikan dalil (alasan) dalam menetapkan hukum suatu masalah. Kedua, ijma’ sukuti, yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan hukum suatu masalah, kesepakatan yang mendapat tantangan (hambatan) doa antara mereka atau salah seorang diantara mereka tenang (diam) saja dalam mengambil suatu keputusan.

15 Menurut bahasa qiyas artinya ukuran atau mengukur, mengetahui ukuran sesuatu, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Dengan demikian qiyas dapat diartikan menggunakan sesuatu atas yang lain, agar diketahui persamaan antara keduanya. Pengikut as-Syafi’i berpendapat bahwa qiyas adalah membawa (hukum) yang (belum) diketahui kepada (hukum) yang diketahui untuk menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, karena adanya sesuatu yang menyatukan keduanya, baik hukum maupun sifat. Dan jumhur ulama pun sepakat dengan definisi yang dikemukakan oleh kaum safiiyah, yakni bahwa qiyas adalah menemukan hukum yang belum diketahui untuk dicarikan kesamaan dengan hukum yang sudah diketahui.

Page 7: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

21

LANGSUNG, DAN DI JUSTIFIKASI OLEH AKAL KEBAHASAAN YANG DIGALI

LEWAT INFERENSI (ISTIDLAL). SECARA LANGSUNG BERARTI MEMAHAMI

TEKS SEBAGAI PENGETAHUAN HUKUM, DAN TIDAK LANGSUNG BERARTI

MENGETAHUI TEKS SEBAGAI PENGETAHUAN MENTAH SEHINGGA PERLU

TAFSIR DAN PENALARAN. JADI DALAM PERSPEKTIF KEAGAMAAN,

SASARAN BIDIK METODE BAYANI ADALAH ASPEK EKSOTERIK (SYARIAT).

DALAM BAHASA ARAB BAYANI BERARTI PENJELASAN

(EKSPLANASI), SEDANGKAN DALAM KAMUS LISAN AL-ARAB BAYANI

MENGANDUNG BEBERAPA ARTI, DIANTARANYA: AL-FASHL WA INFISHAL

(MEMISAHKAN DAN TERPISAH), DAN AL-DHUHUR WA AL-IDHAR (JELAS

DAN PENJELAS). 16

PADA MASA SYAFII (767-820 M), YANG DIANGGAP SEBAGAI

PELETAK DASAR JURISPRUDENCE ISLAM, BAYANI BERARTI NAMA YANG

MENCAKUP MAKNA-MAKNA YANG MENGANDUNG PERSOALAN USHUL

(POKOK) DAN YANG BERKEMBANG HINGGA KE CABANG (FURU’).

SECARA METODOLOGI SYAFII MEMBAGI BAYAN INI DALAM LIMA BAGIAN

DAN TINGKATAN. (1) BAYAN YANG TIDAK BUTUH PENJELASAN LANJUT,

BERKENAN DENGAN SESUATU YANG TELAH JELAS HUKUMNYA (SUDAH

ADA PENJELASAN DARI TUHAN), YAKNI YANG TERTERA DALAM AL-

QUR’AN SEBAGAI KETENTUAN BAGI MAKHLUKNYA. (2) BAYAN YANG

BEBERAPA BAGIAN MASIH GLOBAL SEHINGGA BUTUH PENJELASAN

SUNNAH, (3) BAYAN YANG KESELURUHANNYA MASIH GLOBAL

SEHINGGA BUTUH PENJELASAN SUNNAH, (4) BAYAN SUNNAH, SEBAGAI

URAIAN ATAS SESUATU YANG TIDAK TERDAPAT DALAM AL-QUR’AN, (5)

BAYAN IJTIHAD YANG DILAKUKAN DENGAN QIYAS ATAS SESUATU YANG

TIDAK TERDAPAT DALAM AL-QUR’AN MAUPUN SUNNAH. DARI KELIMA

HAL TERSEBUT AS-SYAFII MENYATAKAN BAHWA, YANG POKOK (USHUL)

SEBAGAI BENTUK SUMBER PENGETAHUAN DALAM HUKUM ISLAM

16 Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Huduri, terj, Ahsin M, (Bandung: Mizan, 1994), hlm, 47-48

dan 24.

Page 8: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

22

ADALAH AL-QUR’AN, SUNNAH DAN QIYAS, KEMUDIAN DITAMBAH

IJMA’.17

SEBAGAI SUMBER PENGETAHUAN HUKUM ISLAM EPISTEMOLOGI

BAYANI SEBAGAI BENTUK EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM (FIQH/

SYARIAT), SELALU BERPIJAK PADA TEKS (NASH). DALAM USHUL FIQIH

YANG DIMAKSUD NASH SEBAGAI SEMBER PENGETAHUAN HUKUM ISLAM

ADALAH AL-QUR’AN DAN HADITS.18 MAKA, DALAM HAL INI

EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM MENARUH PERHATIAN BESAR DAN TELITI

PADA PROSES TRANSMISI TEKS DARI GENERASI KE GENERASI. HAL INI

MUTLAK DIPERLUKAN KARENA TEKS SEBAGAI SUMBER PENGETAHUAN

BENAR TIDAKNYA TRANSMISI TEKS MENENTUKAN BENAR SALAHNYA

KETENTUAN HUKUM YANG DIAMBIL. JIKA TRANSMISI TEKS BISA

DIPERTANGGUNG JAWABKAN BERARTI TEKS TERSEBUT BENAR DAN BISA

DIJADIKAN DASAR HUKUM. SEBALIKNYA, JIKA TRANSMISINYA

DIRAGUKAN, MAKA KEBENARAN TEKS TIDAK BISA

DIPERTANGGUNGJAWABKAN DAN ITU BERARTI IA TIDAK BISA DIJADIKAN

LANDASAN HUKUM.19

ADAPUN CARA MEMPEROLEH PENGETAHUAN DALAM HUKUM

ISLAM DENGAN MENEMPUH DUA JALAN MENEMPUH DUA JALAN.

PERTAMA, BERPEGANG PADA REDAKSI (LAFAT) TEKS DENGAN KAIDAH

BAHSA ARAB SEPERTI NAHWU, DAN SHARAF SEBAGAI ALAT ANALISA.

KEDUA, MENGGUNAKAN METODE QIYAS (ANALOGI) DAN INILAH PRINSIP

UTAMA EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM (FIQH/ SYARIAT). ADA BEBERAPA

SYARAT YANG HARUS DIPENUHI DALAM MELAKUKAN QIYAS; (1) ADANYA

AL-ASHL20, YAKNI NAS SUCI YANG MEMBERIKAN HUKUM DAN DIAPAKAI

SEBAGAI UKURAN, (2) AL-FAR; SESUATU YANG TIDAK ADA HUKUMNYA

17 Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm.

178-179. 18 Abd Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Masdar Helmi, (Bandung: Gema Risalah

Pres, 1996), hlm. 22. 19 Khudori Soleh, Ibid., hlm. 182. 20 Al-Ashl, adalah objeks yang telah ditetapkan hukumnya oleh ayat-ayat al-Qur’an, hadist

Rasulullah, atau ijma’.

Page 9: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

23

DALAM NAS, (3) HUKUM AL-ASHL, KETEPATAN HUKUM YANG DIBERIKAN

OLEH ASH, (4) ILLAT, KEADAAN TERTENTU YANG DIPAKAI SEBAGAI

DASAR PENETAPAN HUKUM ASHL.21

MENURUT JABIRI, METODE QIYAS SEBAGAI CARA MENDAPATKAN

PENGETAHUAN DALAM HUKUM ISLAM TERSEBUT DIGUNAKAN DALAM

TIGA ASPEK.

PERTAMA QIYAS DALAM KAITANNYA DENGAN STATUS DAN

DERAJAT HUKUM YANG ADA PADA ASHL MAUPUN FURU’22 BAGIAN INI

MENCAKUP TIGA HAL (1) QIYAS JALI, DI MANA FAR MEMPUNYAI

PERSOALAN HUKUM YANG KUAT DIBANDING ASHL, (2) QIYAS FI MA’NA AL-

NASH, DI MANA ASHL DAN FAR MEMPUNYAI DERAJAT HUKUM SAMA, (3)

QIYAS AL-KHAFI, DI MANA ILLAT ASHL TIDAK DIKETAHUI SECARA JELAS

DAN HANYA MENURUT PERKIRAAN MUJTAHID, CONTOH MEMUKUL

ORANG TUA, PERSAMAAN HUKUMNYA DALAM AL-QURAN HANYA ADA

LARANGAN BERKATA “AH”. KEDUA, YANG BERKAITAN DENGAN ILLAT23

YANG ADA PADA ASHL DAN FAR, ATAU MENUNJUKKAN KE ARAH SITU

(QIYAS BI I’TIBAR BINA AL HUKUM ALA DZIKR AL-ILLAH AU BI ‘ITIBAR DZIKR

MA YADULL ‘ALAIHA). BAGIAN INI MELIPUTI DUA HAL: (1) QIYAS AL-ILLAT,

YAITU MENETAPKAN ILLAT YANG ADA ASHL KEPADA FAR, (2) QIYAS AL-

DILALAH, YAITU MENETAPKAN PETUNJUK (DILALAH) YANG ADA PADA

ASHL KEPADA FAR, BUKAN ILLAHNYA.24. KETIGA, QIYAS BERLKAITAN

DENGAN POTENSI ATAU KECENDERUNGAN UNTUK MENYATUKAN

ANTARA ASHL DAN FAR. YANG OLEH AL-GHOZALI DIBAGI DALAM EMPAT

TINGKATAN: (1) ADANAYA PERUBAHAN HUKUM BARU (2) KESERASIAN,

(3) KESERUPAAN, (4) MENJAUHKAN (THARD).25

MENURUT ABB AL-JABABAR, SEORANG PEMIKIR TEOLOGI

MUKTAZILAH, SEBAGAIMANA YANG DIPAHAMI ABD WAHAB KALAF,

21 Chaerul Umam, dkk, op. cit., hlm. 97-99. 22 Furu’ adalah objek yang akan ditentukan hukumnya, yang tidak ada nas atau ijma’

yang tegas dalam menentukan hukumnya. 23 Illat, adalah sifat yang menjadi motif dalam menentukan hukum. 24 Abd Wahab Khalaf, op. cit.,hlm. 106. 25 Fathur Rahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 134-141.

