hasil dan pembahasan - repository.ipb.ac.id v... · umumnya materi pendidikan kesehatan secara...

26
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kota Depok, secara geografis berbatasan langsung dengan Kota Jakarta atau berada dalam lingkungan wilayah Jabotabek. Berawal dari sebuah Kecamatan yang berada di lingkungan Kewedanaan (Pembantu Bupati) wilayah Parung Kabupaten Bogor, Kota Depok kemudian berkembang menjadi Kota Administratif Depok pada tahun 1981 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1981, dan terus berkembang hingga menjadi sebuah kota yang mandiri seperti saat ini. Letaknya yang berbatasan langsung dengan Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta menyebabkan pesatnya pembangunan di kota ini. Selain sebagai pusat pemerintahan, Kota Depok juga merupakan wilayah penyangga Ibu Kota Negara yang diarahkan untuk kota pemukiman, pusat pelayanan perdagangan dan jasa, kota pariwisata, kota resapan air dan kota pendidikan. Menyadari perannya sebagai kota pendidikan, pemerintah kota terus berupaya meningkatkan kualitas pendidikan yang dilaksanakan di Kota Depok. Salah satunya dengan memudahkan akses pendidikan, yaitu dengan pendirian sekolah-sekolah di tiap kecamatan sehingga memudahkan jangkauan masyarakat. Tak kurang dari 11 kecamatan yang berada di kota ini. Jumlah seluruh sekolah lanjutan pertama negeri di Kota Depok 17 sekolah. Adapun 13 sekolah diantaranya merupakan objek penelitian. Dua sekolah terletak di Kecamatan Pancoran Mas yakni SMP Negeri 1 dan SMP Negeri 2. Kecamatan Sukmajaya yang merupakan kecamatan terluas juga memiliki dua sekolah negeri, yaitu SMP Negeri 3 dan SMP Negeri 4. Kecamatan Cimanggis, lebih banyak memiliki sekolah negeri, yaitu SMP Negeri 7, SMP Negeri 8, SMP Negeri 11 dan SMP Negeri 12. Sedangkan sekolah lainnya tersebar di kecamatan lain, yaitu: Kecamatan Beji (SMP Negeri 5), Kecamatan Cilodong (SMP Negeri 6), Kecamatan Cipayung (SMP Negeri 9) dan Kecamatan Bojongsari (SMP Negeri 10 dan SMP Negeri 14). Beberapa SMP Negeri di Kota Depok tergolong sekolah bertaraf nasional dan bahkan beberapa sekolah ada yang merupakan sekolah rintisan bertaraf internasional. Hal ini mendorong sekolah untuk menyediakan berbagai sarana dan prasarana pendidikan dalam menunjang proses belajar-mengajar. Jumlah guru yang mengajar di tiap sekolah beragam yang berkisar antara 60 sampai 80 orang. Para guru mengajar di tiga jenjang kelas yang berbeda dengan mata

Upload: phungkhue

Post on 02-Mar-2019

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

29

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kota Depok, secara geografis berbatasan langsung dengan Kota Jakarta

atau berada dalam lingkungan wilayah Jabotabek. Berawal dari sebuah

Kecamatan yang berada di lingkungan Kewedanaan (Pembantu Bupati) wilayah

Parung Kabupaten Bogor, Kota Depok kemudian berkembang menjadi Kota

Administratif Depok pada tahun 1981 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor

43 tahun 1981, dan terus berkembang hingga menjadi sebuah kota yang mandiri

seperti saat ini. Letaknya yang berbatasan langsung dengan Wilayah Daerah

Khusus Ibu Kota Jakarta menyebabkan pesatnya pembangunan di kota ini.

Selain sebagai pusat pemerintahan, Kota Depok juga merupakan wilayah

penyangga Ibu Kota Negara yang diarahkan untuk kota pemukiman, pusat

pelayanan perdagangan dan jasa, kota pariwisata, kota resapan air dan kota

pendidikan.

Menyadari perannya sebagai kota pendidikan, pemerintah kota terus

berupaya meningkatkan kualitas pendidikan yang dilaksanakan di Kota Depok.

Salah satunya dengan memudahkan akses pendidikan, yaitu dengan pendirian

sekolah-sekolah di tiap kecamatan sehingga memudahkan jangkauan

masyarakat. Tak kurang dari 11 kecamatan yang berada di kota ini.

Jumlah seluruh sekolah lanjutan pertama negeri di Kota Depok 17

sekolah. Adapun 13 sekolah diantaranya merupakan objek penelitian. Dua

sekolah terletak di Kecamatan Pancoran Mas yakni SMP Negeri 1 dan SMP

Negeri 2. Kecamatan Sukmajaya yang merupakan kecamatan terluas juga

memiliki dua sekolah negeri, yaitu SMP Negeri 3 dan SMP Negeri 4. Kecamatan

Cimanggis, lebih banyak memiliki sekolah negeri, yaitu SMP Negeri 7, SMP

Negeri 8, SMP Negeri 11 dan SMP Negeri 12. Sedangkan sekolah lainnya

tersebar di kecamatan lain, yaitu: Kecamatan Beji (SMP Negeri 5), Kecamatan

Cilodong (SMP Negeri 6), Kecamatan Cipayung (SMP Negeri 9) dan Kecamatan

Bojongsari (SMP Negeri 10 dan SMP Negeri 14).

Beberapa SMP Negeri di Kota Depok tergolong sekolah bertaraf nasional

dan bahkan beberapa sekolah ada yang merupakan sekolah rintisan bertaraf

internasional. Hal ini mendorong sekolah untuk menyediakan berbagai sarana

dan prasarana pendidikan dalam menunjang proses belajar-mengajar. Jumlah

guru yang mengajar di tiap sekolah beragam yang berkisar antara 60 sampai 80

orang. Para guru mengajar di tiga jenjang kelas yang berbeda dengan mata

30

pelajaran yang berbeda pula. Jumlah masing-masing jenjang kelas antara 9

sampai 10 rombongan belajar. Adapun jumlah ruang kelas secara keseluruhan

berkisar antara 18 sampai 31 ruang kelas.

Umumnya sekolah juga dilengkapi dengan sarana perpustakaan dan

beberapa laboratorium, seperti laboratorium Ilmu Pengetahuan Alam (IPA),

bahasa, dan komputer. Ruang multimedia sebagai sarana pelengkap dalam

proses pembelajaran, dan sering digunakan sebagai ruang serbaguna juga

dilengkapi oleh beberapa sekolah.

Karakteristik Siswa

Data yang disajikan pada Tabel 7 menunjukkan bahwa siswa yang

berusia 13 tahun memiliki persentase terbesar dibanding siswa yang berusia 12

tahun dan 14 tahun, yaitu sebanyak 84,5%. Rentang usia siswa tersebut

tergolong pada usia remaja awal (Monks et al. 1982) yaitu dengan usia yang

berkisar antara 12-15 tahun. Masa remaja adalah periode yang penting pada

pertumbuhan dan kematangan manusia (Riyadi 2001). Pertumbuhan cepat,

perubahan emosional dan perubahan sosial merupakan ciri yang spesifik. Pada

usia remaja, segala sesuatunya cepat berubah dan untuk mengantisipasinya

makanan sehari-hari menjadi amat penting. Badan yang mengalami

pertumbuhan perlu mendapat masukan zat-zat gizi dari makanan yang

seimbang.

Karakteristik jenis kelamin menunjukkan bahwa jenis kelamin perempuan

(75%) mendominasi siswa kelas 8 yang dijadikan objek penelitian dibanding laki-

laki. Adapun secara umum, sebaran siswa dengan presentase terbesar adalah

siswa berusia 13 tahun dengan jenis kelamin perempuan (63,5%), sedangkan

presentasi terkecil adalah berjenis kelamin laki-laki dengan umur 12 tahun dan

14 tahun, masing-masing sebanyak 1,9%.

Tabel 7 Sebaran siswa berdasarkan karakteristik individu

Jenis Kelamin Usia (tahun)

Total 12 13 14

n % n % n % n % Laki-laki 1 1,9 11 21,2 1 1,9 13 25,0 Perempuan 6 11,5 33 63,5 0 0,0 39 75,0

Total 7 13,5 44 84,6 1 1,9 52 100,0

Keragaan Usaha Kesehatan Sekolah

Depkes (2007) mengategorikan keragaan UKS menjadi beberapa strata,

yaitu strata minimal, strata standar, strata optimal dan strata paripurna.

Pengategorian ini berdasarkan kondisi dan kemampuan sekolah dalam

31

melaksanakan pelayanan kesehatan bagi warga sekolah. Strata minimal adalah

strata yang paling rendah sedangkan keragaan UKS dengan tingkatan paling

tinggi dapat digolongkan sebagai strata paripurna. Akan tetapi dalam aplikasinya,

pengategorian berdasarkan strata tersebut tidak digunakan sepenuhnya oleh

sekolah. Umumnya sekolah tidak memenuhi kriteria strata berdasarkan

tahapannya. Sekolah yang telah memenuhi beberapa kriteria strata standar,

belum tentu memenuhi seluruh kriteria strata minimal. Adapun sekolah yang

telah memenuhi beberapa kriteria strata optimal ternyata tidak semua kriteria

strata minimal dan standar terpenuhi, begitu seterusnya. Sehingga dalam

penilaian keragaan UKS digunakan suatu kriteria mutu yang merupakan

modifikasi dari kriteria strata UKS tersebut.

