bab ii new

10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PCR (Polymerase Chain Reaction) Reaksi berantai polimerase (Polymerase Chain Reaction, PCR) adalah suatu metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan cara in vitro. Metode ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1985 oleh Kary B. Mullis seorang peneliti di perusahaan CETUS Corporation. Metode ini sekarang telah banyak digunakan untuk berbagai macam manipulasi dan analisis genetik. Pada awal perkembangannya metode ini hanya digunakan untuk melipatgandakan molekul DNA, tetapi kemudian dikembangkan lebih lanjut sehingga dapat digunakan pula untuk melipatgandakan dan melakukan kuantitasi molekul mRNA (Yuwono, 2006). Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah cara in vitro untuk memperbanyak target sekuen spesifik AN untuk analisis cepat atau karakterisasi, walaupun material yang digunakan pada awal pemeriksaan sangat sedikit. Pada dasarnya PCR meliputi tiga perlakuan yaitu:denaturisasi, hibridisasi dari "primer" sekuen DNA pada bagian tertentu yang diinginkan, diikuti dengan perbanyakan bagian tersebut oleh Tag polymerase; dikerjakan dengan mengadakan campuran reaksi dalam tabung mikro yang kemudian diletakkan pada blok pemanas yang telah diprogram pada seri temperatur yang diinginkan (Prijanto, 1992).

Upload: amalia-shalihah

Post on 24-Oct-2015

21 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II new

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. PCR (Polymerase Chain Reaction)

Reaksi berantai polimerase (Polymerase Chain Reaction, PCR) adalah suatu metode

enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu

dengan cara in vitro. Metode ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1985 oleh Kary B.

Mullis seorang peneliti di perusahaan CETUS Corporation. Metode ini sekarang telah

banyak digunakan untuk berbagai macam manipulasi dan analisis genetik. Pada awal

perkembangannya metode ini hanya digunakan untuk melipatgandakan molekul DNA, tetapi

kemudian dikembangkan lebih lanjut sehingga dapat digunakan pula untuk melipatgandakan

dan melakukan kuantitasi molekul mRNA (Yuwono, 2006).

Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah cara in vitro untuk memperbanyak target

sekuen spesifik AN untuk analisis cepat atau karakterisasi, walaupun material yang

digunakan pada awal pemeriksaan sangat sedikit. Pada dasarnya PCR meliputi tiga perlakuan

yaitu:denaturisasi, hibridisasi dari "primer" sekuen DNA pada bagian tertentu yang

diinginkan, diikuti dengan perbanyakan bagian tersebut oleh Tag polymerase; dikerjakan

dengan mengadakan campuran reaksi dalam tabung mikro yang kemudian diletakkan pada

blok pemanas yang telah diprogram pada seri temperatur yang diinginkan (Prijanto, 1992).

Gambar 2.1. Mesin PCR (Mumm, 2011).

Page 2: BAB II new

2.2. Prinsip Kerja PCR

Reaksi pelipatgandaan suatu fragmen DNA dimulai dengan melakukan denaturasi

DNA template (cetakan) sehingga rantai DNA yang berantai ganda akan terpisah menjadi

rantai tunggal. Denaturasi DNA dilakukan dengan menggunakan panas (950C) selama 1-2

menit, kemudian suhu diturunkan menjadi 550C sehingga primer akan “menempel”

(annealing) pada cetakan yang telah terpisah menjadi rantai tunggal. Primer akan membentuk

jembatan hidrogen dengan cetakan pada daerah sekuen yang komplomenter dengan sekuen

primer. Suhu 550C yang digunakan untuk penempelan primer pada dasarnya merupakan

kompromi. Amplifikasi akan lebih efisien jika dilakukan pada suhu yang lebih rendah (370C)

tetapi biasanya akan terjadi misspriming yaitu penempelan primer pada tempat yang salah.

