fix proposal revisi pasca seminar janatia.doc

100
PENGARUH PEMBERIAN ASI DAN DISTRAKSI MAINAN BERSUARA TERHADAP SKALA NYERI BAYI YANG MENDAPAT IMUNISASI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SIMPANG TIMBANGAN INDERALAYA PROPOSAL SKRIPSI Oleh : JANATIA ANGGRAINI NIM. 04111003030 PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

Upload: janatia-anggraini

Post on 08-Nov-2015

71 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

PENGARUH PEMBERIAN ASI DAN DISTRAKSI MAINAN BERSUARA TERHADAP SKALA NYERI BAYI YANG MENDAPAT IMUNISASI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SIMPANG TIMBANGAN INDERALAYA

PROPOSAL SKRIPSI

Oleh :

JANATIA ANGGRAININIM. 04111003030PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2015

PENGARUH PEMBERIAN ASI DAN DISTRAKSI MAINAN BERSUARA TERHADAP SKALA NYERI BAYI YANG MENDAPAT IMUNISASI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SIMPANG TIMBANGAN INDERALAYA

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan sebagai persyaratan untuk memperoleh

Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Oleh :

JANATIA ANGGRAININIM. 04111003030PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA2015BAB I PENDAHULUANA. Latar Belakang

Anak merupakan generasi penerus yang menentukan masa depan suatu bangsa di masa yang akan datang (Nurhayati, 2013). Tujuan tersebut harus didukung dengan pembangunan di segala aspek kehidupan, diantaranya pendidikan, ekonomi, sosial dan kesehatan. Pembangunan kesehatan merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional yang diupayakan oleh pemerintah dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Salah satu sasaran utama pembangunan kesehatan adalah anak-anak, terutama pada usia bayi (Effendi &Makhfudli, 2009). Menurut wong et,al (2008) periode bayi merupakan rentang usia anak 0-12 bulan. Mekanisme penting yang harus didapatkan oleh bayi pada awal kehidupannya adalah imunitas terhadap berbagai penyakit. Sistem imunitas pada masa bayi sama dengan orang dewasa, tetapi belum berkembang dengan sempurna pada saat lahir (Meadow & Newell, 2005). Hal inilah yang menyebabkan bayi rentan terhadap infeksi berbagai penyakit. Beberapa penyakit yang rentan dialami bayi diantaranya penyakit diare, tetanus, gangguan setelah kelahiran, dan radang saluran napas bagian bawah (Hapsari, 2004; dikutip Hidayat, 2008). Kesakitan dan kematian pada bayi ini dapat menjadi indikator dalam menentukan derajat kesehatan. Hal ini menempatkan masalah kesehatan anak menjadi salah satu masalah utama dalam bidang pelayanan kesehatan di negara Indonesia (Kompas, 2006 dalam Hidayat, 2008). Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan anak di Indonesia, salah satunya melalui program imunisasi.Imunisasi adalah upaya untuk memberikan kekebalan tubuh pada bayi dan anak dengan cara memasukkan vaksin ke dalam tubuh yang bertujuan untuk pencegahan penyakit ( Hidayat, 2008:54). Imunisasi merupakan program kesehatan dari pemerintah sebagai upaya pencegahan penyakit pada bayi yang terdiri dari dari tujuh antigen yang termasuk dalam vaksin pengembangan imunisasi (PPI), diantaranya tuberkulosis, hepatitis B, difteri, tetanus, pertusis, poliomyelitis, dan campak (Cahyono, et al. 2010). Pada awal kehidupan, bayi tidak mempunyai kekebalan sendiri, sehingga pencegahan penyakit melalui imunisasi tersebut merupakan upaya terpenting dalam pemeliharaan kesehatan anak (Supartini, 2004). Menurut Cahyono (2010) vaksin imunisasi dapat diberikan melalui tetes ke mulut dan melalui injeksi.Pemberian imunisasi dengan prosedur injeksi dapat menimbulkan nyeri pada bayi. Nyeri akibat injeksi merupakan nyeri yang dirasakan pada anak sebagai pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial (Hockenberry & Wilson, 2007 ; Smeltzer & Bare, 2002 dikutip Astuti, 2011). Wong, et al (2009 dikutip Astuti, 2011) menjelaskan bahwa nyeri yang tidak ditangani dapat berakibat buruk, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Akibat jangka pendek yang dapt disebabkan oleh nyeri antara lain perdarahan perventrikuler, peningkatan pelepasan kimia dan hormonal. Adapun akibat jangka panjang yaitu peningkatan keluhan somatik tanpa sebab yang jelas, peningkatan respon fisiologis dan tingkah laku. Menurut Cahyono (2010) ibu yang mengantarkan bayinya untuk diimunisasi menjadi repot dan terlihat sangat cemas karena bayinya menjadi rewel saat dilakukan imunisasi dengan prosedur injeksi. Data riset kesehatan dasar tahun 2013 (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2013) menyebutkan bahwa cakupan imunisasi lengkap meningkat dari 41,6 persen (2007) menjadi 59,2 persen (2013), akan tetapi masih terdapat 32,1 persen yang tidak diimunisasi lengkap dan 8,7 persen tidak pernah diimunisasi. Beberapa alasan anak tidak diimunisasi lengkap dan tidak pernah diimunisasi antara lain karena takut terjadinya kejadian ikutan pasca-imunisasi (demam, nyeri, menangis), tidak diizinkan keluarga, tempat imunisasi jauh, kesibukan orang tua, anaknya sering sakit, dan tidak tahu tempat imunisasi. Perlu cara untuk mengatasi, mengurangi dan meminimalkan respon nyeri saat diimunisasi supaya efek tersebut tidak terjadi (Astuti, 2011). Menurut Movahede (2006) dampak diatas dapat ditangani dengan penatalaksanaan nyeri yang tepat .Penatalaksanaan nyeri secara umum dapat diberikan secara farmakologis maupun non farmakologis. Secara farmakologi, penatalaksanaan nyeri dapat menggunakan opioid (narkotik), nonopioid/NSAID, serta ko-analgesik. Penatalaksanaan non-farmakologis terdiri dari tindakan distraksi, teknik relaksasi, stimulasi kulit/sentuhan terapeutik, imajinasi terbimbing, dan hipnotik (Potts & Mandleco, 2007; dikutip Astuti, 2011). Beberapa penelitian sudah dilakukan untuk membantu mengurangi nyeri pada bayi saat diimunisasi, beberapa diantaranya yaitu pemberian ASI dan distraksi.Asupan gula maupun larutan manis dapat mengurangi rasa sakit, seperti rasa manis yang terdapat pada ASI. Hal ini dikarenakan oleh pelepasan Betha endorphin (horman opiat endrogen, yang diproduksi sendiri oleh tubuh, sifatnya mirip dengan morfin) dan mekanisme preabsorbsi dari rasa manis. Betha endorphin dihasilkan oleh fetus pada saat lahir oleh glandula pituitary hypothalamus, yang berikatan dengan reseptor di otak, serta mengatur regulasi perasaaan nyeri (Uryani, 2013; dikutip Syarianti, 2013). Ketika ibu memberikan ASI pada anaknya, maka akan menumbuhkan ikatan psikologis antara ibu dan bayi. Proses ini disebut perlekatan (bounding). Bayi pun menjadi jarang menangis dan rewel (Riksoni, 2010). Beberapa penelitian sudah dilakukan untuk membuktikan teori ini. Penelitian Razek dan el Dein (2009 dikutip Indra Tri Astuti, 2011) menyebutkan bahwa tindakan menyusui saat dilakukan imunisasi pada bayi dapat mengurangi nyeri, dibandingkan yang tidak menyusui. Menurut Astuti (2011) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa terdapat perbedaan respon nyeri yang bermakna antara kelompok yang diberi asi, sukrosa dan kontrol saat dilakukan imunisasi, dimana respon nyeri pada kelompok yang diberikan asi lebih rendah dibandingkan dua kelompok yang lain.Distraksi merupakan salah satu pendekatan atraumatic care untuk mengalihkan perhatian dan fokus anak pada nyeri ke stimulus yang lain. Menurut Potter dan Perry (2006) tehnik distraksi, konseling dan placebo merupakan beberapa upaya untuk melepaskan endofrin (opiate endogen) yang menghambat pelepasan transmisi nyeri sehingga tidak sampai ke otak. Hal ini menyebabkan persepsi dan sensasi nyeri tidak dirasakan bayi saat dilakukan tindakan penyuntikan imunisasi. Hasil penelitian Gedam DS at al (2013) menunjukkan bahwa teknik distraksi audio visual dengan mainan yang menghasilkan suara dan cahaya lebih efektif dibandingkan dengan tehnik distraksi visual dengan film kartun dalam menurunkan nyeri pada bayi saat diimunisasi.Hasil studi pendahuluan di Dinas Kesehatan Kabupaten Ogan Ilir didapatkan bahwa jumlah bayi lahir sepanjang 2014 di Kabupaten Ogan Ilir berkisar 9432 bayi, sedangkan di wilayah kerja Puskesmas Simpang Timbangan berkisar 402 bayi. Puskesmas Simpang Timbangan adalah salah satu puskesmas yang berada di Kabupaten Ogan Ilir, dan terdiri dari 4 wilayah kerja, yaitu Timbangan, Tanjung Baru, Tanjung Pering, dan Permata Baru. Data bayi yang mengikuti imunisasi sepanjang tahun 2014 di wilayah kerja puskesmas tersebut berkisar 257 bayi. Data tersebut menunjukkan bahwa masih adanya ibu yang tidak bersedia mengimunisasi bayinya. Peneliti melakukan wawancara pada 8 ibu yang memiliki bayi di wilayah kerja Puskesmas Simpang Timbangan, 2 diantaranya mengatakan bayinya diimunisasi tidak lengkap karena terkadang bayinya sakit dan sering menangis, terutama saat disuntik. Pernyataan ini didukung dengan hasil wawancara dengan salah satu kader posyandu di wilayah Bumi Indah Permai, Timbangan yang mengatakan bahwa banyak bayi baru lahir yang tidak dibawa ibunya untuk diimunisasi karena takut anaknya menangis terus-menerus dan sakit. Peneliti juga melakukan wawancara pada ibu yang mengantar anaknya diimunisasi dan petugas pelayanan imunisasi. Berdasarkan hasil wawancara tersebut diketahui bahwa di Puskesmas terebut belum diterapkan cara meminimalkan nyeri pada bayi saat diimunisasi. Penatalaksanaan yang dilakukan hanya untuk mengatasi Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (KIPI) akibat reaksi vaksin, seperti demam dan bengkak. Peneliti juga melakukan penilaian skala nyeri terhadap 11 bayi yang dilakukan imunisasi dengan prosedur injeksi dengan menggunakan skala FLACC. Hasilnya menunjukkan terdapat 2 dari 11 bayi yang diteliti mengalami nyeri berat dengan ekspresi muka berlipat, kaki menendang-nendang, menggeliat, menangis terus menerus dan butuh waktu yang lama untuk menenangkannya, 6 diantaranya mengalami nyeri sedang yang ditandai kaki terus menyentak, tegang dan menangis, tetapi dapat segera berhenti menangis. Tiga bayi diantaranya mengalami nyeri ringan, ditandai dengan meringis sebentar dan tenang setelah diayunkan oleh ibunya.Bedasarkan fenomena tersebut, peneliti tertarik untuk membantu mencarikan solusi dalam penatalaksanaan penanganan nyeri bayi saat imunisasi, dan mengetahui perbedaan skala nyeri pada bayi yang diberikan ASI dan distraksi mainan bersuara.B. Rumusan Masalah