Keragaan UKS merupakan keseluruhan dari pelaksanaan program pokok

UKS, yaitu Tri Program UKS (TRIAS UKS) yang meliputi pendidikan kesehatan,

pelayanan kesehatan dan pembinaan lingkungan sehat.

a. Pendidikan Kesehatan

Pendidikan kesehatan dapat dilaksanakan baik secara kurikuler maupun

secara ekstrakurikuer. Secara kurikuler, dilaksanakan melalui mata pelajaran

yang diberikan dan termasuk dalam proses pembelajaran di kelas. Secara

ekstrakurikuler dapat berupa bimbingan dan penyuluhan kesehatan serta

pelaksanaan konseling, pendidikan kader kesehatan remaja dan konseling

sebaya. Adapun pengategorian UKS melalui kriteria strata UKS Depkes (2007)

dalam bidang pendidikan kesehatan telah diuraikan pada Tabel 1.

Kriteria strata tersebut tidak digunakan seluruhnya dalam penilaian

keragaan pendidikan kesehatan. Pada kategori stata UKS minimal, kriteria

adanya guru penjaskes dan kriteria dilaksanakannya penjaskes secara kurikuler

tidak dimasukkan sebagai kriteria modifikasi. Keduanya diasumsikan telah

dilaksanakan oleh seluruh sekolah. Begitu pula kriteria tentang pendidikan

kesehatan dan pendidikan kesehatan remaja yang diintegrasikan dalam mata

pelajaran lain juga diasumsikan pelaksanaannya sama di setiap sekolah.

Umumnya materi pendidikan kesehatan secara intrakurikuler diintegrasikan

dalam mata pelajaran IPA khususnya biologi, agama, penjaskes dan bimbingan

konseling.

Keterbatasan dalam menggali informasi dari narasumber yang

merupakan guru UKS di tiap sekolah bersangkutan menyebabkan dua kriteria

strata optimal UKS juga tidak disertakan. Kriteria tersebut adalah memiliki guru

32

mata pelajaran pendidikan jasmani dengan ratio 1:24 jam pelajaran dalam

seminggu dan kriteria mengenai dilakukannya pengukuran dan pencatatan

kesegaran jasmani. Adapun kriteria modifikasi yang digunakan untuk penilaian

pendidikan kesehatan melalui UKS, dapat dilihat pada tabel berikut,

Tabel 8 Sebaran sekolah dan kriteria penilaian keragaan pendidikan kesehatan setelah dimodifikasi dari kriteria strata Depkes (2007)

No. Kriteria modifikasi n % 1 Guru membuat rencana pembelajaran pendidikan kesehatan 10 76,9

2 Ada buku pegangan guru tentang pendidikan kesehatan 10 76,9

3 Ada buku bacaan pendidikan kesehatan 9 69,2

4 Pendidikan jasmani dan kesehatan dilaksanakan secara ekstrakurikuler

13 100,0

5 Memiliki guru Bimbingan Konseling (BK)/Bimbingan Penyuluhan (BP) 13 100,0

6 Memiliki guru pembina UKS 13 100,0

7 Memiliki guru pembina UKS terlatih 8 61,5

8 Memiliki media pendidikan kesehatan 10 76,9

9 Adanya pendidikan kesehatan remaja dalam ekstrakurikuler 12 92,3

10 Adanya peran aktif “pendidik sebaya”/”konselor sebaya” dalam pendidikan kesehatan

7 53,8

11 Adanya program kemitraan pendidikan kesehatan dengan instansi terkait

12 92,3

Seluruh sekolah telah melaksanakan pendidikan kesehatan, baik secara

intrakurikuler, yang biasanya dilaksanakan oleh guru, maupun secara

ekstrakurikuler oleh berbagai pihak, dalam dan luar sekolah. Pendidikan

kesehatan secara ektrakurikuler, umumnya dilakukan melalui kegiatan ekskul

siswa, seperti olahraga dan bela diri, Palang Merah Remaja (PMR), serta peer

counselor (PC).

Pendidikan kesehatan di-76,9% sekolah telah memiliki rencana

pembelajaran yang dibuat oleh guru. Masing-masing ekskul didamping oleh guru

pembina yang membuat rencana pembelajaran tersebut. Guru pembina PMR

dan PC, yang umumnya juga merangkap sebagai guru pembina UKS, selain

membuat rencana pembelajaran kesehatan yang teraplikasi dalam berbagai

kegiatan kedua ekstrakurikuler tersebut, sebagai guru pembina UKS juga

membuat rencana pembelajaran untuk kegiatan penyuluhan kesehatan secara

masal bagi siswa lain yang tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler.

Seluruh sekolah memiliki guru pembina UKS yang sebagian besar

merangkap sebagai guru pembina ekstrakurikuler PMR. Akan tetapi hanya

sebanyak 61,5% sekolah yang memiliki guru pembina UKS yang terlatih. Adapun

33

guru yang belum pernah mengikuti pelatihan dikarenakan merupakan guru

pembina yang baru setelah pergantian struktur dari guru pembina sebelumnya.

Dalam membantu proses edukasi kesehatan, guru pembina UKS di

seluruh sekolah didampingi oleh guru Bimbingan Konseling (BK) yang berperan

sebagai pembimbing, khususnya terhadap masalah-masalah remaja yang

dihadapi oleh siswa secara lebih personal. Guru BK akan melakukan

pemantauan secara berkala terhadap kondisi seluruh siswa di sekolah

bersangkutan dan menuliskannya di dalam buku bimbingan konseling yang wajib

dimiliki seluruh siswa.

Informasi terkait kesehatan remaja, dapat diakses baik oleh guru maupun

siswa melalui buku. Sebanyak 76,9% sekolah memiliki buku pegangan tentang

pendidikan kesehatan untuk guru yang umumnya didapat dari Dinas Pendidikan

dan Dinas Kesehatan setempat. Siswa di-69,2% sekolah juga dapat mengakses

buku bacaan pendidikan kesehatan melalui perpustakaan sekolah. Media

pendidikan kesehatan lain yang digunakan umumnya berupa poster tentang

bahaya rokok dan NAPZA dimiliki oleh 76,9% sekolah. Rokok dan

penyalahgunaan NAPZA adalah salah satu masalah kesehatan yang banyak

dialami oleh anak usia sekolah lanjutan, sehingga titik berat pendidikan

kesehatan untuk sekolah lanjutan, salah satunya terkait kedua hal tersebut.

Pendidikan kesehatan remaja juga dilakukan oleh 92,3% sekolah melalui

penyuluhan yang biasanya diintegrasikan dalam rangkaian Masa Orientasi Siswa

(MOS) atau masa perkenalan sekolah kepada siswa baru, yang diadakan di

tahun pertama saat siswa masuk sekolah tersebut. Umumnya materi yang

disampaikan mengenai kesehatan reproduksi remaja dan bahaya

penyalahgunaan NAPZA. Pelaksanaan penyuluhan ini setahun sekali yang biasa

diisi oleh Puskesmas setempat, Lembaga Kepolisian, atau Badan Narkotika

Nasional (BNN). Beberapa guru pembina UKS pun mengaku pernah menjadi

pembicara di penyuluhan kesehatan di sekolah, namun dengan sasaran terbatas,

yakni siswa yang mengikuti ekskul PMR dan PC. Adanya PC atau pendidik

sebaya di 53,8% sekolah diakui guru pembina UKS sangat membantu dalam

memantau masalah remaja yang dihadapi terutama dari teman-teman sekelas

mereka. Selain itu PC merupakan sarana pembelajaran bagi siswa yang

mengikutinya dengan berpastisipasi aktif.

Keberadaan UKS tidak dapat berdiri sendiri, dukungan kebijakan yang

dapat diimplementasikan di sekolah sangat membantu dalam pelaksanaannya,

34

selain itu peran aktif masyarakat juga diperlukan. Adanya program kemitraan

dengan instansi terkait akan sangat membantu untuk melaksanakan pendidikan

kesehatan. Sebanyak 92,3% sekolah telah menjalin kemitraan, terutama dengan

puskesmas setempat dalam menjalankan penyuluhan kesehatan remaja dan

penjaringan kesehatan.

