skripsi - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/98/jtptiain-gdl... ·...

94
KEDUDUKAN AKAL DALAM AL-QUR’AN DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam Dalam Ilmu Pendidikan Agama Islam Oleh : ASEP AWALUDIN NIM. 3105360 FAKULTAS TARBIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM WALISONGO SEMARANG 2009

Upload: truongthu

Post on 10-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KEDUDUKAN AKAL DALAM AL-QUR’AN

DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PENGEMBANGAN

KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam

Dalam Ilmu Pendidikan Agama Islam

Oleh :

ASEP AWALUDIN

NIM. 3105360

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM WALISONGO

SEMARANG

2009

ii

ABSTRAK Asep Awaludin (NIM. 3105360). Kedudukan Akal dalam Al-Qur’an dan Implementasinya dalam Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. Skripsi. Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang. 2009.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kedudukan akal

dalam Al-Qur'an dan implementasinya dalam pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam.

Penelitian ini bersifat kualitatif, karena menekankan pada penelitian yang berupaya untuk menelusuri dan mencari teks yang berkaitan dengan akal dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam yang membahas pada masalah tersebut.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan sumber utama berupa ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan permasalahan yang menjadi pokok bahasan dalam skripsi ini. Selanjutnya untuk memberi penjelasan-penjelasan atas penafsiran-penafsiran tentang ayat-ayat Al-Qur'an tersebut penulis menggunakan studi pustaka (library research) atau suatu penelitian kepustakaan.

Data yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan metode tafsir tahlili. Metode tafsir tahlili menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.

Berdasarkan hasil kajian mendalam diperoleh kesimpulan bahwa dengan potensi yang dimiliki manusia, dengan akal-akalnya manusia dituntut selalu berpikir dan menggali semua yang ada di bumi. Manusia sebagai khalifah di bumi dengan akalnya harus bisa menjembatani amanah dengan berpikir yang jernih seperti yang diajarkan dalam Al-Qur'an. Dalam hal ini manusia dengan akalnya dituntut untuk bisa taat dan mengikat hawa nafsunya.

Keseimbangan antara pikiran [fikr] dan rasa [dzikr] ini menjadi penting karena secanggih apapun manusia tidak dapat menciptakan sesuatu. Keduanya adalah pilar peradaban yang tahan banting sejarah. Keduanya adalah perwujudan iman seorang muslim. Umat yang berpegang kepada kedua pilar ini disebut al Qur’an sebagai ulul albab. Mereka, disamping mampu mengintegrasikan kekuatan fikr dan dzikr, juga mampu pula mengembangkan kearifan yang menurut al Qur’an dinilai sebagai khairan katsiran. Perpaduan antara pikiran dan rasa ini merupakan prasyarat mutlak dalam membangun pendidikan Islam melalui pengembangan kurikulum PAI. Dalam ungkapan Iqbal bahwa fikr dan dzikr atau ‘aqal dan ‘isyq harus diintegrasikan secara mantap bila mau membangun peradaban modern yang segar. Sesuatu yang tentunya sangat diidamkan oleh umat manusia, dan disinilah semestinya peran yang harus dimainkan umat Islam untuk memerikan kontribusinya bagi pendidikan Islam melalui pengembangan kurikulum PAI.

iii

DEPARTEMEN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

FAKULTAS TARBIYAH Alamat: Prof. Dr. Hamka Kampus II Telp. 7601295 Fak. 7615387 Semarang

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Semarang, 11 Desember 2009 Lamp : 4 (Empat) Eksemplar Hal : Naskah Skripsi Kepada Yth.

An Sdr. Asep Awaludin Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo

di Semarang

Assalamu’alaikum Wr. Wb Setelah saya mengadakan koreksi dan perbaikan seperlunya, maka saya menyatakan bahwa skripsi saudara:

Nama : Asep Awaludin

NIM : 053111360

Jurusan : Pendidikan Agama Islam Judul : KEDUDUKAN AKAL DALAM AL-QUR’AN DAN

IMPLEMENTASINYA DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Telah melalui proses bimbingan, selanjutnya saya mohon agar skripsi saudara tersebut dapat dimunaqosahkan.

Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Pembimbing I Pembimbing II

Musthofa, M.Ag. Dr. Hamdani Mu’in, M.Ag. NIP. 19710403 199603 1002 NIP. 19720405 199903 1001

iv

PENGESAHAN PENGUJI

Tanggal Tanda Tangan

Drs. Abdul Wahid, M.Ag Ketua Sidang Musthofa, M.Ag Sekretaris Sidang Dr. Muslih, MA. Penguji 1 Ahwan Fanani, M.Ag Penguji 2

v

PERNYATAAN

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi

ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan.

Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali

informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.

Semarang, Desember 2009 Deklarator, Asep Awaludin NIM. 3105360

vi

MOTTO

☺ ⌧

Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah

yang dapat menerima pelajaran. (QS. Az-Zumar: 39: 9).1

1 Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahan, Juz 1-30, (Semarang: PT. Karya Toha Putra

1995), hlm. 441.

vii

PERSEMBAHAN

Dengan segala kerendahan hati selaku hamba Allah SWT dan dengan ketulusan

dan keikhlasan hati yang dalam, maka tulisan sederhana ini penulis persembahkan

kepada:

- Orang tuaku (Bapak Mudzakir dan Ibu Khodiroh) yang selalu mendoakan ku

di setiap waktu, memberikan semangat, dan mengorbankan segalanya demi

suksesnya penulis dalam menuntut ilmu.

- Adik-adikku tercinta (Umi Riyadhoh dan Bahrul Ulum) yang aku sayangi,

terima kasih atas doa, perhatian dan kasih sayangnya maupun supportnya.

- Saudara-saudaraku sejiwa di PSHT (Mas Zen, Mas Roni, Mas Zaenal, Mas

Alfan, Mas Hawin, Mas Sa’dan, Mas Fatkhur, Mbak Nurul, Mbak Isma, Mbak

Arum, Mbak Aam, Mbak Ika, Mas Akmal) dan tidak ketinggalan Mas

Mughni, Mbak Fitri, Mbak Ningsih, Mbak Fita, Mbak Eli Supriati, Mbak Sri

Hidayati, Ansori, Zaenudin, Taufik, Sriyanto, Ida, Eli, Tina, Ani, serta

segenap keluarga besar UKM PSHT IAIN Walisongo yang mendukung dan

memberi semangat dan doanya demi suksesnya penulis.

- Adik-adikku (Qoyumi, Laela, Jupe, Mihla, Affan, Zaenal, Wahda, Eka) dan

adik-adik lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang senantiasa

memberikan warna dalam pembuatan skripsi ini.

- Teman seperjuangan sepondok Al-Ishlah (Tolabi, Bidum, Jajak, Asror, Fais,

Yusuf, dan penghuni “Kamar 9”) serta temen-temen yang lain yang tidak bisa

disebutkan satu persatu. Yang menemani kehidupanku sehari-hari.

- Teman-teman PAI C 2005 dan teman-teman KKN: Najib, Tajus, Fawaid,

Risqo, Fransiska, Salis, Maslihun dan Ibu Saprotun, dan seluruh pihak yang

telah membantuku, mendoakanku dan memotivasiku, terima kasih. Semoga

Allah membalasnya. Amin.

- Dan yang paling spesial adalah editor skripsi ini (Mas Syam dan Fauzan kru

“Rental Rajawali”).

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur dengan untaian tahmid alhamdulillah, senantiasa penulis

panjatkan ke hadirat Allah Swt, yang selalu menganugerahkan segala taufiq

hidayah serta inayah-Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan

kepada Qurrata A’yun Rasulullah Saw yang selalu kita harapkan syafaatnya.

Suatu kebahagiaan tersendiri jika suatu tugas dapat terselesaikan dengan

sebaik-baiknya. Bagi penulis, penyusunan skripsi merupakan suatu tugas yang

tidak ringan. Penulis sadar, banyak sekali hambatan yang penulis hadapi dalam

proses penyusunan skripsi ini. Hal ini dikarenakan keterbatasan penulis.

Walaupun akhirnya skripsi ini terselesaikan juga. Hal ini tiada lain karena bantuan

dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Untuk itu penulis menyampaikan penghargaan dengan ucapan terima kasih

yang tak terhingga pada pihak yang telah memberikan bantuannya, khususnya

kepada:

1. Prof. Dr. H. Ibnu Hajar, M.Ed, selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN

Walisongo Semarang

2. Drs. Musthofa, M.Ag. dan Dr. Hamdani Mu’in, M.Ag. selaku pembimbing,

serta Yunita Rahmawati, M.Ag. selaku Wali Studi. Terima kasih atas doa,

motivasi, saran, arahan dan bimbingan serta keikhlasan dan kebijaksanaannya

dalam meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan

dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini.

3. Guru-guruku dari TK hingga MA serta para dosen di lingkungan Fakultas

Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang yang telah mengabdikan diri untuk

sebuah pendidikan dan pengajaran. Terima kasih atas ilmu dan pengetahuan

yang telah diberikan, sehingga penulis bisa menyelesaikan penulisan skripsi

ini.

4. Pimpinan Perpustakaan Fakultas Tarbiyah dan Institut yang telah memberikan

layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.

ix

5. Pengasuh Pondok Pesantren Al-Ishlah Mangkang Kulon Semarang yang telah

membimbing penulis dalam mengarungi samudera ilmu.

6. Ayah dan Ibu tercinta serta adik-adikku yang aku sayangi, beserta seluruh

keluarga tercinta di Pemalang yang senantiasa memberi semangat dan telah

banyak berkorban demi keberhasilan dan kesuksesan penulis.

7. Semua teman-temanku yang selalu membantu, memberikan motivasi dan

menemani penulis untuk belajar bersama. Semoga ilmu yang kita dapat

bermanfaat.

Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis sadar sepenuhnya

bahwa skripsi ini sangat jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, dengan

ucapan alhamdulillahi rabbil ‘alamin, penulis berharap semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Semarang, Desember 2009

Penulis

Asep Awaludin NIM. 3105360

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i

ABSTRAK ...................................................................................................... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................... iii

PENGESAHAN PENGUJI ................................................................................ iv

PERNYATAAN ................................................................................................. v

MOTTO ...................................................................................................... vi

PERSEMBAHAN .............................................................................................. vii

KATA PENGANTAR ....................................................................................... viii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... x

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1

B. Penegasan Istilah .................................................................... 6

C. Perumusan Masalah ............................................................... 7

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 7

E. Telaah Pustaka ....................................................................... 8

F. Metode Penelitian .................................................................. 10

BAB II : KEDUDUKAN AKAL DALAM AL-QUR’AN

A. Pengertian Akal ..................................................................... 12

B. Pengertian Kedudukan Akal dalam Al-Qur’an ...................... 13

C. Akal dalam Perspektif Al-Qur’an .......................................... 14

D. Ayat-Ayat Akal dalam Al-Qur’an .......................................... 16

1. Istilah يعقلون dalam QS. Al-Ankabut: 63 ......................... 17

2. Istilah يتفكرون dalam QS. Saba’: 46 .................................. 19

3. Istilah يتذآرون dalam QS. Az-Zumar: 9 ............................ 23

4. Istilah لوا االلباباو dalam QS. Ali Imran: 7 ......................... 28

xi

BAB III : PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA

ISLAM

A. Pengertian Pengembangan Kurikulum ..................................... 35

1. Pengertian Kurikulum ........................................................ 35

2. Pengertian Pengembangan Kurikulum ............................... 38

B. Landasan Pengembangan Kurikulum ...................................... 40

C. Pendekatan Pengembangan Kurikulum ................................... 43

D. Kurikulum Pendidikan Agama Islam ....................................... 47

E. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum .................................. 54

BAB IV : IMPLEMENTASI KEDUDUKAN AKAL DALAM

PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA

ISLAM

A. Urgensi Kedudukan Akal dalam Pengembangan Kurikulum

Pendidikan Agama Islam ......................................................... 64

B. Implementasi Kedudukan Akal dalam Pendidikan Agama

Islam ......................................................................................... 66

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan .............................................................................. 74

B. Saran-saran ............................................................................... 76

C. Penutup ..................................................................................... 77

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

xii

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama Islam, agama yang kita anut dan dianuti oleh ratusan juta kaum

muslim di seluruh dunia merupakan way of life yang menjamin kebahagiaan

hidup pemeluknya di dunia dan di akhirat kelak. Ia mempunyai satu sendi

utama yang esensial: berfungsi memberi petunjuk ke jalan yang sebaik-

baiknya. Al-Qur'an memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan akidah,

syariah dan akhlak, dengan jalan meletakkan dasar-dasar prinsipil mengenai

persoalan-persoalan tersebut; dan Allah SWT menugaskan Rasul SAW, untuk

memberikan keterangan yang lengkap mengenai dasar-dasar itu.

Di samping keterangan yang diberikan oleh Rasulullah SAW, Allah

memerintahkan pula kepada umat manusia seluruhnya agar memperhatikan

dan mempelajari Al-Qur'an. Mempelajari Al-Qur'an adalah kewajiban. Berikut

ini beberapa prinsip dasar untuk memahaminya, khusus dari segi hubungan

Al-Qur'an dengan ilmu pengetahuan. Atau dengan kata lain, mengenai

memahami Al-Qur'an dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan.

Persoalan ini sangat penting, terutama pada masa-masa sekarang ini, di mana

perkembangan ilmu pengetahuan demikian pesat dan meliputi seluruh aspek

kehidupan.1

Dengan demikian Al-Qur'an di dalam membangkitkan semangat, dan

hal semacam ini merupakan karakternya, sebagai hal yang logis, termasuk

semangat untuk berdebat dan berpikir, baik terhadap mereka yang dengan

penuh keikhlasan mengikuti agama baru ini, ataupun orang-orang yang telah

masuk Islam, tetapi di dalam hatinya banyak atau sedikit masih tetap

mengikuti agama dan keyakinan yang masih belum bersih dari pengaruh

tradisi masyarakat Arab jahiliyah.2

1 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an Fungsi dan Peran Wahyu dalam

Kehidupan Masyarakat, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004), Cet. XXVIII, hlm. 33. 2 M. Yusuf Musa, Al-Qur'an dan Filsafat, terj. M. Thalib, (Yogyakarta: PT Tiara

Wacana, 1991), Cet. I, hlm. 19-20.

2

Al-Qur'an telah menambahkan dimensi baru terhadap studi mengenai

fenomena jagad raya dan membantu pikiran manusia melakukan terobosan

terhadap batas penghalang dari alam materi. Al-Qur'an menunjukkan bahwa

materi bukanlah sesuatu yang kotor dan tanpa nilai, karena padanya terdapat

tanda-tanda yang membimbing manusia kepada Allah serta kegaiban dan

keagungan-Nya. Alam semesta yang amat luas adalah ciptaan Allah, dan Al-

Qur'an mengajak manusia untuk menyelidikinya, mengungkap keajaiban dan

kegaibannya, serta berusaha memanfaatkan kekayaan alam yang melimpah

ruah untuk kesejahteraan hidupnya. Jadi, Al-Qur'an membawa manusia

kepada Allah melalui ciptaan-Nya dan realitas konkret yang terdapat di bumi

dan di langit. Inilah yang sesungguhnya dilakukan oleh ilmu pengetahuan,

yaitu mengadakan observasi dan eksperimen. Dengan demikian, ilmu

pengetahuan dapat mencapai Yang Maha Pencipta melalui observasi yang

teliti dan tepat terhadap hukum-hukum yang mengatur gejala alam, dan Al-

Qur'an menunjukkan kepada realitas intelektual Yang Maha Besar, yaitu Allah

SWT lewat ciptaan-Nya.3

Fungsi Al-Qur'an yang paling berharga dalam wacana keilmuan kita

adalah pembentukan akal ilmiah. Ada bentuk akal yang bisa kita namakan

sebagai akal orang awam atau akal yang dipengaruhi khurafat. Akal seperti ini

membenarkan segala sesuatu yang diajukan kepadanya tanpa menelitinya.

Malah akal ini menerima apa adanya, terutama jika yang mengajukan itu

adalah orang yang dianggap istimewa olehnya, seperti nenek moyang, para

pembesar, dan pemimpin. Mereka akan menyatakan, “Ini yang telah dilakukan

oleh nenek moyang kami.”

Selain bentuk akal tadi, ada akal lain yang memiliki sifat dari ciri khas

tersendiri, yakni bentuk akal yang dibangun secara Islam oleh Al-Qur'an

sebagai bekal bagi manusia untuk mengarungi kehidupannya di dunia. Sudah

menjadi kesepakatan bersama bahwa ilmu tidak akan dapat berkembang,

mengakar dan meluas. Bahkan ia tidak dapat berbentuk kecuali dalam kondisi

3 Afzalur Rahman, Qur’anic Science, terj. M. Arifin, Al-Qur'an Sumber Ilmu

Pengetahuan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000), Cet. III, hlm. 1.

3

jiwa dan pikiran yang siap untuk berpikir. Oleh karena itu, pemikiran harus

terbuka, segala pendapat harus siap didiskusikan, dan orang yang mempunyai

gagasan harus mengajukan dalil-dalilnya. Kesemuanya itu secara bertahap

telah diproyeksikan oleh Al-Qur'an dalam kehidupan yang Islami. Dengan

kata lain, Al-Qur'an telah mengajak dan memberikan tuntutan untuk

membentuk “akal ilmiah” yang bebas dan obyektif. Serta menolak “akal

khurafat” yang sesat, “akal taklid” yang jumud, serta akal yang mengikuti

hawa nafsu.4

Islam memandang pendidikan sebagai proses yang terkait dengan

upaya mempersiapkan manusia untuk mampu memikul taklif (tugas hidup)

sebagai khalifah Allah di muka bumi. Untuk maksud itu, manusia diciptakan

lengkap dengan potensinya berupa akal dan kemampuan belajar.

⌧ ⌧ ☺

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar!"(QS. Al-Baqarah [2]: 30-31)

4 Yusuf Qardhawi, Al-Aqlu wal Ilmu Fil Qur’anil Karim, terj. Abdul Hayyie al-Kattani,

Irfan Salim dan Sochimien, Al-Qur'an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), Cet. VI, hlm. 277-278.

4

Dalam hal ini, Allah mengutus para rasul setelah Adam a.s. kepada

umat manusia untuk membimbing mereka dari kondisi yang “gelap” kepada

kondisi yang “terang”, dari kondisi serba tidak berperadaban menjadi

berperadaban melalui al-Kitab, al-Hikmah, dan pendidikan. Selanjutnya, Allah

memerintahkan kepada manusia untuk membaca. Diletakkannya perintah

membaca dalam ayat-ayat permulaan diturunkannya Al-Qur'an – wallahu

a’lam bishshawab – betapa peran membaca dalam upaya persiapan

kekhalifahan manusia di muka bumi.

Membaca tidak hanya berarti memberantas buta huruf, tetapi juga

memahami dan mempelajari semua ilmu yang berguna bagi makhluk dan

membimbing manusia agar insyaf dan bertakwa kepada Allah. Inilah yang

dimaksud dengan firman-Nya, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu.”

Perhatikan firman-Nya, “Dia telah menciptakan manusia dari segumpal

darah,” dan isyarat-Nya untuk menggunakan peralatan memperoleh ilmu,

“yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam.” Tidak ada petunjuk yang

lebih jelas tentang kemuliaan ilmu, ulama dan pendidikan ketimbang

penamaan Al-Qur'an dengan al-Kitab yang melambangkan makna membaca

pengetahuan dan belajar. Oleh sebab itu, tidak aneh apabila umat Islam

disebut umat iqra’, umat ilmu pengetahuan dan cahaya.

Jelas sekali jalan untuk dapat beribadah, memperoleh petunjuk,

menjadi berbudaya, dan memakmurkan bumi guna melaksanakan tugas hidup

dari Allah adalah ilmu dan pengetahuan yang dijiwai dengan iman.5 Akal

menghasilkan ilmu dan ilmu berkembang dalam masa keemasan sejarah

Islam. Supaya dapat dipelajari dengan baik dan benar, ilmu perlu

diklasifikasikan (digolong-golongkan). Klasifikasi ilmu, karena itu,

merupakan salah satu kunci untuk memahami tradisi intelektual Islam.6

5 Hery Noer Aly dan Munzier, Watak Pendidikan Islam, (Jakarta: Friska Agung Insani,

2003), Cet. II, hlm. 11-13. 6 Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

1998), Cet. V, hlm. 388.

5

Sejak manusia menuntut kemajuan dan kehidupan, maka sejak itu

timbul gagasan untuk maka pengalihan, pelestarian dan pengembangan

kebudayaan melalui pendidikan. Maka dari itu dalam sejarah pertumbuhan

masyarakat, pendidikan senantiasa menjadi perhatian utama dalam rangka

kemajuan kehidupan generasi demi generasi sejalan dengan tuntutan kemajuan

masyarakatnya.7

Dalam masyarakat yang dinamis, pendidikan memegang peranan yang

menentukan eksistensi dan perkembangan masyarakat tersebut, karena

pendidikan merupakan usaha melestarikan, dan mengalihkan serta

mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam segala aspeknya dan

jenisnya kepada generasi penerus. Demikian pula halnya dengan peranan

pendidikan Islam di kalangan umat Islam merupakan salah satu bentuk

manifestasi dari cita-cita hidup Islam untuk melestarikan, mengalihkan dan

menanamkan (internalisasi) dan mentransformasikan nilai-nilai Islam tersebut

kepada pribadi generasi penerusnya sehingga nilai-nilai kultural-religius yang

dicita-citakan dapat berfungsi dan berkembang dalam masyarakat dari waktu

ke waktu.8

Mata pelajaran dalam kurikulum menempati tempat yang penting

untuk memberi jawaban terhadap apa yang dikerjakan untuk menciptakan

manusia yang dicita-citakan oleh pembuat kurikulum itu. Sebagai misal, kita

ambil anak ayam. Makanan apakah yang harus diberikan kepada anak ayam

supaya badannya menjadi besar? Jagungkah atau beras, ataukah lain-lain?

Begitu juga dengan kanak-kanak apakah yang harus diajarkan kepadanya

untuk mencapai cita-cita pembuat kurikulum? Jawabannya ialah

pengetahuan.9

Dari uraian di atas, maka kita dapat menarik garis besar bahwa akal

sangat berperan terhadap proses pembelajaran. Sedangkan proses

pembelajaran agar bisa berhasil dengan baik maka yang perlu diperhatikan

adalah kurikulum. Berangkat dari latar belakang di atas, maka penulis tertarik

7 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam II, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), Cet. I, hlm. 9. 8 Ibid., hlm. 14. 9 Ibid., hlm. 82.

