bab ii fix seminar igd

29
BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Konsep Resusitasi Jantung Paru Resusitasi mengandung arti harfiah menghidupkan kembali, yaitu usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu episode henti jantung yang berlanjut menjadi kematian biologis. Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) adalah prosedur kegawatdaruratan medis yang ditujukan untuk serangan jantung dan pada henti napas. RJP adalah kombinasi antara bantuan pernapasan dan kompresi jantung yang dilakukan pada korban serangan jantung dan henti nafas. Metode ini bertujuan untuk memberikan sirkulasi oksigen ke dalam darah melalui pengiriman bantuan pernapasan dan penekanan atau kompresi di dada yang biasanya sering terjadi pada korban serangan jantung dan henti nafas secara mendadak. Tujuan utama prosedur ini memastikan bahwa aliran kritis darah beroksigen dipertahankan ke otak dan organ vital lainnya selama upaya resusitasi.. 4

Upload: eni-ta

Post on 28-Oct-2015

22 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

manajemmen dying

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II Fix Seminar Igd

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Resusitasi Jantung Paru

Resusitasi mengandung arti harfiah menghidupkan kembali, yaitu

usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu episode henti

jantung yang berlanjut menjadi kematian biologis.

Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation

(CPR) adalah prosedur kegawatdaruratan medis yang ditujukan untuk

serangan jantung dan pada henti napas. RJP adalah kombinasi antara

bantuan pernapasan dan kompresi jantung yang dilakukan pada korban

serangan jantung dan henti nafas. Metode ini bertujuan untuk memberikan

sirkulasi oksigen ke dalam darah melalui pengiriman bantuan pernapasan

dan penekanan atau kompresi di dada yang biasanya sering terjadi pada

korban serangan jantung dan henti nafas secara mendadak. Tujuan utama

prosedur ini memastikan bahwa aliran kritis darah beroksigen dipertahankan

ke otak dan organ vital lainnya selama upaya resusitasi..

Dalam kehidupan sehari hari tindakan CPR ini sangat penting karena

penyakit atau kejadian yang memerlukan tindakan ini datang tiba-tiba.

Beberapa indikasi pelaksanaan RJP diantaranya :

a. Henti Nafas

Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak

hal, misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi

asap / uap/ gas, obstruksi jalan napas oleh benda asing, tesengat listrik,

tersambar petir, serangan infark jantung, radang epiglotis, tercekik

4

Page 2: BAB II Fix Seminar Igd

(suffocation), trauma dan lain-lainnya. Pada awal henti napas, jantung

masih berdenyut, masih teraba nadi, pemberian O2 ke otak dan organ

vital lainnya masih cukup sampai beberapa menit. Jika henti napas

mendapat pertolongan segera maka kemungkinan besar pasien akan

terselamatkan hidupnya dan sebaliknya jika terlambat akan berakibat

henti jantung.

b. Henti Jantung Henti jantung primer (cardiac arrest)

Cardiac arrest ialah ketidak sanggupan curah jantung untuk memberi

kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan

dapat balik normal, bila dilakukan tindakan yang tepat atau akan

menyebabkan kematian atau kerusakan otak. Henti jantung terminal

akibat usia lanjut atau penyakit kronis tentu tidak termasuk henti jantung.

Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau

takikardi tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel asistol

(+-10%) dan terakhir oleh disosiasi elektro-mekanik (+-5%). Dua jenis

henti jantung yang terakhir lebih sulit ditanggulangi karena akibat

gangguan pacemaker jantung. Fibirilasi ventrikel terjadi karena koordinasi

aktivitas jantung menghilang.

Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis

femoralis, radialis) disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali,

pernapasan berhenti atau satu-satu (gasping, apnu), dilatasi pupil tak

bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar. Pengiriman

O2 ke otak tergantung pada curah jantung, kadar hemoglobin (Hb),

saturasi Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan. Iskhemi melebih 3-4

menit pada suhu normal akan menyebabkan kortek serebri rusak

5

Page 3: BAB II Fix Seminar Igd

menetap, walaupun setelah itu dapat membuat jantung berdenyut

kembali.