Page 10: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

24

METODE QIYAS TERSEBUT TIDAK HANYA UNTUK MENGGALI

PENGETAHUAN DARI TEKS TETAPI JUGA BISA DIKEMBANGKAN DAN

DIGUNAKAN UNTUK MENGUNGKAPKAN PERSOALAN-PERSOALAN NON-

FISIK (GHAIB).26

ADA SEMACAM PERBEDAAN POLA PIKIR MENGENAI EPISTEMOLOGI

HUKUM ISLAM (FIQH), YAITU POLA PIKIR ZHAHIRIYYAT, (TEKSTUALIS),

BATHINIYYAT, MAKNAWIYYAT (KONTEKSTUALIS), DAN GABUNGAN ANTARA

TEKTUALIS DAN KONTEKSTUALIS. SEMENTARA MAZHAB BESAR DALAM

HUKUM ISLAM (FIQH), YAITU MALIKI, HAMBALI, DAN SYAFII, MEREKA

SEPAKAT BAHWA SUMBER UTAMA HUKUM ISLAM YAITU NASH (TEKS/

WAHYU, AL-QUR’AN, DAN AS-SUNNAH/ HADITS).

JADI ULAMA FIQIH BERSEPAKAT BAHWA SUMBER PENGETAHUAN

HUKUM ISLAM (FIQIH), SEMUA BERASAL DARI ALLAH, SUNNAH NABI

(AL-HADITS) DAN KESEPAKATAN PARA (IJMA’ ULAMA) MELALUI

BEBERAN METODE ANALOGI (QIYAS).

b. Ulama’ Kalam

Islam sebagai agama mempunyai dua dimensi, yaitu keyakinan

atau akidah dan sesuatu yang diamalkan atau amaliah. Amal perbuatan

tersebut merupakan perpanjangan dan impemenasi dari akidah itu.

Keimanan dalam Islam merupakan dasar atau fondasi dalam

keberagaman. Keimanan atau akidah dalam dunia keilmuan (Islam)

dijabarkan melalui suatu disiplin ilmu yang sering diistilahkan dengan

ilmu tauhid, ilmu aqaid, ilmu kalam, dan sebagainya. Dengan

demikian, maka aspek pokok dalam ilmu tauhid atau kalam adalah

keyakinan akan adanya eksistensi Allah yang Maha sempurna.

Ilmu kalam merupakan cabang ilmu keIslaman yang berdiri

sendiri, yang secara khusus membicarakan mengenai keberadaan

Tuhan dan segala kekuasaannya. Ilmu ini berkembang sejak pada masa

khalifah al-Ma’mun (813-833) dari Bani Abbasiyah. Sebelum itu

26 Abd Wahab Khalaf, op. cit.,hlm. 142.

Page 11: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

25

pembahasan terhadap kepercayaan Islam disebut al Fiqhu Fiddin

sebagai lawan dari Fiqhu Fil ‘Ilmi. Ilmu ini lahir karena adanya

khilafiyah dikalangan ulama mengenai persoalan, diantaranya apakah

kalam Allah (al-Qur’an) itu qadim atau hadits, bagaimana wujud

Allah, Sifat-sifat Allah, kekuasaan Allah dan lain sebagainya.

Ibnu Khaldun (1333-1378) dalam bukunya Muqaddimah, yang

dikutip Sahilun A Nasir menjelaskan, ilmu kalam adalah ilmu yang

berisi alasan-alasan mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman,

dengan menggunakan dalil-dalil fikiran dan berisi bantahan-bantahan

terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan salaf dan

ahli sunnah. 27 Disebut ilmu kalam karena pembahasannya mengenai

eksistensi Tuhan dan hal-hal yang berhubungan dengan-Nya

digunakan argumentasi-argumentasi filosofis dengan menggunakan

logika atau mantik. 28

Prof. Dr. Hasbi Ash-Shiddieqy sebagaimana yang dilangsir

Muhammad Ahmad, ia menyebutkan bahwa disebut ilmu kalam

karena:

1. Problem yang diperselisihkan para ulama dalam ilmu ini yang menyebabkan umat Islam terpecah ke dalam beberapa golongan adalah masalah kalam Allah atau al-Qur’an apakah ia diciptakan (makhluk) atau tidak (qadim)

2. Materi-materi ilmu kalam adalah teori-teori (kalam); tidak ada yang diwujudkan ke dalam kenyataan atau diamalkan dengan anggota.

3. Ilmu ini, di dalam menerangkan cara atau dalam menetapkan dalil pokok-pokok akidah serupa dengan mantik.

4. Ulama-ulama mutakalimin membicarakan di dalam ilmu ini hal-hal yang tidak dibicarakan oleh ulama salaf, seperti penakwilan ayat-ayat mutasyabihat, pembahasan tentang qada, kalam dam lain-lain.29

Penamaan ilmu kalam ini sebenarnya hanya dimaksudkan

untuk membedakan antara mutakallimin dengan filosof Islam. Bedaya

27 Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: Rajawali Press, 1991), hlm. 3 28 Muhamamd Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 9. 29 Ibid., hlm. 10

Page 12: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

26

hanya pada landasan awal berpijak, mutakallimin lebih dahulu bertolak

dari al-Qur’an dan hadits, sementara filosof berpijak pada logika.30

Para Mutakallimin31 memiliki ciri khas khusus dalam

memecahkan persoalan kalam (aqidah/ tauhid), mereka lebih banyak

menggunakan otoritas akal atau logika (mantiq) dalam memecahkan

persoalan aqidah. Meskipun para mutakallimin dapat menggunakan

otoritas akal dalam mencari kebenaran, akan tetapi mereka tidak

pernah puas, karena ada hal-hal yang diluar jangkauan akalnya.

Objek kajian dalam ilmu ini adalah hal-hal yang tidak dapat di

indera dan juga hal-hal yang tidak mungkin bisa dijangkau dengan

akal, nalar atau rasio. Tetapi bisa dipikirkan dan ditemukan dengan

bantuan akal, nalar dan rasio. Sebab akal manusia dalam mengenal

Allah hanya mampu sampai pada bata mengetahui bahwa Zat Tuhan

Yang Maha Kuasa itu ada. Dan ketika merenung dan memikirkan

ketika tidak mampu menjangkaunya mereka (para mutakallimin

kembali pada wahyu). Menurut akal, kebenaran sesuatu dapat diamati,

diteliti (dianalisis) dan dicapai melalui bantuan akal. Landasan ini

muncul karena ada sebagian ayat al-Qur’an yang perlu penjelasan,

yang disebut ayat mutasyabihat. Jadi ilmu kalam itu selalu

berlandaskan pada al-Qur’an (nas-nas agama), dipertemukan dengan

dalil-dalil pikiran dalam membahas aqidah dan ibadah.

Para ulama mutakallimin berpendapat bahwa sumber

pengetahuan itu semua berasal wahyu (al-Qur’an) kemudian diperjelas

melalui analogi-analogi yang berasal pemikiran akal dan pemahaman

indera. Dalam hal ini (ilmu kalam) juga terjadi khilafiyah, sebagai

contoh kaum Khawarij memandang, sumber segala ilmu itu hanya

berasal dari kalam Tuhan, dan kaum ini mendapat julukan sebagai

kaum tekstualis, kemudian kaum Murjiah dikenal sebagai kaum

mengikuti faham rasionalisme, kaum Qadariah, dikenal sebagai kaum

30 Ibid. 31 Mutakallimin adalah seorang ulama yang ahli dalam bidang ilmu kalam.

Page 13: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

27

yang mengikuti faham realisme, dan kaum Jabariah dikenal sebagai

kaum yang mengikuti faham idealisme.32

Sebagai mana pengertiannya tauhid adalah sebagai ilmu yang

secara khusus membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat-Nya dan

as’al-Nya (Allah), adalah bersumber pada al-Qur’an dan hadist sebagai

sumber kedua. Untuk menerima al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber

Tauhid, harus menggunakan akal. Jadi dalil yang dipakai dalam ilmu

kalam itu berdasarkan dalil naqli, yaitu yang bersumber dari teks atau

nas al-Qur’an dan Hadits, dan berdasarkan dalil aqli, yaitu berdasrkan

pemahaman akal (nalar). Jadi landasan epistemologi kalam, para

mutakallimin sepakat bahwa pengetahuan kalam itu berdasarkan

wahyu (al-Qur’an ) sebagai sumber pertama dan al-Hadits sebagai

sumber kedua, kemudian akal sebagai sumber ketiga, ketika sumber

pertama dan kedua belum menunjukkan kejelasan (mutasyabihat).33

c. SUFISTIK/ TASAWUF

Sebagaimana ilmu fiqih, ilmu kalam, tasawuf adalah

merupakan bagian dari ilmu filsafat yang berbicara tentang kesatuan

wujud, yang disebut juga dengan istilah mistik. Istilah tasawuf

dipopulerkan oleh Islam, di mana ajaran-ajarannya bersandarkan

pada ajaran Islam. Tasawuf adalah nama lain dari mistisisme dalam

Islam. Di kalangan orientalis Barat menyebutnya dengan sebutan

Sufisme. Kata sufisme itu merupakan istilah khusus mistisisme dalam

Islam. Sehingga kata sufisme itu tidak ada pada mistisisme

sebagaimana dalam agama-agama lain.