Pada suhu yang lebih tinggi (550C) spesifisitas reaksi amplifikasi akan meningkat, tetapi

secara keseluruhan efisiensinya akan menurun. Reaksi ini dilakukan berulang-ulang sampai

25-30 kali (siklus) sehingga pada akhir siklus akan didapatkan molekul-molekul DNA rantai

ganda yang baru hasil polimerasi dalam jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan jumlah

DNA cetakan yang digunakan (Yuwono, 2006).

Proses pelipatgandaan DNA oleh PCR ini meliputi tiga tahapan proses utama, yaitu

(Sopian,2006; Sudjadi, 2008):

1. Proses pertama melepaskan rantai ganda DNA menjadi dua rantai tunggal DNA melalui

proses denaturasi. Proses denaturasi DNA dilakukan dengan cara menaikkan suhu sampai

95oC. Sebelum proses denaturasi ini, biasanya diawali dengan proses denaturasi inisial

untuk memastikan rantai DNA telah terpisah sempurna menjadi rantai tunggal.

2. Proses kedua adalah annealing atau pemasangan 2 rantai primer pada kedua rantai DNA

tersebut. Primer berfungsi sebagai pancingan awal dalam pelipatgandaan segmen DNA.

Primer terdiri dari 18 - 24 deret basa nukleotida pengode DNA [adenine (A), guanin (G),

sitosin (C), dan timin (T)] yang disintesis secara artifisial dan biasanya dapat dipasangkan

dengan DNA yang akan dideteksi. Proses pemasangan primer dengan DNA yang akan

dideteksi ini membutuhkan suhu optimum sesuai kebutuhan primer tersebut. Biasanya

dengan cara menurunkan suhu antara 37°C-60°C.

3. Proses ketiga disebut ekstension atau perpanjangan. Pada proses ini deoksiribonukleotida

trifosfat (dNTP), yang sebelumnya telah ditambahkan dalam pereaksi, menyebabkan

primer yang tadinya hanya 18 sampai 24 deret basa nukleotida akan memperoleh

tambahan basa nukleotida yang terdapat di dNTP dan kemudian menjadi sepanjang

segmen DNA yang dilipatgandakan itu. Proses ini dibantu oleh adanya enzim DNA

Page 3: BAB II new

polimerase dan enzim ini bekerja optimum pada suhu 72oC. dNTP merupakan kumpulan

4 jenis basa nukleotida (A,G,C, dan T) yang terikat pada 3 gugus fosfat dan masing-

masing berdiri bebas sampai enzim DNA polimerase mengkatalis pengikatan nya pada

primer. Setelah siklus PCR berakhir, proses final extension dilakukan selama 5-15 menit

pada suhu yang sama dengan proses ekstensi untuk menjamin semua rantai tunggal DNA

telah penuh terbentuk. Ketiga proses ini dilakukan berulang-ulang sampai jumlah

kelipatan segmen DNA sesuai dengan kebutuhan.

Gambar 2.2. Gambaran skematik proses PCR. (1) Denaturasi pada suhu 94–96 °C. (2) Annealing pada suhu ~65 °C (3) Elongsi pada

suhu 72 °C. Garis biru merepresentasikan DNA template dari primer (panah merah) yang diperpanjang oleh DNA polymerase (lingkaran hijau muda), untuk memberikan produk DNA

pendek (garis hijau), yang digunakan sebagai template saat PCR berlangsung (Madeleine, 2013).

Page 4: BAB II new

2.3. Komponen PCR

Ada 2 komponen terpenting dari reaksi PCR, yaitu sekuen DNA pendek atau sisi area

yang akan dikopi. Tindakan utama adalah untuk mengidentifikasi atau menentukan target dari

cetakan DNA yang akan dikopi. Yang mengendalikan reaksi PCR adalah oligonukleotida

yang diciptakan secara kimiawi dan ditambahkan dalam konsetrasi yang tinggi ke dalam

cetakan DNA. Beberapa pengetahuan tentang rangkaian DNA yang tercetak dibutuhkan

untuk rangkaian primer yang sesuai.Komponen lain dari reaksi PCR terdiri dari kerangka

DNA yang akan dicetak, membangun blok dengan membentuk ke empat nukleutida, dan

DNA polimerase bergabung dengan blok pada dasar dari rangkaian kerangka DNA. Ketika

menset sample yang berisi beberapa primer dan reaksi komponen, ini biasa untuk

mempersiapkan campuran sempurna yang dapat memberikan kuantitas sama pada PCR lain.

