dermatitis seboroik

21
JOURNAL READING anekartikelkeseh atan Senin, 02 Mei 2011 KONSEP TERBARU DERMATITIS SEBOROIK DAN DANDRUFF Dr. MOH. IFNUDIN. SpKK Oleh: Rudy Ardian S.ked (10-100-1218) Dokter Pembimbing : Dr. Mainiadi Sp.KK KEPANITERAAN KLINIK

Upload: shafrizal62

Post on 26-Dec-2015

31 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

pph

TRANSCRIPT

Page 1: Dermatitis Seboroik

JOURNAL READING anekartikelkesehatan Senin, 02 Mei 2011

KONSEP TERBARU DERMATITIS SEBOROIK DAN DANDRUFF

Dr. MOH. IFNUDIN. SpKK

Oleh:

Rudy Ardian S.ked (10-100-1218)

Dokter Pembimbing :

Dr. Mainiadi Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

BLUD RUMAH SAKIT UMUM DAERAH LANGSA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA

Page 2: Dermatitis Seboroik

JOURNAL READING anekartikelkesehatan Senin, 02 Mei 2011

KONSEP TERBARU DERMATITIS SEBOROIKDAN DANDRUFF

Dr. MOH. IFNUDIN. SpKK.Posted by anekartikelkesehatan on Senin, 02 Mei 2011

Dandruff selalu dibicarakan bersama dermatitis seboroik (DS) karena gambaran klinisnya beruap skuama halus pada kulit kepala dan hubungan antara keduanya memicu kontrofersi sejak dulu. Sebagian peneliti menebut DS sebagai severe Dandruff sedangkan yang lain menyebut dandruff sebagai pengelupasan pada kulit kepala apapun penyebabnya atau dandruff  adalah gambaran klinis DS ayng ringan karena klinis kedua penyalit tersebut memang satu kesatuan, bahkan beberapa peneliti lain menyebutkan dandruff sebagai kondis DS yang tidak beradang. Dari data yang ada banyak yang menyimpulkan bahwa DS dan dandruff adalah penyakit yang mempunyai menifestasi klinis berbeda satu penyakit yang

sama.Beberapa factor  diduga sebagai contributor terhadap timbulnya DS termasuk kondisi

system imun yang terganggu  seperti pada infeksi HIV / AIDS. Faktor - faktor penyebab timbulnya DS tersebut antara lain adalah seborrhea, efek microbial, kerentana individu obat - obatan tertentu, abnormalitas neurotransmitter faktor fisik, gangguan nutrisi stress emosional, dan ketidak seimbangan hormonal.

Pada awalnya peranan jamur genus malassezia pada pathogenesis DS banyak memicu kontroversi, tetapi saat ini banyak yang setuju dengan pendapat tersebut setalah beberapa  obat antijamur baik topikal maupun sistemik terbukti dapat mengurangi gejala dan

memperbaiki klisnis DS.  Diantaranya adalah antijamur topical seperti terbinafine, butenafine, ciclopirox dan imunomodulator ( pimecrolimus dan tacrolimus). Bahkan tea tree oil, honey dan cinnamic acid setelah diteliti juga mempunyai efek antijamur terhadap malassezia sp. Pada kasus Ds yang meluas dapat dipertimbangkan pemberian preparat antijamur oral seperti ketoconazole, itraconazole, dan erbinafin. Terapi antijamur dalam berbagai sediaan seperti krim, shampo, dan formulasi oral dapat menurunkan jumlah malassezia yang akan menyebabkan perbaikan klinis serta aman dan efektif untuk

pengobatan DS.Keberhasilan pengobatan DS denga menggunakan golongan azole seperti

ketoconazole yang lebih dikenal secara luas dapat membka cakrawala baru pengobatan DS yang sebelumnya hanya mengenal  keratolitik dan kortrikostroid. Terlebih setalah diteliti bahwa ketoconazole mempunyai efek  anti-inflamasi yang dapat dipakai sebagai terapi DS

yang cenderung kronik residif.