Tasawuf adalah aspek ajaran Islam yang paling penting,

karena peranan tasawuf merupakan jantung atau urat nadi

pelaksanaan ajaran-ajaran Islam. Tasawuf inilah yang merupakan

kunci kesempurnaan amaliah ajaran Islam. Memang di samping

32 Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 1993),

hlm. 29-42. 33 Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 4-5.

Page 14: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

28

aspek tasawuf, dalam Islam ada aspek lain yaitu apa yang disebut

dengan akidah dan syari’ah, atau dengan kata lain bahwa yang

dimaksud “ad-din” (agama) adalah terdiri dari Islam, iman dan ihsan,

di mana ketiga aspek tersebut merupakan satu kesatuan. Oleh

orientalis Barat tasawuf disebutnya dengan istilah Sufisme34 ini juga

memiliki pengertian secara khusus yang telah menimbulkan

perbedaan pendapat dikalangan para ahli.

Secara etimologi Kata tasawuf diambil dari kata shafa yang

memiliki berarti bersih. Disebut sufi karena hatinya tulus dan bersih

di hadapan Tuhannya. Pendapat lain mengatakan bahwa kata tersebut

diambil dari kata shuffah yang berarti serambi mesjid Nabawi di

Madinah yang ditempati oleh sahabat-sahabat Nabi yang miskin dari

golongan Muhajirin. Mereka ini disebut ahl al-Suffah walaupun

miskin namun memiliki hati mulia dan memang sifat tidak memen-

tingkan dunia dan berhati mulia adalah sifat-sifat kaum sufi. Teori

lainnya menegaskan bahwa kata sufi diambil dari kata suf yaitu kain

yang dibuat dari bulu atau wool dan kaum sufi memilih memakai

wool yang kasar adalah sebagai bentuk simbol kesederhanaan.35

Dari berbagai teori di atas, dapat dipahami bahwa istilah sufi

dapat dihubungkan dengan dua aspek, yaitu aspek lahiriyah dan

aspek batiniyah. Teori yang menghubungkan orang yang menjalani

kehidupan tasawuf dengan orang-orang yang berada di serambi

mesjid dan berpakaian bulu domba merupakan tinjauan aspek

lahiriyah dari sufi. Ia dianggap sebagai orang yang telah

meninggalkan dunia dan hasrat jasmani, dan menggunakan benda-

benda dunia ini hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti

berpakaian dan makan untuk sekedar menghindarkan diri dari

kepanasan, kedinginan, serta kelaparan. Sementara teori yang melihat

34 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam,( Jakarta: Bulan Bintang, 1973,

hlm. 56. 35 K. Permadi, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hlm. 25-27.

Page 15: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

29

sufi sebagai orang yang mendapat keistimewaan di hadapan Tuhan

tampak lebih menitik beratkan pada aspek batiniah.

Tetapi sebagian ahli bahasa menyebutkan bahwa perkataan

Sufi bukan berasal dari bahasa Arab, tetapi bahasa Yunani yang telah

di-Arabkan. Asal katanya adalah theosofie yang bererti ilmu

ketuhanan. Kemudian di-Arabkan dan diucapkan dengan lidah Arab

sehingga berubah menjadi tasauf (tasawuf), yang biasa disebut

Sophos (kebijaksanaan). Kata Sophos, berasal dari bahasa Yunani

yang berarti hikmah atau bijaksana. Kata ini sering dinilai dari asal

kata tasawuf. Karena salah satu sifat para sufi adalah bijaksana atau

kebijaksanaan.36

Dengan demikian tasawuf dari segi Linguistik (kebahasaan)

ini dapat dipahami bahwa tasawuf adalah sebagai sikap mental yang

selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela

berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana untuk

memcapai hakekat akhlak yang mulia.37

Adapun Secara terminologi, pengertian tasawuf sangat

variatif, akan tetapi secara garuis besarnya (inti tasawuf)

sebagaimana penjelasan Prof. Dr. Harun Nasution tasawuf adalah

kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung antara mansuia

dengan Tuhannya. Tasawuf juga menekankan pada kesadaran fitrah

yang dapat menggerakkan jiwa kepada kegiatan-kegiatan tertentu

untuk memperoleh sesuatu perasaan bersatu atau hubungan dengan

wujud Tuhan yang Mutlak (al-Haq). Sebagaimana yang dikemukakan

oleh Badar bin Al-Husain, “ sufi adalah orang-orang yang telah

memilih Al-Haq (Allah) semata-mata untuk dirinya”.38

36 Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Sumatra:

IAIN Sumatra Utara, 1982), hlm. 2. 37 Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), Tasauf Modern, (Jakarta: Pustaka

Panjimas, 1999) hlm. 1 38 Ibid., hlm. 81.

Page 16: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

30

Makna lain dari tasawuf yaitu sebagaimana yang dikemukan

oleh M. Amin Al-Kurdy yang dilangsir oleh A. Mustofa, “tasawuf

adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui hal ihwal

kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari (sifat-sifat)

yang buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji, cara melakukan

suluk, melangkah menuju (keridhaan) Allah dan meninggalkan

larangan-Nya menuju pada perintah-Nya39 dan Abu Muhammad Al-

Jariri yang dilangsir Amin Syukur, mengartikan tasawuf dengan

“masuk ke dalam akhlak yang mulia dan keluar dari semua akhlak

yang hina.40

Tasawuf sebagaimana disebutkan dalam artinya di atas bahwa

ajaran tasawuf itu bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung

dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang

berada di hadirat Tuhan, dan intisari dari sufisme itu adalah

kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia

dengan Tuhal.l dengarl cara mengasingkan diri dan berkontemplasi.

Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk

ittihat, hulul, wahdatul wujud, atau menyatu dengan Tuhan.

Tasawuf sebagai aspek esoterik Islam, secara epistemologik

dalam memperoleh kebenaran dan ilmu memakai intuisi, atau dalam

istilah teknisnya memakai dzauq dan wujdan. Apabila intuisi

tersebut diartikan sebagai sumber kebenaran/ilmu, terdiri dari

pertimbangan tanpa mengambil jalan berfikir logis berdasarkan fakta

yang timbul dari sumber yang tidak dikenal atau belum diselidiki,

maka dalam tasawuf perolehan intuisi itu tidak terjadi serta merta,

tetapi melalui proses panjang dengan apa yang disebut mujahadah

dan riyadlah serta tafakur dan tadabbur. Yakni suatu upaya yang

pencerahan hati nurani agar bisa menangkap cahaya kebenaran. Dan

setelah memperolehnya dirumuskan dalam kerangka berfikir

39 A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm. 202-203. 40 Amin Syukur, dan Masyaruddin , MA, Intelektualisme Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2002) hlm. 15.

Page 17: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

31

sistematis, sebagaimana tersebut dalam Tasawuf Falsafi dan Mistik

Falsafi.

Tasawuf Falsafi ialah suatu model tasawuf yang proses dan

produknya memadukan antara visi tasawuf dan filsafat. Di satu pihak

memakai term-term filsafat, namun di pihak lain memakai metode

pendekatan dzauq/wujdan atau intuisi. Sedang mistik filsafat (istilah

ini sekedar membedakan dengan yang pertama) ialah suatu model

pendekatan dengan Yang Hak dengan sarana rasio. Tasawuf ini tidak

bersifat spiritual semata yang hanya berlandaskan pada sikap

memerangi jasmani dan mensucikan jiwa, tetapi bersifat teoritis yang

berdasarkan pada studi dan analisis. Kesucian jiwa tidak akan

sempurna hanya melalui amalan jasmaniah, tetapi secara primer dan

esensial harus melalui akal dan pemikiran tertentu seseorang bisa

mencapai Yang Hak.

Secara konvensional, tasawuf telah dibakukan dalam jenjang-

jenjang spiritual berupa maqamat dan ahwal, sebagai fase-fase

menuju kesempurnaan spritual yang harus dilalui dengan tahapan

takhalli, tahalli, dan tajalli.41

Sebagai ilmu keIslaman yang berdiri sendiri, dalam aspek

epistemologis tasawuf menggunakan intuisi/wujdan/ dzauq itu

dengan qalb sebagai sarananya, bukan indera dan akal. Dalam

tasawuf, qalb diumpamakan sebagai cermin, ia bisa menangkap

gambar di depannya apabila ia terbebas dari hijab. Ini perlu

diupayakan melalui rnujahadah dan riyadlah. mujahadah dan

riyadlah ini tidak keluar dari bingkai yang telah ditentukan tadi

sebagai proses (takhalli dan tahalli) untuk mencapai tujuan tasawuf,

yakni ma'rifatullah (Tajalli).

