makalah dermatitis
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit dermatitis atau yang lebih dikenal secara luas adalah penyakit eksim,
menjadi salah satu kasus penyakit kulit terbanyak di Indonesia.
Penyakit eksim terjadi karena gejala reaksi peradangan kulit terhadap berbagai faktor,
yang ditandai dengan berbagai macam bentuk kelainan pada kulit, seperti contohnya pruritus
menjadi keluhan tersering pasien. Sedangkan pada penemuan objektif dapat berupa eritema,
edema, papul, vesikel, skuama dan likenifikasi. Penyakit eksim ini apabila tidak diobati akan
mengakibatkan peningkatan derajat keparahan gejala klinis pada kulit yang dapat berujung
pada kejadian terinfeksi.
Dermatitis dipengaruhi oleh beberapa faktor. Gaya hidup masyarakat Indonesia turut
berperan penting menjadi salah satu faktor pemicu timbulnya penyakit ini. Faktor luar yang
menjadi pemicu utama adalah alam tropis Indonesia yang sangat panas dan lembab, sehingga
badan kita sering mengeluarkan keringat. Kegemukan, stress, penyakit menahun seperti
Diabetes Mellitus serta status social ekonomi yang rendah juga dapat menjadi pemicu.
Dermatitis dilaporkan sering terjadi berkaitan dengan pekerjaan dan lingkungan kerja
seseorang. Pekerja terpapar bahan-bahan kimia beberapa jam setiap hari dan terus-menerus
dalam jangka waktu yang lama. Bahan-bahan yang bersifat iritan potensi tinggi dapat
menyebabkan dermatitis akut, sedangkan iritan potensi rendah mungkin menyebabkan
dermatitis kronis.
Berikut ini akan dibahas sebuah kasus dengan hipotesa dermatitis kontak iritan dan
dermatitis kontak alergika secara lengkap dengan menyertakan mulai dari terminologi hingga
prognosis kasus.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
KASUS I
TEMA: ADUH…GATALNYA TANGANKU!
Seorang mahasiswa laki-laki berusia 18 tahun mengeluh gatal di bagian telapak tangan dan
sela jari sejak satu bulan yang lalu. Sejak tiga bulan yang lalu dia tinggal di rumah kontrakan
dan harus melakukan seluruh pekerjaan rumah sendiri termasuk mencuci. Ia menggunakan
deterjen untuk mencuci pakaian dan sabun colek untuk mencuci piring. Kulit di daerah
telapak tangan dan sela jari tampak menebal, kasar, bersisik, dan mengelupas, serta terdapat
beberapa luka lecet akibat garukan. Ia pergi poliklinik mahasiswa untuk berobat. Pada
pemeriksaan di tempat yang gatal terlihat plak eritematosa dengan ukuran plakat berbatas
tidak tegas, di atasnya tampak skuama kasar berwarna putih. Tampak pula erosi dan
ekskoriasi yang sebagian tertutup krusta kehitaman.
2
BAB III
PENGETAHUAN DASAR
A. Anatomi dan Fisiologi Kulit Normal
1. Epidermis Tersusun atas epitel berlapis gepeng dengan lapisan tanduk yang berasal dari ektoderm. Epidermis kulit terbagi menjadi lima lapisan yang merupakan sel keratinosit yaitu stratum korneum, stratum lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale.
a. Stratum korneum Terletak paling di permukaan terdiri atas sel-sel mati. Terdiri atas sel epitel gepeng tidak berinti. Sitoplasma sel digantikan oleh keratin yang berkadar sulfur rendah.
b. Stratum Lusidum Terletak diantara stratum korneum dan stratum granulosum, memiliki ketebalan 3-5 lapis sel epitel gepeng. Sel-selnya tidak berinti lagi, menyatu dan homogeny. Pada stratum ini terdapat tonofibril (filament keratin tersusun padat) dan mengandung eleidin yaitu produk perubahan dari keratohialin.