6

untuk mengkaji secara komprehensif mengenai kedudukan akal yang

diproyeksikan Al-Qur'an tersebut, dengan judul Kedudukan Akal dalam Al-

Qur'an dan Implementasinya dalam Pengembangan Kurikulum Pendidikan

Agama Islam.

B. Penegasan Istilah

1. Akal

Kata akal yang sudah menjadi kata Indonesia itu berasal dari

bahasa Arab al-‘aql. Artinya pikiran atau intelek.10 Dalam bahasa

Indonesia perkataan akal menjadi kata majemuk akal pikiran.11

Jadi, kedudukan akal dalam Al-Qur'an, yang dimaksud adalah

tempat akal dalam Al-Qur'an. Dengan mengetahui kedudukannya, dapat

pula diketahui peranannya dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam.

Kedudukan dan peranan adalah dua hal yang tidak mungkin

diceraipisahkan, karena peranan adalah aspek dinamis kedudukan. Karena

kedudukannya, misalnya, orang dapat berperan, bertindak melalui

sesuatu.12

2. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam

Istilah kurikulum digunakan pertama kali pada dunia olahraga pada

zaman Yunani kuno yang berasal dari kata curir dan curere, yang pada

waktu itu kurikulum diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh oleh

seorang pelari. Orang mengistilahkannya dengan tempat berpacu atau

tempat berlari dari mulai start sampai finish.

Selanjutnya istilah kurikulum digunakan dalam dunia pendidikan.

Para ahli pendidikan memiliki penafsiran yang berbeda-beda tentang

kurikulum. Namun demikian, dalam penafsiran yang berbeda itu, ada juga

kesamaannya. Kesamaan tersebut adalah, bahwa kurikulum berhubungan

10 Daya atau proses pikiran yang lebih tinggi berkenaan dengan ilmu pengetahuan. 11 Muhammad Daud Ali, op.cit., hlm. 384. 12 Ibid., hlm. 384-385.

7

erat dengan usaha mengembangkan peserta didik sesuai dengan tujuan

yang ingin dicapai.13

Pendidikan Agama Islam adalah pendidikan tentang ajaran-ajaran

agama Islam dan merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan di

setiap lembaga pendidikan, baik pendidikan dasar, menengah, maupun

sekolah menengah umum negeri maupun swasta.

Jadi, implementasinya dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam

adalah suatu proses, suatu aktifitas yang digunakan untuk mentransfer

ide/gagasan, program, atau harapan-harapan yang dituangkan dalam

bentuk kurikulum disain (tertulis) yang sesuai dengan ajaran Islam agar

dilaksanakan sesuai dengan disain tersebut.14

C. Rumusan Masalah

Penjelasan tentang akal merupakan bagian yang mendasar dan penting

dalam dunia pendidikan khususnya terhadap kurikulum. Maka dari itu peneliti

termotivasi untuk mengkajinya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini

difokuskan pada pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana kedudukan akal dalam Al-Qur'an?

2. Bagaimanakah implementasi kedudukan akal dalam pengembangan

kurikulum Pendidikan Agama Islam?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian skripsi

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan yang

hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah:

a. Untuk mengetahui kedudukan akal dalam Al-Qur'an.

b. Untuk mengetahui implementasi kedudukan akal dalam

pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam.

13 Wina Sanjaya, Kajian Kurikulum dan Pembelajaran, (Bandung: Sekolah Pascasarjana

Universitas Pendidikan Indonesia, 2007), hlm. 2-3. 14 Syafruddin Nurdin, Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum,(Jakarta: Ciputat

Press, 2002), Cet. 7, hlm. 73.

8

2. Manfaat Penulisan skripsi

Nilai guna yang dapat diambil dari pemahaman skripsi ini adalah

sebagai berikut:

a. Dengan mengetahui kedudukan akal dalam Al-Qur'an maka dapat

memberikan pemahaman yang lebih luas tahun dunia pendidikan

khususnya kurikulum Pendidikan Agama Islam. Bahwa sebenarnya

akal kita sangat berperan dan berpotensi terhadap kurikulum tersebut.

Dengan pengetahuan kedudukan tersebut maka kurikulum akan

berkembang dan sesuai dengan zaman sehingga proses pendidikan

akan berjalan dengan baik.

b. Bagi penulis, dengan meneliti kedudukan akal dalam Al-Qur'an, maka

akan dapat menambah wawasan pemahaman yang lebih komprehensif

sehingga diupayakan dapat terealisasi dalam kehidupan.

c. Hasil dari pengkajian dan pemahaman masalah di atas, sedikit banyak

diharapkan dapat membantu usaha penghayatan dan pengamalan

terhadap isi dan kandungan Al-Qur'an.

d. Penelitian ini sebagai kajian dari usaha untuk menambah khasanah

ilmu pengetahuan di Fakultas Tarbiyah umumnya dan jurusan PAI

khususnya.

E. Telaah Pustaka

Dalam rangka mewujudkan penulisan skripsi yang profesional dan

mencapai target yang maksimal, penulis memaparkan beberapa buku dan

skripsi sebagai rujukan. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesamaan obyek

dalam penelitian.

1. Yusuf Qardhawi dalam Al-Qur'an Berbicara tentang Akal dan Ilmu

Pengetahuan, menjelaskan bahwa keberadaan Al-Qur’an sebagai petunjuk

hidup bagi umat Islam tidak berarti menafikan pesan akal sebagai sarana

olah fikir dan pertimbangan bagi manusia dalam menjalani hidup

kesehariannya. Malah lebih jauh dari itu, Al-Qur’an justru memberikan

bimbingan kepada akal manusia untuk senantiasa beristiqamah berjalan

9

dalam hukum dan ketentuan yang telah ditetapkan bagi seluruh makhluk-

Nya.15

2. Mohammad Hilal dalam skripsinya yang berjudul Manusia dalam

Semantik Al-Qur'an dan Implikasinya terhadap Tujuan Pendidikan Islam,

menjelaskan bahwa dalam rangka mewujudkan optimalisasi potensi

manusia, maka kegiatan pendidikan harus dimaknai sebagai upaya untuk

membantu manusia mencapai realitas diri dengan mengoptimalkan semua

potensi kemanusiaannya tanpa memandang tempat dan waktu.

Pembentukan totalitas anak menjadi manusia sempurna tersebut, baik dari

aspek fisik biologis (jismiyah), psikis psikologis (nafsiyah), dan spiritual

transendental (ruhaniyah).16

3. Shofi Inayah dengan judul skripsinya, Makna Qalam dalam Al-Qur'an dan

Implementasinya dalam Pendidikan Islam, menjelaskan bahwa dalam

pendidikan membutuhkan adanya media pembelajaran yang berfungsi

sebagai penunjang kesuksesan dalam kegiatan belajar mengajar, di sini

qalam diartikan bukan hanya sebatas pena namun diperluas menjadi alat

atau media yang difungsikan dalam proses belajar mengajar. Dengan

media ini siswa dapat belajar dengan penuh motivasi dan mendapatkan

hasil yang maksimal.17

4. Achmad Furqon dalam skripsinya yang berjudul Kajian Surat Ar-rahman

Ayat 1-4 Perspektif Pendidikan Islam menjelaskan bahwa unsur-unsur

pendidikan yang tersirat dalam surat Ar-Rahman ayat 1-4 antara lain:

Allah SWT sebagai subyek didik (pendidik utama). Kedua, al-insan

adalah subyek dan sekaligus obyek didik (peserta didik). Ketiga, Al-

Qur'an adalah materi pendidikan Islam yang darinya dapat digali berbagai

macam isi pendidikan yang kemudian dikembangkan menjadi ilmu

pengetahuan yang bermanfaat. Keempat, al-bayan adalah metode

15 Yusuf Qardhawi, Al-Aqlu wal Ilmu Fil Qur’anil Karim, op.cit., hlm. ii. 16 Mohammad Hilal, “Manusia dalam Semantik Al-Qur'an dan Implikasinya terhadap

Tujuan Pendidikan Islam”, Skripsi, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2006), t.d.

17 Shofi Inayah, “Makna Qalam dalam Al-Qur'an dan Implementasinya dalam Pendidikan Islam”, Skripsi, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2006), t.d.

10

sekaligus alat pendidikan atau alat untuk mentransformasikan ilmu

pengetahuan kepada manusia.18

F. Metode Penelitian

Merujuk pada kajian di atas, penulis menggunakan beberapa metode

yang relevan untuk mendukung dalam pengumpulan dan penganalisaan data

yang dibutuhkan dalam penulisan skripsi.

Adapun skripsi ini menggunakan metode sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif, karena menekankan pada

penelitian yang berupaya untuk menelusuri dan mencari teks yang

berkaitan dengan akal dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam yang

membahas pada masalah tersebut.

2. Metode Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan sumber utama

berupa ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan secara langsung maupun tidak

langsung dengan permasalahan yang menjadi pokok bahasan dalam skripsi

ini. Selanjutnya untuk memberi penjelasan-penjelasan atas penafsiran-

penafsiran tentang ayat-ayat Al-Qur'an tersebut penulis menggunakan

studi pustaka (library research) atau suatu penelitian kepustakaan.19 Di

mana pengumpulan data ini meliputi:

a. Sumber Primer

Sumber primer merupakan sumber pokok diperoleh melalui Al-

Qur'an, yaitu Al-Qur'an dan terjemahannya, tafsir Al-Qur'an meliputi

Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab, Tafsir An-Nuur karya

Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Fizhilalil Qur’an karya Sayyid Quthb,

Tafsir Al-Maraghi karya Ahmad Musthafa Al-Maraghi, dan didukung

oleh buku-buku yang berkaitan dan relevan dengan permasalahan

skripsi ini.

18 Achmad Furqon, “Kajian Surat Ar-Rahman Ayat 1-4 Perspektif Pendidikan Islam”, Skripsi, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2009), t.d.

19 Sutrisno Hadi, Metodologi Research I, (Yogyakarta: Andi Offset, 1995), hlm. 5.

11

b. Sumber Sekunder

Merupakan sumber penunjang yang dijadikan alat bantu untuk

menganalisa terhadap masalah yang telah ditetapkan atau yang dikaji.

3. Metode Analisis Data

Melihat permasalahan dan tujuan penelitian di atas, penelitian ini

termasuk penelitian kualitatif. Dengan demikian analisis yang digunakan

adalah analisis kualitatif dengan menggunakan metode tafsir tahlili.

Metode tahlili ialah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan

memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang

ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di

dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang

menafsirkan ayat-ayat tersebut.

Dalam metode ini, biasanya mufasir menguraikan makna yang

dikandung oleh Al-Qur’an ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai

dengan urutannya di dalam mushaf. Uraian tersebut menyangkut berbagai

aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian, kosakata,

konotasi kalimatnya, latar belakang turun ayat, kaitannya dengan ayat-ayat

yang lain, baik sebelum maupun sesudahnya (munasabah), dan tidak

ketinggalan pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan

tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, para

tabi’in maupun ahli tafsir lainnya.20

Dalam hal ini penulis akan membahas dan menganalisis ayat-ayat

yang berhubungan dengan kedudukan akal yaitu surat Al-Ankabut: 63,

Saba’: 46, Az-Zumar: 9, dan Ali Imran: 7. Selanjutnya penulis akan

menguraikan makna akal dan kata-kata lain yang berhubungan dengan

akal, misalnya yatafakkarun, yatadzakkarun, dan ulul albab. Setelah kata-

kata tersebut diuraikan penulis selanjutnya menghubungkan atau

mengimplementasikan ke dalam pengembangan kurikulum PAI.

20 Nashruddin Baidan, op.cit., hlm. 31.

12

BAB II

KEDUDUKAN AKAL DALAM AL-QUR’AN

A. Pengertian Akal

Para ahli mengartikan akal dengan 3 makna. Makna pertama, akal

bermakna akal itu sendiri, tanpa ada makan lain. Makna kedua dan ketiga, akal

diartikan sebagai kata benda (isim) yang bisa digunakan oleh orang Arab. Dari

kata benda itu muncul penggunaan kata akal dalam bentuk kata kerja (fi’il).

Dalam Al-Qur'an, Allah SWT juga menggunakan kedua makna

tersebut. Para ahlipun menamakan dua makna tersebut sebagai akal. Makna

dan hakikat akal tidak lain adalah naluri yang dianugerahkan Allah SWT

kepada mayoritas makhluk-Nya (manusia). Para hamba tidak bisa mengetahui

naluri mereka satu sama lain. Mereka bahkan juga tidak dapat mengetahui

nalurinya sendiri, baik dengan cara melihat maupun merasakan.

Namun, Allah SWT mengenal mereka dengan perantara akal. Karena

akal itulah, mereka mengenal Allah SWT. Mereka dapat menyaksikan Allah

SWT dengan akal. Mereka juga mengenal diri mereka dengan akal. lantaran

akal pula mereka dapat mengetahui sesuatu yang bermanfaat dan

membahayakan dirinya.1

Mengenai akal, sesungguhnya tidak jelas sejak kapan menjadi kosakata

bahasa Indonesia. Yang jelas ia diambil dari bahasa Arab العقل Al-‘aql atau

aqala. kata ‘aql sendiri sudah digunakan oleh orang Arab sebelum’عقل

datangnya agama.2

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mengartikan akal dengan 4

pengertian: 1) daya pikir (untuk mengerti), pikiran, ingatan, (2) jalan atau cara

1 Magdy Shehab, dkk, Al-I’jaz Al-Ilmi fi Al-Qur'an wa al Sunah, (terj. Penerjemah: Syarif

Made Masyah, dkk), Ensiklopedia Mu’jizat Al-Qur'an dan Hadits, (Bekasi: PT. Sapta Santosa, 2008), Cet. I, Jilid 2, hlm. 165.

2 Taufik Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ: Menyingkap Rahasia Kecerdasan Berdasarkan Al-Qur'an dan Neurosains Mutakhir, (Bandung: PT. Mizan 2008), Cet. I, hlm. 257.

13

melakukan sesuatu, daya upaya, ikhtiar, (3) tipu daya muslihat, kecerdikan,

kelicikan dan (4) kemampuan melihat atau cara-cara memahami lingkungan.3

Kamus bahasa Arab, mengartikan akal (secara harfiah) sebagai

pengertian al-imsak (menahan),4 al-ribath (ikatan), al-hijr (menahan), al-nahy

(melarang dan al-man’u (mencegah).5 Ibn Manzhur, misalnya mengartikan

al’aql dengan 6 macam, (1) akal pikiran, inteligensi, (2) menahan, (3)

mencegah, (4) membedakan, (5) lambang pengikat dan, (6) ganti rugi. Akal

juga sering dinamakan dengan (الحجر) al-hijr (menahan atau mengikat).

Sehingga seorang yang berakal adalah orang yang dapat menahan diri dan

mengekang hawa nafsunya. Kata-kata Hamka seorang ulama-sastrawan

Indonesia mewakili pengertian itu. Mengikat binatang dengan tali, mengikat

manusia dengan akalnya.

B. Pengertian Kedudukan Akal dalam Al-Qur'an

Para sufi memahami kedudukan akal dalam konteks “mengikat”

“melekatkan” dan “membatasi”. Pilihan makna ini berkaitan dengan

penciptaan alam semesta oleh Tuhan. Tuhan dianggap tidak terbatas, tidak

terjangkau. Namun, ketika ia bertajalli, setiap ciptaan-Nya senantiasa terbatas.

Ciptaan ini “mengikat” dimensi Tuhan yang tidak terbatas itu. Jadi, akal

cenderung berkaitan dengan segala ciptaan Tuhan, bukan Tuhan sendiri, yang

Maha Luas itu.6

Kedudukan akal dalam Al-Qur'an, yang dimaksud adalah tempat akal

dalam Al-Qur'an. Dengan mengetahui kedudukannya, dapat pula diketahui

peranannya dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam. Kedudukan dan

peranan adalah dua hal yang tidak mungkin diceraipisahkan, karena peranan

3 Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), Cet. 3, Ed.

3, hlm. 18. 4 Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughat wa Al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriqi, 2007),

hlm. 520. Lihat juga, Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Al-Munawir, 1984), hlm. 1027.

5 Atabik Ali dan A. Zuhdi Mudlor, Kamus Al-Ashri Arab Indonesia, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003), hlm. 1307-1308.

6 Taufik Pasiak, op.cit., hlm. 257-259.

14

adalah aspek dinamis kedudukan. Karena kedudukannya, misalnya, orang

dapat berperan, bertindak melalui sesuatu.7

Terdapat 7 sinonim untuk kata akal : (1) دّبر dabbara (merenungkan),

nazhara (melihat نظر fahima (menahan), (4) فهم faqiha (mengerti), (3) فقه (2)

dengan mata kepala), 5) ذآر dzakara (mengingat), 6) فّكر fakkara (berpikir

secara dalam), dan 7) علم alima (menahan dengan jelas). Selain tujuh kata itu,

masih ada kata-kata yang dari segi fungsi yang ditunjukkannya memiliki

kemiripan dengan kata akal, yang paling mendekati adalah kata القلب al-qolb.8

C. Akal dalam Perspektif Al-Qur'an

Al-Qur'an mendorong umat Islam agar menggiatkan penggunaan akal.

Dan berkaitan dengan hal itu, maka dapat kita lihat demikian banyaknya Allah

menyebut beberapa kata yang berkait dengan pentingnya akal, yaitu

disebutkannya kata al-aqlu sebanyak 50 kali,9 kata ulul albab (cerdik

cendekia) sebanyak 16 kali, kata ulin nuha (ahli ilmu) sebanyak dua kali dan

masih banyak yang lain, seperti ulil abshor (pengamat ahli) dan kata-kata

lainnya.10

Al-Qur'an berulang-ulang menggerakkan dan mendorong perhatian

manusia dengan bermacam cara, supaya manusia mempergunakan akalnya.

Ada secara tegas, perintah mempergunakan akal dan ada pula berupa

pertanyaan, mengapa seseorang tidak mempergunakan akalnya. Selanjutnya

7 Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

1998), Cet. V, hlm. 384-385. 8 Ibid., hlm. 276. 9 Di referensi lain penulis menemukan bahwa kata akal berjumlah 49 kali. Secara rinci

ke-49 ayat tersebut antara lain عقلوه terdapat pada QS. (Al-Baqarah: 75), يعقلون (Al-Baqarah: 164), (Ar-Ra’d: 4), (An-Nahl: 12), (Ar-Rum: 24), (Al-Baqarah: 170 dan 171), (Al-Ma’idah: 61 dan 106), (Al-Ankabut: 63), (Al-Hujurat: 4), (Al-Anfal: 2), (Yunus: 42 dan 100), (An-Nahl: 67), (Al-Hajj: 46), (Al-Furqon: 44), (Al-Ankabut: 353), (Ar-Rum: 28), (Yasin: 28), (Az-Zumar: 43), (Al-Jasiyah: 4), (Al-Hasyr: 14); تعقلون (Al-Baqarah: 44 dan 76), (Ali Imron: 65), (Al-An’am: 32), (Al-A’raf: 168), (Yunus: 16), (Hud: 51), (Yusuf: 109), (Al-Anbiya: 10 dan 67), (AL-Mu’minun: 81), (Al-Qasas: 60), (Shad: 138), (Al-Baqarah: 73 dan 242), (Ali Imran: 118), (As-Syu’ara: 28), (Al-An’am: 151), (Yusuf: 2), (Az-Zukhruf: 3), (An-Nur, 61), (Al-Hadid: 17), (Yasin: 62), (Al-Mu’min: 67); نعقل (Al-Mulk: 10), (Al-Ankabut: 43). Lihat, Ahmad Ibnu Hasan, Fathu al-Rohman Li Tolib al-Ayat al-Qur’an, (Jakarta: Dar al-Hikmah, t.t), hlm. 306.

10 Imam Muchlas, Al-Qur'an Berbicara (Kajian Kontekstual Beragam Persoalan), (Surabaya: Pustaka Progressif, 1996), Cet. I, hlm. 120.

15

diterangkan pula bahwa segala benda di langit dan di bumi menjadi bukti

kebenaran tentang kekuasaan, kemurahan dan kebijaksanaan Tuhan, hanya

oleh kaum yang mempergunakan akalnya. Disuruhnya manusia mengadakan

perjalanan, supaya akal dan pikirannya tumbuh dan berkembang. Timbulnya

perpecahan antara satu golongan selamanya, disebutkan karena mereka tiada

mempergunakan akalnya. Selanjutnya penyesalan di hari kemudian

disebabkan karena tidak mempergunakan akal.

Supaya akal itu dapat tumbuh dan berkembang dengan cepat, perlu

diberi ilmu pengetahuan, sehingga berpikir lebih tepat dan mendasar

kenyataan, tidak menerawang langit dan tidak ngawur. Akal yang berisi

pengetahuan, dapat mengetahui bagaimana alam ini diciptakan Tuhan dengan

serba teratur, menyebabkan tumbuhnya kepercayaan bahwa Tuhan itu Maha

kuasa dan Maha bijaksana. Orang yang mempergunakan akalnya suka bersatu

dan selalu menjaga persatuan, karena persatuan itu pokok kekuatan.11

Penggunaan akal untuk berpikir akan mengantarkan individu dan masyarakat

menjadi pribadi atau masyarakat yang unggul.12

Kata ‘aql (akal) yang mula-mula hanya berhubungan dengan

kecerdasan praktis dan berguna untuk “mengikat” atau “menahan”

memperoleh pemadatan makna dalam Al-Quran. Kata ini disebut 49 kali

dalam 28 surah: 31 kali dalam 19 surah yang diturunkan di Makkah tempat

kehidupan kaum Muslim berada dalam suasana kaotis, dan 18 kali dalam 9

surah yang diturunkan di Madinah ketika struktur kehidupan kebudayaan

kaum Muslim boleh dikatakan sudah mapan.

Akal sangat padat maknanya dalam Al-Quran, dan digunakan secara

luas oleh para pemikir Muslim. Dalam perbendaharaan kata orang Islam, kata

itu sangat tinggi kedudukannya. Berfungsinya akal memiliki signifikansi

ibadah. Sehingga, orang gila (yang dianggap “kehilangan” akal) akan

dianggap tidak laik beribadah. lbadahnya itu tidak berguna sama sekali karena

11 Fachruddin, Ensiklopedia Al-Qur'an, Jilid I, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998), Cet. II,

hlm. 73-74. 12 H. Fuad Nashori, Potensi-Potensi Manusia Seri Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2005), Cet. 2, hlm. 120.

