fix makalah seminar dermatitis aktopik

Upload: iga-amanda

Post on 31-Oct-2015

84 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAYI YANG TERLAMBAT DIIMUNISASI

BAYI YANG TERLAMBAT DIIMUNISASI

MO AI

KELOMPOK VII

0302008003 ADELINA DWI PUTRI

0302008231 STEFANRY

0302009081 EVA NATALIA BR MANULANG

0302009206 RIKA SUSANTI

0302010009ADRIAN PRADIPTA SETIAWAN

0302010024 AMANDA FITRIADHIANTI K

0302010040 ARIYANTI PUTRI

0302010052 BELLYN KELVINA O

0302010067 CLAVI HANUM P D

0302010081 DIANI ADITA

0302010095 EVY LIESNIAWATI

0302010106 FERRY C WIRAWAN

0302010121 HANS FILBERT HIDAJAT

0302009228SEKAR DIANCA OETAMA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTIJakarta, Oktober 2011BAB I

PENDAHULUAN

Imunisasi atau vaksinasi adalah prosedur untuk meningkatkan derajat imunitas dan memberikan imunitas protektif dengan menginduksi respon memori terhadap pathogen tertentu atau toksin dengan menggunakan preparat antigen nonvirulen atau nontoksik. Imunitas perlu dikembangkan untuk jenis antibodi atau sel efektor imun yang benar. Antibodi yang diproduksi oleh imunisasi harus efektif, terutama terhadap mikroba ekstraselular dan produknya (toksin). Antibodi mencegah adherens mikroba masuk ke dalam sel untuk menginfeksinya, atau efek yang merusak sel dengan menetralkan toksin (difteri dan klostridium). Ig A berperan pada permukaan mukosa, berikatan dengan virus atau bakteri yang menempel pada mukosa. Mengingat respon imun yang kuat baru timbul beberapa minggu, imunisasi aktif biasanya diberikan jauh sebelum pajanan dengan patogen.

BAB II

KASUS

Seorang bayi perempuan, 5 bulan, datang untuk mendapatkan vaksinasi yang pertama kali. Ibunya belum membawa bayinya untuk imunisasi selama ini karena khawatir efek samping vaksinasi. Bayinya menderita eczema di kedua pipinya.

Keterlambatan vaksinasi pada si bayi karena ia menderita eczema di kedua pipinya, sehingga ibunya khawatir. Kakak si bayi menderita asma bronkiale, sedangkan ibunya menderita rhinitis alergika.BAB III

PEMBAHASAN KASUS

I. IDENTITAS PASIENNama

: -Umur

: 5 bulan

Jenis kelamin: perempuanII. ANAMNESIS Keluhan utama

: terlambat imunisasi Keluhan tambahan

: eczema di kedua pipi

Riwayat Penyakit Keluarga: - Ibunya menderita rhinitis alergika - Kakaknya menderita asma bronkiale ( pasien memiliki riwayat atopi dalam keluarga. Riwayat Imunisasi

: belum pernah di imunisasi

( seharusnya pasien sudah mendapatkan 1x BCG,

2x hepatitis B, 3x polio, 2x DPT.III. PEMERIKSAAN FISIKStatus Generalis 1. Tanda vital

a. Nadi

: -

b. Tekanan darah

: -

c. Pernapasan

: -

d. Suhu

: -

e. TB/BB

: -/-2. Kulit

: -3. Kepala dan Lehera. Mata

: -

b. Hidung

: -

c. Pharynx

: -

d. Wajah

: Eczema di kedua pipie. Leher

: -4. Thorax

: -

5. Abdomen

: -

6. Urogenital

: -

7. Genitalia eksterna: -8. Anus dan rectum

: -9. Ekstremitas

: -IV. DIAGNOSIS

Berdasarkan kasus diatas, dapat dibuat diagnosis bahwa bayi tersebut menderita dermatitis atopik. Diagnosis ini juga dapat kami tegakkan berdasarkan kriteria yang dibuat oleh kelompok kerja Inggris (UK working party) yang dikoordinasi oleh William yaitu :

Mempunyai kondisi kulit gatal (itchy skin) atau dari laporan orang tuanya bahwa anaknya suka menggaruk atau menggosok. Ditambah 4 dari 5 kriteria berikut:I. Riwayat terkenanya lipatan kulit, misalnya lipat siku, belakang lutut, bagian depan pergelangan kaki atau sekeliling leher (termasuk pipi anak usia dibawah 10 tahun).