c. Startum granulosum Lapisan ini memiliki ketebalan 3-5 lapis sel-sel gepeng. Dalam sitoplasmanya terdapat granula keratohialin (yang mengandung asam amino sistein) dan keratinosom (menghasilkan glikofosfolipid yang hidrofobik).
d. Stratum spinosumTerdiri atas 4-6 lapisan sel dengan desmosom yang banyak serta tautan antar sel melalui tenofibril. Jembatan sel yang terdapat di lapisan ini tahan terhadap abrasi dan mempertahankan perlekatan antara keratinosit. Diantara sel-sel spinosum terdapat sel langerhans.
e. Stratum basaleLapisan ini terdiri dari epitel selapis kubis atau silindris, setiap selnya memiliki tonjolan sitoplasma pada permukaan basalnya. Gambaran mitosis tampak dalam startum basale. Sel-sel basal ini bagian lateral berlekatan satu sama lain melalui desmosom dan melekat ke lamina basal melalui hemidesmosom. Pada lapisan ini terdapat sel pembentuk melanin (melanosit) yang berwarna muda, sitoplasmanya basofilik dan intinya gelap serta mengandung melanosom. Startum basale dan starum spinosum sering disebut stratum Malpighi.
3
2. Dermis
Dermis kulit berasal dari mesoderm. Dermis terdiri atas jaringan ikat padat kolagen tidak beraturan kebanyakan mengandung kolagen tipe I dan serat elastin yang melekatkan kulit dengan jaringan dibawahnya hypodermis. Dermis terbagi menjadi dua yaitu stratum papilare dan startum retikulare.
a. Stratum papilare Dalam lapisan ini terdapat fiboblas, serat kolagen tipe III, dan serat elastin serta banyak kapiler darah.
b. Stratum retikulerLapisan ini lebih tebal tersusun dari serat kolagen tipe II yang lebih kasar dan serat elastin. Saluran keluar kelejar sudorifera ditemukan pada lapisan ini. Serat kolagen dan elastin pada lapisan ini memberikan kekuatan mekanis dari kulit.
3. Hipodermis (Subkutan)
Tersusun dari jaringan ikat jarang berisi sel-sel lemak didalamnya, terdapat berkas serat kolagen. Jika sel-sel lemak terkumpul banyak dalam jaringan subkutan maka disebut panniculus adiposus berfungsi sebagai cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan kelenjar getah bening.
B. Fisiologi Kulit
4
1. Fungsi Proteksi
Menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisis/mekanis misalnya: tekanan,
gesekan, tarikan. Karena adanya bantalan lemak, tebalnya lapisan kulit dan serabut-
serabut jaringan penunjang berperan sebagai pelindung terhadap gangguan fisis.
Gangguan yang bersifat panas misalnya: radiasi, sengatan sinar UV. Kulit
mengandung melanosit yang melindungi dari sinar matahari dengan cara
tanning/membuat kulit menjadi lebih gelap. Gangguan kimiawi misalnya: zat kimia
bersifat iritan. Proteksi terhadap rangsangan kimia dilakukan oleh stratum korneum
dilapisan epidermis yang bersifat impermeable terhadap berbagai zat kimia dan air.
Gangguan infeksi luar seperti bakteri atau jamur. lapisan keasaman kulit yang berasal
dari hasil eksresi keringat dan sebum menyebabkan pH kulit sekitar pH 5 – 6,5 hingga
melindungi kulit terhadap infeksi bakteri maupun jamur. Proses keratinisasi juga
berperan sebagai barrier mekanisme karena sel-sel mati melepaskan diri secara
teratur.
2. Fungsi Absorpsi
Permeabilitas kulit terhadap O2, CO2 dan uap air memungkinkan kulit mengambil
bagian pada fungsi respirasi. Kemampuan absorpsi dipengaruhi oleh tebal/tipisnya
kulit, hidrasi, kelembaban, metabolism dan jenis vehikulum. Penyerapan lebih banyak
melalui sel-sel epidermis daripada melalui muara kelenjar.
