momentum internalisasi indonesia sebagai tujuan 1 spm … · di dalamnya sudah diintegrasikan...

40
TAHUN VI | NOVEMBER 2O15 1 EDISI NOVEMBER 2015 | TAHUN VI MOMENTUM INTERNALISASI SPM KE DOKUMEN PERENCANAAN DAERAH INDONESIA SEBAGAI TUJUAN HALAL TOURISM

Upload: dinhthu

Post on 08-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TAHUN V I | NOVEMBER 2O15

1

Jendela

EDISI NOVEMBER 2015 | TAHUN VI

MOMENTUM INTERNALISASI SPM KE DOKUMEN

PERENCANAAN DAERAH

INDONESIA SEBAGAI TUJUAN HALAL TOURISM

ED IS I NOVEMBER 2O15 | TAH UN V I

2

Jendela

Daftar Isi

Bagi Anda yang ingin mengirimkan tulisan, opini atau menyampaikan tanggapan, informasi, kritik dan saran, silahkan kirim melalui : [email protected]

FokusMomentum Internalisasi SPM ke Dokumen Perencanaan Daerah 4WawancaraPeran Ditjen Bina Bangda Lebih Besar 10PerspektifYogyakarta, Kota Istimewa Untuk Belajar! 16Mengulas keberhasilan Surabaya dalam menerapkan E-Goverment 20OpiniIndonesia sebagai tujuan Halal Tourism 24CatatanIroni Pendidikan di Bumi Pertiwi 16

Cover Story Cover buletin Jendela kali ini mengangkat tema Standar Pelayanan Minimum yang menjadi urusan wajib Pemerintahan Daerah. Susunan buku-buku menjadi sebuah ilustrasi yang mengambarkan SPM dimasukkan kedalam dokumen perencanaan. Peran Ditjen Bina Pembangunan Daerah (Bangda) dalam mengawal dan memastikan urusan pemerintahan dilaksanakan di daerah. Tidak hanya dari hulu, tapi juga hilir. Dari 32 urusan yang dikawal, secara spesifik Ditjen Bina Bangda juga harus memastikan, 6 urusan yang terkait pelayanan dasar bisa dilaksanakan oleh pemerintah daerah.

PELINDUNGMenteri Dalam Negeri

PENANGGUNG JAWABDr. H. Muh. Marwan, M.Si

REDAKTUR

Ir. Diah Indrajati, M.Sc, Ir. Muhammad Hudori, M.Si, Drs.

Sugiyono, M.Si, Drs. Eduard Sigalingging, M.Si, Drs.

Binar Ginting, MM, Drs, Nyoto Suwignyo, MM

PENYUNTING

Iwan Kurniawan, ST, MM, Subhany, SE, M.Sc, Ali

Hasibuan, SE, Yoppie Herlian Juniaga, ST, MT, Yudhi Timor

Bimo Prakoso

SEKRETARIAT

Mahmuddin, R.Suryo P. Nugrohanto, SE, MM, Dede

Sulaeman, Mahfud Achyar, Arif Rahman

ALAMAT KANTOR Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah

Kementerian Dalam Negeri Jl. Taman Makam Pahlawan

No. 20 Kalibata Jakarta Selatan 12750 Telp. 021-7942631

Semua artikel bisa diakses melalui:http://www.bangda.kemendagri.go.id/

Orang Miskin di larang sakit 28Nasional Tingkatkan kesejahteraan: Naikkan dua hal dan tahan dua hal 30Badan koordinasikan penyusunan SPM 32 Pemda harus prioritaskan pelayanan dasar 34ResensiMerumuskan ulang jaminan sosial 36InspirasiLivable City ala Ridwan Kamil 38

JENDELA PEMBANGUNAN DAERAHISSN: 2337-6252

TAHUN V I | NOVEMBER 2O15

3

Jendela

SPM dalam Komunikasi Pembangunan

Daftar Isi

Fungsi utama pemerintah Pusat dan daerah adalah penyediaan pelayanan publik bagi masyarakat. Oleh sebab itu optimalisasi pelayanan publik

yang efisien, efektif, terukur dan profesional menjadi perhatian utama pemerintah untuk dapat memberikan pelayanan publik yang prima bagi masyarakat. Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan salah satu cara untuk mendorong pemerintah Pusat mendorong pemerintahan Daerah untuk melakukan standar pelayanan publik paling minimal dan tepat bagi masyarakat disekitarnya, dan juga mendorong seluruh masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap kinerja pemerintah di bidang pelayanan publik, khususnya mengenai SPM yang telah menjadi urusan wajib.

Dengan terbitnya UU 23 tahun 2014 yang mengatur tentang standar pelayanan minimal, maka penyelenggaraan urusan pemerintahan menjadi isu yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Tuntutan dan desakan yang dilakukan oleh para akademisi, politisi, lsm, pemerhati dibidang pemerintahan dan juga masyarakat luas menuntut kepada pemerintah untuk melaksanakan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dapat menyentuh persoalan yang paling mendasar, dan sangat dibutuhkan di Daerah.

Oleh karena itu, merupakan hal yang wajar dan seharusnya menjadi prioritas pemerintah untuk melakukan perubahan-perubahan yang terukur dan terarah demi terwujudnya penyelenggaraan urusan pemerintahan yang profesional. Perubahan orientasi manajemen publik yang selama ini kepada kepentingan internal organisasi pemerintahan, saat ini telah berubah menjadi kepentingan eksternal (public) disertai dengan peningkatan pelayanan dan pendelegasian sebagian tugas pelayanan publik dari pemerintah Pusat ke

pemerintah Daerah, dengan mengacu kepada payung hukum UU 23 tahun 2014.

Dengan adanya orientasi baru dalam manajemen publik tersebut, maka pemerintah daerah tidak saja dituntut akuntabilitasnya ke dalam (Internal organisasi) tetapi justru ke luar (masyarakat) melalui akuntabilitas publik (transparansi), pemerintah akan dipantau dan dievaluasi kinerjanya oleh masyarakat. Pemantauan dan evaluasi terhadap kinerja pemerintah daerah akan lebih mudah jika pemerintah daerah sudah membuat indikator dan target-target yang disusun dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan masuk kedalam dokumen RPJMD, dan memberikan ruang (mekanisme) di mana masyarakat (publik) dapat secara terbuka mengawasi dan berpartisipasi dalam memantau pelaksanaan SPM di daerahnya.

Partisipasi masyarakat dalam urusan pemerintahan, dapat menjadi jembatan komunikasi politik yang dibangun oleh pemerintah Pusat dan Daerah kepada masyarakatnya, untuk membangun kesepahaman, keselarasan dan persamaan tujuan Rancangan Program pemerintah kepada masyarakatnya, dengan kata lain, komunikasi politik ini menjadi bagian penting dari proses komunikasi pembangunan.

SPM yang telah tersusun akan menjadi pedoman bagi kedua belah pihak, pemerintah daerah maupun masyarakat. Bagi pemerintah daerah SPM dijadikan pedoman dalam melakukan pelayanan publik, sedangkan bagi masyarakat SPM merupakan pedoman untuk memantau dan mengukur kinerja pemerintah daerah. Dengan terbitnya UU 23 tahun 2014 ini, SPM tidak hanya menjadi milik pemerintahan Daerah, tetapi juga masyarakat yang membutuhkannya. Edisi Buletin November ini mengulas secara mendalam mengenai SPM dan apa sebenarnya SPM ini. AF n

ED IS I NOVEMBER 2O15 | TAH UN V I

4

Jendela

FOKUS

Tidak hanya mulai tumbuhnya kesadaran bersama dari para pemangku kepentingan terhadap upaya menyejahterakan masyarakat, lebih dari itu amanah UU tersebut

lebih tandas dalam menekankan amanatnya untuk kesejahteraan masyarakat.

Pelayanan dasar menjadi kata kunci bagi pemerintah dalam menghadirkan perannya di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, pelayanan dasar akan diimplementasikan dan dikawal oleh banyak pihak. Kemendagri dan kementerian/lembaga teknis yang terkait pelayanan dasar akan bahu-membahu berupaya serius melaksanakan pembinaan kepada daerah dalam penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.

Sekarang, banyak pihak di kalangan pemerintahan yang optimis pelayanan dasar bisa dilaksanakan dengan baik di daerah, karena hal itu diamanatkan di UU Nomor 23 Tahun 2014. Bahkan, di UU tersebut, sanksi kepada pemerintah daerah yang abai terhadap pelaksanaan pelayanan dasar cukup jelas.

Mencermati pasal-pasal di UU Nomor

MENGAWAL IMPLEMENTASI SPM DI DAERAH

Pasca diterbitkannya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU Nomor 32 Tahun 2004, orientasi pemerintah dalam menghadirkan negara di tengah-tengah masyarakat semakin kentara.

23 Tahun 2014, ditegaskan, penyelenggara pemerintah daerah, pertama-tama harus memprioritaskan urusan konkuren wajib yang terkait dengan layanan dasar.

Pendek kata, penyelenggara pemerintah daerah, kini dan ke depan harus memprioritaskan pelaksanaan urusan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar. Semua sumberdaya termasuk Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) harus diprioritaskan terlebih dahulu untuk mensukseskan tercapainya pelayanan dasar.

Menilik tugas dan fungsinya, sesuai dengan Permendagri Nomor 43 Tahun 2015 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Kemendagri, selain mengawal 6 urusan wajib yang terkait pelayanan dasar, Ditjen Bina Pembangunan Daerah (Bangda) Kemendagri juga mempunyai tugas dan fungsi mengawal urusan-urusan pemerintahan lain yang jumlahnya 32, yaitu 6 urusan wajib terkait pelayanan dasar, 18 urusan wajib non pelayanan dasar dan 8 urusan pilihan.

Jika dipetakan secara ringkas, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah membagi urusan pemerintahan menjadi tiga urusan.

Pertama, Urusan Pemerintahan Absolut, yaitu Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Di sini, yang termasuk urusan pemerintahan absolut, yakni: (1) Pertahanan, (2) Keamanan, (3) Agama, (4) Yustisi, (5) Polugri, dan (6) Agama.

Kedua, Urusan Pemerintahan Umum, yaitu Urusan Pemerintah Pusat yang dilimpahkan pelaksanaannya kepada

TAHUN V I | NOVEMBER 2O15

5

Jendela

PERSPEKTIF

Pelayanan dasar menjadi kata kunci bagi pemerintah dalam menghadirkan perannya di tengah-tengah masyarakat.

gubernur dan bupati/walikota di wilayahnya masing-masing, misalnya urusan menjaga 4 konsensus dasar. Dalam hal ini, kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan, di daerah dilaksanakan oleh gubernur, bupati/walikota, dan didelegasikan kepada camat.

Ketiga, Urusan Pemerintahan Konkuren, yaitu Urusan Pemerintahan yang dibagi kewenangannya antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Urusan Pemerintahan Konkuren ini ada yang Wajib yang terkait Pelayanan Dasar dan tidak terkait Pelayanan Pasar. Kemudian, di dalam Urusan Pemerintahan Konkuren ini juga ada Urusan Pilihan yang berorientasi pada potensi dan keunggulan daerah.

Urusan Pemerintahan Konkuren Wajib yang terkait pelayanan dasar antara lain: (1) Pendidikan; (2) Kesehatan; (3) Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang; (4) Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman; (5) Ketertiban Umum dan Perlindungan Masyarakat; dan (6) Sosial.

Sementara itu, Urusan Pemerintahan Konkuren Wajib yang tidak terkait Pelayanan Dasar, yaitu: (1) Pertahanan; (2) Lingkungan Hidup; (3) Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil; (4) Pengendalaian

ED IS I NOVEMBER 2O15 | TAH UN V I

6

Jendela

PERSPEKTIF

Penduduk dan Keluarga Berencana; (5) Perhubungan; (6) Komunikasi dan Informasi; (7) Koperasi dan UKM; (8) Penanaman Modal; (9) Kepemudaan dan Olahraga; (10) PMD; (11) Statistik; (12) Persandian; (13) Kebudayaan; (14) Perpustakaan; dan (15) Arsip; (16) Tenaga Kerja; (17) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; dan (18) Ketahanan Pangan.

Kemudian, Urusan Pemerintahan Konkuren Pilihan adalah sebagai berikut: (1) Kelautan dan Perikanan; (2) Pariwisata; (3) Pertanian; (4) Kehutanan; (5) Energi dan Sumberdaya Mineral; (6) Perdagangan; (7) Perindustrian; dan (8) Tansmigrasi.

Ringkasnya, dari mandat yang ada di UU Nomor 23 Tahun 2014, Ditjen Bina Bangda sebagai salah satu komponen Kemendagri mempunyai tugas dan fungsi dalam rangka memastikan 32 urusan tersebut bisa dilaksanakan di daerah dan negara bisa hadir di tengah-tengah masyarakat, sehingga masyarakat menjadi berubah ke arah yang positif dari sisi kesejahteraannya.

Sebagaimana telah disinggung, SPM menjadi sesuatu yang prioritas dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah. Hal ini diandaikan sebagai sebagai rumah atau tempat tinggal bagi sebuah keluarga. Sebuah keluarga harus memiliki tempat tinggal – entah itu mengontrak, mencicil melalui KPR, atau membeli kontan – karena tempat tinggal merupakan hal paling prioritas bagi keluarga setelah kebutuhan sandang dan pangan.

Begitu pula dengan penerapan penyelenggaraan urusan pemerintahan, hal prioritasnya adalah penerapan pelayanan dasar di daerah setidaknya secara minimal. Dari Sabang sampai Merauke, harus memiliki standar pelayanan minimal, setidaknya sama. Artinya, standar tersebut harus memiliki ukuran yang minimal. Namun demikian, jika ada daerah yang memiliki kemampuan

anggaran yang lebih dibanding daerah lain, daerah tersebut boleh menaikan level standar minimalnya di atas rata-rata daerah lain, asalkan tidak kurang dari minimal.