2.2 Dilema Etik Pada Tindakan Resusitasi Jantung Paru

Keputusan tentang Resusitasi Jantung Paru (RJP) memang sangat

rumit dan sering dibuat dalam hitungan detik oleh tenaga medis tanpa

mengetahui apakah penderita mempunyai advanced directives atau tidak.

Advanced directives adalah dokumen yang sah secara hukum, yang ditulis

sebelum penderita menderita penyakit yang bersifat incapacitating. Petunjuk

yang ada dalam advanced directives ini dapat membebas-tugaskan tenaga

medis dalam mengambil keputusan, dengan kata lain advanced directives

adalah pernyataan tentang keinginan penderita mengenai tindakan medis

apa yang sebaiknya dilakukan atau tidak dilakukan pada waktu penderita

dalam keadaan incompetency.

Beberapa penelitian menunjukkan pemberian RJP sering bertentangan

dengan keinginan pasien. Padahal setiap keputusan harus dibuat dengan

belas kasih, berdasarkan prinsip-prinsip etik dan referensi ilmiah yang ada.

Hasil beberapa studi mengenai RJP memperlihatkan bahwa hasil RJP

hingga saat ini masih buruk. RJP dapat berhasil pada waktu dilakukan

pembedahan jantung, henti jantung yang disaksikan langsung, irama jantung

yang tidak beraturan (ventricular fibrillation atau tachycardia).

Panduan/pedoman yang ada saat ini mengindikasikan agar tindakan RJP

dapat mengembalikan kehidupan ketika henti jantung terjadi karena berbagai

sebab kelainan jantung yang ada. Undang-undang juga secara tidak

langsung menyatakan persetujuan dilakukannya tindakan RJP sebagai

penanganan kegawat-daruratan serta respon standard terhadap henti

6

Page 4: BAB II Fix Seminar Igd

jantung. Padahal RJP bukan tindakan yang tepat terhadap kematian yang

terjadi karena usia lanjut, penderita yang menderita demensia berat, dan

mungkin sedang atau yang mengalami kemunduran fisik sebelum henti

jantung, penderita dengan kanker, HIV/AIDS.