3. Fungsi Ekskresi
Kelenjar-kelenjar yang ada di kulit bertugas untuk mengeluarkan zat-zat sisa
metabolism yang berupa NaCl, urea, asam urat, ammonia dan lain-lain dengan
memproduksi keringat. Sebum yang diproduksi melindungi kulit dengan meminyaki
kulit dan menahan evaporasi air yang berlebihan sehingga kulit tidak menjadi kering.
4. Fungsi Persepsi/Sensorik
Mengandung ujung-ujung saraf sensorik di lapisan dermis dan subkutis. Terhadap
panas diperankan badan-badan Ruffini. Terhadap dingin diperankan badan-badan
Krause. Terhadap rabaan diperankan badan Meissner. Terhadap tekanan diperankan
badan Paccini.
5. Fungsi Termoregulasi
Dengan cara mengeluarkan keringat dan vasodilatasi/vasokonstriksi pembuluh darah
kulit.
6. Fungsi Pembentukan Pigmen
5
Melanosit menentukan warna kulit ras maupun individu. Pajanan matahari
mempengaruhi produksi melanosom.
7. Fungsi Keratinisasi
Sebagai perlindungan kulit terhadap infeksi secara mekanis fisiologik. Fungsi ini
dilakukan oleh keratinosit.
8. Fungsi Pembentukan Vitamin D
Dengan bantuan matahari yang mengubah pro vitamin D di kulit menjadi vitamin D
yang aktif.
C. Dermatitis
1. Definisi
Dermatitis adalah peradangan kulit baik epidermis maupun dermis sebagai respon
terhadap pengaruh faktor endogen dan atau faktor eksogen, menimbulkan kelainan klinis
berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan
gatal. Dermatitis cenderung memiliki perjalanan yang lama atau kronis dan resitif atau
berulang.
2. Etiologi
Penyebab dermatitis dapat berasal dari luar (eksogen), seperti misalnya bahan kimia,
fisik (sinar), mikroorganisme (bakteri, jamur), ataupun dari dalam (endogen), misalnya
dermatitis atopic. Sebagian lain tidak diketahui secara pasti etiologi akan tetapi pruritus
memegang salah satu peranan penting.
3. Gejala klinis
Pada umumnya penderita dermatitis mengeluh gatal, sedangkan kelainan kulit
bergantung pada stadium penyakit, batas dapat tegas atau tidak tegas, penyebaran dapat
setempat, generalisata, bahkan universal.
Berikut adalah berbagai bentuk kelainan kulit atau efloresensi berdasarkan stadium:
6
a. Stadium akut; eritema, edema, vesikel atau bula, erosi atau eksudasi, sehingga
tampak basah (madidans)
b. Stadium subakut; eritema berkurang, eksudasi mengering menjadi krusta.
c. Stadium kronik; tampak lesi kering, skuama, hiperpigmentasi, likenifikasi, papul,
dapat pula terdapat erosi atau ekskoriasi akibat garukan berulang.
Gambaran klinis tidaklah harus sesuai stadium, karena suatu penyakit dermatitis muncul
dengan gejala stadium kronis. Begitu pula dengan efloresensi tidak harus polimorfik,
karena dapat muncul oligomorfik (beberapa) saja. Keluhan penyakit dermatitis
merupakan hal yang sering terjadi, karena penyakit ini dapat menyerang pada orang
dengan rentang usia yang bervariasi, mulai dari bayi hingga dewasa serta tidak terkait
dengan faktor jenis kelamin.