Tetapi catatannya adalah standar minimal harus dipenuhi oleh semua daerah di Indonesia. Dengan demikian, diharapkan masyarakat bisa merasakan pelayanan dasar setidak-tidaknya yang minimal yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah.

Momentum Internalisasi SPM ke dalam

RPJMDSecara khusus Ditjen Bina Bangda

mempunyai tugas dan fungsi untuk memastikan pemerintah daerah dalam

TAHUN V I | NOVEMBER 2O15

7

Jendela

FOKUS

melaksanakan pelayanan dasar di daerah. Skema yang penting untuk dilakukan adalah dengan merancang SPM bersama K/L teknis dan daerah untuk kemudian diinternalisasi ke dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

Karena SPM menjadi hal yang utama dan prioritas dalam penyelenggaraan urusan di daerah, maka penting bagi Ditjen Bina Bangda untuk memastikan SPM dilaksanakan di daerah. Dan langkah strategis untuk memastikan SPM diterapkan di daerah adalah dengan mengintegrasikan indikator-indikator SPM ke dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah.

Dalam waktu normal indikator-indikator

SPM diinternalisasikan ke dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah 5 tahunan di masing-masing daerah. Satu daerah secara berturut-turut melakukan tahap persiapan penyusunan RPJMD, berikutnya tersusun rancangan awal RPJMD, tersusun Rancangan RPJMD, dilakukan Musrenbang RPJMD, lahir rancangan akhir RPJMD, dilakukan konsultasi, terakhir pembahasan dan penetapan Perda RPJMD.

Di tahun mendatang pemerintah daerah diharapkan bisa memiliki RPJMD baru yang di dalamnya sudah diintegrasikan indikator-indikator SPM. Sehingga pemerintah bisa menerapkan pelayanan dasarnya dengan baik.

Di pengujung tahun 2015, proses internalisasi SPM ke dalam dokumen RPJMD menemui momentumnya. Karena pemerintah melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak, walaupun tidak seluruh daerah melaksanakannya. Pilkada serentak meniscayakan tersusunnya banyak dokumen RPJMD baru sehingga peluang internalisasi SPM ke dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah menjadi besar.

Sebagaimana dimaklumi, pertama kalinya dalam sejarah politik Indonesia, pilkada secara serentak telah dilaksanakan pada 9 Desember 2015. Sebanyak 256 kabupaten/kota dan 8 provinsi melaksanakan pilkada serentak di seluruh wilayah Indonesia (Kompas, 9 Desember 2015).

Di antara wilayah-wilayah tersebut terdapat 15 wilayah yang tergolong otonomi baru. Dari sekian banyak daerah yang melaksanakan pilkada tersebut, 5 daerah ditunda pelaksanaanya karena ada proses hukum.

Penyelenggaraan pilkada serentak menandai dimulainya sejarah baru pembangunan di daerah. Sebabnya, pilkada serentak menjadi sebuah momentum penting bagi dimulainya penerapan pelayanan dasar bagi masyarakat yang dilakukan oleh

ED IS I NOVEMBER 2O15 | TAH UN V I

8

Jendela

FOKUS

“Peran Ditjen Bina Bangda di sini amatlah strategis, karena Ditjen Bina Bangda memastikan indikator pemenuhan pelayanan

dasar diinternalisasi dalam dokumen RPJMD.“

pemerintah daerah.Pasca dilantiknya banyak kepala

daerah, indikator-indikator SPM akan diinternalisasikan ke dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah. Daerah-daerah yang melakukan Pilkada tersebut diharapkan bisa menyusun dan menetapkan Perda tentang RPJMD baru secara serentak pula, paling lambat 6 bulan setelah kepala daerah terpilih dilantik.

Dengan begitu akan banyak daerah yang memiliki dokumen RPJMD baru yang di dalamnya sudah dimasukkan indikator-indikator SPM. Semakin banyak daerah yang sudah memiliki dokumen RPJMD baru, maka semakin banyak pula peluang daerah yang bisa menerapkan pelayanan dasar kepada masyarakatnya.

Peran Ditjen Bina Bangda Kemendagri

Jika diperhatikan dengan seksama, tegaslah sudah, bahwa pelayanan dasar menjadi hal yang prioritas untuk dilaksanakan di daerah dan dalam rangka itu, SPM harus dimasukan ke dalam dokumen RPJMD. Lalu, apa peran Ditjen Bina Bangda dalam menyukseskan pelayanan dasar diterapkan di daerah?

Saat ini Ditjen Bina Bangda yang dikoordinasikan oleh Direktorat Perencanaan Evaluasi dan Informasi Pembangunan Daerah (PEIPD) sedang merancang Peraturan Pemerintah (RPP) tentang SPM. RPP tentang

SPM tersebut kelak akan menjadi salah satu landasan dalam pelaksanaan atau implementasi SPM.

Sebelumnya, PP Nomor 65 yang sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 sudah tidak relevan, karena telah terbit UU Nomor 23 Tahun 2014. Dengan demikian, PP yang terkait dengan SPM itu harus diubah, dengan muatan substansi yang ada di UU yang baru.

Selain melakukan langkah hukum dengan merevisi PP tentang SPM, Ditjen Bina Bangda

juga telah melakukan fasilitasi kepada beberapa daerah

dalam pelaksanaan SPM di daerah. Sebagaimana

disampaikan Ir. Muhammad Hudori,

M.Si, Direktur PEIPD, bahwa dalam upaya memberikan penguatan substansi bagi para aparat di Bappeda

(provinsi dan kabupaten/

kota), Ditjen Bina Bangda telah

melakukan pemantapan pemahaman penyusunan

dokumen perencanaan, mulai dari Rencana Pembangunan Jangka

Panjang Daerah (RPJPD), RPJMD, Rencana Strategis Perangkat Daerah (Renstra PD), dan Rencana Kerja Perangkat Daerah (Renja PD).

Menurutnya, di beberapa wilayah yang menjadi kewenangannya sudah dilakukan fasilitasi, baik di wilayah Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan-Sulawesi, maupun Nusa Tenggara dan Papua serta Papua Barat. Dan, secara khusus, daerah yang melakukan Pilkada pada Desember ini, sudah dilatih bagaimana cara menyusun dokumen perencanaan, termasuk

TAHUN V I | NOVEMBER 2O15

9

Jendela

INTERVIEW

menyampaikan hal-hal yang cukup siginifikan, yaitu pasca berubahnya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, khususnya yang berkaitan dengan perencanaan pembangunan daerah.

Selain itu, Ditjen Bina Bangda juga sudah mencoba menganggarkan program yang terkait SPM di Renja tahun 2015-2016, yaitu mengenai fasilitasi implementasi SPM.

Dengan demikian, sambil menunggu PP tentang SPM terbit, Ditjen Bina Bangda juga sudah melakukan beberapa fasilitasi, pendampingan, koordinasi, dan advokasi terhadap pelaksanaan SPM bersama K/L.

Semua direktorat di Ditjen Bina Bangda mempunyai tugas masing-masing dalam implementasi SPM. Di proses perencanaan Direktorat PEIPD berperan langsung terhadap penyusunan dokumen RPJMD yang di dalamnya diinternalisasi SPM. Namun, di tahap awal, Direktorat Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah (SUPD) yang membidangi urusan wajib terkait pelayanan dasar juga melakukan pendampingan dari sisi substansinya. Hal itu dilakukan agar indikator SPM dipastikan masuk ke dalam dokumen perencanaan, sebelum ditetapkan Perdanya.

Setelah dokumen tersebut dikonsultasikan ke Direktorat PEIPD, maka kemudian ditetapkan perdanya dan saat itulah dokumen RPJMD berlaku dan siap dilaksanakan oleh pemerintah daerah, sekaligus menjadi target pemerintah daerah.

Selanjutnya Direktorat SUPD mendampingi kembali proses implementasi dan evaluasi penerapan SPM di daerah. Artinya, secara teknis Direktorat SUPD mengawal di awal dan di akhir. Direktorat PEIPD melakukan pendampingan di awal, dalam konteks perencanaannya. Sementara dalam pelaksanaan dan evaluasinya, Direktorat PEIPD juga mengawal: apakah kebijakan itu dilaksanakan atau tidak.

Inilah peran hulu-hilir Ditjen Bina Bangda

dalam memastikan pelayanan dasar yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah bisa benar-benar diwujudkan, sehingga masyarakat bisa merasakan kemudahan dan jaminan hidup, setidaknya yang minimal.

Memang, secara teknis pemenuhan pelayanan dasar bukanlah menjadi tugas dan fungsinya Ditjen Bina Bangda, melainkan Kementerian/Lembaga teknis. Hanya saja peran Ditjen Bina Bangda di sini amatlah strategis, karena Ditjen Bina Bangda memastikan indikator pemenuhan pelayanan dasar diinternalisasi dalam dokumen RPJMD. Sebab, jika indikator SPM tidak masuk ke dalam RPJMD, maka pelayanan dasar yang seharusnya dilaksanakan oleh pemerintah daerah belum tentu terwujud.n

ED IS I NOVEMBER 2O15 | TAH UN V I

10

Jendela

WAWANCARA

PERAN DITJEN BINA BANGDA LEBIH BESAR

Ke depan, peran Ditjen Bina Pembangunan Daerah (Bangda) dalam mengawal dan memastikan urusan pemerintahan dilaksanakan di daerah

lebih besar. Tidak hanya dari hulu, tapi juga hilir.

Dari 32 urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah yang difasilitasi penyelenggaraannya oleh Ditjen Bina Pembangunan Daerah, secara spesifik Ditjen

Bina Bangda juga harus memastikan bahwa 6 (enam) diantara urusan tersebut yang merupakan urusan pemerintahan wajib terkait dengan pelayanan dasar, dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah karena menyangkut kebutuhan dasar masyarakat.

Agar ada acuan dalam menentukan apakah 6 (enam) Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar tersebut dipastikan dapat diakses dan diterima oleh masyarakat, maka Pemerintah menetapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM). SPM yang ditetapkan hanya diperuntukan bagi sebagian dari substansi 6 (enam) Urusan Pemerintahan Wajib dasar dimaksud.

Berkenaan dengan peran Ditjen Bina Bangda dalam mengawal 32 Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, tim redaksi Buletin Jendela Pembangunan Daerah mewawancarai Direktur Perencanaan Evaluasi Informasi Pembangunan Daerah (PEIPD) Ditjen Bina Bangda, Ir. Muhammad Hudori, M.Si di ruang kerjanya. Berikut petikannya.

Peran Ditjen Bina Bangda dalam membina daerah terkait penerapan SPM

dan kewajiban pemenuhan pelayanan dasar seperti apa?

Ke depan, peran Ditjen Bina Pembangunan Daerah dalam mengawal penerapan SPM justru lebih besar. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomr 43 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Dalam Negeri di Daerah yang mengamanatkan bahwa Ditjen Bina Pembangunan Daerah menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang urusan pemerintahan dan pembinaan pembangunan daerah. Hal ini memiliki makna, bahwa 32 urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah merupakan fokus fasilitasi Ditjen Bina Pembangunan Daerah, 6 (enam) diantaranya akan diterbitkan SPM. Dengan posisi ini, diharapkan Ditjen Bina Pembangunan Daerah menjadi leader dalam mengawal dan menjamin tercapaianya SPM di daerah. Hal ini senada dengan apa yang disarankan Bappenas agar dibentuk Sekretariat Bersama SPM, seperti halnya Sekretariat Bersama Dana Alokasi Khusus (DAK).

Dalam pelaksanaannya ke depan, diperlukan adanya kesamaan pemahaman dan sinergi di antara semua Direktorat di lingkungan Ditjen Bina Pembangunan Daerah. Direktorat PEIPD memiliki tugas utama untuk menjamin dan memastikan bahwa SPM yang ditetapkan telah diakomodir/dicantumkan di

TAHUN V I | NOVEMBER 2O15

11

Jendela

KUPAS

dalam dokumen rencana pembangunan daerah (RPJMD dan RKPD) dan dokumen rencana perangkat daerah (Rencana Strategis Perangkat Daerah/Renstra PD, dan Rencana Kerja Perangkat Daerah/Renja PD) untuk kemudian dialokasikan pembiayaannya dalam APBD. Sementara itu, Direktorat Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah (SUPD) I sampai dengan IV secara substansi memiliki peran yang sangat penting dalam memastikan tercapaianya target SPM sesuai urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar yang difasilitasi, yaitu SPM bidang urusan pendidikan; perumahan rakyat dan kawasan permukiman; kesehatan; ketenteraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat; pekerjaan umum dan penataan ruang; dan sosial.

Sekali lagi perlu digarisbawahi bahwa peran Ditjen Bina Pembangungan Daerah ke depan akan lebih besar, karena tidak saja hanya bicara pembangunan daerah, akan tetapi juga menyentuh pada urusan penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini yang berulang ditegaskan oleh Bapak Dirjen Bina Pembangunan Daerah, “ Bangda itu hulu-hilir. Kalau dulu kan hilir saja” .

Apa pendapat Bapak mengenai Sekretariat Bersama atau Forum yang mengkoordinasikan pelaksanaan SPM?

Belajar dari pelaksanaan Sekretariat Bersama Dana Alokasi Khusus (Sekber DAK), Sekber SPM atau forum yang mengkoordinasikan pelaksanaan SPM cukup penting. Artinya, Sekber SPM juga diperlukan keberadaannya untuk mengawal dan mengkoordinasikan pelaksanaan urusan wajib dasar, baik di pusat maupun di daerah. Hanya saja di PP tentang SPM yang sedang dirancang, saya merasa keberatan kalau ini dicantumkan.

