bab ii new

47
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Penyakit infeksi virus dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue I,II III dan IV, yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Infeksi virus dengue pada seorang manusia bisa menyebabkan beberapa bentuk klinis, yaitu asimptomatis (tanpa gejala), demam ringan yang tidak spesifik (undifferentiated fever), demam dengue (dengue fever), demam berdarah dengue atau DBD (dengue hemorrhagic fever), sindrom shok dengue atau DSS (Dengue Shock Syndrome). Dengue Haemorhagic Fever (DHF) adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh empat serotype virus dengue (DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4) dan secara klinis ditandai dengan adanya manifestasi demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik dan dapat berkembang menjadi renjatan (Dengue Shock Syndrome) yang berakibat fatal. (2,11) 2.2 Etiologi Virus-virus dengue ditularkan ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk 3

Upload: yelinawulan

Post on 18-Dec-2015

4 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

dhf

TRANSCRIPT

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Penyakit infeksi virus dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue I,II III dan IV, yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Infeksi virus dengue pada seorang manusia bisa menyebabkan beberapa bentuk klinis, yaitu asimptomatis (tanpa gejala), demam ringan yang tidak spesifik (undifferentiated fever), demam dengue (dengue fever), demam berdarah dengue atau DBD (dengue hemorrhagic fever), sindrom shok dengue atau DSS (Dengue Shock Syndrome). Dengue Haemorhagic Fever (DHF) adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh empat serotype virus dengue (DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4) dan secara klinis ditandai dengan adanya manifestasi demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik dan dapat berkembang menjadi renjatan (Dengue Shock Syndrome) yang berakibat fatal. (2,11) 2.2 Etiologi

Virus-virus dengue ditularkan ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk

Aedes yang terinfeksi, terutama Aedes aegypti, dan karenanya dianggap sebagai

arthropode borne virus atau arbovirus (virus yang ditularkan melalui artropoda). Terdapat tiga factor yang memegang peran pada penularan infeksi dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis, dan beberapa spesies lain dapat juga menularkan virus ini tetapi merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk aedes tersebut dapat menularkan virus dengue kepada manusia baik secara langsung yaitu setelah menggigit orang yang sedang mengalami viremia maupun secara tidak langsung setelah melalui masa inkubasi dalam tubuhnya selama 8-10 hari (extrinsic incubation period). Pada manusia diperlukan waktu 4-6 hari (intrinsic incubation period) sebelum menjadi sakit setelah virus masuk ke dalam tubuh. Pada nyamuk, sekali virus dapat masuk dan berkembang biak di dalam tubuhnya, maka nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Sedangkan pada manusia, penularan hanya dapat terjadi pada saat tubuh dalam keadaan viremia yaitu antara 3-5 hari. (4)

Gambar 1 Nyamuk Aedes Aegypti (9)Virus dengue termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam nukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106. Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. (11)2.3 Epidemiologi

Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan suatu spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness), dengue fever, DHF dan dengue shock syndrome (DSS) dengan angka mortalitas tinggi yang disebabkan renjatan dan perdarahan hebat. Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi ini dapat disamakan dengan sebuah gunung es. DHF dan DSS sebagai kasus-kasus yang dirawat di rumah sakit merupakan puncak gunung es yang kelihatan diatas permukaan laut, sedangkan kasus-kasus dengue ringan (demam dengue dan silent dengue infection) merupakan dasar gunung es. Berdasarkan jumlah kasus DBD yang dilaporkan WHO pada tahun 1991-1995, Indonesia menjadi urutan kedua setelah Thailand. Secara epidemiologi Surabaya merupakan tempat pertama kali dicurigainya kasus DBD pada tahun 1968, kemudian Jakarta pada tahun 1969 dan kemudian disusul dengan daerah-daerah yang lain. Faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya keadaan ini adalah pertumbuhan penduduk, urbanisasi, meningkatnya angkutan udara, kurang efektifnya system pemberantasan nyamuk serta memburuknya infrastruktur kesehatan masyarakat. Pada tahun 2005, Indonesia merupakan kontributor utama kasus demam berdarah dengue di Asia Tenggara (53%) dengan jumlah kasus 95.270 kasus dan 1.298 kematian. Jumlah kasus yang dilaporkan merupakan yang terbesar dalam sejarah demam berdarah dengue di Indonesia. Jumlah kejadian DBD sepanjang tahun 2007 mencapai total 139.695 kasus dengan total meninggal mencapai 1.395 kasus. Keadaan DBD pada 2007 ini meningkat lebih tinggi dibanding keadaan tahun-tahun sebelumnya. (8,12)

Gambar 2 Penyebaran Virus Dengue di dunia52.4 Patogenesa DHF

Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes Aegypti atau Aedes Albopictus. Organ sasaran dari virus adalah organ RES meliputi sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa selsel

monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer.

Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam sel tersebut. Infeksi virus dengue dimulai dengan menempelnya virus genomnya masuk ke dalam sel dengan bantuan organel organel sel, genom virus membentuk komponen-komponennya, baik komponen perantara maupun komponen struktural virus. Setelah komponen struktural dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses

perkembangan biakan virus DEN terjadi di sitoplasma sel. (7,9)

Semua flavivirus memiliki kelompok epitop pada selubung protein yang menimbulkan cross reaction atau reaksi silang pada uji serologis, hal ini menyebabkan diagnosis pasti dengan uji serologi sulit ditegakkan. Kesulitan ini dapat terjadi diantara ke empat serotipe virus DEN. Infeksi oleh satu serotip

virus DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap serotip virus tersebut, tetapi tidak ada cross protektif terhadap serotip virus yang lain. Secara in vitro antibodi terhadap virus DEN mempunyai 4 fungsi biologis: netralisasi virus;

sitolisis komplemen; Antibody Dependent Cell-mediated Cytotoxity (ADCC) dan Antibody Dependent Enhancement. Virion dari virus DEN ekstraseluler terdiri atas protein C (capsid), M (membran) dan E (envelope), sedang virus intraseluler mempunyai protein pre-membran atau pre-M. Glikoprotein E merupakan epitop penting karena : mampu membangkitkan antibodi spesifik untuk proses netralisasi, mempunyai aktifitas hemaglutinin, berperan dalam proses absorbsi pada permukaan sel, (reseptor binding), mempunyai fungsi biologis antara lain untuk fusi membran dan perakitan virion.

Antibodi memiliki aktifitas netralisasi dan mengenali protein E yang berperan sebagai epitop yang memiliki serotip spesifik, serotipe-cross reaktif atau flavivirus-cross reaktif. Antibodi netralisasi ini memberikan proteksi terhadap infeksi virus DEN. Antibodi monoclonal terhadap NS1 dari komplemen virus DEN dan antibodi poliklonal yang ditimbulkan dari imunisasi dengan NS1 mengakibatkan lisis sel yang terinfeksi virus DEN. Antibodi terhadap virus DEN secara in vivo dapat berperan pada dua hal yang berbeda :a. Antibodi netralisasi atau neutralizing antibodies memiliki serotip spesifik yang dapat mencegah infeksi virus.

b.Antibodi non netralising serotipe memiliki peran cross-reaktif dan dapat meningkatkan infeksi yang berperan dalam patogenesis DBD dan DSS.

Gambar 3 Dikutip dari CDCImunopatogenesis DBD masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang digunakan untuk menjelaskan perubahan patogenesis pada DBD dan DSS yaitu hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) dan hypothesis antibody dependent enhancement ( ADE ). (5,9)

2.4.1 Teori infeksi sekunder

Teori infeksi sekunder menyebutkan bahwa apabila seseorang mendapatkan infeksi primer dengan satu jenis virus, akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi terhadap jenis virus tersebut untuk jangka waktu yang lama. Seseorang yang pernah mendapat infeksi primer virus dengue, akan mempunyai antibody yang dapat menetralisasi yang sama (homologous).

Gambar 4 Dikutip dari CDCTetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder dengan jenis serotipe virus yang lain, maka terjadi infeksi yang berat. Pada infeksi selanjutnya, antibody heterologous yang telah terbentuk dari infeksi primer akan membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue baru dari serotipe berbeda, namun tidak dapat dinetralisasi virus baru bahkan membentuk kompleks yang infeksius.

Gambar 5 dikutip dari CDCAkibat adanya infeksi sekunder oleh virus yang heterolog (virus dengan serotipe lain atau virus lain) karena adanya non neutralising antibodi maka partikel virus DEN dan molekul antibodi IgG membentuk kompleks virus-antibodi dan ikatan antara kompleks tersebut dengan reseptor Fc gama pada sel melalui bagian Fc dari IgG menimbulkan peningkatan (enhancement) infeksi virus DEN. Kompleks virus antibodi meliputi sel makrofag yang beredar dan antibodi tersebut akan bersifat opsonisasi, internalisasi sehingga makrofag mudah terinfeksi sehingga akan teraktivasi dan akan memproduksi IL- 1, IL-6 dan TNF alpha dan juga Platelet Activating Faktor (PAF). Karena antibodi bersifat heterolog, maka virus tidak dapat di neutralisasi tetapi bebas bereplikasi di dalam makrofag.