Tindakan imunisasi melalui injeksi dapat menyebabkan nyeri pada bayi yang dapat terlihat dari respon menangis, menggeliat dan perilaku nyeri lainnya. Nyeri dapat menyebabkan dampak jangka pendek atau jangka panjang pada bayi, dan juga dapat menimbulkan kecemasan pada ibu bayi. Keraguan ibu untuk mengimunisasi bayinya bisa membuat bayi tidak mendapat imunisasi dasar lengkap, sehingga bayi tidak mendapat kekebalan tubuh secara optimal dan akhirnya rentan terkena penyakit. Nyeri pada bayi yang tidak ditangani juga bisa berdampak trauma pada masa yang akan datang. Akan tetapi, manajemen nyeri pada bayi tidak terlalu diperhatikan di Wilayah Kerja Puskesmas Simpang Timbangan.Berdasarkan uraian tentang masalah nyeri bayi tersebut, maka rumusan masalah penelitian ini adalah apakah terdapat perbedaan skala nyeri setelah pemberian ASI dan distraksi mainan bersuara pada bayi bayi yang mendapat imunisasi di wilayah kerja Puskesmas Simpang Timbangan?.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umun

Diketahuinya perbedaan skala nyeri pada bayi yang dilakukan pemberian ASI dan distraksi mainan bersuara saat imunisasi. 2. Tujuan Khusus

a. Diketahuinya skala nyeri pada bayi yang mendapat imunisasi setelah dilakukan pemberian ASI

b. Diketahuinya skala nyeri pada bayi yang mendapat imunisasi setelah dilakukan pemberian distraksi mainan bersuara.c. Diketahuinya perbedaan skala nyeri bayi yang mendapat imunisasi antara kelompok yang diberikan ASI dengan kelompok yang diberikan distraksi mainan bersuara.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Institusi Pendidikan Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu kesehatan dalam Keperawatan Anak dan Keperawatan Komunitas khususnya.

2. Bgai Institusi Kesehatan

Penelitian ini diharapkan dapat diimplementasikan dalam pelayanan kesehatan, seperti puskesmas dan/atau posyandu untuk memberikan asuhan keperawatan dalam penatalaksanaan manajemen nyeri pada bayi yang dilakukan imunisasi.

3. Bagi Orangtua

Memberikan wawasan mengenai metode untuk menurunkan respon nyeri pada bayi saat melakukan imunisasi, dan juga meningkatkan kepercayaan ibu dalam mengimunisasi anaknya.4. Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sarana untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh selama masa perkuliahan di program studi ilmu keperawatan sehingga dapat menambah ilmu keperawatan yang berkaitan dengan asuhan keperawatan dalam maanjemen nyeri pada bayi yang dilakukan imunisasi.E. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah sebuah penelitian yang bertujuan melihat pengaruh tehnik distraksi mainan bersuara terhadap skala nyeri pada bayi saat diimunisasi di wilayah kerja Puskesmas Simpang Timbangan. Penelitian ini merupakan penelitian dalam ruang lingkup Penelitian Keperawatan Anak. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 sampai dengan Mei 2015. Populasi dan sampel penelitian ini adalah bayi yang mengikuti imunisasi di wilayah kerja Puskesmas Simpang Timbangan. Variabel yang diteliti adalah skala nyeri bayi yang mendapat imunisasi antara kelompok yang diberikan ASI dengan kelompok yang diberikan distraksi mainan bersuara. Jenis penelitian ini kuantitatif dengan desain penelitian Pre-Experimental design dengan pendekatan post-test only design.BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tumbuh Kembang Bayi

Bayi adalah anak dengan usia dibawah satu tahun dan terbagi atas dua periode yaitu neonatus usia 0-28 hari dan bayi usia 28 hari sampai 12 bulan (Supartini, 2004; Hockenberry & Wilson, 2007). Pertumbuhan dan perkembangan pada masa bayi bersifat cepat terutama pada aspek kognitif, motorik dan sosial serta pembentukan rasa percaya diri pada bayi melalui pemenuhan kebutuhan dasar (Wong, Hockenberry, Wilson, Winkelstein & Schwartz, 2009).Perkembangan pada masa bayi yaitu perkembangan kognisi dan sosioemosional, diantaranya sebagai berikut;

a. Perkembangan kognisi

Perkembnagan kognisi yaitu perkembangan proses atau tindakan untuk mengetahui sesuatu dan mulai berkembang sejak lahir. Menurut Jean Pieget (1952, dikutip Suriadi & Yuliani, 2006) perkembangan kognisi berupa perkembangan sensori dan motor yang berlangsung hingga bayi berumur 2 tahun. Tanda tahap perkembangan ini, yaitu bayi mampu mengkoordinasikan sensasi-sensasi dengan gerakan-gerakan fisik dan tindakan yang dilakukannya. Tahapan perkembangan sensorimotornya yaitu;1. Refleks sederhana

Mengkoordinasikan sensasi dan tindakan melalui tingkah laku, seperti reflex rooting dan sucking yang dimiliki bayi begitu lahir saat didekatkan dengan putting susu.2. Kebiasaan awal dan reaksi sirkuler primer.

Kebiasaan yang terbentuk walaupun stimulus tidak ada, seperti bayi menghisap jarinya (1-4 bulan).

3. Reaksi sirkular sekunder

Bayi akan terfokus dengan dunia sekitarnya (4-8 bulan). Misalnya dengan benda yang mengeluarkan suara.

4. Koordinasi reaksi sirkular sekunder.

Muncul pada usia 8-12 bulan, misalnya bayi melihat suatu objek kemudian terus menerus menggenggam objek tersebut.

5. Reaksi sirkular tersier.

Bayi tertarik terhadap variasi yang dimiliki oleh benda itu, dan hal-hal yang dapat dilakukan bayi terhadap benda-benda tersebut. (12-18 bulan).

b. Perkembangan Psikososial

1. Perkembangan emosi

Emosi merupakan perasaan atau efek yang melibatkan gabungan fisiologis dan tingkah laku. Pada saat lahir emosi yang telah berkembang adalah distress (berespon terhadap rasa sakit), tertarik, dan kecewa (respon terhadap bau yang tidak menyenangkan). Pada usia 6 bulan berkembang rasa marah, terkejut, senang, takut, sedih, malu. Pada usia 18-24 bulan berkembang empati, dan iri.

2. Perkembangan temperamen

Temperamen adalah respon seseorang dalam mengerjakan sesuatu (Darman& Chess, 1984; dalam Papilla, 1998; dikutip Suriadi &Yuliani, 2006).Sebuah pandangan holistik dalam buku Human Development (Papalia, Old dan Feldman, 2009) mendiskripsikan tahap-tahap perkembangan emosi sejak lahir hingga satu tahun pertama kehidupan, sebagai berikut :a) Neonatal (lahir sampai 1 bulan)

Ketika baru lahir, menangis menjadi tanda emosi-emosi negative, sedangkan emosi-emosi positif lebih sulit untuk diketahui.b) Usia 1-6 bulan

Bayi mulai tersenyum dan tertawa ketika berespon terhadap orang dan penglihatan atau suara yang tidak terduga. Kepuasan, minat dan kesedihan adalah pertanda dari emosi-emosi yang lebh terdiferensiasi.

c) Usia 6-12 bulan

Pada saat usia ini, emosi-emosi dasar mulai muncul seperti; gembira, terkejut, sedih, jijik dan marah.Gerakan-gerakan kasar, dan halus, emosi, sosial, perilaku, bicara pada bayi usia 0-9 bulan (SKALA YAUMIL-MIMI, dikutip Soetjiningsih, 1995)

a) Dari lahir sampai 3 bulan

Bayi belajar mengangkat kepala, belajar mengikuti obyek dengan matanya, melihat kemuka orang dengan tersenyum, bereaksi terhadap suara/bunyi, mengenal ibunya dengan penglihatan, penciuman, pendengaran dan kontak, menahan barang yang dipegangnya, mengoceh spontan atau bereaksi dengan mengoceh. Bayi dapat mennagis bila terjadi sesuatu yang aneh (Hidayat, 2011)

b) Dari 3 sampai 6 bulan

Bayi dapat mengangkat kepala 90 derajat dan mengangkat dada dengan bertopang tangan, mulai belajar meraih benda-benda yang ada dalam jangkauannya, menaruh benda-benda di mulutnya, berusaha memperluas lapangan pandangan, tertawa dan menjerit karena gembira dan sedih, dan mulai berusaha mencari benda-benda yang hilang. Perkembangan adaptasi sosialnya yaitu anak mudah frustasi, serta memukul-mukul lengan (Hidayat, 2011)

c) Dari 6 sampai 9 bulan

Bayi dapat duduk tanpa dibantu, dapat tengkurep dan berbalik sendiri, dapat merangkak meraih benda atau mendekati seseorang, memegang benda kecil dengan ibu jari, mengenal muka anggota keluarga dan takut pada orang asing, mulai berpartisipasi dalam permainan tepuk tangan.

B. Konsep Dasar Imunisasi

1. Pengertian Imuniasi

Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi dananak dengan memasukkan vaksin ke dalam tubuh agar membuat zat anti untuk mencegah terhadap penyakit tertentu. Vaksin adalah bahan yang dipakai untuk merangsang pembentukan zat anti yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui suntikan (misalnya vaksin BCG, DPT, dan campak) dan melalui mulut (misalnya vaksin polio) (Hidayat, 2008:54).Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh seseorang secara aktif terhadap antigen, sehingga jika suatu saat terpapar antigen tersebut, tidak terjadi penyakit. Sistem imunnya lebih spesifik untuk menghancurkan benda asing yang dikenal sebelumnya (Lisnawati, 2011)Imunisasi merupakan bentuk intervensi kesehatan yang sangat efektif dalam menurunkan angka kematian bayi dan balita. Berbagai penyakit seperti TBC, difteri, pertusis, tetanus, hepatitis B, dan poliomielitis, dan campak dapat dicegah. Pentingnya pemberian imunisasi dapat dilihat dari banyaknya balita yang meninggal akibat Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD31) ( Dewi, 2011:129).Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa imunisasi adalah usaha untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit dengan cara memasukkan vaksin ke dalam tubuh.

2. Tujuan Imunisasi

Tujuan imunisasi adalah memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan maksud menurunkan kematian dan kesakitan, serta mencegah akibar lebih buruk lagi dari penyakit yang bisa dicegah oleh imunisasi tersebut (Lisnawati, 2011).Menurut Maryunani (2010), tujuan dalam pemberian imunisasi antara lain;

a) Manfaat imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang dan menghilangkan penyakit tertentu di dunia.

b) Kegunaan imunisasi adalah unutk melindungi dan mencegah penyakit-penyakit menular yang sangat berbahaya bagi bayi dan anak.

c) Anak menjadi kebal terhadap penyakit, sehingga dapat menurunka angka kematian dan kesakitan serta dapat mengurnagi kecacatan akibat penyakit tertentu.

d) Mengurangi angka penderita penyakit yang sangat membahayakan kesehatan, bahkan dapat menyebabkan kematian pada penderitanya. Beberapa penyakit yang dapat dihindari dengan imunisasi antara lain seperti campak, polio, difteri, tetanus, batuk rejan, hepatitis B, gondongan, cacar air,TBC, dan lain-lain.

e) Mencegah terjadinya penyakit tertentu, dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat, seperti pada imunisasi cacar.

3. Jenis-jenis Imunisasi

Menururt Dewi (2011) terdapat jenis imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah Indonesia (imunisasi dasar) dan ada juga yang hanya dianjurkan. Imunisasi yang hanya dianjurkan oleh pemerintah dapat digunakan untuk mencegah suatu kejadian yang luar biasa (penyakit endemik) atau untuk kepentingan tertentu misalnya jemaah haji yang disuntikkan imunisasi meningitis .