2.2.1 Prinsip Etik

Pada tindakan resusitasi jantung paru, perbedaan etik dan norma

budaya harus dipertimbangkan. Meskipun prinsip-prinsip etik tentang

beneficence, non maleficence, autonomy dan justice dapat diterima di

seluruh budaya, tetapi prioritas prinsip-prinsip tersebut dapat bervariasi

antara kebudayaan yang berbeda. Misalanya di Amerika Serikat,

sebagian besar penekanan pada otonomi individual. Dan di Eropa

lebih menekankan pada penyedia layanan kesehatan otonomi yang

menjadi tugas mereka dalam mengambil keputusan bila timbul

masalah. Sedangkan di Asia keputusan kelompok masyarakat

mendominasi keputusan yang diambil. Dikatakan bahwa resusitasi

adalah paduan usaha antara data ilmiah dan nilai-nilai sosial

sedangkan pada saat yang sama juga terdapat upaya

mempertahankan otonomi budaya, sehingga dokter harus memainkan

peranan penting dalam mengambil keputusan berdasarkan data ilmiah

dan keinginan (preferensi) pasien

1). Beneficence

Prinsip beneficence pada RJP adalah pemulihan kesehatan

dan fungsi-fungsinya serta meringankan rasa sakit dan

penderitaan. Resusitasi elektif yang dilakukan pada tahun 1940an

dan awal 1950 seperti perawatan pernafasan intensif

7

Page 5: BAB II Fix Seminar Igd

meningkatkan harapan hidup pasien poliomyelitis bulbar dari 15%

menjadi lebih dari 50%. Satu dekade kemudian, 14 dari 20 pasien

(70%) yang ditangani dengan pemijatan jantung paru tertutup

dapat bertahan hidup. Jarang sekali pasien bertahan hidup

setelah dilakukan RJP ketika henti jantung yang timbul

disebabkan oleh penyakit selain jantung atau disfungsi organ. RJP

yang dimulai dengan cepat di Seattle menghasilkan tingkat

harapan hidup sebesar 36%, itu merupakan angka tertinggi yang

dicapai dibandingkan dengan data yang terdapat di literatur saat

ini. Pada daerah lalu lintas yang mempunyai sistem yang lebih

buruk angka keberhasilan RJP lebih rendah. Secara spesifik di

kota New York dan Chicago tingkat harapan hidup setelah

tindakan RJP kurang dari 2%, hal itu terjadi karena RJP yang

terlambat terkait dengan padatnya arus lalu lintas. Usia bukan

merupakan salah satu kontraindikasi dilakukannya tindakan RJP.

Walaupun dikatakan proses penuaan berkaitan dengan akumulasi

berbagai kelemahan dan penyakit, dengan terdapatnya perawatan

jangka panjang dan penurunan fungsi tubuh, masih menjadi salah

satu perkiraan hasil RJP yang buruk.

2). Non maleficence

Tingkat kerusakan otak berkaitan dengan tindakan RJP

bervariasi antara 10-83%. Pada salah satu penelitian, 55 dari 60

anak meninggal karena pemberian RJP yang berkepanjangan;

lima lainnya bertahan hidup pada kondisi coma persistent atau

status vegetative di rumah sakit. Banyak pasien dengan disabilitas

8

Page 6: BAB II Fix Seminar Igd

berat yang diikuti dengan kerusakan otak berada dalam kondisi

yang sama dengan kematian. RJP menjadi berbahaya dan

bersifat merusak ketika risiko kerusakan otak relatif tinggi. Oleh

karena gangguan aliran darah ke otak atau ke jantung dapat

menyebabkan kerusakan berat, RJP dapat dikatakan berhasil

hanya jika dilakukan tepat waktu. Seorang investigator dari

Swedia melaporkan bahwa harapan hidup melebihi 80% pada

pemberian RJP oleh orang di sekitar korban dan ambulan datang

kurang dari 2 menit, akan tetapi angka ini menjadi lebih buruk

bahkan kurang dari 6% ketika ambulan datang lebih dari 6 menit

atau tidak ada orang di sekitar korban yang melakukan RJP. Pada

beberapa negara di Amerika Serikat, walaupun petugas gawat

darurat sudah membatasi dilakukannya tindakan RJP di lapangan,

masih dapat ditemukan bukti RJP yang tidak dikehendaki. Bahkan

didapatkan 7% pasien yang dipulangkan dari rumah sakit tidak

menghendaki dilakukannya RJP. Tindakan RJP dikatakan tidak

merusak jika keuntungan yang didapatkan lebih besar.

3). Autonomy

Otonomi pasien harus dihormati secara etik dan di sebagian

besar negara dihormati secara legal. Akan tetapi hal itu

membutuhkan kemampuan komunikasi seorang pasien untuk

dapat menyetujui atau menolak tindakan medis termasuk RJP. Di

Amerika Serikat, pasien dewasa dianggap memiliki kapasitas

dalam mengambil keputusan kecuali jika pengadilan telah

menyatakan bahwa mereka tidak kompeten untuk membuat

9

Page 7: BAB II Fix Seminar Igd

keputusan tindakan medis sedangkan di negara lain keputusan

pengadilan tidak diperlukan untuk penderita-penderita dengan

incompetency seperti pada penderita penyakit jiwa. Informed

consent mensyaratkan bahwa pasien dapat menerima dan

memahami informasi yang akurat tentang kondisi mereka dan

prognosis, jenis tindakan medik yang diusulkan, tindakan alternatif

lainnya, risiko dan manfaat dari tindakan medis tersebut. Pasien

juga harus dinilai kapasitasnya dalam mengambil keputusan. Bila

pasien ragu-ragu maka dia harus dianggap mempunyai kapasitas,

dan bila kapasitas dalam mengambil keputusan tersebut

terganggu oleh karena obat-obatan, penyakit-penyakit penyerta,

maka kapasitas pasien harus dikembalikan terlebih dahulu. Dalam

keadaan darurat, dan preferensi pasien belum jelas, dengan waktu

yang terbatas untuk mengambil keputusan maka adalah bijaksana

untuk memberikan perawatan medis yang standard. Baik dokter

dan penderita mungkin mempunyai persepsi yang berbeda

tentang kualitas hidup. Dokter mempunyai kewajiban untuk

menerangkan kepada pasien tentang RJP dan hasilnya.

