bab ii new

71
muka air. Gambar 3.1 dan 3.2 menunjukkan saluran air (flume) digunakan untuk mengalihkan aliran air selama konstruksi pada bendungan tipe urugan dan bendungan beton. Pada berbagai kasus, halangan (barrier) yang dibangun melintang atau memanjang sungai sehingga pada lokasi (site) bendungan bisa kering dari air dan konstruksi bisa dibuat tanpa halangan. Gambar 3.1 Flume pengelak sementara yang dibuat pada bendungan tipe urugan Sumber : Design of Small Dams, 1987; 492

Upload: aditya-arga-yusandinata

Post on 05-Sep-2015

260 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

ghghg

TRANSCRIPT

Bab III

muka air. Gambar 3.1 dan 3.2 menunjukkan saluran air (flume) digunakan untuk mengalihkan aliran air selama konstruksi pada bendungan tipe urugan dan bendungan beton. Pada berbagai kasus, halangan (barrier) yang dibangun melintang atau memanjang sungai sehingga pada lokasi (site) bendungan bisa kering dari air dan konstruksi bisa dibuat tanpa halangan.

Gambar 3.1 Flume pengelak sementara yang dibuat pada bendungan tipe urugan

Sumber : Design of Small Dams, 1987; 492

Gambar 3.2 Flume pengelak sementara yang digunakan selama masa konstruksi pada bendungan beton. Horsetooth Feeder Canal Tunnel No. 1. CBT 245-704-330

Sumber : Design of Small Dams, 1987; 493 2.2.3.1 Terowongan (Tunnels)

Biasanya tidak cocok untuk melakukan pekerjaan pondasi yang cukup besar pada ngarai yang menyempit (narrow canyon) sebelum aliran telah terelakkan. Dalam kondisi ini penggunaan terowongan terbuki paling cocok untuk pengelakkan aliran, baik untuk bendungan tipe urugan maupun beton. Aliran sungai dilewatkan/ diteruskan mengelilingi area konstruksi melalui terowongan di satu atau kedua pangkal bendungan (abutment). Jika terowongan pelimpah atau terowongan outlet akan dibuat pada desain bendungan, penggunaan terowongan pelimpah/ outlet sudah terbukti nilai ekonomis dari penggunaannya dalam perencanaan bangunan pengelak. Jika bagian hulu dari terowongan permanen berada di atas elevasi dasar sungai, sebuah saluran pengelak sementara (temporary adit) di hillir bisa dibuat untuk menghasilkan sebuah terusan muka air (stream-level bypass). Gambar 3.3 Menunjukkan sebuah saluran (adit), yang dikonstruksi di Seminoe Dam yang dibuat untuk mengelakkan air melewati terowongan pelimpah.

Gambar 3.3 Saluran Pengelak dan Cofferdam Hulu di Seminoe Dam

Sumber : Design of Small Dams, 1987; 496

Jika ada bangunan terowongan outlet pada sungai, terutama pada bendungan tipe urugan, pada umumnya digunakan untuk pengelak.. normalnya, bangunan terowongan pengelak diletakkan pada elevasi di dekat level elevasi sungai. Jika tower atau drop inlet digunakan, maka saluran sementara (temporary adit) di hulu sebagai dasar dari struktur intake perlu dibuat. Setelah fungsi pengelakan selesai, saluran (adit) ini ditutup dengan pintu atau sekat, dan penyumbat dari beton yang dipasang di struktur intake sebagai penutup permanen.

Terowongan pengelak sementara yang bukan merupakan pelimpah atau bangunan outlet dapat diberi lining atau tidak diberi lining. Kelayakan pemberian lining pada terowongan pengelak tergantung pada; (1) biaya dari terowongan yang di-lining dibandingkan dengan terowongan tanpa lining dengan kapasitas yang sama (2) kondisi asli dari batuan di dalam terowongan, terutama jika terowongan tersebut dapat tetap berdiri dengan tanpa topangan dan tanpa perlindungan selama dialiri oleh aliran elakan (3) permeabilitas dari material sepanjang terowongan, hal ini bisa mengakibatkan beberapa kebocoran melalui atau sekitar pangkal bendungan (abutment).

2.2.3.2 Conduits

Bangunan outlet pada bendungan tipe urugan seringkali memerlukan sebuah conduit yang bisa digunakan sebagai pengelak selama konstruksi. Metode ini dipakai untuk mengatasi aliran elakan dengan nilai ekonomis cukup baik, terutama jika conduit yang digunakan untuk bangunan outlet cukup besar untuk membawa aliran elakan. Dimana kebutuhan aliran elakan melampaui kapasitas dari bangunan outlet yang telah selesai, kapasitas ini dapat ditingkatkan dengan menunda pemasangan pintu air, katup, pipa, dan trashracks (meskipun trashrack sebaiknya dipasang jika ada masalah dengan sampah/ kotoran layang) sampai kebutuhan untuk pengelakan selesai. Dasar dari pendekatannya sama dengan yang diuraikan pada terowongan pengelak. Peningkatan kapasitas juga dapat dicapai dengan menambah tinggi cofferdam, yang dengan demikian juga menambah head. Pengelak dengan conduit juga dapat ditemukan pada bendungan beton.

2.2.4 Bendungan Pengelak (Cofferdam)

Cofferdam/ bendungan pengelak adalah sebuah bendungan sementara atau penghalang yang digunakan untuk mengelakkan aliran atau untuk menutup suatu area selama masa konstruksi. Desain dari sebuah cofferdam juga harus mampu memenuhi persyaratan secara ekonomis. Jika konstruksi bendungan tersebut ditarget dengan waktu yang ketat maka pekerjaan bangunan pondasi bisa dilakukan selama musim kemarau, penggunaan dari cofferdam dapat ditekan hingga titik minimum. Bagaimanapun, sebuah cofferdam harus didesain tidak hanya aman, tetapi juga dengan tinggi yang optimum. Tinggi dari cofferdam yang dikonstruksi harus memasukkan studi nilai ekonomi tinggi cofferdam dengan kapasitas bangunan pengelak. Hal ini termasuk dengan perhitungan routing banjir rancangan pengelak, terutama jika kebutuhan bangunan outlet adalah kecil. Jika nantinya kebutuhan bangunan outlet merupakan sebuah conduit atau terowongan yang relatif besar, aliran sungai pada umumnya bisa teratasi tanpa cofferdam yang tinggi. Perlu diingat bahwa aliran air banjir yang terkumpul di belakang cofferdam harus segera dikosongkan sampai pada hujan berikutnya. Tinggi maksimum yang cukup baik untuk dibuat pada cofferdam tanpa mengganggu area yang ditempati oleh bendungan juiga harus dipertimbangkan. Selanjutnya, desain dari cofferdam harus didasarkan pada efek dari penggalian dan pengeringan fondasi dari bendungan.

Pada umunya, cofferdam dibuat dari material yang tersedia pada site/ lokasi. Dua jenis yang umumnya digunakan adalah tipe urugan tanah dan batuan, yang desainnnya mengikuti dengan desain tubuh bendungan utama. Gambar 3.4 menunjukkan sebuah cofferdam dan saluran pengelak yang berupa conduit sebanyak enam buah pada sisi kanan gambar. Beberapa tipe cofferdam lain yang umum digunakan adalah concrete cribs yang di dalamnya diisi dengan tanah atau batuan, dan sistem cofferdam dari baja (cellular-steel) yang di dalamnya diisi dengan tanah atau batuan.

Jika nantinya cofferdam dapat didesain permanen dan menambah stabilitas struktur dari bendungan utama sendiri, hal ini akan menambah keuntungan ekonomis. Pada beberapa bendungan tipe urugan cofferdam juga merupakan bagian dari tubuh bangunan utama. Pada kasus tersebut, penghematannya ada dua macam, yaitu jumlah penghematan dengan mengurang material timbunan yang dibutuhkan dan penghematan yang diperoleh karena tidak perlu membuang cofferdam jika nantinya tidak dbutuhkan.

Gambar 3.4 Cofferdam di Ridgway Dam, Colorado. Lihat akumulasi air di belakang cofferdam dan saluran pengelak sementara yang terdiri dari enam conduit pada sisi kanan. P894-427-5989 NA.

Sumber : Design of Small Dams, 1987; 501 2.2.5 Analisis Hidrolika Pada Saluran Pengelak

Untuk analisis hidrolika pada saluran pengelak ini dibahas mengenai kapasitas pengaliran melalui saluran pengelak, baik melalui terowongan maupun conduit karena prinsip dasar dari ke-dua pengelak tersebut adalah sama. Kapasitas pengaliran saluran ini dibedakan menjadi dua kondisi yaitu, pada saat aliran bebas (free flow) yaitu pada saat sifat hidrolik yang terjadi berupa hidrolika saluran terbuka dan kondisi pada saat aliran tertekan yaitu pada saat sifat hidrolik yang terjadi berupa hidrolika saluran tertutup. 2.2.5.1 Kriteria Aliran pada Terowongan a. Kriteria Aliran pada Terowongan Menurut USBR

Menurut USBR (United States Bureau of Reclamation) kriteria aliran pada terowongan dapat dibagi menjadi delapan tipe aliran. Faktor geometri saluran, faktor aliran dalam aliran tekan maupun aliran bebas, kemiringan saluran, ukuran, bentuk, panjang, dan kekasaran menentukan jenis aliran pada terowongan. Kombinasi efek dari faktor tersebut menentukan lokasi kontrol yang dalam bagiannya juga menentukan karakteristik debit terowongan. Lokasi dari kontrol saluran apakah berupa aliran penuh total (tekan) atau penuh sebagian, membentuk hubungan tinggi muka air dengan debit yang lewat.

Kemiringan terowongan mugkin saja landai atau curam; yang mana kemiringannya mungkin lebih datar atau curam dari lainnya untuk debit tertentu hanya akan mendukung aliran pada tathapan aliran kritis. Untuk kedua kemiringan terowonngan landai maupun curam, kontrol keduanya bisa jadi pada masukan ataau keluaran, tergantung pada geometri mulut masukan dan hubungan tinggi muka air fan kondisi aliran di keluaran. Macam kondisi yang bisa menentukan tipe aliran tertentu ditunjukkan pada Gambar 3.5.