Gambar 6 dikutip dari CDCTNF alpha baik yang terangsang INF gama maupun dari makrofag teraktivasi antigen antibody kompleks, dan selanjutnya akan menyebabkan kebocoran dinding pembuluh darah, merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endothel pembuluh darah yang mekanismenya sampai saat ini belum jelas, dimana hal tersebut akan mengakibatkan syok. Virus-Ab kompleks (kompleks imun) yang terbentuk akan merangsang komplemen, yang farmakologis cepat dan pendek. Bahan ini bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga menimbulkan kebocoran plasma (syok hipovolemik) dan perdarahan.2.4.2 Teori ADE

Pada teori kedua ADE, menyebutkan tiga hal yaitu antibodies enhance infection, T-cells enhance infection serta limfosit T dan monosit akan melepaskan sitokin yang berkontribusi terhadap terjadinya DBD dan DSS. Singkatnya secara umum ADE dijelaskan sebagai berikut, bahwa jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis virus tertentu, maka antibodi tersebut dapat mencegah penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi yang terdapat dalam tubuh merupakan antibodi yang tidak dapat menetralisasi virus, justru dapat menimbulkan penyakit yang berat. Kinetik dari kelas imunoglobulin spesifik terhadap virus dengue di dalam serum pasien DD, DBD dan DSS ternyata didominasi oleh IgM, IgG1 dan IgG3, sedangkan IgA level tertinggi dijumpai pada fase akut dari DSS. Dikatakan pula bahwa IgA, IgG1 dan IgG4 dapat digunakan sebagai marker dari risiko berkembangnya DBD dan SSD, oleh karenanya pengukuran kadar imunoglobulin tersebut sejak awal pengobatan dapat membantu mengetahui perkembangan penyakit. 2.4.3 Sistem respon imun

Setelah virus dengue masuk dalam tubuh manusia, virus berkembang biak dalam sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuiti dengan viremia yang berlangsung 5-7 hari. Akibat infeksi virus ini muncul respon imun baik humoral maupun selular, antara lain anti netralisasi, antihemaglutinin, anti komplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, pada infeksi dengue primer antibodi mulai terbentuk, dan pada infeksi sekunder kadar antibodi yang telah ada meningkat (booster effect).

Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14 sedang pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua. Oleh karena itu diagnosa dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari sakit kelima, diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibody IgG dan IgM yang cepat. (1,5,9)

Gambar 7 Patogenesa DBD2.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis infeksi virus dengue tergantung dari berbagai faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh penderita. Infeksi virus dengue pada seorang manusia bisa menyebabkan beberapa bentuk klinis: 1) Asimptomatis (tanpa gejala)

2) Undifferentiated fever

3) Demam dengue ( dengue fever) ( demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala, nyeri retroorbital, mialgia/ atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan (ptekie atau uji bendung positif), leukopenia dan pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan pasien yang sudah dikonfirmasi menderita demam dengue/ DBD pada lokasi dan waktu yang sama.

4) Demam berdarah dengue (dengue hemorrhagik fever)

Bagan 1 Manifestasi infeksi virus dengue (3,9)2.5.1 Undifferentiated fever

Bayi dan anak yang terinfeksi virus dengue untuk pertama kali (infeksi primer) mengalami demam yang sulit dibedakan dari infeksi virus lain. Ruam makulopapular dapat terjadi bersamaan dengan demam. Kalayanarooj menggunakan kriteria demam 20% setelah mendapatkan terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya

Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.

Dua kriteria pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi atau peningkatan hematokrit cukup untuk menegakkan diagnosis klinis demam berdarah dengue. (5)

Kriteria Klinik1. DemamDemam tinggi yang mendadak, terus menerus berlangsung selama 2 7 hari, naik turun (demam bifasik). Kadang kadang suhu tubuh sangat tinggi sampai 40 C dan dapat terjadi kejang. Akhir fase demam merupakan fase kritis pada demam berdarah dengue. Pada saat fase demam sudah mulai menurun dan pasien seakan sembuh hati-hati karena fase tersebut sebagai awal kejadian syok, biasanya setelah hari ketiga dari demam.2. Tanda tanda perdarahanPenyebab perdarahan pada pasien demam berdarah adalah vaskulopati, trombositopeni gangguan fungsi trombosit serta koagulasi intravasculer yang menyeluruh. a. Spontan

Jenis perdarahan terbanyak adalah perdarahan bawah kulit seperti retekia, purpura, ekimosis dan perdarahan conjuctiva. Petekia merupakan tanda perdarahan yang sering ditemukan. Muncul pada hari pertama demam tetapi dapat pula dijumpai pada hari ke 3,4,5 demam. Perdarahan lain yaitu, epistaksis, perdarahan gusi, melena dan hematemesis.