Page 3: Dermatitis Seboroik

JOURNAL READING anekartikelkesehatan Senin, 02 Mei 2011

PERSPEFKTIF SEJARAH DERMATITIS SEBOROIK DAN DANDRUFFPerspektif sejarah penyakit DS dan dandruff melalui rentang waktu panjang sejak

lebih dari 1 abad lalu, teptnya tahun 1873 saat Rivolta pertama kali menemukan pityrosporum yang dia dapatkan dari lesi bulat bersisik halus pada lehernya sendiri. Tahun 1874 malassez menemukan jamur yang disebut “le champignon du pityriasis simple” pada kulit kepala da area tubuh lain yang bersisik halus. Tahun 1887 Unna menemukan istilah “ seborrhoeic eczema” untuk lesi kulit baik berupa dandruff dan kelainan berupa sisik atau krusta pada kulit kepala. Tahun 1904 sabouraud mangumumkan penemuannya bahwa pityrosporm ovale adalah jamur yang sering dihubungkan dengan timbulnya DS. Penemuan ini terus dikembangkan oleh Mcleod dan Dowling 1928 dan Moore et al pada tahun 1936, tetapi masih banyak yang meragukan hiphotesis tersebut.

Setalah perang dunia kedua, kortikosteroid mulai dipakai untuk pengobatan DS dan memberikan hasil yang memuaskan. Selanjutnya DS diklarifikasikan sebagai salah satu penyakit eksematous. Awal tahun 1970-an kligman et la menyatakan bahwa DS dan dandruff adalah 2 penyakit yang berbeda, dimana DS melalui proses inflamasi, sementara dandruff adalah hasil dari hiperproliferasi epidermal dan P. oval memegang  peranan sekunder pada

pathogenesis DS.Scenario kembali berubah kurang lebih 100 tahun setelah ditemukannya istilah

“seborrhoeic eczema”. Tahun 1984 Shuster menyimpulkan bahwa P.ovale berperan sebagai factor primer pada pathogenesis DS maupun dandruff, dimana kedua kondisi tersebut merupakan penyakit yang sama, hanya berbeda tingakt keparahannya. Opini ini msih digunakan oleh kebanyakan dermatologis  di seluruh dunia apalagi setelah ketoconazole

terbukti dapt menyembuhkan  DSi.Taksonomi jamur yang berperan penting pada DS dan dandruff mengalami perubahan

denga adanya penemuan baru, keputakaan lama menybutk\nya sebagai pityrosporum ovale sesuai teksonomi lama sementara keputakaan yang diterbitkan setalah tahun 1990-an menggantinya menjadi malasszia sesuai dengan taksonomi baru. Disebut malassezia sesuai taksonomi baru karena merupakan nama genus yang secara formal bias menerima kedua fase pertumbuhan, baik bentuk ragi (pityrosporum) maupun miselium (malassezia). Sampai saat ini seluruh spsesies malasseziamasih dianggap sebagai M. furfur oleh para klininisi dan ahli epidemiologi. Kepustakaan Fitzpatrick terbaru tahun 2008 juga menyebut M. furfur sebagai jamur yang berperan pada DS dan dandruff, padahal beberapa peneliti seperti Gueho dan Gulilliot sejak tahun 1996 telah menemukan banyak spsesies baru dari genus malassezi. Diantaranya yang sering dihubungkan denga DS dan dandruff yaitu M. globosa, M. restricta

dan M. slooffiea.  

EPIDEMIOLOGIPrevelensi DS pada orang dewasa yang imunokompeten sebesar 1-3% dan ditemukan

lebih bnyak pada pria dari pada wanita. Sedangkan dandruff mengenai 5 – 10% populasi.

Page 4: Dermatitis Seboroik

JOURNAL READING anekartikelkesehatan Senin, 02 Mei 2011

 Insidensi DS pada penderita imunokompromais (HIV/AIDS) ditemukan lebih besar

yaitu sekitar 30 – 85%.  DS merupakan salah satu manifestasi penyakit kulit yang paling banyak ditemukan

pada penderita system for HIV Infectioon and  Disea in Adult and Adolescens pada tahun

2005, maka DS paling sering dijumpai padapenderita HIV stadium II.  Kepustakaan lain tmenyebutkan bahwa DS ditemukan sebesar 15% pada penderita kadar CD4 > 200 sel/ml

dan mengalami penigkatan sampai 58% pada penderita denga kadar CD4 < 200 sel/ml.