16

tidak dilakukan dengan kesadaran. Dari segi ibadah, ia akan berhubungan erat

dengan kesadaran.

Dengan menelusuri bagaimana kata itu dipakai, akan dapat dipahami

weltanschauung atau “pandangan-dunia” masyarakat yang menggunakan

bahasa itu, tidak hanya sebagai alat berpikir atau berbicara, tetapi yang lebih

penting lagi, pengonsepan dan penafsiran terhadap dunia sekitarnya. “Dengan

analisis semantik,” kata Izutsu,“ akan dipahami pandangan masyarakat

terhadap kenyataan yang ditunjukkan oleh kata itu.”13

Ada tiga fungsi yang diperankan oleh otak dan membuatnya berbeda

dengan yang lain, yaitu: 1) fungsi emosi (kecerdasan emosi (EQ), 2) fungsi

rasional (IQ), dan 3) fungsi spiritual (rohani dan religius) yang biasa kita kenal

dengan kecerdasan SQ.14 Beberapa cara kerja otak kiri antara lain kegiatan

analisis dan faktual15 juga kognitif, rasional serta logis. Sedangkan otak kanan

bekerja secara afektif, emosional, kualitatif dan spirit. Otak kecil (cerebellum)

sebagai jembatan antara otak belakang dan saraf tulang belakang. Otak ini

berperan untuk pernapasan dan koordinasi gerakan tubuh16 juga merekam

seluruh kejadian yang dialami manusia.

D. Ayat-ayat akal dalam Al-Qur'an

Kata dasar al-’aql tidak terdapat dalam Al-Quran. Ia dipakai sebagai

kata kerja فعل dalam 49 kali penyebutan: 1 kali dalam bentuk lampau (past

tense, ) فعل ماض ) dan 48 kali dalam bentuk sekarang (present tense).

Penyebutannya meliputi: ‘aqlah (1 kali); تعقلون ta’qilun (24 kali); نعقل na’qilu

(1 kali); يعقلها ya’qiluha (1 kali); dan يعقلون ya’qilun (22 kali).17

No Penyebutan Jumlah

1 عقلة 1

24 تعقلون 2

13 Taufik Pasiak, op.cit., hlm. 271-273. 14 Ibid., 364. 15 Ibid., hlm. 161. 16 Ibid., hlm. 101. 17 Ibid., hlm. 273.

17

1 نعقل 3

1 يعقلها 4

22 يعقلون 5

Jumlah 49

1. Istilah يعقلون dalam QS. Al-Ankabut [29]: 63)

a. Redaksi Ayat

☺ ☯

Dan Sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka18: "Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?" tentu mereka akan menjawab: "Allah", Katakanlah: "Segala puji bagi Allah", tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya). (QS. Al-Ankabut [29]: 63).19

b. Arti Kosakata

: kamu menanyakan kepada mereka : Siapakah yang menurunkan

: tetapi kebanyakan mereka

: tidak memahami, mengerti20

c. Asbabun Nuzul

18 Ada macam manusia tertentu yang mengerti tentang kekuasaan Allah, namun dalam

pikiran dan ibadahnya ia tetap sesat. Ada lagi manusia yang mendapat kemurahan Allah yang sudah jelas berupa hujan dan alam. Ia tahu adanya perubahan-perubahan setiap hari dan setiap musim yang sudah berlangsung selama berabad-abad sebagai bukti kemurahan Allah dalam memberikan kehidupan (jasmani dan rohani) dan menghidupkan kita kembali setelah kita nampak seperti mati: tetapi ia tidak dapat menarik kesimpulan yang benar dan membuat hidupnya sendiri benar dan indah hingga demikian bila masa percobaannya itu berakhir ia dapat masuk dalam haknya yang abadi. Karena sudah begitu jauh ia melangkah pada tingkat yang sangat menentukan ia gagal. Pada tingkat itu seharusnya ia sudah mengingat dan mengagungkan Allah dan menerima karunia dan cahaya-Nya, tapi dengan gagalnya mendapat faedah dari segala pemberian Allah itu, membuktikan pengertiannya yang sebenarnya masih kurang. (Lihat Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an Text, Translation and Commentary, (Penerjemah: Ali Audah) Qur’an dan Terjemah Tafsirnya Juz 1 s/d XV, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), Cet. I, hlm. 123.

19 Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahan, Juz 1-30, (Semarang: PT. Karya Toha Putra 1995), hlm. 637.

20 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi Juz 3, Penerjemah: Drs. M. Thalib, Bandung: CV. Rosda, 1989 Cet. I, hlm. 32.

18

Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa ketika Nabi melihat para

mukmin disakiti oleh orang-orang Quraisy yang musyrik di Mekkah,

beliau bersabda: “Pergilah kamu ke Madinah, berhijrah ke sana.

Janganlah kamu duduk sekampung dengan orang-orang yang dzalim

itu”. Para sahabat menjawab: “Kami tidak mempunyai rumah, kebun

dan ladang serta tidak mempunyai orang yang memberi makan dan

minum kepada kami di sana”21

d. Munasabah

Adapun munasabah ayat ini dengan ayat sebelumnya yaitu

berbicara tentang bimbingan kepada kaum muslimin yang mendapat

perlakuan aniaya dari kaum musyrikin. Kini ayat di atas kembali

berbicara kaum musyrikin yang antara lain juga dinyatakan pada ayat

50 yang lalu.22

e. Penjelasan Ayat

Lafal (يعقلون) ya’qiluna terambil dari kata (عقل) yang pada

mulanya berarti menjelas. Kata (عقال) aqal berarti tali: yaitu sesuatu

yang digunakan untuk mengikat. Dari sini potensi manusia yang

menjadikannya dapat memahami sekaligus membedakan antara yang

baik dan yang buruk, serta “mengikat” dan menghalanginya terjerumus

dalam kesesatan dan keburukan dinamai “akal”. karena itu akal dalam

pengertian Al-Qur'an tidak terbatas pada daya pikir semata-mata, tetapi

juga daya kalbu.23

Inventarisasi ayat-ayat Al-Quran yang memakal kata akal dapat

diklasifikasikan dalam 3 bagian: (1) teologis, yang bersangkut paut

dengan keimanan, (2) kosmologis, menyangkut pemahaman dan

keberadaan alam semesta, baik makro maupun mikro, dan (3)

moralitas, terutama me- nyangkut etika pribadi dan etika sosial.

21 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur'an Majid An-Nur Jilid 4

(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), Cet. II, Ed. II, hlm. 3152. 22 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an, vol.

10, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), Cet. III, hlm. 533. 23 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an, Vol

10, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), Cet. IX, hlm. 536.

19

Jumlah

Ayat Sub Topik Klasifikasi

14 Keimanan

Teologis 3 Kehidupan akhirat

5 Kitab suci

1 Sholat

7 Dinamika manusia

Kosmologis 6 Tanda kebesaran Tuhan

12 Alam semesta

1 Etika pribadi/sosial Moralitas

2. Istilah يتفكرون dalam QS. Saba’ 46

Kata ‘pikir” dan ‘pakar” dalam bahasa Indonesia diambil dan

bahasa Arab fikr yang dalam Al-Qur’an menggunakan istilah fakkara dan

tafakkarun. Kata ‘fikr” menurut Quraish Shihab diambil dari kata fark

yang dalam bentuk faraka dapat berarti: (1) mengorek sehingga apa yang

dikorek itu muncul, (2) menumbuk sampai hancur, dan (3) menyikat

(pakaian) sehingga kotorannya hilang. Baik kata “fikr” maupun “fark”

memiliki makna yang serupa. Bedanya, “fikr” digunakan untuk hal-hal

yang abstrak, sedangkan “fark” digunakan untuk hal-hal yang konkret.

Larangan berpikir tentang Tuhan adalah sebuah contoh tentang objek

“fikr”. Tuhan memang tidak dapat tergambar dalam pikiran seseorang

sehingga sangat sukar untuk diketahui.

Dengan pemusatan pikiran pada saat bertafakur ini mirip meditasi

dalam tradisi Hindu memudahkan seseorang untuk memahami gejala di

sekitarnya. Di samping ia memperoleh kenikmatan tersendiri dan kegiatan

tersebut, bertafakur memberikan dua akibat: (1) refleksi (permenungan)

yang menumbuhkan kesadaran-kesadaran spiritual bagi yang

melakukannya dan mengarah pada pembersihan hati, dan (2) relaksasi

yang memberi kenikmatan secara ragawi bagi yang melakukannya.

Dengan bertafakur, dapat dipahami hubungan erat antara “pikiran” dan

20

“perasaan”. Demikian halnya hubungan antara fikr dan dzikr. Perasaan itu,

sebagaimana dibuktikan melalui penelitian amigdala di otak, ternyata

harus juga memiliki pikirannya sendiri. Inti Kecerdasan Emosi(EQ), yang

antara lain dapat disuburkan melalui tafakur, adalah bagaimana pikiran itu

mengontrol emosi. Bagaimana kulit otak (pusat dan intelektualitas

manusia) menata amigdala (pusat emosi manusia). 24

a. Redaksi Ayat

⌧ ⌦

⌧ ⌧

Katakanlah: "Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, Yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua- dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu fikirkan (tentang Muhammad) tidak ada penyakit gila25 sedikitpun pada kawanmu itu. Dia tidak lain hanyalah pemberi peringatan bagi kamu sebelum (menghadapi) azab yang keras (QS. Saba’: 46).26

b. Arti Kosakata

: aku hendak memperingatkan kepadamu

: kamu menghadap

: berdua-dua : sendiri-sendiri

⌧ kamu fikirkan27 c. Asbabun Nuzul

Diriwayatkan bahwa pada suatu hari Nabi Muhammad saw.

Mendaki bukit Shafa dan berseru memanggil suku Quraisy. Ketika

mereka berkumpul Nabi saw. bersabda: “Bagaimana tanggapan kalian

24 Taufik Pasiak, op.cit., hlm. 280-283. 25 Coba kita perhatikan ayat 46, 47, 48, 49 dan 50. semua dalil itu dianjurkan kepada Nabi

yang dengan itu pula ia dapat meyakinkan orang yang berpikir sehat, mengenai kesungguhan dan kejujurannya. Dalilnya disini ialah bahwa dia tidak kesurupan atau gila, kalaupun dia berbeda dari manusia biasa hanya karena dia memberi peringatan mengenai bahaya dalam arti rohani yang mengerikan kepada orang-orang yang dicintainya, namun mereka tidak juga dapat menangkap ajarannya.

26 Depag RI, op.cit., hlm. 691. 27 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi Juz 22, Penerjemah:

Bahrun Abu Bakar Lc., (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), Cet. I, hlm. 153.

21

jika aku menyampaikan bahwa ada musuh yang sedang menanti

datangnya pagi atau malam untuk menyerang kamu. Apakah kamu

percaya?” Mereka menjawab: “Kami percaya.” Lalu Nabi saw.

bersabda: “Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan bagi kamu

sebelum datangnya siksa yang pedih.” Mendengar hal ini, Abu Lahab

berkata: “Celakalah engkau! Apakah untuk maksud tersebut engkau

mengumpulkan kami?” Maka turunlah firman Allah: “Tabbat yadâ Abi

Lahab.” (HR. Bukhâri, Muslim, Ibn Hibban dan al-Baihaqi melalui Ibn

‘Abbas).28

d. Munasabah

Ayat ini dan ayat-ayat berikut dimulai dengan kata

qul/katakanlah. Tujuannva adalah menggarisbawahi serta meminta

perhatian mitra bicara menyangkut apa yang disampaikan. Yang

diminta oleh ayat ini hanya satu yaitu berpikir. Bahwa yang ditekankan

hanya satu, untuk mengisyaratkan bahwa apa yang diminta itu

bukanlah sesuatu yang sulit, tetapi setiap orang dapat melakukannva.

Bahwa yang diminta adalah berpikir, menunjukkan betapa berpikir

obyektif dapat mengantar kepada kesimpulan yang benar dan betapa

ajaran Islam sangat mengandalkan akal dalam pembuktian

kebenarannya.29

e. Penjelasan Ayat

Pada ayat ini Allah SWT memerintahkan kepada Muhammad

supaya memperingatkan dan menasehati kaumnya agar jangan cepat-

cepat mendustakan kerasulan dan Al Qur’an yang dibawanya.

Sebaiknya mereka itu mempergunakan waktunya untuk menghadap

Allah dengan ikhlas, memikirkan dan merenungkan dengan sungguh-

sungguh apa yang telah dibawa Muhammad baik sendiri-sendiri

maupun bersama-sama, semoga dengan demikian mereka dapat

mencapai kebenaran yang sebenarnya, menemukan jalan yang lurus

28 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an, Vol. II, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), Cet. IX, hlm. 407-408.

29 M. Quraish Shihab, loc.cit.

22

yang diridhai oleh Allah SWT, menginsafi kebenaran yang dibawanya

membuka selubung yang menutup mata mereka sehingga dengan rela

dan penuh keikhlasan mengakui kebenaran apa yang dibawa oleh

Rasulullah saw itu. Mereka dianjurkan berpikir dan merenung di dalam

suasana tenang cukup hanya seorang, atau secara berduaan atau secara

berkelompok, karena biasanya kalau banyak orang berkumpul

beramai-ramai, pikiran sering terganggu, sehingga apa yang dipikirkan

dan direnungkan itu tidak tentu arah tujuannya’ tak dapat mengenal

sasaran dan sampai kepada apa yang dicita-citakan. Allah SWT

menegaskan juga di dalam ayat ini bahwa Muhammad teman mereka

itu bukanlah seorang yang gila tidak ada sedikitpun penyakit gila

padanya dan dia bukan pula seorang pembohong, tetapi Muhammad

itu tiada lain hanyalah seorang pemberi peringatan agar mereka itu

tidak ditimpa azab yang keras akibat keingkaran dan kedurhakaan

mereka terhadap perintah-perintah Allah SWT.

Ayat di atas mendahulukan penyebutan dua-dua/bersama-sama

atas sendiri-sendiri agaknya karena berpikir bersama akan lebih baik

dan menghasilkan kesimpulan yang lebih tepat daripada berpikir

sendiri-sendiri Kendati demikian, berpikir dan merenung sendiri pun

dapat mengantar seseorang mencapai kebenaran.30

Akan tetapi, menurut Ahmad Musthofa al-Maraghi, bahwa

apabila Allah menyuruh mereka berpikir secara terpisah dua orang dua

orang atau seorang-seorang, maka hal itu tak lain dalam kerumunan

orang banyak, maka pikiran akan terganggu sehingga tidak bisa

berpikir lama. Sedang perkataan bercampur dan tidak bisa lagi dengan

sempurna mempertimbangkan sesuatu secara adil. Padahal

sebagaimana dapat disaksikan sehari-hari kegoncangan dan pikiran

yang tidak teratur akan senantiasa terjadi pada kelompok-kelompok

30 Ibid., hlm. 409.

23

yang banyak ketika terjadi perdebatan dan perselisihan pendapat, suatu

hal yang mendukung kebenaran ayat ini.31

Penjelasan terakhir dalam surat ini dimulai dengan

pembicaraan tentang orang-orang musyrik, ucapan mereka tentang nabi

saw dan tentang Al-Qur'an yang dibawa beliau dan memperingatkan

mereka tentang apa yang telah terjadi dengan orang-orang seperti

mereka sebelumnya, juga memperlihatkan kepada mereka cara

kematian orang-orang zaman lampau yang mengingkari risalah agama,

padahal mereka itu lebih kuat, lebih berpengetahuan dan lebih kaya

dibandingkan orang-orang musyrik itu.

Hal ini dilihat beberapa dentangan yang keras, seakan-akan

palu yang dipukul berulang-ulang. Di awal dentangan Al-Qur'an

mengajak mereka untuk menghadap Allah secara jujur. Kemudian

berpikir tanpa terpengaruh oleh rintangan-rintangan yang menghalangi

mereka dari petunjuk dan berpikir yang benar.32

3. Istilah يتذآرون dalam QS. Az-Zumar: 9

Tadzakkur adalah salah satu tugas akal yang paling tinggi. Dan

dzakirah (Ingatan”) adalah tempat penyimpanan pengetahuan dan

informasi yang diperoleh manusia untuk dipergunakannya pada saat

dibutuhkan. Manusia, menurut Qardhawi, tidak bisa hidup tanpa tadzakkur

dan dzakirah. Entah di dunia, dan di akhirat.

Ada perbedaan penekanan makna antara tafakkur dan tadzakkur.

Untuk memperoleh pengetahuan baru dan segar, tafakur diperlukan.

Sedangkan untuk mengingatnya, supaya tidak lupa dan lalai, tadzakkur

diperlukan. Imam Al-Ghazali mempertegas posisi keduanya, “Setiap orang

yang berpikir adalah ber-tadzakkur. Namun, tidak setiap ber-tadzakkur itu

berpikir.”

31 Ahmad Musthafa Al-Maraghiy, Terjemah Tafsir Al-Maraghi Juz 22, (Penerjemah:

Bahrun Abu Bakar Lc) (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), Cet. I, hlm. 158-159. 32 Sayyid Quthb, Fizhilalil Qur’an, (Penerjemah: As’ad Yasin, dkk), Tafsir Fi Zhilahil

Qur’an di Bawah Naungan Al-Qur'an, Jilid 9, (Jakarta: Gema Insani Press 2004), Cet. I, hlm. 329.

24

Tadzakkur sama dengan menyebut berulang-ulang dalam psikologi

kognitif. Sel-sel saraf ketika seseorang mengingat atau “menyebut

berulang-ulang” senantiasa bertambah dan tidak hilang. Hal ini, terutama

bagaimana proses mengingat terjadi pada sel-sel saraf yang plastis itu,

memiliki dimensi yang luas.

Zikir dapat dilakukan dengan hati (dzikr al-shadr). Bisa pula

dengan lidah saja. Yang penting, dengan itu, seseorang dapat mengingat

Tuhan. Kapan saja, di mana saja. Relevansi cara ni dengan kegiatan

berpikir terletak pada hikmah yang diperoleh. Berpikir yang balk adalah

bila dengan itu seseorang mendapatkan “Zat Maha tinggi” di balik setiap

objek pikiran. Dalam hal ini, kata ayat yang berulang-ulang disebut dalam

Al-Quran memiliki medan makna yang sangat luas. Inilah yang dilukiskan

para ahli hikmah dengan kata-kata: “Bertafakur satu jam lebih baik

daripada beribadah satu tahun”.

Dalam maknanya yang sempit, zikir dimaksudkan Untuk menyebut

nama Allah secara berulang-ulang’. Dalam Al-Quran, Allah berfirman,

(“lngatlah kepada-Ku, niscaya Aku mengingatmu”). Biasanya, zikir

dilakukan usai shalat dengan menyebut frasa-frasa pendek, seperti

astagfirullah, subhanallah, alhamdulillah, la ilâha illaIIâh, Allahu Akbar.

Kegiatan seperti ini, bila dilakukan secara serius, sangat efektif sebagai

pereda ketegangan dan kecemasan.

Penelitian Herbert Benson menunjukkan bahwa kata-kata zikir itu

dapat menjadi salah satu frasa fokus (kata-kata yang menjadi titik

perhatian) dalam proses penyembuhan diri dan kecemasan, ketakutan,

bahkan dan keluhan fisik, seperti sakit kepala, nyeri dada, dan hipertensi.

Frasa fokus itu jika dikombinasikan dengan respons relaksasi dapat

menghambat kerja sistem saraf simpatis yang mengatur kecepatan denyut

jantung, nadi, pernapasan, dan metabolisme. Ia berfungsi seperti obat-obat

Beta Blocker (penghambat reseptor beta) dalam kerja saraf simpatis. Pada

sisi lain, zikir dapat membuat alur gelombang otak berada pada gelombang

25

alfa ketika seseorang menjadi sangat kreatif dan berdaya renung tinggi.

Perubahan gelombang otak inilah yang terjadi ketika seseorang bertafakur.

a. Redaksi Ayat

☺ ⌧

(apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.33 (QS. Az-Zumar: 39: 9).34

b. Arti Kosakata

: Orang-orang yang melakukan ketaatan yang diwajibkan kepadanya.

: Saat-saat malam

⌧ : Takut kepada azab di akhirat

⌧ : orang yang berakal35

c. Asbabun Nuzul

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa yang dimaksud

dengan amman huwa qonit …. (Apakah kamu hai orang musyrik yang

lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah….) dalam ayat ini (QS.

39 Az Zumar: 9) ialah Utsman bin Affan yang selalu bangun malam

33 Ayat ini menolak paham orang yang mencela orang yang beribadah lantaran takut

kepada neraka. Dan mengatakan ketinggian orang yang berilmu serta menyatakan bahwa garis orang alim tidak sekufu dengan orang jahil. Dan ayat ini mengindikasikan bahwa yang dipandang berilmu ialah orang-orang yang mengamalkan ilmunya. Lihat Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Bayan Tafsir Penjelas Al-Qur'an Karim, Jilid 2, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002), Cet. I, hlm. 979.

34 Depag RI, op.cit., hlm. 441. 35 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi Juz 23, (Penerjemah: Drs.

M. Thalib), (Bandung: CV. Rosda, 1989), Cet. I, hlm. 260.

26

sujud kepada Allah SWT. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hakim yang

bersumber dari Ibnu Umar.

Keterangan.

Menurut riwayat Ibnu Sa’id dari Al-Kalbi dari Abu Shalih,

yang bersumber dari Ibnu Abbas, orang yang dimaksud dalam ayat ini

adalah ‘Ammar bin Yasir, dan menurut Juwabir yang bersumber dari

Ibnu Abbas, orang-orang yang dimaksud dalam surat ini adalah Ibnu

Mas’ud, Ammar bin Yasir dan Salim, Maula abu Hudzaifah.

Sedangkan menurut Juwaibir yang bersumber dari Ikrimah orang yang

dimaksud adalah ‘Ammar bin Yasir.36

d. Munasabah

Adapun munasabah surat ini dengan surat sebelumnya bahwa

ayat yang lalu mengecam dan mengancam orang-orang kafir, ayat di

atas menegaskan perbedaan sikap dan ganjaran yang akan mereka

terima dengan sikap dan ganjaran bagi orang-orang beriman.37

e. Penjelasan kandungan ayat

Ayat di atas menggarisbawahi rasa takut hanya pada akhirat,

sedang rahmat tidak dibatasi dengan akhirat, sehingga dapat mencakup

rahmat duniawi dan ukhrawi. Memang seorang mukmin hendaknya

tidak merasa takut menghadapi kehidupan duniawi, karena apapun

yang terjadi selama ia bertakwa maka itu tidak masalah, bahkan dapat

merupakan sebab ketinggian derajatnya di akhirat. Adapun rahmat,

maka tentu saja yang diharapkan adalah rahmat menyeluruh, dunia dan

akhirat.