Jika masukan terowongan tidak dalam kondisi tenggelam, kontrol terowongan dengan kemiringan yang landai maka aliran penuih sebagian akan terjadi di keluaran. Jika keluaran terowongan penuh total, aliran pada titik ini akan mengalir dengan kedalaman kritis. Kondisi ini ditunjukkan pada kondisi 1 Gambar 3.6. Jika muka air hilir cukup tinggi untuk membentuk kedalaman lebih besar dari kritis, tinggi muka air hilir akan mengontrol aliran pada hulu tubuh terowongan. Jika muka air hilir menenggelamkan keluaran, terowongan mungkin penuh sebagian sepanjang terowongan dan akhirnya akan menenggelamkan masukan. Kondisi aliran ini digambarkan sesuai kondisi 6 pada Gambar 3.5. Sampai aliran terowongan penuh, alirannya biasanya pada subkritis, dan debit ditentukan dengan persamaan Bernoulli. Perhitungan dimulai pada outlet dimana level muka air menenggelamkan inlet dan dimana H/D > 1,2. Kontrol pada kedalaman kritis bisa diletakkan di inlet jika terowongan relatif pendek sehingga loncatan tidak terjadi di dalam tubuh terowongan. Kondisi ini ditunjukkan pada kondisi 4.

Jika terowongan memiliki kemiringan yang curam dan mulut masukan tidak tengggelam, aliran akan dikontrol oleh kedalaman aliran di inlet, seperti diindikasikan pada kondisi 3. Permukaan air akan turun secara tiba-tiba menuju kedalaman kritis pada mulut masukan, dan aliran saluran terbuka berada pada kecepatan superkritis akan terjadi sepanjang tubuh terowongan. Debit pada tampungan akan berpengaruh pada aliran saluran, dengan asumsi kedalaman aliran kritis terjadi di mulut masukan terowongan.

Setelah inlet tenggelam atau dimana H melampaui 1,2D, masih dimungkinkan terjadi aliran saluran terbuka pada tingkatan superkritis pada tubuh terowongan, seperti digambarkan pada kondisi 5, jika kontrol tetap pada mulut masukan. Pada kasus ini, aliran pada inlet dapat disamakan dengan aliran pada orifice atau pada pintu sorong. Kondisi aliran ini bergantung pada formasi konstruksi pada atas mulut masukan sehibgga ruang batas udara terbentuk sepanjang bagian atas tubuh terowongan sehingga terjadi aliran penuh sebagian sepanjang terowongan.

Karena tinggi muka air pada mulut masukan dan hasil dari peningkatan debit, gesekan saluran atau disturbansi lokal akan menekan tubuh terowongan menjadi aliran penuh total sampai dekat pada outlet, menutup terowongan hingga akhir hilir. Kecepatan aliran yang tinggi di dalam terowongan akan membawa beberapa udara yang terjebak pada bagian atas tubuh terowongan, mengurangi tekanan pada tekanan hingga di bawah tekanan atmosfer. Lebih lanjut lagi, jika mulut masukan memiliki bentuk yang bertujuan untuk mengurangi konstraksi inlet, tubuh terowongan akan mulai mengalir pada aliran penuh total dekat inlet, setelah itu zona aliran penuh total akan memanjang secara tiba-tiba sampai turun pada outlet. Efek dari kondisi aliran penuh total ini akan menjadi draft-tube action (mirip dengan siphonic action) yang akan meningkatkan debit. Peningkatan debit mengakibatkan penurunan lebih dalam dari hulu pada inlet. Sebuah vortex akan terbentuk, dan udara akan masuk ke dalam terowongan yang akan merusak draft-tube action. Pengurangan debit akan menghasilkan kembalinya kontrol orifice pada inlet. Dengan seketika, gaya aliran penuh total akan terbentuk lagi, dan siklusnya terus berulang. Pergantian antara gaya-gaya pemulaian dan penghentian akan menyebabkan aliran berpusar/ bergetar yang menyebabkan fenomena hantaman yang ditunjukkan pada kondisi 7. Ketika kondisi tampungan berada pada H/D > 1,5 penurunan muka air pada mulut masukan tidak akan cukup kuat untuk menghasilkan gaya aliran penuh total, dan aliran mantap pada pipa penuh ditunjukkan pada kondisi 8 akan berlaku.

Jika diinginkan bahwa terowongan tidak berupa aliran penuh total, geometri pada inlet menjadi pertimbangan penting. Inletnya harus dibentuk untuk menghasilkan efisiensi debit maksimum dan mengatasi dengan baik konstraksi bagian atas inlet yang akan membuat permukaan pada udara bebas di dalam tubuh terowongan untuk semua tingkatan muka air tampungan. Bentuk inlet bersudut menghasilkan konstraksi yang diinginkan tanpa mengurangi kapasitas debit utama. Konstraksi pada inlet dapat terbentuk (tetapi pada kapasitas hidrolik yang dikurangi) dengan inlet yang diproyeksikan, dengan mengubah sudut inlet dengan menyamakan dengan kemiringan hilir, dengan bentuk gelang orifice yang lebih kecil dari diameter terowongan, atau dengan menutup dinding muka bagian atas dari mulut masukan terowongan.

Jika terowongan diizinkan untuk mengalir penuh total hingga tinggi muka air yang lebih tinggi, kontrolnya akan terjadi pada outlet dan geometri inlet akan berpengaruh lebih kecil. Pada kasus ini inlet harus dibentuk untuk meminimalisasikan konstraksi pancar untuk mencegah abrasi dari aliran masuk dari tubuh terowongan karena aliran pipa penuh total diinginkan pada semua kondisi kecuali ketika inlet tidak tenggelam. Bentuk yang lebih streamline akan mengurangi kehilangan pada mulut masukan untuk kondisi penuh total. Penghilangan konstraksi dicapai dengan membulatkan inlet atau dengan membuat sudut transisi bertahap menuju ke tubuh terowongan.

Gambar 3.5 Model Kondisi Aliran pada Terowongan dengan Kemiringan/ Slope Landai dan Curam.

Sumber: Design of Small Dams, 1987:423 b. Kriteria Aliran pada Terowongan Menurut Richard French

Berdasar dari buku Open Channel Hydraulics dari Richard H. French debit yang melewati terowongan ditentukan melalui aplikasi dari persamaan kontinuitas dan energi diantara bagian pengarah dan bagian hilir terowongan yang berada pada tubuh terowongan (Gambar 4.11). Lokasi bagian hilir tergantung pada pembagian aliran di dalam terowongan.

Gambar 3.6 Skema Definisi Aliran di Dalam Terowongan

Sumber : Open Channel Hydraulics, Richard H.F.,1985:365

Untuk kebutuhan perhitungan, aliran melalui terowongan dibagi ke dalam enam bagian berdasarkan muka air hulu dan muka air hilir. Enam tipe aliran dan masing-masing karakterisitiknya akan dijelaskan di Tabel 3.1. Di tabel tersebut, D = dimensi vertikal maksimum terowongan, y1 = kedalaman aliran bagian hulu, yc = kedalaman kritis aliran, z = elevasi terowongan relatif terhadap datum sampai keluaran (outlet) terowongan, dan y4 = kedalaman aliran bagian hilir. Pada Gambar 3.2 persamaan debit aliran melalui berbagai macam tipe aliran di terowongan dijelaskan. Di persamaan tersebut, CD = koefisien debit, Ac = luas pada aliran saat kedalaman kritis, 1 = kecepatan rerata pada bagian hulu, 1 = koefisien koreksi energi kinetik pada bagian hulu, hf1-2 = LwQ2/K1Kc = kehilangan energi karena gesekan pada bagian hulu ke mulut masukan (inlet) terowongan, Lw = jarak dari bagian hulu ke mulut masukan terowongan, K1 = tetapan pada bagian hulu, Kc = tetapan pada kedalaman kritis, hf2-3 = LQ2/K2K3 = kehilangan energi karena gesekan pada tubuh terowongan, dan L = panjang tubuh terowongan. Berdasarkan dari keenam klasifikasi aliran tersebut, karakteristik aliran bisa dilihat sebagai berikut:

a. Aliran Tipe 1

Pada jenis aliran ini, kedalaman kritis terjadi di sekitar mulut masukan terowongan. Agar aliran tipe 1 ini bisa terjadi persyaratan yang harus dipenuhi :

1. Rasio tinggi muka air dan diameter terowongan tidak boleh melebihi 1,5.

2. Kemiringan tubuh terowongan So harus lebih besar dari kemiringan kritis Sc.

3. Elevasi muka air hilir y4 harus kurang dari elevasi muka air pada bagian kritis.

b. Aliran Tipe 2

Pada jenis aliran ini, kedalaman kritis terjadi pada mulut keluaran terowongan. Agar aliran tipe 2 ini bisa terjadi persyaratan yang harus dipenuhi :

1. Rasio tinggi muka air dan diameter terowongan tidak boleh melebihi 1,5.

2. Kemiringan tubuh terowongan So harus kurang dari kemiringan kritis Sc.

3. Elevasi muka air hilir y4 tidak boleh melebihi muka air pada bagian kritis.

c. Aliran Tipe 3

Pada jenis aliran ini, profil aliran berubah lambat laun merupakan faktor penentu, kedalaman kritis tidak dapat terjadi, dan elevasi muka air hulu merupakan fungsi dari elevasi hilir. Pada jenis aliran ini, aliran subkritis terjadi pada seluruh panjang terowongan. Agar aliran tipe 3 ini bisa terjadi persyaratan yang harus dipenuhi :

1. Rasio tinggi muka air dan diameter terowongan harus kurang dari 1,5.

2. Elevasi muka air hilir tidak cukup untuk menenggelamkan mulut keluaran terowongan. Bagaimanapun elevasinya melampaui kedalaman kritis pada mulut keluaran.

3. Batas terendah dari muka air hilir adalah seperti berikut: (a) elevasi muka air hilir lebih besar dari elevasi kedalaman kritis pada mulut masukan terowongan jika kondisi aliran serupa pada kedalaman kritis seperti pada mulut masukan, dan (b) elevasi muka air hilir lebih besar dari elevasi muka air kritis pada mulut keluaran jika kemiringan terowongan serupa dengan kedalaman muka air kritis akan terjadi pada kondisi jatuh-bebas.d. Aliran Tipe 4

Pada jenis aliran ini, aliran terowongan penuh, dan besar aliran bisa diperkirakan secara langsung dari persamaan energi. Untuk aliran tipe 4 ini, kehilangan energi terjadi diantara bagian 1 dan 2 dan bagian 3 dan 4 biasanya diabaikan. Kehilangan berdasarkan perluasan aliran berubah tiba-tiba pada mulut keluaran terowongan diasumsi dengan persamaan (h3-h4)e. Aliran Tipe 5

Pada jenis aliran ini, aliran superkritis pada mulut masukan terowongan dan rasio tinggi muka air hulu dengan diameter terowongan melampaui 1,5. Namun elevasi muka air hilir masih di bawah terowongan, atau terowongan hampir penuh.

f. Alliran Tipe 6

Pada jenis aliran ini, rasio tinggi muka air hulu-diameter terowongan melampaui 1,5, aliran terowongan hampir penuh, dan mulut keluaran terowongan tidak tenggelam. Flowchart di bawah nanti menjelaskan cara mengklasifikasikan aliran terowongan dari keenam kategori berikut di atas.