b. Dengan manipulasi, yaitu uji tourniquet

Tes ini cara awal paling sederhana bila suatu demam dicurigai sebagai infeksi dengue. Pemeriksaan ini ditujukan untuk menilai ada tidaknya gangguan vaskuler. Cara melakukannya dengan alat tensimeter, bebatan dipertahankan pada tekanan sistolik ditambah tekanan diastolik dibagi dua. Tunggu 5 menit, lalu perhatikan adakah bintik-bintik merah seperti bekas gigitan nyamuk di bagian volar tangan (jangan dibaca pada lipatan siku). Kriteria:

(+) bila jumlah petekie 20

() bila jumlah petekie 10-20

(-) bila jumlah petekie < 10

3. HepatomegaliPada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit bervariasi dari haya sekedar diraba sampai 2 4 cm di bawah arcus costa kanan. Derajat hepatomegali tidak sejajar dengan beratnya penyakit, namun nyeri tekan pada daerah tepi hepar berhubungan dengan adanya perdarahan.

4. Syok

Pada kasus ringan dan sedang, semua tanda dan gejala klinis menghilang setelah demam turun disertai keluarnya keringat, perubahan pada denyut nadi dan tekanan darah, akral teraba dingin disertai dengan kongesti kulit. Perubahan ini memperlihatkan gejala gangguan sirkulasi, sebagai akibat dari perembasan plasma yang dapat bersifat ringan atau sementara. Pada kasus berat, keadaan umum pasien mendadak menjadi buruk setelah beberapa hari demam pada saat atau beberapa saat setelah suhu turun, antara 3 7, terdapat tanda kegagalan sirkulasi, kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung jari dan kaki, sianosis di sekitar mulut, pasien menjadi gelisah, nadi cepat, lemah kecil sampai tidak teraba. Pada saat akan terjadi syok pasien sering mengeluh nyeri perut. (3,9)Berdasarkan tingkat keparahan DBD terbagi menjadi empat tingkatan, yaitu :

Derajat I : Demam disertai dengan gejala umum nonspesifik; satu-satunya manifestasi perdarahan ditunjukkan melalui uji tourniquet yang positif.

Derajat II : Selain manifestasi yang dialami pasien Tingkat I, perdarahan spontan juga terjadi biasanya dalam bentuk perdarahan kulit dan/atau perdarahan lain.

Derajat III : Kegagalan sirkulasi ditandai dengan denyut yang lemah dan cepat, penurunan tekanan denyut (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, disertai dengan kulit lembab dan dingin serta gelisah.

Derajat IV : Syok yang sangat berat dengan tekanan darah dan denyut yang tidak terdeteksi. (1,9)

Bagan 2 Spektrum Infeksi Dengue (1)

2.7 Pemeriksaan PenunjangKelainan utama pada DBD adalah adanya kebocoran plasma yang ditandai dengan adanya hemokonsentrasi yang didefinisikan sebagai HCT > 20% antara masa akut dan konvalesen. Adanya penumpukan cairan ekstravaskuler tercermin pula dalam efusi pleura dan cairan ascites atau cairan peri/para organ dalam perut, meliputi hepar, lien, kandung empedu, dan pankreas. Bila terdapat keraguan dalam menegakkan diagnosis maka untuk menentukan adanya kebocoran plasma dapat dilakukan pemeriksaan pencitraan radiologik atau USG.

Pemeriksaan radiologis

Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan

tetapi apabila terjadi pembesaran plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada

kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dilakukan dalam

posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur di sisi badan sebelah kanan). Asites

dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.Diagnosis laboratorium

Diagnosis definitif infeksi virus dengue hanya dapat dilakukan di laboratorium dengan cara, isolasi virus, deteksi antigen virus atau RNA dalam

serum atau jaringan tubuh, dan deteksi antibodi spesifik dalam serum pasien.

Diagnosis serologis

Saat ini uji serologi dengue dan IgG seringkali diminta untuk diperiksa. Pada infeksi primer, IgM akan muncul dalam darah hari ke-3, mencapai puncaknya pada hari ke-5 dan kemudian menurun serta menghilang setelah 60-90 hari. IgG baru muncul kemudian dan terus ada dalam darah. Pada infeksi sekunder, IgM pada masa akut terdeteksi pada 70% kasus, sedang sebagian besar IgG (90%), dapat terdeteksi lebih dini yaitu pada hari ke-2. Apabila ditemukan hasil IgM dan IgG negatif, tetapi gejala tetap menunjukkan kecurigaan DBD, dianjurkan untuk mengambil sampel kedua dengan jarak 3-5 hari bagi infeksi primer dan 2-3 hari bagi infeksi sekunder.