Takut dan mengharap menjadikan seseorang selalu waspada,

tetapi tidak berputus asa dan dalam saat yang sama tidak yakin.

Keputusasaan mengundang apatisme, sedang keyakinan penuh dapat

mengundang pengabaian persiapan. Seseorang hendaknya selalu

36 Dahlan M. Zakia Al-Farisi, Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya ayat-

ayat Al-Qur'an, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro 2000), Ed. II, hlm. 464. 37 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an, vol.

12, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), Cet. III, hlm. 195.

27

waspada, sehingga akan selalu meningkatkan ketakwaan, namun tidak

pernah kehilangan optimisme dan sangka baik kepada Allah swt.

Kata (يعلمون) ya’lamun pada ayat di atas, ada juga ulama yang

memahaminya sebagai kata yang tidak memerlukan objek. Maksudnya

siapa yang memiliki pengetahuan apapun pengetahuan itu pasti tidak

sama dengan yang tidak memilikinya. Hanya saja jika makna ini yang

Anda pilih, maka harus digarisbawahi bahwa ilmu pengetahuan yang

dimaksud adalah pengetahuan yang bermanfaat, yang menjadikan

seseorang mengetahui hakikat sesuatu lalu menyesuaikan diri dan

amalnya dengan pengetahuannya itu.

Kata (يتذآر) yatadzakkaru terambil dan kata ( رذآ ) dzikr yakni

pelajaran/peringatan. Penambahan huruf (ت) ta’ pada kata yang

digunakan ayat ini mengisyaratkan banyaknya pelajaran yang dapat

diperoleh oleh Ulul Albab. Ini berarti bahwa selain mereka pun dapat

memperoleh pelajaran, tetapi tidak sebanyak Ulul albab.38 Karena ulul

albab sendiri ialah para pemilik kalbu yang senantiasa sadar, terbuka

dan memahami hakikat yang ada di balik lahiriah. Juga yang

memanfaatkan apa yang dilihat dan diketahuinya, yang ingat kepada

Allah melalui segala sesuatu yang dilihatnya dan disentuhnya. Dia

tidak melupakan-Nya, maka takkan lupa saat kamu menemui-Nya.39

Di akhir ayat ini Allah SWT menyatakan bahwa orang-orang

yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran. Baik pelajaran dari

pengalaman hidupnya atau dari tanda-tanda kebesaran Allah yang

terdapat di langit dan di bumi serta isinya, juga terdapat pada dirinya

suri tauladan dari kisah umat yang lalu.40

38 Ibid., hlm. 196-197. 39 Sayyid Quthb, Fizhilalil Qur’an, (Penerjemah: As’ad Yasin, dkk), Tafsir fi Zhilalil

Qur’an di Bawah Naungan Al-Qur'an Jilid 10, (Jakarta: Gema Insani Press 2004), Cet. I, hlm. 71. 40 Depag RI, Al-Qur'an dan Tafsirnya, Jilid VIII (UII) (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti

Wakaf, 1990), hlm. 441.

28

4. Istilah اولوا االلباب dalam QS. Ali Imran: 7

Sesuatu yang amat agung dari petunjuk Al-Qur'an, berkenaan

dengan visi pemikiran dan ilmu pengetahuan, adalah bahwa Al-Qur'an

memberi penghargaan terhadap ulul-albab dan kaum cendekiawan, atau

kaum intelektual. Allah memuji mereka dalam banyaknya ayat dalam

surat-surat Makiyah dan Madaniyah.

Beberapa penulis mengatakan bahwa Al-Qur‘an memberi perhatian

terhadap kata kerja ‘aqala dan derivasinva seperti ya’qilun atau ta’qilun,

tetapi Al-Qur'an tidak menyebut al-aql sebagai potensi dan substansi

dalam diri manusia yang darinya berlangsung beberapa proses olah pikir,

seperti berpikir, mengingat, mengambil iktibar, dan sebagainya.

Pendapat tersebut benar jika kita melihat dari sisi term al-’aql,

tetapi jika kita melihat kepada makna yang dimaksudkan darinya, kita

akan mendapatkan dalam Al-Qur‘an tertulis secara jelas term al-albab’

atau ‘uqul. Ia adalah bentuk jamak dari term lubbu ‘isi’, yaitu antonim

‘kulit’. Di sini, A1-Qur’an seakan ingin menunjukkan bahwa manusia

terdiri atas dua bagian: kulit dan isi. Bentuk Fisik adalah kulit, sedangkan

akal adalah isi.

Term ulul albab atau ulil albab terulang dalam Al-Qur'an sebanyak

16 kali. Sembilan di antaranya terdapat dalam Al-Qur'an Maki dan tujuh

lainnya terdapat dalam Al-Qur'an Madani. Di antara delapan yang

Madaniyah, empat di antaranya dengan redaksi memanggil.41

Dalam Surat ali imran, ulul-albab disebut sebanyak dua kali.

Pertama, dalam pembicaraan tentang ayat-ayat yang mutasyabihat. Di sini

dijelaskan bahwa ulul albab tidak terjerumus dalam kecelakaan seperti

yang terjadi pada orang-orang yang terdapat penyakit dalam hatinya,

mereka yang mengikuti apa yang tersamar dari ayat Al-Qur’an. Kaum ulul

albab tersebut mengembalikan ayat-ayat mutasyabihat itu kepada ayat-

ayat muhkamat, yaitu Ummul-Kitab dan sebagian besar Al-Qur'an. Ini

41 Yusuf Qordhawi, Al-Qur'an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta:

Gema Insani, 1998), hlm. 29-30.

29

merupakan buah dan ketinggian ilmu mereka. Mereka, seperti disinyalir

Al-Qur’an adalah42

a. Redaksi Ayat

Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya43 berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS. Ali Imran: 7).44

b. Arti Kosakata

☺ : Ayat-ayat yang kandungannya sudah jelas

: Induk kitab

:Serupa, kesamaran, ayat-ayat yang mengandung kesamaran dalam maknanya

42 Ibid., hlm. 33. 43 Satu bacaan yang ditolak oleh sebagian besar ahli tafsir, tetapi diterima oleh mujahid

dan yang lain tidak akan berhenti pada titik ini yang diberi tanda waqaf lazim, tetapi akan membaca 2 kalimat itu bersama-sama. Dengan demikian kalimat itu akan terbaca: “Tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Mereka berkata: ..” Lihat Abdullah Yusuf Ali, op.cit., hlm. 123.

44 Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahan, Juz 1-30 (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1995), hlm. 76.

30

: Dalam hatinya

: Penjelas, substansi sesuatu

:

Saripati sesuatu, orang-orang yang memiliki akal yang murni yang tidak selubungi oleh kulit yakni kabut ide45

c. Asbabun Nuzul

Sejauh ini penulis hanya menemukan asbabun nuzul ayat 3

yaitu dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya dari surat 3

Ali Imran anta ayat 1 sampai 80-an. Sebagai penjelasan yang diberikan

kepada nabi saw atas kedatangan kaum Nasrani yang mempersoalkan

Nabi Isa as.46 Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari

al-Rabi.47

d. Munasabah

Adapun munasabah ayat ini dengan ayat sebelumnya yaitu

sama-sama menegaskan keluasan ilmu dan kekuasaan-Nya antara lain

dengan membentuk cara dan substansi bagi segala sesuatu sesuai

dengan fungsi yang dikehendaki-Nya, sehingga ia berada dalam

keadaan yang sebaik-baiknya.48

e. Penjelasan Kandungan Ayat

Pada ayat ini Allah SWT menjelaskan bahwa Al Qur’an yang

diturunkan yaitu di dalamnya ada ayat-ayat yang Muhkamat dan ada

yang Mutasyabihat. Ayat yang Muhkamat” ialah ayat yang jelas

artinya, seperti ayat-ayat hukum dan sebagainya. “Ayat

Mutasyabihat” ialah ayat yang tidak jelas, artinya yang dapat

ditafsirkan dengan bermacam-macam penafsiran seperti ayat yang

45 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an, Vol.

2, op.cit., hlm. 15-17. 46 Kaum Nasrani menganggap Nabi Isa as lebih mulia daripada Nabi Muhammad saw,

karenanya mereka tidak mempercayai nabi Muhammad sebagai rasul. 47 Dahlan dan Zaha Al-Farisi, op.cit., hlm. 93. 48 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an, Vol.

2, op.cit., hlm. 11.

31

berhubungan dengan hal-hal yang gaib dan sebagainya. Ayat-ayat

muhkamat dapat diketahui dengan mudah arti dan maksudnya sedang

ayat-ayat yang Mutasyabihat itu ialah ayat-ayat yang sukar diketahui

arti dan maksudnya yang sebenarnya hanyalah Allah SWT yang

mengetahuinya tentang tujuan menurunkan ayat-ayat Mutasyabihat itu.

Menurut sebagian para mufasir ialah:

1. Untuk menguji iman dan keteguhan hati seseorang muslim kepada

Allah, iman yang benar hendaklah disertai dengan penyerahan diri

dalam arti yang seluas-luasnya kepada Allah SWT. Allah SWT

menurunkan ayat-ayat yang dapat dipikirkan artinya dengan mudah

dan Dia menurunkan ayat-ayat yang sukar diketahui makna dan

maksud yang sebenarnya, yaitu ayat-ayat Mutasyãbihat. Dalam

menghadapi ayat-ayat yang Mutasyãbihat ini, manusia akan

merasa bahwa dirinya bukanlah makhluk yang sempurna, ia hanya

diberi Allah pengetahuan yang sedikit karena itu ia akan

menyerahkan pengertian ayat-ayat itu kepada Allah SWT Yang

Maha Mengetahui.

2. Dengan adanya ayat-ayat yang muhkamat dan mutasyãbihat itu

kaum muslimin akan berfikir sesuai dengan batas-batas yang

diberikan Allah yang dapat dipikirkan secara mendalam dan ada

pula yang sukar dipikirkan lalu diserahkan kepada Allah.

3. Para nabi dan para rasul diutus kepada seluruh manusia yang

keadaannya berbeda-beda, misalnya: berbeda kepandaiannya,

kemampuannya, kekayaannya; berbeda pula bangsa. bahasa dan

daerahnya. Karena itu cara penyampaian agama kepada mereka itu

hendaklah disesuaikan tingkatan keadaan mereka itu dan dengan

tingkatan bahasa yang sesuai dengan kemampuan mereka; ada

yang mudah difahami dan ada yang sukar difahami. Yang mudah

untuk orang yang kurang mempunyai ilmu, sedang yang sukar

untuk orang yang dalam ilmunya.

32

Dalam hal ini Allah SWT. menerangkan sikap manusia dalam

memahami dan menghadapi ayat-ayat yang mutasyäbihat, yaitu:

1. Orang-orang yang hatinya tidak menginginkan kebenaran, mereka

jadikan ayat-ayat itu untuk bahan fitnah yang mereka sebarkan di

kalangan manusia dan mereka mencari-cari artinya yang dapat

dijadikan alasan untuk menguatkan pendapat dan keinginan

mereka.

2. Orang-orang yang mempunyai pengetahuan yang mendalam dan

ingin mencari kebenaran, mereka haruslah mencari pengertian

yang benar, dari ayat itu. Bila mereka belum atau tidak sanggup

mengetahuinya, mereka berserah diri kepada Allah sambil berdo’a

dan mohon petunjuk.

Pada akhir ayat ini Allah SWT menerangkan sifat-sifat orang-

orang yang dalam ilmunya, yaitu orang-orang yang suka

memperhatikan makhluk Allah suka memikirkan dan

merenungkannya. Ia berfikir semata-mata karena dan untuk mencari

kebenaran. 49

Dan tidaklah akan mengingat kecuali orang-orang yang

mempunyai pikiran. Menurut Ahmad Musthofa al-Maraghi, bahwa

ayat tersebut Maksudnya, tidaklah akan memikirkan dan memahami

hikmah ayat-ayat mutasyabih, kecuali rang yang punya pandangan

jernih dan akal yang luas yang secara istimewa dipergunakan untuk

memikirkan dan memperhatikan semua ayat-ayat muhkam yang

menjadi pokok Al Qur’an. . Dan di kala dia. menemukan ayat-ayat

mutasyabih dengan mana didapat mengingat dan merujuk ayat-ayat.

mutasyabih kepada ayat-ayat muhkam.

Dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabih, yang merupakan

berita dalam alam ghaib, mereka punya pendirian: “Mempersamakan

yang ghaib yang tidak dengan yang nyata adalah mempersamakan dua

49 Depag RI, Al-Qur'an dan Tafsirnya, Jilid I, Juz 1-2-3 (Semarang: PT. Citra Effhar,

1993), hlm. 515-516.

33

hal yang tidak sama. Dan orang yang berakal tentu tidak patut berbuat

demikian.50

Dijelaskan dalam Tafsir al-Mishbah, bahwa al-Albab adalah

bentuk jamak dari lubb, yaitu saripati sesuatu. Kacang misalnya

memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi kacang dinamai lubb. Ulul al-

albab adalah orang-orang yang memiliki akal yang murni, yang tidak

diselubungi oleh “kulit, “ yakni kabut ide, yang dapat melahirkan

kerancuan dalam berpikir.

Jika seseorang memperturutkan akalnya semata-mata apalagi

akal yang dipenuhi oleh kabut-kabut ide, maka tidak mustahil ia

tergelincir. Karena itu, lanjutan ayat ini mengajarkan doa, atau lanjutan

doa orang-orang yang dalam pengetahuannya dan mantap imannya,

menyatakan, seperti terbaca dalam ayat-ayat selanjutnya.51

Dalam Al-Qur'an, akal memiliki posisi yang sangat mulia. Meski

demikian bukan berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam

memahami agama. Al-Qur'an memiliki aturan untuk menempatkan akal

sebagaimana kedudukannya. Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalu

cocok dengan syariat Islam dalam permasalahan apapun.

Akal adalah nikmat yang besar yang Allah titipkan dalam jasmani

manusia. Hikmat yang bisa disebut hadiah ini menunjukkan kekuasaan

Allah yang sangat menakjubkan. Oleh karena itu dalam banyak ayat, Allah

memberi semangat untuk berakal (yakni menggunakan akalnya).

Sebaliknya, Allah mencela orang yang tidak berakal.

Kita pun dapat melihat agama Islam dalam ajarannya memberikan

bentuk kemuliaan terhadap akal, seperti Allah menjadikan akal sebagai

tempat bergantungnya hukum sehingga yang tidak berakal tidak dibebani

hukum. Walaupun akal dimuliakan tapi kita menyadari bahwa akal sesuatu

50 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi Juz 3, (Penerjemah: Drs.

M. Thalib) (Bandung: CV. Rosda, 1987) Cet. II, hlm. 132. 51 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an, Vol.

2, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), Cet. III, hlm. 17.

34

yang berada dalam jasmani makhluk. Maka ia sebagaimana makhluk yang

lain memiliki kelemahan dan keterbatasan.

Dari uraian di atas Al-Qur'an meletakkan akal sesuai dengan

kedudukannya tidak seperti yang dilakukan oleh kalangan Barat yang

menempatkan akal sebagai “Tuhan” dengan segala-galanya di dalam

kehidupan mereka. Allah menciptakan akal dalam keadaan terbatas

sehingga akal memerlukan perangkat lain berupa hati untuk dapat

memahami fenomena alam yang tidak mampu dijangkaunya. Sehingga

dengan keserasian antara akal dan hati, manusia dapat menjadi manusia

seutuhnya dan sesuai dengan apa yang digambarkan dalam kedudukan

akal oleh Al-Qur'an.

Jadi kedudukan Al-Qur'an dalam bila dijabarkan dalam pendidikan

Islam yaitu perpaduan antara aqliyah dan qalbiyah. Dalam artian apabila

peserta didik menerima pelajaran itu harus diamalkan dan dihayati dengan

sepenuh hati. Tidak hanya menjadi pengetahuan yang rasional saja tetapi

harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

35

BAB III

PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

A. Pengertian Pengembangan kurikulum

1. Pengertian Kurikulum

Kurikulum adalah program pendidikan yang disediakan oleh

lembaga pendidikan (sekolah) bagi siswa. Berdasarkan program

pendidikan tersebut siswa melakukan berbagai kegiatan belajar, sehingga

mendorong perkembangan dan pertumbuhannya sesuai dengan tujuan

pendidikan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, dengan program

kurikuler tersebut, sekolah / lembaga pendidikan menyediakan lingkungan

pendidikan sedemikian rupa yang memungkinkan siswa melakukan

beraneka ragam kegiatan belajar. Kurikulum tidak terbatas pada sejumlah

mata pelajaran, namun meliputi segala sesuatu yang dapat mempengaruhi

perkembangan siswa, seperti: bangunan sekolah, alat pelajaran,

perlengkapan sekolah, perpustakaan, karyawan tata usaha, gambar-

gambar, halaman sekolah dan lain-lain.1

Kurikulum menurut Saylor dan Alexander sebagaimana yang

dikutip oleh Peter F. Oliva, bahwa: curriculum as the plan for providing

sets of learning opportunities to achieve broad goals and related specific

objectives for an identifiable population served by a single school center.2

Kurikulum adalah sesuatu yang direncanakan sebagai pegangan

guna mencapai tujuan pendidikan. Apa yang direncanakan biasanya

bersifat idea, suatu cita-cita tentang manusia atau warga negara yang akan

dibentuk. Kurikulum ini lazim mengandung harapan-harapan yang sering

berbunyi muluk-muluk.

Apa yang dapat diwujudkan dalam kenyataan disebut kurikulum

yang real. Karena tak segala sesuatu yang direncanakan dapat

1 Oemar Hamalik, Proses belajar Mengajar, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007), Cet. VI,

hlm. 64) 2 Peter F. Oliva, Developing the Curriculum, (Canada: Little, Brown and Company

Boston Toronto, 1982), hlm. 6.

36

direalisasikan, maka terdapatlah kesenjangan antara idea dan real

curriculum.

Smith dan kawan-kawan memandang kurikulum sebagai rangkaian

pengalaman yang secara potensi dapat diberikan kepada anak, jadi dapat

disebut potential curriculum. Namun apa yang benar-benar dapat

diwujudkan pada anak secara individual, misalnya bahan yang benar-benar

diperolehnya, disebut actual curriculum.

Berbagai tafsiran tentang kurikulum dapat kita tinjau dari segi lain,

sehingga kita peroleh penggolongan sebagai berikut:

1) Kurikulum dapat dilihat sebagai produk, yakni sebagai hasil karya para

pengembang kurikulum, biasanya dalam suatu panitia. Hasilnya

dituangkan dalam bentuk buku atau pedoman kurikulum, yang

misalnya berisi sejumlah mata pelajaran yang harus diajarkan.

2) Kurikulum dapat pula dipandang sebagai program, yakni alat yang

dilakukan oleh sekolah untuk mencapai tujuannya. Ini dapat berupa

mengajarkan berbagai mata pelajaran tetapi dapat juga meliputi segala

kegiatan yang dianggap dapat mempengaruhi perkembangan siswa

misalnya perkumpulan sekolah, pertandingan pramuka, warung

sekolah dan lain-lain.

3) Kurikulum dapat pula dipandang sebagai hal-hal yang diharapkan akan

dipelajari siswa, yakni pengetahuan, sikap, ketrampilan tertentu. Apa

yang diharapkan akan dipelajari tidak selalu sama dengan apa yang

benar-benar dipelajari.

Mengenai masalah kurikulum senantiasa terdapat pendirian yang

berbeda-beda, bahkan sering yang bertentangan. Ketidakpuasan dengan

kurikulum yang berlaku adalah sesuatu yang biasa dan memberi dorongan

mencari kurikulum baru. Akan tetapi mengajukan kurikulum yang ekstrim

sering dilakukan dengan mendiskreditkan kurikulum yang lama, pada hal

kurikulum itu pun mengandung kebaikan, sedangkan kurikulum pasti tidak

37

akan sempurna dan akan tampil kekurangannya setelah berjalan dalam

beberapa waktu.3

Macam-macam definisi yang diberikan tentang kurikulum.

Lazimnya kurikulum dipandang sebagai suatu rencana yang disusun untuk

melancarkan proses belajar mengajar di bawah bimbingan dan tanggung

jawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya.

Ada sejumlah ahli teori kurikulum yang berpendapat bahwa kurikulum

bukan hanya meliputi semua kegiatan yang direncanakan melainkan juga

peristiwa-peristiwa yang terjadi di bawah pengawasan sekolah, jadi selain

kegiatan kurikulum yang formal juga kegiatan yang tak formal. Yang

terakhir ini sering disebut kegiatan ko-kurikuler atau ekstrakurikuler (co-

curriculum atau extra-curriculum).

Kurikulum formal meliputi:

- Tujuan pelajaran, umum dan spesifik

- Bahan pelajaran yang tersusun sistematis

- Strategi belajar mengajar serta kegiatan-kegiatannya.

- Sistem evaluasi untuk mengetahui hingga mana tujuan tercapai.

Kurikulum tak formal terdiri atas kegiatan-kegiatan yang juga

direncanakan akan tetapi tidak berkaitan langsung dengan pelajaran

akademis dan kelas tertentu. Kurikulum ini dipandang sebagai pelengkap

kurikulum formal. Yang termasuk kurikulum tak formal ini antara lain:

pertunjukan sandiwara, pertandingan antar kelas atau antar sekolah,

perkumpulan berbagai hobby, pramuka dan lain-lain.

Ada lagi yang harus diperhitungkan yaitu kurikulum

“tersembunyi” (hidden curriculum). Kurikulum ini antara lain berupa

aturan yang tak tertulis di kalangan siswa misalnya “harus kompak

terhadap guru” yang turut mempengaruhi suasana pengajaran dalam kelas.

3 S. Nasution, Asas-Asas Pengembangan Kurikulum, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2001),

hlm. 8-9.