4. Histologi
Perubahan histologi terjadi berdasarkan stadiumnya:
a. Stadium akut; kelainan di epidermis berupa vesikel atau bula, spongiosis,
edema intrasel, dan eksositosis, terutama sel mononuclear. Dermis sembab,
pembuluh darah melebar, ditemukan sebukan terutama sel mononuclear,
eosinofil kadang ditemukan, tergantung penyebab dermatitis.
b. Stadium subakut; ampir seperti stadium akut akan tetapi jumlah vesikel
berkurang di epidermis, spongiosis masih jelas, epidermis tertutup krusta, dan
parakeratosis, edema di dermis berkurang, vasodilatasi masih tampak jelas,
demikian pula sebukkan sel radang.
c. Stadium kronik; epidermis hyperkeratosis, parakeratosis, akantosis, rete ridges
memanjang, kadang ditemukan spongiosis ringan, vesikel tidak ada lagi,
dinding pembuluh darah menebal, terdapat sebukan sel radang mononuclear di
dermis bagian atas, jumlah fibroblast dan kolagen bertambah.
7
5. Klasifikasi
a. Eksogen: Dermatitis Kontak: Jenis eksim ini disebabkan karena faktor di luar
tubuh penderita, seperti terpapar bahan kimia, iritasi karena sabun, kosmetik,
parfum dan logam. Dermatitis kontak adalah jenis eksim yang paling banyak
diderita manusia, diperkirakan 70% penyakit eksim merupakan jenis ini.
Secara klinis jenis eksim ini memiliki gejala terasa panas, kemudian muncul
benjolan, dan disertai adanya cairan. Bagian kulit yang terserang jenis eksim
ini memiliki batas tepi yang jelas, sehingga yang mengalami gejala tersebut
hanya pada bagian yang terserang. Tetapi jenis eksim ini dapat menjadi kronis
yang ditandai dengan kulit semakin mengering, pigmentasi, terjadi penebalan
kulit sehingga tampak garis-garis pada permukaan kulit dan kemudian terjadi
retak-retak seperti teriris pada kulit.
b. Endogen:
1) Dermatitis atopik; jenis eksim yang memiliki ciri khas yang berbeda
dengan jenis eksim dermatitis kontak yaitu adanya rasa gatal, memiliki
bentuk yang khas terrutama pada kulit wajah dan lipatan-lipatan tubuh,
serta adanya riwayat atopik yaitu alergi atau asma. Jenis eksim ini
banyak menyerang anak-anak dan bayi, dan biasanya merupakan
penyakit eksim kambuhan.
2) Dermatitis numularis; Jenis eksim ini pada umunya berhubungan
dengan kulit kering dan sering menyerang pada orang yang berusia
lanjut. Gejala penyakit eksim jenis ini berupa kulit mengering, merah,
gatal, dan muncul dalam bentuk bulatan-bulatan pipih seperti koin
logam, biasanya terdapat pada kulit kaki dan tangan.
3) Neurodermatitis; peradangan kronik pada kulit yang tidak diketahui
penyebabnya, lebih sering ditemukan pada wanita daripada pria dan
puncak insidennya adalah umur paruh baya.
4) Dermatitis stasis; jenis eksim kulit yang berkaitan dengan adanya
varises pada bagian kaki. Jenis eksim ini terdapat pada kaki ditandai
8
dengan rasa gatal, penebalan kulit serta berubahnya warna kulit
menjadi memerah bahkan kecoklatan.
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
A. Terminologi Kasus
1. Gatal : Berasa sangat geli yang merangsang pada kulit tubuh (KBBI)
2. Plak : Peninggian di atas permukaan kulit, permukaannya rata dan berisi zat padat
(biasanya infiltrat), diameternya 2 cm atau lebih.
3. Eritematosa: Kemerahan pada kulit yang disebabkan pelebaran pembuluh darah kapiler
yang bersifat reversibel.
4. Skuama : Lapisan stratum korneum yang terlepas dari kulit. Skuama dapat halus
sebagai taburan tepung, maupun lapisan tebal dan luas sebagai lembaran
kertas. Dapat dibedakan, misalnya pitiriasiformis (halus), psoriasiformis
(berlapis-lapis), iktiosiformis (seperti ikan), kutikular (tipis), lamelar
(berlapis), membranosa atau eksfoliativa (lembaran-lembaran), dan keratotik
(terdiri atas zat tanduk).