Gambar 3.7 Gambar Klasifikasi Tipe Aliran pada Terowongan

Sumber : Open Channel Hydraulics, Richard H.F, 1986: 368

Tabel 3.1 Karakteristik Aliran di Dalam Terowongan (Bodhaine, 1976)

Sumber : Open Channel Hydraulics, Richard H.F., 1985:366

Tabel 3.2 Tabel Klasifikasi Aliran pada Terowongan dan Rumus Alirannya

TipeTipe Aliran pada TerowonganPersamaan Debit

Tipe 1Kedalaman kritis pada mulut masukan.

(h1-z)/D < 1,5

h4/hc < 1,0

So > Sc

Tipe 2Kedalaman kritis pada mulut keluaran

(h1-z)/D < 1,5

h4/hc < 1,0

So > Sc

Tipe 3Aliran air tenang

(h1-z)/D < 1,5

h4/hc 1,0

h4/hc > 1,0

Tipe 4Mulut keluaran tenggelam

(h1-z)/D > 1,0

h4/D > 1,0

Tipe 5Aliran air pada mulut masukan berubah tiba-tiba

(h1-z)/D 1,5

h4/Dc 1,0

Tipe 6Aliran bebas pada mulut keluaran

(h1-z)/D 1,5

h4/D 1,0

Sumber: Open Channel Hydraulics, Richard H.F., 1986:368

Gambar 3.8 Diagram Alir Penentuan Jenis Aliran pada Terowongan

Sumber: Open Channel Hydraulics, Richard H.F., 1986:370

c. Kriteria Aliran pada Terowongan Menurut Ven Te Chow

Dari buku Hidrolika Saluran Terbuka karangan Ven Te Chow, terowongan adalah jenis yang unik dari suatu penyempitan dan jalan masuknya merupakan penyempitan dengan bentuk khusus. Terowongan bersifat seperti saluran terbuka, asalkan alirannya mengisi seluruh bagian gorong-gorong tersebut. Karakteristik alirannya sangat rumit, karena aliran tersebut dikontrol oleh beberapa variabel, antara lain: geometri pemasukan, kemiringan, ukuran, kekasaran, keadaan air bawah, dan lain-lainnya. Oleh karena itu penelitian mengenai aliran yang melalui terowongan harus dilakukan dilaboratorium atau penelitian lapangan.

Terowongan akan terisi penuh, bila jalan keluarnya terendam, atau bila jalan keluarnya tidak terendam, tetapi air atasnya mempunyai tinggi dan kubah yang panjang. Sesuai dengan penelitian laboratorium, bila jalan keluar terowongan biasa tidak terendam, maka jalan masuknya tidak perlu terendam, jika air atasnya lebih kecil dari suatu besaran kritis tertentu, yang diberi tanda H*. Nilai H* bervariasi antara 1,2 sampai 1,5 kali tinggi terowongaan, tergantung pada geometri masukan, karakteristik kubah dan keadaan saluran terowongan. Untuk analisa pendahuluan dapat digunakan batas atas H* = 1,5d, di mana d = tinggi terowongan. Hal ini disebabkan dari perhitungan didapatkan, bahwa bila perendaman tidak menentu, maka ketepatan perhitungan yang lebih besar didapatkan dengan menganggap masukan dalam keadaan tidak terendam.

Gambar 3.9 Kriteria untuk Terowongan Pipa, Kotak Panjang dan Pendek Secara Hidrolis dengan Kubah Beton; dan Masukan Berbentuk Persegi, Lingkaran atau Pengurasan Miring dari Dinding Ujung Vertikal; Dilengkapi dengan atau Tanpa Dinding Samping

Sumber: Hidrolika Saluran Terbuka, Ven Te Chow, 1997:444

Penelitian laboratorium juga menunjukkan bahwa pada suatu terowongan (biasanya mempunyai potongan persegi pada bagian atas masukan), tidak akan memiliki aliran penuh sekalipun masukan berada di bawah ketinggian air atas, bila saluran keluar tidak terendam. Pada kondisi demikan, aliran yang masuk ke terowongan akan menyusut, hingga kedalamannya lebih kecil daripada tinggi kubah terowongan; dengan cara yang sangat mirip dengan penyusutan aliran air pada pintu air geser tegak. Kecepatan air yang tinggi akan berlanjut sepanjang kubah, kemudian akan berkurang secara perlahan-lahan, akibat kehilangan gesekan. Bila terowongan tidak cukup panjang untuk mengizinkan penambahan kedalaman aliran di penyempitan hingga memenuhi kubah, maka aliran pada terowongan tidak akan terisi penuh. Keadaan demikian dinamakan pendek secara hidrolis. Sebaliknya, dikatakan panjang secara hidrolis, bila aliran pada terowongan penuh, seperti yang terjadi pada pipa.

Penentuan suatu terowongan panjang atau pendek secara hidrolis, tidak dapat ditentukan oleh panjang kubah saja. Tetapi tergantung pada karakteristik yang lain, diantaranya: kemiringan, ukuran, geometri masukan, air atas, keadaan saluran masuk dan keluar, dan lain-lainnya. Suatu terowongan, mungkin menjadi pendek secara hidrolis, bila aliran hanya sebagian penuh, atau bila air atas lebih besar dari niali kritis. Untuk situasi demikian, suatu grafik yang dibuat Carter (Gambar 3.9 dan Gambar 3.10), dapat digunakan untuk membedakan secara kasar antara terowongan pendek secara hidrolis, dengan saluran masuk terendam, dapat memperlengkapi dirinya sendiri secara otomatis, aliran menjadi penuh. Dari hasil penelitian laboratorium yang dilakukan Li dan Patterson, terjadinya aksi memperlengkapi dirinya sendiri, disebabkan oleh kenaikan air hingga bagian atas gorong-gorong. Kenaikan ini pada kebanyakan kasus disebabkan oleh loncatan hidrolik, pengaruh air balik pada jalan keluar, atau terbentuknya gelombang permukaan diam di dalam kubah.

Gambar 3.10 Kriteria untuk Terowongan Pendek dan Panjang Secara Hidrolis, dengan Kubah Kasar dari Pipa Bergelombang.

Sumber : Hidrolika Saluran Terbuka,Ven Te Chow, 1997:445

Untuk keperluan praktis, aliran gorong-gorong dapat digolongkan dalam 6 jenis, dan ditunjukkan pada Gambar 4.16. ldentifikasi masing-masing jenis dapat diielaskan sesuai dengan sketsa berikut:A. Jalan keluar terendam

Jenis 1

B. Jalan keluar tidak direndam

1. Air atas lebih tinggi daripada nilai kritis

a. Terowongan panjang secara hidrolis.

Jenis 2

b. Terowongan yang pendek secara hidrolis..

Jenis 3

2. Air atas lebih rendah daripada nilai kritis

a. Air bawah lebih tinggi daripada kedalaman kritis Jenis 4

b. Air bawah lebih rendah daripada kedalaman kritis

i. Kemiringan subkritis.

Jenis 5

ii. Kemiringan superkritis.

Jenis 6

Gambar 3.11 Jenis Aliran Terowongan

Sumber: Hidrolika Saluran Terbuka, Ven Te Chow, 1997:446

Jika saluran keluarnya terendam, aliran pada terowongan akan memenuhi seluruh bagian, serupa dengan aliran pada pipa dan alirannya termasuk jenis 1. Bila saluran keluar tidak terendam, maka air atas mempunyai kemungkinan lebih besar atau lebih kecil dibandingkan nilai kritisnya. Jika air atas lebih besar dibanding nilai kritis, kemungkinan terowongan bersifat panjang atau pendek secara nilai; dan untuk membedakan hal ini, digunakan grafik pada Gambar 3.9 dan 3.10. Jika terowongan panjang secara hidrolis, alirannya termasuk jenis 2, sedangkan jika pendek secara hidrolis, maka alirannya berjenis 3. Bila air atas lebih kecil daripada nilai kritis, maka pada saluran keluar, air bawah mungkin lebih besar atau lebih kecil dibanding kedalaman kritis aliran. Untuk air bawah yang lebih besar, alirannya termasuk jenis 4. Sedangkan untuk air bawah lebih kecil, alirannya berjenis 5, bila kemiringan terowongannya subkritis; dan berjenis 6, bila kemiringannya superkritis.

Pada penggolongan di atas, terdapat kekecualian, yakni bahwa aliran jenis 1, dapat terjadi dengan air atas sedikit lebih besar dari nilai kedalaman kritis, atau dengan air atas lebih tinggi daripada bagian atas saluran keluar, asalkan kemiringan dasar terowongan sangat curam. Jenis 1 dan 2, termasuk aliran pipa, sedang yang lainnya termasuk aliran saluran terbuka. Untuk aliran jenis 3, terowongan berperan seperti suatu orifis. Koefisien pelepasan beragam kira-kira dari 0,45 sampai 0,75. Untuk aliran jenis 4, 5, dan 6, jalan masuknya terendam air, dan terowongan berperan seperti penyekat. Koefisien pelepasan beragam kira-kira dari 0,75 sampai 0,95, tergantung pada geometri masukkan dan kondisi air atas. Pada Gambar 3.11, terlihat bahwa aliran jenis 4 adalah aliran subkritis pada sepanjang kubah. Aliran jenis 5 adalah aliran subkritis, oleh karena itu penampang kontrolnya terletak pada saluran keluar.

Survai Geologi Amerika Serikat, telah mengembangkan suatu prosedur terinci yang dapat digunakan untuk perhitungan hidrolik perancangan terowongan. Untuk keperluan praktis, dapat digunakan suatu penyelesaian pendekatan dengan menggunakan grafik pada Gambar 3.12 dan 3.13, masing-masing untuk terowongan kotak dan lingkaran. Kedua kurva hanya berlaku untuk terowongan yang mempunyai saluran masuk berpenampang bujur sangkar:

Gambar 3.12 Grafik untuk Nilai Air Atas Pendekatan Pada Terowongan Kotak, dengan Satuan untuk Bujur Sangkar, Aliran Sebagian Penuh.

Sumber : Hidrolika Saluran Terbuka, Ven Te Chow, 1997:448

Gambar 3.13 Grafik untuk Nilai Air Atas Pendekatan pada Terowongan Lingkaran, dengan Saluran Masuk Bujur Sangkar, Aliran Sebagian Penuh.

Sumber : Hidrolika Saluran Terbuka, Ven Te Chow, 1997:448 2.2.5.2 Aliran Bebas (free flow)

Dalam hal ini diasumsikan bahwa akan terjadi aliran bebas apabila tinggi muka air di waduk (H) 1,5diameter pengelak (D). Untuk menentukan besarnya debit yang lewat pengelak pada keadaan aliran bebas dapat digunakan rumus Manning bila aliran adalah subkritis.