ETIOLOGI DAN PATHOGENESISFactor imunitas mempunyai peranan penting  pada DS Diduga bukan hanya

disebabkan oleh tunbuhnya jamur malassezia yang berlebihan, tetapi lebih disebabkan oleh abnormal host response terhadap jamur ini pada kulit. Kegagalan cell mediated immunity (CMI) bisa menyebabkan jamur lebih mampu bertahan hidup pada kulit. Faergemann et al mendeteksi adanya peningkatan natural killer (NK)1+ dan sel – sel CD16+ dengan aktifasi  komplemen. Juga didapatkan peningkatan activated lymphocyte (human leucocyte

antigen - HLA) – DR4 dalam jumlah banyak.Walaupun banyak factor diketahui sebagai penyebab DS, namun hanya didapatkan 3

faktor  utama yaitu sekresi glandula sebasea (seborrhea), keberasan mikroba jamur malassezia (efek mikrobial) dan keretanan individu.• Saborrhea

Sebum yang dihasilkan tergantung dari kontrol hormone seks. DS dan dandruff mempunyai korelasi yang kuat antara aktifitas glandula sebasea dan umu rpenderita. Pada bayi baru lahir di dapatkan sebum yang berasal dari hormon maternal dan ditemukan kolonisasi malassezia pada cradle cap. Selanjutnya jumlah sebum menurun sampai pubertas, aktif karena pengaruh hormone maternal lalu kembali mengalami penurunan.

Insidensi DS yang tinggi pada bayi baru lahir setara dengan ukuran dan aktifitas glandula sebasea tersebut. Bayi baru lahir mempunyai glandula sebasea yang besar dengan renata sekresi sebum yang tinggi hampir sam aorang dewasa. Saat usia dewasa, seborrhea tidak lagi berhubungan denga DS, karena aktifitas glandula sebasea mancapai puncaknya pada awal pubertas, tetapi penyakit ini baru muncul pada beberapa decade kemudian.• Efek microbial

Pada DS infantile sering ditemukan Candida albicans tetapi sama sekali tidak berkaitan dengan pathogenesisnya,Staphylococcus aureus ditemukan pada 20& lesi kulit penderita Ds, dan bakteri ini jarang ditemukan pada kulit orang yang sehat.Propionybacterium acnes hanya ditemukan dalam jumlah kecil saja, berarti hanya ditemukan sedikit free fatty acid (FFA) pada lesi kulit penderita DS.

Jamur lipofilik malassezia furfur dietmukan berlebihan, sebanyak 922.000/cm  pada orang normal. Penemuan ini banyak mendukung pendapat adanya hubunganayng erat

antara malassezia furfur dengan DS,  terbukti dari 3 hal yaitu ditemukannya jamur ini

Page 5: Dermatitis Seboroik

JOURNAL READING anekartikelkesehatan Senin, 02 Mei 2011

dalam jumlah banyak dalam lesi, pemberian preparat antijamur dapat memberikan hasil  pengobatan yang memuaskan dan tindakan reinfeksi akan menimbulkan lesi DS atau dandruff.

• Kerantanan individuKerantanan individu terhadap dandruff sepertinya disebabkan oleh perbedaan pada

kemampuan skin berrier untuk mencegah fatty acid malakukan penetrasi. Asam oleat, salah satu komponen utama dari fatty acid dalam sebum manusia diketahui dapat menginduksi deskuamasi yang mirip dandruff. Menariknya asam oleat dengan dosis sama yang diberikan pada subjek yang tidak menderita dandruff ternyata tidak mampu menginduksi lesi. Hal ini dapat menjelaskan masalah kerentanan individu pada penderita DS atau dandruff.Faktor – fakor lain penyebab timbulnya DS :

•        Faktor fisikAliran darah dan suhu kulit diperkirakan bertanggungjawab terhadap ditribusi DS. Temperature pada musim gugur danm musim dingain yang rendah, juga kelembaban yang erndah pada ruangan ayng dihangatkan diketahui dapat memperburuk kondisi penderita DS.

•        Gangguan nutrisiDefisiensi zinc biasanya terjadi pada penderita acrodematitis enteropathica. Sering kali penyakit ini didapatkan lesi kulit yang mirip DS pada wajah.setalah diteliti ternyata tidak didapatkan defisiensi zinc pada DS dan pemberian suplemen lesi. DS infatil dikaitkan denga defisinsi biotin yang bersifat sekunder, akibat defisiensi primer

dari enzimholocarboxylase ataubiotinidase.•        Obat

Beberapa jenis obat dilaporkan mengakibatkan munculnya lesi kulit yang menyerupai DS, antara lain : arsenic, gold, metildopa, simetidin, dan obat – obat neuroleptik.