Keberhasilan pemberian imunisasi pada anak dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya terdapat tingginya kadar antibodi pada saat dilakukan imunisasi, potensi antigen yang disuntikkan, waktu antara pemberian imunisasi, dan status nutrisi terutama kecukupan protein, karena protein diperlukan untuk menyintesis antibodi. Efektif dan tidaknya imunisasi tergantung pada berbagai faktor yang mempengaruhinya, sehingga kekebalan tubuh tersebut dapat diharapkan dari diri anak (Dewi , 2011). Imunisasi dasar adalah imunisasi yang pertama kali diberikan pada semua orang, terutama bayi dan anak-anak untuk melindungi tubuhnya dari berbagai penyakit. Lima jenis imunisasi dasar yang diwajibkan pemerintah adalah vaksin terhadap tujuh penyakit, yaitu TBC, difteri, tetanus, pertusis (batuk rejan), poliomyelitis,campak dan hepatitis B (Maryunani,2010). Beberapa imunisasi dasar yang diwajibkan dijelaskan sebagai berikut;

a) Imunisasi BCG (basillus calmette guerin)

Imunisasi BCG adalah pemberian vaksin yang mengandung kuman TBC yang telah dilemahkan, dan digunakan untuk mencegah penyakit tuberculosis. Frekuensi pemberiannya cukup satu kali, tidak perlu diulang (booster). Hal ini dikarenakan antibodi yang dihasilkan tinggi terus (Maryunani, 2011). Efek proteksi timbul 8-12 minggu setelah penyuntikan (Dwi, 2011). Vaksin BCG diberikan secara intradermal/intrakutan 0,10 ml untuk anak dan 0,05 ml untuk bayi. Penyuntikan imunisasiBCG sebaiknya diberikan pada deltoid kanan (lengankanan atas), sehingga bila terjadi imfadenitis (pada aksila) akan lebih mudah terdeteksi (Dewi, 2011). Efek samping pemberian imunisasi BCG adalah terjadinya ulkus pada daerah suntikan, limfadenitis regionalis, dan reaksi panas (Hidayat, 2008:55)

b) Imunisasi hepatitis B

Imunisasi Hepatitis B adalah imunisasi yang diberikan untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit hepatitis B yang dapatmerusak hati (Maryunani, 2010). Ada tiga jenis vaksin hepatitis B, yaitu vaksin yang berasal dari plasma, vaksin yang dibuat dengan teknik rekombinan (rekayasa genetik), dan vaksin polipeptida. Penyuntikan diberikan intramuskular di daerah deltoid atau paha antrolateral. Vaksinasi awal atau primer diberikan sebanyak tiga kali. Jarak antara suntikan I dan II adalah 1-2 bulan, sedangkan untuk suntikan III diberikan dengan jarak 6 bulan dari suntikan I. Pemberian booster dilakukan 5 tahun kemudian (Dewi, 2011)

Efek samping yang terjadi pasca imunisasi hepatitis B pada umumnya berupa nyeri, bengkak, panas, mual, dan nyeri sendi maupun otot. Walaupun demikian, pernah dilaporkan terjadi reaksi anafilaksis, sindrom Guillain-Barre, walaupun tidak jelas terbukti apakah hal tersebut berhubungan dengan imunisasi hepatitis B (Dewi, 2011)

c) Imunisasi DPT/DT

Imunisasi DPT adalah vaksin 3-in-1 yang melindungi tubuh terhadap penyakit difteri, pertusis, dan tetanus (Lisnawati, 2011). Pemberian imunisasi 3 kali (paling sering dilakukan), yaitu pada usia 2 bulan (DPT I), 4 bulan(DPT II) dan 6 bulan (DPT III). Imunisasi DPT ulang diberikan 1 tahun setelah DPT III dan pada usia pra sekolah. Selanjutnya di usia 12 tahun, diberikan imunisasi TT. Cara pemberiannya melalui suntikan intramuskular (Maryunani, 2010).1) Toksoid DifteriKekuatan toksoid difteri yang terdapat dalam vaksin DPT saat ini berkisar antara 6,7-25 lfdalam dosis 0,5 ml. Unuk imunisasi rutin pada anak, dianjurkan pemberian 5 dosis pada usia 2,4,6,8, 15-18 bulan,dan saat masuk sekolah. Dosis IV harus diberikan sekurang-kurangnya 6 bulan setelah dosis III. Efek samping yang biasa terjadi pada anak setelah penyuntikan imunisasi DPT toksoid difteri antara lain; panas, rasa sakit di daerah suntikan, nyeri, kemerahan, bengkak di tempat suntikan, peradangan bahkan kejang-kejang (Dewi, 2011)

2) Vaksin Pertusis

Pertusis atau batuk rejan/batuk seratus hari adalah suatu penyakit akut yang disebabkan oleh bakteri Borditella pertusis. Umumnya vaksin pertusis diberikan dengan kombinasi bersama toksoid tetanus dan difteri. Kejadian ikutan pasca imunisasi vaksin pertusis antara lain kemerahan, bengkak, dan nyeri pada lokasi injeksi. Ketika terjadi hiperpireksia, anak menajdi sering gelisah dan menangis terus menerus selama beberapa jam pascasuntikan dan terkadang ditemukan kejang sehubungan dengan demam yang terjadi(Dewi, 2011).

3) Toksoid Tetanus

Tetanus adalah suatu penyakit akut yang sering bersifat fatal, disebabkan oleh eksotoksin kuman Clostridium tetani. Toksoid tetanus yang diperlukan untuk imunisasi sebesar 40 IU dalam setiap dosis tunggal (TT) dan 60 IU bila bersama dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis. Untuk vaksin TT dosis yang diberikan adalah 0,5 ml dan disuntikan intramuskular/subkutan di otot deltoid, paha, dan bokong(Dewi, 2011).

d) Imunisasi Campak

Imunisasi campak adalah imunisasiyang diberikan untuk mencegah penyakit campak yang sangat menular (Maryunani,2011). Penularannya dapat melalui udara dan kontak langsung dengan penderita (Lisnawati, 2011). Pemberian yang dianjurkan melalui subkutan atau intramuskular. WHO menganjurkan pemberian imunisasi campak pada bayi berumur 9 bulan. Untuk negara maju, imunisasi campak (MMR) dianjurkan ketika anak berumur 12-15 bulan (Dewi,2011). Biasanya tidak terdapat reaksi akibat imunisasi campak, mungkin terjadi demam ringan, dan terdapat efek kemerahan/ bercak merah pada pipi di bawah telinga pada hari ke 7-8 setelah imunisasi (Maryunani, 2010)e) Imunisasi Polio

Imunisasi polio diberikan untuk mencegah penyakit poliomielitis, yang menyerang saraf dan dapat melumpuhkan kaki (Maryunani, 2010). Vaksin ini dibuat dalam biakan jaringan ginjal kera dan distabilkan dengan sukrosa. Vaksin digunakan secara rutin sejak bayi lahir dengan dosis 2 tetes oral. Vaksin akan menghambat infeksi virus liar yang serentak. Waktu pemberian polio adalah pada umur bayi 0-11 bulan atau saat lahir (0 bulan) dan berikutnya pada usia bayi 2 bulan, 4 bulan, dan 6 bulan. Kecuali saat lahir, pemberian vaskin polio diberikan bersamaan dengan vaksin DPT (Maryunani, 2010). Satu dosis sebanyak 2 tetes (0,1 ml) diberikan peroral pada umur 2-3 bulan, yang pemberiannya dapat diberikan bersamaan dengan suntikan vaksin DPT dan hepatitis B (Dewi,2011). Menurut Lisnawati (2011), pada umumnya tidak terjadi efek samping, hanya sebagian kecil yang mengalami paralisis (kurang dari 0,17 :1.000.000)

4. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)

Program imunisasi mempunyai dampak yang baik untuk kesehatan, akan tetapi ada beberapa kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI). Reaksi KIPI secara umum dikategorikan menjadi kesalahan program, reaksi vaksin, dan reaksi suntikan (Cahyono, 2010). KIPI merupakan suatu kejadian sakit setelah menerima imunisais yang diduga disebabkan oleh imunisasi. Kejadian ini dapat berupa reaksi simpang, reaksi vaksin, reaksi suntikan, kesalahan program dan koinsiden. (Lisnawati, 2011). Kesalahan program berhubungan dengan kesalahan teknik pelaksanaan vaksinasi, misalnya kelebihan dosis, kesalahan memilih lokasi, sterilisasi, penyimpanan vaksin dan cara menyuntik. Membaiknya pengelolaan vaksin, pengetahuan, dan keterampilan petugas pemberi vaksinasi dapat meminimalisasi kesalahan tersebut (Cahyono, 2010:37). Tabel 2.1 Kesalahan program dan kesalahan KIPI

KESALAHAN PROGRAMKESALAHAN KIPI

Tidak SteriInfeksi

Pemakaian ulang alat suntik/jarum

Sterilisasi yang tidak sempurna

Vaksin/pelarut terkontaminasi

Pemakaian sisa vaksin untuk beberapa sesi vaksinasi Abses lokal di daerah suntikan

Sepsis, sindrom syok toksik

Infeksi penyakit yang ditularkan lewat darah :Hepatitis, HIV

Setelah pakai pelarut vaksinAbses local karena kurang cocok

Pemakaian pelarut vaksin yang salah

Memakai obat sebagai vaksin atau pelarut vaksin Efek negatif obat, misal insulin

Kematian

Vaksin tidak efektif

Penyuntikan salah tempat

BCG subkutan

DPT.TT kurang dalam

Suntikan di bokong Reaksi lokal/abces

Kerusakan Nervus Sciaticus

Transportasi / penyimpanan vaksin tidak benar Reaksi lokal akibat vaksin baru

Vaksin tidak aktif(tidak potent)

Mengabaikan indikasi kontraTidak terhindar dari reaksi yang berat

Sumber : Lisnawati (2011)

Gejala yang muncul pada reaksi vaksin sudah bisa diprediksi terlebih dahulu, karena efek samping pemakaian vaksin sudah tertera di kemasan vaksin. Adapun gejala ringan yang muncul biasanya diantaranya demam, bercak merah, nyeri sendi, punsing, dan nyeri otot (Cahyono, 2010:38). Menurut Cahyono (2010), reaksi suntikan yang biasanya terjadi bukan akibat reaksi vaksin, tetapi lebih karena trauma akibat tusukan jaringan, misalnya nyeri, bengkak, dan kemerahan di daerah suntikan, dan bisa juga dikarenakan kecemasan akibat takut pada jarum suntikan. Reaksi suntikan dapat terjadi secara langsung dan tidak alngsung. Rekasi suntikan langsung seperti sakit, bengkak dan kemerahan, sedangkan reaksi suntikan tidak alngsung meliputi rasa tajut, nafas tertahan, pernafasan sangat cepat, pusing, maul/muntah, kejang dan sinkope (Lisnawati, 2011).