Dikenal 5 jenis uji serologis yang biasa dipakai untuk menentukan adanya

infeksi virus dengue, yaitu :

1. Uji hemaglutinasi inhibisi (Haemagglutination Inhibition test = HI test)

2. Uji komplemen fiksasi (Complement Fixation test = CF test)

3. Uji neutralisasi (Neutralization test = NT test)

4. IgM Elisa (Mac Elisa)

5. IgG Elisa

Pada dasarnya, hasil uji serologi dibaca dengan melihat kenaikan titer antibodi fase konvalesen terhadap titer antibodi fase akut (naik empat kali kelipatan atau lebih).

1. Uji hambatan hemaglutinasi (Haemagglutination Inhibition test = HI test).

Diantara uji serologis yang tersebut di atas, uji HI adalah uji serologis yang paling sering dipakai dan dipergunakan sebagai baku emas pada pemeriksaan serologis. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan pada uji HI ini.

a. Uji HI ini sensitif tetapi tidak spesifik, artinya dengan uji serologis ini tidak

dapat menunjukkan tipe virus yang menginfeksi.

b. Antibodi HI bertahan di dalam tubuh sampai lama sekali (> 48 tahun), maka

uji ini baik dipergunakan pada studi sero-epidemiologi.

c. Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen empat kali lipat dari titer

serum akut atau titer tinggi (> 1280) baik pada serum akut atau konvalesendianggap sebagai presumptive positif, atau diduga keras positif infeksi dengue yang baru terjadi (recent dengue infection).

2. Uji komplemen fiksasi (Complement Fixation test = CF test)

Uji komplemen fiksasi jarang dipergunakan sebagai uji diagnostik secara rutin, oleh karena selain cara pemeriksaan agak ruwet prosedurnya juga memerlukan tenaga pemeriksa yang berpengalaman. Berbeda dengan antibodi HI, antibodi komplemen fiksasi hanya bertahan beberapa tahun saja (sekitar 2 sampai 3 tahun).

3. Uji neutralisasi (Neutralization test = NT)

Uji neutralisasi (NT) adalah uji serologi yang paling spesifik dan sensitive untuk virus dengue. Biasanya uji neutralisasi memakai cara yang disebut Plaque Reduction Neutralization Test (PRNT) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari

plaque yang terjadi. Saat antibodi neutralisasi dapat dideteksi dalam serum hampir

bersamaan dengan HI antibodi tetapi lebih cepat dari antibodi komplemen fiksasi

dan bertahan lama (> 48 tahun). Uji neutralisasi juga rumit dan memerlukan waktu yang cukup lama sehingga tidak dipakai secara rutin.4. IgM Elisa (IgM captured Elisa = Mac. Elisa)

Mac Elisa pada tahun terakhir ini merupakan uji serologi yang banyak

sekali dipakai. Mac Elisa adalah singkatan dari IgM captured Elisa. Sesuai

namanya, tes tersebut akan mengetahui kandungan IgM dalam serum pasien.

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada uji Mac Elisa, yaitu:

a. Pada perjalanan penyakit hari 4-5 infeksi virus dengue, akan timbul IgM yang

kemudian diikuti dengan IgG.

b. Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, secara cepat dapat ditentukan

diagnosis yang tepat.

c. Ada kalanya hasil uji terhadap IgM masih negatif, dalam hal seperti ini perlu

diulang.

d. Apabila hari sakit ke-6 IgM masih negatif, maka dilaporkan sebagai negatif.

e. Perlu dijelaskan di sini bahwa IgM dapat bertahan di dalam darah sampai 2-3

bulan setelah adanya infeksi. Untuk memperjelas hasil uji IgM dapat pula dilakukan uji terhadap IgG. Mengingat alasan tersebut di atas maka uji IgM tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya uji diagnostik untuk pengelolaan kasus.

f. Uji Mac Elisa mempunyai sensitifitas sedikit di bawah uji HI, dengan kelebihan uji Mac Elisa hanya memerlukan satu serum akut saja dengan spesifisitas yang sama dengan uji HI. Pada saat ini juga telah beredar uji IgG Elisa yang sebanding dengan uji HI, hanya sedikit lebih spesifik. Beberapa merek dagang kit uji untuk infeksi dengue sepeti IgM/IgG dengue blot, dengue rapid IgM/IgG, IgM Elisa, IgG Elisa, yang telah beredar di pasaran.

Test dengue blot IgG, bila positif, berarti pernah DBD saat lampau,

Test dengue blot IgM, bila positif, berarti saat ini sedang DBD, namun

sayangnya selain biayanya mahal juga dapat deteksi bila infeksi virus sudah lebih dari 5 hari, maka tak jarang test ini diulang hari berikutnya bila hasilnya negatif.