•        Abnormalitas neurotransmitterDS seringkali diakitkan deanga berbagai gangguan neurologis yang menegaskan kemungkian adanya pengaruh  sisetm saraf. Kondisi neurologis in mencakup Parkinson, epilepsy, supraorbital injury,paralisis, fasialis, unilateral injury pada ganglion gasseri,

poliomielitis,  siringomielia, dan quadriplegia.Cowley et al menemukan jumlah sebum yang berlebihan pada penderita dengan gangguan neurologis. Jumlah sebum yang berlebihan in merupakan media yang bagus untuk

pertumbuhan jamur malassezia.•        Stress emosional

Pernah didapatkan angka kejadian DS yang tinggi pada prajurit  saat terjadi perang.•        Ketidakseimbangan hormonal

Page 6: Dermatitis Seboroik

JOURNAL READING anekartikelkesehatan Senin, 02 Mei 2011

Hormone yang diperkirakan berpengaruh adalah hoemon androgen. Diperkirakan pengaruh horon androgen pada unit glandula pilosebasea mengakibatkan timbulnya DS. Kemungkinan terjadi oengingkatan kadar hormone androgen arau terjadi hipersensitivitas terhadap kadar

androgen yang normal yang mendasari timbulnya DS.•        Poliferasi epidermal

Poliefrasi epidermal yang meningkat pada Ds seperti psoriasis dapat mejelaskan mengapa

terapi sitostatika dapat memperbaiki kondisi ini. DS atau dandruff adalah penyakit yang memang tidak hanya mengenai stratum koerneum, tetapi juga terjadi perubahan signifikan pada epidermis dengan ditemukannya hiperprofilerasi, lipid interseluler dan intraseluler yang berlebihan dan parakeratosis.

•        Faktor genetikaPenemuan terbaru menyebutkan adanya kerusakan gen pada zinc finger protein penderita DS.

Pathogenesis DS didasari oleh beberapa hal yaitu :•        Aktifitas glandula sebasea

Produksi sebum terbesar ditemukan pada era kulit kepal, wajah, dada dan punggung. Produksinya dikontrol oleh hormon,, misalnya pada bayi, kelenjar sebasea teraktivasi oleh hormone androgwn dari ibu. Sebum terdiri dari kompleks trigliserida, asam lemak, waks ester, sterol ester, cholesterol, cholesterol ester dan skualen. Pada saat disekresi seara primer kandungan sebum terdiri dari trigliresida dan ester yang oleh mikroba komensal di kulit denga bantuan enzim lipase akan di pecah menjadi digliserida, monogliserida dan asam lemak bebas. Adanya asam lemak spesifik yang dihasilkan sebum manusia baru terliaht setelah dimetabolisme oleh jamur malassezia.

•        Metabolit yang dihasilkan oleh malasseziaMalassezia membutuhkan lipid sebagai sumber makana untuk tumbuh dan berproliferasi. Jamur ini mendegradasi sebum dengan bantuan enzim lipase menjadi berbagai asam lemak terutama dari trigleserida. Namun malassezia hanya mengkonsimsi asam lemak yang sangat spesifik, yaitu saturated fatty acid untuk pertumbuhan nya, sedangakn unsaturated fatty acid ditinggalkan di permukaan kulit. Bentuk metabolit unsaturated fatty  acid yang paling banyak dijumpai adaalh asam oleat, dan metabolit inilah yang diduga berperan pada pembentukan

skuama DS.•        Sensitivitas individu terhadap metabolit jamur malassezia

Adanya difisiensi permeabilitas barier kulit, akibat penetrasi bahan – bahan yang diekresi glandulan sebasea (khususnya asam oleat ) akan mengakibatkan rusaknya fungsi barier kulit sehingga terjadi inflamasi, iritasi dan munculnya skuama. Metabolit ini dapat menembus barier stratum korneum karena memiliki berat molekul rendah (mungkin < 1 -2 kDa ) dan

larut dalam lemak.  yang dimaksud metabolit di sini adalah toksin yang dihasilkan oleh

Page 7: Dermatitis Seboroik

JOURNAL READING anekartikelkesehatan Senin, 02 Mei 2011

jamur malassezia. Mekanisme pathologis ini tidak mendukung hipothesis sebelumya diman

respon imun yang tidak adekuat terhadap malassezia akan menybabkan timbulnya DS.Kepustakaan lain juga menjelaskan hal yang sama yaitu hiperproliferasi epidermis merupakan hasil dari FFA yang menginduksi rusaknya scalp bearrier. Malassezia adalah lipid-dependent fungsi, jamur tersebut membutuhkan FFA yang dihasilkan oleh trigliserida dari glandula sebasea. Lipase malassezia yang non spesifik menghasilkan FFAs dari sebum. Mereka mengambil fatty acid yang dibutuhka, lalu FFAs melakukan penetrasi pada stratum korneum dan merusak scalp skin barrier. Skin barrier ayng rusak ditunjukkan dengan peningkatan trans epidermal water loss pada penderita DS. Barrier yang rusak berperan penting secara langsung terhadap gambaran klinis DS seperti timbulnya gatal, sisik dan eritema.