5. Erosi : Kelainan kulit yang disebabkan kehilangan jaringan yang tidak melampaui
stratum basal. Contoh bila kulit digaruk sampai stratum spinosum akan keluar
cairan sereus dari bekas garukan.
6. Ekskoriasi: Kelainan kulit yang disebabkan oleh hilangnya jaringan sampai dengan
stratum papilare. Bila garukan lebih dalam lagi sehingga tergores sampai
ujung papil, maka akan terlihat darah yang ke luar selain serum.
7. Krusta : Cairan badan yang mengering. Dapat bercampur dengan jaringan nekrotik,
maupun benda asing (kotoran, obat dan sebagainya). Warnanya ada beberapa
9
macam : kuning muda berasal dari serum, kuning kehijauan berasal dari pus,
dan kehitaman berasal dari darah.
B. Mind Map Analisis Masalah
C. Hipotesis
1. Dermatitis Kontak Iritan Kumulatif
2. Dermatitis Kontak Alergika
D. Pembahasan Hipotesis
Tabel Perbandingan Dermatitis Kontak Iritan dan Alergi
PERBANDINGAN DKI DKA
Keterlibatan Imunitas Nonimunologik Imunologik
Penyebab Iritan primer Alergen sensitizer
Permulaan gejala Iritan kuat Bisa pada kontak Sensitisasipertama,
10
Mahasiswa (18) mencuci dengan deterjen dan sabun colek
Gatal di telapak tangan dan sela jari
Kulit telapak tangan dan sela jari nampak kasar, menebal, bersisik, mengelupas, luka lecet akibat garukan
Pemeriksaan di poliklinik:
Plak eritematosa, plakat difus, skuama kasar berwarna putih, erosi, ekskoriasi, krusta kehitaman
pertama (akut)
Iritan lemahpada pajanan
berulang-ulang (kronis)
allergen berupa hapten
harus menjadi antigen
lengkap
Elisitasi antigem
direspon oleh sel T
tersensitisasi sehingga
muncul gejala klinis pada
pajanan selanjutnya.
Penderita Semua orang berpotensi Hanya pada orang yang
hipersensitif
Hasil uji tempel Sesudah ditempel 24 jam, bila
iritan diangkat, reaksi akan
berhenti
Bila sudah 24 jam, bahan
allergen diangkat, reaksi
menetap, meluas, dan
akhirnya akan berhenti
juga
1. Dermatitis Kontak Iritan
Penyebab munculnya dermatitis jenis ini ialah bahan yang bersifat iritan,
misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam alkali, serbuk kayu, bahan
abrasif, larutan garam konsentrat, plastik berat molekul rendah atau bahan kimia
higroskopik atau toxin dan enzim hewan.
Pada kasus ini, pasien mengalami dermatitis kontak iritan kumulatif atau
kronis, sebab diketahui pasien telah terpapar bahan iritan sejak 3 bulan yang lalu,
terjadi kontak berulang-ulang dengan iritan lemah seperti deterjen. Apabila pasien
terpapar bahan iritan kuat, kemungkinan akan menderita dermatitis kontak iritan yang
akut. DKI Kumulatif sering berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu lebih
banyak ditemukan di tangan dan kaki dibandingkan bagian tubuh yang lain. Contoh
pekerjaan: tukang cuci, kuli bangunan, montir di bengkel, tukang kebun, penata
rambut.
11
DKI kronis ini sering kali sulit dibedakan dari DKA, sehingga dibutuhkan
suatu uji tempel untuk mendiagnosa dengan menggunakan bahan penyebab yang
dicurigai.
Adapun pathogenesis dari DKI antara lain sebagai berikut:
1. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan
lemak lapisan tanduk, dan mengubah daya ikat air kulit. Kerusakan
membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam arakidonat
(AA), diasilgliserida (DAG), platelet activating factor = PAF), dan
inositida (IP3).