38

Kurikulum tersembunyi ini dianggap oleh kalangan tertentu tidak

termasuk kurikulum karena tidak direncanakan.4

2. Pengertian Pengembangan Kurikulum

Pengembangan kurikulum adalah proses perencanaan kurikulum

agar menghasilkan rencana kurikulum yang luas dan spesifik. Proses ini

berhubungan dengan seleksi dan pengorganisasian berbagai komponen

situasi belajar mengajar, antara lain penetapan jadwal pengorganisasian

kurikulum dan spesifikasi tujuan yang disarankan, mata pelajaran,

kegiatan, sumber dan alat pengukur pengembangan kurikulum yang

mengacu pada kreasi sumber-sumber unit, rencana unit, dan garis

pelajaran kurikulum ganda lainnya, untuk memudahkan proses belajar

mengajar.5

Menurut Audrey Nichols dan S. Howard Nichools sebagaimana

yang dikutip oleh Oemar Hamalik, bahwa pengembangan kurikulum

(curriculum development) adalah: the planning of learning opportunities

intended to bring about certain desered in pupils, and assessment of the

extent to which these changes have taken place.

Rumusan ini menunjukkan bahwa pengembangan kurikulum

adalah perencanaan kesempatan-kesempatan belajar yang dimaksudkan

untuk membawa siswa ke arah perubahan-perubahan yang diinginkan dan

menilai hingga mana perubahan-perubahan itu telah terjadi pada diri

siswa. Sedangkan yang dimaksud kesempatan belajar (learning

opportunity) adalah hubungan yang telah direncanakan dan terkontrol

antara para siswa, guru, bahan peralatan dan lingkungan di mana belajar

yang diinginkan diharapkan terjadi. Ini terjadi bahwa semua kesempatan

belajar direncanakan oleh guru; bagi para siswa sesungguhnya adalah

“kurikulum itu sendiri”

4 S. Nasution, Kurikulum dan Pengajaran, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1999), Cet. III,

hlm. 5-6. 5 Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2008), Cet. II, hlm. 183-184.

39

Dalam pengertian di atas sesungguhnya pengembangan kurikulum

adalah proses siklus yang tidak pernah berakhir. Proses kurikulum tersebut

dapat ditampilkan dalam diagram sebagai berikut: proses tersebut terdiri

dari empat unsur yakni:

a. Tujuan: Mempelajari dan menggambarkan semua sumber pengetahuan

dan pertimbangan tentang tujuan-tujuan pengajaran, baik yang

berkenaan dengan mata pelajaran (subject course) maupun kurikulum

secara menyeluruh.

b. Metode dan material: mengembangkan dan mencoba menggunakan

metode-metode dan material sekolah untuk mencapai tujuan-tujuan

tadi yang serasi menurut pertimbangan guru.

c. Penilaian (assessment): menilai keberhasilan pekerjaan yang telah

dikembangkan itu dalam hubungan dengan tujuan dan bila

mengembangkan tujuan-tujuan baru.

d. Balikan (feedback): umpan balik dari semua pengalaman yang telah

diperoleh yang pada gilirannya menjadi titik tolak bagi studi

selanjutnya.6

Menurut UU No. 20 tahun 2003, kurikulum dianggap sebagai

seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran

serta cara yang digunakan pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar

mengajar.

Sesuai dengan konsep di atas maka pengembangan kurikulum pada

hakikatnya adalah proses penyusunan rencana tentang isi dan bahan

pelajaran yang harus dipelajari serta bagaimana mempelajarinya. Namun

demikian persoalan pengembangan isi dan bahan pelajaran serta

bagaimana cara belajar siswa bukanlah suatu proses yang sederhana, sebab

menentukan isi atau mutan kurikulum harus berangkat dari visi, misi serta

tujuan yang ingin dicapai, sedangkan menentukan tujuan erat kaitannya

dengan persoalan sistem nilai dan kebutuhan masyarakat. Persoalan inilah

6 Oemar Hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2008), Cet. III, hlm. 96-97.

40

yang kemudian membawa kita pada persoalan menentukan hal-hal yang

mendasar dalam proses pengembangan kurikulum yang kemudian kita

namakan asas-asas atau landasan-landasan pengembangan kurikulum.

Menurut David Pratt, sebagaimana yang dikutip oleh Wina

Sanjaya, bahwa istilah desain lebih mengena dibandingkan dengan

pengembangan yang mengandung konotasi yang bersifat gradual. Disain

adalah proses yang disengaja tentang suatu pemikiran, perencanaan dan

penyeleksian bagian-bagian, teknik dan prosedur yang mengatur suatu

tujuan atau usaha. Atas dasar itu, maka pengembangan kurikulum

(curriculum development atau curriculum planning) adalah proses atau

kegiatan yang disengaja dan dipikirkan untuk menghasilkan sebuah

kurikulum sebagai pedoman dalam proses dan penyelenggaraan

pembelajaran oleh guru di sekolah.7

B. Landasan Pengembangan Kurikulum

Ada beberapa landasan utama dalam pengembangan suatu kurikulum,

yaitu landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosial budaya, serta

perkembangan ilmu dan teknologi. Pada skripsi ini yang menjadi acuan adalah

landasan filosofis. Penulis menganggap bahwa landasan tersebut sangat erat

hubungannya dengan pembahasan tentang akal manusia. Maka untuk lebih

jelasnya dalam skripsi ini akan dibahas sedikit mengenai landasan filosofis.

Secara harfiah filosofis (filsafat) berarti “cinta akan kebijakan” (love of

wisdom). Orang belajar berfilsafat agar ia menjadi orang yang mengerti dan

berbuat secara bijak. Untuk dapat mengerti kebijakan dan berbuat secara bijak,

ia harus tahu atau berpengetahuan. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui

proses berpikir, yaitu berpikir secara sistematis, logis, dan mendalam.

Pemikiran demikian dalam filsafat sering disebut sebagai pemikiran radikal,

atau berpikir sampai ke akar-akarnya (radic berarti akar). Berfilsafat diartikan

pula berpikir secara radikal, berpikir sampai ke akar. Secara akademik, filsafat

7 Wina Sanjaya, Kajian Kurikulum dan Pembelajaran, (Bandung: Sekolah Pascasarjana

Universitas Pendidikan Indonesia, 2007), hlm. 48-49.

41

berarti upaya untuk menggambarkan dan menyatakan suatu pandangan yang

sistematis dan komprehensif tentang alam semesta dan kedudukan manusia di

dalamnya. Berfilsafat berarti menangkap sinopsis peristiwa-peristiwa yang

simpang siur dalam pengalaman manusia. Suatu cabang ilmu pengetahuan

mengkaji satu bidang pengetahuan manusia, daerah cakupannya terbatas.

Filsafat mencakup keseluruhan pengetahuan manusia, berusaha melihat segala

yang ada ini sebagai satu kesatuan yang menyeluruh dan mencoba mengetahui

kedudukan manusia di dalamnya. Sering dikatakan bahwa filsafat merupakan

ibu dari segala ilmu.8

Filsafat membahas segala permasalahan yang dihadapi oleh manusia

termasuk masalah-masalah pendidikan ini yang disebut filsafat pendidikan.

Walaupun dilihat sepintas, filsafat pendidikan ini hanya merupakan aplikasi

dari pemikiran-pemikiran filosofis untuk memecahkan masalah-masalah

pendidikan, tetapi antara keduanya yaitu antara filsafat dan filsafat pendidikan

terdapat hub yang sangat erat. Menurut Donald Butler, filsafat memberikan

arah dan metodologi terhadap praktik pendidikan, sedangkan praktik

pendidikan memberikan bahan-bahan bagi pertimbangan-pertimbangan

filosofis. Keduanya sangat berkaitan erat.

Pendidikan menurut John Dewey, sebagaimana dikutip oleh Nana

Syaodih Sukmadinata, berarti perkembangan, perkembangan sejak lahir

hingga menjelang kematian. Jadi, pendidikan itu juga berarti sebagai

kehidupan. Bagi Dewey, Education is growth, development, life. Ini berarti

bahwa proses pendidikan itu tidak mempunyai tujuan di luar dirinya, tetapi

terdapat dalam pendidikan itu sendiri. Proses pendidikan juga bersifat kontinu,

merupakan reorganisasi, rekonstruksi, dan pengubahan pengalaman hidup.

Jadi, pendidikan itu merupakan organisasi pengalaman hidup, pembentukan

kembali pengalaman hidup, dan juga perubahan pengalaman hidup sendiri.9

Sesuai dengan pandangan John Dewey, bahwa pendidikan itu adalah

pertumbuhan itu sendiri. Karena itu, pendidikan tersebut dimulai sejak lahir

8 Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), Cet. 11, hlm. 39-40.

9 Ibid., hlm. 41.

42

dan berakhir pada saat kematian. Demikian juga proses belajar tidak dapat

dilepaskan dari proses pendidikan. Pendidikan adalah pengalaman, yaitu suatu

proses yang berlangsung terus-menerus. Bagaimana hubungan antara proses

belajar, pengalaman dan berpikir?

Pengalaman itu bersifat aktif dan pasif. Pengalaman yang bersifat aktif

berarti berusaha, mencoba, dan mengubah, sedangkan pengalaman pasti

berarti menerima dan mengikuti saja. Kalau kita mengalami sesuatu maka kita

berbuat, sedangkan kalau mengikuti sesuatu kita memperoleh akibat atau

hasil. Belajar dari pengalaman berarti menghubungkan kemunduran dengan

kemajuan dalam perbuatan kita, yakni kita merasakan kesenangan atau

penderitaan sebagai suatu akibat atau hasil.

Belajar dari pengalaman adalah bagaimana menghubungkan

pengalaman kita dengan pengalaman masa lalu dan yang akan datang. Belajar

dari pengalaman berarti mempergunakan daya pikir reflektif (reflective

thinking), dalam pengalaman kita. Pengalaman yang efektif adalah

pengalaman reflektif. Ada lima langkah berpikir reflektif menurut John

Dewey, yaitu:

1. Merasakan adanya keraguan, kebingungan yang menimbulkan masalah,

2. Mengadakan interpretasi tentatif (merumuskan hipotesis),

3. Mengadakan penelitian atau pengumpulan data yang cermat,

4. Memperoleh hasil dari pengujian hipotesis tentatif;

5. Hasil pembuktian sebagai sesuatu yang dijadikan dasar untuk berbuat.

Langkah-langkah berpikir reflektif ini dipergunakan sebagai metode

belajar dalam pendekatan pendidikan proyek dari John Dewey, yang sampai

dengan tahun 50-an sangat populer. Belajar seperti halnya pendidikan adalah

proses pertumbuhan, belajar, dan berpikir adalah satu.

Dalam penyusunan bahan ajaran menurut Dewey hendaknya

memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut: 1) Bahan ajaran hendaknya

konkret, dipilih yang betul-betul berguna dan dibutuhkan, dipersiapkan secara

sistematis dan mendetil, 2) Pengetahuan yang telah diperoleh sebagai hasil

belajar, hendaknya ditempatkan dalam kedudukan yang berarti, yang

43

memungkinkan dilaksanakannya kegiatan baru, dan kegiatan yang lebih

menyeluruh.

Bahan pelajaran bagi anak tidak bisa semata-mata diambil dari buku

pelajaran, yang diklasifikasikan dalam mata-mata pelajaran yang terpisah.

Bahan pelajaran harus berisikan kemungkinan-kemungkinan, harus

mendorong anak untuk bergiat dan berbuat. Bahan pelajaran harus

memberikan rangsangan pada anak-anak untuk bereksperimen. Demikianlah

dengan bahan pelajaran ini, kita mengharapkan anak-anak yang aktif, anak-

anak yang bekerja, anak-anak yang bereksperimen. Bahan pelajaran tidak

diberikan dalam disiplin-disiplin ilmu yang ketat, tetapi merupakan kegiatan

yang berkenaan dengan sesuatu masalah (problem).10

C. Pendekatan Pengembangan Kurikulum

Pendekatan yang berorientasi pada tujuan ini, menempatkan rumusan

atau penerapan tujuan yang hendak dicapai dalam posisi sentral, sebab tujuan

adalah pemberi arah dalam pelaksanaan proses belajar-mengajar. Kelebihan

dari pendekatan pengembangan kurikulum yang berorientasi pada tujuan

adalah:

1. Tujuan yang ingin dicapai jelas bagi penyusun kurikulum.

2. Tujuan yang jelas akan memberikan arah yang jelas pula dalam

menetapkan materi pelajaran, metode, jenis kegiatan dan alat yang

diperlukan untuk mencapai tujuan.

3. Tujuan-tujuan yang jelas itu juga akan memberikan arah dalam

mengadakan penilaian terhadap hasil yang dicapai.

4. Hasil penilaian yang terarah tersebut akan membantu penyusunan

kurikulum dalam mengadakan perbaikan-perbaikan yang diperlukan.

Meskipun pendekatan ini memiliki banyak kelebihan jika

dibandingkan dengan pendekatan yang berorientasi pada bahan, pendekatan

ini juga memiliki kelemahan, yaitu kesulitan dalam merumuskan tujuan itu

sendiri (bagi guru). Apa lagi jika tujuan tersebut harus dirumuskan lebih

10 Ibid., hlm. 42-44.

44

khusus, jelas, operasional dan dapat diukur. Untuk merealisasikan maksud

tersebut, pihak guru dituntut memiliki keahlian, pengalaman dan keterampilan

dalam perumusan tujuan khusus pengajaran. Jika tidak demikian, maka akan

terwujud rumusan tujuan khusus yang bersifat dangkal dan mekanistik.11

Dalam hal ini berdasarkan filosofis pengembangan kurikulum, bahwa

tujuan yang ingin dicapai dalam pembahasan skripsi ini adalah pendidikan

yang merangsang kerja akal dan mendorong peserta didik untuk mengamalkan

apa yang mereka peroleh dari pendidikan. Bahan pelajaran hendaknya yang

menggiatkan kerja akal dan bereksperimen agar peserta didik benar-benar

paham dan bisa mengamalkannya. Sehingga ranah kognitif, afektif dan

psikomotorik dapat tercapai dengan baik.

Oleh karena itu sebagai acuan kurikulum PAI sekarang maka penulis

akan memaparkan tentang KTSP, yaitu antara lain sebagai berikut:

1. Landasan Penyusunan KTSP

KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) disusun dalam

rangka memenuhi amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005

tentang Standar Nasional Pendidikan.

Dalam penyusunannya, KTSP jenjang pendidikan dasar dan

menengah mengacu kepada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan

Dasar dan Menengah, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23

Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi.

Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Peraturan

Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 dan

11 M. Ahmad, dkk., Pengembangan Kurikulum untuk Fakultas Tarbiyah Komponen

MKDK, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), Cet. I, hlm. 74.

45

nomor 23 Tahun 2006, dan berpedoman pada panduan yang disusun oleh

Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).12

2. Acuan Operasional Penyusunan KTSP

KTSP disusun dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia. Keimanan dan

ketakwaan serta akhlak mulia menjadi dasar pembentukan

kepribadian peserta didik secara utuh. Kurikulum disusun yang

memungkinkan semua mata pelajaran dapat menunjang peningkatan

iman dan takwa serta akhlak mulia.

b. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat

perkembangan dan kemampuan peserta didik. Pendidikan merupakan

proses sistematik untuk meningkatkan martabat manusia secara

holistik yang memungkinkan potensi diri (afektif, kognitif,

psikomotor) berkembang secara optimal. Sejalan dengan itu,

kurikulum disusun dengan memperhatikan potensi, tingkat

perkembangan, minat, kecerdasan intelektual, emosional dan sosial,

spiritual, dan kinestetik peserta didik.13

c. Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan

Daerah memiliki potensi, kebutuhan, tantangan, dan

keragaman karakteristik lingkungan. Masing-masing daerah

memerlukan pendidikan sesuai dengan karakteristik daerah dan

pengalaman hidup sehari-hari. Oleh karena itu, kurikulum harus

memuat keragaman tersebut untuk menghasilkan lulusan yang relevan

dengan kebutuhan pengembangan daerah.

d. Tuntutan pembangunan daerah dan nasional

Dalam era otonomi dan desentralisasi untuk mewujudkan

pendidikan yang otonom dan demokratis perlu memperhatikan

keragaman dan mendorong partisipasi masyarakat dengan tetap

12 Masnur Muslich, KTSP: Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara,

2008), Cet. Ke-4, hlm. 1. 13 Khaerudin, dkk. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Konsep dan

Implementasinya di Madrasah, Semarang: MDC Jateng, 2007, hlm. 82.

46

mengedepankan wawasan nasional. Untuk itu, keduanya harus

ditampung secara berimbang dan saling mengisi.

e. Tuntutan dunia kerja

Kegiatan pembelajaran harus dapat mendukung tumbuh

kembangnya pribadi peserta didik yang berjiwa kewirausahaan dan

mempunyai kecakapan hidup. Oleh sebab itu, kurikulum perlu

memuat kecakapan hidup untuk membekali peserta didik memasuki

dunia kerja. Hal ini sangat penting terutama bagi satuan pendidikan

kejuruan dan peserta didik yang tidak melanjutkan ke jenjang yang

lebih tinggi.

f. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni

Pendidikan perlu mengantisipasi dampak global yang

membawa masyarakat berbasis pengetahuan di mana IPTEKS sangat

berperan sebagai penggerak utama perubahan. Pendidikan harus

terus-menerus melakukan adaptasi dan penyesuaian perkembangan

IPTEKS sehingga tetap relevan dan kontekstual dengan perubahan.

Oleh karena itu, kurikulum harus dikembangkan secara berkala dan

berkesinambungan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan,

teknologi, dan seni.

g. Agama

Kurikulum harus dikembangkan untuk mendukung

peningkatan iman dan taqwa serta akhlak mulia dengan tetap

memelihara toleransi dan kerukunan umat beragama. Oleh karena itu,

muatan kurikulum semua mata pelajaran harus ikut mendukung

peningkatan iman, taqwa dan akhlak mulia.

h. Dinamika perkembangan global

Pendidikan harus menciptakan kemandirian, baik pada

individu maupun bangsa, yang sangat penting ketika dunia

digerakkan oleh pasar bebas. Pergaulan antarbangsa yang semakin

dekat memerlukan individu yang mandiri dan mampu bersaing serta

47

mempunyai kemampuan untuk hidup berdampingan dengan suku dan

bangsa lain.

i. Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan

Pendidikan diarahkan untuk membangun karakter dan

wawasan kebangsaan peserta didik yang menjadi landasan penting

bagi upaya memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dalam

kerangka NKRI. Oleh karena itu, kurikulum harus mendorong

berkembangnya wawasan dan sikap kebangsaan serta persatuan

nasional untuk memperkuat keutuhan bangsa dalam wilayah NKRI.14

j. Kondisi sosial budaya masyarakat setempat

Kurikulum harus dikembangkan dengan memperhatikan

karakteristik sosial budaya masyarakat setempat dan menunjang

kelestarian keragaman budaya. Penghayatan dan apresiasi pada

budaya setempat harus terlebih dahulu ditumbuhkan sebelum

mempelajari budaya dari daerah dan bangsa lain.

k. Kesetaraan jender. Kurikulum harus diarahkan kepada terciptanya

pendidikan yang berkeadilan dan memperhatikan kesetaraan jender.

l. Karakteristik satuan pendidikan. Kurikulum harus dikembangkan

sesuai dengan visi, misi, tujuan, kondisi, dan ciri khas satuan

pendidikan.15

D. Kurikulum Pendidikan Agama Islam

Pendidikan Agama Islam (PAI) merupakan usaha sadar dan terencana

untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati dan

mengamalkan ajaran Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau

latihan. PAI yang hakikatnya merupakan sebuah proses itu, dalam

perkembangannya juga dimaksudkan sebagai rumpun mata pelajaran yang

diajarkan di sekolah maupun di Perguruan Tinggi. Jadi berbicara tentang PAI

maka dapat dimaknai dalam dua pengertian; sebagai sebuah proses penanaman

14 BNSP, Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta: BNSP, 2006, hlm. 8.

15 Khaerudin, dkk, op.cit., hlm. 84.

48

ajaran Islam, maupun sebagai bahan kajian yang menjadi materi proses itu

sendiri. Namun dalam uraian lebih lanjut tentang PAI dalam Pedoman ini,

pengertian kedua akan lebih dominan dibandingkan yang pertama.

Sebagai mata pelajaran, rumpun mata pelajaran atau bahan kajian PAI

memiliki ciri khas atau karakteristik tertentu yang membedakannya dengan

mata pelajaran lain. Adapun karakteristik mata pelajaran PAI itu dapat

dijelaskan sebagai berikut:

1. PAI merupakan rumpun mata pelajaran yang dikembangkan dari ajaran-

ajaran pokok (dasar) yang terdapat dalam agama Islam. Karena itulah PAI

merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran Islam. Ditinjau

dari segi isinya, PAI merupakan mata pelajaran pokok yang menjadi salah

satu komponen, dan tidak dapat dipisahkan dari rumpun mata pelajaran

yang bertujuan mengembangkan moral dan kepribadian peserta didik.

2. Tujuan PAI adalah terbentuknya peserta didik yang beriman dan bertakwa

kepada Allah SWT, berbudi pekerti luhur (berakhlak mulia), memiliki

pengetahuan tentang ajaran Pokok Agama Islam dan mengamalkannya

dalam kehidupan sehari-hari, serta memiliki pengetahuan yang luas dan

mendalam tentang Islam sehingga memadai baik untuk kehidupan

bermasyarakat maupun untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang

lebih tinggi.

3. Pendidikan Agama Islam, sebagai sebuah program pembelajaran,

diarahkan pada (a) menjaga aqidah dan ketakwaan peserta didik, (b)

menjadi landasan untuk lebih rajin mempelajari ilmu-ilmu lain yang

diajarkan di madrasah, (c) mendorong peserta didik untuk kritis, kreatif

dan inovatif, dan (d) menjadi landasan perilaku dalam kehidupan sehari-

hari di masyarakat, PAI bukan hanya mengajarkan pengetahuan tentang

Agama Islam, tetapi juga untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari

(membangun etika sosial).

4. Pembelajaran PAI tidak hanya menekankan penguasaan kompetensi

kognitif saja, tetapi juga afektif dan psikomotoriknya.

49

5. Isi mata pelajaran PAI didasarkan dan dikembangkan dari ketentuan-

ketentuan yang ada dalam dua sumber pokok ajaran Islam, yaitu Al-

Qur'an dan sunnah Nabi Muhammad saw (dalil naqli). Di samping itu,

materi PAI juga diperkaya dengan hasil-hasil istimbath atau ijtihad (dalil

aqli) para ulama sehingga ajaran-ajaran pokok yang bersifat umum lebih

rinci dan mendetail.