ED IS I NOVEMBER 2O15 | TAH UN V I

12

Jendela

Saya khawatir kalau di RPP ini disebutkan Sekretariat Bersama, maka implikasinya tidak hanya Ditjen Bina Bangda dengan Bappenas saja. Tetapi juga menyangkut kelembagaan yang menangani SDM, keuangan, bahkan tentunya akan melibatkan Kemenpan RB.

Makanya sementara di RPP ini kami tidak memasukannya dulu. Saya mengapresiasi kalau memang Sekretariat Bersama SPM itu ada. Intinya saya apresiasi dan menyambut baik hal itu. Hanya saja itu tidak usah dicantumkan dalam RPP, dasarnya seperti Sekretariat Bersama DAK saja: dibuat Surat Edaran Bersama (SEB) tiga kementerian, maka lahirlah Sekretariat Bersama.

Seperti apa peran Ditjen Bina Bangda dalam mengevaluasi penerapan SPM di daerah?

Di PP yang sedang dirancang, (hal itu) sebenarnya sudah ada. Soal pembinaan, pengawasan, termasuk monitoring dan evaluasi. Mengenai ini juga, ke depan peran Ditjen Bina Bangda akan lebih besar.

Meskipun RPP ini belum clear benar, tapi secara umum hal itu sudah kami masukkan. Misalnya, bagaimana pemerintah daerah menerapkan SPM dan ketika daerah menyampaikan laporan. Kemudian, bagaimana juga Ditjen Bina Bangda harus melakukan evaluasi. Itu semua di Ditjen Bina Bangda.

Nanti yang melakukan evaluasi hanya Direktorat PEIPD?

Tidak. Direktorat SUPD juga, termasuk K/L lain.

Bagaimana Ditjen Bina Bangda melakukan pendampingan ketika pemerintah daerah menyusun dokumen RPJMD?

Saat ini kami sedang merevisi Permendagri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan

PP 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 277 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Hal mendasar yang menjadi perubahan dari revisi Permendagri 54/2010 antara lain adalah berkaitan dengan keharusan dilakukannya evaluasi terhadap rancangan Peraturan Daerah tentang RPJPD dan RPJMD, yang sebelumnya dilakukan melalui konsultasi ke Menteri Dalam Negeri bagi provinsi, dan ke Gubernur bagi kabupaten/kota. Nah, kaitan dengan SPM yang kita kawal agar masuk ke dalam dokumen RPJMD, melalui tahapan evaluasi akan lebih mendalam substansi per substansi dari berbagai aspek yang dimuat dalam RPJMD, termasuk bagaimana indikator-indikator SPM telah dicantumkan.

Selain itu, kemarin banyak persoalan, terutama masalah sinkronisasi dan konsistensi program Pusat dan Daerah. Ini yang sedang kami banyak diskusikan dan upayakan, supaya program nasional sama (selaras) dengan program daerah. Saya juga sudah menyampaikan, bagaimana peran Direktorat SUPD I sampai IV yang harus mengawal Renstra K/L, supaya selaras dengan Renstra PD (Perangkat Daerah).

Saat ini, pendekatan itulah yang sedang kami lakukan. Terutama bagi Daerah yang melakukan Pemilukada. Dalam upaya memberikan penguatan substansi bagi para aparat di Bappeda (provinsi dan kabupaten/kota) kami sudah melakukan pemantapan pemahaman penyusunan dokumen perencanaan, mulai dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Strategis Perangkat Daerah (Renstra PD), dan Rencana Kerja Perangkat Daerah (Renja PD). Di semua Subdit Wilayah hal itu sudah kami

TAHUN V I | NOVEMBER 2O15

13

Jendela

WAWANCARA

Urusan wajib yang terkait pelayanan dasar, tidak semuanya di-SPM-kan, tapi hanya substansinya.

lakukan. Baik di wilayah Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan-Sulawesi, maupun Nusa Tenggara dan Papua serta Papua Barat. Artinya, daerah yang melakukan Pemilukada pada Desember ini, itu sudah kami latih. Mereka sudah kami latih bagaimana cara menyusun dokumen perencanaan, termasuk menyampaikan hal-hal yang cukup siginifikan berubah pasca Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, khususnya yang berkaitan dengan perencanaan pembangunan daerah.

Ketika pemerintah daerah mengkonsultasikan RPJMD ke Direktorat PEIPD, poin-poin penting apa saja yang dikonsultasikan?

Sekarang agak berbeda. Seperti yang saya jelaskan tadi, amanat dari Pasal 267 UU Nomor 32 Tahun 2004 .bahwa rancangan Perda RPJMD yang sudah disetujui bersama oleh gubernur dan DPRD provinsi sebelum ditetapkan oleh gubernur paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak persetujuan bersama disampaikan kepada Menteri untuk dievaluasi, bukan konsultasi. Demikian juga untuk rancangan Perda RPJMD kabupaten/kota untuk dievaluasi oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.

Tujuan dilakukannya evaluasi adalah untuk menguji kesesuaian rancangan RPJMD tersebut dengan RPJPD provinsi dan RPJMN, kepentingan umum dan/ketentuan peraturan perundang-udangan yang lebih tinggi. Demikian juga halnya dengan evaluasi terhadap rancangan Perda RPJMD kabupaten/kota yaitu untuk menguji kesesuaian dengan RPJPD kabupaten/kota, RPJMD provinsi dan RPJMN., kepentingan umum/dan atau ketentuan peraturan perundang-udangan yang lebih tinggi.

Dapat ditambahkan bahwa evaluasi dilakukan secara komprehensif untuk menilai konsistensi program dan anggaran. Makanya ke depan istilah Badan Pengawas Keuangan

ED IS I NOVEMBER 2O15 | TAH UN V I

14

Jendela

WAWANCARA

(BPK) atau Inspektorat Jenderal (Itjen) hal itu, dikenal sebagai pengawasan kinerja. Artinya (dalam evaluasi) tidak hanya melihat serapan anggaran, tapi juga melihat konsistensi antara dokumen di atas, di tengah, sampai di bawahnya. Pada saat evaluasi itu kita lihat. Pendek kata, dalam evaluasi ke depan, tidak hanya soal uang, tapi juga kinerja.

Apa signifikasi Pilkada serentak dalam penerapan SPM ke dalam dokumen perencanaan lima tahunan di daerah?

Pilkada serentak yang dilaksanakan 9 Desember yang berlangsung pada 269 daerah, dan 5 ditangguhkan karena kasus PTUN dan seterusnya. Lima daerah itu diberi waktu 21 hari untuk tetap melakukan pilkada di Desember tahun ini, atau setidaknya di awal Januari 2016.

Terkait itu, kami di PEIPD ke depan sudah memikirkan. Kepada provinsi dan kabupaten/kota yang jumlahnya 269 itu kami berharap mereka sudah menyusun RPJMD baru, pasca dilantik. RPJMD baru tidak hanya dilihat dari sisi SPM, tapi juga muatan dari dari sisi RPJMD-nya. Karenanya kami dengan Bappenas sedang melakukan apa yang disebut dengan penyelarasan antara program nasional dengan program daerah yang harus masuk dalam RPJMD.

SPM, sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2014, pasal 18 ayat (1, 2, 3), menjelaskan bahwa penyelenggara pemerintah di daerah, ke depan harus memprioritaskan urusan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar. Dalam hal ini ada 6 urusan, yaitu kesehatan, pendidikan, perumahan dan pemukiman, pekerjaan umum dan penataan ruang, ketentraman umum dan ketertiban, dan sosial.

Nanti kami tidak hanya menyelenggarakan sinkronisasi pusat dan daerah (RPJMN dan RPJMD), tapi juga bagaimana kami memasukan SPM masuk ke dalam dokumen RPJMD.

SPM yang sekarang – ini harus hati-hati – kata kuncinya berbeda dengan SPM yang berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004. Kalau dulu, semua pelayanan dasar yang wajib itu harus masuk ke dalam SPM, tapi sekarang tidak. Makanya di RPP yang sedang kami susun, nanti pelayanan dasar itu ada yang masuk SPM, ada pula yang masuk ke Norma Standar Prosedur Kriteria (NSPK). Tapi semua urusan yang banyaknya 32 itu semuanya masuk ke dalam dokumen perencanaan RPJMD.

Hanya saja, yang saya maksud tadi, saya ingin memberikan penekanan, di pasal 18 ayat (1) bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah harus memprioritaskan urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar.

Makanya saya menaruh harapan besar kepada Direktorat SUPD I sampai IV untuk terlibat secara intens dalam integrasi SPM ke dalam dokumen perencanaan. SPM pada saat integrasi ke dalam dokumen perencanaan, itu tidak hanya ‘milik’nya Direktorat PEIPD. Karena yang dikatakan 32 urusan itu ada di 20 Subdit-Subdit Ditjen Bina Bangda, dan SPM tersebar di masing-masing Direktorat SUPD. Di Direktorat SUPD 1 ada satu urusan, yaitu Penataan Ruang; Direktorat SUPD 2 ada dua urusan, yaitu Pekerjaan Umum, serta Perumahan dan Kawasan Permukiman; Direktorat SUPD 3 ada dua urusan, yaitu Kesehatan dan Sosial; dan Direktorat SUPD 4 ada satu urusan, yaitu pendidikan.

Jadi ke depan, ini tidak hanya milik Direktorat PEIPD saja. PEIPD mengurus bagaimana mengintegrasikan Direktorat SUPD yang menangani 32 urusan itu supaya urusannya masuk ke dalam dokumen RPJMD.

Apakah penyelenggaraan pilkada serantak menjadi momentum bagi penerapan SPM di daerah?

Kami berharap, daerah yang melakukan Pemilukada itu bisa menyusun dan

TAHUN V I | NOVEMBER 2O15

15

Jendela

menetapkan Perda tentang RPJMD baru secara serentak pula, paling lambat6 (enam) bulan setelah kepala daerah terpilih dilantik. Kami berusaha supaya SPM ini masuk ke dalam RPJMD. Kalau dulu, agak berbeda. Kalau SPM yang dulu tidak bicara soal program. Tapi kelihatannya lebih banyak kepada kegiatan, sehingga seringkali berorientasi proyek.

Tapi, sekarang pendekatannya berbeda. Kami, di RPP yang sedang disiapkan, sudah membicarakan mengenai program, supaya selaras. Di SPM lama, program itu tidak ada. Di RPP yang sekarang, itu sudah kami siapkan, pertama, program yang harus disampaikan di situ. Kedua, indikator. Indikator yang kemarin kan lebih kepada output (keluaran). Dan sekarang indikatornya lebih kepada outcome (dampak).

Banyak hal, kenapa SPM kemarin tidak masuk ke RPJMD, antara lain alasannya adalah dua hal itu. Makanya, dulu semua pelayanan dasar, waktu itu di-SPM-kan semua. Padahal seharusnya tidak. Karena SPM harus dilihat berdasarkan kebutuhan pendanaan, karakteristik daerah dan seterusnya.

Sebab kalau semua dimasukkan, pemerintah daerah dan pusat tidak akan mampu. Karena SPM itu kan ketentuan jenis mutu. Urusan pelayanan dasar yang harus diperoleh oleh setiap warga secara minimum. SPM yang sedang disiapkan ini standarnya harus sama dari Sabang sampai Merauke, kalau melewati atau melebihi standarnya dipersilakan.

Tadi disinggung soal RPP, secara spesifik, revisi PP sekarang arahnya ke mana?

Pertama, revisi PP yang sekarang itu berbeda dengan PP Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal yang dulu. Di PP Nomor 65 Tahun 2005 semua pelayanan masuk SPM. Di PP yang sedang dirancang

sekarang, tidak semua pelayaan dasar di-SPM-kan.

Kedua, di RPP ini juga sudah kami bicarakan mengenai program yang harus masuk ke RPJMD. Termasuk indikatornya adalah harus sampai pada level outcome, tidak hanya output. Makanya sebagian substansinya sudah disampaikan di RPP. Ini sudah clear sebetulnya.

Ada poin-poin yang berubah dari PP sebelumnya?

Ya, jelas berubah. Dari sisi judul saja berbeda. Dulu judul PP-nya Pedoman Standar Pelayanan Minimal. Sementara PP yang sedang dirancang sekarang, sesuai amanat pasal 18 ayat (3) UU Nomor 23 Tahun 2014, judulnya lebih kepada standar pelayanan minimal, dengan tidak memakai kata ‘pedoman’.

Makanya pengaturan di PP yang sedang dirancang ini tidak akan ada lagi Permendagri yang mengatur Juklak dan Juknis, melainkan Permen K/L. Ini akan kami siapkan. Mengenai Permen K/L, kami sudah menyiapkan koridor. Permen K/L akan mengatur dan menetapkan jenis layanan dan indikator harus apa saja dan seterusnya.

Dulu SPM dianggap sebagai sebuah proyek di daerah, sehingga tidak dianggap sebagai kewajiban oleh pemerintah daerah. Sekarang bagaimana?

Sekarang menjadi kewajiban. Mengenai ini Anda bisa lihat di pasal 18 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014.

Mengenai sanksi, ada tidak sanksinya?Di PP yang sedang dirancang memang

tidak ada sanksi. Sanksi itu kan adanya di UU.[ds] n

ED IS I NOVEMBER 2O15 | TAH UN V I

16

Jendela

PERSPEKTIF

Betapa tidak, Yogyakarta yang merupakan ibu kota provinsi Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta ini menyimpan sejuta pesona yang tidak hanya menjadi kebanggaan

warga Yogyakarta, namun juga menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia.