Isolasi virusDarah beku atau darah yang dicampur dengan heparin yang diperoleh dari seorang pasien di saat awal perjalanan penyakitnya diperbolehkan untuk pemeriksaan isolasi virus. Serum atau plasma sebaiknya dipisahkan dan segera dipakai atau disimpan pada suhu negatif 60C atau lebih rendah sampai dipakai. Untuk penyimpanan jangka pendek, bahan dapat disimpan pada 4-8C selama 24 jam.Ada beberapa cara isolasi dikembangkan, yaitu :

a. Inokulasi intraserebral pada bayi tikus albino umur 1-3 hari.

b. Inokulasi pada biakan jaringan mamalia (LLCMK2) dan nyamuk Aedes albopictus.

c. Inokulasi pada nyamuk dewasa secara intratorasik/intraserebral pada larva.

Identifikasi virus

Adanya pertumbuhan virus dengue dapat diketahui dengan melakukan fluorescence antibody technique test secara langsung atau tidak langsung dengan technique test secara indirek dengan menggunakan antibodi monoclonal. (9)2.8 PenatalaksanaanDemam Dengue

Pada dasarnya perawatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dapat dirawat di ruang perawatan biasa, tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Untuk dapat merawat pasien DBD dengan baik, diperlukan dokter dan perawat yang terampil, sarana laboratorium yang memadai, cairan kristaloid dan koloid, serta bank darah yang senantiasa siap jika diperlukan. Diagnosis dini dan memberikan nasehat untuk segera dirawat bila terdapat tanda shock merupaka hal penting untuk mengurangi angka kematian.Pasien demam dengue dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat pada fase demam, pasien dianjurkan:

Tirah baring selama masih demam

Obat antipiretik atau kompres dingin diberikan bila diperlukan. Untuk menurunkan suhu < 39C dianjurkan pemberian parasetamol. Asetosal atau salisilat merupakan kontra indikasi karena dapat menyebabkan perdarahan, gastritis, atau asidosis.

Pada pasien dewasa, analgetik atau sedatif ringan kadang-kadang diperlukan untuk mengurangi sakit kepala, nyeri otot atau sendi.

Pemberian cairan dan elektrolit per oral

Monitor suhu, jumlah trombosit serta kadar hematokrit sampai normal kembali.

Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan. Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang dapat terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena kemungkinan kita sulit membedakan antara DD dan DBD pada fase demam. Perbedaan akan tampak jelas pada saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi (syok). Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa disertai gejala shock. Oleh karena itu, orang tua atau pasien dinasehati bila terasa nyeri perut hebat, buang air besar hitam, atau terdapat perdarahan kulit serta mukosa seperti mimisan, perdarahan gusi, apalagi bila disertai berkeringat dan kulit dingin, hal tersebut merupakan tanda kegawatan, sehingga harus segera dibawa ke rumah sakit. (5,9)

Demam Berdarah Dengue

Ketentuan umum

Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD dan penyakit lain, ialah adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Gambaran klinis DBD/SSD sangat khas, yaitu demam tinggi mendadak, diatesis hemorhagik, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagaimana mendeteksi secara dini fase kritis, yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Prognosis DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma, yang dapat diketahui dari peningkatan kadar hematokrit dan penurunan jumlah trombosit. Fase kritis pada umumnya terjadi pada hari sakit ketiga. Penurunan jumlah trombosit sampai 201500 + 20 x kg (diatas 20 kg)

Table. 1 Kebutuhan cairan rumatan

Misalnya untuk anak berat badan 40 kg, maka cairan rumatan adalah 1500 + (20x20) = 1900 ml. jumlah cairan rumatan diperhitungkan untuk 24 jam. Oleh karena kecepatan dan kehilangan plasma tidak konstan (perembesan plasma terjadi lebih cepat saat suhu turun), maka volume cairan pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dan kehilangan plasma, yang dapat diketahui dari pemantauan kadar hematokrit. Perlu mendapat perhatian bahwa penggantian volume yang berlebihan dan terus menerus setelah perembesan plasma berhenti akan mengakibatkan distress pernapasan sebagai akibat udem paru. Demikian pula pada saat konvalessen terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular, akan menyebabkan edema paru dan distress pernapasan apabila cairan intravena tetap diberikan.

Pasien harus segera dirawat dan segera diobati bila dijumpai tanda-tanda shock yaitu gelisah, letargi/lemah, ekstremitas dingin, sianosis, oliguri, dan nadi lemah, tekanan nadi menyempit (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, dan peningkatan mendadak kadar hematokrit atau kadar hematokrit yang meningkat terus-menerus walaupun telah diberi cairan intravena. (1,3)

Bagan 3 Penatalaksanaan DHF Grade I/II

Bagan 4 Penatalaksanaan DHF Grade III

Bagan 5 Penatalaksanaan DHF Grade IV

Sindrom Shock Dengue

Shock merupakan keadaan kegawatan . cairan pengganti adalah pengobatan yang utama, yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak akan cepat mengalami shock dan sembuh kembali bila diobati segera dalam 48 jam.