II. Riwayat asma bronkial atau hay fever pada penderita (atau riwayat penyakit atopi pada keluarga tingkat pertama dari anak dibawah 4 tahun).

III. Riwayat kulit kering secara umum pada tahun terakhir.

IV. Adanya dermatitis yang tampak di lipatan (atau dermatitis pada pipi/dahi dan anggota badan bagian luar anak dibawah 4 tahun).

V. Awitan dibawah usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak dibawah 4 tahun).VI. PATOFISIOLOGIPada dermatitis kontak iritan kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi maupun fisik. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, dalam beberapa menit atau beberapa jam bahan-bahan iritan tersebut akan berdifusi melalui membran untuk merusak lisosom, mitokondria dan komponen-komponen inti sel. Dengan rusaknya membran lipid keratinosit maka fosfolipase akan diaktifkan dan membebaskan asam arakidonik akan membebaskan prostaglandin dan leukotrin yang akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah dan transudasi dari faktor sirkulasi dari komplemen dan sistem kinin. Juga akan menarik neutrofil dan limfosit serta mengaktifkan sel mast yang akan membebaskan histamin, prostaglandin dan leukotrin. PAF akan mengaktivasi platelets yang akan menyebabkan perubahan vaskuler. Diacil gliserida akan merangsang ekspresi gen dan sintesis protein. Pada dermatitis kontak iritan terjadi kerusakan keratinosit dan keluarnya mediator- mediator. Sehingga perbedaan mekanismenya dengan dermatis kontak alergik sangat tipis yaitu dermatitis. Kontak iritan tidak melalui fase sensitisasi.Ada dua jenis bahan iritan yaitu : iritan kuat dan iritan lemah. Iritan kuat akan menimbulkan kelainan kulit pada pajanan pertama pada hampir semua orang, sedang iritan lemah hanya pada mereka yang paling rawan atau mengalami kontak berulang-ulang. Faktor kontribusi, misalnya kelembaban udara, tekanan, gesekan dan oklusi, mempunyai andil pada terjadinya kerusakan tersebut.

Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi adalah mengikuti respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immune respons) atau reaksi tipe IV. Reaksi hipersensitivitas di kulit timbulnya lambat (delayed hypersensitivit), umumnya dalam waktu 24 jam setelah terpajan dengan alergen.

Sebelum seorang pertama kali menderita dermatitis kontak alergik, terlebih dahulu mendapatkan perubahan spesifik reaktivitas pada kulitnya. Perubahan ini terjadi karena adanya kontak dengan bahan kimia sederhana yang disebut hapten yang akan terikat dengan protein, membentuk antigen lengkap. Antigen ini ditangkap dan diproses leh makrofag dan sel Langerhans, selanjutnya dipresentasikan ke sel T. Setelah kontak dengan yang telah diproses ini, sel T menuju ke kelenjar getah bening regional untuk berdeferensiasi dan berproliferasi membentuk sel T efektor yang tersensitisasi secara spesifik dan sel memori. Sel-sel ini kemudian tersebar melalui sirkulasi ke seluruh tubuh, juga sistem limfoid, sehingga menyebabkan keadaan sensitivitas yang sama di seluruh kulit tubuh. Fase saat kontak pertama alergen sampai kulit menjadi sensitif disebut fase induksi atau fase sensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3 minggu. Pada umumnya reaksi sensitisasi ini dipengaruhi oleh derajat kepekaan individu, sifat sensitisasi alergen (sensitizer), jumlah alergen, dan konsentrasi. Sensitizer kuat mempunyai fase yang lebih pendek, sebaliknya sensitizer lembah seperti bahan-bahan yang dijumpai pada kehidupan sehari-hari pada umumnya kelainan kulit pertama muncul setelah lama kontak dengan bahan tersebut, bisa bulanan atau tahunan. Sedangkan periode saat terjadinya pajanan ulang dengan alergen yang sama atau serupa sampai timbulnya gejala klinis disebut fase elisitasi, umumnya berlangsung antara 24-48 jam.