Meskipun pengetahuan intuitif tasawuf dikatakan tidak

menggunakan rasio, tetapi pada hakikatnya antara keduanya

mempunyai hubungan interaktif. Pengetahuan intuitif sama dengan

41 Abuddin Nata, op. cit., hlm.153.

Page 18: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

32

pengetahuan imajinatif. Perbedaan antara keduanya hanya dalam

metodologi dan sistematikanya, sebab keduanya ikut membentuk

bangunan pengetahuan dan filsafat. Pengetahuan intuitif dapat

membuka pemahaman tanpa ada suatu metodik yang terarah, dan

sistematika yang runtut sebagaimana lazimnya dalam pengetahuan

rasional. Sedang akal dalam menangkap pengetahuan melalui

pemahaman yang sistematis dan metodis.

Menurut Iqbal misalnya, akal dan intuisi berasal dari akar

yang sama dan saling mengisi, yang pertama menangkap kebenaran

secara sepotong-potong, sedang yang kedua menangkapnya secara

utuh.42 Menurut Bergson, obyek akal pada yang rasional, sedang

intuisi terhadap yang meta/ supra-rasional. Dengan kata lain intuisi

adalah jenis akal yang lebih tinggi daripada akal biasa, atau yang oleh

Javad Nurbakh disebut dengan Akal Kulli (Universal).43 Oleh karena

itu Iqbal menyatakan bahwa pengetahuan intuitif lebih tinggi

daripada pengetahuan rasional dan empirikal, karena akal dan indera

adalah instrumen yang lebih kompeten untuk menghadapi obyek

materi serta hubungan kuantitatif, atau materi. Intuisi dapat menuntun

pada kehidupan (immateri). Lebih tegas lagi dikatakan oleh Bergson

bahwa sebenarnya intuisi bersifat intelektual dan sekaligus supra-

intelektual.

Bukti adanya hubungan interaktif antara keduanya ialah

bahwa ilham dan illuminasi secara psikologis timbul dari akal ketika

melakukan aktifitas secara intens. Ketika seseorang berfikir dan

belum menemukan pemecahannya, maka dia mengendapkannya

dalam beberapa waktu (inkubasi). Pada saat inilah pikiran dapat

dijernihkan dan selanjutnya akan terjadi ide-ide yang seakan-akan

42 Danusiri, Epistemologi Tasawuf Iqbal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 68 43 Javad Nurbakhsy, Psikologi Sufi, (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2001) hlm. 5.

Page 19: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

33

datang secara tiba-tiba, tanpa disadari. Namun sesungguhnya melalui

proses berfikir silogistik, dengan suatu proses yang samar-samar.44

Dengan kata lain, pengetahuan intuitif itu adalah hasil

penumpukan pengalaman dan pemikiran seseorang. Intuisi yang

benar adalah proses pemendekan terhadap pengetahuan yang

seharusnya diungkap oleh indra dan pemikiran relektif. Pengetahuan

intuitif adalah hasil kerja silogistik di bawah sadar. Karena dalam

suatu bidang, akan lebih mudah memperoleh intuisi yang baik dalam

bidangnya masing-masing.

Apabila analisis psikologis tersebut dikaitkan dengan tasawuf,

maka masa inkubasi itu sama dengan kondisi terbebaskan pikiran dan

perasaan seseorang dari materi, sehingga dia bisa berkonsentrasikan

terhadap suatu persoalan, ketika itu dia akan mendapat pengetahuan

intuitif atau ma'rifatullah. Materi dan dosa itulah yang disebut

penghalang (hijab) qalb dari persoalan metafisis. Dalam tasawuf

seseorang akan memperoleh pengetahuan sejenis tersebut apabila

telah mencapai maqam tertentu, dan disiplin yang tepat, serta

terkonsentrasikan dalam bidang tertentu. Di sisi lain dalam teori

emanasi sufistik, seseorang bisa mencapai ilmu tertentu atau al-

ma'rifah setelah dia menghilangkan kegandaan sehingga terjadi

ittihad

Dalam filsafat Islam pengetahuan dalam tasawuf masuk pada

epistemologi Irfani, kata irfani berasal dari kata dasar bahasa Arab

'arafa semacam dengan makrifat, berarti pengetahuan. Tetapi ia

berbeda dengan ilmu (‘ilm). Irfan atau makrifat berkaitan dengan

pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman

(experience), sedang ilmu menunjuk pada pengetahuan yang diper-

oleh lewat transformasi (naql) atau rasionalitas (aql). Karena itu,

secara terminologis, irfan bisa diartikan sebagai pengungkapan atas

pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan

44 Amin Syukur, op. cit., hlm. 204.

Page 20: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

34

kepada hamba-Nya (kasyf) setelah adanya olah ruhani (riyadlah)

yang dilakukan atas dasar cinta (love). Kebalikan dari epistemologi

bayani, sasaran bidik irfani adalah aspek esoterik syariat, apa yang

ada dibalik teks.45

Pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks

atau keruntutan logika, tetapi dengan olah ruhani, di mana dengan

kesucian hati, Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung

kepadanya. Dari situ kemudian dikonsep atau masuk dalam pikiran

sebelum dikemulcakan kepada orang lain. Dengan demikian,

sebagaimana disampaikan Suhrawardi, secara metodologis,

pengetahuan ruhani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan, (1)

persiapan, (2) penerimaan, (3) pengungkapan, baik dengan lisan atau

tulisan.46

Tahap pertavna, persiapan. Untuk bisa menerima limpahan

pengetahuan (khasyf, seseorang yang biasanya disebut salik

(penempuh jalan spiritual) harus menyelesaikan jenjang-jenjang

kehidupan spiritual. Para tokoh berbeda pendapat tentang jumlah

jenjang yang harus dilalui. Namun, setidaknya, ada tujuh tahapan

yang harus dijalani, yang semua ini berangkat dari tingkatan yang

paling dasar menuju pada tingkatan puncak di mana saat itu qalbu

(hati) telah menjadi netral dan jernih sehingga siap menerima

limpahan pengetahuan. (1) Taubat, meninggalkan segala perbuatan

yang kurang baik disertai penyesalan yang mendalam untuk

kemudian menggantinya dengan perbuatan-perbuatan baru yang

terpuji. Perilaku taubat ini sendiri terdiri atas beberapa tingkatan.

Pertama-tama, taubat dari perbuatan-perbuatan dosa dan makanan

haram, kemudian taubat dari ghaflah (lalai mengingat Tuhan).

Kedua, tahap penerimaan. Jika telah mencapai tingkat tertentu

dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan

45 Khudori Soleh, op. cit., hlm. 194 46 Ibid., hlm. 204

Page 21: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

35

langsung dari Tuhan secara illuminatif atau noetic. Dalam kajian

filsafat Mehdi Yazdi, pada tahap ini, seseorang akan mendapatkan

realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf)47, sehingga

dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri

(musyahadah)48 sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas

kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, karena bukan objek

eksternal, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan

eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah

kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya

(ittihad. Sedemikian rupa, sehingga dalam perspektif epistemologis,

pengetahuan irfani (tasawuf) tidak diperoleh melalui representasi atau

data-data indera apa pun, bahkan objek eksternal sama sekali tidak

berfungsi dalam pembentukan gagasan umum pengetahuan ini.

Pengetahuan ini justru terbentuk melalui univikasi eksistensial yang oleh

Mehdi Yazdi disebut `ilmu huduri atau pengetahuan swaobjek (self-

object knowledge), atau jika dalam teori permainan bahasa (language

game) Wittgenstein, pengetahuan irfani ini tidak lain adalah bahasa

wujud itu sendiri.49

Ketiga pengungkapan. Ini merupakan tahap terakhir dari

proses pencapaian pengetahuan irfani, di mana pengalaman mistik

diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan

atau tulisan. Namun demikian, karena pengetahuan irfani bukan

masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan

kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri

dalam Tuhan, sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak

semua pengalaman ini bisa diungkapkan.50

Sesuai dengan sasaran bidik irfan yang esoterik, isu sentral

irfan adalah zahir & batin, bukan sebagai konsep yang berlawanan

47 Dalam bahasa sufisme kasyf adalah kesadaran hati akan sifat-sifat kebenaran. 48 Dalam bahasa sufisme Musyahadah penyaksian hati atas realitas kebenaran. 49 Mehdi Hairi Yazdi, op. cit.,hlm. 73-74 50 Ibid., hlm. 245-248

Page 22: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

36

tetapi sebagai pasangan. Menurut Muhasibi (w. 857 M), al-Ghazali

(w. 1111 M), Ibn Arabi (w 1240 M), juga para sufis yang lain, teks

keagamaan (al-Qur’an dan hadits) tidak hanya mengandung apa yang

tersurat (zahir ) tetapi juga apa yang tersirat (batin). Aspek zahir teks

adalah bacaannya (tilawah) sedang aspek batinnya adalah takwilnya.

Jika dianalogikan dengan bayani, konsep zahir-batin ini tidak berbeda

dengan lafat-makna. Bedanya, dalam epistemologi bayani, atau

epistemologi barat, dalam epistemologi barat atau dalam

epistemologi bayani seseorang berangkat dari lafat menuju makna;

sedang dalam tasawuf atau irfani, seseorang justru berangkat dari

makna menuju lafat, dari batin menuju zahir, atau dalam bahasa al-

Ghazali, makna sebagai ashl, sedang lafat mengikuti makna (sebagai

furu’).

Pendapat zahir-batin di atas didasarkan, pertama, pada al-

Qur'an, QS. Luqman, 20; al-An'am, 120 dan khususnya QS. al-

Hadid, 3, yang sekaligus digunakan sebagai dasar pijakan

metafisisnya. Kedua, hadits Rasul, “Tidak ada satu ayat pun dalam

al-Qur'an kecuali di sana mengandung aspek zahir dan batin, dan

setiap huruf mempunyai had (batas) dan. Matla’ (tempat terbit).