Kota yang menjadi kediaman bagi Sultan Hamengkubuwana dan Adipati Paku Alam ini merupakan salah satu kota terbesar ketiga di wilayah Pulau Jawa bagian selatan setelah Bandung dan Malang. Menurut literatur, nama Yogyakarta diambil dari dua kata, yaitu Ayogya

atau “Ayodhya” yang berarti “kedamaian” (atau tanpa perang, a “tidak”, yogya merujuk pada yodya atau yudha yang berarti “perang”), dan Karta yang berarti “baik”. Secara geografis, kota Yogyakarta terletak di lembah tiga sungai, yaitu Sungai Winongo, Sungai Code (sungai yang membelah kota dan kebudayaan menjadi dua), dan Sungai Gajahwong. Kota ini berada pada ketinggian sekitar 112 meter dari permukaan laut (mdpl).

Secara demografi, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Yogyakarta, jumlah penduduk Yogyakarta pada tahun 2012 sekitar 636.660

YOGYAKARTA, KOTA ISTIMEWA UNTUK BELAJAR!

Jika mendengar nama Yogyakarta, apa yang terlintas di benak Anda? Apakah gudeg, keraton, atau mungkin gunung Merapi? Ya, barangkali setiap kita akan berbeda-beda dalam mengekspersikan Yogyakarta. Namun dari sekian banyak hal yang terlintas mengenai Yogyakarta, kita tentu sepakat bahwa Yogyakarta istimewa.

Tugu, salah satu monumen terkenal di Yoyakarta

TAHUN V I | NOVEMBER 2O15

17

Jendela

PERSPEKTIF

jiwa. Selain dikenal sebagai kota budaya, Yogyakarta juga dikenal sebagai pelajar dan terdapat 137 perguruan tinggi. Hal ini dikarenakan hampir 20% penduduk produktif di kota yang memiliki slogan “Berhati Nyaman” (Bersih, Sehat, Asri, dan Aman) ini merupakan pelajar, mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Yogyakarta laiknya magnet yang mampu menarik para pelajar di berbagai daerah di Indonesia untuk menimba ilmu, baik secara akademik maupun non-akademik.

Selain banyaknya jumlah institusi pendidikan, kualitas pendidikan di Yogyakarta juga patut diacungi jempol. Banyak para pelajar Yogyakarta yang telah menorehkan prestasi, baik di tingkat nasional maupun tingkat internasional. Maka takheran bila reputasi Yogyakarta sebagai kota pelajar kian tersohor. Hal yang menarik dari Yogyakarta yang membuat para pelajar di Indonesia untuk antusias belajar di Yogyakarta lantaran biaya hidup di Yogyakarta relatif lebih murah dibandingkan kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta atau Bandung. Ada guyonan yang kerap kali disampaikan oleh para pelajar Yogyakarta, “Dengan uang 3000 kita masih bisa hidup di Jogja (sebutan lain dari Yogyakarta). Kita bisa makan di angkringan dengan menu nasi kucing dan juga gorengan. Murah dan enak.” Begitulah Yogyakarta, selalu ada hal yang istimewa yang membuat hati merasa bahagia.

Lantas seperti apa penyelanggaran pendidikan di Yogyakarta sehingga dijuluki kota pelajar? Visi pendidikan di Yogyakarta yaitu center of excellent, sebagai pusat unggulan dari beberapa disiplin ilmu sesuai dengan bidangnya masing-masing membuat kualitas pendidikan di Yogyakarta diperhitungkan di tingkat nasional. Menurut Septian Vienasastra, alumnus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta sering disebut “surga” bagi penelitian, pengembangan

wawasan intelektual, dan kajian ilmiah. Ia mengatakan banyak forum ilmiah seperti seminar, simposium, loka karya, teleconference, dan lain sebagainya yang mengundang pembicara nasional bahkan internasional diselenggarakan di kota ini.

Lebih lanjut, materi-materi pembelajaran begitu mudah didapatkan dan banyak tersedia di perpustakaan miliki pemerintah, swasta, atau pun lembaga sosial masyarakat. Fasilitas penunjang pendidikan juga mudah dijumpai di berbagai sudut kota Yogyakarta. “Hal yang unik di kota ini dan mungkin tidak ditemui di kota lain adalah kota Jogja sangat memanjakan kebutuhan anak muda seperti tempat-tempat makan yang bervariasi dan murah (harga mahasiswa), café internet, pusat kebugaran, persewaan film dan game, pusat rekreasi, radio dengan segmen anak muda, studio musik, rumah musik, klub olahraga, sanggar seni dan budaya, bengkel kreatif, tempat bimbingan belajar, kelompok studi, dan lain-lain,” tulis Septian pada laman blog-nya.

Senada dengan apa yang dituliskan Septian pada blog-nya, Debby Stevani, pada laman Kedaulatan Rakyat Online (29/06/2013), mengatakan bahwa nilai-nilai budaya di Yogyakarta yang masih terjaga dengan baik membuat kota ini berbeda dengan kota lain. “Meski sudah modern, namun budaya tetap lestari,” ujar Debby.

Pemerintah kota Yogyakarta berkomitmen untuk terus melestarikan warisan budaya di Yogyakarta seperti gedung-gedung bersejarah, museum, dan situs-situs budaya lainnya. Presiden pertama Indonesia yaitu Ir. Sukarno pernah berpesan kepada masyarakat Indonesia ketika pidato proklamasi terakhir pada tanggal 17 Agustus 1966. Ia berpesan dengan suara lantang, “Jas Merah”, Jangan Sekali-sekali Meninggalkan Sejarah. Ya, dari situs-situs budaya dan bersejarah di Yogyakarta yang masih terawat dengan baik,

ED IS I NOVEMBER 2O15 | TAH UN V I

18

Jendela

generasi masa kini dapat belajar tentang potret masa lampau yang terjadi di Indonesia; mulai dari kerajaan-kerajaan di nusantara hingga masa-masa merebut kemerdekaan Indonesia dari tangan para panjajah. Semua hal itu membuat kota Yogyakarta memang layak dijuluki sebagai kota pelajar.

Untuk anak-anak, kota Yogyakarta memiliki sebuah taman edukasi yang bernama Taman Pintar berlokasi di Jalan Panembahan Senopati No. 1-3, Yogyakarta. Taman yang berada di kawasan Benteng Vredeburg ini memiliki arena bermain sekaligus sarana edukasi yang terbagi dalam beberapa zona seperti zona playground, gedung PAUD Barat dan gedung PAUD Timur, gedung Oval-Kotak, gedung Memorabilia, dan planetarium. Taman ini juga dilengkapi teknologi interaktif digital serta pemetaan video yang akan memacu imajinasi serta ketertarikan anak-anak terhadap teknologi. Saat ini, ada 35 zona dan 3.500 alat peraga permainan yang edukatif dan baik untuk mengasah kemampuan motorik anak.

Semua sarana dan prasarana di Yogyakarta mendukung kota ini memang layak mendapatkan predikat sebagai kota pelajar. Menurut Zainal Abidin, seorang blogger yang juga mahasiswa Yogyakarta, mengatakan bahwa tidak hanya fasilitas yang mendukung kota Yogyakarta baik dalam penyelanggaraan pendidikan. Namun masyarakat Yogyakarta juga memiliki semangat dan antusias dalam menuntut ilmu.

“Masyarakat Jogja umumnya adalah masyarakat ilmiah. Interaksi yang intensif dengan dunia pendidikan dan masyarakat ilmiah membuat masyarakat Yogyakarta menjadi lebih cerdas. Kesadaran masyarakat Jogja akan pentingnya pendidikan sangat tinggi sehingga membentuk masyarakat yang berpikir ilmiah. Kualitas pendidikan sering menjadi tolak ukur dalam kehidupan bermasyarakat dan mengesampingkan aspek-aspek ekonomi. Dari masyarakat ilmiah yang

ada kemudian tercipta iklim yang cocok untuk keberlangsungan dunia pendidikan di kota Yogyakarta. Adanya masyarakat ilmiah memungkinkan adanya diskusi-diskusi, pertemuan-pertemuan, seminar-seminar, dan pelatihan-pelatihan yang lebih dalam untuk menopang dunia pendidikan,” tulis Zainal

pada laman Kompasiana.com. Semua unsur masyarakat, mulai dari

pemerintah, pelajar, dan juga organisasi kemasyarakatan berperan dalam memajukan pendidikan di Yogyakarta. Buah kerja sama dari berbagai pihak membuat Yogyakarta menjadi kota memiliki segudang prestasi dalam dunia pendidikan. Pada tahun 2014 kemarin, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mendapt Anugrah Kihajar 2014 dari Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan (Pustekkom) Kementerian

TAHUN V I | NOVEMBER 2O15

19

Jendela

Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Penghargaan Kihajar (Kita Harus Belajar) diberikan atas prestasi Yogyakarta dalam meningkatkan Pendayagunaan Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) di dunia pendidikan. (Sumber: Kedaulatan Rakyat Online, 20 November 2014).

Anies Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, mengatakan bahwa Anugrah Kihajar yang diiberikan sejak tahun 2005 diharapkan dapat menjadi tolak ukur perkembangan TIK untuk pendidikan di Indonesia serta wadah tahunan bagi para pemangku kepentingan untuk mempublikasikan karya. “Berbagi ide saling menginspirasi dan memeroleh informasi terkini,” ujar Anies seperti yang ditulis

Kedaulatan Rakyat Online. Kendati sudah diakui banyak pihak

sebagai salah satu kota yang baik dalam penyelenggaraan pendidikan, Yogyakarta tidak boleh berpuas diri. Faktanya, masih banyak hal yang harus dibenahi dalam sektor pendidikan di Yogyakarta seperti memperbaiki sistem pendidikan dengan mengacu pada delapan standar pendidikan nasional yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidikan dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.

Tentunya kita berharap agar predikat Yogyakarta sebagai kota pelajar tidak hanya sebatas label yang kadung melekat pada kota gudeg ini. Mengutip pesan teladan dari Bapak Pendidikan Nasional yang juga lahir di Yogyakarta yaitu Ki Hadjar Dewantara, “Memayu Hayuning Sariro. Memayu Hayuning Bangsa. Memayu Hayuning Bawana,” artinya “Apapun yang dikerjakan oleh seseorang, harusnya bisa bermanfaat bagi dirinya sendiri, bermanfaat untuk bangsanya, juga bermanfaat bagi manusia dunia pada umumnya.”

Semoga keteladanan Yogyakarta dalam menunaikan janji kemerderkaan “…mencerdaskan kehidupan bangsa” dapat menjalar ke seluruh wilayah di Indonesia sehingga kelak Indonesia menjadi negera yang bermartabat dan berbudi pekerti luhur. MAn

 

PERSPEKTIF

Taman Pintar Yogyakarta (TPY ) adalah salah satu wisata pendidikan atau wisata edukasi paling banyak di kunjungi di Yogyakarta

ED IS I NOVEMBER 2O15 | TAH UN V I

20

Jendela

Secara administrasi, Surabaya dipimpin oleh seorang wali kota dan wakil wali kota. Sejak tahun 2005, wali

kota Surabaya dan wakilnya dipilih langsung oleh warga Surabaya dalam ajang Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah). Sebelumnya, pemilihan wali kota dan wakil wali kota dipilih oleh anggota DPRD kota Surabaya. Salah satu wali kota Surabaya yang merupakan ‘produk’ Pilkada langsung yaitu Tri Rismaharini yang menjabat sejak tanggal 28 September 2010 hingga 28 September 2015.

Tri Rismaharini atau yang akrab disapa Risma tercatat sebagai wanita pertama yang menjadi wali kota Surabaya dan dipilih langsung melalui Pilkada. Banyak prestasi yang sudah disemai Risma. Pada bulan November 2015, Risma memeroleh penghargaan anti korupsi dari Bung Hatta Corruption Award atas prestasinya membangun Surabaya menjadi kota cantik dan teratata serta mengembangkan sistem e-procurement (lelang pengadaan barang elektronik) agar proses pelelangan menjadi transparan dan bebas korupsi.

Bila ada masyarakat yang ingin menyampaikan kritik

MENGULAS KEBERHASILAN SURABAYA DALAM MENERAPKAN E-GOVERNMENT

dan saran berkaitan dengan layanan pemerintah kota dan juga fasilitas umum, masyarakat Surabaya dapat secara langsung menyampaikan keluhan melalui berbagai media seperti telepon, sms, surat elektronik, fax, situs internet, dan juga media sosial. Hal ini menandai bahwa pemerintah kota Surabaya terbuka menerima masukan, kritikan, dan saran dari warga demi kemajuan Surabaya.

Selain itu, Risma juga berhasil membangun sistem e-government di Surabaya yang menyebabkan kontrol pengeluaran dinas-dinas menjadi lebih mudah, mencegah

PERSPEKTIF

TAHUN V I | NOVEMBER 2O15

21

Jendela

Surabaya merupakan kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia. Ibu kota provinsi Jawa Timur ini memiliki luas sekitar 333,063 km2 dengan jumlah penduduk sekitar 2.909.257 jiwa (2015). Kota yang mendapatkan julukan sebagai ‘Kota Pahlawan’ ini merupakan kota bersejarah di Indonesia lantaran perjuangan Arek-Arek Suroboyo (Pemuda-Pemuda Surabaya) dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari genggaman para penjajah. Hal ini ditandai dengan pertempuran 10 November 1945 yang menjadi simbol semangat perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonialisme.

praktik korupsi, dan menghemat anggaran 600-800 miliar rupiah tiap tahunnya. Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk mengoptimalkan pelayanan publik yang lebih cepat, mudah, dan murah digagas pemerintah melalui program e-Government.

Menurut literatur, “E-Government is the use of information and communication technologies (ICTs) to improve the activities of public sector

organizations.” (Sumber: www.egov4dev.org). Secara sederhana, e-Government berfungsi untuk meningkatkan proses pelayanan pemerintah (e-Administration), menghubungkan warga dengan pemerintah (e-Citizens dan e-Services), dan membangun interaksi eksternal (e-Society). Sistem ini sudah diadopsi oleh banyak kota di dunia, salah satunya Surabaya. Sistem e-Government dinilai lebih efesien dan efektif dibandingkan sistem yang konvensional.