Gambar 2.1 Jadwal Imunisasi 2014.Rekomendasi Ikatan Dokter Anak IndonesiaTahun 2014

Jenis VaksinUmur pemberian vaksin

Bulantahun

lahir12345691215182435678101218

Hepatitis B123

Polio012345

BCG1 kali

DTP1234567

Hib1234

PCV1234

Rotavirus123

Influenza

Campak123

MMR12

TifoidUlangi sekali tiap tahun

Hepatitis A2 kali, interval 6-12 bulan

Varisela1 kali

HPV3 kali

Sumber : Jadwal Imunisasi IDAI 2014, idai.or.id diunduh tanggal 21 Januari 2014, 9.32C. Konsep Dasar Nyeri

1. Pengertian NyeriNyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial (Smeltzer & Bare, 2001). Nyeri merupakan mekanisme fisiologis yang bertujuan untuk melindungi diri. Apabila seseorang merasakan nyeri, maka perilakunya akan berubah...Nyeri merupakan tanda peringatan bahwa terjadi kerusakan jaringan, yang harus menjadi pertimbangan utama keeprawatan (Mutaqqin, 2008:502).Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa nyeri merupakan mekanisme tubuh untuk merespon kerusakan jaringan secara subjektif.2. Respon Nyeri

Potter dan Perry (2005 dikutip Astuti, 2011) menjelaskan bahwa respon yang munncul akibat nyeri terbagi dua, yaitu respon fisiologis dan respon tingkah laku.

a) Respon fisiologis

Respon fisiologis terhadap nyeri terbagi menjadi dua, yaitu stimulasi simpatik dan parasimpatik. Stimulasi simpatik terjadi pada nyeri ringan, moderat dan superfisial. Respon yang ditunjukkan akibat stimulasi simpatik tersebut adalah dilatasisaluran bronkhial dan peningkatan frekuensi respirasi, peningkatan heart rate, penyempitan pembuluh darah perifer dan peningkatan tekanan darah, peningkatan nilai gula darah, diaphoresis, peningkatan ketegangan otot, dilatasi pupil serta penurunan motilitas saluran cerna. Adapun stimulasi parasimpatik adalah muka pucat, otot menjadi mengeras, penurunan heart rate dan tekanan darah, nafas cepat dan tidak teratur, nausea dan vomitus serta kelelahan dan keletihan.

b) Respon tingkah laku

Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup: pernyataan verbal (mengaduh, menangis, sesak nafas, mendengkur), ekspresi wajah (meringis, menggelatukkan gigi, mengigit bibir), gerakan tubuh (gelisah, imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan gerakan jari dan tangan), kontak dengan orang lain/interaksi sosial (menghindari percakapan, menghindari kontak sosial, penurunan rentang perhatian, fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri). Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaski sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menajdi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis

3. Jenis Nyeri

Berdasarkan karakteristiknya, nyeri dapat dikategorikan secara umum, diantaranya;

a) Nyeri akut

Nyeri akut berlangsung tiba-tiba dan umumnya berhubungan dengan adanya suatu trauma atau cedera spesifik. Nyeri akut mengindikasikan adanya suatu kerusakan atau cedera yang baru saja terjadi. Sensasi dari suatu nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan adanya proses penyembuhan. Nyeri akut memiliki tujuan untuk memperingatkan adanya cedera atau masalah. Nyeri akut umumnya berlangsung kurang dari enam bulan (Mutaqqin, 2008:503).Cedera atau penyakit yang menyebabkan nyeri akut dapat sembuh secara spontan, atau dapat memerlukan pengobatan. Respon otonom pada nyeri akut diantaranya, konsisten dengan respon stress simpatis, frekuensi jantung meningkat, tekanan darah meningkat, dilatasi pupil meningkat, tegangan otot meningkat, motilitas gastrointestinal menurun, aliran saliva menurun (mulut kering). Komponen psikologisnya yaitu kecemasan (Smeltzer & Bare, 2001).b) Nyeri kronisNyeri kronis merupakan keadaan yang berlangsung secara konstan atau intermitten dan menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlangusng di luar waktu penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitkan dengan penyebab atau cedera spesifik Nyeri kronis adalah suatu keadaan ketidaknyamanan yang dialami individu yang berlangsung selama enam bulan atau lebih. Nyeri kronis disebabkan oleh kanker yang tidak terkontrol atau pengobatan kanker tersebut, atau gangguan progressif lain yang disebut nyeri maligna (Mutaqqin, 2008:503).Respon ototnom tidak terjadi pada nyeri kronik, adapun komponen psikologisnya dapat terlihat dari sikap mudah marah, depresi, menarik diri dari dunia luar, tidur terganggu, nafsu makan menurun. Nyeri kronik dapat terjadi pada penyakit kanker, artritis, neuralgia trigeminal, dan lainnya (Smeltzer & Bare, 2001).

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Nyeri Bayi

Menurut Prasetyo (2010, dikutip Smanto) faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri secara umum yaitu;

a. Usia

Anak yang masih kecil mempunyai kesulitan dalam memahami nyeri dan prosedur yang dapat menyebabkan nyeri. Hal ini dikarenakan anak kecil masih belum dapat mengucapkan kata-kata dankesulitan dalam mengungkapkannya secara verbal.

b. lokasi dan tingkat keparahan nyeri

tipe nyeri pada seseorang mempengaruhi pengalaman nyeri dan caraseseorang beradaptasi terhadap nyeri. Semakin luas jaringan yang rusak atau mengalami cedera, maka akan mempengaruhi sinyal nyeri yang disampaikan melalui sistem syaraf.

c. Perhatian

Perhatian yang meningkatterhadap nyeri akan meningkatkan respon nyeri, sedangkan upaya pengalihan (distraksi) dapat menurunkan respon nyeri.

d. Kecemasan

Hubungan antara nyeri dan kecemasan bersifat komplek, kecemasanyang dirasakan seseorang dapat meningkatkan persepsi nyeri.

e. Keletihan

Keletihan yang dirasakan individu akan meningkatkan sensasi nyeri, dan menurunkan kemampuan koping individu.

f. Pengalaman sebelumnya

Seseorang yang telah terbiasa merasakan nyeri akan lebih siap dan mudah mengantisipasi nyeri daripada individu yang mempunyai pengalamansedikit tentang nyeri.

Menurut Prasetyo (2010 dikutip Soemardini, et al. 2011) ada beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi nyeri pada bayi, diantaranya umur dan lokasi penyuntikan. Jenis imunisasi juga mempengaruhi skala nyeri pada bayi saat penyuntikkan, sedangkan menurut penelitian Ismanto jenis kelamin tidak mempengaruhi persepsi nyeri pada bayi yang mendapat suntikan imunisasi.

Menurut Hockenberry & Wilson (2007) penyuntikan pada bayi yang dilakukan di intramuskular lebih tinggi sensasi nyeri, dibandingkan lokasi lainnya. Akan tetapi penyuntikkan di daerah vastus lateralis (otot ventrogluteal) dapat meminimalkan reaksi lokal dari vaksin, sedangkan deltoid dapat digunakan pada anak berusia 18 bulan atau yang lebih besar.

Menurut Ipp et al (2004) didapatkan bahwa rentang nyeri bayi yang mendapat formulasi vaksin MMR lebih rendah dibandingkan bayi yang mendapat vaskin jenis M. M. R. II. Berdasarkan hasil penelitian Sarimin (2012) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan orang tua dan pengalaman suntikan sebelumnya terhadap respon perilaku nyeri bayi saat penyuntikan imunisasi. Penelitian Ismanto (2011) juga mendapatkan bahwa pengalaman suntikan tidak mempengaruhi respon perilaku nyeri saat dilakukan suntikan imunisasi. Hal ini berbeda dengan Cohen (2008 dikutip Sarimin, 2012) yang menjelaskan bahwa pengalaman awal terhadap nyeri dapat memiliki efek negatif jangka panjang pada perkembangan ambang nyeri, sensitivitas, koping strategi dan persepsi terhadap nyeri berikutnya. 5. Dampak nyeri

Secara umum, nyeri akut dapat berdampak pada ketidaknyamanan dan stress, nyeri akut yang tidak reda juga dapat mempengaruhi sistem pulmonari, kardiovaskular, gastrointestinal, endokri, dan imunologik (Yeager dkk., 1987; Benedetti dkk., 1984 dikutip Smeltzer & Bare, 2001).). Nyeri kronis dapat menyebabkan depresi dan ketidakmampuan, dan juga dapat meningkatkan pertumbuhan tumor. Ketidakmampuan akibat nyeri dapat menurunkan produktivitas seseorang sebagai individu, hal ini dapat berkisar dari membatasi keikutsertaan dalam aktivitas fisik sampai tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pribadi (Smeltzer & Bare, 2001).Nyeri dapat menyebabkan banyak dampak negatif pada bayi seperti trauma. Stressor nyeri dinilai berdampak dapat menimbulkan trauma pada anak (Hockenberry & Wilson, 2009 dalam Renovaldi et al, 2014). Bayi prematur peka dihindarkan dari berbagai rangsang mengganggu berulang, termasuk tusukan tumit berulang, tusukan vena, intubasi dan penghisapan endotrakeal, tusukan arteri, pemasangan selang dada, dan pungsi lumbal. Efek nyeri yang disebabkan oleh prosedur tersebut tidak sepenuhnya diketahui, namun peneliti telah mulai meneliti konsekuensi potensialnya. Fitzgerald, Millard, dan Mdntosh (1989, dalam Wong, 2008:304) mendukung pernyataan ini dengan bukti hipersensitivitas terhadap prosedur tusukan tumit berulang pada bayi prematur. Bila diberikan anestesi topikal EMLA ke tumit, hipersensitivitas ini menghilang. Studi lain belum berhasil menemukan bahwa EMLA dapat mengurangi nyeri tusukan lanset pada bayi baru lahir . Akan tetapi, EMLA memang mengurangi nyeri pada sirkumsis, tekanan vena dan arteri dan pemasangan kateter vena perkutan (Taddio dkk, 1998; dalam Wong, 2008:304). Larutan sukrosa, terutama yang diberikan empeng dapat mengurangi nyeri karena sirkumsisi , tusukan lanset tumit, dan tusukan vena (Stevens dkk,1997; Blass dan Watt,1999; dalam Wong, 2008 :304)

Memori nyeri telah menjadi fenomena yang banyak diteliti. Tidak ada seorang dewasa pun maupun bayi yang memiliki kapasitas untuk mengingat sensasi nyeri. Hanya pengalaman yang berhubungan dengan nyeri yang dapat diingat (Anand dan Hickey,1987; dikutip dalam Wong, 2008:304). Grunau dkk (1994, dalam Wong, 2008:304) memperlihatkan fenomena memori pada anak toddler dengan riwayat berat badan lahir sangat rendah dan rawat tinggal lama di NICU. Anak ini memiliki keluhan somatik lebih tinggi tanpa diketahui penyebabnya dibandingkan aak yang dahulunya bayi sehat dan cukup bulan. Studi lain menemukan bahwa bayi baru lahir cukup bulan yang menjalani sirkumsisi tanpa anestesi bereaksi lebih intensif terhadap injeksi imunisasi pada usia 4 sampai 6 bulan dibandingkan bayi baru lahir yang mendapat anestesi (Taddio dkk, 1997; dalam Wong, 2008:304)

Orang tua pada umumnya khawatir bayi mereka akan mengalami nyeri saat menjalani suatu prosedur, perawat perlu mengarahkan kekhawatirannya dan mendorong orang tua untuk mengungkapkan kekhawatiran tersebut kepada profesional asuhan kesehatan yang terlibat. Orang tua berhak untuk tidak memberikanpersetujuan pada prosedur invasif dan meminta penjelasan yang jujur dari petugas yang bertanggung jawab terhadap asuhan bayi. Orang tua juga dapat membantu upaya mengurangi ketidaknyamanan bayi. Orang tua harus dibuat mengerti bahwa perawat cukup sensitif terhadap nyeri bayi dan diyakinkan kembali bahwa bayinya tidak akan mengalami penderitaan yang tidak perlu (Wong, 2008:305).6. Skala pengkajian nyeri untuk bayi