VII. DIAGNOSIS BANDING1. Dermatitis Kontak Alergi (DKA )

Dermatitis Kontak Alergi adalah peradangan pada kulit karena tersensitisasi terhadap alergen. Penderita pada umumnya mengeluhkan adanya kegatalan. Kelainan kulit bergantung pada keparahan peradangannya dan lokalisasinya. Pada stadium akut, dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan ekusdasi (basah). Pada stadium kronis, terlihat kulit kering, berskuama papul dan likenifikasi dan batas nya tidak jelas.DKA dimasukkan ke dalam diagnosis banding karena gejala pada Dermatitis Atopi hampir menyerupai DKA seperti, gatal, eritematosa, papul, likenifikasi dan skuama. Penyebab dari DKA juga sama dengan dermatitis atopi yaitu hipersensitivitas terhadap alergen, akibat kontak dengan bahan yang bersifat alergen dari faktor eksogen, contohnya : Bahan kimia (deterjen, asam, basa, oli, semen), Fisik (sinar, suhu), Mikroorganisme (bakteri, jamur) atau karena faktor genetik. sehingga menyebabkan reaksi imunologik pada penderita. Pada DKA si penderita tidak punya riwayat atopi pada keluarga dan penderita ,sedangkan pada dermatitis atopi mempunyai riwayat atopi pada keluarga atau penderita dan berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum.2. Dermatitis Numularis

Dermatitis berupa lesi berbentuk mata uang atau agak lonjong, berbatas tegas dengan efloresensi berupa papulavesikel, biasanya mudah pecah sehingga membasah. Gejala pada dermatitis Numularis adalah sangat gatal Vesikel/papulovesikel yg membesar, berkonfluensi membentuk uang logam, eritematosa, sedikit edematosa, batas tegas apabila pecah terjadi eksudasi, krusta kuning. Predileksinya di tungkai bawah, badan, lengan, dorsum manus

Dan cenderung residif. Gejala pada dermatitis numularis hampir sama dengan dermatitis atopi tetapi lesi pada dermatitis atopi tidak lonjong dan berbatas tegas.

3. PsoriasisDitandai dengan adanya eritema dan skuama. Penyebabnya adalah autoimun,bersifat kronik residif,ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan, disertai fenomena tetesan Lilin,Auspitz,dan Kobner. Pada dermatitis Atopi tidak disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz dan Kobner. Fenomena tetesan lilin (Skuama berubah warnanya menjadi putih pada goresan seperti lilin yang digores,yang disebabkan oleh berubahnya indeks bias. Cara menggoresnya dengan pinggiran gelas alas), Fenomena Auspitz (Skuama yang berlapis dikerok dengan pinggiran gelas alas,akan tampak serum atau darah yang berbintik-bintik).

VIII. PENATALAKSANAAN

Tujuan Tatalaksana:

1. Mengurangi gatal

2. Untuk mengurangi kekambuhan dari faktor pencetus.

Non Medikamentosa

1. Perawatan kulit seperti:

Mandi teratur tapi jangan menggunakan air panas.