Manfaat lain dari e-Government seperti yang dilansir situs Cimsa (www.cimsaig.com) di antaranya yaitu:

1. E-Government meningkatkan efisiensi. ICT membantu meningkatkan efisiensi tugas pemrosesan massal dan operasi administrasi publik. Aplikasi berbasis internet dapat melakukan penghematan pengumpulan dan transmisi data, serta penyediaan informasi dan komunikasi dengan pelanggan. Efisiensi yang signifikan di masa mendatang dilakukan melalui proses berbagi data antara pemerintah.

2. E-Government meningkatkan layanan. Mengadopsi fokus pelanggan adalah inti dari agenda reformasi saat ini. Layanan yang berhasil adalah yang dibangun atas pemahaman kebutuhan pelanggan. Fokus pelanggan menyiratkan bahwa pengguna tidak perlu memahami struktur dan hubungan pemerintah untuk berinteraksi dengan pemerintah. Internet dapat membantu mencapai tujuan ini dengan memunculkan pemerintah sebagai organisasi terpadu yang memberikan layanan online dengan lancar. Sama dengan semua layanan, layanan e-government juga harus dikembangkan berdasarkan permintaan dan nilai pengguna.

3. E-Government membantu mencapai hasil kebijakan tertentu. ICT dapat membantu pemangku kepentingan berbagi informasi dan ide, untuk kemudian berkontribusi dalam menentukan hasil kebijakan. Misalnya,

ED IS I NOVEMBER 2O15 | TAH UN V I

22

Jendela

informasi dapat mendorong penggunaan program pelatihan dan pendidikan serta proses berbagi informasi antara pemerintah pusatdan daerah untuk memfasilitasi kebijakan lingkungan. Meskipun demikian, proses berbagi informasi pada individu, akan memunculkan isu perlindungan privasi, serta kompromi harus dipertimbangkan secara cermat.

4. E-Government berkontribusi terhadap tujuan kebijakan ekonomi. E-Government membantu mengurangi korupsi,

meningkatkan keterbukaan dan kepercayaan terhadap pemerintah, serta berkontribusi terhadap tujuan kebijakan ekonomi. Dampak spesifik mencakup penurunan pengeluaran pemerintah melalui program yang lebih efektif, efisiensi serta peningkatan produktivitas bisnis melalui penyederhanaan administrasi yang dimungkinkan oleh ICT dan peningkatan informasi pemerintah.

5. E-Government adalah kontributor reformasi utama. Mayoritas negara sedang menghadapi isu modernisasi dan reformasi manajemen publik. Perkembangan saat ini berarti bahwa proses reformasi harus berkelanjutan. ICT telah mendukung reformasi di banyak wilayah, misalnya dengan meningkatkan transparansi, memfasilitasi proses berbagi informasi dan menyoroti inkonsistensi internal.

6. E-Government membantu membangun kepercayaan antara pemerintah dan warganya. Membangun kepercayaan antara pemerintah dan warganya sangat fundamental bagi pemerintahan yang baik. ICT dapat membantu membangun kepercayaan dengan memungkinkan keterlibatan warga dalam proses kebijakan, mempromosikan pemerintah yang terbuka dan bertanggung jawab serta membantu mencegah korupsi. Selain itu, jika batasan dan tantangan diatasi dengan baik, e-government

dapat membantu memperdengarkan suara rakyat agar diperdebatkan dengan lebih luas. Proses ini dilakukan dengan memanfaatkan ICT untuk mendorong warga agar dapat memberikan saran yang membangun mengenai isu publik dan menilai dampak penerapan teknologi untuk membuka proses kebijakan.

7. E-Government meningkatkan transparansi dan tanggung jawab. ICT membantu meningkatkan transparansi dalam proses pengambilan keputusan dengan memudahkan informasi untuk dapat diakses – mempublikasikan debat dan rapat, anggaran dan pengeluaran, hasil dan alasan pemerintah untuk mengambil suatu keputusan penting, dan lain-lain.

Keberhasilan Risma dalam menerapkan e-Government di Surabaya diapresiasi

TAHUN V I | NOVEMBER 2O15

23

Jendela

oleh banyak pihak. Mantan Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Wamen PAN-RB), Eko Prasojo, pernah mengapresiasi penerapan dan pengembangan e-Government yang dilakukan oleh pemerintah kota Surabaya. Ia juga mengatakan bahwa e-Government kota Surabaya akan dijadikan pembanding sistem pemerintahan elektronik nasional. (Sumber: www.menpan.go.id).

Lebih lanjut, Eko Prasojo mengatakan sistem pemerintahan elektronik merupakan delapan puluh persen faktor dalam pelaksanaan reformasi birokrasi dan sangat bermanfaat sebagai leverage (pengungkit) dalam mendukung keberhasilan pemberantasan korupsi.

Kota Surabaya merintis penerapan e-Government sejak tahun 2002. Tri Rismaharini mengatakan tahun 2003 lahir Kepperes No. 80 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang mencantumkan sistem lelang elektronik. E-Government Pemkot Surabaya dikelompokkan menjadi dua, yakni dalam hal pengelolaan keuangan daerah dan e-Government untuk pelayanan masyarakat. Untuk pengelola keuangan daerah meliputi e-budgeting, e-project, e-procurement, e-delivery, e-controlling, dan e-performance. Sedangkan yang berhubungan dengan masyarakat, disebut dengan e-sapawarga, yang meliputi e-perijinan, e-musrenbang, dan pengaduan secara elektronik. “dengan penerapan e-govt kami bisa menghemat hngga 30 persen,” ujar Risma. (Sumber: www.menpan.go.id).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Melkior N. N. Sitokdana (2015), pembahasan dan analisis implementasi eGovernment pada Situs Web Pemerintah Kota Surabaya jauh lebih baik dibanding Kota-kota lainnya. Hasil ini sama dengan evaluasi PeGi (Pemeringkatan e-Government Indonesia) dari tahun 2012-2014 bahwa dalam pemeringkatan Situs Web

PERSPEKTIF

eGovernment selama ini hanya didominasi oleh pemerintahan di Pulau Jawa. Untuk itu, saran pengembangan kedepan adalah perlu dilakukan penyempurnaan konten situs Web, namun sebelumnya aspek E-Leadership, Infrastruktur Jaringan Informasi, Pengelolaan Informasi, Lingkungan Bisnis, Masyarakat dan Sumber Daya Manusia dapat dirumuskan dengan baik dalam bentuk Rencana Strategis agar pengembangan dan implementasinya dilakukan secara menyeluruh dan tepat sasaran.

Kini, kota Surabaya terus berbenah diri mulai dari sektor lingkungan, pendidikan, birokrasi, dan sebagainya. Namun dari sekian banyak sektor yang sudah mulai terlihat mengalami kemajuan, sektor birokrasi di Surabaya memang patut untuk diapresiasi. Betapa tidak, sektor ini dinilai banyak orang susah untuk diubah lantaran begitu banyak persoalan yang harus dibenahi hingga ke akar-akarnya. Pun demikian, bukan berarti hal yang mustahil untuk membenahi sektor birokrasi di kota yang terdiri dari 31 kecamatan dan 163 kelurahan ini. Faktanya sejak dipimpin oleh Tri Rismaharini yang juga merupakan seorang lulusan Arsitektur, kota yang memiliki simbol hiu dan buaya ini terus menunjukkan progres yang menggembirakan. Semoga keberhasilan Surabaya dalam menerapkan e-Government dapat menginspirasi kota-kota lain di Indonesia. (Dari berbagai sumber)n

ED IS I NOVEMBER 2O15 | TAH UN V I

24

Jendela

INDONESIA SEBAGAI TUJUAN HALAL TOURISM

Pada abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20, bumi nusantara menjadi magnet yang kuat sehingga menarik banyak negara khususnya bangsa

Eropa untuk datang. Hal ini lantaran Indonesia memiliki kekayaan alam berupa rempah-rempah yang tidak dimiliki oleh negara-negara di Eropa seperti Belanda, Inggris, dan Portugis. Bangsa Eropa sangat membutuhkan rempah-rempah, terutama pada saat musim dingin. Sebab rempah-rempah dapat diolah menjadi produk makanan dan minuman yang menghangatkan badan. Kekayaan alam tersebutlah yang kemudian menjadikan Indonesia sebagai negara yang diperebutkan oleh banyak negara hingga pada akhirnya Indonesia memasuki era kolonoliasme di bawah pendudukan Belanda yang berlangsung selama 3,5 abad lamanya.

Tidak hanya dulu, hingga sekarang pun Indonesia masih dikenal sebagai negara yang subur dan memiliki hasil alam yang melimpah ruah. Namun sayangnya potensi hebat yang dimiliki Indonesia tidak lantas membuat Indonesia negara yang sejahtera dan makmur. Oleh sebab itu, rasanya kita perlu menggali kembali potensi Indonesia yang kiranya dapat menjadi aset yang dapat dibanggakan dan menjadi perhatian dunia. Apalagi pada penghujung tahun 2015 ini, Pasar Ekonomi Asean resmi dibuka. Hal ini tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia untuk membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara di kawasan Asean dan juga di tingkat global. Salah satu aset penting yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yaitu Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia itu sendiri. Potensi sumber daya manusia Indonesia tersebut bisa dijadikan landasan atau faktor

dalam mengembangkan berbagai sektor di Indonesia. Salah satunya adalah sektor wisata.

Pada 30 hingga 2 November 2013 lalu, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dalam kegiatan Indonesia Halal Expo (Indhex) 2013 & Global Halal Forum meluncurkan produk baru dalam industri pariwisata yaitu halal tourism. Ide ini diusung mengingat Indonesia merupakan negara dengan jumlah pemeluk agama Islam terbesar di dunia. Hal tersebut diketahui berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pew Research Center, yaitu lembaga riset yang berkedudukan Washington DC, Amerika Serikat, yang bergerak pada penelitian demografi, analisis isi media, dan penelitian ilmu sosial. Pada tanggal 18 Desember 2012, Pew Research Center mempublikasikan risetnya yang berjudul “The Global Religious Landscape” mengenai penyebaran agama di seluruh dunia dengan cakupan lebih dari 230 negara.

Artinya dengan potensi yang dimiliki Indonesia, semestinya Indonesia bisa menjadi negara yang sukses dalam mengembangkan halal tourism. Indonesia memiliki reputasi yang positif sebagai negara demokrasi dan negara yang toleran dalam beragama. Namun sayangnya, konsep mengenai halal tourism di Indonesia tertinggal jauh dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia. Padahal Indonesia memiliki potensi wisata yang sudah diakui dunia. Berbagai ulasan di internet bahkan menyebutkan Indonesia sebagai salah satu negara yang wajib dikunjungi. Kecantikan,

OPINI

TAHUN V I | NOVEMBER 2O15

25

Jendela

keelokkan, dan keunikan Indonesia memang tidak usah diragukan lagi.

Untuk sektor wisata, Sapta Nirwandar yang saat ini sebagai Perwakilan Dewan Pakar Masyarakat Ekonomi Syariah, dalam (Marketeers edisi April 2015, hal 61) mengatakan potensi pariwisata halal begitu besar. Berdasarkan data dari UNWTO Tourism Highlights tahun 2014, terdapat sekitar 1 miliar wisatawan dunia dan diperkirakan akan naik menjadi 1,8 miliar pada tahun 2030 mendatang. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya adalah Muslim, Indonesia seharusnya mampu memaksimalkan potensi

itu. Oleh karena itu, Indonesia sudah mulai mempromosikan diri sebagai negara

tujuan pariwisata yang muslim-friendly.

Akan tetapi, Indonesia kurang memperluas segmentasi pasar untuk indsutri pariwisata, khususnya pasar untuk Muslim traveler. Kondisi demikian membuat Indonesia kurang mendapat tempat di hati

para Muslim traveler. Sejatinya sebagai negara dengan

mayoritas penduduk beragama Islam, tentu mudah bagi Indonesia

untuk mengembangkan konsep halal tourism. Namun nyatanya tidak semudah

yang dibayangkan. Para pemain di industri pariwisata belum yakin pada potensi pasar wisata halal dengan dalih takut dianggap terlalu kaku dan tertutup. Pelabelan wisata halal di Indonesia belum lazim ditemukan.

Menanggapi hal tersebut, Mantan Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI, Sapta Nirwandar, menilai bahwa dengan menonjolkan suku, agama, ras, dan golongan tertentu bukanlah hal yang populer. Ia berpendapat bahwa untuk meraih tujuan yang terkait dengan peningkatan kesejahteraan bersama, pelabelan yang

identik dengan agama atau suku, misalnya, itu boleh-boleh saja seperti halnya memberikan label wisata hala yang tujuannya mengembangkan kepariwisataan tanah air. (Marketeers edisi Juni 2015, hal 149).

Halal tourism sebetulnya bukanlah produk baru dalam industri pariwisata. Di beberapa negara—bahkan di negara-negara minoritas Muslim—halal tourism sudah dipasarkan secara gencar. Selain itu, halal tourism dinilai sebagai differentiation product dalam industri wisata. Pasar halal tourism cukup prospektif dan akan terus berkembang.

Situs The Halal Choice melansir data mengenai “8 Destinasi Wisata untuk Turis Muslim.” Dari delapan negara yang disebut, Indonesia sama sekali tidak masuk sebagai negara yang menjadi destinasi oleh Muslim traveler. Padahal potensi untuk segmentasi tersebut sangat besar. Jumlah umat Muslim di dunia yang mencapai 1,6 milir jiwa, sekitar 25% dari populasi dunia, tentunya hal tersebut menguntungkan bagi Indonesia. Tidak hanya itu, Global Islamic Economy report pada tahun 2013 menyatakan bahwa setidaknya ada US$ 140 miliar potensi yang bisa masuk dari Muslim traveler. Sayangnya Indonesia kurang memanfaatkan peluang tersebut.