Prosedur ini membantu untuk memastikan adanya homogenitas di antara sampel-sampel.

Dalam melakukan percobaan terhadap sampel yang berbeda-beda, utamanya harus

memeriksa variasi dari sampel DNA dengan tidak ada perbedaan pada reaksi komponen dan

cara pengolahan sampel (Anonim, 2011).

Empat komponen utama pada proses PCR adalah (1) DNA cetakan, yaitu fragmen DNA

yang dilipatgandakan, (2) oligonukleotida primer yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek

(15-25 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA, (3)

deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP) terdiri atas dATP, dCTP, dGTP, dTTP, dan (4) enzim

DNA polymerase yaitu enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA.

Komponen lain yang juga penting adalah senyawa buffer (Yuwono, 2006).

2.4. Pengembangan Teknik PCR

2.4.1. Reverse Trancriptase PCR (RT-PCR)

Teknik ini dikembangkan untuk melakukan analisis terhadap molekul RNA hasil

transkripsi yang terdapat dalam jumlah sangat sedikit di dalam sel. Sebelum teknik ini

dikembangkan, analisis terhadap molekul mRNA biasanya dilakukan  dengan metode

hibridisasi In Situ, northern blot, dot blot, atau slot blot, analisis menggunakan S1 nuklease,

atau dengan metode pengujian proteksi RNAse (RNAse protection assay). Teknik RT-PCR

dikembangkan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan metode PCR yang lain. RNA tidak

dapat digunakan sebagai cetakan pada teknik PCR, oleh karena itu perlu dilakukan proses

transkripsi balik (reverse transcription) terhadap molekul mRNA sehingga diperoleh molekul

Page 5: BAB II new

cDNA (complementary DNA). Molekul cDNA tersebut kemudian digunakan sebagai cetakan

dalam proses PCR. Teknik RT-PCR ini sangat berguna untuk mendeteksi ekspresi gen, untuk

amplifikasi RNA sebelum dilakukan cloning dan analisis, maupun untuk diagnosis agensia

infektif maupun penyakit genetik (Rosenthal, 1992).

Teknik RT-PCR memerlukan enzim transcriptase balik (DNA polymerase) yang bisa

menggunakan molekul DNA (cDNA) sebagai cetakan untuk menyintesis molekul cDNA

yang komplementer dengan molekul RNA tersebut. Beberapa enzim yang bisa digunakan

antara lain mesophilic viral reverse transcriptase (RTase) yang dikode oleh virus avian

myoblastosis (AMV) maupun oleh virus moloney murine leukemia (M-MuLV), dan Tth

DNA polymerase. RTase yang dikode oleh AMV maupun M-MuLV bersifat sangat prosesif

dan mampu menyintesis cDNA sampai sepanjang 10 kb, sedangkan Tth DNA polymerase

mampu menyintesis cDNA sampai sepanjang 1-2 kb. Reaksi transkripsi balik dapat dilakukan

dengan menggunakan beberapa macam primer yaitu (Komminoth dan Long, 1995):

a. Oligo(dT) sepanjang 12-18 nukleotida yang akna melekat pada ekor poli (A)pada ujung

3’ mRNA mamalia. Primer semacam ini pada umumnya akan menghasilkan cDNA yang

lengkap.

b. Heksanukleotida acak yang akan melekat pada cetakan mRNA yang komplementer pada

bagian manapun. Primer semacam ini akan menghasilkan cDNA yang tidak lengkap

(parsial).

c. Urutan nukleotida spesifik yang dapat digunakan secara selektif untuk menyalin mRNA

tertentu.