Berdasarkan kegiatan pendidikan kesehatan yang dilaksanakan melalui

UKS sesuai dengan kriteria modifikasi tersebut, setiap sekolah dikategorikan

menjadi tiga kategori. Adapun pengategoriannya dapat ditunjukkan pada tabel di

bawah ini,

Tabel 9 Statistik dan sebaran sekolah berdasarkan kriteria modifikasi pendidikan kesehatan

Kategori n % Cukup Baik 1 7,7 Baik 7 53,8 Sangat Baik 5 38,5

Total 13 100,0 Rataan ± simpangan baku 90,9 ± 6,7

Tabel di atas menunjukkan sebagian besar sekolah telah melaksanakan

pendidikan kesehatan dengan baik (53,8%). Sekolah yang melaksanakan

pendidikan kesehatan dengan kategori cukup baik (7,7%), umumnya kurang

dalam melaksanakan pendidikan kesehatan secara ekstrakurikuler, terutama

dalam melibatkan peran aktif pendidik sebaya. Fasilitas penunjang akses siswa

dalam mendapatkan informasi kesehatan melalui buku juga belum tersedia.

Sebaliknya sekolah yang terkategori telah melakukan pendidikan kesehatan

dengan sangat baik (38,5%), sangat aktif dalam melibatkan peran pendidik

sebaya dalam membantu menyebarkan informasi kesehatan pada siswa yang

lain.

b. Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan yang dilaksanakan UKS bertujuan untuk mencapai

derajat kesehatan siswa yang optimal, karenanya dilaksanakan kegiatan yang

komprehensif dengan mengutamakan kegiatan promotif dan preventif serta

didukung kegiatan kuratif dan rehablitatif. Seluruh kegiatan tersebut dilaksanakan

secara bertahap sesuai dengan kondisi sekolah. Depkes (2007) mengategorikan

tahapan tersebut melalui strata UKS, seperti telah ditunjukkan pada Tabel 2.

Pelaksanaan penyuluhan kesehatan remaja pada strata UKS minimal,

selain menjadi kriteria pada program pelayanan kesehatan juga menjadi kriteria

dalam program pendidikan kesehatan, sehingga kriteria ini tidak disertakan

35

dalam kriteria modifikasi. Selain itu kriteria jumlah Kader Kesehatan Remaja

(KKR) tidak diperhitungkan, sehingga penilaiannya dilakukan secara umum

melalui kriteria adanya KKR di sekolah. Hal ini dikarenakan jumlah KKR belum

dapat dihitung secara pasti. Di beberapa sekolah, masih berlangsung proses

perekrutan siswa baru untuk tergabung dalam KKR. Selain itu terkadang jumlah

KKR yang terdaftar tidak sesuai dengan KKR yang ada.

Penjaja atau penjamah makanan di seluruh sekolah hanya diperbolehkan

melalui kantin sekolah. Sehingga kriteria adanya pengawasan terhadap penjaja

atau penjamah makanan di sekitar sekolah tidak dimasukkan, sedangkan kriteria

adanya pengawasan penjaja atau penjamah makanan di sekolah dimasukkan

dalam bagian pembinaan lingkungan sehat, karena juga merupakan salah satu

komponen program tersebut. Adapun penilaian keragaan pelayanan kesehatan

yang dilakukan menggunakan kriteria yang telah dimodifikasi dari kriteria di atas

dapat ditunjukkan oleh tabel berikut,

Tabel 10 Sebaran sekolah dan kriteria penilaian keragaan pelayanan kesehatan setelah dimodifikasi dari kriteria strata Depkes (2007)

No. Kriteria modifikasi n % 1 Kegiatan P3K dan P3P 13 100,0

2 Pengukuran BB dan TB 9 69,2

3 Penjaringan/pemeriksaan kesehatan 8 61,5

4 Pemeriksaan kesehatan berkala tiap 6 bulan termasuk TB dan BB 1 7,7

5 Ada pencatatan hasil pemeriksaan kesehatan dan pengukuran TB dan BB pada buku/KMS remaja

5 38,5

6 Ada rujukan bagi yang memerlukan 10 76,9

7 Ada kader kesehatan remaja (KKR) 12 92,3

8 Ada kader kesehatan remaja (KKR) yang terlatih 10 76,9

9 Pelayanan konseling kesehatan remaja 12 92,3

10 Konseling kesehatan remaja oleh “pendidik sebaya”/”konselor sebaya”

7 53,8

11 Ada kegiatan forum komunikasi/diskusi kelompok terarah dari “pendidik sebaya”/”konselor sebaya”

5 38,5

12 Dana sehat/dana UKS 10 76,9

Pelayanan berupa Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) dan

kegiatan Pertolongan Pertama Pada Penyakit (P3P) telah dilaksanakan di

seluruh sekolah. Sebagai upaya promotif dan preventif, 61,5% sekolah

melaksanakan penjaringan kesehatan pada tahun pertama siswa masuk ke

sekolah yang bekerjasama dengan puskesmas. Penjaringan kesehatan ini

meliputi pemeriksaan keadaan umum kesehatan siswa, seperti tekanan darah,

36

status gizi dengan antropometri, pemeriksaan kesehatan mata serta

pemeriksaan kesehatan telinga, hidung dan tenggorokan (THT).

Penimbangan berat badan (BB) dan pengukuran tinggi badan (TB) juga

dilakukan oleh 69,2% sekolah. Akan tetapi hanya 7,7% sekolah yang melakukan

hal tersebut secara berkala, yaitu setiap 6 bulan sekali. Hasil pemeriksaan

kesehatan dan pengukuran TB dan BB dicatat pada Kartu Menuju Sehat (KMS)

remaja oleh 38,5% sekolah. KMS sangat penting peranannya dalam memantau

status gizi siswa.

Hasil pemeriksaan yang dilakukan akan menunjukkan ada tidaknya

masalah kesehatan yang diderita oleh siswa. Bagi siswa yang memiliki

kecenderungan masalah kesehatan setelah penjaringan kesehatan dan

pengukuran TB dan BB mendapat rujukan oleh sekolah kepada tenaga

kesehatan, biasanya melalui Puskesmas maupun Rumah Sakit terdekat. Hal ini

dilakukan oleh 76,9% sekolah. Rujukan ini juga dilakukan bila siswa mengalami

kecelakaan atau sakit di sekolah yang tidak bisa ditangani oleh sekolah dan

membutuhkan pertolongan medis.

Pelayanan kesehatan di sekolah selain dilakukan oleh guru juga

dilakukan oleh siswa dengan adanya Kader Kesehatan Remaja (KKR). Sebanyak

92,3% sekolah telah memiliki KKR yang tergabung dalam ekskul PMR atau PC.

Akan tetapi baru 76,9% sekolah dengan KKR yang terlatih. Umumnya pelatihan

diberikan oleh guru pembina yang bersangkutan, alumni, atau tenaga kesehatan.

Pelatihan juga pernah diberikan oleh Dinas Kesehatan setempat.

Pelayanan konseling kesehatan remaja sebenarnya dilakukan di 92,3%

sekolah baik oleh guru BK, guru pembina UKS maupun KKR. Namun, peran aktif

KKR terutama PC dalam memberikan konseling kesehatan remaja hanya

terdapat di 53,8% sekolah. Para siswa yang menjadi PC ini terwadahi dalam

suatu kegiatan forum komunikasi atau diskusi kelompok. Forum ini dibuat untuk

menyampaikan dan mendiskusikan masalah yang mereka temukan baik pada

teman-teman sebaya maupun diri mereka sendiri, sehingga dapat ditemukan

solusi yang terbaik, terutama bagi masalah atau hal yang tidak dapat mereka

pecahkan sendiri. Forum ini baru dibentuk di 38,5% sekolah, sedangkan 61,5%

belum melaksanakan forum diskusi ini terkendala pada sumber daya manusia

dan waktu.

Pentingnya peran UKS dalam mewujudkan sekolah sehat, tak lepas dari

kebutuhan finansial untuk menopang seluruh kegiatan yang dilakukan,

37

karenanya ketersediaan dana sehat atau dana UKS merupakan salah satu

kriteria strata optimal dari pelaksanaan UKS. Sebanyak 76,9% sekolah telah

memiliki dana UKS. Awalnya dana UKS diambil dari uang pembayaran atau SPP

siswa akan tetapi perubahan sistem dimana tidak ada lagi pemungutan biaya

sekolah kepada siswa yang sebagai gantinya adalah dengan adanya Biaya

Operasional Sekolah (BOS) berdampak pula pada pembiayaan kegiatan UKS.

Hal inilah yang diakui beberapa orang guru pembina UKS menjadi alasan 23,1%

sekolah tidak menyediakan dana UKS tersebut.

Sebaran sekolah dalam melaksanakan pelayanan kesehatan relatif

merata pada setiap kategori, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 11. Hal ini

dikarenakan kegiatan pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di seluruh

sekolah relatif seragam. Umumnya seluruh sekolah telah melaksanakan

pelayanan kesehatan dasar (kegiatan P3K dan P3P). Akan tetapi banyak sekolah

yang terkendala dalam pelaksanaan pemeriksaan kesehatan siswa, seperti

melalui kegiatan penjaringan kesehatan dan pemeriksaaan kesehatan secara

berkala termasuk pengukuran BB dan TB. Kendala tersebut dihadapi oleh

sekolah dengan kategori cukup baik (30,8%).