Ketiga, pernyataan Imam Ali ibn Abi Thalib (w. 660 M). Menurut

Ali ra, al-Qur’an mengandung empat dimensi, zahir, batin, had dan

matla'. Aspek zahir al-Qur'an adalah tilawah, aspek batinnya adalah

pemahaman, aspek had-nya ketentuan halal dan haram, dan

matla’nya adalah apa yang dikehendaki Tuhan atas hamba-Nya.

Persoalannya, bagaimana makna atau dimensi batin yang

diperoleh dari kasyf tersebut diungkapkan Menurut Jabiri, makna

batin ini, pertama, diungkapkan dengan cara apa yang disebut

sebagai I'tibar atau qiyas irfani. Yakni analogi makna batin yang

ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada dalam teks.

Dengan demikian, qiyas irfani ini tidak sama dengan qiyas bayani

atau silogisme. Qiyas irfani berusaha menyesuaikan konsep yang

Page 23: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

37

telah ada atau pengetahuan yang diperoleh lewat kasyf dengan teks,

qiyas al-ghaib 'ala al-syahid. Dengan kata lain, seperti dikatakan

al-Ghazali di atas, zahir teks dijadikan furu' (cabang) sedang konsep

atau pengetahuan kasyf sebagai ashl (pokok). Karena itu, qiyas irfani

atau I'tibar tidak memerlukan persyaratan illat atau pertalian antara

lafat dan makna (qarinah lafdziyah 'an ma'nawiyah) sebagaimana

yang ada dalam qiyas bayani, tetapi hanya berpedoman pada isyarat

(petunjuk batin).

Pengetahuan dalam tasawuf biasanya diperoleh melalui apa

yang disebut dengan pengetahuan kasyf, yaitu pengetahuan yang

diungkapkan lewat apa yang disebut dengan syathahiat. Namun,

berbeda dengan qiyas irfani yang dijelaskan secara sadar dan

dikaitkan dengan teks, syathahat ini sama sekali tidak mengikuti

aturan-aturan tersebut. Syathahat lebih merupakan ungkapan lisan

tentang perasaan (al-wijdan) karena limpahan pengetahuan langsung

dari sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan, seperti ungkapan

“Maha Besar Aku” dari Abu Yazid Bustami (w 877 M), atau “Ana al-

Haqq” (Aku adalah Tuhan) dari al-Hallaj (w. 913 M). Ungkapan-

ungkapan seperti itu keluar saat seseorang mengalami suatu

pengalaman intuitif yang sangat mendalam, sehingga sering tidak

sesuai dengan kaidah teologis maupun epistemologis tertentu;

sehingga, ia sering dihujat dan dinilai menyimpang dari ajaran Islam

yang baku. Meski demikian, secara umum, syathahat sebenarnya

diterima di kalangan sufisme, meskipun kalangan sufisme sunni ada

yang membatasi diri pada aturan syari’at, yakni syarat bahwa

syathahat tersebut harus ditakwilkan, ungkapannya harus terlebih

dahulu dikembalikan pada makna zahir teks. Artinya, syathahat tidak

boleh diungkapkan secara “liar” dan berseberangan dengan ketentuan

syari’at yang ada. Jadi ajaran atau pengetahuan yang

dikumandangkan para sufi adalah merupakan hasil pemaknaan dan

Page 24: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

38

pemahaman mereka atas realitas yang ditangkap saat kasyf atau saat

mereka mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat mendalam.

Pengetahuan tasawuf (irfani) itu berbeda dengan pengetahuan

pada umumnya yang digali dari objek eksternal (korespondesi).

Pengetahuan tasawuf digali dari diri sendiri, tepatnya dari realitas

kesadaran diri yang dalam bahasa tasawuf disebut kasyf. Objeknya

tidak lain bersifat immaterial dan essensial, bersifat swaobjektif (self

object-knowledge), sehingga apa yang disebut sebagai objectivitas

objek tidak lain bersifat analitis dan terwujudkan dalam tindakan

mengetahui itu sendiri. Namun, di sisi lain, dari sifatnya yang neotic

dan objektif dalam hakekatnya, sebagaimana dikatakan Mehdi Yazdi,

pengetahuan tasawuf juga bisa dikategorikan dalam kelompok

korespondesi, meski tidak memiliki objelc transitif yang aksiden,

sehingga tidak ada alasan untuk melakukan semacam

transubjektivitas, apalagi mengingkari pengertian objektivitas

pengetahuan tasawuf semata karena tidak memiliki objek luar.51

Metode yang dilakukan untuk menggapai pengetahuan

tersebut adalah lewat tahapan-tahapan laku spiritual (riydlah), yang

di mulai dari taubat sebagai pensucian diri sampai tawakkal, ridla dan

seterusnya. Pada puncaknya, yang bersangkutan akan memperoleh

kesadaran diri dan kesadaran akan hal ghaib lewat noetic atau

pencerahan atau emanasi. Proses pencerahan dan emanasi inilah yang

menuntun seseorang untuk menemui dan mampu menjelaskan

rahasia-rahasia realitas.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengetahuan intuitif/

kasyf dalam tasawuf itu termasuk pengetahuan rasional. Keragu-

raguan epistemologi Barat terhadap pengetahuan intuitif hanya

karena metode ini tidak bisa diuji coba sebagaimana yang lain.

Namun keragu-raguannya itu bisa dieliminir dengan tiga hal sebagai

kriteria untuk mengujinya, yakni moralitas subyek, akal sehat sebagai

51 Khudori Soleh, op. cit., hlm. 213.

Page 25: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

39

alat melihat, dan keahlian subyek secara tepat. Memang pengetahuan

ini tidak memiliki rumus yang pasti, tetapi secara realitas ada.

Adanya hanya bisa dirasakan oleh yang bersangkutan dan sulit untuk

diungkapkan dalam bentuk kata dan ucapan. Sehingga tidak tepat jika

dikatakan bahwa pengetahuan tasawuf adalah hasil abstraksi atau

kontemplasi belaka. Dan pengetahuan yang dihasilkan dianggap tidak

masuk akal.

B. TERM-TERM YANG LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG MERUJUK PADA

EPISTEMOLOGI

a) Term-Term yang Langsung Merujuk Pada Epistemologi

Akal (ratio) adalah merupakan salah satu dari perangkat anugerah

(hidayah) yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. petunjuk akal yang

dikhususkan kepada manusia itu mempunyai makna bahwa manusia yang

diberikan tugas untuk memikul amanat sebagai pengatur kehidupan di

muka bumi ini. Dengan kemampuan akalnya manusia mampu

menemukan dan mencipta hal-hal baru yang dapat dimanfaatkan bagi

kemakmuran dan kemaslahatan manusia itu sendiri. Dengan kemampuan

akalnya pula manusia mampu mengubah dan membentuk alam (nature)

menjadi kebudayaan (kultur), membuka dan menciptakan sarana

penghidupan yang bermanfaat untuk eksistensinya. Yakni manusia

dengan kecerdasan akalnya manusia mampu merubah keberadaannya

yang asal mulanya terbelakang menjadi maju dan modern.52

Hal ini menunjukkan bahwa akal (rasio), nalar yang dimiliki

manusia merupakan anugerah dari Tuhan yang tidak dimiliki oleh

makhluk lain. Di dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat dalam bentuk

yang bervariasi baik langsung maupun tidak langsung, menyuruh manusia

untuk menggunakan akalnya dengan baik dan benar, yakni untuk

memikirkan ciptaan dan mengingat (berdzikir) Tuhan.

52 Mahmud Ayub, Al-Qur’an dan Para Penafsirnya, terj, Syu’bah Asa, (Jakarta: Pustaka

Firdaus, 1992), hlm. 98.

Page 26: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

40

Akal yang dimiliki manusia merupakan sarana untuk mengetahui

dan memperoleh suatu pengetahuan (al-ilm). Hal ini bisa dilakukan

melalui daya pikir (nalarnya) terhadap apa yang diketahui, untuk

dikembangkan menjadi suatu pengetahuan baru, maupun yang belum

diketahuinya.

Dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang secara langsung bisa

merujuk pada epistemologi, yang dapat dijadikan dalil argumentative

dalam pengetahuan Islam. Adapun ayat-ayat (term-term) yang merujuk

pada hal tersebut yaitu;

1. Tafakkarun: Yang berarti berfikir. Dalam kitab lisan al-Arab kata ini

diambil dari kata al-fikr yang bermakna اعمل اخلاطر فاشيئ (melakukan

sesuatu dengan keinginan hati), al-fikr juga bisa bermakna sibawaih

(pandangan atau angan-angan), makna lain al-Jauhari (berfikir dan

berangan-angan), dan al-Khajjah (kepentingan). Jadi maksud al-fikr

disini adalah orang yang menggunakan pikirannya untuk memprediksi

terhadap apa yang belum diketahui. 53

Sementara itu berfikir adalah tingkah laku yang menggunakan

ide, yakni suatu proses simbolis dalam memikirkan suatu hal.54 Dalam

pengertian yang lain berfikir adalah merupakan aktivitas psikis yang

itensional, dan terjadi apabila seseorang menjumpai suatu persoalan

(problem) yang harus dipecahkan, seperti berfikir tentang kejadian

alam, berpikir untuk membuat pesawat terbang, dan lain sebagainya.

