keracunan morfin

Upload: bayyinah-ardian

Post on 10-Jul-2015

287 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

MORFINBayyinah Dina Haryanti Dewanti Rosyana RR. Alvira Widjaya Ummu Hikamah Farmasi VII A 108102000026 10810200003 10810200001 10810200002 1081020000

Farmakodinamik & farmakokinetik Pengertian

IndikasiProfil Kontraindikasi MORFIN Efek Samping

Gejala

Keracunan

Tahapan Keracunan Program Pengobatan

PENGERTIAN

Morfin, C 17 H 19 NO 3, adalah benzylisoquinoline dengan dua cincin tambahan tertutup, membentuk senyawa pentasiklik. Di antara kunci utamanya adalah dua gugus hidroksil, satu kelompok amina, lima pusat kiral dan lima cincin lengkap, empat di antaranya menggabungkan atom karbon yang sama. Morfin adalah analgesik poten reseptor agonis dan merupakan agen aktif yang utama dalam opium dan semua turunan opiat lainnya. Karena struktur pentasikliknya, di mana empat cincin semua menggabungkan atom karbon yang sama, sintesis morfin ini sangat sulit. Sifat analgesik berasal dari kemampuannya mengikat opioid reseptor di seluruh tubuh, sehingga berfungsi dengan cara yang sama dengan endorfin, obat penghilang rasa sakit tubuh sendiri alami.

Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial lebih mudah dan menguntungkan, yang dibuat dari bahan getah papaver somniferum. Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting). Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatife selektif, yakni tidak begitu mempengaharui unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi), penglihatan dan pendengaran, bahakan persepsi nyeripun tidak selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi. Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme : 1) morfin meninggikan ambang rangsang nyeri 2) morfin dapat mempengaruhi emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yang timbul dikorteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri dari thalamus 3) morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri meningkat. Dosis dan sediaan Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral dalam bentuk larutan diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengurangi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/kgBB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai yamg diperlukan. Setelah injeksi intravena, analgesia puncak dicapai dalam waktu 20 menit dan biasanya berlangsung 3-5 jam. Morfin dihilangkan dengan metabolisme hati, dengan paruh serum sekitar 3 jam, namun pembersihan morfin diperlambat, dan durasi efek berkepanjangan pada pasien dengan gagal ginjal.

PROFIL

Farmakodinamik Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang mengandung otot polos. Efek morfin pada system syaraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi. Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar. Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiper aktif reflek spinal, konvulsi dan sekresi hormone anti diuretika (ADH).

Farmakokinetik Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgesik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Morfin dapat melewati sawar uri dan mempengaruhi janin. Ekskresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat.Indikasi Morfin dan opioid lain terutama diidentifikasikan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin besar dosis yang diperlukan. Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai : Infark miokard Neoplasma Kolik renal atau kolik empedu Oklusi akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner Perikarditis akut, pleuritis dan pneumotorak spontan Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pasca bedah.

Indikasi Infark miokard Neoplasma Kolik renal atau kolik empedu Oklusi akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner Perikarditis akut, pleuritis dan pneumotorak spontan Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pasca bedah. Rasa sakit hebat yang terkait dengan laba-laba janda hitam envenomation, ular berbisa envenomation, atau gigitan atau sengatan lainnya. Sakit yang disebabkan oleh cedera korosif pada mata, kulit, atau saluran pencernaan. Edema paru akibat gagal jantung kongestif. Kimia-diinduksi edema paru noncardiogenic bukan merupakan indikasi untuk terapi morfin.

Kontraindikasi Diketahui hipersensitif terhadap morfin. Pernapasan atau depresi sistem saraf pusat dengan kegagalan pernapasan yang akan datang, kecuali pasien diintubasi atau peralatan dan personil terlatih berdiri untuk intervensi jika diperlukan. Dugaan cedera kepala. Morfin dapat mengaburkan atau menyebabkan depresi sistem saraf pusat berlebihan.

Efek Samping Pernapasan dan depresi sistem saraf pusat dapat menyebabkan serangan pernapasan. Efek depresan dapat berkepanjangan pada pasien dengan penyakit hati dan gagal ginjal kronis. Hipotensi dapat terjadi karena penurunan resistensi pembuluh darah sistemik dan nada vena. Mual, muntah, dan sembelit dapat terjadi. Bradikardia, mengi, flushing, pruritus, urtikaria, dan lainseperti efek histamin dapat terjadi. Pengunaan pada kehamilan. FDA kategori C (tak tentu). Hal ini tidak menghalangi akut, penggunaan jangka pendek untuk pasien bergejala serius.