Penggantian volume plasma segera

Pengobatan awal cairan intravena dengan larutan kristaloid 20 ml/kg BB dengan tetesan secepatnya (diberikan secara bolus selama 30 menit). Apabila shock belum dapat teratasi dan atau keadaan klinis memburuk setelah 30 menit pemberian cairan awal, cairan diganti dengan koloid (dekstran 40 atau plasma) 10-20 ml/ kg BB /jam, dengan jumlah maksimal 30 ml/kg BB. Setelah terjadi perbaikan, segera cairan ditukar kembali dengan kristaloid tetesan 20 ml/ kg BB. Apabila setelag pemberian cairan resusitasi kristaloid dan koloid shock masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun, diduga telah terjadi perdarahan, maka dianjurkan pemberian transfuse darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap tinggi, maka berikan darah dalam volume kecil (10 ml/kg BB/jam), tetapi apabila terjadi perdarahan massif berikan 20 ml/ kg BB. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan cairan kristaloid dikurangi bertahap sesuai dengan keadaan klinis dan kadar hematokrit.

Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital membaik dan kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kgBB/jam, dan kemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam. Pemasangan CVP kadang kala diperlukan pada pasien SSD berat, guna mengetahui kebutuhan cairan. Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun, sekitar 40%. Jumlah urin 2 ml/ kg BB / jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaan sirkulasi membaik. Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam sejak shock teratasi. Apabila tetap diberikan pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit setelah pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia, dengan akibat terjadi edema paru dan gagal jantung. Penurunan hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal, dieresis cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi.Ensefalopati denguePada ensefalopati cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila shock telah teratasi, cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HCO3, dan jumlah cairan segera dikurangi. Larutan ringer laktat dekstrose segera ditukar dengan larutan NaCl 0,9% : glukosa 5% = 3:1. Untuk mengurangi edema otak diberikan kortikosteroid, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan, maka diberikan vitamin K intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan > 60 mg%, mencegah terjadinya peningkatan tekanan intracranial dengan mengurangi jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan napas dengan pemberian oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak dapat diberikan neomisin dan laktulosa. Pada DBD ensefalopati mudah terjadi infeksi bakteri sekunder, maka untuk mencegah dapat diberikan antibiotik profilaksis (kombinasi ampisilin 100 mg/kgBB/hari + kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari). Usahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antacid, antiemetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati. Transfusi darah segar atau komponen dapat diberikan atas indikasi yang tepat. Bila diperlukan, pada masa penyembuhan dapat diberikan asam amino rantai pendek.

Koreksi Elektrolit dan Kelainan Metabolik

Pada kasus yang berat, hiponatremia dan asidosis metabolik sering dijumpai, oleh karena itu kadar elektrolit dan gas dalam darah sebaiknya ditentukan secara teratur terutama pada kasus dengan renjatan yang berulang. Kadar kalium dalam serum kasus yang berat biasanya rendah, terutama kasus yang memperoleh plasma dan darah yang cukup banyak. Kadang-kadang terjadi hipoglikemia.

Transfusi Darah

Penderita yang menunjukkan gejala perdarahan seperti hematemesis dan melena diindikasikan untuk memperoleh transfusi darah. Darah segar sangat berguna untuk mengganti volume masa sel darah merah agar menjadi normal.

Kelainan Ginjal

Dalam keadaan syok, harus yakin benar bahwa penggantian volume intravaskular telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum mencukupi 2 ml/kgBB/jam sedangkan cairan yang diberikan sudah sesuai kebutuhan, maka selanjutnya furasemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan tetap dilakukan untuk jumlah diuresis, kadar ureum dan kreatinin. Tetapi apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok juga belum dapat dikoreksi dengan baik, maka pemasangan CVP (central venous pressure) perlu dilakukan untuk pedoman pemberian cairan selanjutnya.

Monitoring

Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah:

Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi.

Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai keadaan klinis pasien stabil. Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan, jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah mencukupi.