Dengan demikian bahwa prose dalam berfikir itu seseorang akan

menghubungkan pengertian satu dengan pengertian lainya dalam

rangka memperoleh pemecahan (jalan keluar) atas apa (problem)

yang dihadapi. Dalam proses berfikir seseorang akan memunculkan

suatu pertanyaan dalam dirinya yaitu; mengapa, untuk apa,

bagaimana, di mana, kenapa dan lain sebagainya. Para ahli,

53 Imam al’Alamah Abil Fadhal Jamaludin Muhammad bin Mukarom Ibnu Mandhur Ila

Fariqil Misri, Lisanul ‘arabi, (Beirud: Dar Shodr, t.th), hlm. 64-65. 54 Ahmad Fauzi, Psikologi Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm. 47.

Page 27: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

41

mengemukakan ada tiga fungsi dari berfikir, yakni membentuk

pengertian, membentuk pendapat (opini) dan membentuk

kesimpulan.55

Membentuk pengertian dapat dipahami yaitu sebagai suatu

perbuatan dalam proses berfikir (dengan memanfaatkan isi dan

ingatan) bersifat riil, abstrak dan umum serta mengandung sifat

hakikat sesuatu. Sementara itu membentuk pendapat adalah sebagai

bentuk hasil pekerjaan pikir dalam meletakkan hubungan antara

tanggapan yang satu dengan lainnya, yakni antara pengertian yang

satu dengan pengertian lainnya dan dinyatakan dalam bentuk bahasa

(kalimat). Dan membentuk kesimpulan adalah sebagai bentuk hasil

dari proses berpikir dan pendapat-pendapat lain yang hasilnya dapat

dipahami dan dimengerti atau sebagai bentuk jawaban atas apa yang

sedang dipikirkan, yakni jawaban atas problem yang belum

terpecahkan.56

Dengan demikian berpikir adalah suatu proses untuk

memperoleh pengetahuan yang belum diketahui jawabannya atau

sebagai bentuk proses pemecahan masalah yang sedang dihadapi.

Berpikir merupakan kunci pokok dalam menjawab segala

pengetahuan yang belum jelas atau sebagai prose untuk memperoleh

pengetahuan baru. Dengan berpikir seorang akan menemukan

jawaban atas apa yang belum diketahuinya.

Dalam al- Qur'an kata yang mengandung pengertian perintah

untuk menggunakan pikiran (berpikir), yakni yang senada dengan

kata tafakkarun tersebut sebanyak l5 kali, yaitu terdapat dalam Q.S.:

13:3. 16:11, 69. 30:21. 39: 42. 45:13. 59:21. 34:46. 2:219, 266.

7:184. 30:8. 7:176. 10:24. 16:44. 57

55 Patty. F, dkk, Pengantar Psikologi Umum, (Surabaya: Penerbit Usaha Nasional, 1982),

hlm. 81. 56 Ibid. 82-83. 57 Departemen Agama, al-Qur'an, Juz 1 s/d 30.

Page 28: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

42

Ayat-ayat di atas, 7 ayat menerangkan tentang adanya

kekuasaan Allah yaitu adanya bumi, makhluk yang berada di antara

langit dan bumi, hujan yang menumbuhkan tanaman, lebah yang

menghasilkan madu dan lain sebagainya. Sedangkan ayat yang lain

berisi perintah untuk berfikir tentang larangan dan perintah Allah,

kebenaran nabi Muhammad, judi dan khamer yang lebih banyak dosa

dart pada manfaatnya dan lain sebagainya.

Misal, ayat-ayat yang mengandung makna al-fikr sebagaimana

keterangan diatas dapat dicermati dalam Q.S: al-Hasyr: 21

ن على جبل لرأيته خاشعا متصدعا من خشية الله لو أنزلنا هذا القرآ

وتلك الأمثال نضربها للناس لعلهم يتفكرون

"Kalau sekiranya Kami menurunkan al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir. (QS. Al-Hasyr: 21).58

Pada ayat lain yang senada dengan ayat di atas, menyuruh

manusia untuk menggunakan daya fikirnya yaitu sebagaimana firman

Allah:

ومن آياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم

. في ذلك لآيات لقوم يتفكرونمودة ورحمة إن

Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Rum: 21).59

58 Departemen Agama RI, Al-Qur’an, (Semarang: CV ALWAAH, t. th, hlm. 919. 59Ibid., hlm. 644.

Page 29: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

43

M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata tafakkarun

mengandung pengertian untuk mengfungsikal akalnya untuk

memikirkan dan menemukan jawaban atas apa yang belum diketahui,

serta merenungkan segala kekuasaan Allah agar manusia mau

beriman. 60

Sementara itu pengertian lain mengenai fungsi akal dalam al-

Qur'an yang menggunakan kata tafakkarun sebagaimana tercermin

pada sebagian ayat-ayat di atas, yaitu (a) Untuk berfikir tentang

kekuasaan Allah, (b) Untuk berfikir tentang: perintah dan larangan

Allah, kebenaran nabi Muhammad, dan lain sebagainya. Jadi kata

tafakkarun dalam konteks epistemologis merupakan satu bentuk

sumber epistemologi, secara langsung merujuk pada fungsi akal.

2. Tadabbarun: yaitu yang mengandung arti “merenungkan”. Seperti

dalam surat dalam surat Shad: 29, QS. Muhammad: 24. Disamping itu

ayat tersebut mengandung perintah untuk berfikir tentang kebenaran

al-Qur’an, dengan memperhatikannya maka akan mendapat

pelajaran dari al- Qur’an tersebut. 61

Dalam kamus Bahasa Arab (al-Munawwir) kata tadabbarun itu

berasal dari kata dabara yang mempunyai makna تدبر االمر

memikirkan, mempertimbangkan, dan menelaah atas segala sesuatu.62

Merenung dalam filsafat merupakan salah metode untuk

menemukan pengetahuan. Jadi secara epistemologis, kata tadabbarun

yang terdapat dalam ayat al-Qur’an merupakan bagian dari

epistemologi. Dan kata inilah menurut al-Qur’an sebagai bentukan

dari fungsi akal yang merupakan sarana untuk memperoleh ilmu.

Sebagai contoh penyebutan kata tadabbarun dalam al-Qur'an

seperti firman Allah sebagai berikut:

60M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an,

(Jakarta: Lentera Hati, 2000), volume.11, hlm. 349-350 dan 358. 61Achmad Mubarok, Jiwa dalam al-Qur'an (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 120. 62A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir; Arab-Indonesia, edisi II.

Page 30: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

44

ا يتدبرون القرآن أم على قلوب أقفالهاأفل

"Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci? (QS. Muhammad: 24)63

ربدلي كاربم كإلي اهلنأنز اباتهكتوا آي

“Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat”. (QS. Shad: 29) 64

Dalam tafsir al-Qur'anul Majid, kata tadabbarun di jelaskan

bahwa manusia diserukan untuk menyadari dan serta berfikir, kalau

segala apa yang ada di bumi atau segala ilmu pengetahuan itu berasal

dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Hal ini sebagaimana

keterangan Hasbi AshShiddiqi:

“Allah sendiri yang mentadbirkan segala urusan dunia, menyusun segala urusannya dan segala keadaan yang terjadi di dunia itu. Segala yang tersebut sesuai dengan ketetapan-Nya, berlaku menuurt kehendak-Nya. Pentadbiran segala urusan itu dimulai dari langit hingga sampai ke bumi. Kemudian segala urusan dunia itu naik kembali kepada Allah”. 65

Mengenai kata tadabbarun juga bisa di telah dalam surat as-

Sajadah ayat 5. Allah berfirman:

ألف هارم كان مقدوه في يإلي جرعي ض ثماء إلى الأرمالس من رالأم ربدي

سنة مما تعدون

“Dia menetapkan segala urusan dari langit ke bumi, kemudian naik urusan itu kepada-Nya pada suatu hari yang ukurannya 1000 tahun dari tahun-tahun yang kamu hitungkan ini.” (QS. As-Sajadah: 5). 66

63 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 833. 64 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 736 65 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqi, Tafsir al-Qur'anul Majid, Jilid 4,

(Semarang: Pustaka RizkiPutra, t.th), hlm. 3131. 66 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 660.

Page 31: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

45

Adapun fungsi akal dalam al-Qur'an yang menggunakan kata

tadabbarun yaitu: (a). Untuk berfikir dan merenungkan tentang

kebenaran al- Qur’an. (b). Untuk mengambil pelajaran dart apa

Yang ada dalam al- Qur'an. Dengan manusia dituntut menggunakan

akalnya untuk merenung atas apa yang diketahui dan atas apa yang

belum diketahui (makna yang terkandung dalam suatu obyek) yang

belum bisa dipahami. 67

3. Tadakkarun: yang berarti “mengingat” (berfikir) di dalam al-Qur’an

kata ini disebut sebanyak 16 kali yaitu QS: 19:67. 6:80. 32A. 7:57.

10:3. 16:90. 24:1,27. 2:221. 14:25. 39:27. 44:58. 6:126. T:26,130.

16:13. Ayat-ayat tersebut diterangkan bahwa orang yang ingat

(berfikir). Mengingat merupakan salah satu metode untuk

menemukan pengetahuan, karena dengan mengingat apa yang telah

diketahui dengan didukung data-data yang ada, maka kebenaran yang

diperoleh tidak akan menimbulkan suatu keraguan. Dan mengingat

adalah merupakan salah satu fungsi akal. Dan karena ingatan yang

lemah akan menyebabkan pengetahuan yang diperoleh akan

diragukan kebenarannya.