Gambar 3.14 Hidrolika Aliran dalam Pengelak Pada Aliran Bebas

Sumber: Hidrolika Saluran Terbuka, Ven Te Chow, 1997; 446

v=

(3-1)

Q= A. v

(3-2)

dimana:

v = kecepatan aliran (m/detik)

n = koefisien kecepatan manning (untuk beton n= 0,014)

R = jari-jari hidrolis =A/P (m)

A = luas penampang basah (m2)

S = kemiringan alur pengelak

Untuk memeriksa pada kedalaman berapa terjadi pengaliran kritis digunakan rumus :

Qc =

(3-3)

F =

(3-4)

Dimana:

Qc = debit yang melewati pengelak dalam kondisi kritis (m3/detik)

g = percepatan gravitasi (= 9,81 m/detik2)

A= luas penampang basah (m2)

F= bilangan Froude

H= kedalaman aliran (m)

Kondisi aliran tersebut sangat perlu untuk diketahui, karena dengan demikian dapat diketahui karakteristik hidrolisnya. Bila kondisi aliran pada berbagai kedalaman air superkritis (Q > Qc atau F > 1), maka rumus Manning tidak berlaku dan harus digunakan rumus dalam kondisi kritis sebagai berikut:

Gambar 3.15 Hidrolika Aliran Dalam Pengelak pada Kondisi Superkritis

Sumber: Hidrolika Saluran Terbuka, Ven Te Chow, 1997; 446

vc=

(3-5)

Yc= 2/3 H

(3-6)

vc=

(3-7)

Qc= A

(3-8)

Dimana:

Hc= kedalaman aliran kritis (m) 2.2.5.3 Aliran Tekan (Pressure Flow)

Diasumsikan bahwa aliran tekan ini akan terjadi bila tinggi air di waduk (H) > 1,5 diameter pengelak (D). Pada keadaan demikian digunakan rumus:

Gambar 3.16 Hidrolika Aliran Dalam Pengelak Pada Aliran Tekan

Q= A. v

(3-9)

v=

(3-10)

dimana:

H= kedalaman air waduk dihitung dari dasar inlet pengelak (m)

D= tinggi pengelak (m)

L= panjang pengelak (m)

= sudut yang dibentuk oleh alur pengelak

c= jumlah koefisien kehilangan energi

Untuk jumlah kehilangan energi dapat dihitung berdasarkan desain saluran yang dibuat oleh perencana.2.3 Debit Banjir Rancangan

Debit banjir rancangan adalah debit banjir yang dipergunakan sebagai dasar untuk merencanakan kemampuan dan ketahanan suatu bangunan pengairan dengan suatu kemungkinan terjadi kala ulang tertentu, atau debit dengan suatu kemungkinan periode ulang tertentu. Untuk menganalisa debit banjir rancangan dapat dilakukan dengan menggunakan metode hidrograf yang dilakukan dengan menggunakan bantuan model hidrograf satuan sintetis dan metode non hidrograf yang dilakukan dengan bantuan teknik analisa frekuensi. 2.3.1 Kriteria Debit Banjir Rancangan untuk Perencanaan

Berbagai macam bangunan-bangunan air memerlukan perhitungan hidrologi yang merupakan bagian dari perencanaan bangunan-bangunan tersebut. Pemilihan kala ulang (return period) banjir rancangan untuk bangunan air adalah suatu masalah yang sangat bergantung pada analisa statistik dari urutan kejadian banjir baik berupa debit air di sungai maupun curah hujan badai. Selain itu bergantung pula pada segi ekonomi dan dampak yang diakibatkan oleh pemilihan kala ulang banjir rancangan tersebut.

Untuk mempermudah pemecahan masalah, pertimbangan ekonomi diabaikan sehingga hanya berdasarkan teori kemungkinan yang sering disebut juga dengan Resiko Kegagalan (Risk of Failure), atau kemungkinan terjadinya banjir rancangan sekali atau lebih selama umur bangunan (Life Time) suatu bangunan air. Resiko Kegagalan tersebut digambarkan dengan rumus (Loebis, 1984: 1)

(3-11)

Dengan :

P =adalah resiko kegagalan

L =adalah umur rencana (design life)

T =adalah tahun berulangnya

Pemilihan suatu teknik analisa penentuan banjir rancangan tergantung dari data-data yang tersedia dan macam dari bangunan air tersebut. Kriteria pemilian banjir dengan hanya meninjau kemungkinan terjadinya banjir yang lebih besar atau sama dengan banjir rencana, sekali atau lebih selama bangunan air tersebut berdiri. Kriteria lain yang dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pemilihan banjir rancangan adalahTabel 3.3Kriteria pemilihan kala ulang banjir rancanganNo.Jenis Bangunan AirKala Ulang Banjir

T ( tahun )

1Bendungan urugan tanah / batu (eart/rockfill dam)1000

2Bendungan beton / batu kali (concrete dam / masonry)500 - 1000

3Bendung (weir)50 - 100

4Saluran pengelak banjir (flood diversion canal)20 - 50

5Tanggul sungai10 - 20

6Drainasi saluran di sawah / permukiman5 - 10

Sumber: Loebis (1984: 196)Tabel 3.4 Kriteria pemilihan kala ulang banjir rancangan sebagai kontrol kapasitas pelimpah berdasarkan klasifikasi tingkat bahaya (Hazard classification)Sumber : Ir.Husni Sabar, (2000:335)2.4 Penelusuran Banjir, Perencanaan Diameter Diversion Tunnel

Salah satu manfaat dari pembangunan bendungan dengan waduknya adalah untuk pengendalian banjir suatu sungai. Ini dapat terjadi karena air banjir ditampung dalam waduk yang volumenya relatif besar, sehingga air yang keluar dari sana debitnya sudah mengecil. Makin besar volume waduk akan semakin besar pula manfaat pengendalian banjirnya. Apabila terjadi banjir, maka permukaan air di dalam waduk naik sedikit demi sedikit dan dari beberapa kali banjir waduk akan penuh air dan mencapai ambang bangunan pelimpah. Kemudian air mulai melimpah melewati bangunan pelimpah. Apabila banjirnya belum reda, maka permukaan air di dalam waduk masih akan naik sedikit demi sedikit sampai permukaan air waduk mencapai maksimal. Jadi sebagian air banjir mengalir lewat bangunan pelimpah, sedang sisanya menyebabkan naiknya permukaan air di dalam waduk. Tinggi permukaan air waduk maksimal ini harus dapat dihitung dengan teliti dengan melakukan routing banjir. Dengan mengetahui tinggi permukaan air waduk maksimal ini, dapat dicari tinggi bendungan yang paling menguntungkan (optimal) yang masih dalam keadaan aman terhadap risiko banjir.

Untuk hidrograf banjir yang didapat dari penelusuran lewat suatu bagian panjang sungai atau lewat sebuah waduk.Penelusuran lewat waduk, dimana penampungannya adalah merupakan fungsi langsung dari aliran keluar (outflow), maka cara penyelesaiannya dapat ditempuh dengan cara yang lebih eksak.

=

(3-12)atau

=

(3-13)

Dimana:

I1= aliran masuk pada permulaan waktu t

I2= aliran masuk pada akhir waktu t

Q1= aliran keluar pada permulaan waktu t

Q2= aliran keluar pada akhir waktu t

S1= tampungan waduk pada permulaan waktu t (diukur dari puncak bangunan pelimpah atau sumbu terowongan)

S2= tampungan waduk pada akhir waktu t

2.4.1. Penelusuran Banjir pada Diversion Tunnela. Untuk penelusuran banjir melalui saluran pengelak dihitung menggunakan dua rumus yang bergantung pada kondisi air di terowongan pengelak sendiri, yaitu:b. Pada saat terowongan belum terisi penuh

v=

Q= A. v

dimana:

v = kecepatan aliran (m/detik)

n = koefisien kecepatan manning (untuk beton n= 0,014)

R = jari-jari hidrolis =A/P (m)

A = luas penampang basah (m2)

S = kemiringan alur pengelak

c. Pada saat terowongan terisi penuh (pressure flow)

Q= A. v

v=

dimana:

H= kedalaman air waduk dihitung dari dasar inlet pengelak (m)

D= tinggi pengelak (m)

L= panjang pengelak (m)

= sudut yang dibentuk oleh alur pengelak

c= jumlah koefisien kehilangan energi

2.5 Perencanaan Tinggi Coffer Dam 2.5.1 Tinggi Bendungan

Yang dimaksud dengan tinggi bendungan adalah perbedaan antara elevasi permukaan pondasi dan elevasi mercu bendungan. Permukaan pondasi adalah dasar dinding kedap air atau dasar daripada zone kedap air. Apabila pada bendungan tidak terdapat dinding kedap air, maka yang dianggap permukaan pondasi adalah garis perpotongan antara bidang vertikal yang melalui tepi udik mercu bendungan dengan permukaan pondasi alas bendungan tersebut. Untuk menentukan tinggi bendungan secara optimal harus memperhatikan tinggi ruang bebas dan tinggi air untuk operasi waduk (Soedibyo, 1993)2.5.1.1 Tinggi Jagaan (freeboard)

Tinggi jagaan adalah perbedaan antara elevasi permukaan maksimum rencana air dalam waduk dan elevasi mercu bendungan. Elevasi permukaan air maksimum rencana biasanya merupakan elevasi banjir rencana waduk. Kadang kadang elevasi permukaan air penuh normal atau elevasi permukaan banjir waduk lebih tinggi dari elevasi banjir rencana dan dalam keadaan yang demikian, yang disebut permukaan air maksimum rencana adalah elevasi yang paling tinggi yang diperkirakan akan dicapai oleh permukaan waduk tersebut. Selain itu dalam halhal tertentu tambahan tinggi tembok penahan ombak di atas mercu bendungan kadangkadang diperhitungkan pula pada penentuan tinggi jagaan.

