bab ii keracunan organofosfat
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Organofosfat
Senyawa organofosfat merupakan kelompok senyawa yang memiliki potensi dan bersifat
toksik dalam menghambat cholinesterases yang mengakibatkan sasaran mengalami kelumpuhan
dan menyebabkan kematian.1,6 Organofosfat disintesis pertama di Jerman pada awal perang dunia
ke II. Pada awal sintesisnya diproduksi senyawa tetraethyl pyrophosphate (TEPP),parathion dan
schordan yang sangat efektif sebagai insektisida, tetapi jugacukup toksik terhadap mamalia.7
Struktur kimia dari senyawa organofosfat bervariasi, dengan nama umum yang berbeda-beda.
Semua bentuk mudah mengalami hidrolisa dan oksidasi. Kelembaban dan sinar matahari
berperan penting dalam proses transformasi secara alamiah.6 Senyawa organofosfat tidak hanya
digunakan sebagai insektisida dan pestisida, tetapi juga digunakan sebagai bahan kimia perang,
aditif minyak bumi, dan industri plasticizer.1
Organofosfat adalah insektisida yang paling toksik diantara jenis pestisida dan sering
menyebabkan keracunan pada orang. Tertelan organofosfat dalam jumlah sedikit dapat
menyebabkan kematian, tetapi diperlukan lebih dari beberapa miligram untuk dapat
menyebabkan kematian pada orang dewasa.1,4,8 Pajanan terhadap manusia bisa terjadi melalui
hidung, kulit atau mulut. Pajanan terbanyak melalui kulit, karena sifat lipofilik dari senyawa
organofosfat. Paparan yang serius mempengaruhi reseptor rangsangan muscarinic dan nikotinic.6
2.2 Epidemiologi
Keracunan organofosfat merupakan suatu fenomena di seluruh dunia, kasus keracunan
yang terjadi mencapai 2000 kematian di seluruh dunia setiap tahun. Berdasarkan data dari World
Health Organization (WHO), terdapat satu juta kasus yang terjadi pada keracunan yang tidak
disengaja setiap tahunnya dan dua juta orang dirawat di rumah sakit untuk usaha bunuh diri
dengan organofosfat.1
Pada tahun 1970, Environmental Protection Agency memperkirakan bahwa 3.000 rawat
inap pertahun diminta untuk kasus keracunan di Amerika Serikat, dengan tingkat kematian 50%
pada usia anak dan 10% pada orang dewasa. Berdasarkan data dari WHO, 3 juta kasus keracunan
organofosfat terjadi di seluruh dunia setiap tahun dengan 220.000 kematian. WHO
memperkirakan, berdasarkan data 2001, bahwa 859.000 orang meninggal secara global.9
Keracunan akut dengan organofosfat (OP) senyawa adalah masalah klinis utama global,
dengan ribuan kematian yang terjadi setiap tahun di Nepal. Sebagian besar keracunan
organofosfatdan kematian berikutnyaterjadi karena sengaja menelan diri dari racun. Negara
Nepal menunjukkan senyawa organofosfat menempati beban terbesar morbiditas dan mortilitas
terkait keracunan.30% dari semua kematian bunuh diri di negara 1999-2000 adalah karena
keracunan. Rumah sakit studi berbasis dari 5 rumah sakit besar di seluruh negeri pada tahun
1999-2000 menunjukkan senyawa organofosfat adalah bentuk paling umum dari keracunan
terdiri 52% dari total kasus.10
Pada tahun 2006 di Kabupaten Magelang telah dilaksanakan pemeriksaan di Kecamatan
Ngablak telah dilaksanakan pemeriksaan aktifitas kholinesterase pada petani dengan jumlah
sampel yang diperiksa 50 orang menunjukan 98 % keracunan dengan rincian keracunan berat 16
%, keracunan sedang 48%, keracunan ringan 34% dan normal 2%. Pada tahun 2008 hasil
penelitian dengan jumlah sampel yang diperiksa 68 orang menunjukkan kadar kholinesterase
darah petani sayuran di Desa Sumberejo yang mengalami keracunan sebesar 76,47%.7
Organofosfat paling banyak digunakan dalam pertanian dan kemungkinan paling banyak
frekuensinya sebagai agen penyebab penyakit saraf di antara pekerja pertanian terutama pada
negara yang berkembang.1Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Food and
Agriculture Organization (FAO) jumlah perempuan yang terlibat di sektor
pertanian meningkat dari tahun ke tahun. Dari beberapa studi yang dilakukan di
beberapa negara Asia ditegaskan bahwa perempuan adalah pekerja utama di
pertanian dan perkebunan.6
Pada bulan Desember 2008 hasil prapenelitian dengan jumlah sampel yang diperiksa 10
orang istri petani menunjukkan kadar kholinesterase darah di Desa Sumberejo yang mengalami
keracunan sebesar 50% aktifitas kholinesterase pada petani berlokasi di 7 Kecamatan dengan
jumlah yang diperiksa sebanyak 550 orang menunjukan keracunan 99,8 % dengan rincian ;
keracunan berat 18,2%; kearacunan sedang 72,73%; keracunan ringan 8,9% dan normal 0,18 %.7
2.3 Patofisiologi
2.4 Predisposisi
Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian keracunan pestisida adalah
faktor dalam tubuh (internal) dan faktor dariluar tubuh (eksternal), faktor-faktor
tersebut adalah :
1. Faktor dalam tubuh (internal) antara lain :
a. Umur
Umur merupakan fenomena alam, semakin lama seseorang hidup maka
usia pun akan bertambah. Seiring dengan pertambahan umur maka fungsi
metabolisme tubuh juga menurun. Semakin tua umur maka rata-rata aktivitas
kolinesterase darah semakin rendah, sehingga akan mempermudah terjadinya
keracunan pestisida.