2. AA akan diubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrien (LT).
Kemudian PG dan LT akan menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan
permeabilitas vaskular sehingga mempermudah transudasi komplemen
dan kinin.
3. PG dan LT juga bertindak sebagai kemoatraktan kuat untuk limfosit dan
neutrofil, serta mengaktifasi sel mas melepaskan histamine, LT dan PG
lain, dan PAF, sehingga memperkuat perubahan vaskular.
4. Diasilgliserida (DAG) dan second messengers lain menstimulasi ekspresi
gen dan sintesis protein, misalnya interleukin-1 (IL-1) dan granulocyte-
macrophage colony stimulatunf factor (GMCSF). IL-1 mengaktifkan sel
T-penolong mengeluarkan IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2, yang
menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut.
2. Dermatitis Kontak Alergi
Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis atau peradangan kulit yang
timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitasi. Hanya individu yang
telah mengalami sensitisasi yang dapat menderita DKA. Penyebab dermatitis kontak
alergi adalah alergen, paling sering berupa bahan kimia dengan berat kurang dari 500-
1000 Da, yang juga disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul
12
dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di
kulit.
Gejala yang umum dirasakan penderita adalah pruritus yang umumnya konstan
dan seringkali hebat (sangat gatal). DKA biasanya ditandai dengan adanya lesi
eksematosa berupa eritema, udem, vesikula dan terbentuknya papulovesikula;
gambaran ini menunjukkan aktivitas tingkat selular. Vesikel-vesikel timbul karena
terjadinya spongiosis dan jika pecah akan mengeluarkan cairan yang mengakibatkan
lesi menjadi basah. Mula-mula lesi hanya terbatas pada tempat kontak dengan alergen,
sehingga corak dan distribusinya sering dapat menunjukkan kausanya.
Reaksi hipersensititas di kulit timbulnya lambat (delayed hipersensivitas),
umumnya dalam waktu 24 jam setelah terpajan dengan alergen. Sebelum seseorang
pertama kali menderita dermatitis kontak alergik, terlebih dahulu mendapatkan
perubahan spesifik reaktivitas pada kulitnya. Perubahan ini terjadi karena adanya
kontak dengan bahan kimia sederhana yang disebut hapten yang terikat dengan
protein, membentuk antigen lengkap. Antigen ini ditangkap dan diproses oleh
makrofag dan sel langerhans, selanjutnya dipresentasikan oleh sel T. Setelah kontak
dengan antigen yang telah diproses ini, sel T menuju ke kelenjar getah bening regional
untuk berdiferensisi dan berploriferasi memebneetuk sel T efektor yang tersensitisasi
secara spesifik dan sel memori. Sel-sel ini kemudian tersebar melalui sirkulasi ke
seluruh tubuh, juga sistem limfoid, sehingga menyebabkab keadaan sensivitas yang
sama di seluruh kulit tubuh. Fase saat kontak pertama sampai kulit menjdi sensitif
disebut fase induksi tau fase sensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3
minggu.
Pada umumnya reaksi sensitisasi ini dipengaruhi oleh derajat kepekaan individu,
sifat sensitisasi alergen (sensitizer), jumlah alergen, dan konsentrasi. Sensitizer kuat
mempunyai fase yang lebih pendek, sebaliknya sensitizer lemah seperti bahan-bahan
yang dijumpai pada kehidupan sehari-hari pada umumnya kelainan kulit pertama
muncul setelah lama kontak dengan bahan tersebut, bisa bulanan atau tahunan.
Sedangkan periode saat terjadinya pajanan ulang dengan alergen yang sama atau
serupa sampai timbulnya gejala klinis disebut fase elisitasi umumnya berlangsung
antara 24-48 jam.