Jangan menggunakan sabun antiseptik

Menggunakan emolin atau pelembab

Hindari pajanan panas

Kebersihan daerah genitalia: popok segera diganti bila basah atau kotor

Usahakan tidak memakai pakaian yang bersifat iritan (wol atau sintetik), bahan katun lebih baik

2. Menghindari / sedikitnya mengurangi faktor penyebab misalnya: eliminasi makanan,faktor inhalan.

3. Dianjurkan agar bayi dengan riwayat keluarga alergi memperoleh hanya ASI sedikitnya 3 bulan , bila mungkin 6 bulan pertama dan ibu yang menyusui dianjurkan untuk tidak makan makanan yang membuat alergi.

4. Edukasi kepada ibunya:

- Kukunya jangan panjang

- Kompres basah Medikamentosa:

1. Kortikosteroid topikalSebagai anti infalamasi lesi kulit. Pada bayi digunakan salep steroid berpotensi rendah, misalnya hidrokortison 1%-2,5%.

2. Anti histamin oral

Digunakan untuk mengurangi rasa gatal.

BAB IVTINJAUAN PUSTAKAA. Jenis-jenis vaksin

Live attenuated vaccine atau vaksin hidup yang dilemahkan, mengandung mikroorganisme hidup yang dikembangbiakkan setelah sifat virulensinya dihilangkan. Mikroorganisme tersebut masih memiliki kemampuan untuk melakukan replikasi di tempat infeksi dan hidup intrasel sehingga peptidanya memiliki akses kepada mekanisme presentasi antigen melalui MHC 1 dan merangsang CTL. Vaksin ini mencetuskan danger signal terus menerus selama hidupnya dan mampu membuat respons imun sesuai dengan proteksi yang dibutuhkan. Respon imun yang ditimbulkan oleh vaksin hidup ini mirip dengan respons imun alami.

Vaksin inactivated mengandung mikroorganisme yang tidak hidup serta tidak dapat bereplikasi dalam tubuh. Vaksin ini dapat mengandung seluruh tubuh virus atau bakteri, atau komponen (fraksi) dari kedua organisme tersebut. Vaksin komponen dapat berbasis protein atau berbasis polisakarida. Vaksin yang berbasis protein termasuk toksoid (toksin bakteri yang inactivated) dan produk subunit atau subvision. Selain itu, ada juga vaksin berbasis polisakarida yang terdiri atas dinding sel polisakarida asli bakteri. Vaksin penggabungan (conjugate vaccine) polisakarida adalah polisakarida yang secara kimiawi dihubungkan dengan protein yang akan membuat polisakarida tersebut menjadi lebih poten.Vaksin inactivated selalu membutuhkan dosis multiple karena pada umumnya dosis pertama tidak menghasilkan imunitas protektif, tetapi hanya memacu atau menyiapkan sistem imun. Respons imun protektif baru timbul setelah dosis kedua atau ketiga. Respons imun terhadap vaksin ini sebagian besar merupakan respons imun humoral, sedangkan hanya sedikit bahkan tidak ada yang menimbulkan respons selular. Titer antibodi terhadap antigen inactivated menurun setelah beberapa waktu sehingga vaksin ini membutuhkan dosis suplemen (tambahan) secara periodik.

Dead vaccine adalah vaksin yang berasal dari mikroorganisme (virus atau bakteri) yang telah dimatikan baik dengan menggunakan zat-zat kimia atau dengan suhu yang tinggi. Vaksin tersebut memproduksi danger signal yang lemah.

Purified antigens/ subunit vaccine hanya mengandung sejumlah fragmen dari mikroorganisme. Fragmen ini sudah cukup untuk memberikan respon imun. Vaksin jenis ini tidak membuat danger signal sehingga memerlukan adjuvants untuk memperoleh T cells mediated response, dengan cara menimbulkan depot effect sehingga muncul respons imun alamiah dan meningkatkan ekspresi kostimulator dan produksi sitokin. Vaksin yang digunakan untuk bakteri yaitu:

Live attenuated vaccine, contohnya BCG dan vaksin demam tifoid oral.

Inactivated vaccine, contohnya pertussis, tifoid, kolera, lepra.

Toksoid, contohnya difteri, tetanus, botulinum.