Dalam menentukan tinggi jagaan perlu memperhatikan halhal sebagai berikut :

1. Kondisi dan situasi tempat kedudukan calon bendungan

2. Pertimbanganpertimbangan tentang karakteristika dari banjir abnormal

3. Kemungkinan timbulnya ombakombak besar dalam waduk yang disebabkan oleh angin dengan kecepatan tinggi ataupun gempa bumi

4. Kemungkinan terjadinya kenaikan permukaan air waduk di luar dugaan, karena timbulnya kerusakankerusakan atau kemacetan pada bangunan pelimpah

5. Tingkat kerugian yang mungkin dapat ditimbulkan dengan jebolnya bendungan yang berangkutan

Kemudian untuk perhitungan secara teknis tinggi jagaan (Hf) untuk bendungan ditentukan dari dua keadaan muka air waduk sewaktu bajir dengan kriteria sebagai berikut:

a. Tinggi kenaikan permukaan air akibat banjir dengan periode ulang 1000 tahun melimpah di atas bangunan pelimpah dan pada keadaan ini tidak boleh terjadi kerusakan sedikitpun pada bendungan.

b. Dikontrol dengan tinggi kenaikan permukaan air akibat banjir boleh jadi terbesar (Probable Maximum Flood= PMF) melilmpah di atas bangunan pelimpah dan pada keadaan ini bendungan diizinkan mengalami kerusakan ringan tetapi harus tetap stabil. Oleh karena kriteria di atas maka pada keadaan (a) tinggi jagaan harus mempertimbangkan sebagai berikut:

1. Tinggi kenaikan muka air waduk karena angin sangat kuat (S)

2. Tinggi kenaikan ombak/ gelombang yang diakibatkan karena angin (Hw)

3. Tinggi kenaikan ombak/ gelombang yang diakibatkan oleh gempa (He)

4. Tinggi rayapan gelombang/ ombak pada lereng bendungan (Hr)

5. Tinggi kenaikan permukaan air akibat kemacetan pada waktu operasi pintu pelimpah (h). tinggi kenaikan permukaan air ini didasarkan pada perbandingan debit banjir dan lamanya kemacetan yang terjadi dan sebaliknya perbandingan luas permukaan daerah genangan dan jumlah pintu. Untuk pelimpah yang dilengkapi pintu, sebagai perkiraan diambil sebesar 0,50m.

Sedangkan pada keadaan (b) hanya akan mempertimbangkan hal sebagai berikut:

1. Tinggi kenaikan muka air waduk karena angin kuat (S)

2. Tinggi kenaikan ombak/ gelombang yang diakibatkan oleh karena angin kuat (Hw)

3. Tinggi rayapan gelombang/ ombak pada lereng bendungan yang diakibatkan oleh angin kuat (Hr)

2.5.1.2 Perhitungan Tinggi Jagaan

a. Pada banjir 1000 tahunan, tinggi jagaaan dihitung dengan rumus:

Hf = Hw + S + Hr + He + h

Dimana :

Hf= tinggi jagaan

Hw= tinggi kenaikan ombak karena angin

S= tinggi kenaikan muka air karena angin sangat kuat

Hr= tinggi rayapan gelombang pada lereng bendungan

He= tinggi kenaikan ombak akibat gempa

h= tinggi kenaikan muka air waduk akibat kemacetan operasi pintu

1. Hw dihitung dengan rumus Molitor Stevenson sebagai berikut:

Hw =

(3-14)

berlaku untuk F < 32 km

dimana :

Hw= tinggi kenaikan ombak/ gelombang (m)

v= kecepatan angin (km/ jam)

F= panjang efektif fetch = lintasan ombak (km)2. S dihitung dengan rumus Zuider Zee, sebagai berikut :

S =

(3-15)

Dimana :

S= kenaikan tinggi muka air karena angin (wind set up) (m)

v= kecepatan angin (km/jam)

F= panjang efektif fetch = lintasan ombak (km)

D= kedalaman air rata-rata sepanjang fetch efektif (m)

= sudut antara bidang tegak lurus sumbu bendungan dengan arah gelombang (0)3. Hr dihitung dengan rumus sebagai berikut, dengan menganggap bahwa gesekan di lereng bendungan kecil:

Hr =

(3-16)

Dimana :

Hr= tinggi rayapan gelombang (wave run up ) (ft)

vg= kecepatan gelombang (ft/ detik)

vg= 5+2.Hd (Gaillard)

(3-17)

Hd= tinggi gelombang desain (ft)

= 1,3 Hwg= gravitasi (32,18 ft/detik2)4. He dihitung dengan rumus Seiichi Sato, sebagai berikut :

He =

(3-18)

Dimana :

He= tinggi gelombang akibat gempa (m)

k= koefisien gempa

= periode gelombang (= 1detik)

= siklus gempa

g= gaya gravitasi bumi (9,81 m/detik2)

H0= kedalaman air waduk (m)b. Pada banjir boleh jadi terbesar/ maksimum (Probable Maximum Flood, PMF) tinggi jagaan dihitung dengan rumus :Hf = Hw + S + Hr1. Hw dihitung dengan rumus Molitor Stevenson,

Hw =

berlaku untuk F < 32 km

dimana :

Hw = tinggi kenaikan ombak/ gelombang (m)

v = kecepatan angin (km/ jam)

F= panjang efektif fetch = lintasan ombak (km)

2. S dihitung dengan rumus Zuider Zee, sebagai berikut :

S =

Dimana :

S= kenaikan tinggi muka air karena angin (wind set up) (m)

v= kecepatan angin (km/jam)

F= panjang efektif fetch = lintasan ombak (km)

D= kedalaman air rata-rata sepanjang fetch efektif (m)

= sudut antara bidang tegak lurus sumbu bendungan dengan arah gelombang (0)3. Hr dihitung dengan rumus sebagai berikut, dengan menganggap bahwa gesekan di lereng bendungan kecil:

Hr =

Dimana :

Hr= tinggi rayapan gelombang (wave run up ) (ft)

vg= kecepatan gelombang (ft/ detik)

vg= 5+2.Hd (Gaillard)

Hd= tinggi gelombang desain (ft)

= 1,3 Hwg= gravitasi (32,18 ft/detik2)Tinggi jagaan yang dihitung di atas adalah hanya akibat dari kenaikan muka air waduk itu sendiri. Untuk ini masih perlu diberi penambahan tinggi urugan sebagai cadangan tinggi jagaan akibat adanya penurunan yang terjadi pada bendungan yang telah dibangun. Penurunan terbesar urugan karena beratnya sendiri akan terjadi selama pemadatan. Selanjutnya penurunan akan terjadi dengan pertambahan sangat kecil dan berkembang menurut umur bendungan dan fluktuasi air waduk. Untuk memperkirakan peurunan total dipakai rumus empiris sebagai berikut :

Stot = 0,4%.H

(3-19)

Dimana :

Stot= penurunan total (m)

H= tinggi urugan = tinggi bendungan (m)

Selain dari cara yang telah dibuat di atas The Japanese National Committee on Large Dams (JANCOLD) telah menyusun standar minimal tinggi ruang bebas seperti pada tabel. Di dalam standar ini maka yang di ambil sebagai permukaan air tertinggi adalah FSL dan bukan TWL.Tabel 3.5 Standar Ruang Bebas Menurut JANCOLDNoTinggi bendungan (m)Bendungan betonBendungan urugan

1.

2.

3.< 50

50 100

> 1001 m

2 m

2,5 m2 m

3 m

3,5 m

Sumber : Soedibyo 1993 2.5.2 Tinggi Cofferdam

Penetapan tinggi mercu bendungan pengelak udik (cofferdam hulu), biasanya didasarkan pada elevasi permukaan air yang terdapat di depan pintu pemasukan saluran pengelak ditambah tinggi jagaan yang diperlukan untuk keamanan cofferdam tersebut. Untuk detail perhitungan tinggi cofferdam bisa dilakukan perhitungan penelusuran banjir.2.6. Perencanaan Konstruksi dan Perhitungan Stabilitas Main Dam 2.6.1 Perencanaan Dimensi dan Material Main Dam

2.6.1.1 Material Untuk Zone Kedap Air (Inti)Bahanbahan kedap air merupakan bahanbahan yang mutlak diperlukan untuk pembangunan bendungan urugan dan tipe serta stabilitas bendungan tersebut sangat tergantung pada karakteristika, kwalitas serta kwantitas dari bahan yang dapat digali untuk penimbunan pada zone kedap air tersebut (Sosrodarsono, 1977).Mengingat karakteristika dari bahan kedap air ini sangat beraneka ragam, tergantung dari kadar air yang terkandung di dalamnya, metode penimbunan, kepadatannya baik sesudah penimbrisan maupun sesudah selesainya prosesproses konsolidasi, maka survey investigasi serta penelitianpenelitian laboratorium yang seksama terhadap bahanbahan tersebut sangat diperlukan untuk dapat menentukan metodemetode penimbunan yang paling efektif.

Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi material zone kedap air yang akan digunakan sebagai material timbunan bendungan sebagai berikut :a. Koefisien Filtrasi

Sebagai standard, koefisien filtrasi (K) dari bahan yang digunakan untuk zone kedap air supaya tidak melebihi nilai 1 x 10-5 cm/dt dan untuk amannya dianjurkan agar menggunakan bahan dengan nilai K yang tidak melebihi 1 x 10-5 cm/dt. Pada hakekatnya semakin halus butiran suatu bahan, maka koefisien filtrasinya semakin rendah dan nilai K biasanya sudah dapat diperkirakan berdasarkan besarnya prosentase butiran pada bahan yang dapat melalui saringan No.300. Gradasi bahan kedap air biasanya terlihat seperti tertera pada gambar 3.17.

Hasil hasil penelitian menunjukkan bahwa apabila suatu bahan, dimana butiran halus yang dapat melalui saringan no. 200 lebih rendah dari 7 %, maka bahan tersebut biasanya lulus air. Akan tetapi apabila lebih dari 50 % yang dapat melalui saringan tersebut, maka bahan tersebut juga tak dapat dipergunakan sebagai bahan sebagai bahan kedap air, karena bahan semacam ini plastisitasnya tinggi sehingga mudah longsor dan runtuh.

Gambar 3.17 Gradasi Bahan Untuk Zone Kedap AirSumber : Bendungan Tipe Urugan, Suyono S, 2002:128Selain itu bahan yang sama, akan memberikan nilai K yang berbeda, apabila tingkat kepadatan dan angka kadar airnya berbeda-beda. Nilai K suatu bahan akan paling rendah pada tingkat kelembapan yang agak lebih basah dari angka kadar air optimumnya.

b. Kekuatan Geser

Suatu bahan berbutir kasar, biasanya mempunyai kekuatan geser yang tinggi. tingkat kekuatan gesernya dipengaruhi oleh angka kadar air serta tingkat pemadatannya, karena itu walaupun dari bahan yang sama kekuatan gesernya akan berubah-ubah pula. Akan tetapi pada bahan berbutir kasar tersebut perubahan-perubahan kekuatan gesernya tidak terlalu besar, walaupun bahan tersebut mempunyai kemampuan penyerapan air yang tinggi (angka porinya besar). Pemadatan-pemadatan suatu bahan , biasanya dilaksanakan pada keadaan yang agak kering (di daerah kering dari garis kadar air optimumnya) dan akan memeberikan kekuatan geser yang lebih besar. Akan tetapi setelah waduk terisi air dan bahan akan menjadi jenuh air, maka kekuatan gesernya akan menurun.

