bab ii fix seminar igd
DESCRIPTION
manajemmen dyingTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Resusitasi Jantung Paru
Resusitasi mengandung arti harfiah menghidupkan kembali, yaitu
usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu episode henti
jantung yang berlanjut menjadi kematian biologis.
Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation
(CPR) adalah prosedur kegawatdaruratan medis yang ditujukan untuk
serangan jantung dan pada henti napas. RJP adalah kombinasi antara
bantuan pernapasan dan kompresi jantung yang dilakukan pada korban
serangan jantung dan henti nafas. Metode ini bertujuan untuk memberikan
sirkulasi oksigen ke dalam darah melalui pengiriman bantuan pernapasan
dan penekanan atau kompresi di dada yang biasanya sering terjadi pada
korban serangan jantung dan henti nafas secara mendadak. Tujuan utama
prosedur ini memastikan bahwa aliran kritis darah beroksigen dipertahankan
ke otak dan organ vital lainnya selama upaya resusitasi..
Dalam kehidupan sehari hari tindakan CPR ini sangat penting karena
penyakit atau kejadian yang memerlukan tindakan ini datang tiba-tiba.
Beberapa indikasi pelaksanaan RJP diantaranya :
a. Henti Nafas
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak
hal, misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi
asap / uap/ gas, obstruksi jalan napas oleh benda asing, tesengat listrik,
tersambar petir, serangan infark jantung, radang epiglotis, tercekik
4
(suffocation), trauma dan lain-lainnya. Pada awal henti napas, jantung
masih berdenyut, masih teraba nadi, pemberian O2 ke otak dan organ
vital lainnya masih cukup sampai beberapa menit. Jika henti napas
mendapat pertolongan segera maka kemungkinan besar pasien akan
terselamatkan hidupnya dan sebaliknya jika terlambat akan berakibat
henti jantung.
b. Henti Jantung Henti jantung primer (cardiac arrest)
Cardiac arrest ialah ketidak sanggupan curah jantung untuk memberi
kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan
dapat balik normal, bila dilakukan tindakan yang tepat atau akan
menyebabkan kematian atau kerusakan otak. Henti jantung terminal
akibat usia lanjut atau penyakit kronis tentu tidak termasuk henti jantung.
Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau
takikardi tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel asistol
(+-10%) dan terakhir oleh disosiasi elektro-mekanik (+-5%). Dua jenis
henti jantung yang terakhir lebih sulit ditanggulangi karena akibat
gangguan pacemaker jantung. Fibirilasi ventrikel terjadi karena koordinasi
aktivitas jantung menghilang.
Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis
femoralis, radialis) disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali,
pernapasan berhenti atau satu-satu (gasping, apnu), dilatasi pupil tak
bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar. Pengiriman
O2 ke otak tergantung pada curah jantung, kadar hemoglobin (Hb),
saturasi Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan. Iskhemi melebih 3-4
menit pada suhu normal akan menyebabkan kortek serebri rusak
5
menetap, walaupun setelah itu dapat membuat jantung berdenyut
kembali.
2.2 Dilema Etik Pada Tindakan Resusitasi Jantung Paru
Keputusan tentang Resusitasi Jantung Paru (RJP) memang sangat
rumit dan sering dibuat dalam hitungan detik oleh tenaga medis tanpa
mengetahui apakah penderita mempunyai advanced directives atau tidak.
Advanced directives adalah dokumen yang sah secara hukum, yang ditulis
sebelum penderita menderita penyakit yang bersifat incapacitating. Petunjuk
yang ada dalam advanced directives ini dapat membebas-tugaskan tenaga
medis dalam mengambil keputusan, dengan kata lain advanced directives
adalah pernyataan tentang keinginan penderita mengenai tindakan medis
apa yang sebaiknya dilakukan atau tidak dilakukan pada waktu penderita
dalam keadaan incompetency.
Beberapa penelitian menunjukkan pemberian RJP sering bertentangan
dengan keinginan pasien. Padahal setiap keputusan harus dibuat dengan
belas kasih, berdasarkan prinsip-prinsip etik dan referensi ilmiah yang ada.
Hasil beberapa studi mengenai RJP memperlihatkan bahwa hasil RJP
hingga saat ini masih buruk. RJP dapat berhasil pada waktu dilakukan
pembedahan jantung, henti jantung yang disaksikan langsung, irama jantung
yang tidak beraturan (ventricular fibrillation atau tachycardia).