Pekerjaan rumah bagi pemerintah Indonesia yaitu harus berani mempopulerkan halal destination. Sapta (dalam Marketeers edisi Juni 2015, hal 150) memaparkan bahwa hal utama yang harus dilakukan adalah mengubah mindset masyarakat Indonesia. Kemudian memberikan edukasi, informasi, baru masuk ke tataran policy. “Kalau pemahaman ini merata, kita bisa melaksanakan hal itu lebih mudah. Kalau kita mau kembali ke esensi orang, kita harus menghargai praktik yang dilakukan tiap individu. Kita memfasilitasi kebutuhan individu. Kita membuka opsi lebih banyak bagi orang-orang yang punya preferensi khusus,” terang Sapta. MA n

ED IS I NOVEMBER 2O15 | TAH UN V I

26

Jendela

CATATAN

Ki Hadjar Dewantara merupakan pahlawan nasional yang telah mendedikasikan hidupnya untuk dunia pendidikan di tanah air.

Pada masa kolonialisme Belanda, ia berani menentang kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang hanya memperbolehkan anak-anak kelahiran Belanda atau orang kaya yang bisa mengeyam bangku pendidikan. Kritikan Ki Hadjar Dewantara kepada pemerintahan kolonial menyebabkan ia diasingkan ke Negeri Kincir Angin.

Pada bulan September 1919, ia kembali dipulangkan ke Indonesia dan kemudian mendirikan sebuah lembaga pendidikan bernama Taman Siswa (Nationaal Onderwijs Instituut) pada Juli 1922. Taman Siwa memberikan kesempatan bagi para pribumi untuk bisa memeroleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.

Ki Hadjar Dewantara terkenal dengan semboyan pendidikan dalam bahasa Jawa, “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.” Dalam bahasa Indonesia, semboyan tersebut diterjemahkan, “Di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan.” Selain menjadi tokoh pendidikan, Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia yang pertama. Ia meninggal dunia di Yogyakarta pada tanggal 26 April 1959.

Ki Hadjar Dewantara boleh saja sudah tidak bersama kita lagi. Namun, semangat

dan pengorbanannya untuk kemajuan pendidikan di Indonesia tidak boleh padam. Sebab, pendidikan adalah gerbang yang akan menghantarkan Indonesia menjadi bangsa yang besar, bangsa yang berwibawa, dan bangsa yang memberikan kebermanfaatan yang luas untuk dunia. Hal tersebut juga semakin dikuatkan dengan janji kemerdekaan yang diucapkan langsung oleh Bapak Bangsa, Presiden Sukarno, yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945, “……mencerdaskan kehidupan bangsa.”

Namun, apakah cita-cita yang dikobarkan sejak 70 tahun yang lalu sudah kita dapatkan? Masalah pendidikan seakan menjadi pekerjaan rumah yang amat berat bagi bangsa ini. Betapa tidak, sejak kemerdekaan hingga saat ini masih banyak persoalan-persoalan pendidikan yang belum mampu untuk ditangani dengan baik.

Mari sejenak kita merenungkan data yang disampaikan oleh Sosiolog Pendidikan dan Kemasyarakat Universitas Indonesia, Hanief Saha Ghafur, yang menyebutkan angka buta huruf di Indonesia masih relatif cukup tinggi. Jumlah penduduk buta aksara di Indonesia usia di atas 15 tahun sebanyak 6,7 juta atau sekitar 4,2 persen dari jumlah penduduk di Indonesia. Selain itu, berdasarkan laporan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2010, tercatat 1,3 juta anak usia 7-15 tahun di Indonesia terancam putus

Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional atau yang biasa disingkat Hardiknas. Tanggal 2 Mei dipilih sebagai Hardiknas sebab pada tanggal tersebut merupakan tanggal lahirnya salah satu tokoh pendidikan di Indonesia, yaitu Ki Hadjar Dewantara, tepatnya pada tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta.

TAHUN V I | NOVEMBER 2O15

27

Jendela

sekolah. Tingginya angka putus sekolah disebabkan salah salah satunya karena mahalnya biaya pendidikan.

Sementara itu, UNICEF melansir data bahwa sebanyak 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan yakni sebanyak 600 ribu anak usia sekolah dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Baswedan, seperti yang dilansir pada laman Okezone, mengatakan pihaknya menginginkan dukungan terhadap para pelajar yang berpotensi putus sekolah lebih diintensifkan. Lebih lanjut, Anies menilai bahwa konsekuensi dari putus sekolah berimplikasi dalam aspek kesejahteraan dan permasalahan sosial lainnya.

Selain masalah buta aksara, masalah lain dari dunia pendidikan di Indonesia adalah Sistem Pendidikan Nasional (Sidkinas) yang dianggap belum berhasil menemukan formula tepat. Bahkan, media Aljazeera seperti yang dilansir Okezone menyebutkan sistem pendidikan di Indonesia sama dengan sistem pendidikan di zaman batu yang masih mengedepankan budaya menghafal, bukan berpikir kreatif.

Kualitas pendidikan di Indonesia semakin dipertanyakan. Kondisi demikian membuat Indonesia semakin tertinggal

jauh dibandingkan negara-negara seperti Jepang dan Finlandia. Berbagai persoalan pendidikan yang mendera Indonesia di antaranya yaitu rendahnya kualitas sarana fisik, rendahnya kualitas guru, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya prestasi siswa, kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, dan mahalnya biaya pendidikan. Lantas jika begitu, siapa yang harus disalahkan? Kita tidak bisa menyalahkan pemerintah semata. Kendati hal tersebut memang tugas utama pemerintah. Namun sebagai civil society, kita juga dapat berperan aktif guna memajukan pendidikan di bumi pertiwi.

Selain masalah sistem pendidikan yang masih belum ideal dan tingginya angka putus sekolah, permasalah lain datang dari kondisi infrastruktur pendidikan di Indonesia. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), pada 2015, jumlah ruang kelas yang rusak 149.552. jumlah ini terdiri dari 117.087 ruang kelas di SD dan 49.074 ruang di antaranya rusak berat. Di jenjang sekolah menengah pertama (SMP) ada 32.465 ruang kelas yang rusak dan 13.107 ruang dia antaranya rusak berat.

Pendidikan berkualitas sebetulnya juga harus didukung dengan infrastruktur pendidikan yang memadai. Namun sayangnya saat ini masih banyak kita jumpai sekolah-sekolah di berbagai penjuru negeri yang jauh dari standar kelayakan. Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat sudah seyogyanya memastikan setiap anak di Indonesia mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Terakhir, saya mengutip ungkapan sederhana dari Anies Baswedan, “Daripada kita lipat tangan, lebih baik kita turun tangan untuk melunasi janji kemerdekaan.” MA n

Proses Belajar Mengajar di Salah Satu SD di Jakarta.Foto Mahfud Achyar

ED IS I NOVEMBER 2O15 | TAH UN V I

28

Jendela

CATATAN

Beberapa tempo lalu, sebuah propaganda ramai diperbincangkan di jagat maya. Sebuah propaganda yang seolah menyindir pemerintah dan juga pengelola rumah sakit karena

dinilai mendiskreditkan masyarakat kurang mampu dalam hal pelayanan kesehatan. Ya, propaganda itu bertuliskan, “Orang Miskin Dilarang Sakit.” Mengapa propaganda tersebut bisa menjadi viral di media sosial?

Barangkali masih lekat di benak kita kasus tentang bayi Dera yang harus meregang nyawa lantaran tidak mendapatkan pelayanan medis. Seperti yang dimuat pada laman Merdeka.com pada 25 Januari 2014, bayi Dera yang lahir prematur seharusnya ditempatkan di inkubator. Namun karena rumah sakit tempat bayi Dera dilahirkan tidak memiliki alat yang memadai, akhirnya pihak rumah sakit menyarankan agar penanganan medis bayi

Orang Miskin Dilarang Sakit

Dera dirujuk ke rumah sakit lain. Sang bapak, Eliyas Setyonugroho,

kemudian membawa bayi Dera ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Namun sayangnya, saat itu ia tidak mempunya Kartu Jakarta Sehat (KJS). Ia hanya membawa Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK). Pihak rumah sakit pun meminta Eliyas untuk kembali lagi keesokan harinya. Namun karena sudah larut malam, ia pun memutuskan tetap menunggu di rumah sakit dan memilih tidur di parkiran rumah sakit. Eliyas juga sempat bolak-balik ke berbagai rumah, namun usahanya tidak membuahkan hasil. Lagi-lagi rumah sakit tersebut juga menolak.

Mungkin kasus bayi Dera hanyalah sekelumit permasalahan layanan kesehatan di Indonesia. Di luar jangkuan media, barangkali ada bayi-bayi yang juga bernasib sama seperti apa yang dialami oleh bayi Dera. Mengetahui

Sosialisasi BPJS Kesehatan (Sumber www.dotsayangi.com)

TAHUN V I | NOVEMBER 2O15

29

Jendela

hal tersebut, tentu kita merasa miris, sebab pelayanan kesehatan adalah satu hak dasar oleh setiap warga negara tanpa memandang status ekonomi. Namun kita juga harus bijak bahwa ada juga potret tentang layanan kesehatan di Indonesia yang patut diacungi jempol.

Berdiskusi tentang kebutuhan masyarakat dalam pelayanan dasar khususnya pelayanan kesehatan, barangkali kita bisa belajar dari beberapa negara yang telah sukses dalam bidang tersebut. Salah satunya yaitu Swiss. Tahun ini, Swiss menurut majalah Forbes, dinilai berhasil dalam sistem pelayanan kesehatan. Kriteria ini diukur berdasarkan pada angka kematian, tingkat harapan hidup, dan kemudahan aksesibilitas tempat kesehatan yang disediakan.

Majalah Forbes melansir bahwa 99,5% warga Swiss memiliki asurasi kesehatan. Bagi mereka yang tidak mendapatkan akses asuransi kesehatan, pemerintah mensubsidi mereka. Kondisi demikian mencegah semua individu menghabiskan lebih dari 10% pendapatan mereka pada bidang kesehatan. Sebuah studi di Harvard memaparkan bahwa pemerintah Swiss menghabiskan 11,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk kesehatan. (Sindonews.com, 5 Agustus 2015).

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Sebetulnya pemerintah Indonesia sudah memiliki program yang menjamin setiap warga mendapatkan hak dasar dalam pelayanan kesehatan yaitu program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Program ini merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifar wajib (mandatory) berdasarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau

iurannya dibayar oleh pemerintah. (http://www.jkn.kemkes.go.id/)

Jika dulu kita mengenal Asuransi Kesehatan (Askes), maka kini hadir asuransi yang memberikan manfaat yang jauh lebih besar, yaitu asuransi BPJS (Badang Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan yang mulai beroperasi sejak 1 Januari 2014. Peserta BPJS Kesehatan terdiri dari dua kelompok, pertama, Penerima Bantuan Iuran (PBI) bagi fakir miskin dan orang tidak mampu. Kedua, bukan PBI yang terdiri dari pekerja penerima upah dan anggota keluarganya, pekerja bukan penerima upah dan anggota keluarganya, serta bukan pekerja dan anggota keluarganya. Manfaat yang akan diterima oleh peserta BPJS Kesehatan meliputi pelayanan kesehatan tingkat pertama (non spesialistik) dan pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan.

Menurut Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris, per 6 November 2015, tercatat jumlah peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) BPJS Kesehatan mencapai 37 juta jiwa yang terdiri atas PPU Penyelenggara Negara (PNS/TNI/Polri) sebanyak 15,2 juta dan PPU Non Penyelenggara Negara (BUMN, BUMD serta badan usaha swasta) dengan total jumlah sebanyak 21,7 juta. Ada pun total seluruh peserta BPJS Kesehatan sendiri per 6 November 2015 mencapai 154 jutaan. (Beritasatu.com, 12 November 2015).

Kendati sistem pengelolaan BPJS Kesehatan belum sempurna, program ini nyatanya memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat dalam hal layanan kesehatan. Semoga dengan program BPJS Kesehatan, kita tidak lagi mendengar sentilan “Orang Miskin Dilarang Sakit”. Semoga saja! MA n

 

ED IS I NOVEMBER 2O15 | TAH UN V I

30

Jendela

NASIONALJakarta

TINGKATKAN KESEJAHTERAAN: NAIKKAN DUA HAL DAN TAHAN DUA HAL

Kedua hal ini akan mempercepat tercapainya kesejahteraan,” katanya dalam Rapat Koordinasi Pusat dan Daerah dalam rangka Menjaga Keterjangkauan Harga

Barang dan Jasa, pada 3-5 November 2015, di Surabaya.

Menurutnya, dua hal lainnya adalah menahan atau menurunkan dengan mengendalikan inflasi dan mengendalikan pertumbuhan jumlah penduduk.

“Dua hal lainnya harus dikendalikan, yang pertama inflasi. Kalau pertumbuhan (ekonomi) 10%, misalnya, sebesar dua digit. Tapi inflasinya 15%, kan minus. Sementara, kalau pertumbuhannya agak melambat, di bawah 5%, tapi inflasinya bisa ditekan, hanya 1%, maka masih ‘untung’ 4%,” terangnya.

“Lalu, hal yang perlu dikendalikan kedua adalah jumlah pertumbuhan penduduk. Kalau pertumbuhannya, misalnya 50%, tapi kenaikan jumlah penduduk 3 kali lipat, maka masyarakat tidak akan sejahtera. Karena kuenya bertambah separuh, yang makan tiga kali lipatnya,” tandasnya di hadapan Ketua Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Provinsi dan Kabupaten/Kota di wilayah Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), sebanyak 120 orang itu.