b. Status gizi
Buruknya keadaan gizi seseorang akan berakibat menurunnya daya
tahantubuh dan meningkatnya kepekaan terhadap infeksi. Kondisi gizi
yangburuk, protein yang ada dalam tubuh sangat terbatas dan
enzimkolinesterase terbentuk dari protein, sehingga pembentukan
enzimkolinesterase akan terganggu. Dikatakan bahwa orang yang
memilikitingkat gizi baik cenderung memiliki kadar rata-rata kolinesterase
lebihbesar.
c. Jenis kelamin
Kadar kholin bebas dalam plasma darah laki-laki normal rata-rata 4,4μg/ml.
Analisis dilakukan selama beberapa bulan menunjukkan bahwatiap-tiap individu
mempertahankan kadarnya dalam plasma hingga relatifkonstan dan kadar ini
tidak meningkat setelah makan atau pemberian oralsejumlah besar kholin. Ini
menunjukkan adanya mekanisme dalam tubuhuntuk mempertahankan kholin
dalam plasma pada kadar yang konstan.Jenis kelamin sangat mempengaruhi
aktivitas enzim kolinesterase, jeniskelamin laki-laki lebih rendah dibandingkan
jenis kelamin perempuankarena pada perempuan lebih banyak kandungan
enzim kolinesterase,meskipun demikian tidak dianjurkan wanita menyemprot
denganmenggunakan pestisida, karena pada saat kehamilan kadar rata-
ratakolinesterase cenderung turun.
d. Tingkat pendidikan
Pendidikan formal yang diperoleh seseorang akan memberikan
tambahanpengetahuan bagi individu tersebut, dengan tingkat pendidikan yang
lebihtinggi diharapkan pengetahuan tentang pestisida dan bahayanya jugalebih
baik jika dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang rendah,sehingga dalam
pengelolaan pestisida, tingkat pendidikan tinggi akanlebih baik.
2. Faktor di luar tubuh (eksternal)
a. Dosis
Semua jenis pestisida adalah racun, dosis semakin besar
semakinmempermudah terjadinya keracunan pada petani pengguna
pestisida.Dosis pestisida berpengaruh langsung terhadap bahaya
keracunanpestisida, hal ini ditentukan dengan lama pajanan. Untuk
dosispenyemprotan di lapangan khususnya golongan organofosfat, dosis
yangdianjurkan 0,5 – 1,5 kg/ha.
b. Lama kerja
Semakin lama bekerja sebagai petani maka semakin sering kontak
denganpestisida sehingga risiko terjadinya keracunan pestisida semakin
tinggi.Penurunan aktivitas kolinesterase dalam plasma darah karena
keracunanpestisida akan berlangsung mulai seseorang terpapar hingga 2
minggusetelah melakukan penyemprotan.
c. Tindakan penyemprotan pada arah angin
Arah angin harus diperhatikan oleh penyemprot saat
melakukanpenyemprotan.Penyemprotan yang baik bila searah dengan arah
angindengan kecepatan tidak boleh melebihi 750 m per menit. Petani pada
saatmenyemprot melawan arah angin akan mempunyai resiko lebih
besardibanding dengan petani yang saat menyemprot searah dengan
arahangin.
d. Frekuensi penyemprotan
Semakin sering melakukan penyemprotan, maka semakin tinggi pularesiko
keracunannya.Penyemprotan sebaiknya dilakukan sesuai denganketentuan.