Ayat yang menjelas tentang kata ini bisa dicermati, seperti

dalam firman Allah QS Maryam ayat 67

أولا يذكر الإنسان أنا خلقناه من قبل ولم يك شيئا

"Dan tidakkah manusia itu memikirkan bahwa sesungguhnya kami telah menciptakannya dahulu, sedang ia tidak ada sama sekali.(QS. Maryam: 67). 68

Uraian di atas menerangkan, bahwa fungsi akal dalam al-

Qur’an yang menggunakan kata Tadzakkara yaitu: (a). Untuk

memahami tentang asal usul manusia. (b). Untuk memahami

67 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqi, op.cit.,hlm.3131-3132. 68 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 470.

Page 32: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

46

kekuasaan Allah. Disamping itu dalam konteks ini akal diberi

kebebasan untuk memahami atas apa yang diragukan, yakni untuk

menemukan pemahaman yang pada akhirnya timbullah satu keyakinan.

Dengan demikian kata tadzakkara yang merupakan fungsi akal, secara

epistemologis, menurut al-Qur’an merupakan sarana untuk memahami

pengalaman-pengalaman yang belum dapat dipecahkan maknanya.

Dengan mengingat seseorang akan dapat mengambil pelajaran dari apa

yang telah diketahuinya.

Dalam tafsir al-Maraghiy kata “tadakkarun” mengandung

pengertian berfikir, memikirkan, merenungkan, dan mengandaikan. Hal

ini sebagai penjelasan dalam surat ar-rum: 4. Dalam ayat terakhir

dijelaskan mengenai teguran pada orang yang tidak menggunakan akal

dan fikirannya, adapun penggalan ayat tersebut yaitu: 69.افال تتذكرو

Dalam Tafsir al- Mizan kata tadakkarun mengandung

pengertian “hikmah”, dan hikmah itu hanya terdapat pada orang yang

ingat, sedangkan orang yang ingat adalah orang yang berakal, maka

tidak akan ditemukan hikmah bagi orang yang tidak berakal. Orang

yang ingat adalah orang yang menghendaki perubahan menuju kearah

kebenaran.70

4. Ta’qilun : Yang berarti berakal. Kata ini berasal daru ‘aqala atau akal.

Kata akal dalam bahasa indonesia berasal dari bahsa Arab العقل (aL-

‘Aql) yang mengandung arti mengikat atau menahan, tapi secara umum

akal dipahami sebagai potensi yang disiapkan untuk menerima ilmu

pengetahuan القوةاملهية لقبول العلم . Dalam al-Qur'an kalimat al-‘aql

tidak pernah disebut dalam kata benda, tetapi selalu dalam bentuk kata

kerja, baik kata kerja f’iil madhi maupun fi’il muddhari’. Dalam al-

69 Ahmad Musthafa al-Marghiy, Tafsir al-Maraghiy, terj. Anwar Rsyid, (Semarang: Toha

Putra, 1898), hlm. 198. 70 Muhamamd Husein Thabata’i, Tafsir al-Mizan Darul al-Kuttub al-Islamiyah, (Beirut;

Dar Fikr, 1991), Juz 2, hlm. 400.

Page 33: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

47

Qur'an kata ini disebut sebanyak 49 kali yaitu satu kali dalam bentuk

kalimat 24.عقلوه kali dalam bentuk kalimat تعقلون, satu kali نعقل, satu

kali يعقلها dan 22 kali dalam bentuk kalimat 71يعقلون

Ayat-ayat yang tersebut di atas, 7-ayat diantaranya

menerangkan tentang orang yang tidak berakal yaitu orang yang: Bisu,

tuli dan buta akan seruan Allah, bila disuruh sembahyang mereka

mengejek c. Membuat kedustaan atas nama Allah, Tidak mau

mendengar dan memahami kebenaran e. Kalau berbicara dengan suara

yang keras ,Meminta syafa’at kepada selain Allah, dan dua ayat

menerangkan tentang orang yang berakal yaitu orang yang: Jika

bertamu mereka mengucapkan salam ,dan tidak berbuat keji.

Kemudian 22 ayat lainnya menerangkan tentang fungsi akal yaitu

untuk: Untuk memahami adanya kekuasaan Allah, untuk memahami

tentang hukum Allah, untuk memahami bahwa kehidupan dunia ini

tidaklah main-main, untuk memahami bahwa alam akhirat lebih utama

daripada alam dunia, untuk mengetahui bahwa syaitan itu

menyesatkan, untuk memahami proses kejadian manusia, untuk

mengambil pelajaran dari kisah yang ada dalam al-Qur’an. Menurut Lisan al ‘Arab kata al-‘aql juga berarti احلجر yang

artinya menahan, sehingga yang dimaksud dengan orang berakal العا

adalahقل , ذى حجر orang yang menahan dan mengekang hawa nafsu kata

tersebut. Jadi orang berakal adalah orang yang bisa mencegah atau

menahan. Kata ‘aqala juga mengandung pengertian konsen terhadap

suatu pikiran. Jadi ‘aqala adalah suatu potensi kejiwaan yang dimiliki

71 Lih. Al-Qur'an. Juz 1 s/d 30

Page 34: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

48

oleh manusia yang memiliki fungsi untuk berfikir, menalar dan

merenung. 72

Sebagai contoh penyebutan al-‘aql dalam al-Qur'an adalah

seperti dalam Surat an-Nahl ayat 12.

رخسم ومجالنو رالقمو سمالشو ارهالنل واللي لكم رخسره إن وبأم ات

في ذلك لآيات لقوم يعقلون

"Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan binatang-binatang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahaminya. (QS. An-Nahl: 12). 73

Dalam surat al-Baqarah 164.

إن في خلق السماوات واألرض واختالف الليل والنهار والفلك التي

في البحر بما ينفع الناس وما أنزل الله من السماء من ماء فأحيا تجري

به األرض بعد موتها وبث فيها من كل دآبة وتصريف الرياح والسحاب

عم يات لقوض آلياألراء ومالس نير بخسقلونالم

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, bahtera-bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan (suburkan) bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi: (pada semua itu) sungguh terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berakal”. (QS; Al-Baqarah: 164) 74

72 Imam al’Alamah Abil Fadhal Jamaludin Muhammad bin Mukarom Ibnu Mandhur Ila

Fariqil Misri, op.cit., hlm. 458-459. 73 Departemen Agama, op. cit., hlm. 403. 74 Ibid., hlm. 40.

Page 35: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

49

Dalam tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab, dijelaskan

bahwa ayat tersebut mengajak manusia untuk berfikir dan

merenungkan tentang banyak hal (ciptaan Allah). Hanya dengan

akal manusia dapat menemukan jawabannya. Dalam surat Al-

Baqarah: 171, menerangkan bahwa manusia dituntut untuk

menggunakan akalnya dalam memikirkan, menalar, mencermati,

dan melihat suatu hal. Sebagaimana firman Allah SWT ”Dan

perumpamaan orang-orang kafir adalah kafir seperti penggembala

yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan

dan seruan saja. Mereka itu bisu, tuli, dan buta, maka (oleh sebab

itu) mereka tidak berakal”. Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa

orang yang tidak menggunakan, telinganya untuk mendengar, indera

nya untuk melihat, akalnya untuk berfikir, sehingga mereka tidak

dapat mengerti tentang kekuasaan dan ciptaan Allah. Orang yang

tidak berakal di sini juga bermakna mereka tidak ada kendali yang

menghalanginya melakukan keburukan, kesalahan dan mengikuti

orang-orang yang dianggap benar namun sebenarnya dia salah, hal

ini karena mereka tidak mau menggunakan akalnya. 75 Berfungsi

tidaknya akal pada manusia diungkapkan al-Qur'an dengan kalimat tanya افال تعقلون atau yang sejenisnya.

Dari 49 ayat yang menyebut al-Aql kata ‘aql mengandung

pengertian mengerti, memahami dan berpikir. Akan tetapi al-Qur'an

tidak menjelaskan bagaimana proses berpikir, namun hanya tersirat

tentang begitu besarnya fungsi akal dalam memahami, berfikir,

menelaah, merenungkan dan lain sebagainya, terhadap segala

75 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an,

(Jakarta: Lentera Hati, 2000), hlm. 349-350 dan 358.

Page 36: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

50

pengetahuan yang ada di alam semesta ini, baik yang sudah

diketahui maupun yang belum diketahuinya.

B. Term-Term yang Tidak Langsung Merujuk Epistemologi

Dalam al-Qur’an secara implisit (tidak langsung) juga terdapat ayat-

ayat yang menerangkan tentang fungsi akal dengan menggunakan beberapa

istilah yaitu:

1. Ulul Albab

Ulul Albab berarti, “orang yang berfikir”. Dalam al- Qur'an

disebut sebanyak 11 kali yaitu Q. S.: 2:179. 28:29. 2:269. 3:7. 12:111.

13:19. 14:52. 38:43. 39:9, 8, 21.76 Dalam ayat-ayat tersebut dua di

antaranya menerangkan tentang orang yang berakal yaitu mereka

yang: Di beri hikmah oleh Allah dan Beribadah di waktu malam

dengan sujud dan berdiri, takut pada azab akhirat dan dapat

membedakan mana orang yang tahu dan orang yang tidak tahu.

Kemudian ayat yang lainnya berbicara tentang fungsi akal yaitu:

Untuk mengambil pelajaran dari adanya qishash, untuk mengambil

pelajaran dari adanya ayat muhkamat dan mutsyabihat, untuk

mengambil pelajaran dari kisah-kisah terdahulu, untuk memahami

kebenaran nabi Muhammad, untuk mengetahui adanya Tuhan, untuk

berfikir kritis dari apa yang dilihat dan didengar, untuk memahami

adanya kekuasaan Allah.