Pengambilan keputusan yang tepat dapat terjadi bila penderita

mempunyai pemahaman yang baik tentang persepsi dan hasil

resusitasi. Masalah kemudian dapat timbul karena banyak dokter

tidak dapat memprediksi secara akurat tentang kemungkinan

hidup dari serangan jantung, sehingga penderita tidak dapat

dipaksa untuk mengambil persetujuan tentang tindakan RJP. Baik

Kant maupun Rawls mengatakan sebuah keputusan moral otonom

10

Page 8: BAB II Fix Seminar Igd

harus rasional dan tidak memihak salah satu pembuat keputusan.

Rawls mengatakan dengan jelas bahwa pembuat keputusan, para

pemilih, tidak mengetahui masa depan mereka dalam suatu

komunitas. Dari prinsip tersebut para ahli menyimpulkan bahwa

pasien harus dapat menentukan pengobatannya sendiri. Prinsip

tersebut mengharuskan kita mengkaji ulang dan menyelesaikan

dua masalah. Pertama, pasien selalu memikirkan hasil dari

keputusan tindakan medis tersebut oleh karena itu tidak harus

selalu berdasarkan prinsip otonomi bahkan ketika keputusan

tentang tindakan medis tersebut tidak dapat meeredakan rasa

nyeri, atau penderitaan.

4). Right to Justice

Pemikiran tentang prinsip keadilan meliputi dibuatnya hak-

hak untuk menerima sesuatu, persaingan untuk mendapatkan

kepentingan pribadi dan menyeimbangkan tujuan sosial.

Masalahnya adalah seharusnya diperlukan nilai moral keadilan

untuk menyediakan perawatan medis kepada yang

memerlukannya dengan efek yang bermanfaat, karena keadilan

diperlukan untuk mengurangi ketidaksamaan dalam perlakuan

yang sering timbul dalam masyarakat. Dokter harus menyesuaikan

diri dengan sumber penghasilan masyarakat untuk merawat

mereka berdasarkan sumber penghasilan yang secara umum

disediakan seperti dari asuransi pribadi, atau pemerintah atau

dukungan institusi secara langsung. Akan tetapi, untuk

menentukan apakah diperlukan nilai keadilan moral untuk

11

Page 9: BAB II Fix Seminar Igd

kelayakan minimal dalam memberikan pelayanan medis harus

dinilai seberapa penting masalah yang dihadapi, oleh karena itu

diusulkan pelayanan kesehatan dasar sebaiknya: (1) mencegah,

mengobati, dan mengusahakan oneyear survival lebih dari 75

persen (2) menghasilkan lebihsedikit toksisitas atau disabilitas

jangka panjang (3) dapat memberikan manfaat dan (4) secara

nyata lebih menguntungkan daripada memberatkan.

2.3 Dilema Etik Resusitasi Jantung Paru Dari Sudut Pandang Agama

2.3.1Sakaratul maut atau kematian

Allah Swt mewujudkan manusia di alam dunia sampai batas

kehidupannya yaitu setelah ajal di tentukkan baginya tersebut telah tiba,

setelah terpenuhi bagian seluruh rejekinya dan setelah seluruh perjalanan

hidup telah dilaluinya. Pada sakaratul maut, sebelum ruh seorang sampai

ditenggorokan, kadang-kadang terbukalah di hadapannya alam malakut.

Dalam pandangannya para malaikat tampak memeriksa hakikat amal

ibadah berdasarkan pengetahuan mereka.