Kekuatan geser suatu bahan terutama ditentukan oleh daya kohesi (C) dan sudut geseran dalamnya (Q). Pada umumnya suatu bahan dengan harga D = 95 98 merupakan harga yang cukup baik untuk digunakan sebagai material timbunan bendungan. Sedangkan bahan-bahan dengan harga D = 90 95 biasanya digunakan untuk membangun bendungan yang rendah (< 30 m) atau untuk membangun bendungan dari timbunan bahan berbutir halus, dimana penimbunannya dilakukan pada kondisi kelembapan di daerah yang lebih basah dari angka kadar air optimumnya.

c. Karakteristik Bahan Konsolidasi

Semakin halus gradasi suatu bahan dan semakin tinggi angka kadar airnya, maka tingkat konsolidasinya akan menjadi lebih besar dan tekanan air pori mungkin dapat terjadi pada saat terjadinya proses konsolidasi tersebut.

Dengan demikian dalam tubuh bendungan yang baru selesai ditimbun, selain tekanan-tekanan yang disebabkan oleh hasil pemadatan, maka timbul pula tekanan-tekanan tambahan yang diakibatkan oleh adanya proses konsolidasi tersebut (tekanan konsolidasi).

Terutama untuk material-material calon tubuh bendungan yan kondisi kelembapannya terletak pada daerah yang lebih basah dari angka kadar air optimumnya, dimana pada saat pelaksanaan pemadatan tekanan porinya rendah. Akan tetapi pada saat berlangsungnya proses konsolidasi, maka tekanan air pori akan meningkat dan kemungkinan dapat melampaui batas-batas kemampuan stabilitas dari tubuh bendungan tersebut.d. Kondisi Bahan Pada saat Pelaksanaan Pembangunan Bendungan

Pada umumnya penimbunan dan pemadatan bahan-bahan berbutir kasar lebih mudah dilaksakan, dibandingkan dengan bahan-bahan berbutir halus. Demikian pula tingkat kelembapan suatu bahan dapat mempengaruhi kondisi penggarapannya, dimana dalam kondisi kelembapan yang terletak di sekitar angka kadar air optimumnya, penimbunan dan pemadatan bahan tersebut akan lebih mudah dilaksanakan dibandingkan dengan bahan yang tingkat kelembapannya mungkin hanya beberapa persen saja bergeser ke arah yang lebih basah dari titik optimum tersebut.

Selanjutnya penentuan suatu peralatan yang tepat akan sangat mempengaruhi kondisi penggarapan suatu bahan, terutama kualitas hasil penimbunannya. Lebih-lebih untuk pemadatan zone kedap air, pemilihan peralatan untuk pemadatan harus dilakukan dengan sangat hati-hati, disesuaikan dengan karakteristik bahan, angka kadar air aslinya, kondisi cuaca di daerah tempat kedudukan calon bendungan dan banyak faktor-faktor lainnya.

e. Zat-zat organik yang terkandung di dalam bahan

Zat-zat organik, merupakan zat-zat yang mudah terurai yang mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan fisik dari zat-zat tersebut dan akan menurunkan stabilitas dari bahan dimana zat-zat organik tersebut didapat. Karenanya material-material yang terpilih untuk tubuh bendungan supaya bebas dari campuran-campuran zat-zat organik, atau kandungan-kandungan zat organik tersebut tidak diperkenankan lebih dari 5%.

2.6.1.2 Material Timbunan Batu dan RipRap

Material-material bungkalan batu yang diperoleh dengan cara memecahkan lapisan batuan masif atau materialmaterial bungkalan pecahan batuan yang biasanya terdapat di dalam aluralur sungai disebut materialmaterial batu. Bendungan urugan yang sebagian besar tubuhnya terdiri dari timbunan batu berdiameter ratarata 10 s/d 75 cm disebut bendungan batu. Material batu akan dianggap ideal apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut.

a. Ukuran diameter batubatu antara 45 s/d 60 cm dengan berat antara 250 s/d 500 kg atau lebih.b. Batubatu yang bberdiameter kurang dari 10 cm yang terdapat dalam timbunan tubuh bendungan tidak diperkenankan melebihi 5 % komposisinya.c. Material batu tidak mudah pecah, baik dalam pengangkutan maupun pada saat penuangan dari alatalat pengangkutan (dumping).d. Berat jenisnya tidak kurang dari 2,5.e. Kekuatan tegangan tekan batu tidak kurang dari 700 kg/cm2.f. Daya tahan terhadap pelapukannya tinggi (pada pengujian dengan cairan Na2SO4 penyusutannya tidak melebihi 0,015 %).g. Untuk bendungan yang lebih rendah dari 50 meter dapat digunakan material material batu dengan spesifikasi berat jenisnya sekitar 2,3 dan kekuatan tegangan tekannya sekitar 300 kg/cm2.h. Apabila material batu cukup keras dan stabil, maka biasanya untuk D50 = 2 10 cm (D50 adalah ukuran diameter dari susunan material batu yang terletak di garis 50 % pada kurva gradasinya), maka besarnya sudut geser dalam sekitar 40o.i. Sedang untuk D50 > 15 cm, maka harga sudut geser dalamnya sebesar 45o.Harga suatu material batu dapat juga diperoleh dengan perhitungan yang didasarkan pada teori Dr. T. Mogami yaitu :

sin

=

(3-20)

dimana :

K= koefisien permeabilitas

e= angka poriKestabilan karakteristik material-material batu, merupakan faktor yang mutlak diperlukan, karena pada tubuh bendungan, material ini harus mampu bertahan sepanjang umur exploitasi yang direncanakan untuk bendungan tersebut yang biasanya melebihi lima puluh tahun. Karenanya material-material batu tersebut hendaknya dipilih yang keras dengan intensitas retakan yang rendah pada setiap bungkalan batu dan mempunyai daya tahan yang tangguh terhadap pengaruh-pengaruh air maupun pengaruh-pengaruh atmosfir lainnya. Semakin besar ukuran batu setiap batu serta semakin massif batu tersebut, maka material ini akan semakin baik. Karena itu biasanya material-material batu yang berasal dari batuan beku atau batuan metamorf, merupakan material-material yang memenuhi persyaratan tersebut. Disamping itu, bahan-bahan yang berasal dari batuan sedimen kadang-kadang juga dapat digunakan terrutama batuan sedimen tua, tetapi sebelum dilakukan pemakaiannya, harus dilakukan penelitian yang seksama terlebih dahulu.

Jenis material batu yang umumnya memenuhi syarat untuk dipergunakan pada penimbunan tubuh bendungan diklasifikasikan pada tabel 3.6 berikut.

Tabel 3.6 Bahan batuan yang dapat digunakan untuk material tubuh bendungan

Batuan yang dianggap sangat baik untuk bendungan urugan.Batuan yang dalam penggunaannya perlu penelitian yang seksama.

Granit, Andesit, Riolit.

Basalt.

Batuan pasir berumur sebelum mesozoikum.

Batuan kapur.

Batuan silikat.Shale, Slate.

Tuff.

Batuan pasir berumur neozoikum.

Gneiss, Shcist.

Sumber : Sosrodarsono, 1977Selanjutnya, mengingat material-material batu yang akan dipergunakan untuk penimbunan tubuh bendungan biasanya digali dengan peledakan dan untuk mendapatkan ukuran batu serta gradasi yang sesuai dengan rencana teknisnya, maka diperlukan pengujian-pengujian untuk menentukan cara-cara peledakan yang sesuai terutama mengenai kedalaman setiap lubang peledakan.

Apabila bahan batu tersusun dalam gradasi ukuran kecil, maka pendapatan yang dilakukan dengan metode pemadatan perlapisan (placement compaction method) merupakan cara pemadatan yang paling baik, sedangkan untuk bahan-bahan batu bergradasi besar pemadatan yang dilakukan dengan metode pemadatan menuang-ratakan (dumping and slicing compaction method) merupakan cara yang paling sesuai.

Selanjutnya apabila bahan batu mengandung 7 % butiran halus (yang dapat melalui saringan no. 200 dengan ukuran lubang 0,0074 mm), maka bahan campuran ini akan bersifat kedap air. Akan tetapi apabila kandungan bahan berbutir halus hanya mencapai 4 % maka bahan campuran ini akan bersifat semi-kedap air (akan sukar meluluhkan air melalui lapisan bahan campuran seperti ini).

Mengingat hal-hal tersebut, maka terutama material timbunan yang berasal dari dasar sungai yang diambil dengan mesin gali seret (drag-line), hendaknya diperhatikan betul-betul kandungan butiran yang halus, agar tidak melebihi persyaratan yang telah diuraikan. 2.6.2 Perhitungan Rembesan pada Tubuh Coffer DamBaik tubuh bendungan maupun pondasinya diharuskan mampu mempertahankan diri terhadap gayagaya yang di timbulkan oleh adanya air filtrasi yang mengalir melalui celahcelah antara butiranbutiran tanah pembentuk tubuh bendungan dan pondasi tersebut. Metode untuk menentukan besarnya rembesan pada bendungan urugan ada beberapa macam diantaranya adalah metode Dupuit, Schaffernak, Casagrande, dan Taylor (Christady, 1992). Metode L. CasagrandeL. Cassagrande (1932) memberikan cara untuk menghitung rembesan lewat tubuh bendungan yang berasal dari pengujian model. Parabola AB berawal dari titik A seperti yang diperlihatkan pada gambar, dengan AA = 0,3 x AD. Pada modifikasi ini, nilai d yang digunakan dalam persamaan akan merupakan jarak horizontal antara titik E dan C.

Gambar 3.18 Hitungan rembesan cara CassagrandeSumber : Christady, 1992Persamaan diperoleh dengan didasarkan pada anggapan cara Dupuit dimana gradien hidrolik (i) sama dengan . Casagrande menyarankan hubungan ini melalui pendekatan pada kondisi dalam kenyataannya. Dalam gambar di atas

i=

(3-21)

Untuk keiringan sebelah hilir lebih besar dari 30o, deviasi dari anggapan Dupuit menjadi kenyataan. Di dasarkan pada persamaan, debit rembesan .

Pada segitiga BCF :

i = = sin ;

(3-22)

maka,

=

(3-23)

atau

=

(3-24)

Dimana s adalah panjang dari kurva ABC

Penyelesaian dari persamaan di atas menghasilkan :

= 0

(3-25)

diperoleh :

a=

(3-26)

Dengan kesalahan sebesar kira kira 4 5 %, s dapat dianggap merupakan garis lurus AC, maka,

s=

(3-27)

kombinasi persamaan memberikan

a= -

(3-28)

besarnya debit rembesan dapat ditentukan dengan persamaan

=

(3-29)2.6.2.1 Penggambaran Garis Rembesan Secara Grafis

Jika bentuk dan posisi garis rembesan paling atas B1B2ES pada potongan melintang bendungan diketahui, besarnya rembesan air dapat dihitung. Bentuk garis rembesan kecuali dapat ditentukan secara analitis, dapat juga ditentukan secara grafis atau dari pengamatan laboratorium dari sebuah model bendungan sebagai prototype, ataupun juga secara analogi elektris.