Ulul Albab juga mengandung makna orang yang mengetahui

hal ini sesuai dengan firman Allah “adakah sama orang-orang yang

mengetahui dengan mereka yang tidak mengetahui” (QS. Az-Zumar/

39: 9). M. Shihab memberikan pengertian, ulul albab itu menekankan

pada seseorang bahwa begitu besar nilai ilmu pengetahuan dan

kedudukan orang yang berilmu. Demikian juga ayat “inilah kamu

(wahai ahl al-kitab), kamu ini membantah tentang hal-hal yang kamau

76 Departemen Agama, al-Qur’an, Juz 1 s/d 30..

Page 37: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

51

ketahui, maka mengapalah membantah pula dalam hal-hal yang kalian

tidak ketahui” (QS. 3:66). Ini merupakan kritik pedas terhadap mereka

yang berbicara atau membantah suatu perkara tanpa adanya data

objektif lagi ilmiah yang berkaitan dengan perkara tersebut. Inilah

yang menjadikan inspirasi pra ilmuwan, karena dan penemuan dan

pemikiran ilmu pasti tidak akan pernah berkembang. 77

Berbagai macam ayat al-Qur’an yang menerangkan fungsi

akal, secara global dapat disimpulkan, fungsi akal dalam al- Qur’an

adalah:

a) Untuk memperhatikan adanya kekuasaan Allah, sehingga

menambah tebalnya iman seseorang

b) Untuk mengetahui adanya Tuhan

c) Untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah

d) Untuk mengambil pelajaran dari kisah-kisah terdahulu

e) Untuk berfikir kritis

f) Untuk menangkap kebenaran sejati yang dibawa nabi Muhammad

g) Untuk memahami ayat muhkamat dan mutasyabihat

h) Untuk berfikir segala sesuatu yang berguna untuk kebahagiaan

manusia

i) Untuk memahami dan memikirkan proses terciptanya manusia.

Dari beberapa gambaran fungsi akal di atas, al-Qur’an juga

memberikan gambaran, akal manusia itu mempunyai banyak

kelebihan. Sebab akal tersebut manusia mampu memecahkan segala

macam persoalan, dengan akal manusia menciptakan dan menemukan

berbagai macam ilmu pengetahuan. Dan kata ulul-albab ini

menunjukkan bahwa hanya orang yang berakal yang mampu

memikirkan segala macam ciptaan Tuhan, dan menciptakan kebaikan-

kebaikan di muka bumi.

Sebagai contoh ayat yang menerangkan ulul-Albab. Allah

berfirman:

77 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), hlm. 44.

Page 38: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

52

لئكأوو الله ماهده الذين لئكأو هنسون أحبعتل فيون القومعتسي الذين

بابهم أولوا الأل

"Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. (QS. Az-Zumar: 18)78

Asbabun nuzul ayat ini sebagaimana riwayat dari Jawahir

berikut sanadnya melalui Jabir Ibn `Abdullah, la telah menceritakan

bahwa ketika turun firman Allah surat al-Hijr ayat 44 tentang pintu

Neraka Jahannam yang berjumlah tujuh pintu, maka seorang sahabat

Anshor datang kepada Nabi dan berkata: Wahai Rasul, sesungguhya

aku mempunyai tujuh orang hamba sahaya dan sesungguhnya aku

telah memerdekakan untuk masing-masing pintu dari neraka

Jahannam itu, seorang hamba sahaya sebagai tebusan atas diriku.

Kemudian turunlah ayat sehubungan dengannya: yaitu Surat al- Zumar

ayat 17 dan 18. Pada ayat 17 dijelaskan hanya yang tidak menyembah

berhala (Thaghut) yang akan mendapat kabar gembira, dilanjutkan

dengan ayat 18 yaitu orang yang bisa memilah mana perkataan yang

baik dan mana yang buruk, semua itu dapat dilakukan hanya oleh

orang yang berakal saja.79

Dalam hal ini jelas al-Qur'an mendorong manusia untuk

menggunakan akal pikirannya serta menambah ilmu pengetahuan

sebisa mungkin. Dengan potensi akal yang dimiliki manusia, manusia

tertantang untuk menumbuh kembangkan segala ilmu yang

diketahuinya. Jadi kata ulul al-bab adalah seruan kepada manusia

untuk menggunakan akalnya dalam mengungkap segala ilmu. 80

78 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 915. 748. 79 Qomaruddin Saleh dan A. Dahlan, Asbabun Nuzul, (Bandung: CV. Diponegoro, 1988),

hlm. 18 dan hlm. 748. 80 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, op.cit., hlm. 44.

Page 39: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

53

2. Ulil Abshar

Ulil Abshar; mengandung arti “orang yang mempunyai

pandangan”. Kata ini di dalam al-Qur'an disebut sebanyak 3 kali yaitu

Q.S.: 3:13. 24:44. 59:2. Ketiga ayat tersebut menerangkan bahwa

fungsi akal adalah: (a) Untuk memahami adanya kekuasaan Allah (b)

Untuk memahami kisah-kisah orang terdahulu.

Dalam tafsir Al-Misbah kata ulil abshar mengandung

pengertian orang yang memiliki penglihatan. Begitu juga dalam tafsir

al-Maraghi juga ditafsirkan sebagai orang yang memiliki penglihatan

atau pandangan. ارصا أولي الأبوا يبرتفاع; jadikanlah pelajaran wahai

orang-orang yang mempunyai akal penglihatan yang terbuka dan akal

yang kuat, atas segala fenomena alam yang mungkin tidak masuk akal

(tidak dapat di nalar). Dengan bekal akal seseorang akan mampu

melihat dan memahami secara bijak dan penuh rasa syukur. Akal dalam

konteks abshar ini mengandung pengertian bahwa akal manusia itu

tidak hanya berfungsi berfikir, akan tetapi juga berfungsi untuk menalar

dan melogika terhadap segala fenomena atau kejadian-kejadian yang

dijumpai, serta memahaminya dan memandangnya secara wajar dan

penuh permikiran, pertimbangan, pemahaman dan pandangan yang baik

dan benar. 81

Ayat yang mengandung unsur al-Abshar yaitu seperti dalam

surat:

هو الذي أخرج الذين كفروا من أهل الكتاب من ديارهم لأول الحشر ما

من الله ماهالله فأت نم مهونصح مهتانعم مهوا أنظنوا وجرخأن ي منتظن

81 Ahmad Musthafa al-Marghiy, Tafsir al-Maraghiy, 28, terj. Anwar Rsyid, (Semarang:

Toha Putra, 1898), hlm. 54.

Page 40: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

54

ي ث لميح ديهمم بأيهوتيون بربخي بعالر في قلوبهم قذفوا وسبتح

وأيدي المؤمنني فاعتبروا يا أولي الأبصار

Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab82 dan kampung-kampung mereka pada saat pengusiran kali yang pertama. Kamu tiada menyangka, bahwa mereka akan keluar dan mereka pun yakin, bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka dari (siksaan) Allah: maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah mencampakkan ketakutan ke dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman. Maka ambillah kejadian, untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang memiliki pandangan. (QS. Al-Hasyr: 2) 83

Surat al-Nur ayat 44;

.ليل والنهار إن في ذلك لعبرة لأولي الأبصاريقلب الله ال

"Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan." (QS. Al-Nur: 44).84

Dari beberapa ayat di atas menunjukkan bahwa hanya orang-

orang yang memiliki akal yang mampu mengambil suatu sikap yang

dapat menyelamatkan dirinya. Jadi akal memiliki peran penting dalam

diri seseorang, sebab dengan akal tersebut seseorang mampu berfikir

hal yang terbaik untuk dirinya dan untuk orang lain. Dengan demikian

bagi orang yang mau menggunakan akalnya, dia akan mampu

mengarahkan dirinya, sehingga dia akan selamat dan keluar dari

berbagai macam kesulitan yang dihadapi. Secara epistemologis kata

ini merupakan bagian dari fungsi akal, yaitu untuk memahami sesuatu

yang belum diketahuinya.

82 Yang dimaksud dengan ahli kitab ialah orang-orang Yahudi bani nadhir, merekalah

yang mula-mula dikumpulkan untuk diusir keluar dari kota madinah. 83 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 915. 84 Departemen Agama Ri, op. cit., hlm. 552

Page 41: BAB II revisi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1...16 menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu

55

Dalam hal ini dapat kita fahami bahwa akal manusia dapat

mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, dan mampu

memilah-milah hal-hal yang seharusnya diambil untuk dilaksanakan

dan mana hal-hal yang seharusnya ditinggalkan, dengannya pula

manusia dapat menemukan kebenaran, walaupun kebenaran disini

masih bersifat relatif karena kebenaran yang mutlak hanyalah

kebenaran dari Allah semata, dengan akal juga, manusia mampu

membedakan mana ukuran baik yang relatif dan ukuran baik yang

pasti (qath’i).

Dewasa ini diakui oleh para ilmuwan, sejarah, filsafat, sains,

bahwa segala gejala yang dipelajari sebenarnya ditentukan oleh

pandangan terhadap realitas atau kebenaran. Hal ini mustahil dapat

tercapai apabila manusia tidak mau menggunakan akalnya untuk

memahami dan menggunakan inderanya untuk melihat segala bukti

(data empirik) yang telah diketahuinya. Dengan demikian “hanya

orang-orang yang mau menggunakan penglihatan dan akalnyalah yang

dapat menemukan ilmu dan mengembangkannya. 85

85 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, op. cit., hlm. 62.