Tabel 11 Statistik dan sebaran sekolah berdasarkan kriteria modifikasi pelayanan kesehatan

Kategori n % Cukup Baik 4 30,8 Baik 4 30,8 Sangat Baik 5 38,5

Total 13 100,0 Rataan ± simpangan baku 84,0 ± 8,3

Beberapa sekolah (38,5%) telah sangat baik dalam menyediakan

pelayanan kesehatan bagi siswanya. Umumnya sekolah tersebut selain

melaksanakan pelayanan kesehatan dasar dan pemeriksaan kesehatan siswa

juga melaksanakan pemantuan status kesehatan siswa dengan pencatatan hasil

pemeriksaan dalam KMS remaja. Selain itu pengoptimalan peran pendidik

sebaya juga dilakukan dengan membuat suatu forum komunikasi atau diskusi

kelompok.

c. Pembinaan Lingkungan Sekolah Sehat

Pembinaan lingkungan sehat meliputi kegiatan bina lingkungan fisik dan

kegiatan bina lingkungan mental sosial, sehingga tercipta suasana dan

hubungan kekeluargaan yang akrab dan erat antara sesama warga sekolah

(Depkes 2003). Hal ini terkait upaya meningkatkan faktor pelindung, seperti

38

gedung, halaman dan warung sekolah yang memenuhi standar kesehatan, serta

upaya memperkecil faktor risiko dengan adanya pagar pengaman, bangunan

sekolah yang aman, pengadaan kantin, dan upaya pembebasan sekolah dari

rokok maupun NAPZA (Depkes 2007). Pengategorin UKS berdasarkan kriteria

pembinaan lingkungan sekolah sehat telah diuraikan pada Tabel 3.

Dari kriteria strata UKS yang telah tersebut selanjutnya diambil beberapa

kriteria untuk menilai keragaan pembinaan lingkungan sekolah sehat melalui

UKS. Beberapa kriteria seperti rasio WC berbanding siswa, adanya saluran

pembuangan air kotor yang berfungsi dengan baik, adanya saluran air limbah

yang tertutup dan berfungsi dengan baik serta lingkungan sekolah yang bebas

jentik tidak diamati selama observasi sehingga tidak dimasukkan dalam kriteria

modifikasi. Selain itu kriteria terkait ruang kelas, seperti ruang kelas yang

memenuhi syarat kesehatan, jarak papan tulis dengan bangku terdepan dan

terbelakang serta rasio kepadatan siswa juga tidak disertakan dalam kriteria

modifikasi untuk penilaian karena tidak dilakukan pengamatan. Kriteria

pelaksanaan dan pembinaan kawasan sekolah tanpa rokok, bebas narkoba dan

miras tidak dapat teramati secara langsung, sehingga penilaian dengan

menggunakan kriteria ini tidak dilakukan.

Dalam kegiatan bina lingkungan mental dan sosial, seluruh sekolah

memiliki sarana keagamaan, berupa masjid untuk siswa muslim menjalankan

ibadah. Hal ini dikarenakan sebagian besar siswa beragama Islam. Sedangkan

siswa beragama lain bila akan mengadakan kegiatan keagamaan, biasanya

menggunakan ruang sekolah atau kelas yang sedang tidak digunakan. Sebagian

besar (84,6%) juga memiliki ruang bimbingan konseling yang digunakan oleh

guru BK untuk memberikan konsultasi dan atau konseling pada anak yang

memiliki masalah tertentu, sebagian besar terkait perilaku kedisiplinan dan

masalah psikososial.

Penilaian pembinaan lingkungan sekolah sehat dengan melihat sarana

kebersihan yang tersedia, menggunakan tujuh kriteria yang telah dimodifikasi.

Kriteria ini meliputi fasilitas air bersih, tempat cuci tangan, dan kamar mandi,

seperti yang ditampilkan pada Tabel 12.

Seluruh sekolah telah menyediakan air bersih yang merupakan

kebutuhan pokok untuk memenuhi kebutuhan warganya. Air tersebut harus

memenuhi syarat kesehatan, yaitu tidak berwarna, tidak berasa, dan tidak

berbau. Fasilitas lain yang tersedia adalah tempat cuci tangan yang

39

memungkinkan setiap guru atau siswa dapat menjaga kebersihan dirinya

terutama dengan mencuci tangan. Sebagian besar sekolah (92,3%) telah

memiliki tempat cuci tangan di beberapa tempat, terutama di depan setiap ruang

kelas. Akan tetapi baru sebagian kecil (23,1%) yang melengkapi beberapa

tempat cuci tangannya dengan sabun, terutama di area kamar mandi dan ruang

UKS. Keberadaan kamar mandi atau jamban, yang merupakan salah satu

sumber agen penyakit, juga harus memenuhi syarat kesehatan, yaitu tidak

berbau, ada ventilasi, cukup penerangan, kedap air, tidak licin, tidak ada

genangan air dan tidak ada nyamuk/jentik nyamuk. Seluruh sekolah telah

memiliki kamar mandi atau jamban yang berfungsi dengan baik, dan telah

memisahkan jamban untuk guru dan siswa.

Tabel 12 Sebaran sekolah dan kriteria penilaian keragaan lingkungan sekolah sehat berdasarkan ketersediaan sarana kebersihan setelah dimodifikasi dari kriteria strata Depkes (2007)

No. Kriteria modifikasi n % 1 Ada air bersih 13 100,0

2 Ada air bersih yang memenuhi syarat kesehatan 13 100,0

3 Ada tempat cuci tangan 12 92,3

4 Ada tempat cuci tangan di beberapa tempat dengan air mengalir/kran dan dilengkapi sabun

3 23,1

5 Ada WC/jamban yang berfungsi dengan baik 13 100,0

6 Ada jamban/WC siswa dan guru yang memenuhi syarat kesehatan dan kebersihan

13 100,0

7 Melakukan 3 M plus, 1 kali seminggu 12 92,3

Lingkungan sekolah yang sehat juga diharuskan terbebas jentik nyamuk,

salah satu cikal agen pembawa penyakit. Kegiatan yang sering dilakukan dalam

membebaskan lingkungan dari jentik nyamuk adalah dengan melakukan 3M

(Mengubur, Menguras, Membuang) secara berkala. Sebanyak 92,3% sekolah

telah melaksanakan kegiatan tersebut setiap minggunya, terutama dilakukan

olah penjaga sekolah masing-masing.

Lingkungan sekolah yang sehat juga tidak terlepas dari penciptaan

lingkungan sekolah yang indah. Hal tersebut dapat tercipta dengan lingkungan

sekolah yang asri, dilengkapi dengan bangunan sekolah yang apik, dan

ketersediaan fasilitas lain, seperti tempat sampah. Sehingga pembinaan

lingkungan sekolah sehat juga dinilai berdasarkan ketersediaan sarana

keindahan seperti yang terdapat pada tabel berikut,

40

Tabel 13 Sebaran sekolah dan kriteria penilaian keragaan lingkungan sekolah sehat berdasarkan ketersediaan sarana keindahan setelah dimodifikasi dari kriteria strata Depkes (2007)

No. Kriteria modifikasi n % 1 Ada tempat sampah 13 100,0

2 Ada tempat sampah di tiap kelas 13 100,0

3 Pemisahan sampah organik dan non-organik 11 84,6

4 Ada halaman/pekarangan/lapangan 13 100,0

5 Ada halaman yang cukup luas untuk upacara dan berolahraga 13 100,0

6 Memiliki pagar aman 13 100,0

7 Ada penghijauan dan perindangan 12 92,3

8 Ada pagar yang aman dan indah 13 100,0

9 Ada taman/kebun sekolah/toga 7 53,8

10 Ada taman/kebun sekolah yang dimanfaatkan dan diberi label (untuk sarana belajar)

6 46,2

11 Ada pengolahan hasil kebun sekolah 1 7,7

Membiasakan siswa untuk membuang sampah di tempat sampah perlu

dilakukan, untuk menciptakan lingkungan sekolah yang bersih dan lingkungan

hidup yang bersih di kemudian hari. Hal ini merupakan salah satu perilaku hidup

sehat. Seluruh sekolah telah menyediakan tempat sampah di sekitar area

sekolah, seperti lapangan, taman, kantin sekolah dan di setiap kelasnya.

Pengadaan tempat sampat di luar kelas merupakan tanggung jawab pihak

sekolah. Adapun umumnya pengadaan tempat sampah di kelas merupakan

swadaya siswa di kelas masing-masing. Pemisahan sampah organik dan non-

organik baru dilakukan oleh 84,6% sekolah.

Halaman atau lapangan sekolah juga merupakan unsur fisik dari sekolah

sehat, dimana siswa dapat melaksanakan aktivitas fisik, seperti berolahraga dan

upacara. Seluruh sekolah telah memiliki lapangan yang cukup luas dan 92,3%-

nya dilengkapi dengan penghijauan dan perindangan. Area seluruh sekolah juga

memiliki pagar yang aman dan indah, untuk menjamin keamanan dan

keselamatan siswa dan warga sekolah lainnya.