•        Mekanisme ImunologisPada penderita HIV diperkirakan terjadi perubahan kadar sitokin yang mengakibatkan DS. Kadar interferon alfa dantumor necrosis factor meningkat pada penyakit infeksi HIV. Sitokin ini mengakibatkan perubahan metabolisme lipid, meningkatkan kadar trigliserid dan cholesterol dalam serum. Perubahan metabolisme lipd tersebut diduga dapt meningkatkan sensitivitas terhadap mediator inflamasi yang dihsilkan malassezia.Pertumbuhan malassezia furfur yang berlebihan akan menimbulkan peradangan, tidak hanya disebabkan oleh produk metabolit jamur tersebut pada epidermis atau adanya sel –sel jamur pada permukaan kulit. Mekanisme timbulnya peradangan adalah melalui sel Langerhans dan aktifasi dari limfosit T oleh malassezia atau produknya. Saat malassezia furfur berkaitan dengan serum ikatan tersbut akan mengaktifkan komplemen malalui direct and alternative pathway.MANIFESTASI KLINIS

DS disebut juga sebagai seborrhoeic eczema atau pityriasi simplex. DS termsuk dalam golongan chronicpapolosquamous dermatosis yang dapat dengan mudah dikenali. Bisa ditemukan pada usia bayi dan dewasa, sering dikaitkan dengan pengingkatan produksi sebum (seborrhea) pada kulit kepala dan folikel sebasea pada wajah dan tubuh.

Pada bayi penyakit ini lazim disebut DS infantile. Penyakit ini predominan pada bulan 1 bulan pertama (biasanya minggu ketiga dan keempat), paling banyak pada 3 bulan pertama dan akan menghilang dengan spontan tanpa pengobatan pada usia 8 sampai 12 bulan. DS infantil utamanya mengenai kulit kepala dan area intertriginosa dangan skuama berminyak dan krusta. Adalain yang terkana adalah wajah bagian tengah dada dan leher. Kulit kepala yang terkena adalah bagian frontal dan periteal tertutup oleh krusta yang sangat berminyak, tebal sering tampak pecah – pecah dan disebut cradle cap. Komplikasi DS infantil adalaharythoderma desquanmativum yang ditemukan oleh Leiner pada tahun 1908. Penderita biasanya tampak sakit anemia, muntah, dan umumnya sering ditemukan infeksi bakteri pada lesi kulitnya.

Page 8: Dermatitis Seboroik

JOURNAL READING anekartikelkesehatan Senin, 02 Mei 2011

Pada orang dewasa penyakit ini sering ditemukan pada decade umur keempat sampai ketujuh dan memiliki tingkatan berfariasi dari yang ringan sampai berat, termasuk lesi yang menyerupai pola psoriasi atau pitiriasi dan aretroderma.

Dandruff biasanya dianggap sebagai bentuk klinis ringan dari DS, ditandai denga serpihan kulit yang lepas berwarna putih dan kering. Skuama yang berlebihan pada kulit kepala seringkali disertai dengan rasa gatal dan kadang – kadang didapatkan inflamasi  ringan. White dandruff yang simtomatik pada kulit kepala sering disebut sebagai pityriasis sicca.

DS klasik yangdisebut dengan patchy dermatitis seborrheic, dikenal sebagai lesi rekunen yang kronik. Predeleksinya pada area kulit kepala, dahi, lipatan, naso-labial, bagian dalam dari alis mata dan glabella, lipatan retroaurikuler kanal telinga eksternal dan area berbentuk ‘V’ pada dada dan punggung. Disebut pityriasi steatoides bila lesi kulit tampak berwarna kuning, disertai eritema ringan sampai berat, infiltrate beradang yang ringan, berminyak, bersisik tebal, dan berkrusta. Kebanyakn penderita sering mengeluhkan rasa gatal terutama pada kulit kepala dan lubang telinga.