6. Materi PAI dikembangkan dari tiga kerangka dasar ajaran Islam, yaitu

aqidah, syari’ah dan akhlak. Aqidah merupakan penjabaran dari konsep

iman, syariah merupakan penjabaran dari konsep Islam, dan akhlak

merupakan penjabaran konsep ihsan. Dari ketiga konsep dasar itulah

berkembang berbagai kajian keislaman, termasuk kajian-kajian yang

terkait dengan ilmu, teknologi, seni dan budaya.

7. Output program Pembelajaran PAI di sekolah adalah terbentuknya peserta

didik yang memiliki akhlak mulia (budi pekerti yang luhur) yang

merupakan misi utama dari diutusnya Nabi Muhammad.16

Berikut ini adalah Standar Kompetensi Kelulusan kurikulum

Pendidikan Agama Islam di tingkat Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah,

dan Madrasah Aliyah Program Keagamaan:

a. Madrasah Tsanawiyah

1) Al-Qur’an dan Hadits

- Memahami dan mencintai Al-Qur’an dan hadits sebagai pedoman

hidup umat Islam.

- Meningkatkan pemahaman Al-Qur’an, Al Fatihah, dan surat

pendek melalui upaya penerapan cara membacanya, menangkap

maknanya, memahami kandungan isinya, dan mengaitkannya

dengan fenomena kehidupan.

- Menghafal dan memahami makna hadits-hadits yang terkait

dengan tema isi kandungan surat atau ayat sesuai dengan tingkat

perkembangan anak.

16 Depag, Pedoman Pendidikan Agama Islam untuk Sekolah Umum, (Jakarta: Ikhlas

Beramal, 2004), hlm. 1-3.

50

2) Aqidah-Akhlak

- Meningkatkan pemahaman dan keyakinan terhadap rukun iman

melalui pembuktian dengan dalil aqli dan naqli, serta pemahaman

dan penghayatan terhadap asma’ul khusna dengan menunjukkan

cirri-ciri / tanda-tanda perilaku seseorang dalam fenomena

kehidupan dan pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari.

- Membiasakan akhlak terpuji seperti ikhlas, taat, khouf, taubat,

tawakkal, ikhtiar, sabar, syukur, qona’ah, tawadhu’, husnuzh-zhan,

tasamuh, ta’awun, berilmu, kreatif, produktif dan pergaulan

remaja, serta menghindari akhlak tercela, seperti riya’, nifak,

ananiyah, putus asa, marah, tamak, takabur, hasad, dendam, fitnah,

ghibah dan namimah.

3) Fiqih

Memahami ketentuan hokum Islam yang berkaitan dengan ibadah

mahdah dan mu’amalah serta dapat mempraktekkan dengan benar

dalam kehidupan sehari-hari.

4) Sejarah Kebudayaan Islam

- Meningkatkan pengenalan dan kemampuan mengambil ibrah

terhadap peristiwa penting sejarah kebudayaan Islam mulai

perkembangan masyarakat Islam pada masa Nabi Muhammad

SAW dan para Khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah, Abbasiyah, Al

Ayyubiyah sampai dengan perkembangan Islam di Indonesia.

- Mengapresiasi fakta dan makna peristiwa-peristiwa bersejarah dan

mengaitkannya dengan fenomena kehidupan social, budaya,

politik, ekonomi, IPTEK dan seni.

- Meneladani nilai-nilai dan tokoh-tokoh yang berprestasi dalam

peristiwa bersejarah.

b. Madrasah Aliyah

1) Al-Qur’an dan Hadits

Memahami isi pokok Al-Qur’an, fungsi dan bukti-bukti kemurniannya,

istilah-istilah hadits, fungsi hadits terhadap Al-Qur’an, pembagian

51

hadits ditinjau dari segi kualitas dan kuantitasnya, serta memahami dan

mengamalkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits tentang manusia dan

tanggungjawabnya di muka bumi, demokrasi serta pengembangan

IPTEK.

2) Aqidah Akhlak

- Memahami istilah-istilah aqidah, prinsip-prinsip, aliran-aliran dan

metode peningkatan kualitas Aqidah serta meningkatkan kualitas

keimanan melalui pemahaman dan penghayatan asma’ul khusna

serta penerapan perilaku bertauhid dalam kehidupan.

- Memahami istilah-istilah akhlak dan tasawuf, meningkatkan

metode peningkatan kualitas akhlak, serta membiasakan perilaku

terpuji dan menghindari perilaku tercela.

3) Fiqih

Memahami dan menerapkan sumber hukum Islam dan hokum taklifi,

prinsip-prinsip ibadah dan syari’at dalam Islam, fiqih ibadah,

mu’amalah, munakahat, mawaris, jinayah, siyasah serta dasar-dasar

Istinbath, dan kaidah ushul fiqih.

4) Sejarah Kebudayaan Islam

- Memahami dan mengambil ibrah sejarah dakwah Nabi

Muhammad pada periode Mekah dan Madinah, masalah

kepemimpinan umat setelah Rasulullah SAW wafat.

Perkembangan Islam pada abad klasik atau zaman keemasan (650

– 1250 M), abad pertengahan atau zaman kemunduran (1250 –

1800 M), masa modern atau zaman kebangkitan (1800 - sekarang),

serta perkembangan Islam di Indonesia dan di dunia.

- Mengapresiasi fakta dan makna peristiwa-peristiwa bersejarah dan

mengaitkannya dengan kehidupan sosial, budaya, politik, ekonomi,

IPTEK dan seni.

- Meneladani tokoh-tokoh Islam yang berprestasi dalam

perkembangan sejarah atau peradaban Islam.

52

c. Madrasah Aliyah Program Keagamaan

1) Akhlak

Memahami istilah-istilah akhlak dan tasawuf, menerapkan metode

peningkatan kualitas akhlak, dan membiasakan perilaku terpuji serta

menghindari perilaku tercela.

2) Sejarah Kebudayaan Islam

- Memahami dan mengambil ibrah sejarah dakwah Nabi

Muhammad pada periode Mekah dan Madinah, masalah

kepemimpinan umat setelah Rasulullah SAW wafat.

Perkembangan Islam pada abad klasik atau zaman keemasan (650

– 1250 M), abad pertengahan atau zaman kemunduran (1250 –

1800 M), masa modern atau zaman kebangkitan (1800 - sekarang),

serta perkembangan Islam di Indonesia dan di dunia.

- Mengapresiasi fakta dan makna peristiwa-peristiwa bersejarah dan

mengaitkannya dengan kehidupan sosial, budaya, politik, ekonomi,

IPTEK dan seni.

- Meneladani tokoh-tokoh Islam yang berprestasi dalam

perkembangan sejarah atau peradaban Islam.

3) Tafsir

- Mengenali pokok-pokok ilmu tafsir serta ilmu-ilmu yang dapat

membantu dan diperlukan dalam memahami dan menafsirkan Al-

Qur’an, sehingga dapat dijadikan bekal dasar dalam memahami

ayat-ayat Al-Qur’an, serta dijadikan pondasi untuk melanjutkan

pendidikan ke lanjutan yang lebih tinggi.

- Memahami ayat-ayat Al-Qur’an tentang:

- Makanan yang halal, sehat, dan bergizi, dan bahaya minuman keras

- Pendayagunaan akal pikiran, pentingnya pengembangan alam, dan

pemanfaatan alam semesta bagi kehidupan manusia

- Tata cara menyelesaikan perselisihan, musyawarah, dan ta’aruf

dalam kehidupan

- Kepemimpinan, syarat0syarat, tugas dan tanggungjawab pemimpin

53

- Pembinaan pribadi dan keluarga, serta pembinaan masyarakat

secara umum

4) Hadits

- Memahami ilmu hadits dan sejarahnya, sejarah penghimpunan dan

pembukuan hadits, cara menerima dan menyampaikan hadits,

pembagian hadits, ilmu jarh wa ta’dill, generasi perawi hadits dan

kitab-kitab hadits.

- Memahami Al Hadits tentang taat kepada Allah dan Rasul-Nya,

kebesaran dan kekuasaan Allah, nikmat Allah, kewajiban dan

tanggungjawab manusia, serta pengembangan IPTEK

5) Ushul Fiqih

- Memahami ilmu ushul fiqih, sumber hokum Islam yang muttafaq

maupun yang mukhtalaf dan kaidah-kaidah ushul fiqih serta

mampu mempraktekkannya.

- Memahami dan menerapkan sumber hukum Islam dan hokum

taklifi, prinsip-prinsip ibadah dan syari’at dalam Islam, fiqih

ibadah, mu’amalah, munakahat, mawaris, jinayah, siyasah, serta

dasar-dasar Istinbath dan kaidah ushul fiqih

6) Ilmu Kalam

- Memahami istilah-istilah aqidah, prinsip-prinsip, aliran-aliran dan

metode peningkatan kualitas aqidah serta meningkatkan kualitas

keimanan melalui pengamalan dan penghayatan al-asma’ al-husna

serta penerapan perilaku bertauhid dalam kehidupan.

- Memahami ilmu kalam, fungsi dan peranannya dalam kehidupan,

aliran-aliran dan tokok-tokoh yang berperan dalam

pengembangannya serta berbagai pandangan tentang ilmu kalam.17

17 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab di Madrasah, hlm. 3-10.

54

E. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum

1. Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum

Sistem pendidikan akan melakukan perubahan bilamana kondisi-

kondisi pada supra-sistem, masyarakat, mengalami perubahan. Perubahan

kurikulum adalah hal yang normal, dan diharapkan, sebagai akibat

perubahan dalam lingkungannya. Para pekerja / spesialis kurikulum

bertanggung jawab untuk mencari cara untuk melakukan perbaikan

kurikulum secara berkesinambungan. Tugas para pekerja (tim

pengembang) kurikulum akan lebih mudah / lancar bilamana mengikuti

sejumlah prinsip yang telah diterima secara umum untuk pengembangan

kurikulum. Peter F. Oliva (1982) mengemukakan 10 prinsip umum atau

aksioma. Prinsip-prinsip itu tidak hanya bersumber dari luar disiplin ilmu

pendidikan profesional, tetapi juga dari tradisi / kebiasaan kurikulum,

observasi, data eksperimen dan common sense. Joseph J. Scwabb (1970)

membedakan bentuk disiplin ilmu teoritis yang praktis. Yang teoritis

menghasilkan pengetahuan yang bersifat umum atau universal yang

dipandang benar, dijamin dan dipercaya, tahan lama dan ekstensif. Dan

hasil akhir dari disiplin ilmu yang praktis adalah suatu keputusan, suatu

pilihan dan terarah pada tindakan yang mungkin diambil. Keputusan itu

belum tentu benar dan dinilai secara komparatif dengan alternatif yang

lain, misalnya, ….. ini lebih baik daripada yang lain. Dan berlakunya

relatif tidak lama dan kurang ekstensif.

Kesepuluh aksioma itu dirumuskan sebagai berikut:

Aksioma ke-1 sebagai titik awal dipostulatkan bahwa perubahan

adalah perlu dan diinginkan (mendesak) sebab melalui perubahan-

perubahan bentuk kehidupan akan tumbuh dan berkembang. Lembaga-

lembaga pendidikan, sama halnya dengan manusia sendiri, tumbuh dan

berkembang sebanding dengan kemampuannya untuk merespon terhadap

perubahan dan untuk mengadaptasikan diri pada kondisi-kondisi yang

berubah. Masyarakat dan lembaga-lembaga terus menerus menghadapi

problema-problema yang harus dijawab atau hancur. Glen Hass

55

mengidentifikasi masalah-masalah umum masa kini yang dihadapi

masyarakat. Di antaranya yaitu: (1) pelestarian lingkungan, (2) krisis

energi, (3) perubahan nilai-nilai dan moralitas, (4) perubahan dalam

struktur dan kehidupan keluarga, (5) krisis perkotaan dan pedesaan, (6)

gerakan minoritas, wanita dan cacat yang menuntut persamaan hak, (7)

meningkatnya angka kejahatan, termasuk kekerasan dan kenakalan di

sekolah, timbulnya rasa terasing dan cemas yang dialami oleh banyak

orang.

Perubahan dalam bentuk jawaban-jawaban terhadap masalah-

masalah masa kini harus mendapat pertimbangan dari para pengembangan

kurikulum.

Aksioma ke-2. merupakan akibat logis dari aksioma 1, bahwa

kurikulum sekolah tidak hanya merupakan refleksi diri, tetapi juga

merupakan produk dari waktunya perubahan pendidikan, khususnya

perubahan kurikulum adalah bagian dan merupakan paket dari perubahan

sosial, serta berlangsung lebih kurang dengan kecepatan yang sama.

Aksioma ke-3. perubahan-perubahan kurikulum yang terjadi pada

masa lampau dapat tetap ada bersamaan waktunya dengan perubahan

kurikulum yang baru dilakukan. Revisi kurikulum jarang yang diawali dan

diakhiri secara tegas. Perubahan-perubahan lazimnya ada dalam waktu

yang sama dan yang terjadi tumpang tindih antara unsur kurikulum yang

lama dan yang baru. Biasanya dalam perkembangan kurikulum, masuknya

unsur-unsur baru dilakukan secara berangsur-angsur, demikian pula waktu

mengeluarkan unsur-unsur yang lama.

Aksioma ke-4, perubahan kurikulum adalah hasil dari perubahan

diri orang-orang (yang terlibat) dengan demikian pengembangan

kurikulum harus mulai dengan usaha mengubah orang-orang yang secara

langsung mempengaruhi perubahan kurikulum. Usaha ini mencakup upaya

melibatkan orang-orang dalam proses pengembangan kurikulum untuk

memperoleh komitmen pada perubahan itu. Pernah terjadi pengalaman

pahit yaitu perubahan-perubahan kurikulum yang dikomandokan dari atas

56

(top down) kepada bawahan-bawahannya tidak berjalan dengan baik.

Selama bawahan belum memahami dan menerima perubahan itu sebagai

program sendiri, perubahan-perubahan itu akan berhasil dan bertahan

lama.

Aksioma ke-5, perbaikan kurikulum akan berhasil bilamana

diciptakan kerjasama dari berbagai kelompok. Dahulu perubahan

kurikulum hanya melibatkan kelompok kecil saja, tetapi kini agar berhasil

dengan baik, harus mengikutsertakan banyak kelompok dan individu-

individu didorong untuk aktif berpartisipasi yang dilandasi semangat

kerjasama yang murni.

Aksioma ke-6, pengembangan kurikulum pada dasarnya adalah

suatu proses pemilihan antara alternatif-alternatif dan proses pengambilan

keputusan. Perencanaan kurikulum bekerjasama dengan mereka yang

terlibat harus melakukan berbagai pilihan, termasuk: 1) memilih di antara

disiplin-disiplin ilmu, 2) memilih di antara berbagai pandangan yang

bersaing, 3) memilih tentang hal-hal yang perlu mendapat tekanan /

perhatian, 4) memilih metodologi, 5) memilih organisasi dan sebagainya.

Aksioma ke-7, pengembangan kurikulum pada hakikatnya

merupakan suatu proses yang terus menerus tanpa akhir, perencanaan

kurikulum senantiasa mengupayakan yang ideal, namun yang ideal itu

tidak pernah ada akhirnya. Hal ini disebabkan karena kebutuhan-

kebutuhan pelajar selalu berubah, masyarakat berubah, ilmu pengetahuan

dan teknologi berkembang, sehingga kurikulumpun harus berubah dan

berkembang.

Aksioma ke-8, pengembangan kurikulum adalah suatu proses yang

komprehensif. Perencanaan kurikulum seringkali selalu bersifat

fragmentaris, lebih bersifat sektoral daripada komprehensif atau holistik.

Banyak perencana kurikulum hanya memfokuskan perhatian kepada

pohon-pohon, bukan hutan secara keseluruhan.

Aksioma ke-9 pengembangan kurikulum secara sistematis adalah

lebih efektif daripada tindakan trial and error. Pengembangan kurikulum

57

yang ideal adalah yang bersifat komprehensif dengan melihat keseluruhan

unsur dan masukan sebagai sistem serta secara sistematis mengikuti

seperangkat prosedur yang efektif dan efisien. Prosedur tersebut harus

disetujui dan diketahui oleh semua pihak yang terlihat dalam kegiatan

pengembangan kurikulum.

Aksioma ke-10. Perencanaan kurikulum harus mulai dari

kurikulum itu sendiri, sebagaimana seorang guru yang mulai dari mana

peserta didik berada. Pengembangan kurikulum tidak terjadi dalam

semalam. Tetapi usaha itu merupakan proses yang cukup lama dalam

mengkaji kurikulum. Bilamana perencana kurikulum mulai dari kurikulum

yang ada, akan lebih tepat apabila ia berbicara tentang reorganisasi

kurikulum daripada organisasi kurikulum. Keseluruhan investasi fikiran,

usaha, waktu, uang dan sebagainya, dari perencanaan yang lampau tidak

begitu saja dapat dibuang walaupun akan dilakukan pembaharuan yang

drastis sekalipun.18

2. Kerangka Pengembangan Kurikulum

Pengembangan kurikulum ini harus mengacu pada sebuah

kerangka umum, yang berisikan hal-hal yang diperlukan dalam pembuatan

keputusan.

a. Asumsi

Asumsi yang digunakan dalam pengembangan kurikulum ini

menekankan pada keharusan pengembangan kurikulum yang telah

terkonsep dan diinterpretasikan dengan cermat, sehingga upaya-upaya

yang terbatas dalam reformasi pendidikan, kurikulum yang tidak

berimbang, dan inovasi jangka pendek dapat dihindarkan.

Dalam konteks ini kurikulum didefinisikan sebagai suatu

rencana untuk mencapai hasil-hasil yang diharapkan, atau dengan kata

lain suatu rencana mengenai tujuan, hal yang dipelajari dan hasil

pembelajaran. Dengan demikian, kurikulum terdiri atas beberapa

18 Peter F. Oliva, op.cit., hlm. 12-15.

58

komponen, yaitu hasil belajar dan struktur (sekuens berbagai kegiatan

belajar).

Konsekuensi lebih jauh dari keharusan penggunaan dasar

teoritis untuk pengembangan kurikulum adalah pada pembelajaran

(instruction). Pembelajaran adalah proses mengajar yaitu menyiapkan

lingkungan mengajar agar siswa dapat berinteraksi dengan orang,

benda, tempat dan ide melalui penyampaian kurikulum merupakan

suatu proses perencanaan yang kompleks, mulai dari penilaian

kebutuhan, identifikasi hasil belajar yang diharapkan, serta persiapan

pembelajaran untuk mencapai tujuan dan pemenuhan kebutuhan

budaya, sosial dan personal.

Sesuai dengan definisi tersebut, kriteria evaluasi kurikulum

disiapkan jika hasil-hasil belajar yang diharapkan sudah teridentifikasi.

Pengembangan kurikulum melibatkan banyak keputusan pada

beberapa level yang berbeda, seperti anak-anak usia prasekolah, SD,

sekolah lanjutan (SLTP dan SMU), dan perguruan tinggi (termasuk

pendidikan kejuruan). Pengembangan kurikulum dapat difokuskan

pada unit yang sangat terbatas, misalnya pada satu guru dan satu siswa,

sampai pada scope yang luas dengan melibatkan kelompok besar,

misalnya kelompok guru di suatu daerah atau negara.

Dilihat dari aspek ruang lingkup pengembangan kurikulum,

tersirat adanya sejumlah pilihan untuk melakukan pengembangan

kurikulum. Akibatnya terjadi pertentangan antarkonsepsi kurikulum,

hal ini dapat memunculkan kontroversi di sekolah atau dalam

masyarakat. Oleh karena itu, administrator sekolah hendaknya

memahami secara mendalam perbedaan orientasi berbagai konsep

kurikulum tersebut.

Dalam pengembangan kurikulum kepemimpinan yang efektif

bergantung pada kemampuan menjelaskan dan menerapkan

pendekatan dalam tercapainya tujuan kurikulum, serta melibatkan

orang lain dalam proses perencanaan dan implementasinya.

59

b. Tujuan Pengembangan Kurikulum

Istilah yang digunakan untuk menyatakan tujuan

pengembangan kurikulum adalah goals dan objectives. Tujuan sebagai

goals dinyatakan dalam rumusan yang lebih abstrak dan bersifat

umum, dan pencapaiannya relatif dalam jangka pendek.

Aspek tujuan, baik yang dinyatakan dalam goals maupun

objectives, memainkan peran yang sangat penting dalam

pengembangan kurikulum. Tujuan berfungsi untuk menentukan arah

seluruh upaya kependidikan sekolah atau unit organisasi lainnya,

sekaligus menstimulasi kualitas yang diharapkan. Berbagai kegiatan

lain dalam pengembangan kurikulum seperti penentuan ruang lingkup,

sekuensi dan kriteria seleksi konten, tidak akan efektif jika tidak

berdasarkan tujuan yang signifikan. tujuan pendidikan pada umumnya

berdasarkan filsafat yang dianut atau yang mendasari pendidikan

tersebut.

Mengingat pentingnya tujuan ini, tidak heran jika perumusan

tujuan menjadi langkah pertama dalam pengembangan kurikulum.

Filosofi yang dianut pendidikan atau sekolah biasanya menjadi dasar

pengembangan tujuan. Oleh karena itu, tujuan hendaknya

merefleksikan kebijaksanaan, kondisi masa kini dan masa datang,

prioritas sumber-sumber yang sudah tersedia, serta kesadaran terhadap

unsur-unsur pokok dalam pengembangan kurikulum.

Secara lebih jauh, tujuan berfungsi sebagai pedoman bagi

pengembangan tujuan-tujuan spesifik (objective), kegiatan belajar,

implementasi kurikulum dan evaluasi untuk mendapatkan balikan

(feedback). Sebagai contoh, menurut Komite Pengembangan

Kurikulum Amerika Serikat, terdapat sepuluh tujuan umum (goals),

yaitu ketrampilan dasar (basic skills), konseptualisasi diri, pemahaman

terhadap orang lain penggunaan pengetahuan yang telah terkumpul

untuk menginterpretasi dunia (lingkungan kehidupan), belajar

berkelanjutan, kesehatan mental dan fisik, partisipasi dalam dunia

60

ekonomi, produksi dan konsumsi, warga masyarakat yang bertanggung

jawab, kreativitas dan kesiapan menghadapi perubahan (coping with

change).