Skala Nyeri FLACC(Face, Legs, Activity, Cryand Consolability) Behavioral ScaleSkala ini digunakan untuk mengkaji intensitas nyeri pada aak mulai usia 2 bulan-7 tahun (Hockenberry&Wilson, 2009). Skala ini terdiri dari lima penilaian dengan skor total 0 untuk tidak ada nyeri dan 10 untuk nyeri hebat. Adapun penilaian tersebut adalah ekspresi muka (0-2), gerakan kaki (0-2), aktivitas (0-2), menangis(0-2), kemampuan dihibur(0-2). Adapun hasil skor perilakunya adalah 0: untuk rileks dan nyaman, 1-3 : nyeri ringan/ketidaknyamanan ringan, 4-6:nyeri sedang, 7-10: nyeri berat/ketidaknyamanan berat (Merkel, Voepel-Lewis,Shayevitz, et al,1997 dalam Glasper & Richardson, 2006; Potts & Mandleco,2007 dikutip Astuti, 2011)

Tabel 2.2 Skala Nyeri Perilaku FLACC

012

Face (ekspresi muka)Tidak ada ekspresi yang khusus atau tersenyumKadangkala meringis atau mengerutkan dahi, menarik diriSering mengerutkan dahi secara terus menerus, mengatupkan rahang dagu bergetar

Legs (gerakan kaki)Posisi normal atau rileksTidak tenang, gelisah, tegangMenendang atau menarik kaki

Activity (aktivitas)Berbaring tenang, posisi normal, bergerak dengan mudahMenggeliat-geliat, bolak-balikberpindah, tegangMelengkung, kaku, atau terus menyentak

Cry (menangis)Tidak menangis (terjaga atau tidur)Merintih atau merengek, kadangkala mengeluhMenangis terus-menerus, berteriak atau terisak-isak, sering mengeluh

Consolability (kemampuan dihibur)Senang, rileksDitenangnkan dengan sentuhan sesekali, pelukan atau berbicara, dapat dialihkanSulit untuk dihibur atau sulit untuk nyaman

Sumber: Merkel, Voepel-Lewis, Shayevitz, et al (1997) dalam Glasper & Richardson, 2006;Hockenberry & Wilson (2009) dalam Astuti, 2011. The FLACC is a behavioral pain assesment scale University of Michigan Health System ( can be reproduced for clinical or research use) telah diolah kembali.

7. Manajemen Nyeri

Manajemen nyeri bertujuan untuk mengurangi atau meminimalkan respon nyeri. Ada dua tenik dalam manajemen nyeri yaitu secara farmakologis dan non farmakologis. Menurut Muttaqin (2008) Intervensi nyeri secara umum terbagi menjadi dua yaitu intervensi nyeri independen dan intervensi nyeri kolaboratif. Pada intervensi independen terdiri dari pengaturan posisi ( istirahat, ataur posisi fisiologis, atur posisi dengan fiksasi atau imobilisasi), teknik relaksasi (relaksasi otot skeletal dan relaksasi napas abdomen dengan frekuensi lambat dan berirama), kompres, manajemen sentuhan, distraksi (alih fokus perhatian, dukungan orang tua atau terdekat), manajemen lingkungan (lingkungan tenang, kondusif, tidak panas,privasi terkontrol), dukungan perilaku dan imajinasi terbimbing. Adapun intervensi nyeri kolaboratif terdiri dari kolaboratif terapi nyeri farmakologi, analgesik.Adapun pada anak dan bayi, terapi farmakologis nyeri akut atau kronis berat adalah obat opioid sistemik. Obat analgesik lain yang diberikan secara sistemik atau lokal dapat bekerja secara sinergis dengan opioid atau dapat menghilangkan perlunya pemberian opioid. Anak harus diberi analgesia yang sesuai melalui jalur yang tidak invasif, per oral atau melalui jalur intravena yang sudah ada (Behrman dkk, 2000: 359). Morfin dan fentanil dapat dengan aman diberikan untuk mengendalikan nyeri pascabedah pada bayi dan anak.Telah tersedia sediaan anestetik lokal topikal efektif untuk menganestesi daerah kulit yang akan dilakukan tindakan (Behrman dkk, 2000: 360).

Upaya non-farmakologis yang digunakan untuk mengurangi nyeri dalam NICU diantaranya mengubah posisi berulang, membendung, menyamankan, memanjakan, mengayun, musik, mengurangi rangsang lingkungan, upaya taktil nyaman, kontak kulit ke kulit, dan isapan non nutritif. Akan tetapi, upaya non farmakologis mungkin tidak memadai untuk mengurangi distress fisiologis, bahkan bila respon tingkah laku seperti menangis sudah berkurang. Pada bayi prematur, tambahan rangsang seperti menggosok dapat meningkatkan distress fisiologis (Wong,et al. 2008:305). Intervensi non farmakologis yang lain dalam menurunkan nyeri bayi yang diimunisasi adalah Family Triple Support (FTS). Metode yang digunakan dalam intervensi ini yaitu pemberian ASI dengan posisi anak sitting up (posisi kepala lebih tinggi dari ekstremitas bawah), dan distraksi (Sufriani, 2010; Taddio A et al., 2009; Sarimin, 2012 dikutip Putra, 2014).Menurut Buonocore & Bellieni (2008 dikutip Dewi, et al. 2013) penatalaksanaan nonfarmakologik untuk menurunkan respon nyeri pada bayi dilakukan dengan cara intervensi lingkungan, pembedongan, non nutritive sucking, sweet solution (glukosa dan sukrosa), multisensory stimulation, skin to skin contact (Kangoroo care), musik dan ASI D. Konsep ASI1. Pengertian ASI

ASI ekslusif adalah pemberian ASI (air susu ibu) sedini mungkin setelah persalinan, diberikan tanpa jadwal dan tidak diberikan makanan lain, walaupun hanya air putih, sampai bayi berumur 6 bulan. Setelah 6 bulan bayi mulai diperkenalkan dengan makanan lain dan tetap diberikan ASI sampai bayi berumur 2 tahun (Purwanti, 2004:3)

2. Pengelompokkan ASI

Produksi ASI berbeda dalam kadar dan komposisi. Ini disebabkan oleh perbedaan kebutuhan bayi untuk berkembang dari hari ke hari.dari berbagai unsur kebutuhan yang sangat berbeda...Hal ini disebabkan karea bayi sudah mampu beradaptasi dengan lingkungan dan tubuh bayi sendiri sudah mulai memproses kekebalan dibantu rangsangan sel-sel yang lain. (Purwanti, 2004;24). Di bawah ini akan diuraikan berbagai stadium ASI serta komposisinya;

a) ASI stadium I

ASI stadium I adalah kolostrum. Kolostrum merupakan cairan yang pertama disekresi oleh kelenjar payudara dari hari ke-1 sampai hari ke-4.setelah persalinan komposisi kolostrum ASI mengalami perubahan. Kolostrum berwarna kuning keemasan disebabkan oleh tingginya komposisi lemak dan sel-sel hidup. Kolostrum merupakan pembersih usus bayi dari mekonium sehingga mukosa usus bayiyang baru lahir segera bersih dan siap menerima ASI. Hal ini menyebabkan bayi yang mendapat ASI pada minggu ke-1 sering defekasi dan feses berwarna hitam. Kandungan tertinggi kolostrum adalah antibodi yang siap melindungi bayi ketika kondisi bayi sangat lemah. Komposisi kolostrum yang lain adalah hidrat arang (lebih rendah dibanding ASI matur), kalori, dan mineral seperti natrium, kalium, dan klorida (lebih tinggi dibanding ASI matur), serta vitamin (Purwanti, 2004;25)

b) ASI stadium II

ASI stadium II adalah ASI peralihan. ASI ini dproduksi pada hari ke-4 sampai hari ke-10. Komposisi protein makin rendah, sedangkan lemak dan hidrat arang makin tinggi, dan jumlah volume ASI semakin meningkat. Hal ini merupakan pemenuhan terhadap aktivitas bayi yang mulai aktif karena bayi sudah mulai beradaptasi dengan lingkungan. Pada masa ini, pengeluaran ASI muali stabil begitu juga kondisi fisik ibu. Keluhan nyeri payudara mulai berkurang. Ibu harus meningkatkan kandungan protein dan kalsium dalam makanan ibu (Purwanti, 2004;27)

c) ASI stadium III

ASI stadium III adalah ASI matur. ASI yang disekresi dari hari ke-10 sampai seterusnya. ASI matur merupakan nutrisi bayi yang terus berubah disesuaikan dengan perkembangan bayi sampai berumur 6 bulan. Setelah 6 bulan, bayi mulai dikenalkan dengan makanan lain selain ASI. Masa kritis pemberian ASI adalah pada bulan kedua bagi ibu yang harus kembali bekerja. Biasanya ibu mulai melatih dengan memberi pengenalan susu buatan. Hal ini merupakan tindakan yang keliru, karena bisa menjadi penekan produksi ASI. Keadaan ini dapat diatasi dengan ibu tetap harus lebih sering memberikan ASI dan mengosongkan payudara dengan melakukan pengurutan tiap kali sehabis menyusui. Pengosongan ini akan merangsang hormon prolaktin yang membantu memproduksi ASI menjadi lebih banyak dan dapat menyimpan sisa ASI-nya dalam lemari pendingin (Purwanti, 2004;29).3. Peran ASI terhadap Kesehatan Bayi

Keberadaan antibodi dan sel-sel makrofag dalam kolostrum dan ASI memberikan perlindungan terhadap jenis-jenis infeksi tertentu. Imunitas terhadap infeksi enteral, dan infeksi parenteral pada taraf yang lebih rendah, berasal dari antibodi. Oleh karena itu, bayi-bayi yang mendapat ASI secara penuh jarang terjangkit oleh penyakit diare yang menular atau necrotizing enterocolitis . infeksi pernafasan dan telinga juga lebih jarang terjadi pada bayi yang disusui sendiri oleh ibunya (Gibney dkk, 2008:327).

Insiden alergi pada bayi-bayi yang mendapat ASI lebih rendha jika dibandingkan dengan bayi-bayiyang memperoleh susu sapi. Pengenalan terhadap protein asing yang lebih lambat mungkinpula bermanfaat dalam mengurnagi kemungkinan timbulnya reaksi autoimun, seperti pada penyakit diabetes melitus yang tergantung insulin (Gibney dkk, 2008:327)Tabel 2.3 Faktor imun dalam ASIFaktor imunFungsi

Limfosit-BMenghasilkan antibodi yang sasarannya pada mikroba tertentu

MakrofagMembunuh mikroba dalam usus bayi; menghasilkan lisozim; mengaktifkan komposisi sistem imun yang lain

NeutrofilMemakan bakteri dalam usus bayi

Limfosit-TMembunuh sel-sel yang terinfeksi,mengirimkan pesan-pesan kimia untuk memobilisasi sistem pertahanan yang lain

Antibodi Ig-AMengikat mikroba dalam usus, dan mencegahnya agar tidak melewati mukosa usus

Protein Pengikat B12Mengikat vit B12, mencegah penggunaan vit B12 oleh bakteri bagi pertumbuhannya

Faktor BifidusMeningkatkan pertumbuhan Lactobacillus bifidus

Asam LemakMerusak membran yang melingkupi virus tertentu dengan menghancurkannya

FibronektinMeningkatkan aktivitas antimikroba yang dimiliki sel-sel makrofag; memfasilitasi perbaikan jaringan yang rusak

Gamma-interferonMenggalakkan aktivitas antimikroba yang dimiliki sel-sel imun

Hormon dan faktor pertumbuhan epitelMenstimulasi maturasi epitel;mengurangi kerentangan epitel terhadap mikroorganisme

LaktoferinMengikat zat besi; mengurangi ketersediaan zat besi bagi bakteri

LisozimMembunuh bakteri melalui penghancuran membran sel

MusinMelekat pada bakteri dan virus; mencegah perlekatan pada mukosa

OligosakaridaMelekat pada bakteri dan virus; mencegah perlekatan pada mukosa

Sumber: (Gibney et al, 2008:328)4. Hubungan Pemberian ASI dengan skala nyeri bayi yang mendapat imunisasi.