Waktu yang dibutuhkan untuk dapat kontak dengan pestisidamaksimal 5 jam
perhari.
e. Jumlah jenis pestisida
Jumlah jenis pestisida yang banyak yang digunakan dalam
waktupenyemprotan akan menimbulkan efek keracunan lebih besar
biladibanding dengan penggunaan satu jenis pestisida karena daya racun
ataukonsentrasi pestisida akan semakin kuat sehingga memberikan
efeksamping yang semakin besar.
f. Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD)
Pestisida masuk ke dalam tubuh dapat melalui berbagai cara, antara
lainmelalui pernafasan atau penetrasi kulit. Oleh karena itu cara-cara
yangpaling baik untuk mencegah terjadinya keracunan adalah
memberikanperlindungan pada bagian-bagian tersebut.Peralatan untuk
melindungibagian tubuh dari pemaparan pestisida pada saat
melakukanpenyemprotan disebut alat pelindung diri, atau biasa juga disebut
alatproteksi. Adapun jenis-jenis alat pelindung diri adalah :
1) Alat pelindung kepala dengan topi atau helm
2) Alat pelindung mata, kacamata diperlukan untuk melindungi matadari
percikan, partikel melayang, gas-gas, uap, debu yang berasal
daripemaparan pestisida.
3) Alat pelindung pernafasan adalah alat yang digunakan untukmelindungi
pernafasan dari kontaminan yang berbentuk gas, uap,maupun partikel
zat padat.
4) Pakaian pelindung, dikenakan untuk melindungi tubuh dari
percikanbahan kimia yang membahayakan.
5) Alat pelindung diri, alat pelindung ini biasanya berbentuk sarungtangan
yang dapat dibedakan menjadi : sarung tangan biasa (gloves),sarung
tangan yanng dilapisi plat logam (granlets), sarung tanganempat jari
pemakainya terbungkus menjadi satu, kecuali ibu jari yangmempunyai
pembungkus sendiri. Dalam hal sarung tangan, yangperlu diperhatikan
pada penggunannya bagi para penyemprot adalahagar terbuat dari
bahan yang kedap air serta tidak bereaksi denganbahan kimia yang
terkandung dalam pestisida.
6) Alat pelindung kaki, biasanya berbentuk sepatu dengan bagian atasyang
panjang sampai di bawah lutut, terbuat dari bahan yang kedapair, tahan
terhadap asam, basa atau bahan korosif lainnya.6,11
2.5 Diagnosis
2.6 Tatalaksana
Pengobatan terhadap kasus keracunan terutama berdasarkan cara masuk racun ke dalam
tubuh.2 Triase penangan keracunan organofosfat dilakukan berdasarkan gambaran klinis
keracunan organofosfat.
a. Pada kasus pemaparan pada kulit/inhalasi :
Jika tampilan stabil, pasien dilakukan dekontaminasi untuk menyingkirkan zat racun
dari kulit. Jika tidak stabil dilakukan triase untuk menstabilkan area yang akan
dilakukan penatalaksanaan sebelum dilakukan dekontaminasi dan penanganan lanjut.
Sampel atau produk zat racun diletakkan pada kantong yang ditutup dan diberi label
“Racun”. (guideline Sydney)
Tahapan dekontaminasi pada kulit, baju, rambut dan mata adalah dengan membasuh
cairan kimia pada daerah tersebut dengan larutan steril NaCl 0,9% untuk mata.
Lepaskan pakaian yang terkena zat racun, kemudian bersihkan bagian tubuh yang
terkena zat racun dengan sabun dan air. Pastikan lipatan kulit dan bagian dalam kuku
dibersihkan.
Barang-barang yang diduga terkontaminasi disingkirkan pada tempat yang memiliki
tutup dan diberikan label sebagai barang pribadi yang terkontaminasi.
Sabun yang mengandung klorheksidin dan alcohol membantu untuk menghilangkan
bahan-bahan yang bersifat lipofilik.
b. Pada kasus racun yang tertelan, penangannya adalah mengeluarkan racun sebanyak
mungkin dengan jalan memuntahkan (dengan meransang dinding faring atau pemberian
emetic, misalnya sirup ipecac). Ransangan muntah di kontra indikasikan pada zat racun
yang bersifat korosif. Pada keracunan organofosfat, ransangan muntah untuk
mengeluarkan racun dianjurkan. Terapi bilas lambung diindikasikan pada kasus
keracunan organofosfat, diberikan juga arang aktif, dan katartik diberikan jika racunnya
sudah tertelan. (forensikUI dan Kedaruratanmedicine).
c. Pada keracunan akut, tindakan darurat :
1. Berikan sulfas atropine untuk memblok efek dari asetilkolin dengan dosis 1-2 mg
i.v pada keracunan sedang, pada keracunan berat 2-5mg i.v atau 10-20mg
diberikan secara drip infusan.