Seperti pada penjelasan sebelumnya bahwa pengamatan meunjukkan bahwa garis rembesan yang melalui bendungan berbentuk kurva parabolis. Akan tetapi, penyimpangan kurva terjadi pada daerah hulu dan hilirnya. Bentuk parabola rembesan BB2ERAV disebut juga parabola dasar. Penggambaran secara grafis didasarkan pada sifatkhusus dari kurva parabola. Untuk itu harus diketahui satu titik pada parabola (titik B) dan posisi fokus F dari parabolanya. Menurut Cassagrande, letak titik B (x, z) dengan z = H adalah pada permukaan air di hulu bendungan dengan jarak 0,3 kali B1D1 diihitung dari titik B1 atau BB1 = 0,3 D1B1.

Gambar 3.19 Parabola Rembesan Secara GrafisSumber : Christady, 1992Posisi fokus F dari parabolanya biasanya dipilih pada perpotongan batas terendah garis aliran (yang dalam hal ini adalah garis horizontal) dan permukaannya. Perlu diperhatikan bahwa sebelum parabola dapat digambarkan, parameter p harus diketahui terlebih dahulu. Dari geometri gambar

FV= HV = p

(3-30)

dan

HC= 2p + x

(3-31)

jadi

= x + 2p

(3-32)

dan

p=

(3-33)

Pada x = d dan z = H, maka

p=

(3-34)

Dari persamaan , p dapat dihitung. Untuk menggambar parabola dasar, persamaan dapat diubah menjadi

x=

(3-35)

Dengan p yang diketahui nilai x untuk berbagai nilai z dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (4-38).2.6.2.2 Penggambaran Parabola Dasar Untuk Kemiringan Hilir > 30o

Perpotongan parabola dasar dengan permukaan hilir bendungan titik R (Gambar 2.35) dihitung menurut cara A. Casagrande, yaitu sebesar (a + a) dengan a = FS. Perhatikan bahwa panjang a adalah panjang SR dengan :

=

(3-36)

adalah fungsi dari , dimana adalah sudut kemiringan bendungan bagian hilir.

(3-37)

(3-38)

Gambar 3.20 Kemiringan Sudut Dengan Variasi DrainasinyaSumber : Christady, 1992

Pada bendungan yang terlihat pada Gambar 3.19, air dapat keluar melalui sisi luar bagian hilir bendungannya. Bila di bagian hilir dibangun sistem drainasi pada kaki bendungannya, seperti yang diperlihatkan pada gambar, maka besarnya sudut kemiringan seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 3.19 (a) dan 3.19 (b) di bawah dari permukaan air keluar berturutturut akan sama dengan 90o dan 135o. Bila bangunan drainasi seperti pada Gambar 4.20, sudut kemiringan dari permukaan air keluar adalah 180o. Sudut kemiringan diukur menurut arah jarum jam. Perhatikan bahwa titik F adalah fokus dari parabolanya.

Gambar 3.21 Grafik Nilai C (Casagrande, 1937)

Sumber : Christady, 1992 Nilai c untuk berbagai macam diberikan oleh Casagrande untuk sembarang kemiringan dari 30o sampai 180o. Dengan diketahuinya sudut yang berasal dari gambar penampang potongan bendungan, nilai c dapat ditentukan dari Gambar 3.21.

Adapun persamaan untuk menghitung besarnya a adalah

a= (a + a) c

(3-39)

Dari nilai a ini, kemudian dapat ditentukan posisi titik S, dimana tinggi ordinat S = h.2.6.2.3 Penggambaran Parabola Dasar Untuk Kemiringan Hilir < 30o

Posisi titik S dapat ditentukan secara grafis yang didasarkan pada persamaan (2-108). Prosedur grafis Schafferank untuk menentukan panjang a adalah sebagai berikut (Gambar 3.22) :

Gambar 3.22 Penggambaran Parabola Rembesan Untuk < 30oSumber : Christady, 19921. Gambarkan kemiringan hilir bendungan ke arah atas

2. Gambarkan garis vertikal AC lewat titik B3. Gambarkan setengah lingkaran OJC dengan diameter OC4. Gambarkan garis horizontal BG5. Dengan O sebagai pusat dan OG sebagai jari jari, gambarkan bagian lingkaran GJ6. Dengan C sebagai pusat dan CJ sebagai jari jari, gambarkan bagian lingkaran JS7. Ukur panjang OS yang merupakan panjang a2.6.2.4 Cara Menggambar Jaring Arus Pada Struktur Bendungan Tanah

Pada Gambar 3.23 memperlihatkan potongan tubuh bendungan dengan koefisien permeabilitas yang homogen pada seluruh penampangnya. Untuk menggambarkan jaring arusnya, maka prosedur berikut dapat diikuti :

a. Gambarkan garis freatis dengan cara yang telah dipelajari. Perhatikan bahwa garis AB merupakan garis ekuipotensial dan BC garis aliran. Tinggi energi tekanan pada sembarang titik pada garis freatis adalah 0. Jadi, selisih tinggi energi total antara dua garis ekuipotensial harus sama dengan selisih elevasi antara titik titik dimana garis ekuipotensial berpotongan dengan garis freatis. Karena kehilangan tinggi tekanan antara dua garis ekuipotensial berdekatan sama, maka dapat ditentukan penurunan ekuipotensialnya (Nd). Kemudian di hitung nilai h = h/Nd.

b. Gambarkan garis tinggi tekanan pada penampang melintang bendungannya. Titik potong dari garis garis tinggi tekanan dan garis freatis merupakan titik kedudukan garis ekuipotensial.

c. Gambarkan garis jaring arusnya, dengan mengingat garis ekuipotensial dan garis aliran berpotongan tegak lurus.

d. Debit rembesan yang lewat tubuh bendungan ditentukan dengan menggunakan persamaan

Gambar 3.23 Penggambaran Jaring Arus Pada BendunganSumber : Christady, 1992

Pada Gambar 3.23, jumlah jalur alirannya (Nf) adalah 2,33. Dua aliran sebelah atas mempunyai bentuk elemen aliran bujur sangkar, dan bagian bawah jalur aliran sebelah bawah mempunyai elemen yang lebar dibagi panjangnya 1/3. Nilai Nd dalam hal ini adalah 10.2.6.3 Perhitungan Stabilitas pada Lereng Coffer Dam 2.6.3.1 Stabilitas Lereng Bendungan

Dalam banyak kasus, untuk membangun sebuah bendungan urugan diharapkan mampu membuat perhitungan stabilitas talud guna memeriksa keamanan talud alamiah, talud galian, dan talud timbunan yang didapatkan. Faktor yang perlu dilakukan dalam pemeriksaan tersebut adalah menghitung dan membandingkan tegangan geser yang terbentuk sepanjang permukaan retak yang paling mungkin dengan kekuatan geser dari tanah yang bersangkutan (Das, BM; 1994).2.6.3.2 Analisis Stabilitas Talud Metode Irisan Fellenius

Gambar 3.24 Sketsa Sederhana Analisis Stabilitas Lereng Metode Fellenius(Sumber : Das, BM; 1994)

Analisis stabilitas dengan menggunakan metode irisan, dapat dijelaskan dengan memperhatikan Gambar 3.24 dengan AC merupakan lengkungan lingkaran sebagai permukaan bidang longsor percobaan. Tanah yang berada di atas bidang longsor percobaan di bagi dalam beberapa irisan tegak. Lebar dari tiaptiap irisan tidak harus sama. Perhatikan suatu satuan tebal tegak lurus irisan melintang talud seperti gambar. Gayagaya yang bekerja pada irisan tertentu ditunjukkan dalam Gambar 3.25. Wn adalah berat irisan. Gayagaya Nr dan Tr adalah komponen tegak dan sejajar dari reaksi R. Pn dan Pn+1 adalah gaya normal yang bekerja pada sisisisi irisan. Demikian juga, gaya geser yang bekerja pada sisi irisan adalah Tn dan Tn+1. Untuk memudahkan, tegangan air pori di anggap sama dengan nol. Gaya Pn dan Tn adalah sama besar dengan resultan Pn+1, dan Tn+1, dan juga garisgaris kerjanya segaris.

Gambar 3.25 Irisan Untuk Analisis Stabilitas Lereng Metode FelleniusSumber : Das, BM; 1994Untuk pengamatan keseimbangan

Nr= Wn . cos n

(3-40)Gaya geser perlawanan dapat dinyatakan sebagai berikut

Tr=

(3-41)

Tegangan normal dalam persamaan di atas adalah sama dengan

=

(3-42)

Untuk keseimbangan blok percobaan ABC, momen gaya dorong terhadap titik O adalah sama dengan momen gaya perlawanan terhadap titik O, atau

=

(3-43)

atau

=

(3-44)

Dimana pada persamaan di atas sama dengan dengan = lebar potongan irisan ke-n.

Perhatikan bahwa harga n bisa negatif atau positif. Harga n positif bila talud bidang longsor yang merupakan sisi bawah dari irisan, berada pada kwadran yang sama dengan talud maka tanah yang merupakan sisi atas dari irisan. Untuk mendapatkan angka keamanan yang minimum yaitu angka keamanan untuk lingkaran kritis beberapa percobaan dibuat dengan cara mengubah letak pusat lingkaran yang dicoba.2.6.3.3 Analisis Stabilitas Talud Metode Irisan Bishop

Pada tahun 1995, Bishop memperkenalkan suatu penyelesaian yang lebih teliti daripada metode irisan yang sederhana. Dalam metode ini, pengaruh gayagaya pada sisi tepi tiap irisan diperhitungkan. Gaya gaya yang bekerja pada irisan nomor n, yang ditunjukkan dalam Gambar 3.26, digambarkan dalam Gambar 3.26 (a). Sekarang, misalkan Pn Pn+1 = P; Tn Tn+1 = T. Juga, kita dapat menulis bahwa

Tr=

(3-45)

Gambar 3.26 Metode Irisan Bishop Yang Disederhanakan; (a) Gaya Gaya yang Bekerja Pada Irisan Nomor N, (b) Poligon Gaya Untuk KeseimbanganSumber : Das, BM; 1994Gambar 3.26 (b) menunjukkan poligon gaya untuk keseimbangan dari irisan nomor n. Jumlahkan gaya dalam arah vertikal.

Wn + T=

(3-46)atau,

Nr=

(3-47)

Untuk keseimbangan blok ABC (Gambar 3.26), ambil momen terhadap O

=

(3-48)

dengan,

Tr= =

(3-49)

Dengan memasukkan persamaan (3-47) dan (3-48) ke persamaan (3-49), maka didapatkan :

=

(3-50)

dengan

=

(3-51)

Untuk penyederhanaan, bila kita mengumpamakan T = 0, maka persamaan berubah menjadi :

=

(3-52)

Gambar 3.27 Variasi dengan dan

Sumber : Das, BM; 1994Perhatikan bahwa Fs muncul pada kedua sisi dari persamaan (2-91). Oleh karena itu, cara cobacoba perlu dilakukan untuk mendapatkan harga Fs. Gambar 3.27 menunjukkan variasi dari dengan untuk bermacam macam harga .