Panduan/pedoman yang ada saat ini mengindikasikan agar tindakan RJP
dapat mengembalikan kehidupan ketika henti jantung terjadi karena berbagai
sebab kelainan jantung yang ada. Undang-undang juga secara tidak
langsung menyatakan persetujuan dilakukannya tindakan RJP sebagai
penanganan kegawat-daruratan serta respon standard terhadap henti
6
jantung. Padahal RJP bukan tindakan yang tepat terhadap kematian yang
terjadi karena usia lanjut, penderita yang menderita demensia berat, dan
mungkin sedang atau yang mengalami kemunduran fisik sebelum henti
jantung, penderita dengan kanker, HIV/AIDS.
2.2.1 Prinsip Etik
Pada tindakan resusitasi jantung paru, perbedaan etik dan norma
budaya harus dipertimbangkan. Meskipun prinsip-prinsip etik tentang
beneficence, non maleficence, autonomy dan justice dapat diterima di
seluruh budaya, tetapi prioritas prinsip-prinsip tersebut dapat bervariasi
antara kebudayaan yang berbeda. Misalanya di Amerika Serikat,
sebagian besar penekanan pada otonomi individual. Dan di Eropa
lebih menekankan pada penyedia layanan kesehatan otonomi yang
menjadi tugas mereka dalam mengambil keputusan bila timbul
masalah. Sedangkan di Asia keputusan kelompok masyarakat
mendominasi keputusan yang diambil. Dikatakan bahwa resusitasi
adalah paduan usaha antara data ilmiah dan nilai-nilai sosial
sedangkan pada saat yang sama juga terdapat upaya
mempertahankan otonomi budaya, sehingga dokter harus memainkan
peranan penting dalam mengambil keputusan berdasarkan data ilmiah
dan keinginan (preferensi) pasien
1). Beneficence
Prinsip beneficence pada RJP adalah pemulihan kesehatan
dan fungsi-fungsinya serta meringankan rasa sakit dan
penderitaan. Resusitasi elektif yang dilakukan pada tahun 1940an
dan awal 1950 seperti perawatan pernafasan intensif
7
meningkatkan harapan hidup pasien poliomyelitis bulbar dari 15%
menjadi lebih dari 50%. Satu dekade kemudian, 14 dari 20 pasien
(70%) yang ditangani dengan pemijatan jantung paru tertutup
dapat bertahan hidup. Jarang sekali pasien bertahan hidup
setelah dilakukan RJP ketika henti jantung yang timbul
disebabkan oleh penyakit selain jantung atau disfungsi organ. RJP
yang dimulai dengan cepat di Seattle menghasilkan tingkat
harapan hidup sebesar 36%, itu merupakan angka tertinggi yang
dicapai dibandingkan dengan data yang terdapat di literatur saat
ini. Pada daerah lalu lintas yang mempunyai sistem yang lebih
buruk angka keberhasilan RJP lebih rendah. Secara spesifik di
kota New York dan Chicago tingkat harapan hidup setelah
tindakan RJP kurang dari 2%, hal itu terjadi karena RJP yang
terlambat terkait dengan padatnya arus lalu lintas. Usia bukan
merupakan salah satu kontraindikasi dilakukannya tindakan RJP.
Walaupun dikatakan proses penuaan berkaitan dengan akumulasi
berbagai kelemahan dan penyakit, dengan terdapatnya perawatan
jangka panjang dan penurunan fungsi tubuh, masih menjadi salah
satu perkiraan hasil RJP yang buruk.
2). Non maleficence
Tingkat kerusakan otak berkaitan dengan tindakan RJP
bervariasi antara 10-83%. Pada salah satu penelitian, 55 dari 60
anak meninggal karena pemberian RJP yang berkepanjangan;
lima lainnya bertahan hidup pada kondisi coma persistent atau
status vegetative di rumah sakit. Banyak pasien dengan disabilitas
8
berat yang diikuti dengan kerusakan otak berada dalam kondisi
yang sama dengan kematian. RJP menjadi berbahaya dan
bersifat merusak ketika risiko kerusakan otak relatif tinggi. Oleh
karena gangguan aliran darah ke otak atau ke jantung dapat
menyebabkan kerusakan berat, RJP dapat dikatakan berhasil
hanya jika dilakukan tepat waktu. Seorang investigator dari
Swedia melaporkan bahwa harapan hidup melebihi 80% pada
pemberian RJP oleh orang di sekitar korban dan ambulan datang
kurang dari 2 menit, akan tetapi angka ini menjadi lebih buruk
bahkan kurang dari 6% ketika ambulan datang lebih dari 6 menit
atau tidak ada orang di sekitar korban yang melakukan RJP. Pada
beberapa negara di Amerika Serikat, walaupun petugas gawat
darurat sudah membatasi dilakukannya tindakan RJP di lapangan,
masih dapat ditemukan bukti RJP yang tidak dikehendaki. Bahkan
didapatkan 7% pasien yang dipulangkan dari rumah sakit tidak
menghendaki dilakukannya RJP. Tindakan RJP dikatakan tidak
merusak jika keuntungan yang didapatkan lebih besar.
3). Autonomy
Otonomi pasien harus dihormati secara etik dan di sebagian
besar negara dihormati secara legal. Akan tetapi hal itu
membutuhkan kemampuan komunikasi seorang pasien untuk
dapat menyetujui atau menolak tindakan medis termasuk RJP. Di
Amerika Serikat, pasien dewasa dianggap memiliki kapasitas
dalam mengambil keputusan kecuali jika pengadilan telah
menyatakan bahwa mereka tidak kompeten untuk membuat
9
keputusan tindakan medis sedangkan di negara lain keputusan
pengadilan tidak diperlukan untuk penderita-penderita dengan
incompetency seperti pada penderita penyakit jiwa. Informed
consent mensyaratkan bahwa pasien dapat menerima dan
memahami informasi yang akurat tentang kondisi mereka dan
prognosis, jenis tindakan medik yang diusulkan, tindakan alternatif
lainnya, risiko dan manfaat dari tindakan medis tersebut. Pasien
juga harus dinilai kapasitasnya dalam mengambil keputusan. Bila
pasien ragu-ragu maka dia harus dianggap mempunyai kapasitas,
dan bila kapasitas dalam mengambil keputusan tersebut
terganggu oleh karena obat-obatan, penyakit-penyakit penyerta,
maka kapasitas pasien harus dikembalikan terlebih dahulu. Dalam
keadaan darurat, dan preferensi pasien belum jelas, dengan waktu
yang terbatas untuk mengambil keputusan maka adalah bijaksana
untuk memberikan perawatan medis yang standard. Baik dokter
dan penderita mungkin mempunyai persepsi yang berbeda
tentang kualitas hidup. Dokter mempunyai kewajiban untuk
menerangkan kepada pasien tentang RJP dan hasilnya.
Pengambilan keputusan yang tepat dapat terjadi bila penderita
mempunyai pemahaman yang baik tentang persepsi dan hasil
resusitasi. Masalah kemudian dapat timbul karena banyak dokter
tidak dapat memprediksi secara akurat tentang kemungkinan
hidup dari serangan jantung, sehingga penderita tidak dapat
dipaksa untuk mengambil persetujuan tentang tindakan RJP. Baik
Kant maupun Rawls mengatakan sebuah keputusan moral otonom
10
harus rasional dan tidak memihak salah satu pembuat keputusan.
Rawls mengatakan dengan jelas bahwa pembuat keputusan, para
pemilih, tidak mengetahui masa depan mereka dalam suatu
komunitas. Dari prinsip tersebut para ahli menyimpulkan bahwa
pasien harus dapat menentukan pengobatannya sendiri. Prinsip
tersebut mengharuskan kita mengkaji ulang dan menyelesaikan
dua masalah. Pertama, pasien selalu memikirkan hasil dari
keputusan tindakan medis tersebut oleh karena itu tidak harus
selalu berdasarkan prinsip otonomi bahkan ketika keputusan
tentang tindakan medis tersebut tidak dapat meeredakan rasa
nyeri, atau penderitaan.
4). Right to Justice
Pemikiran tentang prinsip keadilan meliputi dibuatnya hak-
hak untuk menerima sesuatu, persaingan untuk mendapatkan
kepentingan pribadi dan menyeimbangkan tujuan sosial.
Masalahnya adalah seharusnya diperlukan nilai moral keadilan
untuk menyediakan perawatan medis kepada yang
memerlukannya dengan efek yang bermanfaat, karena keadilan
diperlukan untuk mengurangi ketidaksamaan dalam perlakuan
yang sering timbul dalam masyarakat. Dokter harus menyesuaikan
diri dengan sumber penghasilan masyarakat untuk merawat
mereka berdasarkan sumber penghasilan yang secara umum
disediakan seperti dari asuransi pribadi, atau pemerintah atau
dukungan institusi secara langsung. Akan tetapi, untuk
menentukan apakah diperlukan nilai keadilan moral untuk
11
kelayakan minimal dalam memberikan pelayanan medis harus
dinilai seberapa penting masalah yang dihadapi, oleh karena itu
diusulkan pelayanan kesehatan dasar sebaiknya: (1) mencegah,
mengobati, dan mengusahakan oneyear survival lebih dari 75
persen (2) menghasilkan lebihsedikit toksisitas atau disabilitas
jangka panjang (3) dapat memberikan manfaat dan (4) secara
nyata lebih menguntungkan daripada memberatkan.
2.3 Dilema Etik Resusitasi Jantung Paru Dari Sudut Pandang Agama
2.3.1Sakaratul maut atau kematian
Allah Swt mewujudkan manusia di alam dunia sampai batas
kehidupannya yaitu setelah ajal di tentukkan baginya tersebut telah tiba,
setelah terpenuhi bagian seluruh rejekinya dan setelah seluruh perjalanan
hidup telah dilaluinya. Pada sakaratul maut, sebelum ruh seorang sampai
ditenggorokan, kadang-kadang terbukalah di hadapannya alam malakut.
Dalam pandangannya para malaikat tampak memeriksa hakikat amal
ibadah berdasarkan pengetahuan mereka.
Nabi Muhammad Saw. Bersabda sesungguhnya sakaratul maut
ada lebih dasyat dari tebasan pedang 300 buah oleh karena itu pada saat
terjadi sakaratulmaut seorang keringat akan membasahi tubuhnya, kedua
mata mendelik, ujung hidung memanjang, tulang iga terangkat, tubuh
mengejang, dan warna kulit menguning. Saat ruh seseorang sampai di
hati maka lisannya kaku dan tak dapat berbicara, ia tidak dapat berbicara
satu katapun karena dua alasan yang pertama karena kematian adalah
persoalan yang besar pada saat itu dadanya terasa sempit karena roh
terkumpul disitu. Yang kedua karena rahasia yang mengandung gerakan
12
suara yang muncul dari panas orang yang mengalami kematian itu sudah
lenyap oleh karena itu jiwa orang tersebut mengalami du perubahan
keadaan meninggi dan dingin oleh karena kehilangan hawa panas tubuh.
2.3.2 Menurut Agama Islam
Umat Islam percaya bahwa Al-Quran adalah Undang-Undang
paling utama bagi kehidupan manusia. Allah berfirman: ³Kami
menurunkan Al-Quran kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu.´
(QS 16:89). Kematian akan menghadang setiap manusia. Proses
tercabutnya nyawa manusia akan diawali dengan detik-detik
menegangkan lagi menyakitkan. Peristiwa ini dikenal sebagai sakaratul
maut. Ibnu Abi Ad-Dunya rahimahullah meriwayatkan dari Syaddad bin
Aus Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Kematian adalah kengerian yang
paling dahsyat di dunia dan akhirat bagi orang yang beriman. Kematian
lebih menyakitkan dari goresan gergaji, sayatan gunting, panasnya air
mendidih di bejana. Seandainya ada mayat yang dibangkitkan dan
menceritakan kepada penduduk dunia tentang sakitnya kematian, niscaya
penghuni dunia tidak akan nyaman dengan hidupnya dan tidak nyenyak
dalam tidurnya". Di antara dalil yang menegaskan terjadinya proses
sakaratul maut yang mengiringi perpisahan jasad dengan ruhnya, Maksud
sakaratul maut adalah kedahsyatan, tekanan, dan himpitan kekuatan
kematian yang mengalahkan manusia dan menguasai akal sehatnya.
Makna bil haq (perkara yang benar) adalah perkara akhirat, sehingga
manusia sadar, yakin dan mengetahuinya. Ada yang berpendapat al haq
adalah hakikat keimanan sehingga maknanya menjadi telah tiba sakaratul
maut dengan kematian.
13
2.4 Konsep Sakaratul Maut (Dying)
2.4.1 Sakaratul Maut (Dying)
1) Sakaratul Maut (Dying)
Sakaratul maut (dying) merupakan kondisi pasien yang
sedang menghadapi kematian, yang memiliki berbagai hal dan
harapan tertentu untuk meninggal.
2) Kematian (Death)
Kematian (death) merupakan kondisi terhentinya pernapasan,
nadi, dan tekanan darah serta hilangnya respons terhadap stimulus
eksternal, ditandai dengan terhentinya aktivitas otak atau terhentinya
fungsi jantung dan paru secara menetap. Selain itu, dr. H. Ahmadi
NH, Sp KJ juga mendefinisikan Death sebagai:
a) Hilangnya fase sirkulasi dan respirasi yang irreversibel
b) Hilangnya fase keseluruhan otak, termasuk batang otak
Dying dan death merupakan dua istilah yang sulit untuk
dipisahkan, serta merupakan suatu fenomena tersendiri. Dying lebih
ke arah suatu proses, sedangkan death merupakan akhir dari hidup.
(Eny Retna Ambarwati,2010)
3) Cabang Ilmu Yang Berkaitan Dengan Dying
a) Geriatri : Ilmu yg mempelajari penyakit pada lanjut
usia(degeneratif).
b) Gerontologi : Disiplin ilmu diluar/cabang geriatri yang mempelajari
aspek fisik, mental, dan psikososial yang ada pada lanjut usia.
Untuk menunjang pelayanan geriatri bagi penderita lanjut usia.
14
4) Penyakit Terminal
Penyakit yang sulit disembuhkan, seperti kanker stadium akhir
dan lain lain.
2.4.2. Diskripsi Rentang Pola Hidup Sampai Menjelang Kematian
Pandangan pengetahuan tentang kematian yang dipahami oleh
seseorang berbeda-beda. Adapun seorang ahli yang mengemukakan
pendapatnya tentang deskripsi rentang pola hidup sampai menjelang
kematian adalah Martocchio. Menurut Martocchio, rentang pola hidup
sampai menjelang kematian sebagai berikut:
1) Pola puncak dan lembah.
Pola ini memiliki karakteristik periodik sehat yang tinggi
(puncak) dan periode krisis (lemah). Pada kondisi puncak, pasien
benar-benar merasakan harapan yang tinggi/besar. Sebaliknya pada
periode lemah, klien merasa sebagai kondisi yang menakutkan
sampai bisa menimbulkan depresi.
2) Pola dataran yang turun.
Karakteristik dari pola ini adalah adanya sejumlah tahapan dari
kemunduran yang terus bertambah dan tidak terduga, yang terjadi
selama/setelah perode kesehatan yang stabil serta berlangsung pada
waktu yang tidak bisa dipastikan.
3) Pola tebing yang menurun.
Karakteristik dari pola ini adalah adanya kondisi penurunan
yang menetap/stabil, yang menggambarkan semakin buruknya
kondisi. Kondisi penurunan ini dapat diramalkan dalam waktu yang
15
bisa diperkirakan baik dalam ukuran jam atau hari. Kondisi ini lazim
detemui di unit khusus (ICU)
4) Pola landai yang turun sedikit-sedikit
Karakteristik dari pola ini kehidupan yang mulai surut, perlahan
dan hampir tidak teramati sampai akhirnya menghebat menuju
kemaut.
2.4.3 Perkembangan Persepsi Tentang Kematian
Di dalam kehidupan masyarakat dewasa, kematian adalah sesuatu
yang sangat menakutkan. Sebaliknya, pada anak-anak usia 0-7 tahun
kematian itu dalah sesuatu hal yang biasa saja, yang ada di pikirannya
kematian adalah sesuatu hal yang hanya terjadi pada orang tua yang sakit.
Mereka sangat acuh sekali dengan kematian.
Seiring dengan perkembangan usianya menuju kedewasaan, mereka
mengerti tentang apa itu kematian. Karena itu berkembanglah klasifikasi
tentang kematian menurut umur, yaitu :
(1) Bayi - 5 tahun
Tidak mengerti tentang kematian, keyakinan bahwa mati adalah
tidur/pergi yang temporer.
(2) 5-9 tahun
Mengerti bahwa titik akhir orang yang mati dapat dihindari.
(3) 9-12 tahun
Mengerti bahwa mati adalah akhir dari kehidupan dan tidak dapat
dihindari, dapat mengekspresikan ide-ide tentang kematian yang
diperoleh dari orang tua/dewasa lainnya.
(4) 12-18 tahun
16
Mereka takut dengan kematian yang menetap, kadang-kadang
memikirkan tentang kematian yang dikaitkan dengan sikap religi.
(5) 18-45 tahun
Memiliki sikap terhadap kematian yang dipengaruhi oleh religi dan
keyakinan.
(6) 45-65 tahun
Menerima tentang kematian terhadap dirinya. Kematian merupakan
puncak kecemasan.
(7) 65 tahun keatas
Takut kesakitan yang lama. Kematian mengandung beberapa
makna : terbebasnya dari rasa sakit dan reuni dengan anggota
keluarga yang telah meninggal.
2.4.4 Ciri-Ciri Pokok Pasien Yang Akan Meninggal
Pasien yang menghadapi sakaratul maut akan memperlihatkan
tingkah laku yang khas, antara lain :
a. Penginderaan dan gerakan menghilang secara berangsur-angsur yang
dimulai pada anggota gerak paling ujung khususnya pada ujung kaki,
tangan, ujung hidung yang terasa dingin dan lembab
b. Kulit nampak kebiru-biruan kelabu atau pucat
c. Nadi mulai tak teratur, lemah dan pucat
d. Terdengar suara mendengkur disertai gejala nafas cyene stokes
e. Menurunnya tekanan darah, peredaran darah perifer menjadi terhenti
dan rasa nyeri bila ada biasanya menjadi hilang. Kesadaran dan
tingkat kekuatan ingatan bervariasi tiap individu. Otot rahang menjadi
17
mengendur, wajah pasien yang tadinya kelihatan cemas nampak lebih
pasrah menerima
2.4.5 Pendampingan Pasien Sakaratul Maut (Dying)
Perawatan kepada pasien yang akan meninggal oleh petugas
kesehatan dilakukan dengan cara memberi pelayanan khusus jasmaniah
dan rohaniah sebelum pasien meninggal. Tujuannya yaitu, :
1. Memberi rasa tenang dan puas jasmaniah dan rohaniah pada pasien
dan keluarganya
2. Memberi ketenangan dan kesan yang baik pada pasien disekitarnya.
3. Untuk mengetahui tanda-tanda pasien yang akan meninggal secara
medis bisa dilihat dari keadaan umum, vital sighn dan beberapa
tahaptahapkematian
4. Pendampingan dengan alat-alat medis
Memperpanjang hidup penderita semaksimal mungkin dan bila
perlu dengan bantuan alat-alat kesehatan adalah tugas dari petugas
kesehatan. Untuk memberikan pelayanan yang maksimal pada pasien
yang hampir meninggal, maka petugas kesehatan memerlukan alat-
alat pendukung seperti :
a) Alat – alat pemberian O2
b) Alat resusitasi
c) Alat pemeriksaan vital sign
d) Pinset
e) Kassa, air matang, kom/gelas untuk membasahi bibir
f) Alat tulis
18
Adapun prosedur-prosedur yang harus dilaksanakan oleh
petugas dalam mendampingi pasien yang hampir meninggal, yaitu :
a. Memberitahu pada keluarga tentang tindakan yang akan dilakukan
b. Mendekatkan alat
c. Memisahkan pasien dengan pasien yang lain
d. Mengijinkan keluarga untuk mendampingi, pasien tidak boleh
ditinggalkan sendiri
e. Membersihkan pasien dari keringat
f. Membasahi bibir pasien dengan kassa lembab, bila tampak kering
menggunakan pinset
g. Membantu melayani dalam upacara keagamaan
h. Mengobservasi tanda-tanda kehidupan (vital sign) terus menerus
i. Mencuci tangan
j. Melakukan dokumentasi tindakan
5. Pendampingan dengan bimbingan rohani
Bimbingan rohani pasien merupakan bagian integral dari
bentuk pelayanan kesehatan dalam upaya pemenuhan kebutuhan bio-
Psyco-Socio-Spritual (APA, 1992) yang komprehensif, karena pada
dasarnya setiap diri manusia terdapat kebutuhan dasar spiritual Basic
spiritual needs, Dadang Hawari, 1999). Pentingnya bimbingan spiritual
dalam kesehatan telah menjadi ketetapan WHO yang menyatakan
bahwa aspek agama (spiritual) merupakan salah satu unsur dari
pengertian kesehataan seutuhnya (WHO,1984). Oleh karena itu
dibutuhkan dokter, terutama perawat untuk memenuhi kebutuhan
spritual pasien. Perawat memiliki peran untuk memenuhi kebutuhan
19
biologis, sosiologis, psikologis, dan spiritual pasien. Akan tetapi,
kebutuhan spiritual seringkali dianggap tidak penting oleh perawat.
Padahal aspek spiritual sangat penting terutama untuk pasien yang
didiagnosa harapan sembuhnya sangat tipis dan mendekati sakaratul
maut dan seharusnya perawat bisa menjadi seperti apa yang
dikemukakan oleh Henderson, “The unique function of the nurse is to
assist the individual, sick or well in the performance of those activities
contributing to health or its recovery (or to a peaceful death) that he
would perform unaided if he had the necessary strength will or
knowledge”,maksudnya perawat akan membimbing pasien saat
sakaratul maut hingga meninggal dengan damai.
Biasanya pasien yang sangat membutuhkan bimbingan oleh
perawat adalah pasien terminal karena pasien terminal, pasien yang
didiagnosis dengan penyakit berat dan tidak dapat disembuhkan lagi
dimana berakhir dengan kematian, seperti yang dikatakan Dadang
Hawari (1977,53) “orang yang mengalami penyakit terminal dan
menjelang sakaratul maut lebih banyak mengalami penyakit kejiwaan,
krisis spiritual,dan krisis kerohanian sehingga pembinaan kerohanian
saat klien menjelang ajal perlu mendapatkan perhatian khusus”.
Sehingga, pasien terminal biasanya bereaksi menolak, depresi berat,
perasaan marah akibat ketidakberdayaan dan keputusasaan. Oleh
sebab itu, peran perawat sangat dibutuhkan untuk mendampingi
pasien yang dapat meningkatkan semangat hidup pasien meskipun
harapannya sangat tipis dan dapat mempersiapkan diri pasien untuk
menghadapi kehidupan yang kekal.
20
Dalam konsep Islam, fase sakaratul maut sangat menentukan
baik atau tidaknya seseorang terhadap kematiannya untuk menemui
Allah dan bagi perawat pun akan dimintai pertanggungjawabannya
nanti untuk tugasnya dalam merawat pasien di rumah sakit.
2.4.6 Moral Dan Etika Dalam Mendampingi Pasien Sakaratul Maut
Perlu diketahui oleh petugas kesehatan tentang moral dan etika
dalam pendampingan pasien sakaratul maut. Moral dan etika inilah yang
dapat membantu pasien, sehingga pasien akan lebih sabar dalam
mengahadapi sakit yang di deritanya.
Dalam banyak studi, dukungan sosial sering dihubungkan dengan
kesehatan dan usia lanjut. Dan telah dibuktikan pula bahwa dukungan
sosial dapat meningkatkan kesehatan. Pemberian dukungan sosial
adalah prinsip pemberian asuhan. Perilaku petugas kesehatan dalam
mengeksperikan dukungan meliputi :
1. Menghimbau pasien agar Ridlo kepada qadha dan qadarnya-Nya
serta berbaik sangka terhadap Allah Swt.
2. Menghimbau pasien agar tidak boleh putus asa dari rahmat Allah Swt.
3. Kembangkan empati kepada pasien.
4. Bila diperlukan konsultasi dengan spesialis lain.
5. Komunikasikan dengan keluarga pasien.
6. Tumbuhkan harapan, tetapi jangan memberikan harapan palsu.
7. Bantu bila ia butuh pertolongan.
21
8. Mengusahakan lingkungan tenang, berbicara dengan suara lembut
dan penuh perhatian, serta tidak tertawa-tawa atau bergurau disekitar
pasien
9. Jika memiliki tanggungan hak yang harus pasien penuhi, baik hak
Allah Swt (zakat, puasa, haji, dll) atau hak manusia (hutang, ghibah,
dll). Hendaklah dipenuhi atau wasiat kepada kepada orang yang
dapat memenuhi bagi dirinya. Wasiat wajib atas orang yang
mempunyai tanggungan atau hak kepada orang lain.
22