2.4.2 PCR In Situ

Analisis DNA atau lumRNA hasil transkripsi dapat dilakukan dengan berbagai macam

cara, misalnya hibridisasi DNA : RNA atau DNA : DNA, dengan sistem dot blot atau slot

blot. Analisis dapat dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan isolasi DNA atau mRNA

dari sel atau jaringan, atau dengan metode yang lebih maju yaitu dengan analisis langsung sel

pada jaringan yang bersangkutan tanpa harus melakukan isolasi DNA atau mRNA terlebih

dahulu. Teknik semacam ini dikenal sebagai In Situ Hybridisation (hibridisasi In Situ).

Teknik ini memerlukan molekul RNA atau DNA target dalam jumlah paling tidak 20 kopi

dalam satu sel agar dapat terdeteksi. Oleh karena itu, teknik hibridisasi-hibridisasi In Situ

paling sering digunakan untuk analisis mRNA karena jumlahnya per sel pada umumnya lebih

Page 6: BAB II new

banyak dibandingkan dengan DNA. Jumlah genom virus laten yang menginfeksi suatu sel

misalnya, seringkali hanya terdiri atas beberapa kopi. Demikian pula mutasi gen, translokasi

kromosom dan perubahan patologis awal seringkali hanya melibatkan beberapa kopi sekuen

nukleotida sehingga akan sukar dideteksi dengan teknik hibridisasi In Situ. Oleh karena itu,

untuk analisis molekul DNA yang jumlah kopinya sangat sedikit di dalam sel, harus

dilakukan amplifikasi terlebih dahulu secara In Situ. Teknik yang mengombinasikan

amplifikasi PCR dengan hibridisasi In Situ dikenal sebagai teknik PCR In Situ (Komminoth

dan Long, 1995).

Teknik PCR in situ telah berkembang (Gu, 1995) sehingga sekarang terdapat empat

variasi, yaitu (1) PCR in situ langsung, (2) PCR in situ tidak langsung. (3) RT-PCR in situ,

dan (4) 3SR (self-sustainded sequence replication reaction). RT-PCR in situ adalah PCR in

situ dengan menambahkan reaksi transkripsi balik (reverse transcription), sedangkan teknik

3SR adalah teknik amplifikasi mRNA in vitro dengan menggunakan tiga macam enzim, yaitu

transkriptase balik AMV, T7 RNA polimerase, dan Rnase H yang berasal dariEscherichia

coli. Dengan metode ini dapat dilakukan proses transkripsi balik dan reaksi transkripsi untuk

menggandakan RNA melalui hibrid RNA/DNA dan cDNA. Metode ini dikembangkan oleh

Ingenborg Zehbe dan kawan-kawan sebagai alternatif terhadap metode RT-PCR untuk

deteksi RNA dengan jumlah kopi yang sangat kecil. Metode ini pada dasarnya tidak seperti

metode PCR karena semua reaksi dilakukan pada suhu 42˚C dan tidak memerlukan

alat thermocycler.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Nested PCR. http://id.wikipedia.org/wiki/Nested_PCR. Diakses 29 November

2011.

Gu, J. 1995. In Situ PCR-An Overview. In: Jiang Gu (Ed.). In Situ PCR and Related

Technology. Birkhauser Boston.

Komminoth, P., Long, A.A. (1995) In situ polymerase chain reaction and its applications to

the study of endocrine diseases. Endocr Pathol 6:167–171.

Prijanto, Muljati. 1992. Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk Diagnosis Human

Immunodeficiency Virus (HIV). (http://www.pcr.htm). Diakses 1 Desember 2011.

Page 7: BAB II new

Rosenthal, A. 1992. PCR Amplification techniques for chromosome walking. TIBTECH

10:44-48.

Sopian,T. 2006. Aplikasi Teknologi PCR mendeteksi Flu Burung (online),

(http://64.203.71.11/Kompas-cetak, diakses 17 Mei 2008)

Sudjadi. 2008. Bioteknologi Kesehatan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.Hal: 94-99 dan hal:

131-143

Yuwono, T., 2006. Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reaction. Penerbit Andi.

Yogyakarta.