Ia menegaskan, bahwa secara teknis hal itu lebih jelas akan dijawab oleh pihak

Dirjen Bina Pembangunan Daerah, Dr. H. Muh. Marwan, M.Si mengatakan, dalam perspektif Kemendagri, kalau ingin meningkatkan menyejahterakan masyarakat, kuncinya adalah menaikkan dua hal dan menahan dua hal. “Naikkan dua hal dan tahan dua hal. Naikkan pertumbuhan (ekonomi) dan naikkan (tingkatkan) pemerataan.

Kemenko Perekonomian, BI, dan lembaga yang terlibat lainnya. Karena pada sesi berikutnya dari kegiatan itu, Dr. R. Edi Prio Pambudi, Asisten Deputi Moneter dan Neraca Pembayaran Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, juga Noor Yudanto, Kepala Divisi Asesment Ekonomi Regional Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter Bank Indonesia akan memaparkan secara menukik mengenai TPID.

Lebih jauh, Dr. H. Muh. Marwan, M.Si menyampaikan, dengan kegiatan itu, pemerintah pusat dan daerah melaksanakan kegitan yang menjadi salah satu prioritas, yaitu menjaga keterjangkauan harga barang dan jasa.

TAHUN V I | NOVEMBER 2O15

31

Jendela

NASIONALJakarta

“Telah saya katakan bahwa ini menjadi salah satu prioritas yang diambil oleh pemerintah saat ini,” katanya.

Ia mengatakan bahwa Rakornas Pengendalian Inflasi yang dilaksanakan di awal tahun 2015, sejak pembukaan sampai penutupan, dipimpin langsung oleh presiden. Hal itu menjadi tanda bahwa persoalan inflasi dan upaya pengendaliannya sangatlah penting sehingga pucuk pimpinan negara terlibat langsung.

“Seingat saya, selama sekira 35 tahun itu baru (Rakornas TPID) kemarin yang dibuka langsung, diskusi dipimpin langsung, ada pertanyaan dijawab sendiri (oleh presiden),” ungkapnya.

“Maknanya adalah bahwa Tim (Pengendalian Inflasi Daerah) ini sangat penting,” tambahnya.

Kenapa hal itu sangat penting? Dr. H. Muh. Marwan, M.Si mengatakan bahwa Kemendagri tidak banyak memahami tentang sisik melik inflasi, yang lebih tahu adalah dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Bank Indonesia. Namun,

menurutnya inflasi berpengaruh langsung terhadap kesejahteraan. Karena inflasi bisa menghambat kesejahteraan masyarakat.

Dalam menjaga keterjangkauan harga barang dan jasa dan mengendalikan inflasi di daerah, Kemendagri melakukan langkah-langkah strategis. Hal itu dikemukakan Drs. Eduard Sigalingging, M.Si, Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah (SUPD) 3 dalam pemaparannya.

Ia menyampaikan, Kemendagri memiliki peran strategis dalam menjaga keterjangkauan harga barang dan jasa. Kemendagri terus melakukan monitoring dan mendorong pelaksanaan Instruksi Mendagri Nomor 027/1696/SJ tanggal 2 April 2013 tentang Menjaga Keterjangkauan Barang dan Jasa di Daerah.

Secara khusus, Kemendagri mendorong komitmen pemda untuk meningkatkan daya saing dan mengembangkan produk unggulan daerah. Hal itu supaya menjadi prioritas program pembangunan daerah yang ditetapkan dalam dokumen perencanaan daerah dengan penerbitan Permendagri Nomor 9 tahun 2014 tentang Pedoman Pengembangan Produk Unggulan Daerah (PUD).

Kemendagri juga memfasilitasi peningkatan kapasitas aparatur pemerintah daerah dalam menciptakan stabilitas harga dan percepatan peningkatan perekonomian daerah. Selain itu, Kemendagri memfasilitasi pembentukan dan konsultasi Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) dalam menjaga keterjangkauan barang dan jasa di daerah.

“Hingga saat ini, telah terbentuk 432 TPID. Rinciannya, 34 TPID Provinsi, 312 TPID Kabupaten, dan 86 TPID Kota,” pungkasnya.[ds] n

ED IS I NOVEMBER 2O15 | TAH UN V I

32

Jendela

NASIONALBali

Hal itu dinyatakan Drs. Eduard Sigalingging, M.Si dalam Rapat Koordinasi Teknis Pusat dan Daerah dalam rangka Fasilitasi Penyusunan SPM Urusan

Pemerintahan Bidang Sosial pada 28-30 Oktober 2015 di Nusa Dua, Bali.

Menurut Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah (SUPD) III itu, Ditjen Bina Bangda memiliki tiga fungsi, yaitu memfasilitasi SPM, melakukan pemetaan urusan, dan menyusun Norma Standar Prosedur Kriteria (NSPK) urusan wajib non

Ditjen Bina Pembangunan Daerah (Bangda) mengkoordinasikan penyusunan Standar Pelayanan Minimum (SPM). Salah satu urusan wajib yang menjadi tanggung jawab koordinasi adalah bidang sosial.

dasar. “Yang mengerjakan ini semua adalah

K/L teknis, sementara (Ditjen Bina Bangda) Kemendagri hanya mengkoordinasikan saja,” terangnya dalam kegiatan yang dihadiri sekira 100 orang itu.

Dalam kegiatan yang dilaksanakan 3 hari itu Ditjen Bina Bangda mengkoordinasikan K/L teknis terkait, dari pusat dan daerah untuk menyusun SPM bidang sosial. Dalam kegiatan tersebut, hadir wakil dari Kementerian Sosial, juga wakil dari beberapa daerah, yaitu Provinsi Riau, Lampung, Bangka Belitung, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Papua Barat.

Sementara dari kabupaten, yaitu Kabupaten Asahan, Lampung Selatan, Bandung, Semarang, Bantul, Malang, Bangli, Buleleng, Gianyar, Jembrana, Bima, Kupang,

TAHUN V I | NOVEMBER 2O15

33

Jendela

NASIONALJakarta

BANGDA KOORDINASIKAN PENYUSUNAN SPMPontianak, dan Manokwari. Dari daerah kota, yaitu Kota Pangkal Pinang, Pekan Baru, Surabaya, Denpasar, Makassar, dan Ambon.

“Makanya fungsi Kemendagri agak unik. Kemendagri ikut terlibat dalam 32 urusan (dalam UU tersebut),” terangnya. Sebagainya 32 urusan itu dirinci menjadi, 6 urusan wajib dasar, 18 urusan wajib non dasar, dan 8 urusan pilihan.

“(Namun begitu), Kemendagri tidak ikut campur bagaimana cara Kemenkes menyuntik orang. Kemendagri juga tidak terlibat bagaimana caranya Kementerian Pertanian mengajari masyarakat menanam pohon,” tambahnya. Kemendagri hanya mengkoordinasikan semuanya. Hal itu untuk memastikan urusan wajib dilaksanakan di daerah.

Kemendagri mempunyai peran terhadap 32 urusan yang diamanatkan UU Nomor 23 Tahun 2014. Berdasarkan amanat UU Nomor 23 Tahun 2014, Kemendagri memfasilitasi K/L teknis agar bisa merealisasikan pelayanannya di daerah. Dengan demikian, masyarakat bisa mengakses pelayanan yang diberikan oleh pemerintah secara mudah dan massif.

Karena sebelumnya, K/L teknis agak kesulitan dalam merealisasikan kegiatannya di daerah. Misalnya, Kementerian Pertanian tidak bisa ikut campur mengelola pertanian di suatu daerah, karena tidak punya tanggung jawab apa-apa di sana.

“Tapi di UU Nomor 23 Tahun 2014 hal itu dipertegas,” jelasnya.

Menurut Drs. Eduard Sigalingging, M.Si, esensi SPM adalah supaya ada jaminan yang minimum.

“Makanya, (ke depan) Dana Alokasi Khusus (DAK) kita akan lebih menjawab kebutuhan

SPM terlebih dahulu,” katanya. “Dari SPM itulah kita bisa mengatakan

bagaimana tingkat kualitas hidup kita: bagaimana kualitas pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Jadi, inilah yang sedang coba kita bangun,” pungkasnya.

Rakor yang dilaksanakan Subdit Sosial Budaya Ditjen Bina Bangda itu merupakan salah satu kegiatan fasilitasi untuk mensinkronkan urusan pemerintahan daerah, khususnya terkait SPM. Sebagai latar belakangnya adalah terbitnya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

UU Nomor 23 Tahun 2014 telah mengubah secara mendasar terhadap urusan wajib daerah. UU ini mengamanatkan, bahwa urusan wajib dibagi atas dua unsur. Yaitu, wajib layanan dasar dan non dasar. Urusan wajib pelayanan dasar dilaksanakan dengan SPM.

Berdasar amanah UU tersebut Kemendagri melakukan fasilitasi untuk menyusun SPM secara bersama-sama Kementerian Sosial dan pemerintah daerah.

Itu sebabnya, pertemuan itu dirancang untuk menjawab amanah UU Nomor 23 Tahun 2014, dengan melakukan fasilitasi penyusunan SPM bidang sosial, sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang diberikan kepada Ditjen Bina Bangda.

Selain itu, kegiatan tersebut dimaksudkan untuk terbangunnya kesamaan persepsi tentang konsep SPM yang akan dituangkan di dalam jenis pelayanan dan indikator SPM Sosial. Selain itu, kegiatan tersebut juga dimaksudkan untuk terbangunnya persepsi dan mekanisme implementasi SPM di daerah setelah dilaksanakannya SPM berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014.[ds] n

ED IS I NOVEMBER 2O15 | TAH UN V I

34

Jendela

PEMDA HARUS PRIORITASKAN PELAYANAN DASAR

NASIONALBali

Jika dicermati, di dalam pasal-pasal di UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, di sana disebutkan bahwa pemerintah daerah harus memprioritaskan pelayanan

dasar.“Penyelenggara pemerintahan daerah

(dalam hal ini pemerintah daerah), pertama-tama harus memprioritaskan urusan konkuren wajib yang terkait dengan layanan dasar,” demikian terang Ir. Diah Indrajati, M.Sc dalam Rapat Koordinasi Teknis Pusat dan Daerah dalam rangka Fasilitasi Penyusunan SPM Urusan Pemerintahan Bidang Sosial pada 29 Oktober 2015 di Nusa Dua, Bali.

Sekretaris Ditjen Bina Pembangunan Daerah itu menjelaskan, makna dari satu ayat itu saja, penjabarannya sangat kompleks dan jika tidak memahami betul pasal itu, maka program Perangkat Daerah (PD) – dulu SKPD – tidak akan berhasil.

“Jika demikian, pengalaman yang sekian tahun ke belakang yang dengan 15 Standar Pelayanan Minimum (SPM) itu akan terulang kembali,” jelasnya.

Merujuk UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebelumnya ditetapkan 15 SPM yang pelaksanaannya dinilai belum maksimal. Menurut dirinya, ketika dilakukan evaluasi di lapangan oleh Ditjen Otonomi Daerah Kemendagri terkait pelaksanaan 15 SPM tersebut, jawaban yang selalu ditemui di semua daerah itu sama, yaitu tidak ada anggaran untuk melaksanakan SPM tersebut.

Ia mengatakan bahwa dulu SPM diperlakukan sebagai sebuah proyek yang baru datang dari pusat yang mintakan alokasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).

“(Ini) berarti, pemahaman terhadap

pentingnya layanan dasar itu belum sama untuk semua level pemerintahan, juga antara pusat dengan daerah,” terangnya.

“SPM diperlakukan sebagai proyek baru yang minta alokasi APBD. Padahal SPM adalah kewajiban layanan dasar yang harus dipenuhi pemerintah daerah kepada masyarakatnya,” bebernya lagi.

Melihat fakta bahwa pelaksanaan SPM tersebut, pemerintah kemudian menerbitkan UU Nomor 23 Tahun 2014 sebagai pengganti UU Nomor 32 Tahun 2004 untuk menyempurnakan pelaksanaan penerapan SPM di daerah.

“Makanya di dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 dipertegas, bahwa penyelenggara pemerintah daerah harus memprioritaskan dahulu 6 pelayanan dasar itu,” terangnya lagi.

Jika pemerintah pusat dan daerah sudah memahami betul dan bersepakat untuk memprioritaskan pelayanan dasar, lalu bagaimana caranya supaya 6 SPM pelayanan dasar bisa benar-benar diterapkan secara sistematis dan terukur, sehingga masyarakat di daerah bisa mendapatkan manfaatnya.

TAHUN V I | NOVEMBER 2O15

35

Jendela

Menurut Ir. Diah Indrajati, M.Sc, 6 SPM itu harus diinternalisasi ke dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah, dalam hal ini Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang lima tahunan.

“(Hal itu) supaya perangkat daerah yang lain tidak merasa bahwa itu pekerjaannya dinas sosial,” jelasnya.

Menurutnya, ke depan, 6 urusan bidang pelayanan dasar yang prioritas itu harus dirumuskan di dalam target SPM, dan outcome-nya harus besar. Dengan begitu, hal itu akan membuat perangkat daerah, di bawah koordinasi Bappeda, dalam merumuskan dokumen RPJMD dan seluruh programnya akan menyukseskan indikator 6 layanan dasar itu.

“Jadi, harus outcome besar, sehingga tidak hanya menjadi miliknya dinas sosial atau dinas pendidikan saja. (Oleh karena itu) harus dicari indikator yang yang bisa dicapai, ketika seluruh sektor bersama-sama mengerjakan program tersebut. Karena memang itu yang dimintakan di dalam Program Nawacita,” terangnya.

Dalam kesempatan yang sama, Ir. Diah Indrajati, M.Sc menyampaikan bahwa ada 7 arah kebijakan umum pembangunan nasional dan poin yang ketujuh, yaitu mengembangkan dan memeratakan pembangunan daerah menjadi poin yang cukup penting bagi Ditjen Bina Pembangunan Daerah.