Nabi Muhammad Saw. Bersabda sesungguhnya sakaratul maut

ada lebih dasyat dari tebasan pedang 300 buah oleh karena itu pada saat

terjadi sakaratulmaut seorang keringat akan membasahi tubuhnya, kedua

mata mendelik, ujung hidung memanjang, tulang iga terangkat, tubuh

mengejang, dan warna kulit menguning. Saat ruh seseorang sampai di

hati maka lisannya kaku dan tak dapat berbicara, ia tidak dapat berbicara

satu katapun karena dua alasan yang pertama karena kematian adalah

persoalan yang besar pada saat itu dadanya terasa sempit karena roh

terkumpul disitu. Yang kedua karena rahasia yang mengandung gerakan

12

Page 10: BAB II Fix Seminar Igd

suara yang muncul dari panas orang yang mengalami kematian itu sudah

lenyap oleh karena itu jiwa orang tersebut mengalami du perubahan

keadaan meninggi dan dingin oleh karena kehilangan hawa panas tubuh.

2.3.2 Menurut Agama Islam

Umat Islam percaya bahwa Al-Quran adalah Undang-Undang

paling utama bagi kehidupan manusia. Allah berfirman: ³Kami

menurunkan Al-Quran kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu.´

(QS 16:89). Kematian akan menghadang setiap manusia. Proses

tercabutnya nyawa manusia akan diawali dengan detik-detik

menegangkan lagi menyakitkan. Peristiwa ini dikenal sebagai sakaratul

maut. Ibnu Abi Ad-Dunya rahimahullah meriwayatkan dari Syaddad bin

Aus Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Kematian adalah kengerian yang

paling dahsyat di dunia dan akhirat bagi orang yang beriman. Kematian

lebih menyakitkan dari goresan gergaji, sayatan gunting, panasnya air

mendidih di bejana. Seandainya ada mayat yang dibangkitkan dan

menceritakan kepada penduduk dunia tentang sakitnya kematian, niscaya

penghuni dunia tidak akan nyaman dengan hidupnya dan tidak nyenyak

dalam tidurnya". Di antara dalil yang menegaskan terjadinya proses

sakaratul maut yang mengiringi perpisahan jasad dengan ruhnya, Maksud

sakaratul maut adalah kedahsyatan, tekanan, dan himpitan kekuatan

kematian yang mengalahkan manusia dan menguasai akal sehatnya.

Makna bil haq (perkara yang benar) adalah perkara akhirat, sehingga

manusia sadar, yakin dan mengetahuinya. Ada yang berpendapat al haq

adalah hakikat keimanan sehingga maknanya menjadi telah tiba sakaratul

maut dengan kematian.

13

Page 11: BAB II Fix Seminar Igd

2.4 Konsep Sakaratul Maut (Dying)

2.4.1 Sakaratul Maut (Dying)

1) Sakaratul Maut (Dying)

Sakaratul maut (dying) merupakan kondisi pasien yang

sedang menghadapi kematian, yang memiliki berbagai hal dan

harapan tertentu untuk meninggal.

2) Kematian (Death)

Kematian (death) merupakan kondisi terhentinya pernapasan,

nadi, dan tekanan darah serta hilangnya respons terhadap stimulus

eksternal, ditandai dengan terhentinya aktivitas otak atau terhentinya

fungsi jantung dan paru secara menetap. Selain itu, dr. H. Ahmadi

NH, Sp KJ juga mendefinisikan Death sebagai:

a) Hilangnya fase sirkulasi dan respirasi yang irreversibel

b) Hilangnya fase keseluruhan otak, termasuk batang otak

Dying dan death merupakan dua istilah yang sulit untuk

dipisahkan, serta merupakan suatu fenomena tersendiri. Dying lebih

ke arah suatu proses, sedangkan death merupakan akhir dari hidup.

(Eny Retna Ambarwati,2010)

3) Cabang Ilmu Yang Berkaitan Dengan Dying

a) Geriatri : Ilmu yg mempelajari penyakit pada lanjut

usia(degeneratif).

b) Gerontologi : Disiplin ilmu diluar/cabang geriatri yang mempelajari

aspek fisik, mental, dan psikososial yang ada pada lanjut usia.