Setiap tujuan yang bersifat umum di atas harus diuraikan lagi

menjadi beberapa sub tujuan (subgoals) yang lebih operasional.

Misalnya tujuan pengembangan ketrampilan dasar diuraikan menjadi:

- Mendapatkan informasi dan pengertian melalui kegiatan

mengamati, mendengar, dan membaca.

- Mengolah informasi dan pengertian yang diperoleh melalui

ketrampilan berpikir reflektif.

- Berbagi informasi dan mengekspresikan pengertian melalui

kegiatan percakapan, menulis dan alat-alat nonverbal.

- Memanipulasi lambang dan menggunakan pikiran matematis dan

sebagainya.

c. Penilaian Kebutuhan

Kebutuhan merupakan suatu hal yang pokok dalam

perencanaan (Unruh dan Unruh, 1984) dalam kaitannya dengan

pengembangan kurikulum dan pembelajaran, kebutuhan didefinisikan

sebagai perbedaan antara keadaan aktual (actual circumstance) dan

keadaan ideal yang dicita-citakan (envisioned ideal circumstance).

Dengan kata lain, suatu perbedaan antara keadaan riil dan ideal

kondisi, kualitas dan sikap.

Penilaian kebutuhan adalah prosedur, baik secara terstruktur

maupun informal untuk mengidentifikasi kesenjangan antara situasi

“di sini dan sekarang” (here and now situation) dan tujuan yang

diharapkan. Penilaian kebutuhan dapat mendahului maupun mengikuti

penentuan tujuan. Kebutuhan juga dapat dimanfaatkan oleh

pengembang kurikulum untuk melakukan revisi dan modifikasi

kurikulum.

61

d. Konten Kurikulum

Pada umumnya, konten kurikulum dipandang sebagai

informasi yang terkandung dalam bahan-bahan yang dicetak, rekaman

audio dan visual, komputer dan alat-alat elektronik lainnya, atau yang

ditransmisikan secara lisan. Konten kurikulum seperti ini sebenarnya

sangat potensial bagi siswa informasi menjadi konten bagi siswa jika

dapat memberi pengertian terhadap aktivitas yang berguna. Karena itu,

seleksi konten untuk kurikulum dan pembelajaran hanya merupakan

salah satu bagian dari tugas-tugas pengembangan kurikulum yang

berhubungan dengan konten tersebut. Konsekuensi yang lebih jauh,

penentuan konten kurikulum harus disertai dengan perencanaan

aktivitas yang bermakna.

e. Sumber Materi Kurikulum

Materi kurikulum yang diperlukan oleh para pengembang

kurikulum dapat diperoleh di buku-buku teks dan petunjuk bagi guru.

Materi tersebut juga dapat diperoleh di beberapa tempat seperti

perpustakaan kurikulum di berbagai universitas, khususnya pada

bagian pendidikan. Selain itu pusat-pusat sistem sekolah umum, pusat

pendidikan guru, kantor konsultan kurikulum, departemen pendidikan

dan agen-agen pelayanan regional lainnya, hg merupakan tempat untuk

memperoleh materi kurikulum.

Deskripsi dan analisis suatu pandangan komprehensif tentang

lapangan kurikulum tidak mungkin tersaji hanya dalam satu literatur.

Oleh karena itu, diperlukan sumber-sumber yang mendukung dalam

memperoleh informasi dan ide-ide lebih jauh tentang lapangan

kurikulum yang dikaji. Sumber-sumber yang dimaksud meliputi karya-

karya yang diterbitkan oleh asosiasi profesional, penerbitan berkala

dan buku-buku teks yang relevan.

f. Implementasi Kurikulum

Sebuah kurikulum yang telah dikembangkan tidak akan berarti

(menjadi kenyataan) jika tidak diimplementasikan, dalam artian

62

digunakan secara aktual di sekolah dan di kelas. Dalam implementasi

ini, tentu saja harus diupayakan penanganan terhadap pengaruh faktor-

faktor tertentu, misalnya kesiapan sumber daya, faktor budaya

masyarakat dan lain-lain.

Berbagai dimensi implementasi kurikulum yang penting untuk

dicermati adalah materi kurikulum, struktur organisasi kurikulum,

peranan atau perilaku, pengetahuan dan internalisasi nilai.

Keberhasilan implementasi terutama ditentukan oleh aspek

perencanaan dan strategi implementasinya. Pada prinsipnya,

implementasi ini mengintegrasikan aspek-aspek filosofis, tujuan,

subject matter, strategi mengajar dan kegiatan belajar, serta evaluasi

dan feedback.

g. Evaluasi Kurikulum

Evaluasi adalah suatu proses interaksi, deskripsi, dan

pertimbangan (judgment) untuk menemukan hakikat dan nilai dari

suatu hal yang dievaluasi, dalam hal ini kurikulum. Evaluasi

kurikulum sebenarnya dimaksudkan untuk memperbaiki substansi

kurikulum, prosedur implementasi, metode instruksional, serta

pengaruhnya pada belajar dan perilaku siswa.

Pertimbangan penting lainnya bagi evaluator kurikulum adalah

evaluasi formatif (Untuk perbaikan program), dan evaluasi sumatif,

untuk memutuskan melanjutkan program yang dievaluasi untuk

menghentikannya dengan program lain. Model-model evaluasi

kurikulum yang dapat dipilih dan diaplikasikan adalah model

pencapaian tujuan (goal attainment model), model pertimbangan

(judgment evaluation model), model pengambilan keputusan (decision

facilitative evaluation model), dan model deskriptif.

h. Keadaan di Masa Mendatang

Oleh karena manusia memiliki visi terhadap masa yang akan

datang, maka manusia selalu menghadapi tantangan yang semakin

berat. Dalam pengembangan kurikulum dan pembelajaran, pandangan

63

dan kecenderungan pada kehidupan masa datang sudah menjadi

kepentingan pokok.

Pesatnya perubahan dalam kehidupan sosial, ekonomi,

teknologi, serta berbagai peristiwa dunia, memaksa setiap warga

masyarakat berpikir dan merespon setiap perubahan yang dihadapi.

Oleh karenanya, harus dipikirkan solusi alternatif dalam menghadapi

situasi masa yang akan datang tersebut. Prediksi keadaan penduduk,

persediaan makanan, polusi, sumber-sumber yang tidak dapat

diperbaharui, ancaman nuklir, serta gejolak politik dan ekonomi, harus

direspons sejak sekarang, tidak terkecuali respon dari pengembangan

pendidikan. Dengan kata lain, setiap rencana pengembangan

kurikulum harus memasukkan pertimbangan kehidupan di masa depan,

serta implikasinya pada perencanaan kurikulum.19

Kurikulum PAI di Indonesia bersifat normatif dan kurang bisa

mengikuti perkembangan zaman. Penggunaan akal dalam kurikulum PAI ini

sedikit tidak ada. Kebanyakan kurikulum PAI di Indonesia hanya berupa

pemaparan terutama hukum fiqh tanpa adanya rancangan untuk berpikir dan

berbuat. Hal tersebut tidak sesuai dengan apa yang diterangkan dalam filosofis

pengembangan kurikulum, yaitu bahwa pendidikan harus merangsang fungsi

akal dan mendorong kita untuk berpikir dan berbuat. Sehingga ranah kognitif,

afektif dan psikomotorik dapat tercapai dengan baik. Kurikulum PAI harus

berkembang mengikuti zaman supaya dapat menjawab permasalahan-

permasalahan masa kini dan isi kurikulum PAI tidak boleh stagnan.

19 Oemar Hamalik, op.cit., hlm. 185-191.

64

BAB IV

IMPLEMENTASI KEDUDUKAN AKAL DALAM PENGEMBANGAN

KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

A. Urgensi Kedudukan Akal dalam Pengembangan Kurikulum Pendidikan

Agama Islam

Pelajaran agama yang diberikan secara tradisional tidak

mementingkan pemakaian akal. Yang banyak dijalankan dalam cara ini ialah

memompakan pengetahuan keagamaan he dalam din anak didik. Institut Studi

Islam, baik di dunia Islam maupun di dunia Barat, dengan kurikulumnya yang

berbeda dengan yang ada di lembaga pendidikan agama tradisional,

sebaliknya, menonjolkan pemakaian akal dan pendidikan akhlak dalam Islam.

Dengan demikian, di Institut Studi Islam ketika mempelajari filsafat

Islam, soal akal, yang merupakan terjemahan dan kata nous dalam filsafat

Yunani, ternyata sangat ditekankan seperti diajarkan dalam Al-Quran dan

hadis. Berpikir dalam Al-Quran diungkapkan dalam berbagai kata.

Yang termasyhur, sebagaimana diketahui adalah kata ya’qilu

(memakai akal) yang terdapat pada 49 ayat dalam berbagai bentuk katanya.

Kata al-‘aql yang masuk ke dalam Bahasa Indonesia dan menjadi akal, berasal

dari kata ini. Kata lainnya adalah nazhara (melihat secara abstrak) yang

terdapat dalam 30 ayat. Dalam Bahasa Indonesia kata ini menjadi nalar,

penalaran dan sebagainya. Kata lainnya adalah tafakkara (berpikir) yang

terkandung dalam 19 ayat. Kata Indonesia berpikir jelas berasal dari kata ini.

Perbuatan berpikir juga diungkapkan dengan kata fahima, dan dalam bahasa

Indonesia ia menjadi “paham”. Kata faqiha dalam berbagai bentuknya

terdapat dalam 16 ayat juga menggambarkan perbuatan berpikir. Di dalam

Al-Quran juga dijumpai kata tadzakara (memperhatikan, mempelajari) dalam

40 ayat. Dalam bahasa Indonesia kata ini dikenal sebagai mudzakarah,

bertukar pikiran. Kata lainnya lagi adalah tadabbara yang juga mengandung

arti berfikir.

65

Se1ain dan kata-kata di atas terdapat pula di dalam A1-Quran kata ulul

albab (orang berpikir). Ulu al-ilm (orang berilmu, ulul al abshar (orang

berpandangan) dan ulu al nuha (orang bijaksana) semua itu adalah sebutan

yang memberi sifat berpikir yang terdapat pada manusia.

Kata “ayah” sendiri, yang dalam bahasa Indonesia menjadi ‘ayat,

mempunyai hubungan yang erat sekali dengan pekerjaan berpikir. Arti asli

dari kata “ayah” ialah ‘tanda. Ayah dalam anti ini kemudian dipakai untuk

fenomena alam, yang banyak disebut dalam ayat al-kauniyah, yaitu ayat

Quran yang membicarakan fenomena alam. Tanda yang ditangkap dengan

indera, mempunyai arti abstrak yang terletak di dalamnya. Tanda itu harus

diperhatikan, diteliti, dipikirkan dan direnungkan untuk memperoleh arti

abstrak yang terletak di belakangnya itu.

Demikian juga dengan ayat al-kauniyah, Al-Qur'an menyebut bahwa

alam ini penuh ayat, tanda-tanda yang harus diteliti, dipelajari dan dipikirkan

untuk mengetahui rahasia yang terletak di belakangnya. Penulisan dan

pemikiran mendalam tentang ayat al-kauniyah itu membawa kepada

terungkapnya hukum alam yang mengatur perjalanan alam dan akhirnya

kepada Tuhan, Maha Pencipta dan Maha Pengatur alam semesta.

Sebagaimana diketahui ayat-ayat yang pertama diturunkan kepada

Nabi mengandung kata-kata iqra’ (bacalah, ‘allama (mengajar), al-qalam

(pena), dan ya’lam (mengetahui). Jelas bahwa kata-kata baca, mengajar, pena,

dan mengetahui erat sekali hubungannya. dengan ilmu pengetahuan. Ayat-ayat

itu datang bukan dalam bentuk cerita. tetapi dalam bentuk perintah, maka

tersirat di dalamnya perintah bagi umat Islam untuk mencari ilmu

pengetahuan.

Perintah tersirat ini, ditegaskan hadis yang menuntut umat supaya

mencari ilmu dan masa ayun sampai ke masa akan masuk liang lahat, yaitu

apa yang disebut sekarang sebagai pendidikan seumur hidup. Kalau hadis ini

menyebut masa, hadis lain menyebut tempat. Hadits itu memerintahkan

supaya umat mencari ilmu kemana saja, walaupun sejauh cina.

66

Sebagaimana diketahui, di zaman Nabi, Cina adalah negeri yang paling

jauh. Dan Cina bukanlah negeri agama, tetapi negeri industri, seperti kain

sutera, porselin, dan lain-lain. Jadi, yang dimaksud hadis ini bukanlah mencari

ilmu agama, tetapi ilmu dunia.

Tegasnya, Al-Quran dan hadis sama-sama memberikan kedudukan

yang tinggi kepada akal dan sama-sama memerintahkan mencari ilmu; dan

mencari ilmu bukan ilmu keagamaan saja, tetapi juga ilmu keduniaan, dan

bukan untuk masa terbatas saja, tetapi untuk seumur hidup, dan bukan di

dekat saja tetapi juga di tempat jauh.

Pemakaian akal dalam sejarah Islam bukan terjadi dalam soal-soal

keduniaan saja, tetapi juga dalam soal-soal keagamaan sendiri. Karena ayat-

ayat Al-Quran yang mengandung masalah keimanan, ibadah dan hidup

kemasyarakatan manusia dikenal dengan muamalah, berjumlah kurang lebih

hanya 500 ayat, dan itu pun hanya pada umumnya datang dalam bentuk

prinsip-prinsip dan garis-garis besar tanpa penjelasan lebih lanjut mengenai

perincian maupun cara pelaksanaannya, maka akal banyak masalah iman,

ibadah, dan muamalah. Pemakaian akal yang dilakukan ulama terhadap teks

ayat Al-Quran dan hadis disebut ijtihad, dan ijtihad tegasnya pemikiran

merupakan sumber ketiga dalam Islam. Jelasnya, sumber ajaran Islam adalah

tiga: Al-Quran, hadis, dan akal.

B. Implementasi Kedudukan Akal dalam Pendidikan Agama Islam

Para ahli pendidikan muslim umumnya sependapat bahwa teori dan

praktek kependidikan Islam harus didasarkan pada konsepsi dasar tentang

akal. Pembicaraan di seputar persoalan ini adalah merupakan sesuatu yang

sangat vital dalam pendidikan. Tanpa kejelasan tentang konsep ini, pendidikan

akan meraba-raba. Bahkan menurut Ali Ashraf, pendidikan Islam tidak akan

dapat difahami secara jelas tanpa terlebih dahulu memahami penafsiran Islam

tentang pengembangan individu seutuhnya. Paling tidak ada 2 (dua) implikasi

terpenting dalam hubungannya dengan pendidikan Islam, yaitu:

67

1. Karena manusia adalah makhluk yang merupakan resultan dari dua

komponen (materi dan immateri), maka konsepsi itu menghendaki proses

pembinaan yang mengacu ke arah realisasi dan pengembangan komponen-

komponen tersebut. Hal ini berarti bahwa sistem pendidikan Islam harus

dibangun di atas konsep kesatuan integrasi antara pendidikan qalbiyah dan

aqliyah sehingga mampu menghasilkan manusia muslim yang pintar

secara intelektual dan terpuji secara moral. Jika kedua komponen itu

terpisah atau dipisahkan dalam proses pendidikan Islam, maka manusia

akan kehilangan keseimbangan dan tidak akan pernah menjadi pribadi-

pribadi yang sempurna (al-insan al-kamil)

2. Al-Qur'an menjelaskan bahwa fungsi penciptaan manusia di alam ini

adalah sebagai khalifah dan ‘abd. Untuk melaksanakan fungsi ini Allah

SWT membekali manusia dengan akal. Dalam konteks ini, maka

pendidikan Islam harus merupakan upaya yang ditujukan ke arah

pengembangan potensi yang dimiliki manusia secara maksimal sehingga

dapat diwujudkan dalam bentuk konkrit, dalam arti berkemampuan

menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi diri, masyarakat dan

lingkungannya sebagai realisasi dan tujuan penciptaannya, baik sebagai

khalifah maupun ‘abd.

Kedua hal di atas menjadi acuan dasar dalam menciptakan dan

mengembangkan kurikulum pendidikan agama Islam masa kini dan masa

depan. Fungsionalisasi pendidikan Islam dalam mencapai tujuannya sangat

bergantung pada sejauh mana kemampuan umat Islam menterjemahkan dan

merealisasikan konsep kedudukan akal dalam Al-Qur'an da fungsi penciptaan

manusia dalam alam semesta ini. Untuk menjawab hal itu, maka pendidikan

Islam dijadikan sebagai sarana yang kondusif bagi proses transformasi ilmu

pengetahuan dan budaya Islami dari satu generasi kepada generasi berikutnya.

Dalam konteks ini difahami bahwa posisi manusia sebagai khalifah dan ‘abd

menghendaki program pendidikan yang menawarkan sepenuhnya penguasaan

ilmu pengetahuan secara totalitas, agar manusia tegas sebagai khalifah dan

taqwa sebagai substansi dan aspek ‘abd. Sementara itu, keberadaan manusia

68

sebagai resultan dari dua komponen (materi dan immateri) menghendaki pula

program pendidikan yang sepenuhnya mengacu pada konsep equilibrium,

yaitu integrasi yang utuh antara pendidikan aqliyah dan qalbiyah.

Agar pendidikan umat berhasil dalam prosesnya, maka konsep

kedudukan akal dalam Al-Qur'an harus sepenuhnya diakomodasikan dalam

perumusan teori-teori pendidikan Islam melalui pendekatan kewahyuan,

empirik keilmuan dan rasional filosofis. Dalam hal ini harus difahami pula

bahwa pendekatan keilmuan dan filosofis hanya merupakan media untuk

menalar pesan-pesan Tuhan yang absolut, baik melalui ayat-ayat-Nya yang

bersifat tekstual (qur’aniyah) maupun ayat-ayat-Nya yang bersifat kontekstual

(kauniyah) yang telah dijabarkan-Nya melalui sunatullah.1

Pemikiran keislaman dalam pengembangan kurikulum membutuhkan

pendekatan Bayani, Irfani dan Burhani, sesuai dengan obyek kajiannya --

apakah teks, ilham atau realitas-- berikut seluruh masalah yang menyangkut

aspek tranhistoris, transkultural dan transreligius. Berikut implementasi

pemikiran Islam terhadap pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam.

Pertama, pendekatan bayani adalah pendekatan yang beranggapan

bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah wahyu [teks] atau penalaran dari teks.

Ilmu-ilmu keislaman seperti hadis, fikih, ushul fikih, dan lainnya,

menggunakan pendekatan ini. pendekatan bayani merupakan suatu cara untuk

mendapatkan pengetahuan dengan berpijak pada teks, baik secara langsung

maupun tidal langsung. Secara langsung dalam arti langsung menganggap teks

sebagai pengetahuan jadi, dan secara tidak langsung yaitu dengan melakukan

penalaran yang berpijak pada teks ini. Dengan kata lain sumber pengetahuan

menurut pendekatan ini adalah teks, atau penalaran yang berpijak pada teks.

Kedua, pendekatan irfani adalah pendekatan yang beranggapan bahwa

ilmu pengetahuan adalah kehendak [irodah]. Pendekatan ini memiliki metode

yang khas dalam mendapatkan pengetahuan, yaitu kasyf. Metode ini sangat

unique karena tidak bisa dirasionalkan dan diperdebatkan. Pendekatan ini

1 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,

(Jakarta Selatan: PT. Intermasa 2002), cet. I, hlm. 21-23

69

benar-benar sulit dipahami, karena sifatnya yang tidak bisa diverifikasi dan

didemonstrasikan. pendekatan ini lebih mengandalkan pada rasa individual,

daripada penggambaran dan penjelasan, bahkan ia menolak penalaran.

Penganut pendekatan ini adalah para sufi, oleh karenanya teori-teori yang

dikomunikasikan menggunakan metafora dan tamsil, bukan dengan

mekanisme bahasa yang definite.

Ketiga, pendekatan burhani adalah pendekatan yang berpandangan

bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah akal. Akal menurut pendekatan ini

mempunyai kemampuan untuk menemukan berbagai pengetahuan, bahkan

dalam bidang agama sekalipun akal mampu untuk mengetahuinya, seperti

masalah baik dan buruk [tansin dan tahbih]. Pendekatan burhani ini dalam

bidang keagamaan banyak dipakai oleh aliran berpaham rasionalis seperti

Mu’tazilah. Ibnu Kholdun menyebut pendekatan ini dengan ulum al-aqliyyah

[knowledge by intellect]. Tokoh pendiri pendekatan ini adalah Aristoteles.

Karena pendekatan ini lebih berpijak pada tradisi berpikir yunani, maka ciri

utamanya adalah penggunaan akal secara maksimal.

Ketiga, kecenderungan pendekatan Islam di atas, secara teologis

mendapatkan justifikasi dari al-Qur’an. Dalam al-Qur’an banyak ditemukan

ayat-ayat yang berbicara tentang pengetahuan yang bersumber pada

rasionalitas. Perintah untuk menggunakan akal dengan berbagai macam

bentuk kalimat dan ungkapan merupakan suatu indikasi yang jelas untuk hal

ini. Akan tetapi meski demikian tidak sedikit pula paparan ayat-ayat yang

mengungkap tentang pengetahuan yang bersumber pada intuisi [hati atau

perasaan] terdalam.

Namun, jika dalam perkembangannya, kajian pendekatan s dalam

literatur Barat dapat membuka perspektif baru dalam kajian ilmu pengetahuan

yang multidimensional, kecenderungan pendekatan dalam pemikiran Islam

beringsut lebih tajam ke wilayah bayani dan irfani dengan mengabaikan

penggunaan rasio [burhan] secara maksimal, sebagaimana pernah

dipraktekkan pada masa golden age of science in Islam antara tahun 650 M

70

sampai 1100 M. Hal inilah kemudian yang diperkirakan menjadi faktor utama

yang mengakibatkan keterpurukan umat Islam dalam hal Iptek.

Berangkat dari Hellenisme Yunani yang spekulatif-kontemplatif, para

sarjana muslim pada masa kejayaannya leluasa menyerap, kemudian

memodifikasi menjadi tradisi Filsafat sains yang berangkat dari postulat-

postulat al Qur’an dengan mengetengahkan tradisi berpikir empirikal-

eksperimental. Usaha tersebut dilakukan dengan mendayagunakan perangkat-

perangkat intelektual sebagai jalan mencari jawab tentang hakekat realitas,

baik yang nyata [fisis] maupun yang gaib [metafisis]. Dari revolusi filsafat di

tangan kaum muslimin itu, lahirlah konsep ilmu atau sains yang tegak di atas

postulat-postulat Qur’an.