Menurut Wulandari (2013) menyusui dapat mengurangi nyeri dan menenangkan bayi dengan adanya kontak kulit yang bisa mengalihkan perhatian bayi. Kandungan gula pada ASI memiliki efek yang dapat menghilangkan rasa sakit. Menurut pakar, jika penatalaksanaan tersebut dilakukan dengan benar, bayi akan berhenti menangis dalam 45 detik setelah imunisasi.

Berdasarkan penelitian Scholin (2003 dikutip Rahayuningsih, 2009) menyatakan bahwa intervensi nonfarmakologik seperti sweet oral solution, terbukti menurunkan nyeri. Namun ASI yang berisi laktosa 7 % juga memiliki beberapa efek dalam menurunkan nyeri pada neonatus. Penelitian yang dilakukan Carbajal, Veerapen, Counderc, Jugie & Ville (2003 dikutip Rahayuningsih, 2009) menemukan bahwa ASI cukup efektif dalam menurunkan respon nyeri selama prosedur invasif minor pada bayi yang cukup bulan. Neupiel (2003 dikutip Rahayuningsih, 2009) menyatakan pemberian ASI sama efektifnya dengan pemberian sweet solution dan pacifier.

Mekanisme ASI dalam menurunkan nyeri pada bayi masih memerlukan pembuktian secara ilmiah, akan tetapi sentuhan ibu saat menyusui merupakan salah satu intervensi nonfarmakologik yang mendukung penurunan respon nyeri bayi. Sentuhan ibu membuat bayi merasa hangat, nyaman, aman dan sebagai distraksi bagi bayi (Rahayuningsih, 2009). Berdasarkan penelitian sebelumnya, ASI juga berfungsi dalam menurunkan intensitas nyeri pada bayi yang dilakukan tindakan injeksi, seperti dalam penelitian Rahayuningsih (2009) dalam penelitiannya mengenai efek pemberian ASI terhadap tingkat nyeri dan lama tangisan bayi saat penyuntikan imunisasi, menjelaskan bahwa bayi yang diberikan ASI tingkat nyerinya lebih rendah dibandingkan dengan bayi pada kelompok kontrol. Pengukuran nyeri dilakukan dengan menggunakan skala nyeri perilaku FLACC (FaceLegs, Activity, Cry and Consolability) dan RIPS (Riley Infant Pain Scale).Kontak kulit pada ibu dan bayi terjadi saat proses menyusui, sehingga bisa mengurangi nyeri. Hal ini didukung oleh teori yang mengatakan penatalaksanaan nyeri yang bisa mengurangi respon nyeri yaitu stimulasi kulit/sentuhan terapeutik (Potts & Mandleco, 2007 dikutip Astuti, 2010).

E. Konsep Distraksi1. Pengertian Distraksi

Distraksi merupakan suatu cara untuk mengalihkan perhatian anak dengan stimulus yang lain terhadap nyeri (Tansuri, 2007). Konsep distraksi yang dapat diberikan pada bayi yaitu stimulus yang menyenangkan, seperti bermain dengan mainan yang menimbulkan bunyi, audiovisual, melihat gambar, mendengarkan lagu dan lain sebagainya. Konsep pembelajaran bagi anak adalah bagaimana mereka bermain. Fungsi khusus bermain yaitu untuk melatih keterampilan sensori motor, kreativitas, intelektual dan perkembangan sosial (Suriadi & Yuliani, 2006). Menurut Teori Psikoanalisis oleh Sigmnd Freud, salah satu peran bermain dalah untuk mengatasi pengalaman traumatic, coping terhadap frustasi. Seseorang dapat memproyeksikan harapan-harapan maupun konflik pribadi melalui bermain. Anak juga dapat mengeluarkan semua perasaan tidak menyenangkan/traumatik (Mutiah, 2010).

Salah satu fungsi bermain yang penting bagi anak adalah untuk perkembangan emosionalnya, seperti belajar strategi kopong, memberikan jalan keluar pada stress, mengembangkan kesadaran diri, perkembangan sosial, belajar salah dan benar, dan keterampilan perkembangan sosial (Suriadi & Yuliani, 2006). Variasi bermain yang dapat distimulasikan pada bayi usia 3-6 bulan adalah menggunakan objek berwarna terang, berbicara pada bayi, suara gemerincing, meletakkan bayi di depan kaca, memanggul namanya, memberikan bel, dan bermain air (Mutiah, 2010).

2. Hubungan pemberian Distraksi Mainan Bersuara terhadap skala nyeri bayi diimunisasi

Pemberian distraksi salah satunya mainan bersuara mampu mengaktivasi retikuler untuk menghambat stimulus nyeri, dimana jika seseorang menerima input sensori yang berlebihan dapat menyebabkan terhambatnya impuls nyeri ke otak (Putra, 2014). Teknik distraksi dengan bermain dapat merangsang sekresi endorfin yangmerupakan asam amino yang mengikat reseptor opiat yang berada di area otak, sehingga dapat menimbulkan efek analgesik. Permainan yang menimbulkan bunyi dan kata-kata yang menyenangkan cukup efektif sebagai strategi distraksi untuk bayi dalam meminimalkan respon nyerinya (Taddio et al, 2010).

Potter dan Perry (2006) menjelaskan bahwa alur saraf desenden dapat mensekresikan opiate endogen, sama seperti endorphin dan dinorphin yaitu pembuluh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi nyeri. Upaya untuk melepasakan endorphin diantaranya konseling, teknik distraksi, dan pemberian placebo. Endofrin merupakan opiate endogen yang menghambat transmisi nyeri sehingga tidak sampai ke otak, sehingga persepsi dan sensasi nyeri tidak dirasakan bayi saat dilakukan tindakan penyuntikan imunisasi.F. Penelitian Terkait1. Rahayuningsih

Judul penelitian Efek Pemberian ASI terhadap tingkat nyeri dan lama tangisan bayi saat penyuntikkan imunisasidi Kota Depok Tahun 2009. Penelitian ini menggunakan desain quasi eksperimental, dengan pendekata static group comparison yang bertujuan unutk mengetahui perbedaan tingkat nyeri dan lama tangisan pada responden yang diberikan dan tidak diberikan ASI dengan menggunakan kelompok kontrol. Jumlah sampel 88 orang, 44 orang kelompok intervensi dan 44 orang kelompok kontrol. Analisis perbedaan tingkat nyeri dan lama tangisan bayi saat penyuntikan imunisasi menggunakan Independent sample t-Test . hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat nyeri bayi yang diukur dengan skala FLACC (p=0,001) dan skala RIPS (p=0,001) saat penyuntikkan pada bayi yang diberi ASI lebih singkat dibandingkan pada bayi yang tidak diberi ASI (p=0,0001 ). Karakteristik bayi tidak mempengaruhi tingkat nyeri bayi yang diberi ASI saat penyuntikkan imunisasi. Pemberian ASI sebagai pemenuhan kebutuhan dan hak anak, juga memiliki manfaat sebagai analgesik yang dapat menurunkan tingkat nyeri bayi yang disusui sebelum dan selama prosedur berlangsung. Selama menyusui, kebersamaan ibu dan bayi memberikan rasa aman dan nyaman, sehingga hal ini dapat dijadikan manajemen nyeri non farmakologik dan penerapan atraumatic care guna meningkatkan pelayanan dan kenyamanan pasien.

2. Siti Munawaroh

Judul Penelitian Pengaruh Teknik Distraksi Boneka Tangan terhadap Skor Nyeri pada Bayi Usia 9 Bulan yang diberi Imunisasi Cmpak. Rancangan penelitian pre-eksperimental dengan pendektan static grup comparison. Jumlah responden terdiri dari 15 responden untuk kelompok intervensi dan15 responden untuk kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh distraksi boneka tangan terhadap skor nyeri pada bayi usia 9 bulan. Adapun rata-rata skor nyeri pada kelompok kontrol yaitu 5,6 sedangkan rata-rata skor nyeri untuk kelompok intervensi yaitu 0,87.3. Wesiana Heris SantyJudul penelitian Pengaruh Pemberian Kombinasi Asi Dan Effleurage Kaki Terhadap Respon Nyeri Pada Bayi Yang Dilakukan Imunisasi Di Sidoarjo 2011. Desain penelitian adalah quasi experimental dengan rancangan post test only static group comparison. Analisa perbedaan respon nyeri pada bayi yang dilakukan imunisasi diukur berdasarkan respon perilaku dengan skala FLACC, lama menangis dan respon fisiologi berdasarkan frekuensi nadi pada menit pertama. Jumlah responden terdiri dari 31 untuk kelompok intervensi dan 31 untuk kontrol.Hasil studi menunjukkan bahwa bayi yang diberi kombinasi ASI dan effleurage kaki memliki rata-rata skala nyeri lebih ringan (1,58) dibandingkan skala nyeri bayi yang tidak diberi intervensi (2,26).

G. Kerangka TeoriSkema 2.1 Kerangka teori

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan kerangka yang menghubungkan antara konsep yang satu dengan konsep yang lainnya, atau antara variabel-variabel yang akan diamati atau diukur melalui penelitian yang dilakukan (Notoatmojo, 2010).

Skema 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Intervensi

Variabel Dependen

Keterangan :

= Diteliti

= Tidak ditelitiB. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, menggunakan desain penelitian pre eksperimen dengan post test only design, yaitu dengan membandingkan antara pemberian ASI dan pemberian larutan sukrosa oral terhadap respon nyeri bayi yang dilakukan imunisasi di wilayah kerja Puskesmas Simpang Timbangan.

Skema 3.2

Desain pre eksperimental dengan static group comparison

perlakuanPosttest

Kelompok Intervensi IX1O1

Kelompok Intervensi IIX2O2

Keterangan:

X1

: intervensi / perlakuan I

X2

: intervensi / perlakuan II

O1

: skala nyeri setelah intervensi pada kelompok intervensi I

O2

: skala nyeri setelah intervensi pada kelompok intervensi II.

C. Hipotesis

Berdasarkan konsep di atas, maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut:

Ho

:Tidak terdapat perbedaan respon skala nyeri pada kelompok yang

dilakukan pemberian ASI dan distraksi mainan bersuara

H1

:Terdapat perbedaan respon skala nyeri pada kelompok yang

dilakukan pemberian ASI dan distraksi mainan bersuara

D. Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan bagian yang mendefinisikan konsep atau variabel agar dapat diamati atau diukur dengan cara melihat indikator dari suatu konsep atau variabel (Noor, 2011). Hal lain dijelaskan dalam definisi operasional antara lain cara / metode pengukuran, hasil ukur atau kategorinya, skala pengukuran yang dilakukan (Notoatmodjo, 2012).