13
14
Hapten + protein
Antigen lengkap
Ditangkap oleh sel makrofag dan
LangerhansDipresentasikan ke
sel T
Dibawa ke KGB
Proliferasi menjadi sel T efektor/ sel T
memori/ sel T tersensitisasi
Menyebar ke pembuluh darah &
system limfoid
FASE SENSITISASI
Alergen yang sama/ serupa
Dipresentasikan ke sel T memori
Aktivasi keratinosit
Mengeluarkan mediator kemokin
Memproduksi keratin >>> & me+
apoptosis
FASE ELITASI
Data yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat
topikal yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui
dapat menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, serta penyakit kulit
pada keluarganya (misalnya dermatitis atopik, psoriasis).
Pemeriksaan fisis sangat penting, karena dengan melihat lokalisasi dan pola
kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Misalnya, di
ketiak oleh deodoran, di pergelangan tangan oleh jam tangan, dan di kedua kaki oleh
sepatu. Pemerikasaan hendaknya dilakukan pada seluruh permukaan kulit, untuk
melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-sebab endogen.
Diagnosis didasarkan pada riwayat paparan terhadap suatu alergen atau senyawa
yang berhubungan, lesi yang gatal, pola distribusi yang mengisyaratkan dermatitits
kontak. Anamnesis harus terpusat kepada sekitar paparan tehadap alergen yang
umum.
3. Pemeriksaan Penunjang Untuk Menegakkan Diagnosis
Dermatitis kontak iritan maupun alergi sering kali sangat sulit dibedakan. Dengan
demikian dibutuhkan suatu pemeriksaan penunjang. Tempat untuk melakukan uji
tempel biansanya di punggung atau bagian luar dari lengan atas. Bahan uji dapat
berasal dari antigen standar buatan pabrik atau dari bahan kimia murni dan lebih sering
bahan campuran yang berasal dari rumah, lingkungan kerja atau tempat rekreasi.
15
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
pelaksanaan uji tempel:
a. Dermatitis harus sudah tenang (sembuh)
bila mungkin setelah 3 minggu. Bila masih
dalam keadaan akut atau berat dapat terjadi
reaksi angryback atau excited skin, reaksi
positif palsu, dapat juga menyebabkan
penyakit yang sedang dideritanya
bertambah buruk.
b. Tes dilakukan sekurang-kurangnya 1
minggu setelah penghentian terpi
kortikosteroid sistemik, sebab dapat menghasilkan reaksi negative palsu.
c. Uji tempel dibuka setelah 2 hari lalu dibaca, dan pembacaan kedua dilakukan pada
hari ke-3 sampai hari ke-7 setelah aplikasi pertama.
d. Penderita dilarang melakukan aktifitas yang dapat melonggarkan uji tempel (tidak
menempel dengan baik) sehingga menghasilkan reaksi negatif palsu.
e. Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan pada penderita urtikaria tipe
dadakan karena dapat menyebabkan urtikaria generalisata atau bahkan reaksi
anafilaksis. Pada penderita ini dilakukan prosedur khusus.
Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel dilepas. Pembacaan pertama
dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan bahan yang diuji telah
menghilang atau minimal. Hasilnya sebagai berikut:
1 = reaksi lemah (nonvesikuler): eritema, infiltrate, papul (+)
2 = reaksi kuat: edema atau vesikel (++)
3 = reaksi sangat kuat (ekstrim): bula atau ulkus (+++)
4 = meragukan: hanya macula eritematosa
16
5 = iritasi: rasa seperti terbakar, pustul atau purpura
6 = reaksi negatif (-)
7 = excited skin; dipicu oleh hipersensitivitas kulit
8 = tidak di tes (NT; not tested)
Pembacaan kedua perlu dilakukan sampai 1 minggu setelah aplikasi, biasanya
72 atau 96 jam setelah aplikasi. Pembacaan kedua ini penting untuk membantu
membedakan antara respon alergi (crescendo/meningkat) atau iritasi (decrescendo/
menurun) dan mengidentifikasi lebih banyak lagi respon positif allergen.