Metode eksperimen dikembangkan oleh sarjana-sarjana Muslim pada

abad keemasan Islam, ketika ilmu dan pengetahuan lainnya mencapai

kulminasi antara abad IX dan XII. Semangat mencari kebenaran yang dimulai

oleh pemikir-pemikir Yunani dan hampir padam dengan jatuhnya kekaisaran

Romawi dihidupkan kembali dalam kebudayaan Islam. “Jika orang Yunani

adalah bapak metode ilmiah“, simpul H.G. Wells, “maka orang Muslim adalah

bapak angkatnya.” Dalam perjalanan sejarah lewat orang Muslimlah, dan

bukan lewat kebudayaan Latin, dunia modern sekarang ini mendapatkan

kekuatan dan cahayanya.

Hanya saja, setelah memasuki abad XII M, pergumulan pemikiran

kaum muslimin sedikit mulai meninggalkan tradisi pelacakan dalam filsafat,

khususnya Filsafat Sains, dan lebih mengembangkan kesadaran mistis dan

asketisme, lari dari dunia materi atau kesadaran kosmis menuju pada dunia

sufisme. Pentakwilan secara rasional terhadap nash-nash Qur’an menjadi

haram. Pintu ijtihad ditutup rapat-rapat. Kegiatan berfilsafat mulai dihujat, dan

para filosof mulai dicap kafir. Islam kemudian direduksi sebatas persoalan-

persoalan ritual semata, atau sekedar ajaran-ajaran moral yang melangit. Pada

fase inilah umat Islam menuju pintu gerbang awal kemunduran dan redupnya

mercusuar peradabannya.

71

Pada prinsipnya, Islam telah memiliki pendekatan yang komprehensif

sebagai kunci untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Hanya saja dari tiga

kecenderungan pendekatan s yang ada [bayani, irfani atau kasyf dan burhani],

dalam perkembangannya lebih didominasi oleh corak berpikir bayani yang

sangat tekstual dan corak berpikir irfani [kasyf] yang sangat sufistik. Kedua

kecenderungan ini kurang begitu memperhatikan pada penggunaan rasio

[burhani] secara optimal.

Dalam pendekatan bayani sebenarnya ada penggunaan rasio [akal],

tapi relatif sedikit dan sangat tergantung pada teks yang ada. Penggunaan yang

terlalu dominan atas pendekatan ini, telah menimbulkan stagnasi dalam

kehidupan beragama, karena ketidakmampuannya merespon perkembangan

zaman. Hal ini dikarenakan pendekatan bayani selalu menempatkan akal

menjadi sumber sekunder, sehingga peran akal menjadi terpasung di bawah

bayang-bayang teks, dan tidak menempatkannya secara sejajar, saling mengisi

dan melengkapi dengan teks.

Metode kasyf dalam kritik pendekatan , bukanlah suatu pola yang

berada di atas akal, seperti yang diklaim irfaniyyun. Bahkan ia tidak lebih dari

sekedar pemikiran yang paling rendah dan bentuk pemahaman yang tidak

terkendali. Irfaniyyun masuk ke alam mistis yang telah ada dalam pemikiran

agama-agama Persi kuno, yang dikembangkan pemikir-pemikir Hermeticism.

Apa yang mereka alami “ mungkin benar “ atau barangkali “kebenaran karena

kebetulan “, akan tetapi tidak akan dapat menyelesaikan masalah.

Pendekatannya yang supra-rasional, menafikan kritik atas nalar, serta

pijakannya pada logika paradoksal yang segalanya bisa diciptakan tanpa harus

berkaitan dengan sebab-sebab yang mendahuluinya, mengakibatkan

pendekatan ini kehilangan dimensi kritis dan terjebak pada nuansa magis

yang berandil besar pada kemunduran pola pikir manusia.

Dalam menyikapi kemunduran pada Iptek yang dialami oleh umat

Islam dewasa ini, maka seyogyanya umat Islam lebih mengedepankan

pendekatan yang bercorak burhani dengan dipandu oleh kebersihan hati

sebagai manifestasi dari pendekatan irfani. Penggunaan akal yang maksimal

72

bukan berarti pengabaian terhadap teks [nash]. Teks tetap dipakai sebagai

pedoman universal dalam kehidupan manusia.

Manusia dan akalnya adalah penentu dalam perkembangan kehidupan

setelah adanya patokan-patokan nash. Tetapi patokan ini, terutama yang

diberikan al-Qur’an masih bersifat global. Hal ini bertujuan agar memberikan

kekuasaan bagi manusia menyesuaikan dengan realitas keadaan dan zaman

yang terus berubah.

Pendekatan burhani berusaha memaksimalkan akal dan

menempatkannya sejajar dengan teks suci dalam mendapatkan ilmu

pengetahuan. Dalam pendekatan burhani ini, penggunaan rasionalitas tidak

terhenti hanya sebatas rasio belaka, tetapi melibatkan pendekatan empiris

sebagai kunci utama untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, sebagaimana

banyak dipraktekkan oleh para ilmuwan Barat.

Perpaduan antara pikiran yang brilian yang dipadu dengan hati yang

jernih, akan menjadikan Iptek yang dimunculkan kelak tetap terarah tanpa

menimbulkan dehumanisasi yang menyebabkan manusia teralienasi [terasing]

dari lingkungannya. Kegersangan yang dirasakan oleh manusia modern saat

ini, karena Iptek yang mereka munculkan hanya berdasarkan atas rasionalitas

belaka, dan menafikan hati atau perasaan yang mereka miliki. Mereka

menuhankan Iptek atas segalanya, sedang potensi rasa [jiwa] mereka abaikan,

sehingga mereka merasa ada sesuatu yang hilang dalam diri mereka.

Keseimbangan antara pikiran [fikr] dan rasa [dzikr] ini menjadi penting

karena secanggih apapun manusia tidak dapat menciptakan sesuatu. Keduanya

adalah pilar peradaban yang tahan banting sejarah. Keduanya adalah

perwujudan iman seorang muslim. Umat yang berpegang kepada kedua pilar

ini disebut al Qur’an sebagai ulul albab. Mereka, disamping mampu

mengintegrasikan kekuatan fikr dan dzikr, juga mampu pula mengembangkan

kearifan yang menurut al Qur’an dinilai sebagai khairan katsiran. Perpaduan

antara pikiran dan rasa ini merupakan prasyarat mutlak dalam membangun

pendidikan Islam melalui pengembangan kurikulum PAI. Dalam ungkapan

Iqbal bahwa fikr dan dzikr atau ‘aqal dan ‘isyq harus diintegrasikan secara

73

mantap bila mau membangun peradaban modern yang segar. Sesuatu yang

tentunya sangat diidamkan oleh umat manusia, dan disinilah semestinya peran

yang harus dimainkan umat Islam untuk memerikan kontribusinya bagi

pendidikan Islam melalui pengembangan kurikulum PAI.2

2 Hujair AH. Sanaky, “Dinamika Pemikiran dalam Islam”,

http:sanaky.staff.uii.ac.id/category/modul/

74

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari uraian dan penjelasan di muka, kiranya dapat diambil butir-butir

kesimpulan sebagai berikut:

1. Kedudukan akal dalam Al-Qur'an dijelaskan pada Bab II halaman 18,

antara lain akal dan kata-kata yang berhubungan dengan kedudukan akal

misalnya, tadzakkarun, tafakkaru, dan ulil albab, sangat erat hubungannya

dengan masalah teologi (keimanan, kehidupan akhirat, kitab suci dan

sholat), kosmologis (dinamika manusia, tanda kebesaran Tuhan dan

semesta) dan moralitas yang mencakup etika pribadi atau hubungan sosial.

Dengan potensi yang dimiliki manusia, dengan akal-akalnya manusia

dituntut selalu berpikir dan menggali semua yang ada di bumi. Manusia

sebagai khalifah di bumi dengan akalnya harus bisa menjembatani amanah

dengan berpikir yang jernih seperti yang diajarkan dalam Al-Qur'an.

Dalam hal ini manusia dengan akalnya dituntut untuk bisa taat dan

mengikat hawa nafsunya.

Dalam Al-Qur'an, akal memiliki posisi yang sangat mulia. Meski

demikian bukan berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam

memahami agama. Al-Qur'an memiliki aturan untuk menempatkan akal

sebagaimana kedudukannya. Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalu

cocok dengan syariat Islam dalam permasalahan apapun.

Akal adalah nikmat yang besar yang Allah titipkan dalam jasmani

manusia. Hikmat yang bisa disebut hadiah ini menunjukkan kekuasaan

Allah yang sangat menakjubkan. Oleh karena itu dalam banyak ayat, Allah

memberi semangat untuk berakal (yakni menggunakan akalnya).

Sebaliknya, Allah mencela orang yang tidak berakal.

Kita pun dapat melihat agama Islam dalam ajarannya memberikan

bentuk kemuliaan terhadap akal, seperti Allah menjadikan akal sebagai

tempat bergantungnya hukum sehingga yang tidak berakal tidak dibebani

75

hukum. Walaupun akal dimuliakan tapi kita menyadari bahwa akal sesuatu

yang berada dalam jasmani makhluk. Maka ia sebagaimana makhluk yang

lain memiliki kelemahan dan keterbatasan.

Dari uraian di atas Al-Qur'an meletakkan akal sesuai dengan

kedudukannya tidak seperti yang dilakukan oleh kalangan Barat yang

menempatkan akal sebagai “Tuhan” dengan segala-galanya di dalam

kehidupan mereka. Allah menciptakan akal dalam keadaan terbatas

sehingga akal memerlukan perangkat lain berupa hati untuk dapat

memahami fenomena alam yang tidak mampu dijangkaunya. Sehingga

dengan keserasian antara akal dan hati, manusia dapat menjadi manusia

seutuhnya dan sesuai dengan apa yang digambarkan dalam kedudukan

akal oleh Al-Qur'an.

Selanjutnya pada halaman 31 bahwa Al-Qur'an meletakkan akal

sesuai dengan kedudukannya tidak seperti yang dilakukan oleh kalangan

Barat yang menempatkan akal sebagai “Tuhan” dengan segala-galanya di

dalam kehidupan mereka. Allah menciptakan akal dalam keadaan terbatas

sehingga akal memerlukan perangkat lain berupa hati untuk dapat

memahami fenomena alam yang tidak mampu dijangkaunya. Sehingga

dengan keserasian antara akal dan hati, manusia dapat menjadi manusia

seutuhnya dan sesuai dengan apa yang digambarkan dalam kedudukan

akal oleh Al-Qur'an.

2. Implementasi kedudukan akal dalam Al-Qur'an dalam pengembangan

kurikulum pendidikan agama Islam bahwa Al-Qur'an menjunjung tinggi

kedudukan akal. Ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi adalah iqra’

(bacalah) seperti tercantum pada halaman 65. Itu menunjukkan bahwa akal

sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dan akal selalu dituntut

untuk berpikir dan mencari tahu tentang segala hal. Untuk bisa menggali

segala sesuatu yang ada di dunia ini, diperlukan sistem pendidikan yang

baik. Dalam pendidikan harus ada kurikulum yang baik dan selalu

berkembang mengikuti zaman.

76

Perpaduan antara pikiran yang brilian yang dipadu dengan hati yang

jernih, akan menjadikan Iptek yang dimunculkan kelak tetap terarah tanpa

menimbulkan dehumanisasi yang menyebabkan manusia teralienasi [terasing]

dari lingkungannya. Kegersangan yang dirasakan oleh manusia modern saat

ini, karena Iptek yang mereka munculkan hanya berdasarkan atas rasionalitas

belaka, dan menafikan hati atau perasaan yang mereka miliki. Mereka

menuhankan Iptek atas segalanya, sedang potensi rasa [jiwa] mereka abaikan,

sehingga mereka merasa ada sesuatu yang hilang dalam diri mereka.

Keseimbangan antara pikiran [fikr] dan rasa [dzikr] ini menjadi penting

karena secanggih apapun manusia tidak dapat menciptakan sesuatu. Keduanya

adalah pilar peradaban yang tahan banting sejarah. Keduanya adalah

perwujudan iman seorang muslim. Umat yang berpegang kepada kedua pilar

ini disebut al Qur’an sebagai ulul albab. Mereka, disamping mampu

mengintegrasikan kekuatan fikr dan dzikr, juga mampu pula mengembangkan

kearifan yang menurut al Qur’an dinilai sebagai khairan katsiran. Perpaduan

antara pikiran dan rasa ini merupakan prasyarat mutlak dalam membangun

pendidikan Islam melalui pengembangan kurikulum PAI. Dalam ungkapan

Iqbal bahwa fikr dan dzikr atau ‘aqal dan ‘isyq harus diintegrasikan secara

mantap bila mau membangun peradaban modern yang segar. Sesuatu yang

tentunya sangat diidamkan oleh umat manusia, dan disinilah semestinya peran

yang harus dimainkan umat Islam untuk memerikan kontribusinya bagi

pendidikan Islam melalui pengembangan kurikulum PAI.

B. SARAN

Dari uraian beberapa sebelumnya dapat diketahui bahwa Al-Qur'an

menjunjung tinggi kedudukan akal. Oleh karena itu manusia harus selalu

berpikir dan berdzikir agar menjadi manusia seutuhnya. Bagi guru hendaknya

semaksimal mungkin menggunakan akal untuk mengembangkan kurikulum.

Seorang guru dalam mengajar tidak hanya mengedepankan hafalan saja, tetapi

harus mengajarkan sikap yang kritis dan penalaran, sehingga akal dari peserta

didik terolah dan mereka bisa memahami sekaligus mengamalkan apa yang

77

mereka pelajari. Bagi siswa hendaknya mereka selalu kritis tidak hanya diam

dan taklid. Mereka harus bersemangat dan selalu ingin lebih tahu terhadap

ilmu yang mereka terima.

C. PENUTUP

Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah, penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini, dengan disertai doa semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi para pembaca pada

umumnya.

Penulis menyadari, meskipun skripsi ini sudah diusahakan sepenuhnya

bahwa skripsi ini kurang dari sempurna, maka dari itu segala kritik, koreksi

dan saran yang membangun dari pembaca yang budiman sangat penulis

harapkan demi kesempurnaan skripsi ini.

Akhirnya penulis berdoa semoga Allah SWT senantiasa

menganugerahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua dan

semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, M., dkk., Pengembangan Kurikulum untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998, Cet. I.

Al-Farisi, Dahlan M. Zakia, Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya ayat-ayat Al-Qur'an, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro 2000, Ed. II.

Ali, Abdullah Yusuf, The Holy Qur’an Text, Translation and Commentary, (Penerjemah: Ali Audah) Qur’an dan Terjemah Tafsirnya Juz 1 s/d XV, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993, Cet. I.

Ali, Atabik, dan A. Zuhdi Mudlor, Kamus Al-Ashri Arab Indonesia, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003.

Ali, Muhammad Daud, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998, Cet. V.

Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Terjemah Tafsir Al-Maraghi Juz 3, (Penerjemah: Drs. M. Thalib), Bandung: CV. Rosda, 1987 Cet. II.

_______, Terjemah Tafsir Al-Maraghi Juz 22, (Penerjemah: Bahrun Abu Bakar Lc.), Semarang: CV. Toha Putra, 1989, Cet. I.

Aly, Hery Noer, dan Munzier, Watak Pendidikan Islam, Jakarta: Friska Agung Insani, 2003, Cet. II.

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Al-Bayan Tafsir Penjelas Al-Qur'an Karim, Jilid 2, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002, Cet. I.

_______, Tafsir Al-Qur'an Majid An-Nur Jilid 4, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000, Cet. II, Ed. II.

Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran Al-Qur'an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2005, Cet. III.

BNSP, Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta: BNSP, 2006.

Depag RI, Al-Qur'an dan Tafsirnya, Jilid I, Juz 1-2-3, Semarang: PT. Citra Effhar, 1993.

_______, Al-Qur'an dan Tafsirnya, Jilid VIII (UII), Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1990.

_______, Al-Qur'an dan Terjemahan, Juz 1-30, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1995.

_______, Pedoman Pendidikan Agama Islam untuk Sekolah Umum, Jakarta: Ikhlas Beramal, 2004.

Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, Cet. 3, Ed. 3.

Fachruddin, Ensiklopedia Al-Qur'an, Jilid I, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998, Cet. II.

Furqon, Achmad, “Kajian Surat Ar-Rahman Ayat 1-4 Perspektif Pendidikan Islam”, Skripsi, Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2009, t.d.

Hadi, Sutrisno, Metodologi Research I, Yogyakarta: Andi Offset, 1995.

Hamalik, Oemar, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008, Cet. II.

_______, Manajemen Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008, Cet. III.

_______, Proses belajar Mengajar, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007, Cet. VI.

Hasan, Ahmad Ibnu, Fathu al-Rohman Li Tolib al-Ayat al-Qur’an, Jakarta: Dar al-Hikmah, t.t.

Hilal, Mohammad, “Manusia dalam Semantik Al-Qur'an dan Implikasinya terhadap Tujuan Pendidikan Islam”, Skripsi, Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2006, t.d.

Inayah, Shofi, “Makna Qalam dalam Al-Qur'an dan Implementasinya dalam Pendidikan Islam”, Skripsi, Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2006, t.d.

Khaerudin, dkk. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Konsep dan Implementasinya di Madrasah, Semarang: MDC Jateng, 2007.

Ma’luf, Luwis, Al-Munjid fi Al-Lughat wa Al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriqi, 2007), hlm. 520. Lihat juga, Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta: Al-Munawir, 1984.

Muchlas, Imam, Al-Qur'an Berbicara (Kajian Kontekstual Beragam Persoalan), Surabaya: Pustaka Progressif, 1996, Cet. I.

Musa, M. Yusuf, Al-Qur'an dan Filsafat, terj. M. Thalib, Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1991, Cet. I.

Nashori, H. Fuad, Potensi-Potensi Manusia Seri Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, Cet. 2.

Nasution, Harun, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan, 1998, Cet. 5.

Nasution, S., Asas-Asas Pengembangan Kurikulum, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2001.

Nasution, S., Kurikulum dan Pengajaran, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1999), Cet. III.

Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta Selatan: PT. Intermasa 2002, Cet. I.

Nurdin, Syafruddin, Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum, Jakarta: Ciputat Press, 2002, Cet. 7.

Oliva, Peter F., Developing the Curriculum, (Terjemahan), Canada: Little, Brown and Company Boston Toronto, 1982.

Pasiak, Taufik, Revolusi IQ/EQ/SQ: Menyingkap Rahasia Kecerdasan Berdasarkan Al-Qur'an dan Neurosains Mutakhir, Bandung: PT. Mizan 2008, Cet. I.

Qardhawi, Yusuf, Al-Aqlu wal Ilmu Fil Qur’anil Karim, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, Irfan Salim dan Sochimien, Al-Qur'an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Gema Insani Press, 2004, Cet. VI.

_______, Al-Qur'an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Gema Insani, 1998.

Quthb, Sayyid, Fizhilalil Qur’an, (Penerjemah: As’ad Yasin, dkk), Tafsir Fi Zhilahil Qur’an di Bawah Naungan Al-Qur'an, Jilid 9, Jakarta: Gema Insani Press 2004, Cet. I.

_______, Fizhilalil Qur’an, (Penerjemah: As’ad Yasin, dkk), Tafsir fi Zhilalil Qur’an di Bawah Naungan Al-Qur'an Jilid 10, Jakarta: Gema Insani Press 2004, Cet. I.

Rahman, Afzalur, Qur’anic Science, terj. M. Arifin, Al-Qur'an Sumber Ilmu Pengetahuan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000, Cet. III.

Sanaky, Hujair AH., “Dinamika Pemikiran dalam Islam”, http:sanaky.staff.uii.ac.id/category/modul/

Sanjaya, Wina, “Kajian Kurikulum dan Pembelajaran”, Tesis Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung: Perpustakaan UPI Bandung, 2005, t.d.

Shehab, Magdy, dkk, Al-I’jaz Al-Ilmi fi Al-Qur'an wa al Sunah, (terj. Penerjemah: Syarif Made Masyah, dkk), Ensiklopedia Mu’jizat Al-Qur'an dan Hadits, Bekasi: PT. Sapta Santosa, 2008, Cet. I, Jilid 2.

Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an, vol. 12, Jakarta: Lentera Hati, 2005, Cet. III.

_______, Membumikan Al-Qur'an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004, Cet. XXVIII.

_______, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an, Vol. II, Jakarta: Lentera Hati, 2005, Cet. IX.

_______, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an, Vol. 2, Jakarta: Lentera Hati, 2005, Cet. III.

_______, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an, Vol 10, Jakarta: Lentera Hati, 2000, Cet. IX.

Sukmadinata, Nana Syaodih, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009, Cet. 11.

Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Islam II, Bandung: Pustaka Setia, 1997, Cet. I.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Asep Awaludin

Alamat : Jl. Duku Rt 02 Rw 01 Kel. Wiyoro Wetan

Kec. Ulujami Kab. Pemalang 52371

Tempat, Tanggal Lahir : Pemalang, 3 Desember 1985

Nomor Panggil : 08562740467

Nama Orangtua : Ayah : Mudzakir

Ibu : Khodiroh

Anak ke- : 1 dari 3 bersaudara

Riwayat Pendidikan Formal :

- TK Muslimat NU Rowosari lulus 1992

- SD Negeri 01 Wiyoro Wetan Ulujami lulus 1999

- SMP Negeri 1 Ulujami lulus 2002

- MA Futuhiyah 01 Mranggen Demak lulus 2005

- Program Studi PAI Fakultas Tarbiyah

IAIN Walisongo Semarang angkatan 2005

Riwayat Pendidikan Non-Formal :

- Madrasah Diniyah Awaliyah Nurul Islam Wiyoro Wetan

- Madrasah Diniyah Wustha Nurul Islam Wiyoro Wetan

- Pondok Pesantren Darul Ma’wa (KH. Ahmad Muthohar) Mranggen

Demak

- Pondok Pesantren Al-Ishlah Mangkang Kulon Semarang

Pengalaman Organisasi :

- Pengurus UKM PSHT IAIN Walisongo Semarang 2005-2009

- Pengurus UKM BITA Fakultas Tarbiyah 2005

- IMPP (Ikatan Mahasiswa Pelajar Pemalang) 2005

Motto : Gerak lahir luluh dengan gerak batin.

Gerak batin tercermin oleh gerak lahir.