Untuk menunjang pelayanan geriatri bagi penderita lanjut usia.

14

Page 12: BAB II Fix Seminar Igd

4) Penyakit Terminal

Penyakit yang sulit disembuhkan, seperti kanker stadium akhir

dan lain lain.

2.4.2. Diskripsi Rentang Pola Hidup Sampai Menjelang Kematian

Pandangan pengetahuan tentang kematian yang dipahami oleh

seseorang berbeda-beda. Adapun seorang ahli yang mengemukakan

pendapatnya tentang deskripsi rentang pola hidup sampai menjelang

kematian adalah Martocchio. Menurut Martocchio, rentang pola hidup

sampai menjelang kematian sebagai berikut:

1) Pola puncak dan lembah.

Pola ini memiliki karakteristik periodik sehat yang tinggi

(puncak) dan periode krisis (lemah). Pada kondisi puncak, pasien

benar-benar merasakan harapan yang tinggi/besar. Sebaliknya pada

periode lemah, klien merasa sebagai kondisi yang menakutkan

sampai bisa menimbulkan depresi.

2) Pola dataran yang turun.

Karakteristik dari pola ini adalah adanya sejumlah tahapan dari

kemunduran yang terus bertambah dan tidak terduga, yang terjadi

selama/setelah perode kesehatan yang stabil serta berlangsung pada

waktu yang tidak bisa dipastikan.

3) Pola tebing yang menurun.

Karakteristik dari pola ini adalah adanya kondisi penurunan

yang menetap/stabil, yang menggambarkan semakin buruknya

kondisi. Kondisi penurunan ini dapat diramalkan dalam waktu yang

15

Page 13: BAB II Fix Seminar Igd

bisa diperkirakan baik dalam ukuran jam atau hari. Kondisi ini lazim

detemui di unit khusus (ICU)

4) Pola landai yang turun sedikit-sedikit

Karakteristik dari pola ini kehidupan yang mulai surut, perlahan

dan hampir tidak teramati sampai akhirnya menghebat menuju

kemaut.

2.4.3 Perkembangan Persepsi Tentang Kematian

Di dalam kehidupan masyarakat dewasa, kematian adalah sesuatu

yang sangat menakutkan. Sebaliknya, pada anak-anak usia 0-7 tahun

kematian itu dalah sesuatu hal yang biasa saja, yang ada di pikirannya

kematian adalah sesuatu hal yang hanya terjadi pada orang tua yang sakit.

Mereka sangat acuh sekali dengan kematian.

Seiring dengan perkembangan usianya menuju kedewasaan, mereka

mengerti tentang apa itu kematian. Karena itu berkembanglah klasifikasi

tentang kematian menurut umur, yaitu :

(1) Bayi - 5 tahun

Tidak mengerti tentang kematian, keyakinan bahwa mati adalah

tidur/pergi yang temporer.

(2) 5-9 tahun

Mengerti bahwa titik akhir orang yang mati dapat dihindari.

(3) 9-12 tahun

Mengerti bahwa mati adalah akhir dari kehidupan dan tidak dapat

dihindari, dapat mengekspresikan ide-ide tentang kematian yang

diperoleh dari orang tua/dewasa lainnya.

(4) 12-18 tahun

16

Page 14: BAB II Fix Seminar Igd

Mereka takut dengan kematian yang menetap, kadang-kadang

memikirkan tentang kematian yang dikaitkan dengan sikap religi.

(5) 18-45 tahun

Memiliki sikap terhadap kematian yang dipengaruhi oleh religi dan

keyakinan.

(6) 45-65 tahun

Menerima tentang kematian terhadap dirinya. Kematian merupakan

puncak kecemasan.

(7) 65 tahun keatas

Takut kesakitan yang lama. Kematian mengandung beberapa

makna : terbebasnya dari rasa sakit dan reuni dengan anggota

keluarga yang telah meninggal.