Jumlah dan frekuensi diuresis. (9)

Indikasi untuk Hospitalisasi :

Hospitalisasi untuk terapi cairan intravena bolus mungkin perlu dimana dehidrasi signifikan (10% dari berat badan normal) telah terjadi dan diperlukan penambahan volume cepat. Tanda-tanda dehidrasi signifikan meliputi :

Takikardia

Peningkatan masa pengisian kapiler (2 detik)

Kulit dingin, belang atau pucat

Penurunan nadi perifer

Perubahan pada status mental

Oliguria

Peningkatan tiba-tiba hematokrit atau peningkatan hematokrit secara kontinyu meskipun telah dilakukan pemberian cairan

Penyempitan tekanan nadi ( 50.000/l

Tidak dijumpai distress pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis) (3)2.9 Komplikasi DBDa. Ensefalopati Dengue

Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan dengan pendarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok. Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi penyebab terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara, maka kemungkinan dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh darah otak, sementara sebagai akibat dari koagulasi intravaskular yang menyeluruh. Dilaporkan bahwa virus dengue dapat menembus sawar darah-otak.

Dikatakan pula bahwa keadaan ensefalopati berhubungan dengan kegagalan

hati akut.b. Kelainan ginjal

Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik walaupun jarang. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati dengan menggantikan volume intravaskular, penting diperhatikan apakah benar syok telah teratasi dengan baik. Diuresis merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan untuk mengetahui apakah syok telah teratasi. Diuresis diusahakan > 1 ml / kg berat badan/jam. Oleh karena bila syok belum teratasi dengan baik, sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada keadaan syok berat sering kali dijumpai acute tubular necrosis, ditandai penurunan jumlah urin dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.c. Udem paru

Udem paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan udem paru oleh karena perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskuler, apabila cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan gambaran udem paru pada foto rontgen dada. (3,5,9)2.10 Diagnosa Bandinga. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi bakteri, virus, atau infeksi protozoa, seperti demam tifoid, campak, influenza, hepatitis, demam chikungunya, leptospirosis dan malaria. Adanya trombositopenia yang jelas disertai hemokonsentrasi dapat membedakan antara Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan penyakit lain.

b. DBD harus dibedakan pada Demam Chikungunya (DC). Pada DC biasanya seluruh anggota keluarga dapat terserang dan penularannya mirip dengan influenza. Bila dibandingkan dengan DBD, DC memperlihatkan serangan demam mendadak, masa demam lebih pendek, suhu lebih tinggi, hampir selalu disertai ruam makulopapular, injeksi konjungtiva dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji tourniquet positif, petekie dan epistaksis hampir sama dengan DBD. Pada DC tidak ditemukan perdarahan gastrointestinal dan syok.

c. Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit infeksi, misalnya sepsis, meningitis meningokokus. Pada sepsis, anak sejak semula kelihatan sakit keras berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda infeksi. Di samping itu jelas terdapat leukositosis disertai dominasi sel polimorfonuklear (pergeseran ke kiri pada hitung jenis). Pemeriksaan Laju Endap Darah (LED) dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi bakteri dengan virus. Pada meningitis meningokokus jelas terdapat gejala rangsangan meningeal dan kelainan pada pemeriksaan cairan serebrospinalis.

d. Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD derajat II, oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari-hari pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan dengan penyakit DBD, tetapi pada ITP demam cepat menghilang, tidak dijumpai hemokonsentrasi, dan pada fase penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih cepat kembali normal daripada ITP.

e. Perdarahan dapat juga terjadi pada leukemia atau anemia aplastik. Pada leukemia, demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan anak sangat anemis. Pemeriksaan darah tepi dan sumsum tulang akan memperjelas diagnosis leukemia. Pada anemia aplastik anak sangat anemik, demam timbul karena infeksi sekunder. Pada pemeriksaan darah ditemukan pansitopenia (leukosit, hemoglobin dan trombosit menurun). Pada pasien dengan perdarahan hebat, pemeriksaan foto toraks dan/atau kadar protein dapat membantu menegakkan diagnosis, pada DBD ditemukan efusi pleura dan hipoproteinemia sebagai tanda perembesan plasma.BAB III

KESIMPULAN

1. Demam berdarah dengue (DBD) ialah penyakit infeksi akut yang ditularkan oleh serangga (arthropoda) dan disebabkan oleh virus dengue yang digolongkan arthropode borne virus (arbovirus), memiliki empat serotype, yaitu (DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4).2. Vektor utama dengue di Indonesia adalah Aedes Aegypti.

3. Gejala utama demam berdarah dengue (DBD) adalah demam, pendarahan, hepatomegali dan syok.

4. Kriteria diagnosis terdiri dari kriteria klinis dan kriteria laboratoris. Dua kriteria klinis ditambah trombositopenia dan peningkatan hematokrit cukup untuk menegakkan diagnosis demam berdarah dengue.

5. Penatalaksanaan demam berdarah dengue bersifat simtomatis yaitu mengobati gejala penyerta dan suportif dengan mengganti cairan yang hilang.

3