Taman atau kebun sekolah selain berperan dalam penghijauan dan

perindangan juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana pembelajaran bagi siswa.

Sekolah yang memiliki kebun sekolah atau kebun tanaman obat keluarga

(TOGA) ada 53,8% dan sebanyak 46,2% sekolah memanfaatkan fasilitas

tersebut sebagai sarana belajar dengan pemberian label pada setiap tanaman.

Pemberian label ini berguna agar siswa mengetahui bentuk tanaman dan

41

fungsinya terutama bagi tanaman obat-obatan. Akan tetapi baru sebagian kecil

sekolah (7,7%) yang sudah lebih jauh memanfaatkan hasil dari kebun sekolah

tersebut dengan proses pengolahan pasca panen, yaitu dengan pembuatan

berbagai macam makanan jajanan yang dijual di kantin sekolah.

Kantin sekolah juga merupakan bagian dari lingkungan sekolah.

Keberadaan kantin sekolah atau penjual makanan di sekolah merupakan suatu

kebutuhan yang harus tersedia di lingkungan sekolah. Kantin sekolah bila

dikelola dengan baik dapat menjadi salah satu upaya mengatasi masalah kurang

gizi pada siswa. Pengelolaannya harus memperhatikan kebersihan, keamanan,

serta mempertimbangkan aspek gizi, ekonomi, dan kepraktisan pelaksanaannya.

Makanan yang ada di kantin sekolah harus dipersiapkan dengan memperhatikan

kebersihan, kesehatan, keamanan makanan, cara pemasakan, penyajian dan

penanganan yang sesuai syarat kesehatan dan gizi.

Keberadaan kantin sekolah sehat dapat menjadi sarana pembelajaran

dan praktek siswa untuk menerapkan pola makan sehat bagi dirinya dan

lingkungannya. Kriteria penilaian kantin sekolah berdasarkan kriteria modifikasi

dapat ditampilkan pada tabel di bawah ini,

Tabel 14 Sebaran sekolah dan kriteria penilaian keragaan lingkungan sekolah sehat berdasarkan ketersediaan kantin sekolah setelah dimodifikasi dari kriteria strata Depkes (2007)

No. Kriteria modifikasi n % 1 Memiliki kantin/warung sekolah 13 100,0

2 Pengawasan terhadap warung/kantin sekolah 9 69,2

3 Adanya pengawasan kantin/warung sekolah secara rutin 3 23,1

4 Ada tempat cuci peralatan masak/makan dengan air yang mengalir, petugas kantin/warung sekolah bersih dan sehat

9 69,2

5 Ada menu gizi seimbang di kantin/warung sekolah dan petugas kantin/warung sekolah yang terlatih

1 7,7

Seluruh sekolah memiliki kantin sekolah dan hanya 69,2% yang

melakukan pengawasan terhadap kantin sekolah. Pengawasan yang dilakukan

pihak sekolah berupa pengawasan terhadap jajanan yang dijual sehingga tidak

berbahaya bagi kesehatan dan terkait kebersihan, baik kantin maupun makanan

yang dijual. Pengawasan secara rutin terhadap kantin sekolah dilakukan oleh

23,1% sekolah. Makanan yang dijual di kantin sekolah umumnya makanan yang

siap saji atau makanan kemasan. Adapun penjajah makanan yang memasak

makanannya di tempat disediakan fasilitas tempat mencuci peralatan masak dan

42

makan di 69,2% sekolah. Upaya penyediaan menu gizi seimbang di kantin

sekolah baru dilaksanakan oleh 7,7% sekolah.

Ruang UKS dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan yang

menunjang, khususnya dalam melaksanakan pelayanan kesehatan. Tabel 15

menunjukkan kelengkapan yang tersedia di ruang UKS,

Tabel 15 Sebaran sekolah berdasarkan ketersediaan peralatan dan perlengkapan di ruang UKS

Peralatan/perlengkapan ruang UKS n % Tempat tidur 13 100,0 Timbangan BB 8 61,5 Alat ukur TB 8 61,5 Kotak P3K dan obat-obatan (cairan antiseptik, oralit, parasetamol) 12 92,3 Lemari obat 6 46,2 Buku rujukan 7 53,8 Poster-poster 9 69,2 Struktur organisasi 6 46,2 Jadwal piket 5 38,5 Tempat cuci tangan/wastafel 3 23,1 Data angka kesakitan murid 4 30,8

Ruang UKS yang sederhana hanya dilengkapi tempat tidur, timbangan

BB, alat ukur TB dan kotak P3K. Seluruh sekolah telah melengkapi ruang UKS

dengan tempat tidur. Sebagian besar juga memiliki alat ukur BB dan TB (masing-

masing 61,5%) dan kotak P3K (92,3%). Tempat cuci tangan di ruang UKS baru

tersedia di-23,1% sekolah. Data angka kesakitan murid telah dimiliki 30,8%

sekolah. Kriteria tipe UKS ideal yang dilengkapi dengan peralatan peralatan gigi

atau unit gigi serta contoh model organ tubuh dan rangka belum dipenuhi oleh

seluruh sekolah.

Masalah kesehatan pada anak usia sekolah lanjutan erat kaitannya

dengan penyalahgunaan NAPZA (Depkes 2007), yang umumnya diawali dengan

konsumsi rokok. Sehingga penciptaan lingkungan sekolah yang sehat tidak

terlepas dari peran sekolah untuk membebaskan lingkungannya dari berbagai hal

yang mengarah pada penyalahgunaan tersebut. Upaya yang dapat dilakukan

adalah dengan adanya berbagai poster tentang bahaya rokok dan narkoba.

Sebanyak masing-masing 69,2% dan 61,5% sekolah memiliki poster bahaya

rokok dan narkoba atau anjuran untuk tidak menggunakannya.

Berdasarkan penilaian pembinaan lingkungan sekolah sehat dengan

menggunakan kriteria modifikasi dari kriteria Depkes (2007) tersebut maka

keragaan pembinaan lingkungan sekolah sehat dapat dikategorikan menjadi tiga.

43

Tabel di bawah ini menunjukkan sebagian besar sekolah (61,5%) telah

melaksanakan pembinaan lingkungan sehat dengan baik.

Tabel 16 Statistik dan sebaran sekolah berdasarkan kriteria modifikasi pembinaan lingkungan sekolah sehat melalui UKS

Kategori n % Cukup Baik 2 15,4 Baik 8 61,5 Sangat Baik 3 23,1

Total 13 100,0 Rataan ± simpangan baku 82,2 ± 6,0

Sekolah (15,4%) dengan kategori cukup baik, kurang dalam

mengoptimalkan kebun sekolah dan kantin sekolah, terutama sebagai sarana

pembelajaran siswa. Sedangkan hal tersebut berusaha dilaksanakan oleh

sekolah dengan kategori sangat baik. Selain itu tersedianya peralatan dan

perlengkapan di ruang UKS, seperti KMS remaja dan buku rujukan menjadikan

beberapa sekolah (23,1%) terkategori sangat baik.

Dilihat dari pelaksanaan TRIAS UKS tersebut dapat dikategorikan

keragaan UKS seperti yang ditunjukkan pada tabel berikut,

Tabel 17 Statistik dan sebaran sekolah berdasarkan keragaan UKS yang meliputi TRIAS UKS

Kategori n % Cukup Baik 7 53,8 Baik 3 23,1 Sangat Baik 3 23,1

Total 13 100,0 Rataan ± simpangan baku 83,9 ± 5,3

Data pada tabel di atas menunjukkan, pelaksanaan UKS di sebagian

besar sekolah belum optimal. Sebagian besar sekolah (53,8%) memiliki

keragaan UKS yang masih tergolong cukup baik. Besarnya potensi UKS sebagai

penumbuh budaya hidup sehat siswa, memiliki tantangan tersendiri dalam

pelaksanaannya. Salah satunya, pelibatan berbagai pihak, yang sangat

dibutuhkan untuk menyukseskan seluruh kegiatan yang dilaksanakan UKS.

Dalam penelitiannya Effendi (2001) menyimpulkan kegiatan program UKS belum

dilaksanakan secara efektif, salah satunya disebabkan masih lemahnya

koordinasi lintas sektor.

Penilaian keragaan UKS yang dilihat dari pelaksanaan TRIAS UKS

melibatkan ketiga program pokok. Akan tetapi dalam penerapannya, ketiga

program tersebut cenderung dilaksanakan secara terpisah. Berdasarkan

pengamatan, program pelayanan kesehatan dan pembinaan lingkungan sehat

44

lebih banyak dilaksanakan melalui UKS. Adapun proses pendidikan kesehatan

belum dilakukan secara optimal, terutama melalui kegiatan ektrakurikuler.

Sekolah yang tergolong melaksanakan keragaan UKS dengan sangat

baik, cenderung telah melaksanakan TRIAS UKS dengan sangat baik pula.