Tabel 3.3 Definisi Operasional

VariabelDefinisiCara UkurAlat UkurHasil UkurSkala

Skala nyeri pada kelompok yang diberikan ASI

Respon nyeri yang dirasakan bayi akibat injeksi intramuskuler saat imunisasi pada kelompok yang diberikan ASI Peneliti mengisi lembar observasi respon nyeri bayi sesuai penilaian skala yang dilakukan pada kelompok yaang mendapat ASI

Lembar Skala nyeri FLACCKategori Skala nyeri pada kelompok intervensi I

Skor nyeri:

0-10Rasio

Skala nyeri pada kelompok yang diberikan distraksi mainan bersuara Respon nyeri yang dirasakan bayi akibat injeksi intramuskuler saat imunisasi pada kelompok yang diberikan distraksi mainan bersuara

Peneliti mengisi lembar observasi respon nyeri bayi sesuai penilaian skala dan dilakukan setelah intervensi pemberian distraksi mainan bersuaraLembar Skala nyeri FLACCKategori Skala nyeri pada kelompok intervensi II

Skor nyeri:

0-10Rasio

E. Populasi Dan Sampel3. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulanya (Hidayat, 2009). Berdasarkan hasil studi pendahuluan jumlah bayi yang diimunisasi mulai berusia 0-9 bulan yang ada di wilayah kerja Puskesmas Simpang Timbangan sebanyak 76 bayi.4. Sampel

Sampel merupakan bagian dari populasi yang akan diteliti atau sebagain jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Peneliti membuat perhitungan besar sampel berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Santy (2011), yang meneliti pengaruh pemberian kombinasi asi dan effleurage kaki terhadap respon nyeri pada bayi yang dilakukan imunisasi di Sidoarjo. Didapatkan standar deviasi 0,564 dan 0,575. Sementara itu untuk selisih minimal yang dianggap bermakna antara kelompok intervensi dan kontrol dalam penelitian ini peneliti menetapkan sebesar 0,68. Selanjutnya peneliti menggunakan uji hipotesis beda rata-rata dua kelompok independen dengan derajat kemaknaan 5 % (1,96) dan kekuatan uji 90 % (1,28). Peneliti menggunakan penelitian analisis tidak berpasangan, oleh karena itu digunakan rumus seperti di bawah ini (Ariawan, 1998) yaitu:

[ SP2 ( Z1-2 + Z1-)2 ]n=2

(1 2)2 Nilai S berasal dari standar deviasi gabungan dua kelompok yang dibandingkan. Kedua varians ini digabungkan pada masing-masing kelompok seperti dalam rumus dibawah ini (Ariawan, 1998):

[(n1 1) s21 + (n2 1) s22] SP2=

(n1 1) + (n2 1)

Keterangan:

n = besar sampel

Z1-2 = Derajat kemaknaan (deviat baku alpha)

Z1- = Kekuatan uji (deviat baku beta)

SP2 = Simpang baku awal S = standar deviasi(1 2)2 = Selisih minimal rerata yang dianggap bermakna Dengan menggunakan rumus diatas, dapat dihitung

[(31 1) 0,564 + (31 1) 0,575] SP2=

(31-1) + (31-1)

9,54 + 9,93 SP2=

60

119,47

SP2 =

60

SP2 = 0,325Maka sampel yang diperlukan adalah:

[ 0,325 ( 1,96 + 1,28)2 ]n=2

(2,26 1,58)2

[ 0,325 ( 10,49) ]n=2

(0,68)2

3,40925n=2

0,4624

n=2 (7)

n=14 Berdasarkan perhitungan tersebut, maka jumlah sampel minimal dalam setiap kelompok yang dibutuhkan dalam penelitian adalah 14 orang. Jumlah sampel tersebut akan ditambah 10 % untuk mengantisipasi kemungkinan drop out, sehingga jumlah sampel menjadi 15. Pada penelitian ini diperoleh responden sebanyak 30 orang. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode Non Probability Sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang tidak memberi peluang yang sama bagi setiap anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel (Setiadi, 2013). Metode yang digunakan adalah Purposive Sampling yaitu teknik pengambilan sampel dengan tujuan tertentu yang dikehendaki peneliti (Setiadi, 2013). Adapun teknik pengambilan sampel pada penelitian ini mengacu pada kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:a) Bersedia menjadi responden (diwakilkan oleh orang tua)

b) Terjadwal mendapatkan imunisasi dengan metode injeksi intramuskular.

c) Umur 2-6 bulan

d) SehatAdapun kriteria eksklusi dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a) Bayi tidur

b) Pada kelompok intervensi, bayi tidak mau menyusu.

F. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Simpang Timbangan. Alasan peneliti melakukan penelitian di wilayah kerja Puskesmas Simpang Timbangan.

G. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dimulai dari Maret 2015 sampai Mei 2015 yang diawali dengan studi pendahuluan, penyusunan proposal, pengumpulan data, penyusunan laporan penelitian, serta sidang skripsi yang dilakukan pada bulan Mei 2015.

H. Etika Penelitian

Selama penelitian, peneliti memperhatikan etika dalam penelitian. Menurut Milton (1999 dalam Notoatmodjo, 2010) ada empat prinsip yang harus dipegang teguh dalam sebuah penelitian, yaitu:

1. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for humanity dignity)Peneliti memperhatikan hak-hak responden, oleh karena itu peneliti memberikan penjelasan mengenai tujuan dan manfaat melakukan penelitian tersebut. Peneliti juga memberikan kebebasan pada responden (diwakili ibu) untuk menolak atau menerima persetujuan dan tidak memaksa responden untuk berpartisipasi dalam penelitian. Persiapan yang dilakukan peneliti untuk menghormati harkat dan martabat partisipan penelitian adalah dengan mempersiapkan formulir persetujuan (informed consenst) yang dibagikan pada bayi yang mendapatkan imunisasi injeksi (diwakili ibu).

2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek peneliti (respect for privacy and confidenteliality).

Informasi yang diperoleh dari responden dirahasiakan dan anonimity (membuat data responden dengan nomor responden saja, tidak menuliskan nama lengkap). Kerahasiaan catatan mengenai data responden dijaga peneliti dan data-data yang diperoleh dari responden hanya digunakan untuk kepentingan peneliti.

3. Keadilan dan inklusivitas/keterbukaan (respect for justice and inclusiveness)

Peneliti menjelaskan prosedur penelitian dan hal-hal yang perlu dilakukan dalam penelitian. Prinsip keadilan ini menjamin bahwa semua partisipan penelitian memperoleh perlakuan dan keuntungan yang sama,tanpa membedakan gender, agama, etnis, dan sebagainya, artinya setiap responden memiliki hak yang sama untuk mendapatkan tindakan yang sesuai dengan standar operasional prosedur pemberian kombinasi ASI dan dsitraksi mainan bersuara pada bayi yang mendapat imunisasi dengan prosedur injeksi.

4. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing harms and benefits)

Hasil penelitian ini memiliki potensi dan sangat bermanfaat bagi orangtua dan petugas pelayanan imunisasi, khususnya dalam mengatasi nyeri yang dirasakan bayi pada saat imunisasi dengan prosedur injeksi. Selain itu keuntungan dari penelitian ini juga dapat mengurangi efek trauma dimasa yang akan datang bagi bayi dan menghilangkan keraguan ibu untuk mengimunisasi bayinya dengan lengkap.I. Alat Pengumpul Data

1. Data Primer

Data primer berupa data responden mencakup nama sesponden, usia, jenis imunisasi, dan, data ini didapatkan melalui kuesioner yang secara langsung dibagikan kepada responden. Pengukuran skala nyeri menggunakan lembar observasi skla FLACC untuk mengkaji intensitas nyeri pada anak mulai usia 2 bulan-7 tahun (Hockenberry&Wilson, 2009). 2. Data SekunderData sekunder pada penelitian ini berupa data jumlah bayi yang diimunisasi di wilayah kerja puskesmas simpang timbangan yang berasal dari Kepala Bidang Pencegahan Pemberantasan Penyakit dan Kesehatan Lingkungan di Dinas Kesehatan Kabupaten Ogan Ilir. Data jumlah bayi lahir yang diimunisasi berdasarkan tanggal kelahiran didapatkan dari catatan pengunjung imunisasi di Polindes setiap wilayah kerja Puskesmas Simpang Timbangan.

3. Alat

a. Menggunakan kuesioner untuk mendapatkan data responden mengenai usia, jenis imunisasi, dan berat badan bayi saat lahir.b. Peralatan terdiri dari jam atau stopwatch untuk menghitung lamanya pemberian ASI sebelum suntikan, kamera digital atau handycam untuk merekam/ mengambil gambar respon nyeri bayi saat imunisasi pada semua kelompok, perekaman ini dilakukan oleh asisten penelitian setelah mendapatkan persetujuan / ijin dari orang tua responden.c. Menggunakan lembar skala perilaku FLACC (Face, Legs, Activity, Cry, Consolability) untuk mengukur nyeri bayi saat dilakukan imunisasi pada semua kelompok.J. Prosedur Pengumpul Data

Prosedur pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap persiapan dan pelaksanaan.1. Tahap Persiapan

a. Persiapan administrasi

Pada tahap ini peneliti mengajukan surat permohonan izin penelitian di kepada Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya yang ditujukan ke Dinas Kesehatan Kabupaten Ogan Ilir untuk kemudian mendapat surat rujukan ke Puskesmas Simpang Timbangan dan Wilayah Kerjanya.

b. Persiapan peneliti1) Memberikan penjelasan pada petugas imunisasi terlatih yang menyiapkan dan melakukan prosedur imunisasi tentang pelaksanaan intervensi.

2) Mempersiapkan asisten peneliti untuk mengambil/ merekam kegiatan penelitian dengan kamera digital/ handycam.

3) Memberikan penjelasan pada asisten mengenai tata cara mengambil/ merekam kegiatan tersebut (Harus merekam, wajah, kaki, gerakan secara lengkap). Adapun tata caranya adalah sebagai berikut: pengambilan gambar dilakukan saat memulai pemberian ASI dan distraksi mainan bersuara (2 menit sebelum prosedur imunisasi dan dilanjutkan sampai 1 menit setelah prosedur imunisasi)

4) Memberikan penjelasan kepada orangtua / pengantar selaku wali responden mengenai penelitian yang akan dilakukan (metode mengurangi respon nyeri pada bayi yang diimunisasi) dan meminta kesediaan responden / orang tua/ wali bayi untuk terlibat dalam penelitian.

5) Peneliti menentukan responden untuk kelompok yang diberikan intervensi pemberian kombinasi ASI dan distraksi mainan bersuara (sesuai kriteria inklusi), setelah jumlah terpenuhi, peneliti mengambil responden untuk kelompok kontrol.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

a. Sebelum intervensi

1) Mempersilahkan responden/orangtua/ wali untuk menandatangani lembar persetujuan bagi responden yang bersedia menjadi partisipan dalam penelitian ini.

2) Peneliti mulai melakukan pengambilan data dengan mengisi data karakteristik responden sebelum dilakukan intervensi.

b. Selama intervensi1) Peneliti mengarahkan ibu bayi untuk menyusui bayi selama prosedur (kelompok intervensi I), dan ibu menggendong bayi selama prosedur (intervensi II).

2) Pelaksanaan pada kelompok intervensi I, ibu menyusui bayi selama dua menit sebelum suntikan sampai 1 menit setelah suntikan.pelaksanaan pada kelompok intervensi II, peneliti memberikan distraksi (kerincingan) selama 2 menit sebelum suntikan sampai 1 menit setelah suntikkan.3) Asisten memberikan informasi kepada petugas imunisasi terlatih (perawat) bahwa sudah 2 menit ibu menyusui (kelompok intervensi I), dan sudah dua menit peneliti memberikan distraksi (kelompok intervensi II).

4) Petugas imunisasi terlatih (perawat) menyuntikkan vaksin.

5) Asisten peneliti melakukan pengambilan rekaman yang dilakukan dua menit sebelum prosedur sampai 2 menit setelah prosedur. Asisten menyebutkan kode responden di awal rekaman (selama perekaman, asisten merekam dengan jelas wajah dan pergelangan kaki responden).