Selain uji tempel (patch test), terdapat pemeriksaan lainnya yaitu uji tusuk
(prick test) dan uji gores (scratch test). Akan tetapi mengingat kedua uji tersebut dapat
menimbulkan lesi yang ditakutkan akan menambah reaksi alergi yang seharusnya
tidak terjadi pada pengujian.
4. Penatalaksanaan Dermatitis Kontak
a. Penatalaksanaan dan pencegahan DKI
1) Menghindari pajanan bahan iritan, baik yang bersifat mekanik, fisis maupun kimiawi serta menyingkirkan faktor yang memperberat. Bila dapat dilaksanakan dengan sempurna, dan tidak terjadi komplikasi, maka DKI akan sembuh sendiri, cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang kering.
2) Apabila diperlukan, untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid topikal seperti hidrokortison atau untuk kelainan yang kronis dapat diawali dengan kortikosteroid yang lebih kuat.
3) Pemakaian alat pelindung diri yang adekuat, diperlukan bagi mereka yang bekerja dengan bahan iritan.
b. Penatalaksanaan dan pencegahan DKA
1) Upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab dan menekan kulit yang timbul.
2) Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi peradanagn pada DKA akut yang ditandai dengan eritema, edema, vesikel,
17
bula, eksudatif (madidans), misalnya mengkonsumsi prednison 30 mg/hari. Sedangkan kelainan kulinya cukup dikompres dengan larutan garam faal atau larutan air salisil 1: 1000.
3) Untuk DKA ringan atau DKA akut yang telah mereda (setelah mendapat pengobatan kortikosteroid sistemik), cukup diberikan kortikosteroid atau makrolaktam (tacrolimus) secara topikal.
Terapi Medikamentosa DKI dan DKA
Mengurangi rasa gatal hidrokortison topical, antihistamin topical, dan beberapa agen antipruritik.
Mempercepat pengeringan luka yang basah dan memberi penutup pelindung kulit yang inflamasi astringent
Mencegah infeksi sekunder antiseptik
2. Prognosis
Ad vitam : Bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
Ad functionam : Dubia ad bonam
Ad cosmeticum :Dubia ad bonam
18
BAB IV
PENUTUP
Dermatitis merupakan epidermo-dermatitis dengan gejala subjektif pruritus. Objektif
tampak inflamasi eritema, vesikula, eksudasi dan pembentukan skuama. Tanda-tanda
polimorfik tersebut tidak selalu timbul pada saat yang sama. Penyakit bertendensi residif dan
menjadi kronik.
Penyebab dermatitis kadang-kadang tidak diketahui, sebagian besar merupakan
respon kulit terhadap agen-agen, misalnya zat kimia, protein, bakteri dan fungi. Respon
tersebut dapat berhubungan dengan alergi dan iritasi. Dimana alergi adalah perubahan
kemampuan tubuh yang didapat dan spesifik untuk bereaksi dengan allergen tertentu.
Dermatitis yang merupakan kelainan kulit sering dijumpai dalam praktek sehari-hari.
Dari segi penanganannya, kelainan ini dapat dimasukkan dalam kelompok kelainan yang
responsive terhadap steroid. Steroid adalah senyawa anti inflamasi kuat yang digunakan sejak
kurang lebih lima puluhan. Secara alamiah bahan ini merupakan hormone endogen yang
dihasilkan oleh korteks adrenal. Dalam pembuatan bahan sintetik, analognya telah
berkembang pesat dan merupakan terapi utama pada dermatitis.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda Adhi, Hamzah Mochtar, Aisah Siti, editor. Dermatitis. 2011. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Ed 5. Jakarta: FKUI. p 129-33
2. Gartner, Leslie P dan Hiatt, James L. Atlas Berwarna Histologi. Ed-5. 2012.
Tangerang: Bina Rupa Aksara.
3. Dorland, W.A. Newman, editor. 2002. Kamus Kedokteran. Jakarta: EGC
4. Jeyaratnam, J. Koh, David. 2010. Buku Ajar Praktik Kedokteran Kerja, Ed.1. Jakarta:
EGC. p102
20