Persentase terbesar keragaan UKS yang tergolong baik dimiliki oleh sekolah

yang juga telah melaksanakan pelayanan kesehatan dan pembinaan lingkungan

sehat dengan sangat baik, masing-masing sebanyak 40% dan 33,3%. Namun

dalam pelaksanaan pendidikan kesehatan masih tergolong baik (28,6%).

Sedangkan persentase terbesar sekolah dengan keragaan UKS cukup baik

cenderung melaksanakan TRIAS UKS dengan cukup baik pula, masing-masing

sebanyak 100%. Hal tersebut seperti yang ditunjukkan pada Tabel 18.

Tabel 18 Sebaran sekolah berdasarkan keragaan UKS, pendidikan kesehatan, pelayanan kesehatan, dan pembinaan lingkungan sehat

TRIAS UKS Keragaan UKS

Total Cukup baik Baik Sangat baik n % n % n % n %

Keragaan pendidikan kesehatan

Cukup baik 1 100,0 0 0,0 0 0,0 1 100,0Baik 5 71,4 2 28,6 0 0,0 7 100,0Sangat baik 1 20,0 1 20,0 3 60,0 5 100,0

Keragaan pelayanan kesehatan

Cukup baik 4 100,0 0 0,0 0 0,0 4 100,0Baik 3 75,0 1 25,0 0 0,0 4 100,0Sangat baik 0 0,0 2 40,0 3 60,0 5 100,0

Keragaan pembinaan lingkungan sekolah sehat

Cukup baik 2 100,0 0 0,0 0 0,0 2 100,0Baik 5 62,5 2 25,0 1 12,5 8 100,0Sangat baik 0 0,0 1 33,3 2 66,7 3 100,0

Keragaan Penyelenggaraan Pendidikan Gizi di Sekolah

Pendidikan gizi melalui UKS merupakan bagian dari pendidikan

kesehatan. Secara intrakurikuler, seperti halnya dalam program pendidikan

kesehatan, penyampaian materi gizi dilakukan melalui berbagai bidang pelajaran

seperti Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) khususnya Biologi, Agama, Penjaskes dan

bimbingan penyuluhan (BP) atau di beberapa sekolah dikenal dengan BK

(Depkes 2003). Adapun contoh materi terkait gizi yang disampaikan melalui

intrakurikuler di berbagai mata pelajaran tersebut, khususnya untuk siswa kelas 8

dapat ditunjukkan pada Tabel 19.

Tabel 19 Contoh materi gizi dalam mata pelajaran siswa kelas 8

45

No. Materi Mata Pelajaran Sub bab 1 Konsep dasar gizi Biologi Makanan dan kandungan zat yang

ada di dalamnya Fungsi makanan dan pentingnya

ASI bagi Bayi Pencernaan makanan

2 Hubungan gizi dan penyakit

Biologi Kelainan dan penyakit pada sistem pencernaan

3 Pemilihan makanan Agama Adab makan dan minum 4 Kebiasaan makan dan

gaya hidup Bimbingan Konseling

Pola hidup sehat Menjalani pola hidup sehat

Secara ekstrakurikuler, selain dilakukan pada organisasi ekstrakurikuler,

seperti PMR dan PC, penyampaian materi gizi juga dilakukan dengan adanya

penyuluhan secara masal. Materi kesehatan terkait gizi yang disampaikan

melalui UKS berupa pengetahuan gizi dasar yang meliputi ilmu gizi, fungsi

makanan, dan zat gizi. Selain itu Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) yang

berisi 13 pesan dasar untuk mencapai gizi seimbang juga disampaikan.

Pengenalan tanda kurang gizi, seperti pada penyakit anemia gizi besi, dan

pemantauan pertumbuhan menggunakan KMS juga merupakan bagian materi

pendidikan gizi melalui UKS. Kebun sekolah dan kantin sekolah juga dapat

dijadikan sarana pendidikan gizi. Kantin sekolah, selain menjadi pelayanan

kesehatan melalui UKS juga dapat menjadi bagian pendidikan gizi, baik untuk

siswa maupun warga sekolah lainnya, seperti penjajah makanan (Tim Pembina

UKS 2004).

Proses pendidikan yang dilakukan beragam berdasarkan pendidik,

metode dan teknik, serta sarana atau alat pendidikan yang digunakan. Dengan

demikian dalam penilaian keragaan penyelenggaraan pendidikan gizi

menggunakan ketiga komponen belajar tersebut.

a. Pendidik Gizi

Pelaksana atau pendidik gizi dilakukan oleh berbagai pihak, seperti yang

diperlihatkan pada Tabel 20. Sebagian besar atau 92,3% pendidikan gizi melalui

UKS dilaksanakan oleh petugas puskesmas. Depkes (1992) dalam Effendi

(2001), menyebutkan bahwa pelaksana sekaligus pembina UKS adalah

Puskesmas. Selain melakukan pendidikan gizi melalui UKS, dalam upayanya

melakukan perbaikan gizi, puskesmas bertugas memantau gizi makanan dan

minuman yang dijual di kantin sekolah, menggalang peran serta warga sekolah

dalam membina kantin sekolah, melatih kader kesehatan remaja tentang gizi dan

melakukan penilaian status gizi melalui penjaringan kesehatan dan pemeriksaan

46

berkala peserta didik (Depkes 2007). Guru dan peer group atau pendidik sebaya

juga banyak berperan sebagai pendidik gizi, masing-masing di 69,2% dan 61,5%

sekolah.

Tabel 20 Sebaran sekolah berdasarkan pendidik gizi di sekolah

Pelaksana pendidikan gizi n % Guru 9 69,2 Peer group/PC 8 61,5 Puskesmas 12 92,3 Tenaga medis/paramedic 2 15,4 Organisasi kepemudaan 1 7,7 Kelompok profesi 2 15,4 Organisasi sosial lain 2 15,4

b. Metode dan Teknik Pendidikan Gizi

Metode dan teknik yang digunakan dalam pendidikan gizi, terutama

secara ekstrakurikuler beragam. Metode adalah cara yang digunakan untuk

mendekati atau mengatur orang yang belajar untuk keperluan pendidikan.

Sedangkan teknik merupakan cara yang digunakan untuk mempertemukan

orang yang akan/sedang belajar dengan materi pelajaran. Keduanya harus dipilih

sedemikian rupa sehingga orang yang belajar memperoleh pengalaman belajar

yang sebaik-baiknya. Pemilihan ini tergantung pada tujuan pendidikan,

kemampuan pengajar, kemampuan orang yang belajar, besar atau luasnya

sasaran, waktu dan fasilitas yang tersedia. Metode pengajaran yang dikenal

diantaranya: metode per orangan, kelompok, dan masal. Adapun teknik

diantaranya: ceramah, diskusi, demonstrasi, role playing dan lainnya (Guhardja

1979). Tabel 21 menunjukkan berbagai teknik pendidikan gizi yang digunakan.

Tabel 21 Sebaran sekolah berdasarkan teknik pendidikan gizi yang digunakan di sekolah

Teknik pendidikan gizi n % Ceramah melalui penyuluhan 13 100,0 Konseling gizi 6 46,2 Praktek langsung 3 23,1

Ceramah adalah teknik yang paling banyak digunakan oleh sekolah

dalam menyampaikan materi pendidikan gizi. Seluruh sekolah menggunakan

ceramah sebagai sarana pendidikan gizi. Penelitian Salmah (1995), tentang

keefektivan permainan dan ceramah dalam pendidikan kesehatan menyimpulkan

bahwa keduanya dapat meningkatkan pengetahuan yang dimiliki. Akan tetapi

ceramah lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan terjadinya

perubahan sikap. Hal ini mengindikasikan ceramah melalui penyuluhan gizi

47

dengan sasaran yang besar (masal atau kelompok) lebih dipilih untuk mencapai

tujuan pendidikan gizi yang dilakukan.

Konseling gizi dilakukan di 46,2% sekolah. Kegiatan konseling ini biasa

dilakukan oleh guru, terutama guru BK/BP dan pendidik sebaya yang tergabung

dalam ekskul PMR atau PC, setelah sebelumnya menerima pelatihan terkait

materi gizi. Adapun praktek langsung dengan pemanfaatan kebun sekolah

sebagai upaya pendidikan dan perbaikan gizi siswa dilakukan hanya di 23,1%

sekolah. Sekolah yang melakukan praktek langsung tersebut melibatkan

partisipasi aktif siswa dalam membuat kebun sekolah, sehingga selain siswa

belajar menanam juga mengetahui sumber makanan yang baik bagi kesehatan.

c. Alat Pendidikan Gizi

Alat pendidikan yang dapat berupa alat peraga sebagai sarana

penyampaian materi sangat penting sehingga materi yang disampaikan dapat

lebih dipahami oleh sasaran. Alat mengajar sendiri didefinisikan sebagai alat

untuk membantu memperluas atau mempertinggi efektifitas dari suatu metode

dan teknik mengajar. Guhardja (1979) membagi alat mengajar menjadi empat

golongan, yaitu alat-alat ilustrasi yang biasa digunakan saat ceramah, alat-alat

penyebar, alat-alat lingkungan dan alat-alat praktek. Adapun alat yang digunakan

dalam pendidikan gizi melalui UKS dapat ditampilkan dalam Tabel 22 sebagai

berikut,

Tabel 22 Sebaran sekolah berdasarkan alat pendidikan gizi yang digunakan di sekolah

Alat peraga pendidikan gizi n % Poster/gambar 8 61,5 Mading/kording 2 15,4 Buku bacaan 12 92,3 Kartu menuju sehat (KMS) 2 15,4 Power point (PPT) 10 76,9 Brosur 3 23,1 Film 2 15,4

Pendidikan gizi dapat dilakukan dengan memanfaatkan berbagai media

atau alat peraga. Buku bacaan merupakan alat yang paling banyak digunakan

sekolah untuk menyampaikan materi gizi, yaitu sebanyak 92,3%. Buku

merupakan salah satu sumber daya yang dimiliki sekolah. Proses pendidikan

bagi siswa tak lepas dari peranan buku. Heneman dkk (2008) dalam

penelitiannya menggunakan metode Reading Across My Pyramid (RAMP).