Seperti pada metode irisan sederhana, beberapa bidang longsor harus diselidiki untuk mendapatkan bidang longsor yang paling kritis yang akan memberikan angka keamanan minimum.

2.6.3.4 Analisis Stabilitas dengan Metode Irisan dengan Rembesan Tetap

Pada Gambar 3.28 menunjukkan sebuah talud dengan rembesan yang tetap. Untuk potongan nomor n, tekanan air pori rata rata pada dasar potongan adalah sama dengan . Gaya total yang disebabkan oleh tekanan air pori pada dasar potongan nomor n adalah sama dengan .

Gambar 3.28 Stabilitas Talud Dengan Rembesan Yang TetapSumber : Das, BM; 1994Jadi persamaan (4-50) untuk metode irisan yang sederhana akan disempurnakan untuk menentukan

=

(3-53)

Begitu juga persamaan (2-89) untuk metode irisan yang disederhanakan menurut Bishop akan disempurnakan ke persamaan berikut

=

(3-54)

Perlu diperhatikan bahwa dalam persamaan (4-51) dan (4-52) adalah berat total irisan. Dengan menggunakan metode irisan dan bermacammacam asumsi yang lain, Bishop, Margenstern (1960) dan Spencer (1967) memberikan grafik (chart) untuk menentukan angka keamanan dari talud yang sederhana dengan memperhitungkan pengaruh tekanan air pori. 2.6.4 Kontrol Keamanan dari Bahaya Rembesan 2.6.4.1 Cara Menggambar Jaring Arus pada Struktur Bendungan Tanah

Pada gambar 7.15 memperlihatkan potongan tubuh bendungan dengan koefisien permeabilitas yang homogn pada seluruh penampangnya. Untuk menggambarkan jarring arusnya, maka prosedur berikut dapat diikuti :

1. Gambarkan garis preatik. Perhatikan bahwa garis AB merupakan garis ekuipotensial dan C garis aliran. Karena kehilangan tinggi tekanan antara dua garis ekuipotensial berdkatan sama, maka dapat ditentukan penurunan ekuipotensialnya (Nd). kemudian di hitung nilai h = h/ Nd2. Gambar garis tinggi tekanan pada penampang melintang bendungannya. Titik potong dari gari-garis tinggi tekanan dan garis preatik merupakan titik kedudukan garis ekuipotensial.

3. Gambar garis jarring arusnya, dengan mengingat garis ekuipotensial dan garis aliran berpotongan tegak lurus, dan membentk bujur sangkar.

4. Debit rembesan yang lewat tubuh bendungan ditentuka dengan menggunakan persamaan q = K . h . L . Nf / Nd

Gambar 3.34 Penggambaran Jaring Arus Pada Bendungan2.6.4.2 Perhitungan rembesan Pada Bendungan Zonal

Bendungan Zonal terdiri dari timbunan tanh dan batu, timbunan batu bersifat porous dan rembesannya besar, sedang timbunan tanah merupakan timbunan yang kedap air dan mempunyai persyaratan harga koefisien rembesan maksimum sebesar = 1.10 -5 cm/dt, nmun tidak boleh juga terlalu kecil karena akan mengandung lempung ( clay ) terlalu banyak.

1. Untuk benungan inti tegak seperti terliat pada gambar 3.35, saat masuk ke timbunan batu bagian hulu bendungan, rembesan dianggap lurus dan tidk terjadi penurunan trayektori rembesan. Saat masuk ke timbunan inti trayektoi rembesanberlaku seperti hokum Casagrande, yaitu seperti masuk ke bendungan tanah (sub-bab 3.6.2)

Gambar 3.35 Trayektori Rembesan Bendungan Zonal Inti TegakJika timbunan batu di bagian hilir tidak dilengkapi dengan filter maka rembesan akan lurus keluar melalui tibunan batu tersebut. Namun jika di hilir timbunan batu

Dengan anggapan debit aliran filtrasi konstan maka :

Q = k1 a . L = k2 h2. L

(3-55)h2 = (k1/ k2)a

a = dari persamaan 3-28 = y0 (gambar 3-32)

(3-56)2. Bendungan Zonal Tirai agak berbeda dengan zonal inti tegak. Dari gambar 3.35 terlihat trayektori rembesan.

Gambar 3.35 Trayektori Rembesan Bendungan Zonal TiraiY0 atau a dicari secara grafis dengan keentuan seperti pada gambar 3.35. selanjutnya untuk zonal lulus air di bagian hilir di hitung dengan menggunakan rumus 3-55 dan 3-56.

2.6.4.3 Stabilitas Tubuh Bendungan Terhadap Piping

Rembesan air yang melalui bendungan yang kapasitasnya melebihi kapasitas yang diijinkan akan membahayakan stabilitas tubuh bendungan. Tetapi resiko ini bisa dikurangi dengan mengontrol keamanan terhadap bahaya piping terlebih dahulu sebelum dilakukan konstruksi. Untuk mengontrol keamanan terhadap piping dipakai ketentuan sebagai berikut :

i= I= Dengan :

i= Gradien Hidrolis

I = Gradien hidrolis kritis

h= perbedaan tinggi tekan air pada peresapan air di lereng hulu dengan titik keluarnya air pada lereng hilir

L = Panjang aliran filtrasi

Gs = Spesifoc Gravity material

e= Void Ratio Material

Kecepatan filtrasi harus lebih kecil dari batas kecepatan yang diijinkan untuk menjaga keamanan tubuh bendungan (RF. Craig, Soil Mechanic, 1991:27)

V=dengan :

V = kecepatan aliran filtrasi (cm/detik)

K = Koefisien Permeabilitas

i= Gradien Hidrolis

n = Angka Porositas

untuk meghitung batasan kecepatan kritis yang diijinkan dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut

C = dengan:

C = Kecepatan kritis aliran rembesan (cm/det)

W1 = Berat butiran dalam air (gr)

d= Diameter butiran bahan terkecil (cm)

g = Gaya gravitasi (cm/dt)

F = Luas pemukaan butiran (cm2)

gw = Berat isi air (gr.cm3)

_1353068473.unknown

_1353068498.unknown

_1353068515.unknown

_1353068523.unknown

_1353068531.unknown

_1353068535.unknown

_1353068539.unknown

_1353068541.unknown

_1353068543.unknown

_1353068544.unknown

_1353068545.unknown

_1353068542.unknown

_1353068540.unknown

_1353068537.unknown

_1353068538.unknown

_1353068536.unknown

_1353068533.unknown

_1353068534.unknown

_1353068532.unknown

_1353068527.unknown

_1353068529.unknown

_1353068530.unknown

_1353068528.unknown

_1353068525.unknown

_1353068526.unknown

_1353068524.unknown

_1353068519.unknown

_1353068521.unknown

_1353068522.unknown

_1353068520.unknown

_1353068517.unknown

_1353068518.unknown

_1353068516.unknown

_1353068507.unknown

_1353068511.unknown

_1353068513.unknown

_1353068514.unknown

_1353068512.unknown

_1353068509.unknown

_1353068510.unknown

_1353068508.unknown

_1353068503.unknown

_1353068505.unknown

_1353068506.unknown

_1353068504.unknown

_1353068501.unknown

_1353068502.unknown

_1353068499.unknown

_1353068490.unknown

_1353068494.unknown

_1353068496.unknown

_1353068497.unknown

_1353068495.unknown

_1353068492.unknown

_1353068493.unknown

_1353068491.unknown

_1353068486.unknown

_1353068488.unknown

_1353068489.unknown

_1353068487.unknown

_1353068484.unknown

_1353068485.unknown

_1353068483.unknown

_1353068454.unknown

_1353068465.unknown

_1353068469.unknown

_1353068471.unknown

_1353068472.unknown

_1353068470.unknown

_1353068467.unknown

_1353068468.unknown

_1353068466.unknown

_1353068458.unknown

_1353068460.unknown

_1353068464.unknown

_1353068459.unknown

_1353068456.unknown

_1353068457.unknown

_1353068455.unknown

_1353068446.vsdJikaY1/D > 1

JikaY1/D 1

JikaY4/D > 1

Aliran Air Tipe 4

JikaY1/D < 1,5

JikaY4/Yc < 1

JikaS0 < Sc

Aliran Air Tipe 2

Error

JikaY4/D 1

Aliran Air Tipe 3

Aliran Air Tipe 1

Error

benar

benar

benar

salah

salah

salah

salah

benar

benar

benar

Aliran Air Tipe 5 atau Tipe 6

salah

salah

benar

salah

_1353068450.unknown

_1353068452.unknown

_1353068453.unknown

_1353068451.unknown

_1353068448.unknown

_1353068449.unknown

Sheet1

Tipe AliranAliran di Dalam Tubuh TerowonganLokasi Bagian HilirTipe KontrolKemiringan Terowongany1/Dy4/ycy4/D

1Penuh SebagianInletKedalaman KritisCuram< 1,5< 1,0 1,0

2Penuh SebagianOutletKedalaman KritisLandai< 1,5< 1,0 1,0

3Penuh SebagianOutletBackwaterLandai< 1,5> 1,0 1,0

4Penuh TotalOutletBackwaterCuram & Landai> 1,0..> 1,0

5Penuh SebagianInletGeometri MasukanCuram & Landai 1,5.. 1,0

6Penuh TotalOutletGeometri pada Masukan dan Tubuh TerowonganCuram & Landai 1,5.. 1,0

JenisH/d < 1,01,0 < H/d < 1,5H/d > 1,5

Lingkaran0,87 H/d0,87 H/d1,09 + 0,10 H/d

Kotak1,00 H/d0,36 + 0,64 H/d0,62 + 0,46 H/d

Sheet2

Sheet3

_1353068442.unknown

_1353068444.unknown

_1353068445.unknown

_1353068443.unknown

_1353068440.unknown

_1353068441.unknown

Sheet1

Tipe AliranAliran di Dalam Tubuh TerowonganLokasi Bagian HilirTipe KontrolKemiringan Terowongany1/Dy4/ycy4/D

1Penuh SebagianInletKedalaman KritisCuram< 1,5< 1,0 1,0

2Penuh SebagianOutletKedalaman KritisLandai< 1,5< 1,0 1,0

3Penuh SebagianOutletBackwaterLandai< 1,5> 1,0 1,0

4Penuh TotalOutletBackwaterCuram & Landai> 1,0..> 1,0

5Penuh SebagianInletGeometri MasukanCuram & Landai 1,5.. 1,0

6Penuh TotalOutletGeometri pada Masukan dan Tubuh TerowonganCuram & Landai 1,5.. 1,0

Sheet2

Sheet3

_1353068437.unknown