2.4.4 Ciri-Ciri Pokok Pasien Yang Akan Meninggal

Pasien yang menghadapi sakaratul maut akan memperlihatkan

tingkah laku yang khas, antara lain :

a. Penginderaan dan gerakan menghilang secara berangsur-angsur yang

dimulai pada anggota gerak paling ujung khususnya pada ujung kaki,

tangan, ujung hidung yang terasa dingin dan lembab

b. Kulit nampak kebiru-biruan kelabu atau pucat

c. Nadi mulai tak teratur, lemah dan pucat

d. Terdengar suara mendengkur disertai gejala nafas cyene stokes

e. Menurunnya tekanan darah, peredaran darah perifer menjadi terhenti

dan rasa nyeri bila ada biasanya menjadi hilang. Kesadaran dan

tingkat kekuatan ingatan bervariasi tiap individu. Otot rahang menjadi

17

Page 15: BAB II Fix Seminar Igd

mengendur, wajah pasien yang tadinya kelihatan cemas nampak lebih

pasrah menerima

2.4.5 Pendampingan Pasien Sakaratul Maut (Dying)

Perawatan kepada pasien yang akan meninggal oleh petugas

kesehatan dilakukan dengan cara memberi pelayanan khusus jasmaniah

dan rohaniah sebelum pasien meninggal. Tujuannya yaitu, :

1. Memberi rasa tenang dan puas jasmaniah dan rohaniah pada pasien

dan keluarganya

2. Memberi ketenangan dan kesan yang baik pada pasien disekitarnya.

3. Untuk mengetahui tanda-tanda pasien yang akan meninggal secara

medis bisa dilihat dari keadaan umum, vital sighn dan beberapa

tahaptahapkematian

4. Pendampingan dengan alat-alat medis

Memperpanjang hidup penderita semaksimal mungkin dan bila

perlu dengan bantuan alat-alat kesehatan adalah tugas dari petugas

kesehatan. Untuk memberikan pelayanan yang maksimal pada pasien

yang hampir meninggal, maka petugas kesehatan memerlukan alat-

alat pendukung seperti :

a) Alat – alat pemberian O2

b) Alat resusitasi

c) Alat pemeriksaan vital sign

d) Pinset

e) Kassa, air matang, kom/gelas untuk membasahi bibir

f) Alat tulis

18

Page 16: BAB II Fix Seminar Igd

Adapun prosedur-prosedur yang harus dilaksanakan oleh

petugas dalam mendampingi pasien yang hampir meninggal, yaitu :

a. Memberitahu pada keluarga tentang tindakan yang akan dilakukan

b. Mendekatkan alat

c. Memisahkan pasien dengan pasien yang lain

d. Mengijinkan keluarga untuk mendampingi, pasien tidak boleh

ditinggalkan sendiri

e. Membersihkan pasien dari keringat

f. Membasahi bibir pasien dengan kassa lembab, bila tampak kering

menggunakan pinset

g. Membantu melayani dalam upacara keagamaan

h. Mengobservasi tanda-tanda kehidupan (vital sign) terus menerus

i. Mencuci tangan

j. Melakukan dokumentasi tindakan

5. Pendampingan dengan bimbingan rohani

Bimbingan rohani pasien merupakan bagian integral dari

bentuk pelayanan kesehatan dalam upaya pemenuhan kebutuhan bio-

Psyco-Socio-Spritual (APA, 1992) yang komprehensif, karena pada

dasarnya setiap diri manusia terdapat kebutuhan dasar spiritual Basic

spiritual needs, Dadang Hawari, 1999). Pentingnya bimbingan spiritual

dalam kesehatan telah menjadi ketetapan WHO yang menyatakan

bahwa aspek agama (spiritual) merupakan salah satu unsur dari

pengertian kesehataan seutuhnya (WHO,1984). Oleh karena itu

dibutuhkan dokter, terutama perawat untuk memenuhi kebutuhan

spritual pasien. Perawat memiliki peran untuk memenuhi kebutuhan

19

Page 17: BAB II Fix Seminar Igd

biologis, sosiologis, psikologis, dan spiritual pasien. Akan tetapi,

kebutuhan spiritual seringkali dianggap tidak penting oleh perawat.