Pendidikan gizi yang dilakukan dengan metode ini disesuaikan dengan kurikulum

48

dan sumber daya yang ada di sekolah, yaitu keharusan siswa untuk membaca

atau dengan kata lain menggunakan buku sebagai media pendidikan gizi. Hal ini

terbukti efektif, walaupun tidak terlalu signifikan, akan tetapi terdapat

kecenderungan meningkatnya pengetahuan siswa terkait dengan konsumsi

pangan dan aktivitas fisik yang baik. Penggunaan slide presentasi (PPT) juga

dirasa lebih praktis digunakan oleh 76,9% sekolah. Poster atau gambar

digunakan sebagai alat peraga di 61,5% sekolah.

Berdasarkan ketiga komponen belajar yang telah disebutkan di atas,

keragaan penyelenggaraan pendidikan ini dibagi menjadi tiga kategori.

Umumnya penyelenggaraan pendidikan gizi yang dilakukan di sekolah tergolong

pada kategori baik, yaitu sebesar 61,5% seperti yang ditunjukkan pada Tabel 23.

Jumlah skor rata-rata yang kurang dari 60% mengindikasikan belum optimalnya

proses pendidikan gizi yang dilakukan di setiap sekolah.

Tabel 23 Statistik dan sebaran sekolah berdasarkan keragaan penyelenggaraan pendidikan gizi di sekolah

Kategori n % Cukup Baik 4 30,8 Baik 8 61,5 Sangat Baik 1 7,7

Total 13 100,0 Rataan ± simpangan baku 50,5 ± 3,5

Sebaran data sekolah yang ditampilkan pada Tabel 24 menunjukkan

bahwa sekolah yang menyelenggarakan pendidikan gizi dengan sangat baik

cenderung menggunakan teknik pendidikan yang beragam dengan melibatkan

sangat banyak pihak sebagai pelaksana pendidikan serta menggunakan alat

peraga sebagai alat penyampai pesan gizi yang sangat beragam. Selain itu

sekolah dengan keragaan penyelenggaraan pendidikan gizi yang baik, memiliki

persentase terbesar telah menggunakan teknik pendidikan yang sangat beragam

(100%) dan menggunakan alat pendidikan gizi yang sangat beragam pula (80%),

serta telah melibatkan pendidik dalam kategori jumlah yang banyak (83,3%).

Sedangkan sekolah dengan kategori cukup baik, pada komponen belajar yang

diterapkan juga masih tergolong cukup. Teknik pendidikan sebagian besar

terkategori cukup beragam (40%), dengan pelibatan pendidik gizi yang juga

cukup banyak (60%), serta alat pendidikan yang cukup beragam (75%).

Tabel 24 Sebaran sekolah berdasarkan keragaan penyelenggaraan pendidikan gizi dan tiga komponen belajar

49

Komponen belajar Penyelenggaraan pendidikan gizi

Total Cukup baik Baik Sangat baik n % n % n % n %

Teknik pendidikan gizi Cukup beragam 2 40,0 3 60,0 0 0,0 5 100,0 Beragam 2 28,6 4 57,1 1 14,3 7 100,0 Sangat beragam 0 0,0 1 100,0 0 0,0 1 100,0

Pendidik gizi Cukup banyak 3 60,0 2 40,0 0 0,0 5 100,0 Banyak 1 16,7 5 83,3 0 0,0 6 100,0 Sangat banyak 0 0,0 1 50,0 1 50,0 2 100,0

Alat pendidikan gizi Cukup beragam 3 75,0 1 25,0 0 0,0 4 100,0 Beragam 1 25,0 3 75,0 0 0,0 4 100,0 Sangat beragam 0 0,0 4 80,0 1 20,0 5 100,0

Tingkat Pengetahuan Gizi Siswa

Pengetahuan gizi adalah kemampuan seseorang untuk mengingat

kembali kandungan gizi makanan serta kegunaan zat gizi tersebut dalam tubuh.

Pengetahuan gizi ini mencakup proses kognitif yang dibutuhkan untuk

menggabungkan informasi gizi dengan perilaku makan, agar struktur

pengetahuan yang baik tentang gizi dan kesehatan dapat dikembangkan.

Pengetahuan gizi seseorang juga dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan.

Tingkat pendidikan bisa menggambarkan kemampuan kognitif dan pengetahuan

yang dimiliki oleh seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal maka

semakin luas tingkat pengetahuan seseorang (Emilia 2008).

Pengukuran pengetahuan gizi siswa yang dilakukan menggunakan salah

satu dari lima konsep perilaku gizi remaja yang dikemukakan oleh Emilia (2008),

dimana pertanyaan yang diajukan terkait akan konsep dasar gizi. Pertanyaan

yang banyak dijawab salah oleh siswa terkait konsep dasar gizi adalah mengenai

makanan sumber zat besi dan jenis vitamin yang larut dalam air. Pertanyaan ini

masing-masing dijawab dengan benar sebanyak 38,5% dan 48,1% siswa.

Pertanyaan tentang protein sebagai zat gizi yang berperan sebagai zat

pembangun dan pengatur hanya dapat dijawab benar oleh 59,6% siswa.

Pertanyaan kurangnya zat besi dapat menimbulkan anemia juga dijawab benar

dengan persentase rendah (53,8%). Selain itu pertanyaan rentang usia dapat

terjadinya gangguan obesitas hanya dijawab benar oleh 53,8% (Tabel 25).

Tabel 25 Persentase siswa yang menjawab benar terkait konsep perilaku gizi

No. Pertanyaan lima konsep perilaku gizi n %

50

Konsep dasar Gizi 1 Istilah lain dari gizi 50 96,2

2 Pengertian ilmu gizi 51 98,1

3 Zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh 50 96,2

4 Zat gizi yang berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur 31 59,6

5 Bahan makanan sumber protein hewani 50 96,2

6 Bahan makanan sumber karbohidrat 37 71,2

7 Zat gizi yang dapat digunakan sebagai sumber energi 41 78,8

8 Makanan sumber serat 50 96,2

9 Fungsi vitamin 51 98,1

10 Bahan makanan sumber vitamin 49 94,2

11 Vitamin yang larut air 25 48,1

12 Struktur jaringan tubuh yang diperkuat oleh Vitamin D dan Ca dapat memperkuat

39 75,0

13 Makanan sumber zat besi 20 38,5

14 Penyakit akibat kekurangan zat besi 28 53,8 15 Susunan menu makanan yang bergizi seimbang 50 96,2 16 Penyakit akibat konsumsi makanan dan minuman yang tidak

bersih 51 98,1

17 Periode usia dimana fungsi pertumbuhan masih berlangsung 39 75,0 18 Periode usia dapat terjadinya gangguan obesitas 28 53,8

19 Penyimpanan zat gizi dalam tubuh akibat konsumsi energi yang berlebihan

39 75,0

20 Banyaknya air yang sebaiknya diminum setiap hari 47 90,4

Hal ini mengindikasikan kurangnya pengetahuan gizi siswa terkait aplikasi

pemanfaatan zat gizi dalam tubuh untuk kehidupan keseharian. Rendahnya

pengetahuan siswa terkait informasi anemia gizi besi, yang ditunjukkan dengan

rendahnya persentase pertanyaan mengenai zat besi dan anemia yang dijawab

benar, dapat menjadi salah satu kecenderungan masih banyaknya kasus anemia

gizi besi di usia remaja. Depkes (2007) menyebutkan prevalensi anemia

defisiensi besi pada anak usia sekolah di Indonesia sebesar 47,5% dan 57,5%

terjadi pada anak usia 10-14 tahun yang rata-rata merupakan usia anak sekolah

lanjutan tingkat pertama.