Morfin diabsorbsi dengan baik setelah pemberian subkutan (dibawah kulit) atau intra muskuler, tetapi tidak diabsorbsi dengan baik di saluran pencernaan. Oleh sebab itu morfin tidak pernah tersedia dalam bentuk obat minum. Efek subyektif yang dialami oleh individu pengguna morfin antara lain merasa gembira, santai, mengantuk, dan kadang diakhiri dengan mimpi yang menyenangkan. Pengguna morfin umumnya terlihat apatis, daya konsentrasinya menurun, dan pikirannya sering terganggu pada saat tidak menggunakan morfin. Efek tersebut yang selanjutnya menyebabkan penggunanya merasa ketagihan. Disamping memberi manfaat klinis, morfin dapat memberikan resiko efek samping yang cukup beragam, antara lain efek terhadap sistema pernafasan, saluran pencernaan, dan sistem urinarius. Efek pada sistem pernafasan berupa depresi pernafasan, yang sering fatal dan menyebabkan kematian. Efek ini umumnya terjadi beberapa saat setelah pemberian intravenosa atau sekitar satu jam setelah disuntikkan intramuskuler. Efek ini meningkat pada penderita asma, karena morfin juga menyebabakan terjadinya penyempitan saluran pernafasan. Efek pada sistem saluran pencernaan umumnya berupa konstipasi, yang terjadi karena morfin mampu meningkatkan tonus otot saluran pencernaan dan menurunkan motilitas usus. Pada sistem urinarius, morfin dapat menyebabkan kesulitan kencing. Efek ini timbul karena morfin mampu menurunkan persepsi terhadap rangsang kencing serta menyebabkan kontraksi ureter dan otot- otot kandung kencing. Tanda- tanda pemakaian obat bervariasi menurut jenis obat, jumlah yang dipakai, dan kepribadian si pemakai serta harapannya.

KERACUNAN MORFIN

Gejala kelebihan dosis : Pupil mata sangat kecil (pinpoint), pernafasan satu-satu dan coma (tiga gejala klasik). Bila sangat hebat, dapat terjadi dilatasi (pelebaran pupil). Sering disertai juga nausea (mual). Kadang-kadang timbul edema paru (paru-paru basah). Gejalagejala lepas obat : Agitasi, nyeri otot dan tulang, insomnia, nyeri kepala. Bila pemakaian sangat banyak (dosis sangat tinggi) dapat terjadi konvulsi (kejang) dan koma, keluar airmata (lakrimasi), keluar air dari hidung (rhinorhea), berkeringat banyak, pupil dilatasi, tekanan darah meninggi, nadi bertambah cepat, hiperpirexia (suhu tubuh sangat meninggi), gelisah dan cemas, tremor, kadang-kadang psikosis toksik. Anamnesa dan Pemeriksaan fisik Gejala klinis : pada umumnya sama dengan gejala klinis keracunan barbiturate; antara lain nausea, vomiting, nyeri kepala, otot lemah, ataxia, suka berbicara, suhu menurun, pupil menyempit, tensi menurun dan sianosis. pada keracunan akut : miosis, koma, dan respirasi lumpuh. gejala keracunan morfin lebih cepat nampak daripada keracunan opium. Gejala ini muncul 30 menit setelah masuknya racun, kalau parenteral, timbulnya hanya beberapa menit sesudah masuknya morfin.

TAHAPAN KERACUNAN MORFIN Tahap 1, tahap eksitasi, Berlangsung singkat, bahkan kalau dosisnya tinggi, tanpa ada tahap 1, terdiri dari : Kelihatan tenang dan senang, tetapi tak dapat istirahat. Halusinasi. Kerja jantung meningkat, wajah kemerahan dan kejang-kejang. Dapat menjadi maniak. Tahap 2, tahap stupor, dapat berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam (gejala ini selalu ada), terdiri dari : Kepala sakit, pusing berat dan kelelahan. Merasa ngantuk dan selalu ingin tidur. Wajah sianosis, pupil amat mengecil. Pulse dan respirasi normal. Tahap 3, tahap koma, tidak dapat dibangunkan kembali, terdiri dari : Tidak ada reaksi nyeri, refleks menghilang, otot-otot relaksasi. Proses sekresi. Pupil pinpoint, refleks cahaya negative. Pupil melebar kalau ada asfiksisa, dan ini merupakan tanda akhir. Pulse menurun, kadang-kadang ada kejang, akhirnya meninggal.