6) Setelah perekaman, jika ada responden yng harus diberikan vaksin polio, maka vaksin tersebut dapat diberikanc. Setelah intervensi1) Peneliti mengucapkan terimakasih dan memberikan kenang-kenangan kepada orang tua dan anak atas ketersediaannya menjadi responden penelitian.

2) Peneliti mengisi format pengkajian skala nyeri dengan menggunakan FLACC dengan melihat hasil rekaman. Peneliti mengisi lembar observasi sampai mendapatkan data yang tepat..K. Pengolahan Data Dan Rencana Analisa Data

1. Pengolahan DataAda empat tahap dalam pengolahan data dalam penelitian (Notoatmodjo, 2012) yaitu :

a) EditingEditing merupakan kegiatan memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh. Peneliti memeriksa kelengkapan data.b) CodingProses mengklasifikasikan hasil penelitian sesuai item checklist dari semua responden ke dalam bentuk angka yang sangat berguna dalam memasukkan data agar dapat memudahkan peneliti dalam mengolah data yang masuk.c) EntryData-data yang sudah terkumpul dari masing-masing responden diberi kode (angka) kemudian dimasukkan dalam tabel dengan cara menghitung frekuensi data melalui pengolahan program software komputer.d) CleaningKegiatan pengecekan kembali data yang sudah diolah untuk melihat kemugkinan-kemungkinan terjadinya kesalahan data.

2. Analisi Data

a) Analisa Univariat

Analisa ini digunakan untuk memperoleh gambaran distribusi frekuensi dari variabel yang diteliti, yaitu skala nyeri bayi yang mendapat imunisasi setelah pemberian ASI dan skala nyeri bayi yang mendapat imunisasi setelah pemberian distraksi mainan bersuara.b) Analisa BivariatVariabel respon nyeri menggunakan skala pengukuran rasio. Jadi untuk menguji data terdistribusi normal atau tidak, maka digunakan uji Shapiro-Wilk (sampel < 50 orang). Kemudian dilakukan analisa bivariat untuk mengetahui pengaruh pemberian ASI dan distraksi mainan bersuara terhadap skala nyeri bayi yang dilakukan imunisasi. Jika data terdistribusi normal, maka dilakukan analisa bivariat menggunakan uji Independent-Sample t untuk melihat apakah ada pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Jika data terdistribusi tidak normal, maka dilakukan uji alternatif yaitu uji Mann Whitney. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menghitung nilai p value dengan nilai interval kepercayaan sebesar 95%, sehingga menghasilkan ketentuan sebagai berikut : jika nilai p < nilai 0,05 keputusannya adalah Ho ditolak, artinya terdapat perbedaan pengaruh pemberian kombinasi ASI dan teknik distraksi mainan bersuara terhadap respon nyeri bayi diimunisasi. Jika p > nilai 0,05, keputusannya adalah Ho gagal ditolak, artinya tidak terdapat perbedaan pengaruh pemberian kombinasi ASI dan teknik distraksi mainan bersuara terhadap repon nyeri bayi yang dilakukan imunisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Ariawan, Iwan. 1998. Besar dan Metode Sampel pada Penelitian Kesehatan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Astuti, Indra Tri (2011). Studi Komparasi Pemberian ASI dan Larutan Gula terhadap Respon Nyeri Saat Imunisasi pada Bayi. Magister Ilmu Kekhususan Keperawatan Anak. Thesis: Universitas Sriwijaya.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI (2013). Data riset kesehatan dasar tahun 2013. JakartaBehrman, Richard E dkk; editor bahasa Indonesia, Wahab, A. Samik (2000). Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol 2. Jakarta: EGCBerman, Audrey dkk (2009). Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis Kozier & Erb. Jakarta: EGCBetz, Cecily Lynn & Swoden, Linda A (2009). Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta: EGCCahyono, JB.,Lusi, R.A., Verawati Sitorus, R.,Utami, R.C.B. & Dameria, K.(2010). Vaksinasi Cara Ampuh Cegah Penyakit Infeksi. Yogyakarta: KanisiusDewi, Ratna Sari dkk (2013). Efektivitas Sukrosa Oral terhadap Respon Nyeri Akut pada Neonatus yang dilakukan Tindakan Pemasangan Infus. Universitas Riau Efendi, Ferry &Makhfudli (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas Tteori dan Praktik dalam Keperawatan.Jakarta: Salemba Medika.Gedam, D. S., Verma, M., Patil, U., Gedam, S., (2013). Effect of Distraction Technique during Immunization to Reduce Behaviour Response Score (FLACC) to Pain in Toddler. J. Nepal Paediatr. Soc. Vol 33/ Issue 1. Gibney, Michael J dk (2008). Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGCHidayat, A. Aziz Alimul (2011). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika.Hidayat, A. A. A (2012). Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisa Data. Jakarta: Salemba Medika.Ismanto, Amatus Yudi. 2010. Studi Komparatif Pemberian ASI dan Topikan Ansetesi terhadap Respon Nyeri Bayi diimunisasi di Puskesmas Bahu Manado. Thesis: Universitas Indoneisa

Jadwal Imunisasi IDAI 2014, idai.or.id diunduh tanggal 21 Januari 2014, 9.32Kusumah, Indra (2007). Diet Ala Rasulullah. Jakarta: Quatum MediaLisnawati, Lilis ( 2011). Generasi Sehat melalui Imunisasi. Jakarta: TIMMaryunani, Anik (2010). Ilmu Kesehatan Anak dalam Kebidanan. Jakarta:TIM. Meadow, Sir Roy & Newell (2005). Lecture Notes:Pediatrika. Jakarta: ErlanggaMutaqqin, Arif (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.Mutiah, Diana.2010. Psikologi Bermain Anak Usia Dini.Jakarta: Kencana.

Nanny Lia Dewi, Vivian (2011). Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta: Salemba Merdika.Noor, Juliansyah.(2011). Metodologi Penelitian. Jakarta: Kencana Notoadmodjo, Soekidjo (2010). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

Notoadmodjo, Soekidjo (2012). Metodologi penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nurhayati, Evi (2013). Pengaruh Metode Baby Led Weaning terhadap Kemampuan Oral Motorik pada Bayi Berusia 6-12 Bulan di Desa Sidorejo UPTD Puskesmas Way Hitam Potter, P. A. & Perry, A. G. (2006). Fundamental of Nursing (6 Ed.). St. Louis: Mosby Elsevier. Purwanti, Hubertin Sri (2004). Konsep Penerapan ASI eksklusif. Jakarta: EGCPutra, I.B. Putu Sancitha Guptayan (2014). Pengaruh Family Triple Support (FTS) Berbasis Atraumatic Care terhadap Respon Nyeri Bayi saat Imunisasi Di Puskesmas I Denpasar Barat 2014). Prodi IK. UN UndayanaRahayuningsih, Sri Intan (2009). Efek Pemberian ASI terhadap Tingkat Nyeri dan Lama Tangisan Bayi saat Penyuntikan Imunisasi di Kota Depok Tahun 2009. Magister IKA. PASCA SARJANARiksoni, Ria (2010). Keajaiban ASI. Jakarta: Dunia Sehat. Santy, Wesiana Haris (2011). Pengaruh Pemberian Kombinasi Asi Dan Effleurage Kaki Terhadap Respon Nyeri Pada Bayi Yang Dilakukan Imunisasi Di Sidoarjo 2011 Sarimin, Dorce Sisfiani. (2012). Efektivitas Paket Dukungan Keluarga (Pdk) Terhadap Respon Perilaku Nyeri Bayi Yang Dilakukan Prosedur Imunisasi Di Rsup Prof. Dr. R.D. Kandou Manado Setiadi, 2013. Konsep dan Praktik Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta:Graha Ilmu

Smeltzer,Suzanne C & Bare, Brenda G; alih bahasa, Agung Waluyo ...et al; editor bahasa Indonesia, Monica Ester, Ellen Panggabean (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Jakarta: EGCSupartini, Yupi (2004). Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGCSuryabrata, Sumadi. 2013. Metodologi Penelitian. Jakarta: Salemba Medika.

Soemardini, Tony Suharsono, Siti Munawaroh (2013). Pengaruh Distraksi Boneka Tangan terhadap Skor Nyeri pada Bayi Usia 9 Bulan yang Diberi Imunisasi Campak.Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta :EGC

Suriadi & Yuliani, Rita. 2006. Asuhan Keperawatan pada Anak Edisi 2. Jakarta: CV. Sagung Seto

Sutresna, Nana (2007: 289). Cerdas Kimia. Jakarta: Grafindo Media Pratama.

Gerges, Sandra; Hogan, Mary-Ellen, Pharm D; Girgis, Angela; Dubey, Vinita, MD, MPH; Taddio, Anna, BScPhm, MSc, PhD, 2011:75).Syarianti, Yosyi Eka (2013). Perbndingan Skala Nyeri pada pemberian Sukrosa Oral 40 % dengan EMLA 5 % terhadap Anak Prasekolah pada Pemasangan Infus di Zaal Anak RSUD LahatTaddio,Anna dkk.(2010).Reducing the pain of childhood vaccination: an evidence-based clinical practice guidline.Pediatric.182 (18):1989-1995Tamsuri, A. (2012). Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta : EGC.Wong, et al (2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC

Polio (Maryunani, 2010; Dewi, 2011)

Imunisasi pada bayi (Lisnawati, 2011; Hidayat, 2008)

tetes

vaksin BCG, hepatitis B, DPT, dan campak (Hidayat, 2008; Dewi, 2011; Maryunani, 2010)

injeksi

Faktor yang mempengaruhi nyeri bayi:

Jenis imunisisas

Umur

Lokasi penyuntikkan((Prasetyo, 2010 dikutip Ismanto, 2011)

Bayi merasa nyaman, ibu tidak ragu mengimunisasi dasar lengkap bayinya

nyeri berkurang

Dampak nyeri

nyeri (Brunner & Sudarth, 2001; Muttaqin, 2008)

Dampak pada bayi:

Jangka pendek

perdarahan perventrikuler, peningkatan pelepasan kimia dan hormonal.( Brunner & Sudarth, 2001)

Jangka pendek

peningkatan respon fisiologis dan tingkah laku (tauma dimasa yang akan datang) (Hockenberry &Wilson, 2009 dalam Renovaldi dkk, 2014)

Farmakologi:

Contoh: EMLA, ,liposomal, lidokain

Non farmakologi:

Mengatur posisi (Putra,2014), kompres dingin, kompres hangat menghisap non nutritif, kontak kulit, effluarage, distraksi, pemberian sukrosa, glukosa (Dewi et al, 2013)dan menyusui (Astuti, 2011)

Penatalaksanaan nyeri (Muttaqin, 2008)

Dampak pada ibu:

Takut mengimunisasi bayinya (Cahyono, 2010)

Sumber : Hidayat, 2008; Dewi, 2011; Maryunani, 2010; Lisnawati, 2011; Prasetyo, 2010 dikutip Ismanto, 2011; Brunner & Sudarth, 2001; Hockenberry &Wilson, 2009 dalam Renovaldi dkk, 2014; Cahyono, 2010; Muttaqin, 2008; Nelson, 1999; Putra, 2014; Astuti, 2011

Kelompok Intervensi I:

Kelompok bayi yang diberikan ASI

Nyeri Bayi yang diimunisasi

Kelompok Intervensi II

Kelompok bayi yang diberikan distraksi mainan bersuara

Variabel Confounding

Umur

Lokasi penyuntikkan

Jenis imunisasi