Padahal aspek spiritual sangat penting terutama untuk pasien yang

didiagnosa harapan sembuhnya sangat tipis dan mendekati sakaratul

maut dan seharusnya perawat bisa menjadi seperti apa yang

dikemukakan oleh Henderson, “The unique function of the nurse is to

assist the individual, sick or well in the performance of those activities

contributing to health or its recovery (or to a peaceful death) that he

would perform unaided if he had the necessary strength will or

knowledge”,maksudnya perawat akan membimbing pasien saat

sakaratul maut hingga meninggal dengan damai.

Biasanya pasien yang sangat membutuhkan bimbingan oleh

perawat adalah pasien terminal karena pasien terminal, pasien yang

didiagnosis dengan penyakit berat dan tidak dapat disembuhkan lagi

dimana berakhir dengan kematian, seperti yang dikatakan Dadang

Hawari (1977,53) “orang yang mengalami penyakit terminal dan

menjelang sakaratul maut lebih banyak mengalami penyakit kejiwaan,

krisis spiritual,dan krisis kerohanian sehingga pembinaan kerohanian

saat klien menjelang ajal perlu mendapatkan perhatian khusus”.

Sehingga, pasien terminal biasanya bereaksi menolak, depresi berat,

perasaan marah akibat ketidakberdayaan dan keputusasaan. Oleh

sebab itu, peran perawat sangat dibutuhkan untuk mendampingi

pasien yang dapat meningkatkan semangat hidup pasien meskipun

harapannya sangat tipis dan dapat mempersiapkan diri pasien untuk

menghadapi kehidupan yang kekal.

20

Page 18: BAB II Fix Seminar Igd

Dalam konsep Islam, fase sakaratul maut sangat menentukan

baik atau tidaknya seseorang terhadap kematiannya untuk menemui

Allah dan bagi perawat pun akan dimintai pertanggungjawabannya

nanti untuk tugasnya dalam merawat pasien di rumah sakit.

2.4.6 Moral Dan Etika Dalam Mendampingi Pasien Sakaratul Maut

Perlu diketahui oleh petugas kesehatan tentang moral dan etika

dalam pendampingan pasien sakaratul maut. Moral dan etika inilah yang

dapat membantu pasien, sehingga pasien akan lebih sabar dalam

mengahadapi sakit yang di deritanya.

Dalam banyak studi, dukungan sosial sering dihubungkan dengan

kesehatan dan usia lanjut. Dan telah dibuktikan pula bahwa dukungan

sosial dapat meningkatkan kesehatan. Pemberian dukungan sosial

adalah prinsip pemberian asuhan. Perilaku petugas kesehatan dalam

mengeksperikan dukungan meliputi :

1. Menghimbau pasien agar Ridlo kepada qadha dan qadarnya-Nya

serta berbaik sangka terhadap Allah Swt.

2. Menghimbau pasien agar tidak boleh putus asa dari rahmat Allah Swt.

3. Kembangkan empati kepada pasien.

4. Bila diperlukan konsultasi dengan spesialis lain.

5. Komunikasikan dengan keluarga pasien.

6. Tumbuhkan harapan, tetapi jangan memberikan harapan palsu.

7. Bantu bila ia butuh pertolongan.

21

Page 19: BAB II Fix Seminar Igd

8. Mengusahakan lingkungan tenang, berbicara dengan suara lembut

dan penuh perhatian, serta tidak tertawa-tawa atau bergurau disekitar

pasien

9. Jika memiliki tanggungan hak yang harus pasien penuhi, baik hak

Allah Swt (zakat, puasa, haji, dll) atau hak manusia (hutang, ghibah,

dll). Hendaklah dipenuhi atau wasiat kepada kepada orang yang

dapat memenuhi bagi dirinya. Wasiat wajib atas orang yang

mempunyai tanggungan atau hak kepada orang lain.

22