2. Naikkan dosis SA 2x tiap 3-5 menit sampai timbul gejala atropinisasi atau sampai
tanda-tanda muskarinik hilang
3. Jika terapi inisial i.v tidak dapat dilakukan, mulailah dengan cara i.m SA 2mg,
dan naikkan dosis seperti SA i.v
4. Mulailah drip 60mg SA dalam 50c.
5. Pemberian atropine sebanyak 12 mg dalam 2 jam pertama cukup aman. Tetapi
atropine yang terputus akan segera disusul dengan kegagalan pernafasan.
6. Takaran SA untuk anak-anak adalah 0,04mg/kgBB. Bila timbul takikardi hebat
dapat diberi propranolol.
7. Pemberian pradiloksim untuk menstimulus asetilkolinesterasi dan bekerja sinergis
dengan atropine. Sebelum diberikan pastikan sampel darah telah ambil dan telah
diberikan heparin untuk dinilai asetilkolinesterasenya. Pemerian secara cepat bias
membuat takikardi, spasme laring, rigid otot, blokade neuromuscular yang
sementara.
8. Dosis pemberian pradiloksim adalah 1 gr dalam larutan akuades i.v diberikan
perlahan-lahan, dapat diulang 30 menit bila pernafasan tidak membaik. Takaran
dapat diberikan 2 kali/24 jam.
9. Pada keracunan yang kronik dapat diketahui dengan penentuan AChE dalam
darah. Bila ada indikasi (keracunan ringan) maka korban dapat diberikan istirahat,
dan tidak boleh kontak lagi dengan insektisida.
2.7 Pendekatan Ilmu Forensik terhadap Keracunan Organofosfat2
Dalam pemeriksaan keracunan harus diperhatikan kondisi-kondisi yang mempengaruhi
fatalitas racun pada korban, baik pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
tambahan.Banyak substansi yang hanya bersifat toksik dalam jumlah yang besar tetapi ada yang
bersifat toksik meskipun jumlahnya kecil.
Pemeriksaan korban keracunan pada prinsipnya sama secara medis maupun secara
forensik klinis meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan. Perbedaan
yang ada adalah pada hasil akhir pemeriksaan, berupa sertifikasi yang memberi batuan
pembuktian hukum terhadap korban. Sertifkasi yang dimaksud adalah diterbitkannya visum et
repertum peracunan.
Dalam pemeriksaan forensik klinis, anamnesis dapat bersifat autoanamnesis bila korban
kooperatif atau alloanamnesis baik terhadap keluarga koban atau penyidik. Beberapa hal yang
perlu ditekankan dalam anamnesis :
Jenis racun
Cara masuk racun (route of administration) : melalui ditelan, terhisap bersama udara
pernafasan, melalui penyuntikan, penyerapan melalui kulit yang sehat atau kulit yang
sakit, melalui anus atau vagina.
Data tentang kebiasaan dan kepribadian korban
Keadaan psikiatri korban
Keadaan kesehatan fisik korban
Faktor yang menigkatkan efek letal zat yang digunakan seperti penyakit, riwayat alergi
atau idiosinkrasi atau penggunaan zat-zat lain (ko-medikasi)
Hasil akhir pemeriksaan forensik klinik adalah diterbitkannya Visum et Repertum
Peracunan yang merupakan salah satu alat bukti sah di pengadilan. Prosedur penerbitan Visum et
Repertum peracunan sesuai dengan prosedur medikolegal penerbitan visum dimana harus dibuat
berdasarkan Surat Permintaan Visum resmi penyidik (Pasal 133 KUHAP). Dalam Visum et
Repertum peracunan ditentukan kualifikasi luka akibat peracunan, dimana penentuannya
berdasarkan penilaian efek racun terhadap metabolisme dan gangguan fungsi organ yang
diakibatkan oleh racun. 2
Pemeriksaan peristiwa keracunan
Pemeriksaan peristiwa keracunan meliputi :
1. Pemeriksaan TKP
Pemeriksaan di tempat kejadian merupakan pemeriksaan yang bertujuan untuk
membantu dalam menentukan cara keracunan dan penyebab keracunan. Dalam kasus
keracunan organofosfat, ditemukannya bahan organofosfat di tempat kejadian dapat
membantu menentukan penyebab keracunan. Jika di tempat kejadian terdapat muntahan
korban, maka muntahan tersebut dapat membantu menetukan penyebab keracunan, pada
keracunan organofosfat makan akan dijumpai muntahan yang berbau pelarut insektisida.