Polisakarida, contohnya pneumokokus, meningokokus, dan Haemophilus influenza tipe B.

Vaksin yang digunakan untuk virus yaitu:

Live attenuated vaccine, contohnya campak, gondongan (parotitis), rubella, polio, rotavirus dan demam kuning (yellow fever)

Inactivated vaccine, contohnya influenza, polio (injeksi), rabies, hepatitis A.

Subunit, contohnya hepatitis B, influenza, pertussis a-seluler, tifoidVi, lymedisease.

B. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan vaksin

Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologi. Pada neonatus, fungsi makrofag, komplemen, imunitas seluler dan humoral belum seperti orang dewasa. Fungsi makrofag masih kurang, terutama peranannya sebagi APC, karena ekspresi HLA dipermukaan masih sedikit. Begitu juga halnya dengan deformabilitas membran, serta respons kemotaktik masih kurang. Kadar komponen, aktivitas opsonin, aktivitas kemotaktik, serta daya lisisnya masih rendah. Fungsi sel T supresor lebih menonjol karena sisa sisa peranan toleransi pada masa intrauterine. Pembentukan antibodi spesifik terhadap antigen tertentu masih kurang. Oleh karena sebab sebab yang telah dijelaskan diatas, pada umumnya vaksinasi dimulai pada usia 2 bulan. Bila vaksinasi diberikan sebelum usia 2 bulan, akan diberikan imunisasi ulangan. Vaksinasi sebelum usia 2 bulan umumnya diberikan untuk mencegah hepatitis B dan TBC setelah tes HbsAg.

Vaksinasi hepatitis B diberikan 12 jam setelah lahir, karena dianggap sebagai upaya pencegahan yang sangat efektif untuk memutuskan rantai penularan melalui transmisi maternal dari ibu kepada bayinya. Bila status HbsAg dari si ibu (+), maka diberikan secara bersamaan imunisasi pasif hepatitis B-immune globulin.

Vaksinasi BCG diberikan pada usia lebih dari 3 bulan dan sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Guna dari diberikannya vaksin ini adalah untuk mencegah komplikasi dari TBC. Selain vaksin BCG masih ada juga vaksin Polio-0 yang diberikan sesaat setelah bayi lahir. Vaksinasi ini sebaiknya dilakukan karena Indonesia memiliki transmisi virus polio liar dari daerah endemik polio. Pemberian vaksin polio diberikan dengan cara diteteskan yang dilakukan sesaat sebelum bayi meninggalkan rumah sakit, karena OPV (Oral Polio Vaccine) berisi polio hidup dan dapat dieksresi melalui tinja. Karena penularan dari polio adalah oro-faecal, hal ini dilakukan untuk mencegah penularannya.

Beberapa vaksin lain seperti DTwP atau DTaP diberikan 3 kali sejak usia 2 bulan dan tidak boleh diberikan sebelum usia 6 minggu karena mengandung tetanus toksoid yang dapat menimbulkan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI).

Vaksin Pertusis aseluler (aP) dianggap menimbulkan kejadian reaksi KIPI lebih rendah dibandingkan vaksin pertusis whole-cell (wP). Vaksin DT diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap vaksin pertusis, seperti riwayat anafilaksis atau ensefalopati pada pemberian sebelumnya. Perlu perhatian khusus juga bila pada pemberian DTP sebelumnya ada riwayat hiperpireksiam hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam, anak menangis terus-menerus selama 3 jam atau lebih dan riwayat kejang dalam 3 hari sesudah pemberian DTP.

C. Vaksin PolisakaridaVaksin polisakarida ini bekerja dengan cara merangsang antibodi, terutama melalui mekanisme sel T independen. Vaksin polisakarida tidak bertahan lama dan tidak dapat merangsang memori respon imun. Sedangkan respon imun anak dan bayi melalui mekanisme respon imun sel T dependen sehingga respon imun pada anak-anak tidak konsisten, terutama pada anak