“Pembangunan daerah diarahkan untuk menjaga momentum pertumbuhan wilayah Jawa, Bali, dan Sumatera, bersamaan dengan meningkatkan kinerja pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua,” urainya.

Selain itu, menurutnya, pembangunan daerah juga harus menjamin pemenuhan pelayanan dasar di seluruh wilayah bagi semua lapisan masyarakat.

“Jika kita evaluasi 15 SPM yang kemarin, ada beberapa indikator SPM layanan dasar yang targetnya itu masih coverage area (wilayah cakupan layanan). Tapi dengan pemahaman SPM yang ada di UU Nomor 23 Tahun 2014, indikator capaian dan targetnya sudah tidak bisa lagi coverage,” tambahnya.

Karena menurutnya, layanan dasar itu harus diterima oleh masing-masing individu warga negara (every single citizen) yang ada di Indonesia.

“Tidak boleh pilih kasih, misalnya wilayah Jawa dulu baru yang lainnya dan sebagainya. Tidak boleh seperti itu, kalau sudah menerapkan SPM yang sesungguhnya, sebagaimana dimaksudkan di dalam UU Nomor 23 Tahun 2014. Karena seluruh wilayah bagi semua lapisan masyarakat,” tandasnya.

Selain itu, dalam uraiannya, ia menjelaskan bahwa pembangunan daerah bertujuan untuk mempercepat pembangunan daerah tertinggal dan kawasan perbatasan, membangun kawasan perkotaan dan perdesaan, mempercepat penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dan mengoptimalkan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah.

“Itulah arah kebijakan umum pembangunan nasional. Betapa pemerintah ternyata, secara keseluruhan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Makanya poin-poin ini harus lebih dipertegas di dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional,” pungkasnya.[ds]n

ED IS I NOVEMBER 2O15 | TAH UN V I

36

Jendela

RESENSI

Buku yang ditulis oleh Vladamir Rys ini untuk

menggugat intergritas lembaga jaminan sosial berkaitan dengan program perlindungan sosial. Ia menilai bahwa sebelum terjadi krisis keuangan baru-baru ini, tren global perlindungan sosial dalam masyarakat industri menunjukkan negara tidak begitu tertarik mendukung program-program perlindungan sosial melalui dana pajak. Dampaknya, negara dianggap gagal menjamin warganya untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka secara layak.

Buku memiliki judul

Pada tahun 1948, PBB mengeluarkan deklarasi tentang HAM yang mensyaratkan setiap negara agar memberikan jaminan kepada

setiap warga negara dalam pemenuhan kebutuhan hidup dasar yang layak dalam perlindungan jaminan sosial.

Merumuskan Ulang Jaminan Sosial

asli “Reinventing Social Security Worldwide:

Back to Essentials” ini ditulis oleh

seorang doktor lulusan Paris-

Sorbonne University yang mengangkat topik disertasi mengenai

perbandingan jaminan sosial

di Perancis dan Inggris. Buku setebal

208 halaman ini berisi tentang berbagai persoalan

penting mengenai jaminan sosial, analisis makro-sosiologis pada jaminan sosial, serta usulan untuk merumuskan kembali jaminan sosial guna menyelamatkan jaminan tersebut.

Vladamir Rys menyarankan agar penyelenggaraan jaminan sosial kembali kepada prinsip-

Judul BukuMerumuskan Ulang Jaminan Sosial

PenulisVladimir RysPenerjemah

Dewi WulansariPenerbitAlvabetCetakan

1 Mei 2011Tebal Buku208 Halaman

TAHUN V I | NOVEMBER 2O15

37

Jendela

Jaminan Sosial Nasional) yang menggantikan program-program jaminan sosial sebelumnya yang dinilai kurang memberikan manfaat yang besar kepada penggunanya. UU BPJS yang telah disepakati pemerintah dan DPR pada tahun 2004 telah menjadi harapan baru bagi masyarakat. Salah satunya adalah jaminan sosial di bidang kesehatan. Dengan adanya BPJS, penyelenggaraan layanan kesehatan yang kurang menjangkau lapisan masyarakat diharapakan bisa teratasi, sehinga tidak ada lagi istilah diskriminasi pelayanan kesehatan dan semua golongan dapat mengakses layanan tersebut.

Rys berpesan, “Menghormati integritas seseorang dan martabat manusia memberi andil bagi pemeliharaan kedamaian sosial di dalam suatu bangsa, begitu juga pencarian tanpa henti untuk mendapatkan keadilan sosial dan cara-cara demokratis dalam mengatus masyarakat.”Sumber:Setiyawan, Dwiki. 2011. Merumuskan Ulang Jaminan Sosial. [Online] visit site: https://dwikisetiyawan.wordpress.com/2011/05/16/merumuskan-ulang-jaminan-sosial/

prinsip dasar, misalnya mengurangi besaran redistribusi pendatapatan, meningkatkan transparansi arus uang, dan mengembangkan saluran informasi bagi warga. Selain itu, penulis yang lahir pada1928 di Cekoslowakia ini juga mengingatkan terkait hal-hal yang mesti dijaga dalam perekenomian nasional untuk membentengi lembaga-lembaga jaminan sosial dari terpaan badai ekonomi di masa depan.

Pada halaman 14, Rys menyampaikan pesan, “Mengingat aturan perekonomian yang berlaku, penting sekali untuk mempertahankan asuransi sosial sebagai teknik jaminan sosial dasar, yang disusun menurut bentuk aslinya sebagai sebuah kontrak antara individu dan masyarakat, juga agar dapat benar-benar menjamin kondisi kehidupan minimum bagi setiap orang. Negara harus terus menyediakan kerangka kerja dasar bagi asuransi sosial wajib yang membutuhkan partisipasi keuangan dari seluruh warganya dalam sebah skema, yang dapat melindungi mereka dari konsekuensi terjadinya resiko sosial yang besar. Berdasarkan pengalaman yang baru saja terjadi, sangat tidak bertanggungjawab untuk menyerahkan tugas itu kepada pengaturan pribadi. Hanya tunjangan-tunjangan tambahan yang menjamin kelangsungan taraf hidup yang diinginkan saja yang harus diserahkan sepenuhnya pada usaha setiap individu,”

Buku ini layak dibaca bagi para pembuat kebijakan jaminan sosial dan juga para akademisi. Melalui buku ini, kita mendapatkan informasi, pemahaman, serta pengetahuan betapa pentingnya jaminan sosial bagi setiap warga negara. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia perlu belajar dan memahami bagaimana menerapkan sistem jaminan sosial nasional yang adil.

Hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN (Sistem

ED IS I NOVEMBER 2O15 | TAH UN V I

38

Jendela

INSPIRASI

Ridwan Kamil atau yang akrab disapa Kang Emil, barangkali adalah salah satu tokoh di Indonesia yang begitu populer di kalangan masyarakat Indonesia. Kendati ia menjabat sebagai walikota Bandung, Emil

dikenal luas oleh masyarakat lantaran aktif berinteraksi dengan masyakat (netizen) melalui media sosial miliknya seperti Instagram, Facebook, dan juga Twitter.

Kerap kali Emil berujar bahwa ia adalah ‘Anak Twitter’ yang menjadi walikota. Maka takheran di sela-sela kesibukannya menjadi wali kota Bandung, Emil masih sempat menulis buku yang berjudul “#Tetot: Aku, Kamu, dan Media Sosial” yang diterbitkan pada tahun 2014 lalu. Buku tersebut berisi tentang pengalaman Emil, baik sebelum mendapatkan amanah menjadi walikota Bandung maupun sesudahnya. Ia berharap buku tersebut dapat menginspirasi banyak orang berkaitan dalam membangun dan

LIVABLE CITY ALA RIDWAN KAMIL

mendesain kota yang livable.Mercer’s Quality of Living Survey setiap

tahunnya mengeluarkan daftar kota yang mendapatkan predikat sebagai “The World’s Most Livable Cities”. Survey ini membandingkan 215 kota berdasarkan 39 kriteria seperti keamanan, pendidikan, kebersihan, rekreasi, stabilitas politik-ekonomi, dan transportasi public.

Selain itu, The Economist juga melansir survei standar hidup setiap tahunnya. Pada tahun 2015 ini, kota Melbourne di Australia menduduki peringkat pertama sebagai “The World’s Most Livable City” kemudian pada peringkat runner-up diraih oleh kota Vienna, Austria. Pada laman resmi The Economist, kriteria sebuah kota dikatakan sebagai livable city yaitu, “The ranking, which considers 30 factors related to things like safety, healthcare, educational resources, infrastructure and environment in 140 cities, shows that since 2010 average liveability across the world has fallen by 1%, led by a 2.2% fall in the score for stability and safety.” (The Economist, 18 Agustus 2015).

Menyoal livable city, Emil yang juga sebagai seorang arsitektur berupa mewujudkan Bandung sebagai kota yang berbahagia melalui peningkatan indeks kebahagiaan. Emil mengatakan bahwa kemajuan bangsa tidak hanya diukur dari GDP (Gross Domestic Product) atau PDB (Produk Domestik Bruto), melainkan juga dilihat dari Happiness Index. Indonesia sendiri menduduki posisi 19 dari 150 negara. “Inovasi happiness adalah konsep yang usung untuk memperbaiki value di Bandung,” kata Ridwan Kamil saat Conference & Expo Indonesia Knowledge Forum III di Jakarta. (Tribunnews, 10 Oktober 2014).

Untuk mewujudkan cita-cita Emil menjadikan Bandung sebagai “Kota yang Berbahagia”, walikota yang lahir di Bandung pada tanggal 4 Oktober 1971 ini menggulirkan program-program pamungkas

TAHUN V I | NOVEMBER 2O15

39

Jendela

di antaranya membuat taman tematik seperti Taman Jomblo, Taman Film, Taman Skate, Taman Pustaka Bunga, Taman Binatang Peliharaan (Pet Park), Taman Fotografi, Taman Musik Centrum, Taman Persib, Taman Super Hero, dan sebagainya.

Emil berupaya menyediakan RTH (Ruang Terbuka Hijau) lebih banyak lagi dengan harapan warga Bandung khususnya dan juga warga di luar Bandung umumnya dapat menikmati suasana kota Bandung dengan hati riang gembira. Dalam forum Super Mentor 3, Emil mengatakan bahwa untuk membuat orang lain bahagia dapat dilakukan dengan hal-hal yang sederhana seperti menyediakan ruang terbuka hijau yang memungkinkan orang-orang bisa berkumpul, saling menginspirasi, dan berbuat sesuatu yang positif untuk Bandung dan juga Indonesia.

Tidak hanya mempercantik kota ‘Kembang’ dengan taman-taman yang ciamik, putra dari pasangan Atje Misbach Muhjiddin dan Tjutju Sukaesih ini juga menggulirkan program-program inovatif seperti Culinary Night yang menjadi sarana bagi warga Bandung dalam mengembangkan jiwa entrepreneurship. Selain itu, bagi turis yang ingin berkeliling kota Bandung dapat menaiki Bandung Tour on de Bus (bus wisata Bandros) yang didesain unik menyerupai bus klasik di Eropa. Salah satu hal menarik lainnya di Bandung adalah, Emil juga memfasilitasi warga Bandung untuk ‘nonton bareng’ pertandingan klub sepak bola kebanggaan Bandung yaitu Persib yang digelar di Taman Film yang berlokasi di Jalan Layang Pasupati, Bandung.

Sejak menjabat sebagai walikota Bandung pada tahun 2013, telah banyak penghargaan yang dialamatkan untuk Bandung. Ridwan Kamil dan wakilnya, Oded M. Danial, tercatat telah menerima sekitar 149 penghargaan. Berbagai penghargaan yang diterima tidak

lepas dari berbagai peran banyak pihak yang turut menyukseskan berbagai program yang dijalankan selama kurun waktu dua tahun ini. Prestasi paling anyar yaitu kota Bandung masuk finalis 6 besar dunia untuk inovasi Smart City dari World Smart City Organization di Barcelona. Pada fan page di Facebook, Ridwan Kamil mengatakan bahwa Bandung bersaing dengan kota-kota seperti Moskow, Dubai, Buenos Aires, Curitiba, dan Peterborough. “Bandung diapresiasi karena banyak memberikan ruang bagi warga untuk berinteraksi aktif dalam mengawasi pembangunan kota dengan inovasi “Connected Citizens: Encouraging Participatory Governance” seperti citizen complaint online, rapor camat/lurah oleh warga (SIP), monitoring program kerja Pemkot (Silakip), perizinan online (Hayu U), komunikasi aktif warga melalui akun Twitter setiap dinas, dan sebagainya,” tulis Emil (18/11/2015).

Pada hari jadi kota Bandung yang ke-205, suami dari Atalia Praratya Kamil ini berharap agar warga Bandung menjadi masyarakat paling bahagia se-Indonesia. Kepada warga Bandung, Emil berpesan agar senantiasa mencintai Kota Bandung dengan aksi dan solusi. Dia meminta agar warga Bandung memperlakukan kotanya seperti ibu sendiri. (Kompas.com, 23 September 2015).

“Kini bukan jamannya mengubah jaman sendirian. Kita perlu bersama-sama, kita perlu berkolaborasi. Kolaborasi itu ibarat kunci pintu rumah yang bernama masyarakat madani,” pesan Emil. MA n

ED IS I NOVEMBER 2O15 | TAH UN V I

40

Jendela

“Public service must be more than doing a job efficiently and honestly. It must be a complete dedication to the people and to the nation”.

(Margareth Chase Smith)

DITERBITKAN OLEH

DIREKTORAT JENDERAL BINA PEMBANGUNAN DAERAHKEMENTERIAN DALAM NEGERI

JL. TAMAN MAKAM PAHLAWAN NO. 20KALIBATA. JAKARTA SELATAN