Penting untuk dilihat juga pada tempat kejadian apakah terdapat wadah yang digunakan
korban untuk meminum zat racun seperti organofosfat jika kasus tersebut merupakan
kasus bunuh diri.Mengumpulkan keterangan sebanyak mungkin tentang kondisi korban
sebelum menelan racun atau sebelum ditelankan racun. Pada kasus kecelakaan, misalnya
pada anak-anak perlu ditanyakan dimana zat racun disimpan.2
2. Pemeriksaan korban
Keracunan organofosfat dapat diduga bila gejala-gejala keracunan cepat timbul,
bila gejala baru timbul setelah 6 jam maka itu tidak bisa dikatakan keracunan
organofosfat. Gejala-gejala yang timbul bersifat progresif, makin lama makin memberat
dan gejala-gejala tersebut tidak bisa dikelompokkan adalam suatu sindroma tertentu, dan
pengobatan biasa tidak menolong.2
Pada korban yang meninggal dapat dilakukan :
o Pemeriksaan luar
Bau
Membaui korban dengan kasus keracunan dapat memberikan petunjuk
mengenai racun apa yang telah ditelan oleh korban. Pada kasus keracunan
organofosfat mungkin akan tercium bau zat pelarut misalnya bau minyak
tanah. Sumber bau yang menjadi petunjuk penyebab keracunan dapat
berasal dari pakaian, lubang hidung, dan mulut serta rongga badan.2
Pakaian
Pada pakaian dapat ditemukan bercak-bercak zat racun yang
disebabkan tercecernya racun yang ditelan atau oleh karena
muntahan.Penyebaran bercak perlu diperhatikan, karena dari penyebaran
itu kadang-kadang dapat diperoleh petunjuk tentang intensi atau kemauan
korban, yaitu apakah racun itu ditelan atas kemauannya sendiri atau
dipaksa. Dalam hal korban dipegangi dan dicekoki racun secara paksa,
maka bercak-bercak akan tersebar pada daerah yang luas. Selain itu pada
pakaian mungkin melekat bau racun.2
Lebam mayat dan perubahan warna kulit
Warna lebam mayat yang tampak pada pemeriksaan luar merupakan
cerminan manifestasi warna darah yang tampak pada kulit.Warna lebam
mayat yang tidak biasa dapat menjadi petunjuk dari zat racun yang tertelan
atau ditelan.Pada kasus keracunan organofosfat tidak ditemukan lebam
mayat yang khas.Begitu juga dengan perubahan warna kulit.Pada
keracunan organofosfat tidak ditemukan tanda-tanda perubahan warna
kulit yang khas.2
Pada kasus keracunan akut hanya ditemukan tanda-tanda asfiksia2
o Pemeriksaan dalam2
Pada kasus keracunan organofosfat yang akut, pada pemeriksaan dalam
dapat ditemukan edema paru-paru, dan perbendungan organ-organ tubuh,
mukosa lambung mengalami inflamasi disertai perdarahan ptekie.
Pada kasus keracunan organofosfat yang dicobakan pada binatang dengan
keracunan kronik dapat ditemukan nekrosis sentral dan degenerasi
bengkak keruh pada hati ; vakuolisasi, girolisis dan retikulasi basofilik
yang jelas pada otak dan medula spinalis ; perlemakan pada miokardium ;
degenerasi sel tubuli ginjal.
Pada kasus keracunan organofosfat dapat ditemukan penurunan aktifitas
enzim asetilkolinesterase dalam jaringan otak pada pemeriksaan
laboratorium lanjutan.
3. Pemeriksaan Toksikologi2
o Pengambilan dan pengumpulan bahan
Ditemukannya jenis racun pada darah, feses, urin atau dalam organ tubuh
merupakan bukti yang memastikan bahwa telah terjadi keracunan.Racun bisa
ditemukan dalam lambung, usus halus, dan kadang-kadang pada hati, limpa dan
ginjal. Pada keracunan organofosfat bahan pemeriksaan toksikologi dapat
diambil dari :
Darah
Jaringan hati
Jaringan otak
Limpa
Paru-paru
Lemak badan