Anak usia sekolah lanjutan, yang merupakan periode remaja sangat

membutuhkan pengetahuan gizi yang baik dalam upaya mencegah terjadinya

berbagai masalah gizi dan kesehatan di kemudian hari. Remaja umumnya

menyukai sesuatu yang baru dan mudah terpengaruh oleh lingkungannya

51

sehingga cenderung berani mengambil risiko tanpa didahului oleh pertimbangan

yang matang akan dampak yang ditimbulkan bagi kesehatannya. Karenanya

pengetahuan yang baik terutama gizi diharapkan menjadi suatu benteng

terhadap masalah gizi yang umum diderita oleh remaja, seperti gizi kurang dan

gizi lebih.

Tingkat pengetahun gizi siswa SMP Kota Depok, relatif berada pada

kategori sedang (51,9%) dan tinggi (42,3%), seperti yang ditunjukkan pada tabel

berikut,

Tabel 26 Statistik dan sebaran siswa berdasarkan tingkat pengetahuan gizi siswa

Kategori n % Rendah 3 5,8

Sedang 27 51,9 Tinggi 22 42,3

Total 52 100,0

Rataan ± simpangan baku 79,4 ± 10,5

Tabel 27 menunjukkan bahwa, berdasarkan karakteristik siswa menurut

jenis kelamin, umumnya siswa berjenis kelamin baik laki laki maupun perempuan

memiliki tingkat pengetahuan gizi yang sedang, masing-masing sebanyak 46,2%

dan 53,8%. Siswa berjenis kelamin perempuan memiliki skor rata-rata tingkat

pengetahuan gizi yang lebih baik dibanding laki-laki.

Tabel 27 Sebaran siswa berdasarkan karakteristik dan tingkat pengetahuan gizi siswa

Karakteristik siswa

Tingkat pengetahuan gizi siswa Total Rataan ± simpangan

baku Rendah Sedang Tinggi n % n % n % n %

Jenis Kelamin Laki-laki 2 15,4 6 46,2 5 38,5 13 100,0 76,2 ± 14,0 Perempuan 1 2,6 21 53,8 17 43,6 39 100,0 80,5 ± 9,0

Usia (tahun) 12 0 0,0 3 42,9 4 57,1 7 100,0 82,1 ± 9,1 13 3 6,8 24 54,5 17 38,6 44 100,0 78,6 ± 10,6 14 0 0,0 0 0,0 1 100,0 1 100,0 95,0 ± 0,0

Berdasarkan karakteristik usia, persentase terbesar siswa berusia 12

tahun memiliki tingkat pengetahuan gizi yang tinggi, sebanyak 57,1%.

Sedangkan siswa dengan usia 13 tahun umumnya memiliki tingkat pengetahuan

gizi yang sedang (54,5%). Adapun sebanyak 100% siswa berusia 14 tahun

memiliki tingkat pengetahuan gizi yang tinggi. Skor rata-rata tingkat pengetahuan

gizi tertinggi dimiliki oleh kategori siswa berusia 14 tahun sedangkan yang

terendah oleh siswa berusia 13 tahun.

52

Hubungan Antar Variabel

Hubungan Keragaan UKS dengan Keragaan Penyelenggaraan Pendidikan Gizi di Sekolah

Data pada Tabel 28 menunjukkan bahwa sekolah dengan keragaan UKS

yang sangat baik telah menyelenggarakan pendidikan gizi dengan sangat baik

pula, dengan persentase terbesar yaitu 100%. Sebanyak 75% sekolah yang

tergolong memiliki keragaan penyelenggaraan pendidikan gizi cukup baik,

memiliki keragaan UKS yang cenderung cukup baik. Uji korelasi Pearson

menunjukkan keragaan UKS dan penyelenggaraan pendidikan gizi memiliki

hubungan yang signifikan (p=0,011, r=0,677). Semakin baik keragaan

penyelenggaraan pendidikan gizi yang dilakukan di sekolah maka cenderung

semakin baik pula keragaan UKS yang dilaksanakan. Keeratan hubungan antara

keduanya tergolong kuat.

Tabel 28 Sebaran sekolah berdasarkan keragaan UKS dan keragaan penyelenggaraan pendidikan gizi di sekolah

Keragaan penyelenggaraan

pendidikan gizi

Keragaan UKS Total

Cukup baik Baik Sangat baik n % n % n % n %

Cukup baik 3 75,0 1 25,0 0 0,0 4 100,0 Baik 4 50,0 2 25,0 2 25,0 8 100,0 Sangat baik 0 0,0 0 0,0 1 100,0 1 100,0

Pendidikan gizi adalah salah satu program yang dilaksanakan sekolah

melalui UKS yang secara umum merupakan rangkaian dari pendidikan

kesehatan, salah satu komponen program pokok UKS (TRIAS UKS). Pendidikan

gizi salah satu upaya dalam perbaikan status gizi siswa.

Hubungan Tingkat Pengetahuan Gizi Siswa dengan Keragaan UKS dan Keragaan Penyelenggaraan Pendidikan Gizi di Sekolah

Tingkat pengetahuan gizi yang tinggi, persentase terbesar dimiliki oleh

sekolah dengan keragaan UKS yang cukup baik (54,5%). Sedangkan tingkat

pengetahuan gizi siswa yang rendah, terdapat pada sekolah dengan keragaan

UKS yang sangat baik (16,7%).

Pelaksanaan UKS bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan

siswa. Beberapa program tidak secara langsung berhubungan dengan tingkat

pengetahuan gizi siswa. Adapun salah satu program yang bertujuan untuk

meningkatkan pengetahuan gizi siswa adalah dengan pendidikan kesehatan

yang dilakukan melalui upaya penyelenggaraan pendidikan gizi di sekolah.

Tabel 29 Sebaran sekolah berdasarkan tingkat pengetahuan gizi siswa, keragaan UKS dan keragaan penyelenggaraan pendidikan gizi di sekolah

53

Tingkat pengetahuan gizi siswa Total Rataan ± simpangan baku Rendah Sedang Tinggi

n % n % n % n % Keragaan UKS

Cukup baik 1 3,0 14 42,4 18 54,5 33 100,0 81,1 ± 10,5 Baik 0 0,0 6 85,7 1 14,3 7 100,0 76,4 ± 5,6 Sangat baik 2 16,7 7 58,3 3 25,0 12 100,0 76,7 ± 12,3

Keragaan penyelenggaraan pendidikan gizi

Cukup baik 1 5,0 9 45,0 10 50,0 20 100,0 81,0 ± 10,1 Baik 2 7,4 16 59,3 9 33,3 27 100,0 77,2 ± 11,2 Sangat baik 0 0,0 2 40,0 3 60,0 5 100,0 85,0 ± 5,0

Persentase terbesar tingkat pengetahuan gizi siswa yang tinggi, sebesar

60% terdapat pada sekolah dengan keragaan penyelenggaraan pendidikan gizi

yang baik. Adapun tingkat pengetahuan gizi yang rendah, persentase terbesar

juga dimiliki oleh sekolah dengan penyelenggaraan pendidikan gizi yang

tergolong baik (7,4%).

Upaya peningkatan pengetahuan gizi melalui sekolah dapat dicapai

dengan proses pendidikan gizi yang berjalan secara efektif. Heneman dkk (2008)

melalui penelitiannya berasumsi bahwa pembelajaran kesehatan yang diberikan

memerlukan setidaknya 15 jam pertemuan dalam meningkatkan pengetahuan

anak. Adapun pendidikan gizi di sekolah yang dilakukan secara ekstrakurikuler

hanya diberikan dalam rentang waktu 2 jam. Peningkatan pengetahuan yang

lebih besar dan signifikan mungkin dapat dicapai bila intervensi dilakukan secara

menyeluruh dengan memberikan seluruh materi yang sesuai dengan kurikulum

dan waktu pelaksanaannya.

Peningkatan pengetahuan gizi siswa tidak hanya dapat dilakukan melalui

pendidikan gizi yang dilakukan di sekolah. Hasil penelitian yang menunjukkan

bahwa baik tingkat pengetahuan gizi yang tinggi maupun rendah dimiliki sekolah

dengan keragaan penyelenggaraan pendidikan gizi yang baik, mengindikasikan

adanya faktor lain yang memperngaruhi tingkat pengetahuan gizi siswa selain

dari proses pendidikan di sekolah. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi hal

tersebut. Pada usia remaja tekanan dari teman sebaya lebih mendominasi dalam

perilaku gizi (Contento 2007). Akan tetapi lebih kuat dari pada itu, sebenarnya

lingkungan keluarga melalui hubungan dengan orang tua, kakak-adik, dan

tetangga dapat lebih berpengaruh dan merupakan salah satu faktor yang dapat

menambah pengetahuan seseorang (Syarief 1988). Hal ini selaras dengan hasil

penelitian Setiawati (2006) tentang peran teman sebaya dalam meningkatkan

pengetahuan siswa, ternyata tidak memiliki hubungan yang signifikan.

Lingkungan keluarga atau orang tua lebih menentukan. Selain itu media

54

komunikasi juga sangat berperan dalam meningkatkan pengetahuan gizi siswa

(Suhardjo 1989).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan