seminar pengorganisasian fix
DESCRIPTION
aTRANSCRIPT
PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR ORGANISASI DALAM UPAYA
MENDORONG PENGIMPLEMENTASIAN PRAKTIK KEPERAWATAN
BERBASIS BUKTI (Evidence-Based Practice)
Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Blok Kepemimpinan,
Manajemen, dan Kewirausahaan dalam Keperawatan yang dibimbing oleh :
Kuswantoro Rusca Putra, S. Kp., M. Kp
Kelompok I
Ahmi Choiria (0910720020) Iva Maulida CCN (0910720046)
Anita Wulan Septiawati (0910720002) Lilia Vivianita Ika A. (0910723005)
Ayu Wahyuni Lestari (0910723015) Lukmanul Hakim (0910720053)
Eky Madyaning Nastiti (0910721004) Pramita Novianti (0910721008)
Fionna Indah S (0910720035) Ratih Kusumaning M (0910720075)
Ida Rokhmatullaily (0910720040) Renny Ernawati (0910720077)
JURUSAN ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rumah sakit merupakan fasilitas pelayanan kesehatan memiliki peran yang
sangat strategis dalam upaya mempercepat peningkatan derajat kesehatan
masyarakat Indonesia. Peran tersebut menjadi semakin penting mengingat
perkembangan epidemiologi penyakit, perubahan struktur demografis,
perkembangan ilmu dan teknologi, dan perubahan struktur sosial ekonomi
masyarakat (Soejitno, 2002 dalam Azwar 2009).
Peran penting dari rumah sakit salah satunya adalah penyelenggaraan
pelayanan keperawatan. Pelayanan keperawatan tersebut harus mampu
memberikan pelayanan keperawatan bermutu dan profesional yang sesuai dengan
tuntutan pemakai jasa pelayan serta melalui penerapan kemajuan ilmu, teknologi,
sesuai dengan standar, nilai-nilai moral dan etika profesi keperawatan. Tuntutan
dan kebutuhan pelayanan keperawatan bermutu dalam menghadapi era globalisasi
merupakan tantangan yang harus dipersiapkan secara benar dan ditangani secara
mendasar, terarah, dan sungguh-sungguh oleh rumah sakit. Perlu dilakukan
pengelolaan secara profesional agar perawatan dapat memberikan pelayanan yang
bermutu kepada individu, keluarga, dan masyarakat (Nursalam, 2007).
Praktik keperawatan pada dasarnya adalah memberikan asuhan
keperawatan, yaitu mulai dari melaksanakan pengkajian keperawatan,
merumuskan diagnosis keperawatan, menyusun perencanaan tindakan
keperawatan, melaksanakan tindakan keperawatan (termasuk tindakan medik yang
dapat dilakukan oleh perawat) sampai evaluasi terhadap hasil tindakan dan
akhirnya mendokumentasikan hasil keperawatan sebagaimana tercantum dalam
standart operational procedure (SOP). Perawat dituntut untuk mempunyai tingkat
pengetahuan dan ketrampilan yang memadai, sehingga dapat memberikan
pelayanan kesehatan secara optimal bagi masyarakat (Soeroso, 2002).
Evaluasi hasil kerja perawat tersebut tercermin dari cakupan pelayanan
keperawatan sesuai SOP baik secara berkala maupun tahunan, sehingga prestasi
kerja sangat bergantung pada penerapan SOP pelayanan keperawatan. Menurut
persatuan perawat nasional Indonesia (PPNI) tahun 2004, bahwa standar praktek
keperawatan sangat penting sebagai petunjuk yang objektif untuk perawat
memberikan perawatan dan sebagai kriteria untuk evaluasi asuhan keperawatan
sehingga kesalahan dalam pemberian obat, infeksi nosokomial dan klien tidak
mendapatkan pelayanan yang optimal tidak terjadi.
Untuk dapat melaksanakan penerapan SOP pelayanan keperawatan
diperlukan suatu perencanaan yang baik. Pelaksanaan rencana tadi dilakukan oleh
satuan satuan kerja yang merupakan bagian dari organisasi. Mau tidak mau
setelah dibuat suatu rencana, langkah selanjutnya adalah pengorganisasian
(Asmuji, 2012). Seperti yang dikemukakan Gibson (1987) dalam Illyas (2001)
bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang, yaitu (1) faktor
individu terdiri dari kemampuan dan ketrampilan, latar belakang dan sosio-
demografis. Variabel kemampuan dan ketrampilan merupakan faktor utama yang
mempengaruhi perilaku dan kinerja individu, variabel demografis mempunyai efek
tidak langsung pada perilaku dan kinerja individu, (2) faktor psikologis terdiri dari
persepsi, sikap, kepribadian, dan motivasi. Varibel ini banyak dipengaruhi oleh
keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya dan variabel demografi, dan
(3) faktor organisasi berefek tidak langsung terhadap perilaku dan kinerja individu
terdiri dari sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan.
Salah satu unsur penting diperhatikan dari aspek organisasi adalah budaya
organisasi. Menurut Robbin (2006), budaya organisasi mempunyai peran penting
dalam mempengaruhi setiap saat menjalankan aktivitas dan dapat dibedakan
melalui sistem yang dianut oleh anggota organisasi dalam hal ini rumah sakit.
Menurut Mangkunegara (2000), budaya organisasi adalah seperangkat sikap, nilai,
norma, keyakinan dan perilaku yag dimiliki oleh sekelompok orang yang
dikembangkan dan dikomunikasikan dari generasi ke generasi berikutnya untuk
membina hubungan dan mengatasi masalah adaptasi eksternal dan internal,
sehingga secara akumulatif berfungsi untuk mempertahankan eksistensi diri dalam
organisasi untuk mencapai tujuan organisasi dan kinerja individu dalam organisasi
sehingga dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi kinerja. Efektifitas dan
efisisensi pelaksanaan kegiatan yang akan dikerjakan dipengaruhi oleh bagaimana
individu-individu yang ada di dalam satuan kerja tadi bekerja secara maksimal
sesuai tanggung jawab dan wewenangnya. Untuk itu, pengorganisasian menjadi
langkah penting setelah kegiatan perencanaan (Asmuji, 2012).
Berdasarkan fenomena di atas kami mengulas topik: Pentingnya
Pengorganisasian dalam Implementasi Standart Praktek Pelayanan Keperawatan
dalam Rangka Meningkatkan Pelayanan Kesehatan Masyarakat. Diharapkan
melalui makalah ini dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah pengorganisasian dalam implementasi standart praktek pelayanan
keperawatan dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat di
Indonesia telah efektif?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui dan menganalisa penerapan pengorganisasian dalam
implementasi standart praktek pelayanan keperawatan dalam rangka peningkatan
pelayanan kesehatan masyarakat.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Organisasi
Definisi-Definisi Pengorganisasian
Menurut Urwick dalam Swanburg (2000) mengatakan bahwa pengorganisasian
adalah proses membuat suatu mesin. Pengorganisasian harus memungkinkan
pendapat pribadi, tetapi ini akan minimal jika suatu desain diikuti.
Pengorganisasian harus menunjukkan setiap bagian seseorang yang akan
bermain dalam pola sosial umum, serta tanggung jawab, hubungan, dan
standar kinerja. Pekerjaan harus sejalan dengan fungsi-fungsi khusus untuk
memfasilitasi latihan yang perlu dilakukan. Struktur organisasi harus
berdasarkan prinsip-prinsip, termasuk kelanjutannya di masa yang akan
datang.
Menurut Swanburg (2000) pengorganisasian adalah pengelompokan aktivitas-
aktivitas untuk tujuan mencapai objektif, penugasan suatu kelompok manajer
dengan autoritas pengawasan setiap kelompok, dan menentukan cara dari
pengorganisasian aktivitas yang tepat dengan unit lainnya, baik secara vertikal
maupun horisontal, yang bertanggung jawab untuk mencapai objektif
organisasi. Pengorganisasian meliputi proses memutuskan tingkat organisasi
yang diperlukan untuk mencapai objektif divisi keperawatan, departemen, atau
pelayanan, dan unit. Unit tiap unit harus meliputi tipe pekerjaan yang secara
langsung dilakukan dalam perawatan pada pasien, macam-macam perawat
yang diperlakukan dalam mencapai pekerjaan yang ada dan banyaknya
pengelolaan atau supervisi yang diperlukan.
Prinsip-Prinsip Pengorganisasian
Menurut Swanburg (2000) prinsip-prinsip pengorganisasian terdiri dari:
1. Prinsip Rantai Komando
Prinsip rantai komando menyatakan bahwa untuk memuaskan anggota,
efektif secara ekonomis, dan berhasil dalam mencapai tujuan mereka,
organisasi dibuat dalam hubungan hirarkis dalam alur autoritas dari atas ke
bawah. Prinsip ini mendukung struktur mekanistis dengan autoritas sentral
yang mensejajarkan autoritas dan tanggung jawab. Komunikasi terjadii
sepanjang rantai komando dan cenderung satu arah ke bawah. Pada
organisasi keperawatan modern rantai komando ini adalah datar, dengan garis
manajer dan staf teknis serta administrasi yang mendukung staf perawat klinis.
2. Prinsip Kesatuan Komando
Prinsip kesatuan komando menyatakan bahwa seorang pekerja
mempunyai satu penyelia dan terdapat satu pemimpin dan satu rencana untuk
kelompok aktivitas dengan objektif yang sama. Prinsip ini masih diikuti
kebanyakan organisasi keperawatan tetapi masih terus dimodifikasi dengan
memunculkan teori organisasi. Keperawatan primer dan manajemen kasus
mendukung prinsip kesatuan komando ini, seperti juga praktik bersama.
3. Prinsip Rentang Kontrol
Prinsip rentang kontrol menyatakan bahwa individu harus menjadii
penyelia suatu kelompok bahwa ia dapat mengawasi secara efektif dalam hall
jumlah, fungsi, dan geografi. Prinsip asal ini telah menjadi elastis, makin
sangat terlatih pekerja maka semakin kurang pengawasan yang diperlukan.
Pekerja dalam pelatihan memerlukan lebih banyak pengawasan untuk
mencegah terjadinya kesalahan. Bila digunakan tingkat yang berbeda dari
pekerja keperawatan, manajer perawat harus lebih mengkoordinasikan.
4. Prinsip Spesialisasi
Prinsip spesialisasi adalah setiap orang harus dapat menampilkan suatu
fungsi kepemimpinan tunggal, sehingga ada divisi tenaga kerja: suatu
perbedaan diantara berbagai tugas. Spesialisasi dianggap oleh kebanyakan
orang menjadi cara terbaik untuk menggunakan individu dan kelompok. Rantai
komando menggabungkan kelompok-kelompok dengan spesialitas yang
menimbulkan fungsi departementalis.
Hirarki atau urutan rantai adalah hasil alami dari prinsip-prinsip
pengorganisasian ini. Ini adalah urutan tingkatan, dari atas ke bawah dalam
suatu organisasi. Prinsip-prinsip organisasi ini adalah saling ketergantungan
dan dinamis bila digunakan oleh manajer perawat untuk menciptakan
lingkungan yang merangsang dalam praktik keperawatan klinis.
Birokrasi
Birokrasi dimulai dari prinsip-prinsip awal administrasi termasuk
pengorganisasian. Kata ini ditemukan oleh Max Weber. Birokrasi ini lebih
terstruktur dan biasanya tidak melibatkan pemerintah. Prinsip-prinsip rantaii
komando, kesatuan komando, rentang kontrol, dan spesialisasi mendukung
struktur birokrasi. Struktur tersebut tidak dapat dapat dikerjakan dalam bentuk
yang murni dan telah dapat diterapkan dalam organisasi sekarang ini.
Titik utama yang ada dalam riwayat organisasi birokrasi adalah
kemampuannya menghasilkan pekerja yang kompeten dan bertanggung jawab.
Mereka menggunakan aturan dan konvensi yang sama, dapat dihitung oleh
seorang manajer yang mempunyai otoritas, mempertahankan jarak sosial dengan
penyelia dan klien. Kemungkinan dapat menurunkan kefavoritan dan dapat
mengembangkan kepribadian, dan menerima penghargaan berdasarkan teknik
kualifikasi, senioritas, dan prestasi.
Ciri birokrasi meliputi formalitas, autonomi rendah, aturan yang paling atas
dan masih tradisional, divisi tenaga kerja, spesialisasi, standar prosedur,
kekhususan yang tertulis, catatan-catatan dan laporan, sentralisasi, pengontrolan,
dan penekanan pada tingkatan yang paling tinggi tentang efisiensi dan produksi.
Ciri-ciri ini biasanya yang dikeluhkan, dan kegagalan prosedur, dan frustasi umum.
Suatu kesimpulan mungkin bila birokrasi semakin kurang dalam organisasi,
banyak perawat yang akan memandang dirinya sendiri sebagai profesional.
Teori Peran
Teori peran menyatakan bila pekerja menemukan harapan yang tidak tepat
dan kehilangan informasi, mereka akan mengalami konflik peran, stress
meningkat, merasa tidak puas, dan perilakunya tidak efektif. Teori peran ini
mendukung prinsip-prinsip hubungan kepemimpinan dan kesatuan kepemimpinan.
Garis autoritas yang banyak dan membingungkan, membagi autoritas profesi dan
organisasi, dan dapat menjadi penyebab stress. Mereka menyarankan kepada
para pekerja untuk memilih rekan kerja antara formal otoritas dan profesional.
Hasilnya akan terjadi konflik peran dan ketidapuasan pekerja dan menurunkan
efisiensi dan efektivitas organisasi. Konflik peranpun dapat menurunkan
kepercayaan, memberi kesenangan sendiri, dan memuaskan seseorang yang
mempunyai otoritas, menurunkan komunikasi; dan menurunkan efektivitas
pekerja. Rizzo, House, dan Litrzman menyatakan konflik peran dan perasaan
ganda dapat diturunkan dengan pengelolaan yang dilakukan untuk:
1. Ketentuan tentang tugas, autoritas, alokasi waktu, dan hubungan dengan
orang lain.
2. Pedoman, petunjuk aturan, dan kemampuan untuk menduga berbagai sanksi
yang akan terjadi.
3. Pemenuhan peningkatan kebutuhan.
4. Struktur dan standar.
5. Fasilitas kerja tim.
6. Toleransi kebebasan.
7. Pengaruh atasan.
8. Konsistensi.
9. Keputusan cepat.
10. Komunikasi dan informasi yang cepat dan baik.
11. Menggunakan rantai komando.
12. Pengembangan diri.
13. Formalisasi.
14. Perencanaan.
15. Penerimaan terhadap ide oleh manajemen puncak.
16. Pengkoordinasian rencana kerja.
17. Penerimaan terhadap perubahan.
18. Keadekuatan autoritas.
Implikasi pada manajer perawat jelas nyata. Konflik peran dan peran ganda
menjadi bagian yang terpisah, konflik peran menjadi lebih tidak banyak berfungsi.
Beberapa pekerja menemukan penghargaan yang menekan.
Pengembangan Organisasi
Pengembangan organisasi (PO) menyetujui adanya perubahan di
lingkungan kerja agar menjadi lebih kondusif, memberi kepuasan pekerja, dan
lebih produktif. Perlu digaris bawahi bahwa perencanaan terhadap orang sama
pentingnya terhadap perencanaan teknik dan penghasilan. PO memungkinkan
manajer memperhatikan aspek-aspek fisik dan psikologis dalam organisasi.
Perubahan pun berada bersamaan dengan penerapan PO.
PO dapat menjadi aspek yang baik atau aspek yang diinginkan dalam
birokrasi. Perubahan dapat digunakan untuk memodifikasi aspek-aspek yang tidak
diinginkan dalam birokrasi. Ada tempat baik langsung ataupun tidak dalam
organisasi. Perawat manajer harus kuat dan tangguh dalam mendukung nilai-nilai
perawatan di klinik. Mereka harus menjadi aktif dalam perencanaan, pembuatan
desain, dan menerapkan struktur organisasi dan lingkungan kerja yang baru.
Objeknya adalah untuk mengembangkan orang, tidak untuk mengeksploitasi
mereka. PO menekankan pertumbuhan seseorang dan kompetensi antarpersonal.
Autonomi dan Tanggung Gugat. Diantara atribut fisik dan psikologis yang ada
dari PO adalah autonomi dan tanggung gugat, elemen paling penting dalam
profesionalisme keperawatan. Perawat profesional mempunyai kewajiban untuk
membuat keputusan dan tindakan yang perlu dilakukan. Menurut Luciano dan
Johnson hal tersebut dapat dicapai dengan menggunakan pendekatan
management by result (MBR). Mereka mengembangkan program manajemen
kinerja untuk penyelia unit yang bisa memastikan standar kinerja, menggabungkan
perilaku yang dapat diterima dan hasilnya. Hal ini termasuk mengikuti kemajuan,
umpan balik kinerja, membuat penyesuaian, dan tanggung gugat personel.
Karakteristik autonomi profesional meliputi definisi diri, regulasi diri, dan
kekuasaan diri. Perawat profesional berespons terhadap perubahan yang terjadi
dalam lingkungan sosial untuk menentukan hal yang diperlukan dalam praktik
keperawatan. Ditujukan untuk kebutuhan-kebutuhan masyarakat termasuk
kebutuhan untuk meningkatkan pelayanan keperawatan bagi orang jompo dan
mengontrol sumber-sumbernya. Autonomi pun dikuatkan dengan adanya sumber-
sumber pendapatan rumah sakit dan pembayaran bagi pelayanan keperawatan
oleh pembayaran pihak ketiga.
Kekuasaan diri perawat meliputi kekuasaan perawat administrator,
menerima atau menolak masukan dari perawat, pendapatan bagi perawat,
meningkatkan kemampuan staf dengan membuat tinjauan sejawat oleh staf
organisasi keperawatan dan manajemen kasus.
Budaya. Kebudayaan dalam organisasi meliputi segala sesuatu yang ada di
organisasi termasuk kepercayaan, norma, nilai-nilai, filosofi, tradisi, dan
pengorbanan. Organisasi ini merupakan sistem sosial yang di dalam organisasi
sebagai sub-sistemnya. Budaya dalam organisasi ini termasuk hasil karya,
pandangan, nilai, asumsi, simbol-simbol, bahasa, dan perilaku yang efektif.
Budaya organisasi meliputi pula kerangka kerja komunikasi, baik formall
maupun informal. Meliputi struktur status atau peran yang berhubungan dengan
ciri-ciri pekerja dan penerima pelayanan atau pasien. Seperti struktur yang ada
juga berhubungan dengan gaya manajemen, baik autoritas ataupun partisipasi.
Gaya manajemen berpengaruh besar terhadap perilaku individu. Dalam
pelaksanaan pelayanan kesehatan struktur tersebut mendorong kerja individuall
atau kelompok. Gaya ini pun berhubungan pula dengan pengelompokan orang
yang mungkin diidentifikasi melalui survei demografi baik kepada para pekerja
ataupun pada pasiennya.
Misi dasar organisasi adalah bagian dari budaya: pekerjaan, pelayanan,
pembelajaran, dan riset. Ada suatu teknis atau sistem operasional untuk dapat
menjalankan suatu pekerjaan. Ada juga suatu sistem administratif tentang
penggajian dan pendapatan, penyewasaan, pemecatan, dan peningkatan.
Pembuatan laporan dan kontrol kualitas, keuntungan yang sesuai, dan pembuatan
anggaran.
Hasil dari budaya organisional mungkin saja dalam bentuk fisik, perilaku
(ritual), atau verbal (bahasa, cerita, mitos). Kerja verbal dihasilkan dari paduan
antara nilai-nilai dan kepercayaan. Karya seni meliputi tradisi, kepahlawanan, dan
garis bagian, dan hasil upacara ritual. Hasil seni pun termasuk penghargaan yang
diberikan setiap tahun, kebiasaan piknik, perayaan natal, dan penggunaan
lencana dan tanda.
Perspektif adalah ungkapan ide dan tindakan. Perspektif berhubungan pula
dengan metode pembuatan keputusan. Sebagai contoh, sistem sosial, teknis,
sistem manajerial, atau subsistem manajerial yang juga akan mendukung inovasi
atau kesesuaian permintaan.
Pakaian, penampilan personal, adat istiadat sosial, dan lingkungan fisik
merupakan bagian dari budaya organisasi. Akan diperlukan juga pemenuhan yang
sesuai melalui aturan-aturan tertulis dan penerapannya.
Nilai-nilai merupakan prinsip-prinsip umum, ideal, standar, dan kesalahan-
kesalahan dalam organisasi. Asumsi dasarnya adalah inti dari kebudayaan
termasuk kepercayaan kelompok terhadap dirinya sendiri, terhadap orang lain,
dan terhadap dunia.
Budaya dan Manajer. Saat hasil dan produktivitas menurun jumlah ataupun
macamnya, manajer perlu melihat keadaan sosial, teknis, dan sistem manajeriall
yang menjadi bagian dari budaya organisasi. Mereka tahu bahwa orang-orang
tersebut berupaya untuk menyesuaikan pengertiannya dengan norma dan nilai-
nilai yang ada di organisasi. Jika menginginkan keberhasilan, mereka perlu
mengidentifikasi norma dan nilai-nilai tersebut dan menerapkan apa yang
didapatkan sesuai dengan mereka.
Manajer yang berhasil mengidentifikasi dan menerima budaya umum yang
ada sebelum membuat perubahan. Akan sulit mengubah kebudayaan pada tingkat
kepercayaan yang mendasar. Nilai-nilai dan perspektifnya lebih mudah dilakukan
perubahan secara teknis dan dalam sistem administratif.
Riset menunjukkan bahwa budaya kuat yang mendorong partisipasi dan
keterlibatan pekerja dalam ikut membuat keputusan mempengaruhi kinerja
organisasi secara positif. Kompetisi di luar organisasi tersebut dalam penjualan
dan pemasukan, pengorganisasian budaya akan melibatkan CEO.
Iklim. Iklim dalam organisasi melibatkan keadaan emosional anggota yang ada
dalam sistem tersebut. Bisa formal, rileks, difensif, perhatian, penerimaan,
kepercayaan, dsb. Iklim ini lebih bersifat perasaan para pekerja atau persepsi
tentang organisasinya. Para pekerja yang mendapat perhatian utama dari manajer
perawat adalah perawat praktisi. Para perawat praktisi tersebut membuat atau
paling tidak ikut terlibat dalam pembuatan iklim yang melibatkan perasaan pasien.
Iklim kerja dibuat oleh manajer perawat yang menentukan perilaku perawat praktisi
dalam iklim kerjanya.
Perawat praktisi menginginkan iklim yang dapat memberikan kepuasan pada
pekerjaannya. Mereka dapat mencapai kepuasan kerja jika mereka mempunyai
rasa ingin tahu dan mengenai apa yang mereka dapatkan, serta oleh manajer dan
pasien bersama-sama diimplementasikan. Mereka mendapat kepuasan dari
suasana kerja sama yang terjadi antara manajer dan pelaksana pelayanan
kesehatan lainnya yang berpartisipasi dalam pembuatan keputusan.
Banyak penelitian telah dilakukan untuk menetapkan suasana kerja yang
terjadi dalam bisnis, industri, dan dalam organisasi kesehatan lainnya. Salah satu
kepala keperawatan telah membuat dan mencoba menerapkan dalam suatu
proyek untuk memotivasi staf keperawatan di unit pelayanan bedah agar dapat
memberikan pelayanan lebih baik dan mendapatkan kepuasan lebih banyak. dia
merancang strategi memotivasi karyawan teladan yang meliputi pengukuran
dengan kriteria kinerja. Walaupun pada awalnya para staf kurang perhatian, tetapii
seterusnya perhatian dan partisipasinya meningkat. Produktivitas biasanya
meningkat, pembawaannya pun berubah juga. Strategi utama yang perlu dikenali
dalam pembukaannya adalah mengumumkan pada papan pengumuman tentang
adanya makan siang dan makan malam gratis. Pada akhir bulan keenam 25 dari
114 karyawan telah mendapat jabatan, partisipasi sukarela mereka menunjukkan
bahwa hal ini memenuhi beberapa kebutuhan mereka.
Aktifitas untuk Meningkatkan Iklim Organisasi Positif
1. Mengembangkan misi organisasi, tujuan, dan objektif dengan masukan dari
perawat-perawat praktisi, termasuk tujuan-tujuan pribadi.
2. Memberikan kepercayaan dan keterbukaan selama berkomunikasi termasuk
meningkatkan dan memberi umpan balik serta memberikan motivasi.
3. Memberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang termasuk perkembangan
karier dan program pendidikan berkelanjutan.
4. Meningkatkan kerja tim.
5. Meminta perawat praktisi untuk menyatakan kepuasan dan ketidakpuasan
mereka selama pertemuan dan konferensi dan selama survei.
6. Memasarkan organisasi keperawatan kepada perawat-perawat praktisi,
pekerja, pekerja lainnya, dan kepada masyarakat.
7. Mengikuti semua aktivitas-aktivitas termasuk pelaksanaan keperawatan.
8. Menganalisa sistem kompensasi semua organisasi keperawatan dan
strukturnya untuk memberi penghargaan atas kompetensi dan produktivitasnya.
9. Meningkatkan harga diri, autonomi, dan rasa percaya diri dalam melaksanakan
keperawatan, termasuk perasaan tentang pengalamannya yang berkualitas
tinggi.
10. Ditekankan pada program-program untuk mengenali kontribusi pelaksanaan
pelayanan keperawatan dalam organisasi.
11. Mengkaji hal-hal yang tidak diperlukan serta mengatasi dan memberikan
hukuman serta membatasinya.
12. Memberi keamanan dalam bekerja di lingkungan yang dapat memberikan
kesempatan bebas untuk mengemukakan ide-ide dan pertukaran opini tanpa
mengatasi saling menuduh, yang terjadi akibat laporan negatif tentang
penampilan, konseling yang negatif, konfrontasi, konflik atau kehilangan
pekerjaan.
13. Selalu bekerja sama dengan pelaksana perawatan.
14. Membantu perawat praktisi untuk mencapai kemajuan dan mengembangkan
kekuatan mereka.
15. Melibatkan dan memberikan loyalitas, keramahan, dan kepastian.
16. Mengembangkan strategi perencanaan termasuk desentralisasi pembuatan
keputusan dan partisipasi dalam pelaksanaan keperawatan.
17. Menjadi model peran dengan berperilaku baik dalam pelaksanaan perawatan.
2.2 Pengembangan Struktur Organisasi
Dalam struktur suatu organisasi untuk bagian keperawatan harus ditemukan
persiapan tertulis tentang misi, filosofi, dan objektivitas bagian tersebut. yang paling
menarik dari suatu institusi segera mempunyai struktur organisasi sebelum struktur
tersebut diubah, kepala perawat harus masuk dengan analisa yang dimulai dengan
strategi dan objektif.
Objektif telah didiskusikan sebagai strateginya meliputi aktivitas perawat
dalam menentukan tujuan struktur organisasi. Strategi dalam keperawatan akan
mengidentifikasi adanya proses dalam keperawatan. Bisnis selanjutnya dan apa
yang seharusnya ada dalam bisnis. Sebaiknya dalam struktur organisasi selalu ada
dorongan dan sokongan agar perawat dapat berfungsi sesuai dengan misi
organisasi, filosofi dan obyektif.
Aktivitas Dan Fungsi Kerja
Aktivitas bekerja sarta fungsinya akan dianalisa yang meliputi pengidentifikasian
pembangunan suatu organisasi meliputi :
1. Tingkatan unit pelaksana pekerjaan, termasuk pelayanan keperawatan utama
(misi awal atau dasar, bukan metoda ataupun modal keperawatan). Manajemen
operasional keperawatan, umumnya diserahkan pada kepala perawatan dan/
atau aktivitas manajer perawatan klinik, dan mendorong aktivitas penting dalam
penerapan asuhan keperawatan utama seperti latihan, administrasi, dll.
Manajemen tingkat unit termasuk manajemen bagian klinik dalam pelayanan
keperawatan secara langsung dan manajemen bukan keperawatan atau
aktivitas yang tidak langsung
2. Dalam ukuran yang lebih besar atau usaha besar tipe organisasi perawatan
disana mungkin membutuhkan manajer tingkat menengah, yang pada
umumnya disebut penyedia atau pengawas atau koordinator klinik. Hal ini
dapat terjadi pada pusat pelayanan kesehatan yang kompleks atau pusat medik
yang kompleks. Divisi keperawatan bahkan dapat menjadi cukup besar sehigga
membutuhkan tim manajemen untuk pelayanan klinis, organisasinya seperti
departemen misalnya perawatan bedah dan anak. Identifikasi fungsi-fungsi
akan menentukan model, struktur dan keputusan tentang bagaimana orang
akan dibutuhkan untuk pekerjaan top manager dan manajer menengah. Asisten
pimpinan mungkin merupakan bagian dari manajer puncak.
3. Pada beberapa institusi kesehatan fungsi manajer puncak harus dilaksanakan.
Pada divisi kecil manajer perawatan akan menjadi manajer puncak pada
departemen dan sekaligus menjadi anggota manajemen puncak pada institusi
tersebut. Didalam suatu divisi yang lebih luas dengan berbagai misi dan tujuan
disana kemungkinan fungsi dan aktivitas seseorang manajemen dalam tim
divisi keperawatan akan cukup. Ketua juga masih anggota dari keperawatan.
Ketua juga masih anggota dari manajer puncak institusi yang memiliki fungsi
strategis dalam membuat perencanaan pada tingkat instansi.
4. Struktur teknik dari staf ukurannya bervariasi, tergantung pada ukuran dari
institusi dimana akan mendukung manajemen dan komponen klinik dari
organisasi perawatan. Dalam hal ini termasuk didalamnya adalah pada ahli
dalam kontrol inspeksi, pengembangan staf, perawatan onkologi, jaminan
kualitas, dll. Dalam beberapa organisasi mereka itu disebut konsultan.
5. Kebutuhan untuk perubahan dalam pekerjaan harus diidentifikasi dan
direncanakan untuk membentuk model struktur organisasi. Hal itu dapat
menentukan tingkatan perusahaan, tingkatan manajemen puncak atau fungsi
dari seorang staf yang akhirnya akan mendukung aktivitas yang tidak
berhubungan langsung dengan kewenangannya. Hal ini akan membutuhkan
dukungan manajemen puncak tetapi suatu strategi pemisah dari strategi
manajemen dengan misi, tujuan, rencana kerja, dan pengukuran tersendiri.
Bentuk-Bentuk Struktur Organisasi
Secara umum terdapat 2 bentuk struktur organisasi, yaitu bentuk hierarkis
dan bebas. Gabungan dari keduanya dibutuhkan pada keperawatan.
Struktur dan hierarkis.
Struktur dan hierarkis umumnya disebut struktur garis. Bentuk ini merupakan
bentuk yang paling tua dan sederhana dan biasanya dihubungkan dengan prinsip-
prinsip kekuasaan berantai, birokrasi, dan berbagai tingkatan hirarkis. Kontrol
tegak lurus ke atas dan koordinasi pembedaan tingkatan oleh fungsi dan
kewenangan dan komunikasi arah ke bawah. Struktur ini memiliki banyak
keuntungan dan kerugian sebagai akibat dari adanya birokrasi. Struktur garis
paling banyak memiliki jumlah komponen staf. Dalam organisasi keperawatan
garis dan personel staf keduanya biasanya adalah perawat profesional.
Struktur Bentuk-Bebas
Bentuk struktur organisasi bebas disebut organisasi matriks. Organisasi
matriks dibentuk berdasarkan respon waktu untuk persaingan eksternal dan
efisiensi fasilitas dan efektifitas internal melalui kerjasama dan penerapan disiplin .
ciri-ciri dari organisasi matriks meliputi :
1. Pemeliharaan terhadap struktur garis kewenangan
2. Sumber daya khusus didapatkan dari berfungsinya bagian-bagian
3. Pengkatan dari pembentukan unit organisasi baru
4. Pengambilan keputusan pada tingkat organisasi dihasilkan dari konsesua
kelompok dan manajer tingkat menengah
5. Manajer matrik manjalankan kewenangannya atas fungsi-fungsinya sebagai
manajer
6. Rencana kerjasama dari program pengembangan dan alokasi sumber daya
ditujukan untuk menyelesaikan rencana
7. Penugasan dari fungsi-fungsi manajer kepada tim merupakan tanggapan
terhadap pimpinan pada fungsi-fungsi disiplin dan manajer matriks
Keuntungan dari struktur organisasi matrik keperawatan meliputi :
1. Meningkatkan komunikasi melalui kontrol vertikal dan horisontal dan
koordinasi dari berbagai disiplin ilmu tim pemberi pelayanan kepada pasien
2. Mempermudah penyesuaian organisasi dan ketidakstabilan untuk merespon
perubahan lingkungan
3. Meningkatkan efisiensi dari penggunaan sumber daya dengan lebih kecil dari
tingkatan organisasi dan pengambilan keputusan yang lebih teliti untuk
mengoperasionalkan pemberian pelayanan primer
4. Meningkatkan manajemen sumber daya manusia karena dapat meningkatkan
kepuasan kerja denga presentasi dan pemenuhan, meningkatkan komunikasi,
meningkatkan ketrampilan interpersonal dan meningkatkan hubungan dengan
teman sejawat.
Kerugian dari struktur organisasi matriks meliputi:
1. Potensial terjadinya konflik sebab adanya dua atau beberapa batasan
kewenangan, tanggung jawab dan hubungan pertanggung-gugatan
2. Adanya peran ganda
3. Hilangnya kontrol atas fungsi disiplin dari dua sampai pendekatan beberapa
tim antar disiplin ilmu
Adhocracy
Model adhocracy dari suatu organisais sama dengan model matriks. Pada
model ini terdapat tim yang sederhana atau kekuasaan tuga yang didasari oleh
adanya dasar ad hoc. Adrocacy dibentuk, memenuhi tujuan dan dibubarkan.
Kelompok baru kemudian dibentuk untuk memenuhi perubahan-perubahan dan
kisi yang dinamis dan objektif. Model matrix dan adhocracy menggunakan
manajemen partisipasi. Fungsi atasan adalah yang bertanggung jawab secara
langsung pada penyempurnaan tujuan departemen keperawatan (atau pelayanan
atau unit). Pada bagian yang sangat besar, hal itu terdiri dari registered nurse,
licenced practical nurses dan teknisi keperawatan. Fungsi staf adalah membantu
dalam menyempurnakan batasan tujuan utama dari keperawatan. Hal ini meliputi
bagian administrasi, personel, anggaran dan sarana, pengembangan staf,
penelitian dan konsultan khusus masalah klinis. Hubungan antara atasan dan staf
adalah dalam urusan kewenangan. Atasan memiliki autoritas untuk langsung
menilai karyawan, sedangkan staf hanya memberi nasihat dan konsultasi. Dalam
hal itu wewenang atasan mungkin berada dalam bagian staf.
Wewenang fungsional terjadi jika individu atau departemen wewenang yang
didelegasikan melebihi fungsi pada satu atau lebih departemen lain. Hal ini terjadi
dalam pengembangan kontrol infeksi dan kualitas sistem dimana perawat
profesional memiliki batasan wewenang untuk mengelola rumah sakit dan
wewenang untuk mengelola staf keperawatan dan wewenang staf untuk divisi
lainnya. Fungsi pendelegasian wewenang ini ditetapkan secara jelas dan dibatasi
secara hati-hati. Sebagai contoh personel staf mungkin ditugasi untuk menerima
tenaga keperawatan baru dengan batasan manajer terakhir menguatkan
wewenang atas penyewaan. Pencatatan keperawatan akan menjamin
penggunaan secara efektif untuk meminta nasihat dan menghindari pengulangan
kesalahan dari jajaran manajer. Staf memberikan informasi bahwa fasilitas akan
memecahkan persoalan, sehingga informasi dicari dengan jajaran manajer dalam
hubungan kerjasama yang efektif dan kooperatif.
Standart evaluasi yang efektif dari hubungn atasan atau staf dalam divisi
keperawatan, departemen atau unit :
1. Hubungan wewenang atasan secara jelas digambarkan dan dibatasi oleh
organisasi dan/atau kebijakan dan diagram fungsional
2. Hubungan wewenang staf secara jelas digambarkan dan dibatasi oleh
organisasi dan/atau kebijakan dan diagram fungsional
3. Hubungan wewenang fungsional secara jelas digambarkan dan dibatasi oleh
organisasi dan/atau kebijakan dan diagram fungsional
4. Staf personal memberikan konsultasi, nasihat, anjuran kepada atasan
personel
5. Fungsi pelayanan personel dipahami secara jelas baik oleh atasan maupun
oleh staf personel
6. Atasan personel mencari dan menggunakan pelayanan staf secara efektif
7. Pelayanan staf yang sesuai disediakan untuk atasan personel keperawatan
dan departemen organisasi atau pelayanan lainnya
8. Pelayanan tidak dilakukan secara berganda berkenaan dengan hubungan
kewenangan atasan dan staf
Menganalisa Struktur Organisasi Dalam Divisi Keperawatan
Ada enam langkah untuk menganalisa stuktur organisasi. Langkah ini sebaiknya
digunakan jika masalah organisasi yang besar terjadi misalnya ada perpecahan
diantara kepala bagian dalam hal wewenang, pengaturan staf, dan hal
semacamnya. Langkah-langkah ini juga dapat diterapkan dalam
mengorganisasikan suatu badan baru, divisi, atau unit dan pengorganisasian
ulang.
Langkah 1
Susun daftar kegiatan kunci yang dibatasi oleh misi dan tujuan merawat
pasien. Filsafat tertulis akan membantu mengenali nilai yang penting untuk
dipertimbangkan. Jika daftar sudah lengkap maka harus dianalisa. Kelompokkan
aktivitas yang serupa, apa yang dimaksud dengan unsur untuk mengatasi beban
pokok? Kebanyakan dihubungkan dengan perawatan dasar, filsafat menekankan
bahwa perawatan pasien penting untuk mencapai obyektif.
Jika strategi berubah maka struktur organisasi harus ditinjau dan dianalisa
kembali. Perubahan inti termasuk perubahan misi, filsafat, tujuan, dan rencana
operasional untuk mencapai tujuan. Analisis kegiatan kunci yang dapat dilakukan
berdasarkan kontribusinya termasuk :
1. Aktivitas yang menghasilkan sesuatu yang berhubungan dengan perawatan
pasien langsung misalnya proses perawatan
2. Aktivitas penunjang termasuk audit, anjuran, dan penyuluhan
3. Aktivitas pemeliharaan rumah dan hygiene
4. Aktivitas manajemen puncak termasuk aktivitas batiniah seperti pandangan,
nilai, standart, dan audit seperti mengelola personel, pemasaran , dan inovasi
Langkah 2
Berdasarkan fungsi kerja yang ditampilkan, keputusan pada unit organisasi.
Analisis keputusan akan penting karena harus diputuskan dimana bergaia jenis
keputusan akan diperlukan dan siapa yang akan membuatanya. Keputusan
melibatkan fungsi tanggung jawab masa datang mungkin mempunyai fungsi
manajemen puncak. Selain itu penting untuk menganalisa dampak keputusan
pada fungsi lainnya, jumlah fungsi yang terlibat merupakan faktor penting. Faktor
kualitatif seperti keputusan berdasarkan nilai etis, prinsip tingkah laku, dan
kepercayaan politik dan sosial juga perlu dianalisis. Frekuensi keputusan
berpengaruh pada penempatan: apakah berulang-ulang atau jarang? Pada
prinsipnya semua keputusan harus ditempatkan pada tingkat terendah dan
sedekat mungkin dengan cakupan operasional.
Langkah 3
Tentukan unit atau komponen yang akan digabung dan yang akan dipisah.
Gabungkan aktivitas yang mempunyai kontribusi yang sama. Ini memerlukan
analisis hubungan dan dihubungkan dengan dampak dari kegiatan kunci atas
fungsi.
Langkah 4
Tentukan ukuran dan bentuk unit atau komponen
Langkah 5
Tentukan penempatan yang sesuai dan hubungan antara unit atau
komponen yang berbeda. Ini merupakan hasil dari analisa hubungan. Sebaiknya
ada sedikit mungkin jumlah hubungan, setiap hubungan atau relasi harus dihitung.
Langkah 6
Gambarkan atau buat diagram desain dan tempatkan dalam
penerapannya. Ini akan menghasilkan diagram skema atau skema organisasi.
Langkah 3, 4 dan 5 meliputi depertementasi, pengelompokan personel
berdasarkan beberapa karekteristik. Proses ini merupakan pengorganisasian.
Pembagian berdasarkan fungsi misalnya pengelompokan unit yang bertujuan
sama seperti perawatan penyakit dalam, bedah, pediatrik dan obstetrik.
Pembagian waktu dikelompokkan melalui pembagian shift. Pembagian wilayah
bisa berdasarkan tempat, geografi dan rancangan fisik. Pembagian produk
termasuk pengendalian berat badan, perubahan tingkah laku (misalnya berhenti
merokok), perawatan kesehatan wanita, dan lainnya.
Diagram Organisasi
Setiap organisasi perawatan mempunyai diagram organisasi untuk
menggambarkan proses organisasi. Diagram ini memperlihatkan hubungan
pelaporan dan komunikasi. Garis diagram memperlihatkan hubungan antara
pengawas dan yang diawasi dari atas ke bawah pada organisasi keperawatan.
Hubungan hierarkis dimana saluran komunikasi mengikuti garis kewenangan ke
dan melalui eksekutif perawat kepala. Contonya adalah pada bagan berikut :
Organization Models of Nursing Practice, hak cipta 1985 oleh American Hospital
Association
2.3 Tipe- tipe Organisasi
Pengorganisasian di ruang perawatan harus menyesuaikan dengan metode
penugasan yang diterapkan di ruang perawatan. Berikut akan dijelaskan beberapa
tipe organisasi dilihat dari strukturnya.
1. Struktur organisasi secara umum
Struktur organisasi di ruangan menyesuaikan dengan metode penugasan
yang dijalankan di ruang perawatan. Akan tetapi, secara umum organisasi
dibagi menjadi tiga macam, antara lain sebagai berikut.
a. Organisasi Lini
Bentuk organisasi lini merupakan yang tertua di dunia. Organisasi lini
mencirikan bahwa pembagian tugas dan wewenang terdapat perbedaan yang
nyata antara satuan organisasi pimpinan dan satuan organisasi pelaksana.
Peran pimpinan sangat dominan, segala kendali ada di tangan pimpinan, dan
dalam melaksanakan kegiatan yang diutamakan adalah wewenang dan
perintah.
Bagan 3. Organisasi Lini
Organisasi lini lebih cocok digunakan untuk organisasi dengan jumlah
karyawan sedikit, sarana dan prasarana yang terbatas, serta tujuan dan
kegiatan organisasi yang sederhana. Bentuk organisasi lini mempunyai
keuntungan pengambilan keputusan dapat dilaksanakan dengan cepat,
kesatuan arah dan perintah lebih terjamin, serta koordinasi dan pengawasan
lebih mudah. Sedangkan, kelemahannya adalah keputusan sering kurang
sempurna, dibutuhkan pemimpin yang benar-benar dapat memegang kendali
dan beribawa, dan unsure manusiawi sering terabaikan. Berdasarkan
penjelasan diatas, organisasi lini sangat cocok diterapkan di ruang perawatan.
b. Organisasi Staf
Organisasi staf merupakan pengembangan dari organisasi lini.
Organisasi staf dicirikan bahwa dalam organisasi dikembangkan satuan
organisasi staf yang berperan sebagai pembantu pimpinan. Orang yang
duduk dalam satuan organisasi staf adalah individu ahli yang disesuaikan
dengan kebutuhan organisasi. Hal ini terjadi karena pimpinan organisasi
menghadapi permasalahan yang kompleks dan kesulitan untuk memecahkan
permasalahan yang ada sehingga dibutuhkan orang yang sanggup dan
mampu membantu pimpinan dalam memecahkan masalah organisasi.
Bagan 4. Organisasi staf
Dalam organisasi staf, fungsi staf hanyalah sebagai pembantu.
Pengambilan keputusan tetap berada di tangan pimpinan. Keuntungan
organisasi staf adalah pengambilan keputusan dapat lebih baik. Kerugiannya
adalah pengambilan keputusan membutuhkan waktu yang lebih lama
dibandingkan organisasi lini.
c. Organisasi lini dan staf
Bentuk organisasi lini dan staf merupakan pengembangan dari
organisasi staf. Pada bentuk organisasi ini, staf tidak hanya diplot sebagai
penasihat, tetapi staf juga diberikan tanggung jawab untuk melaksanakan
nasihat tersebut. Organisasi lini staf diterapkan jika permasalahan organisasi
sangat kompleks sehingga staf tidak hanya diharapkan memberikan buah
pikirnya, tetapi staf juga harus membantu pelaksananya.
Keuntungan organisasi lini staf adalah pengambilan keputusan lebih
baik lagi kerena pengambilan keputusan telah dipikirkan oleh sejumlah orang,
tanggung jawab pimpinan berkurang karena pimpinan dapat lebih
memusatkan perhatiannya pada masalah yang lebih penting, serta
pengembangan bakat dan kemampuan dapat dilakukan sehingga mendorong
tanggung jawab kerja yang baik. Kelemahannya adalah pengambilan
keputusan memakan waktu yang lebih lama lagi, dapat menimbulkan
kebingungan pelaksana jika staf tidak mengetahui batas-batas wewenangnya.
Bagan organisasi lini staf dapat dilihat dalam gambar berikut.
Bagan 5. Organisasi lini staf
Seperti disampaikan pada kalimat di atas, struktur organisasi pelayanan
keperawatan di ruang rawat menyesuaikan dengan metode penugasan yang
diterapkan. Berikut adalah bagan struktur organisasi pelayanan di ruang
perawatan yang mengacu pada model pemberian asuhan keperawatan
(Gillies, 1989).
2. Struktur Organisasi Pelayanan Keperawatan
a. Metode Kasus
Metode kasus merupakan metode penugasan yang paling tua karena
metode ini adalah metode pemberian asuhan keperawatan yang pertama kali
digunakan. Pada metode ini, seorang perawat bertugas dan bertanggung
jawab merawat satu pasien selama periode dinas (Sitorus, 2006). Metode ini
biasa diterapkan di ruang perawatan intensif.
Bagan 6. Organisasi Metode Primer
b. Metode Fungsional
Metode penugasan fungsional merupakan metode pemberian asuhan
keperawatan yang menekankan pada penyelesaian tugas dan prosedur
(Sitorus, 2006). Prioritas utama metode ini adalah pemenuhan kebutuhan fisik
sehingga kurang memerhatikan kebutuhan manusia secara holistik dan
komprehensif.
Bagan 7. Organisasi metode fungsional
Pada metode penugasan fungsional, seorang kepala ruang membawahi
secara langsung perawat-perawat pelaksana yang ada di ruang tersebut.
Metode ini menggambarkan bahwa satu-satunya pemegang kendali
manajerial dan laporan klien adalah kepala ruang, sedangkan perawat lainnya
hanya sebagai perawat pelaksana tindakan.
Peran perawat pada metode ini adalah melakukan tindakan sesuai
dengan spesifikasi atau spesialisasi yang dimilikinya. Setiap perawat
mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk memberikan tindakan
keperawatan sebanyak satu atau dua jenis tindakan. Jenis tindakan lainnya
diberikan oleh perawat yang lainnya. Berdasarkan struktur diatas, tergambar
Kepala ruang
PerawatPerawat
Pasien PasienPasienPasien
PerawatPerawat
Kepala ruang
Perawat : Merawat Luka
Perawat :Pengobatan
Perawat:Merawat Luka
Perawat:Pengobatan
Pasien
dengan jelas bahwa ada pembagian tugas perawat, yaitu ada perawat yang
tugasnya hanya memberikan obat, ada perawat yang tugasnya hanya
merawat luka, dan lain-lain.
Namun demikian, guna mengurangi beban tanggung jawab kepala
ruang yang besar, pihak rumah sakit dapat memodifiksai struktur tersebut
dengan menempatkan wakil kepala ruang untuk membantu tugas kepala
ruang. Selain mengurangi beban kerja kepala ruang, dengan adanya wakil
kepala ruang, harapannya dapat meningkatkan efektivitas dan efesiensi
pekerjaan.
KELEBIHAN DAN KELEMAHAN METODE FUNGSIONAL
Kelebihan Kelemahan
1. Efisiensi, terutama untuk
ruangan yang mempunyai
jumlah tenaga perawat yang
minimal atau sedikit.
2. Perawat mempunyai keahlian
atau spesialisasi tindakan
tertentu.
1. Kepala ruang kurang waktu untuk
dapat memberikan masukan kepada
perawat-perawatnya tentang
bagaimana cara memberikan asuhan
keperawatan yang terbaik.
2. Setiap perawat tidak dapat
memberikan asuhan secara
komprehensif.
3. Komunikasi antar perawat sangat
terbatas.
4. Prioritas hanya kebutuhan fisik
sehingga tidak komprehensif,
5. Pemberian asuhan keperawatan
terfragmentasi.
6. Kepuasan pasien sulit tercapai.
7. Kepuasan perawat selaku pemberi
asuhan sulit tercapai.
c. Metode Tim
Menurut Douglas (1992), metode tim adalah metode pemberian asuhan
keperawatan yang mencirikan bahwa sekelompok tenaga keperawatan yang
memberikan asuhan keperawatan dipimpin oleh seorang perawat profesional
yang sering disebut dengan “ketua tim”. Selain itu, Sitorus (2006) juga
menyampaikan bahwa dengan metode penugasan tim, setiap anggota
kelompok atau tim mempunyai kesempatan untuk berkontribusi dalam
merencanakan dan memberikan asuhan keperawatan sehingga pada perawat
timbul motivasi dan rasa tanggung jawab yang tinggi
Bagan 8. Organisasi Metode Tim
Guna menunjang tercapainya asuhan keperawatan yang efektif dan
efisien, tugas pokok dan fungsi masing-masing posisi harus jelas dan
dipahami oleh masing-masing personel perawat. Keliat, dkk (2006)
menguraikan secara rinci tugas pokok dan fungsi masing-masing posisi yang
tergambar dalam struktur organisasi metode penugasan tim sebagai berikut :
1) Kepala Ruangan
a) Pendekatan Manajemen
Fungsi Perencanaan
- Menyusun visi, misi dan filosafi
- Menusun rencana jangka pendek (harian, bulanan, dan tahunan)
Fungsi Pengorganisasian
- Menyusun struktur organisasi
- Menyusun jadwal dinas
- Membuat daftar alokasi pasien
Fungsi Pengarahan
- Memimpin operan
- Menciptakan iklim motivasi
- Mengatur pendelegasian
- Melakukan supervisi
Fungsi Pengendalian
- Mengevaluasi indikator mutu
Kepala Ruang
TIM I
Ketua Tim
Anggota Tim
TIM II
Ketua Tim
Anggota Tim
Pasien Pasien
- Melakukan audit dokumentasi
- Melakukan survey kepuasan pasien, keluarga pasien, dan perawat
- Melakukan survey masalah kesehatan / keperawatan
b) Compensatory Reward
- Melakukan penilaian kinerja ketua tim dan perawat pelaksana
- Merencanakan dan melaksanakan pengembangan staf keperawatan
c) Hubungan Profesional
- Memimpin rapat keperawatan
- Memimpin konferensi kasus
- Melakukan rapat tim kesehatan
- Melakukan kolaborasi dengan dokter
d) Asuhan Keperawatan
Mampu melaksanakan asuhan keperawatan kepada pasien
(disesuaikan dengan spesifikasi ruangan)
2) Ketua Tim
a) Pendekatan Manajemen
Fungsi Perencanaan
- Menyusun rencana jangka pendek (harian, bulanan, dan tahunan)
Fungsi Pengorganisasian
- Menyusun jadwal dinas bersama kepala ruangan
- Membuat daftar alokasi pasien kepada perawat pelaksana
Fungsi Pengarahan
- Memimpin pre-conference dan post-conference
- Menciptakan iklim motivasi di dalam timnya
- Mengatur pendelegasian dalam timnya
- Melakukan supervisi kepada anggota timnya
Fungsi Pengendalian
- Melakukan observasi terhadap pelaksanaan asuhan keperawatan
kepada pasien yang dilakukan oleh perawat pelaksana
- Memberikan umpan balik kepada perawat pelaksana
b) Compensatory Reward
- Melakukan penilaian kinerja perawat pelaksana
c) Hubungan Profesional
- Melaksanakan konferensi kasus
- Melakukan kolaborasi dengan dokter
d) Asuhan Keperawatan
Mampu melaksanaskan asuhan keperawatan kepada pasien
(disesuaikan dengan spesifikasi ruangan)
3) Perawat Pelaksana
a) Pendekatan Manajemen
Fungsi Perencanaan
- Menusun rencana jangka pendek (harian)
b) Asuhan Keperawatan
- Mampu melaksanaskan asuhan keperawatan kepada pasien
(disesuaikan dengan spesifikasi ruangan)
Dengan melihat dan menyimak penjelasan diatas, secara jelas
terdapat perbedaan uraian tugas dari kepala ruang, ketua tim dan perawat
pelaksana. Berdasarkan uraian diatas, tergambar bahwa kepala ruang dan
ketua tim menjalankan tugas manajerial dan asuhan keperawatan,
sedangkan perawat pelaksana murni menjalankan asuhan keperawatan.
Batasan ini harus dipahami secara benar oleh masing-masing posisii
sebagai acuan untuk melaksanakan tugas limpah (pendelegasian).
Seperti halnya metode penugasan yang lain, metode penugasan tim
mempunyai kelebihan dan kelemahan. Berikut adalah kelebihan dan
kelemahan metode penugasan tim.
KELEBIHAN DAN KELEMAHAN METODE TIM
Kelebihan Kelemahan
1. Pelayanan keperawatan yang
komprehensif.
2. Proses keperawatan dapat
diterapkan.
3. Metode tim memungkinkan untuk
dapat bekerja lebih efektif dan
efisien.
1. Kegiatan-kegiatan konferen
memerlukan waktu yang cukup
lama sehingga kegiatan konferen
tidak akan dapat dilaksanakan jika
dalam kondisi sibuk.
2. Jika jumlah perawatan sedikit,
menyebabkan pre-conference dan
4. Metode tim memungkinkan untuk
dapat bekerja sama antara tim.
5. Metode tim memungkinkan
tingginya kepuasan pasien
terhadap pelayanan
keperawatan.
6. Metode tim meningkatkan
motivasi dan kepuasan perawat
sebagai pemberi pelayanan
keperawatan.
post-conference mungkin tidak
dapat dilaksanakan. Untuk
kegiatan pre-conference dan post-
conference, setiap tim minimal
terdiri dari dua orang.
Table 5. Kelebihan dan Kekurangan Metode Tim
d. Metode Keperawatan Primer
Metode keperawatan primer adalah suatu metode pemberian asuhan
keparawatan yang mempunyai karakteristik kontinuitas dan komprehensif
dalam pemberian asuhan keperawatan yang dilakukan oleh seorang perawat
yang bertanggung jawab dalam merencanakan, melakukan dan
mengkoordinasi selama pasien dirawat diruang perawatan. Perawat yang
bertanggung jawab selama 24 jam atas pasien-pasiennya tadi disebut
“perawat primer”. Perawat primer biasanya bertanggung jawab antara 4-6
pasien. Berikut akan dijelaskan secara rinci tugas pokok dan fungsi masing-
masing posisi pada struktur organisasi metode keperawatan primer.
1) Tugas Pokok dan Fungsi Perawat Primer
a) Perawat primer menerima dan mengorientasikan pasien yang masuk di
ruang perawatan.
b) Perawat primer mengkaji secara komprehensif dan merumuskan
diagnosis keperawatan.
c) Perawat primer membuat rencana keperawatan (tujuan, kriteria hasil,
rencana tindakan, dan rasional)
d) Perawat primer mengadakan komunikasi dan koordinasi dengan
perawat lain dan tenaga kesehatan yang lain atas rencana yang telah
dibuat.
e) Perawat primer melaksanakan rencana yang telah dibuat
f) Perawat primer melakukan evaluasi terhadap hasil yang telah dicapai
g) Perawat primer membuat rencana pulang pasien (termasuk rencana
penyuluhan)
h) Perawat primer melakukan rujukan kepada pekerja sosial dan kontak
dengan lembaga sosial di masyarakat
i) Perawat primer membuat jadwal perjanjian klinik
j) Perawat primer mengadakan kunjungan rumah
Bagan 9. Organisasi Metode Primer
2) Tugas Pokok dan Fungsi Kepala Ruang
Tugas pokok dan fungsi yang kepala ruang pada metode primer tidak jauh
berbeda dengan yang dilakukan pada metode penugasan tim seperti yang
disampaikan oleh Keliat, dkk (2006) sebagai berikut :
a) Pendekatan Manajemen
Fungsi Perencanaan
- Menyusun visi, misi dan filosafi
- Menusun rencana jangka pendek (harian, bulanan, dan tahunan)
Fungsi Pengorganisasian
- Menyusun struktur organisasi
- Menyusun jadwal dinas
- Membuat daftar alokasi pasien
Fungsi Pengarahan
Kepala RuangMedis Sarpra RS
Perawat Primer
Pasien
PASiang
PAMalam
PAPagi
- Memimpin operan
- Menciptakan iklim motivasi
- Mengatur pendelegasian
- Melakukan supervisi
Fungsi Pengendalian
- Mengevaluasi indikator mutu
- Melakukan audit dokumentasi
- Melakukan survey kepuasan pasien, keluarga pasien, dan perawat
- Melakukan survey masalah kesehatan / keperawatan
b) Compensatory Reward
- Melakukan penilaian kinerja ketua tim dan perawat pelaksana
- Merencanakan dan melaksanakan pengembangan staf keperawatan
c) Hubungan Profesional
- Memimpin rapat keperawatan
- Melakukan rapat tim kesehatan
Selain menjalankan tugas di atas, ada salah satu tugas yang harus
dijalankan oleh kepala ruang adalah menjadi konsultan jika perawat primer
mengalami kendala dalam menjalankan tugasnya.
3) Tugas Pokok dan Fungsi Perawat Asosiat
a) Melaksanakan tindakan keperawatan
b) Menerima delegasi dari perawat primer
KELEBIHAN DAN KELEMAHAN METODE KEPERAWATAN PRIMER
Kelebihan Kelemahan
1. Akuntabilitas
2. Otonomi
3. Advokasi
4. Kontinuitas
5. Komprehensif
6. Komunikasi
7. Koordinasi
Dibutuhkan perawat yang benar-benar
mempunyai pengalaman,
pengetahuan, sikap, dan kemampuan
(skill) yang mumpuni.
8. Kolaborasi
9. Komitmen
10. Kepuasan pasien
11. Kepuasan perawat
12. Kepuasan dokter
13. Kepuasan rumah sakit
14. Penghargaan
15. Kesempatan untuk
mengembangkan diri
Table 6. Kelebihan dan Kelemahan Metode keperawatan Primer
Selain pembuatan struktur organisasi, menurut Keliat, dkk (2006)
kegiatan lain fungsi pengorganisasian dalam ruang perawatan adalah sebagai
berikut :
1. Pembuatan Daftar Dinas
Daftar dinas merupakan bagian penting dalam pengorganisasian yang
berisi jadwal dinas (shift pagi, siang, malam), perawat yang libur, dan
perawat yang cuti. Daftar dinas ini biasanya dibuat untuk kurun waktu
dinas selama satu bulan. Pembuat daftar dinas adalah kepala ruangan
yang dibantu ketua tim / perawat primer.
2. Pembuatan Daftar Alokasi Pasien
Daftar alokasi pasien dibuat guna mengetahui jumlah dan nama pasien,
jenis penyakit, dokter, serta distribusi perawat terhadap pasien yang
terdapat di ruangan. Daftar pasien berisi nama pasien, dokter yang
bertanggung jawab, perawat dalam tim (jika menerapkan metode
penugasan tim), perawat yang dinas, dan perawat yang bertanggung
jawab tiap shift.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kilasan Rencana Strategis
Pembangunan infrastruktur organisasi dalam penerapan EBP harus
dilakukan pendekatan yang tepat atau rencana strategis. Rencana strategis terdiri
dari tujuan, sasaran, dan kegiatan disertai anggaran untuk mendukung sumber
daya manusia dan material yang dibutuhkan. Tujuan dan sasaran harus sesuai
dengan visi dan misi organisasi. Tujuan khusus dan kegiatan organisasi akan
memandu elemen organisasi dalam mencapai tujuan yang diinginkan yang
diartikulasikan dalam rencana yang jelas. Rencana tersebut meliputi jadwal yang
realistis, alokasi sumber daya dan tanggung jawab, serta hasil yang diharapkan.
Setiap rencana, termasuk hasil yang terukur, tim organisasi dapat mengevaluasi
kemajuan dan keberhasilan rencana. Langkah pertama yang harus dilakukan
dalam rencana strategis adalah untuk melakukan penilaian organisasi (Titler &
Everett, 2006).
Contoh rencana strategis, aktifitas, tujuan, dan jadwal tiga tahunan (Newhouse &
Johnson, 2009).
3.2 Transformasi Budaya Organisasi
Setelah rencana strategis dikembangkan dan diimplementasikan, para
pemimpin organisasi harus mulai fokus pada embedding EBP ke dalam sifat
organisasi, mengubah budaya organisasional. Salah satu langkah pertama adalah
mulai merubah budaya organisasi untuk transformasi organisasi yang akan
datang. Budaya organisatoris terdiri dari kelompok-belajar sebagai organisasi yang
mengintegrasikan dan menyesuaikan dengan kekuatan eksternal yang menjadi
atribut kelompok dan kemudian diajarkan sebagai cara yang tepat untuk "melihat,
berpikir, dan merasa dalam kaitannya dengan masalah" (Schein, 2004).
Dalam hal EBP, organisasi perlu untuk bergerak cepat dengan
menggunakan sumber bukti penelitian sebanyak-banyaknya dan pengalaman
organisasi untuk menginformasikan kebijakan dan prosedur perubahan dan arah
pengaturan harapan bahwa keputusan-keputusan keperawatan di seluruh
organisasi akan berbasis bukti. Mengubah budaya dan harapan tidak mudah
dilakukan, karena membutuhkan nilai-nilai lama dan keyakinan yang ditentang.
Perawat di klinik dan administrasi harus berpikir secara berbeda, tradisi tantangan,
bukti permintaan sebagai alasan untuk keputusan, memperbaiki pola perilaku
lama, dan memperoleh keterampilan baru dalam tinjauan bukti, meringkas bukti
dan menciptakan rekomendasi dan rencana implementasi berbasis bukti (Schein,
2004).
Motivasi untuk Menginvestigasi
Dalam tahap persiapan, para pemimpin perlu mempersiapkan cara baru
dalam mematangkan organisasi. Cara baru ini menjadi tercermin dalam bahasa
yang digunakan dalam organisasi. Dalam praktik, perawat didorong untuk
bertanya "apa bukti yang kita miliki" untuk keputusan ini dan menggunakan kata-
kata umum untuk EBP seperti bukti pencarian, kritik, penilaian, diseminasi, dan
penerjemahan. Perawat tersebut kemudian diharapkan untuk mencari, meringkas,
dan merekomendasikan perubahan berdasarkan bukti terbaik yang tersedia.
Misalnya, komite praktek mungkin memerlukan bukti ringkasan dengan evaluasi
bukti keseluruhan menggunakan standar sistem rating. Pemimpin mungkin
memerlukan ringkasan eksekutif yang menggabungkan penelitian, nonresearch,
bukti organisasi, dan preferensi pasien untuk mendukung proses perubahan yang
diusulkan dalam sistem organisasi, seperti pengujian baru pra proses operasi
untuk pasien rawat jalan (Stetler, C. B. 2003).
Semangat menginvestigasi harus dipupuk. Misalnya, pemimpin dapat
memberikan harapan bahwa perawat menantang proses apapun melalui proses
formal maupun informal. Sebuah proses formal mungkin melibatkan standar
review baru untuk semua prosedur keperawatan. Proses peninjauan standar
mungkin mulai menyertakan bukti rating setiap prosedur atau pedoman yang
berbasis bukti. Secara informal, pemimpin memiliki model perilaku, seperti
meminta bukti yang mendukung nilai klinis atau ekonomi ketika produk baru
diminta (Estrada, 2009). Sebuah visi bersama digunakan untuk mencari dan
bertanggung jawab atas tujuan bersama. Perawat manager dapat mempengaruhi
semangat investigasi melalui pembangunan infrastruktur. Perawat harus didorong
untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penting, kolaborasi untuk
menggali bukti, dan untuk membuat rekomendasi praktik berbasis bukti (Estrada,
2009).
Sebuah tanda dari budaya baru adalah keselarasan dari program EBP
dengan misi keperawatan. Sebuah misi untuk "memastikan pemberian perawatan
pasien yang optimal dan layanan perawatan pasien yang terbaik" (Johns Hopkins,
2009) dapat menanamkan EBP dalam mendukung proses pengambilan keputusan
keperawatan. Filosofi keperawatan berangkat dari tujuan, dan sasaran yang
mengintegrasikan cara baru dalam pendekatan masalah keperawatan dan pasien.
Pengakuan Ilmu Pengetahuan
Pengakuan terhadap ilmu pengetahuan telah menjadi kekuatan utama dalam
merevitalisasi penggunaan ilmu dalam praktik keperawatan (ANCC, 2009). Praktik
berbasis bukti termasuk seluruh komponen dari model Magnet: Transforma-
nasional Kepemimpinan (visi sistem yang mengarah ke keperawatan profesional
yang kuat prakteknya), Pemberdayaan Struktural (struktur dan proses untuk
mempromosikan praktek profesional), Praktek Profesional Teladan (aplikasi
pengetahuan dan bukti baru), Pengetahuan baru, inovasi, dan perbaikan
(penerapan bukti yang ada, bukti baru, dan inovasi untuk meningkatkan kualitas
praktik), dan Kualitas Hasil empiris (dampak penerapan EBP bagi perawat dan
pasien) (ANCC, 2009).
Seringkali, tujuan untuk mengembangkan budaya EBP dimasukkan ke
dalam perjalanan bakal pembentukan calon organisasi, berdasarkan itu
teridentifikasi adanya kesenjangan. Pengembangan program EBP idealnya
memerlukan 3 hingga 5 tahun rencana strategis untuk menciptakan infrastruktur
dan kapasitas untuk EBP jika tidak ada proses EBP atau model
di tempat. Sebuah penilaian organisasi perlu dilakukan, dan tujuan dan
tujuan didirikan. Upaya yang dilakukan untuk membangun program EBP juga
kemungkinan untuk memperkuat kapasitas organisasi untuk melakukan penelitian
keperawatan (Stetler, C. B. 2003).
3.3 Penilaian Organisasi, Tujuan, dan Sasaran
Langkah pertama dalam rencana strategis adalah melakukan penilaian
organisasi, atau analisis kesenjangan. Gambar 1 mencakup contoh penilaian diri
untuk memulai proses. Setiap pertanyaan mencakup penilaian infrastruktur yang
dibutuhkan untuk mendukung pengembangan EBP. Misalnya, alat termasuk
pertanyaan tentang apakah organisasi memiliki kemampuan pencarian literatur,
mentor yang tersedia, atau akses ke rekan jurnal terakhir. Untuk melengkapi
penilaian organisasi, mengundang perawat dari komite perencanaan EBP atau
komite pemerintahan untuk meninjau setiap item, menunjukkan jika mereka pikir
itu hadir dalam organisasi. Kelompok harus membahas tanggapan yang
menunjukkan kelemahan (Stetler, C. B. 2003).
Gunakan penilaian organisasi untuk menyesuaikan rencana strategis untuk
tujuan organisasi dan tujuan untuk 3 sampai 5 tahun ke depan dari inisiatif
strategis. Tabel 2 memuat contoh tujuan potensial, tujuan, tanggung jawab, dan
evaluasi untuk rencana 3-tahun. Mempertimbangkan ruang lingkup program EBP
dalam organisasi atau sistem. Akankah harapan untuk fasilitasi proyek EBP
menjadi tanggung jawab komite pemerintahan, unit, perawat praktek, atau yamg
lain? Masing-masing pendekatan telah digunakan dengan sukses, dan struktur
yang tepat tergantung pada tujuan organisasi dan program. Misalnya, organisasi
dengan dewan pemerintahan bersama mungkin ingin memasukkan fasilitasi EBP
ke dewan yang bertanggung jawab atas praktek klinis. Atau, jika organisasi komite
penelitian aktif, perawat manager mungkin ingin mulai menerapkan EBP dengan
menempatkan tanggung jawab untuk fasilitasi perawat yang lebih mungkin untuk
memiliki beberapa pengalaman dengan membaca dan mengevaluasi artikel
penelitian. Jika kelompok perawat spesialis klinis yang kuat ada, organisasi
mungkin ingin memasukkan fasilitasi EBP menjadi gol kelompok, memanfaatkan
keahlian klinis dan pelatihan tambahan pada metode penelitian perawat ini
diterima sebagai bagian dari program pendidikan mereka. Tidak ada benar atau
tempat yang salah untuk memulai, yang penting adalah untuk menetapkan
akuntabilitas untuk kelompok yang dapat membawa misi ke depan (Greenhalgh,
T., Robert, G., Bate, P., Macfarlane, A., & Kyriakidou, O. 2005).
Tabel 2: Contoh tujuan, sasaran, responsibilitas, dan evaluasi rencana 3 tahunan
Peran utama bagi para perawat manager meliputi perencanaan strategis,
menganalisis keperawatan masalah, memberikan pemikiran visioner, dan
menciptakan lingkungan yang mendukung tujuan (AONE, 2005). Berdasarkan
penilaian organisasi, suatu organisasi dapat mengidentifikasi hambatan yang
dihadapi perawat dalam pelaksanaan EBP, dan menciptakan strategi untuk
mengatasi atau mengatasi hambatan. Mereka kemudian dapat mengembangkan
rencana untuk menerapkan sumber daya berdasarkan kesenjangan yang
diidentifikasi dalam penilaian (Greenhalgh, Robert, Bate, Macfarlane, & Kyriakidou,
2005).
Gambar 1: Contoh Penialian penerapan EBP dalam organisasi (ACCN, 2009).
3.4 Sumber Daya
Tergantung pada struktur dan tanggung jawab, proyek program perlu
sumber daya. Sumber daya ini mencakup anggaran untuk waktu keperawatan
terkait dengan mengembangkan proses EBP, pendidikan bagi staf perawat dan
fasilitator atau mentor, dan melakukan proyek EBP. Keperawatan waktu yang
terkait dengan kegiatan EBP adalah biasanya dianggap waktu yang tidak langsung
(tidak langsung untuk perawatan pasien), sangat berhati-hati perencanaan pada
tahap awal sangat penting. Program yang tidak terencana untuk sulit untuk
berhasil. Momentum positif dan komitmen untuk menanamkan EBP oleh perawat
akan dihentikan dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi karena tuntutan
perawatan pasien (Poe & White, 2010).
Mentor
Pemimpin program juga harus mempertimbangkan perencanaan mentor
untuk membantu perawat dalam inisiatif pelaksanaan EBP. Para ahli di EBP dapat
dilatih secara lokal melalui lokakarya, seminar, dan bimbingan (Dearholt, Putih,
Newhouse, Pugh, & Poe, 2008, Newhouse, 2007) atau terhubung melalui nerships
bagian-klinis dan akademis (Newhouse, 2007a, Newhouse & Melnyk, 2009). Tidak
ada pendekatan tunggal untuk mengembangkan ahli lokal yang ada. Yang penting
adalah memberikan pelatihan dan bimbingan yang sesuai untuk pengembangan
para ahli lokal dalam setiap organisasi. Beberapa belajar terbaik dalam program
pendidikan terstruktur, sehingga 1 - atau 2 hari saja dengan tindak lanjut
bimbingan mungkin menjadi pilihan. Lainnya mungkin ingin dibimbing karena
mereka memfasilitasi proyek EBP atau perlu ditargetkan mentor di salah satu fase
dari EBP, seperti pencarian bukti atau rating dan level bukti.
Mencari ahli eksternal untuk menambah atau melengkapi sumber daya
internal dapat diatur melalui konsultasi, paruh waktu atau penuh waktu kerja
berdasarkan pada kebutuhan organisasi. Misalnya, jika organisasi tidak memiliki
perawat dengan gelar doktor atau pengalaman riset, mengembangkan kemitraan
dengan sekolah lokal keperawatan untuk memberikan anggota fakultas 1 atau 2
hari per minggu yang bisa menjadi staf mentor adalah pendekatan yang saling
menguntungkan untuk mulai mengembangkan kapasitas dan kompetensi
penelitian yang diperlukan (Newhouse, R. P. 2007a).
Material
Program ini juga membutuhkan sumber daya material, termasuk ruang untuk
melakukan proyek EBP, alat, komputer, akses internet, dan sumber daya
perpustakaan. Setelah menilai sumber daya di tempat, menggabungkan
pembelian bahan yang dibutuhkan dalam rencana strategis sehingga anggaran
dapat dialokasikan untuk mengamankan peralatan yang dibutuhkan. Jika tidak,
banyak dari pembelian akan dianggap tidak penting, dengan harapan untuk
rencana bisnis yang menyertainya, anggaran, dan jadwal untuk pembelian
(Pochciol, J. M., & Warren, J. I. 2009).
Program membutuhkan sumber daya perpustakaan untuk bantuan pencarian
bukti dan pengambilan bukti. Sumber daya ini mencakup akses ke peer-review
jurnal, database untuk mencari bukti-bukti, dan ahli perpustakaan yang dapat
bertindak sebagai sumber daya untuk staf. Seringkali, staf memiliki sumber daya
yang tersedia perpustakaan yang sangat baik, tetapi baik menyadari atau tidak
memiliki keterampilan dan pengetahuan untuk mengambil keuntungan dari sumber
daya. di samping itu, ahli perpustakaan mungkin tidak menyadari tingkat
keterlibatan perawat di EBP. Tempa hubungan antara ahli keperawatan dan
perpustakaan awal proses pembangunan infrastruktur EBP memiliki return yang
tinggi dalam hal mempercepat proses. dalam contoh baru-baru ini, perawatan dan
layanan perpustakaan berkolaborasi untuk mengembangkan dan menerapkan
sumber daya berbasis web untuk menyediakan laporan penelitian, literatur, dan
sumber-sumber bukti untuk perawat dalam pengaturan klinis (Pochciol & Warren,
2009). Seiring kemajuan keterlibatan EBP, klinik informasi tion sistem yang
menggunakan alat-alat berbasis bukti pendukung keputusan terus
mengembangkan (Bakken, et al., 2008). Sebagai EBP terus menjadi bagian dari
standar perawatan, permintaan untuk point-of-perawatan bukti akan mendorong
organisasi keputusan-keputusan pembelian catatan medis terpadu dan sistem
yang dihuni dengan bukti-bukti terbaru.
3.5 Tolok Ukur Keberhasilan
Mengukur proses dan hasil bukan konsep baru bagi perawat, yang
menjadi pusat upaya peningkatan kualitas. Perhatian untuk mendefinisikan ukuran
Keberhasilan selama rencana strategis diperlukan evaluasi formatif dan sumati.
Evaluasi formatif memberikan kesempatan untuk menyesuaikan rencana
berdasarkan pelajaran sebagai rencana pengimplementasian, perbaikan dan
pengadopsian perubahan berdasarkan sifat dan kebutuhan organisasi dan situasi.
Evaluasi sumatif harus dilakukan pada titik akhir sehingga semua penilaian dapat
menginformasikan kegiatan tahun depan (Newhouse, R. P., & Melnyk, M. 2009).
Metrik tergantung pada tahap pengembangan program. Metrik mungkin
termasuk hasil dikotomi (EBP yang dipilih apakah suatu Model? ya atau tidak) atau
hasil terus menerus (tingkat kesiapan pelaksanaan EBP berdasarkan survei skor
total) (Newhouse, R. P., & Melnyk, M. 2009).
3.6 Sistem Kolaborasi dan Komunikasi
Jika infrastruktur sebagai dasar organisasi, maka kolaborasi dan komunikasi
adalah hal yang memegang keutuhan struktur organisasi. Membangun proses
yang jelas untuk keputusan dan melibatkan semua orang yang telibat proses
sangat penting untuk kesuksesan program. Tentukan tanggung jawab untuk
kelompok atau orang-orang dan memetakan bagaimana komunikasi dan umpan
balik akan terjadi. Di sebagian besar keadaan, prakteknya rekomendasi memiliki
efek dalam proses keperawatan (seperti perubahan dalam penilaian gugur dan
protokol pencegahan atau pelaksanaan teknologi baru), sehingga disiplin lain dan
stakeholder harus disertakan. Awal komunikasi dan kolaborasi dapat membantu
untuk membuat rekomendasi praktek yang dapat diterima oleh semua dan mudah
diadaptasi. Proses EBP harus dipetakan melalui keperawatan dan forum
interdisipliner untuk mencakup semua pemangku kepentingan dalam keperawatan
dan antar disiplin (Bakken, Currie, Lee, Roberts, Collins, & Cimino, 2008).
Perawat harus terlibat dalam rencana strategis di semua tingkatan.
Menggunakan keperawatan komite struktur (misalnya, praktek, pendidikan,
penelitian, dan peningkatan kualitas) adalah cara terbaik untuk menggalang
dukungan dan meminta masukan dari berbagai pemangku kepentingan. Ini juga
mungkin melibatkan praktek, program-spesifik, dan komite administrasi
keperawatan dan disiplin lain yang mungkin akan terlibat dalam menyetujui
rekomendasi praktik dari proses EBP. Meskipun banyak pertanyaan atau masalah
berada di bawah domain keperawatan, pertanyaan lainnya yang luas dan
memerlukan pendekatan terpadu dengan disiplin masing-masing. Bekerja lebih
transdisciplinary di EBP perlu menjadi bagian dari masa depan yang lebih disukai
(Satterfield et al., 2009).
Di samping komunikasi antara disiplin yang terlibat dalam proses EBP,
komunikasi juga harus aktif dengan organisasi perawat dan kesehatan lainnya.
Gunakan berbagai bentuk komunikasi untuk memperbarui dan menginformasikan
organisasi pada proses dan kemajuan. Contoh media komunikasi
meliputi (Bakken, Currie, Lee, Roberts, Collins, & Cimino, 2008):
internet dan halaman Web yang menyediakan informasi baru, ujian-prinsip
keuangan, dan sumber daya
Media cetak yang menyoroti proyek-proyek saat ini dan hasilnya
E-mail update untuk menggambarkan bukti baru dan dampak pada proses
keperawatan
3.7 Infratstruktur Organisasi
Membuat rencana untuk membangun infrastruktur organisasi memerlukan
perencanaan, penugasan tanggung jawab, batas waktu yang realistis, dan
evaluasi. Sebagai rencana yang dikembangkan, sejumlah kegiatan harus
dimasukkan untuk memastikan bahwa program ini memiliki sumber daya dengan
tepat. Kegiatan ini meliputi pendidikan untuk Staf keperawatan, digabungkan ke
dalam standar kinerja, persyaratan untuk kebijakan dan prosedur, dan integrasi ke
dalam struktur komite (Foxcroft, D. R, & Cole, N. 2003).
3.8 Pendidikan
Pelatihan dasar reguler untuk perawat dan pelatihan lanjutan bagi para
pemimpin EBP akan diberikan. Tujuan, waktu, konten, dan desain instruksional
masing-masing sesi harus sesuai dengan kebutuhan kelompok sasaran.
Pendidikan EBP dapat dicapai di kelas, Web, dan format online. Pelatihan dasar
harus mencakup pengenalan model organisasi EBP, alat, dan sumber daya;
harapan prestasi kerja, dan informasi tentang bagaimana untuk mengakses
sumber daya dan menjadi lebih terlibat. Melengkapi dasar pelatihan harus menjadi
harapan setiap perawat dan dapat dicapai dalam satu tahun melalui kompetensi
tahunan. Pada saat yang sama bahwa pelatihan untuk kompetensi tahunan
diimplementasikan, pelatihan EBP dapat dimasukkan ke dalam orientasi sehingga
staf baru dapat menerima pelatihan. Setelah pelatihan dasar selesai oleh semua
perawat selama setahun, pelatihan EBP dasar maka dapat menjadi standar dalam
orientasi perawat baru (Satterfield, J. M., Spring, B., Brownson, R. C., Mullen, E.
J., Newhouse, R. P., Walker, B. B. et al. 2009).
Pelatihan lanjutan bagi para pemimpin EBP juga harus mencakup
pengetahuan, keterampilan, dan sikap terkait dengan misi, visi, dan rencana
strategis untuk EBP; metode EBP (misalnya, pencarian, penilaian kritis,
penggunaan rating dan penilaian sistem, dan mengembangkan dan mengevaluasi
pelaksanaan rekomendasi-rekomendasi), mentoring staf dan pemimpin, dan
memfasilitasi kelompok (Newhouse, R. P. 2007b).
3.9 Standart Kinerja
Menetapkan standar kinerja yang jelas melalui uraian tugas, kinerja
penilaian dan peningkatan karir penting untuk menetapkan standar dan mulai
menanamkan EBP melalui organisasi. Deskripsi pekerjaan biasanya
menggabungkan bahasa terkait dengan pemberian perawatan berkualitas
keperawatan tanpa eksplisit tentang apa yang sebenarnya dibutuhkan dari setiap
perawat yang berhubungan dengan EBP. Semakin jelas tentang harapan untuk
perjanjian atau kepemimpinan dalam EBP dan kemudian mengikat harapan
mereka untuk penilaian kinerja dan pengembangan profesional. Rencana
mengkomunikasikan pentingnya ilmu pengetahuan berbasis praktik (Burns, H. K.,
Dudjak, L., & Greenhouse, P. K. 2009).
Organisasi-organisasi yang memiliki karir atau pencapaian klinis untuk
membedakan pemula dan perawat ahli sehingga dapat menggunakan deskripsi
pekerjaan untuk membedakan tingkat praktek EBP. Dapat juga menggunakan satu
deskripsi pekerjaan umum untuk perawat dan menggunakan pencapain klinis
untuk membedakan tingkat praktik. Selain itu, organisasi dapat mengembangkan
kriteria kinerja menggunakan template/contoh organisasi (Porter-O’Grady, T., &
Malloch, K. 2008).
Misalnya, perawat baru bisa diharapkan untuk menentukan masalah klinis
yang penting, menyatakan alasan mereka untuk proses keperawatan atau
keputusan, dan menyelesaikan kompetensi dasar EBP. Seorang perawat yang
berpengalaman mungkin diharapkan untuk berpartisipasi dalam sebuah proyek
EBP, menghasilkan pertanyaan, mencari, mengambil, meninjau, dan menilai bukti
dengan tim dan membuat rekomendasi praktik. Seorang perawat praktek yang
berpengalaman mungkin diharapkan menjadi mentor EBP atau memfasilitasi EBP
proyek. Seorang manajer perawat mungkin diharapkan untuk menumbuhkan
budaya unit yang mendukung sumber daya EBP dan mengalokasikan untuk EBP.
Selama kinerja tahunan evaluasi, perawat dapat menyelesaikan self-assessment
untuk menggambarkan bagaimana mereka mendapatkan standar kinerja dan
membangun tujuan dalam pengembangan profesi mereka Rencananya, jika ada
indikasi, untuk mengembangkan ke langkah berikutnya di pencapaian karir
(Porter-O’Grady, T., & Malloch, K. 2008).
3.10 Kebijakan,Prosedur, dan Pedoman Organisasi
Setiap organisasi memiliki struktur dan proses untuk pengembangan dan
peninjauan kebijakan dan prosedur. Sebagai infrastruktur organisasi yang
dikembangkan, standar untuk penggunaan dan dokumentasi bukti harus
dimasukkan. Sebagai kebijakan baru, prosedur, pedoman, dan standar organisasi
lainnya perlu dikembangkan, sumber bukti dan penilaian harus dimasukkan.
Sebagaimana ditetapkan kebijakan, prosedur, dan pedoman yang ditinjau secara
berkala, bukti sumber dan penilaian harus ditinjau dan ditambahkan (Burns, H. K.,
Dudjak, L., & Greenhouse, P. K. 2009).
Dokumen-dokumen penting organisasi memiliki daftar referensi yang
mendukung. Hal ini belum tentu diperoleh melalui review sistematis dan ketat
analisis bukti yang menjadi ciri khas proyek EBP. Pada umumnya, hal ini tidak
layak untuk melakukan proyek EBP untuk sepenuhnya mendukung langkah dalam
standar yang ada. Namun, dasar bukti dapat dibangun dari waktu ke waktu.
Proses EBP dapat digunakan secara selektif selama proses kajian rutin untuk
daerah tertentu dengan pertanyaan-pertanyaan klinis yang jelas. Setiap kali
kebijakan, prosedur, pedoman, dan standar lainnya ditelaah, pertanyaan klinis
yang bersangkutan dapat diminta dan dijawab. Dalam hal ini, dasar bukti dokumen
tertentu diperkuat dari waktu ke waktu (Foxcroft & Cole, 2003).
3.11 Proses Organisatoris EBP
Organisasi harus menetapkan proses organisasi dengan tanggung jawab
untuk EBP. Proses perlu disesuaikan dengan norma-norma organisasi dan
hirarki dan link ke komite lain atau orang yang terlibat dalam dukungan atau
persetujuan dari EBP rekomendasi. Hal ini dapat dicapai dengan menempatkan
tugas untuk sebuah komite khusus atau ke Komite Pengarah yang terdiri dari
perwakilan EBP yang dibebankan dengan pelaksanaan program EBP.
Organisasi perlu menetapkan tanggung jawab yang jelas pada tujuan, sasaran
dan waktu. Langkah selanjutnya adalah untuk mengintegrasikan ke dalam
semua EBP komite struktur dan fungsi (Tabel 3)
Infrastruktur organisasi harus dinilai ulang secara berkala, pada
setidaknya setiap tahun, dengan harapan bahwa itu dinamis untuk memenuhi
kebutuhan organisasi dan perawat. Misalnya, rencana di Tahun ke 2 dapat
menetapkan tanggung jawab untuk EBP kepada Komite Penelitian, di mana
perawat lebih terampil dalam membaca penelitian dan mungkin kemudian
bermigrasi jawab EBP untuk Praktek Komite setelah keterampilan telah matang
(Foxcroft & Cole, 2003).
BAB IV
KESIMPULAN
Membangun kapasitas untuk EBP memerlukan perhatian untuk pengembangan
pendukung infrastruktur. Setelah penilaian infrastruktur organisasi dalam tempat,
rencana strategis dikembangkan berdasarkan kesenjangan, atau kebutuhan yang
teridentifikasi. Tujuan sejalan dengan misi organisasi dan keperawatan dan visi,
strategi target untuk membangun infrastruktur selama 3 - 5 tahun periode waktu. Pada
tingkat dasar, strategi ini mencakup baik manusia dan material sumber daya, yang
meliputi mentor EBP mengamankan, keterampilan membangun keperawatan,
pengetahuan, dan kemampuan dalam EBP, alat untuk membantu pengadaan tenaga
perawat melakukan proses EBP, dan pengembangan materi sumber daya seperti
hubungan perpustakaan yang memberikan dukungan untuk pencarian bukti dan
pengambilan dan sistem dokumentasi untuk proses EBP. Sebagai proses EBP jatuh
tempo, website menyoroti EBP proyek, presentasi, dan publikasi dan hasil evaluasi
rutin proyek akan diberlakukan. Dengan infrastruktur yang memadai, staf perawat
akandengan baik didukung dengan landasan untuk terlibat dalam dan pelaksanaan
dari EBP.
DAFTAR PUSTAKA
1. American Nurses Credentialing Center (ANCC). (2009). Magnet recognition
program overview. (online) http://www.nursecredentialing.org/Magnet /Program
Overview.aspx
2. American Nurses Credentialing Center (ANCC). (2009). Announcing a new model
for ANCC’s magnet recognition program. (on line) http://www.nursec
redentialing.org/Magnet/NewMagnetModel.aspx
3. American Organization of Nurse Executives (AONE). (2005). AONE nurse
executive competencies. Nurse Leader, February. (online) http://www.aone.
org/aone/pdf/February%20Nurse%20Leader--final%20draft--for%20web.pdf
4. Asmuji. 2012. Manajemen Keperawatan Konsep dan Aplikasi. Jogjakarta: Ar-Ruzz.
5. Azwar, Bahar. 2009. Menjadi Pasien Cerdas (Terhindar dari Malpraktik). Jakarta:
Kawan Pustaka.
6. Bakken, S., Currie, L. M., Lee, N. J., Roberts, W. D., Collins, S. A., & Cimino, J. J.
(2008). Integrating evidence into clinical information systems for nursing decision
support. International Journal of Medical Informatics, 77(6), pp. 413–420.
7. Burns, H. K., Dudjak, L., & Greenhouse, P. K. (2009). Building an evidence-based
practice infrastructure and culture: A model for rural and community hospitals.
Journal of Nursing Administration, 39(7-8), 321-5.
8. Dearholt, S. L., White, K. M., Newhouse, R., Pugh, L. C., & Poe, S. (2008).
Educational strategies to develop evidence-based practice mentors. Journal for
Nurses in Staff Development, 24(2), 53–9; quiz 60–1.
9. Estrada, N. (2009). Exploring perceptions of a learning organization by RNs and
relationship to EBP beliefs and implementation in the acute care setting.
Worldviews on Evidence-Based Nursing, 6(4):200-9.
10. Foxcroft, D. R, & Cole, N. (2003). Organisational infrastructures to promote
evidence based nursing practice. Cochrane Database of Systematic Reviews
(Online) (4), CD002212.
11. Greenhalgh, T., Robert, G., Bate, P., Macfarlane, A., & Kyriakidou, O. (2005).
Diffusion of innovations in health service organizations: A systematic literature
review. Massachusetts: Blackwell Publishing Ltd.
12. Illyas, Y. 2002. Kinerja: Teori, Penilaian dan Penelitian. Edisi 2. Jakarta: Pusat
Kajian Ekonomi FKM UI.
13. The Johns Hopkins University, The Johns Hopkins Hospital, and Johns Hopkins
Health System. (2009). Nursing and patient care services, The Johns Hopkins
Hospital: Mission. (online) http://www.hopkinsmedicine.org/administrative/
nursing.html
14. Newhouse, R. P. (2007a). Collaborative synergy: Practice and academic
partnerships in evidence-based practice. The Journal of Nursing Administration,
37(3), pp. 105–108.
15. Newhouse, R. P. (2007b). Creating infrastructure supportive of evidence-based
nursing practice: Leadership strategies. Worldviews on Evidence-Based Nursing,
4(1), pp. 21–29.
16. Newhouse, R. P., Dearholt, S., Poe, S., Pugh, L. C., & White, K. M. (2007).
Organizational change strategies for evidence-based practice. The Journal of
Nursing Administration, 37(12), pp. 552–557.
17. Newhouse, R. P., & Johnson, K. (2009). A case study in evaluating infrastructure
for EBP and selecting a model. The Journal of Nursing Administration, 39(10), pp.
409–411.
18. Newhouse, R. P., & Melnyk, M. (2009). Nursing’s role in engineering a learning
healthcare system. The Journal of Nursing Administration, 39(6), pp. 260–262.
19. Nursalam. 2007. Manajemen Keperawatan: Aplikasi dalam Praktik Keperawatan
Profesional. Edisi ke-2. Jakarta: Salemba Medika.
20. Pochciol, J. M., & Warren, J. I. (2009). An information technology infrastructure to
enable evidence-based nursing practice. Nursing Administration Quarterly, 33(4),
pp. 317–324.
21. Porter-O’Grady, T., & Malloch, K. (2008). Beyond myth and magic: The future of
evidencebased leadership. Nursing Administration Quarterly, 32(3), pp. 176–187.
22. Roger, NN. 2006. Organizational Behavior and Organizational Change,
Organizational Culture. Lehigh University.
23. Satterfield, J. M., Spring, B., Brownson, R. C., Mullen, E. J., Newhouse, R. P.,
Walker, B. B. et al. (2009). Toward a transdisciplinary model of evidence-based
practice. The Milbank Quarterly, 87(2), pp. 368–390.
24. Schein, E. H. (2004). Organizational culture and leadership, (3rd ed). San
Francisco: Jossey-Bass.
25. Soeroso, S. 2002. Mengarusutamakan Pembangunan Berwawasan
Kependudukan di Indonesia. Jakarta: EGC.
26. Stetler, C. B. (2003). Role of the organization in translating research into evidence-
based practice.Outcomes Management, 7(3), pp. 97–103; quiz pp. 104–5.
27. Swanburg, Russel C. 2000. Pengantar Kepemimpinan dan Manajemen
Keperawatan untuk Perawat Klinis. Jakarta: EGC.
28. Titler, M. G., & Everett, L. Q. (2006). Sustain an infrastructure to support EBP.
Nursing Management, 37(9), pp. 14, 16.