Pemeriksaan Toksikologi : 1. Urin, cairan empedu dan jaringan tempat suntikan. 2. Darah dan isi lambung, diperiksa bila diperkirakan keracunannya peroral. 3. Nasal swab, kalau diperkirakan melalui cara menghirup.

Metode yang digunakan : Dengan Thin Layer Chromatography atau dengan Gas Chromatography (Gas Liquid Chromatography) Pada metode TLC, terutama pada keracunan peroral: barang bukti dihidroliser terlebih dahulu sebab dengan pemakaian secara oral, morfin akan dikonjugasikan terlebih dahulu oleh glukuronida dalam sel mukosa usus dan dalam hati. Kalau tanpa hidrolisa terlebih dahulu, maka morfin yang terukur hanya berasal dari morfin bebas, yang mana untuk mencari beberapa morfin yang telah digunakan, hasil pemeriksaan ini kurang pasti. Nalorfine Test. Penafsiran hasil test : Kadar morfin dalam urin, bila sama dengan 5 mg%, berarti korban minum morfin dalam jumlah sangat banyak. Bila kadar morfin dalam urin 5-20 mg%, atau kadar morfin dalam darah 0,1-0,5 mg%, berarti pemakaiannya lebih besar dosis lethalis. Permasalahan timbul bila korban memakai morfin bersama dengan heroin atau bersama kodein. Sebab hasil metabolic kodein, juga ada yang berbentuk morfin, sehingga morfin hasil metabolic narkotika tadi berasal dari morfinnya sendiri dan dari kodein. Sebagai patokan dapat ditentukan, kalau hasil metabolit morfinnya tinggi, sedang mensuplai morfin hanya sedikit, dapat dipastikan korban telah mensuplai juga kodein cukup banyak.

PROGRAM PENGOBATAN ATAU TERAPI (ANTI DOTUM) Naloxone merupakan salah satu obat untuk melawan keracunan narkotika atau disebut opiat antagonis. Obat lain untuk melawan pengaruh morfin atau heroin adalah nalorphine, levallophan, cyclazocine, tetapi risikonya cukup berbahaya. Naloxone dapat membantu dengan cepat kalau diberikan dalam bentuk suntikan. Pemberian dalam bentuk suntikan naloxone HCl (Narcan, Nokoba) yang dimulai dengan dosis 0,4 mg/dl, dapat memperbaiki keadaan gangguan pernapasan. Pemberian sebaiknya langsung masuk pembuluh darah balik atau intravena. Setelah disuntik, diperhatikan keadaan pernapasannya. Jika belum membaik, setelah diobservasi dalam 35 menit dapat diulangi lagi ditambah satu ampul lagi sampai efeknya tercapai dengan respons perbaikan kesadaran, hilangnya depresi pernapasan, dan dilatasi pupil. Naloxone merupakan opioid antagonis spesifik; dosis awal 1-2 mg secara IV, IM, atau injeksi subkutan. Dosis yang lebih besar mungkin diperlukan untuk membalikkan efek overdosis akibat propoxyphene, kodein, atau turunan fentanil. Durasi tindakan (2-3 jam) mungkin jauh lebih pendek dari keberadaan opioid antagonis. Program terapi penyalahgunaan narkotika terdiri atas 2 fase, yaitu: Terapi detoksifikasi Terapi rumatan (pemeliharaan) Kedua terapi di atas harus berkesinambungan, sebab terapi detoksifikasi saja bukan merupakan penyembuhan. Setelah penderita melewati fase kritisnya maka dia harus menghentikan ketergantungannya melalui program terapi di atas. Para pecandu narkotika jumlahnya semakin tahun semakin meningkat. Penyembuhan secara medis untuk para pecandu narkotika sering menimbulkan kondisi relaps, kambuh lagi. Pasien ketergantungan narkotika dimungkinkan menjalani detoksifiksi di rumahnya selama 5 hari berturut-turut. Selain itu, untuk penyembuhan membutuhkan terapi rumatan (pemeliharaan). Khusus untuk ketergantungan opioida, diperlukan suatu program terapi khusus. Selain diberikan terapi obat, perlu dilakukan terapi sosial, terapi okupasional, atau terapi religius. Pendekatan holistik melibatkan tim profesional seperti dokter/psikiater, perawat, psikolog, tokoh agama, dan pekerja sosial akan memberikan hasil yang memuaskan. http://ningrumwahyuni.wordpress.com/2009/09/04/keracunan-opiat/