Menifestasi klinis DS pada penderita HIV lebih ekstensif, berat dan biasanya lebih sulit diterapi. Penderita sering mengeluh gatal. Lesi di wajah terlihat sebagai macula ertematous yang eterdistribusi seperti gambaran kupu – kupu, sehingga menyarupai rash pasa lupus. Pada bagian tubuh lain berupa skuama berwarna kunig berminyak dan berkrusta di atas kulit yang eritematous ringan sampai dengan plak yang sangat merah, kadang disertai alopesia non- scaring yang lebih berat.PENATALAKSANAAN

Pada umumnya pengobatan DS dan dandruff adalah untuk :• mengurangi dan membersihkan sisik dan krusta• menghambat kolonisasi jamur• mencegah timbulnya infeksi sekunder• mangurangi eritema dan gatalDS Infantil

Untuk kulit kepala, bila ditemukan krusta yang tebal dapat dikurangi dengan pemberian :• Asam salisilat 3% dalam minyak zaitun atau dalam basis yang larut dalam air.• Kompres minyak zaitun yang hangat.• Krim atau losion hidrokortison 1% dalam beberapa hari.• Antijamur topical seperti golongan imidazol dalam bentuk shampoo• Shampoo bayi yang bersifat ringan.• Perawatan kulit yang tepat untuk bayi dalam bentuk emolien, krim atau pasta yang lembut.

Untuk area  intertrigo sebaiknya mengguanakan losion kering seperti zinc oil 0,2 – 0,5% atau imidazole (missal : ketokonazol 2% dalam bantuk pasta ayng lembut, krim, atau losion)

Page 9: Dermatitis Seboroik

JOURNAL READING anekartikelkesehatan Senin, 02 Mei 2011

Terapi antijamur topical terbukti memiliki efek positif pada penyembuhan DS infantil karena dapat menghambat pertumbuhan jamur malassezia furfur. Selain itu efek anti-inflamasinya secara umum membersihkan hasil yang ekuivalen dengan hidrokortison 1%.

Page 10: Dermatitis Seboroik

JOURNAL READING anekartikelkesehatan Senin, 02 Mei 2011

DS dewasa•        Topikal

Untuk lesi DS pada kulit kepala dianjurkan untuk sering keramas dengan shampoo yang mengadung sulfide, 1-2,5%, ketoconazol 2% zinc pyrithione, benzoy peroxide, asam salisilat, coal tar atau juniper tar. Penggunaan tingtur, larutan alcohol, tonik rambut atau perawatan rambut sejenis sebaiknya dihindari karena dapat memperberat inflamasi.Preparat topical yang efektif untuk DS adalah :

1.      KortikosteroidKrusta atau skuama dapat dikurangi dengan pemberian apliksi kortikosteroid topical atau asam salisilat dalam basis yang larut dalam air. Kortikosteroid topical dapat diresepkan untuk mengurangi inflamasi dan aritemasi pada lesi DS. Penggunaan preparat kortikosterois angka lama akan memberikan efek samping seperti kulit atau telangiektasia. Bahkan pemakain jeniskortikkosteroid yang lebih kuat dalam waktu lebih lama bisa mengakibatkan rebound phenomenon, dermatitis kontak atau lesi yang mirip rosasea.Untuk area wajah dan badan harus dihindari sediaan bentuk minyak atau ointment, pengguanaan sabun, cairan ayng mengandung alcohol atau aftershave lotion. Glukokortikoid potensi rendah seperti hidrokortison 1% bisa membantu mengatasi DS.

2.      AntijamurTidak seperti kortikosteroid, antijamur topical jarang menyababkan efek samping. Antijamur topical yang memeberi manfaat pada kebanyakan penderita adalah golongan imidazole. Penelitian klinis melaporkan hasil yang memuaskan antar 63% - 90% sesudah pemberian 4 minggu denga menggunakan preparat itraconazole, miconazole, fluconazole, econazole, bifonazole, climbazole, coclopirox, dan xiclopiroxolamine. Diantara preparat antijamur golongan imidazole yang paling banyak digunakan secara luas adalah ketoconazole. Krim ketoconazole 2% diberikan pada lesi dua kali sehati dan akn memberikan kesembuhan dalam 2-4 minggu. Untuk kasus DS yang resistan krim ketoconazole 2% dapat diberikan bersama krim hidrokortison 1% pada saat mau tidur. Untuk pemakaian shampoo ketoconazole 2% diberikan 2 - 3 kali seminggu dengan cara dibiarkan pada kulit kepala sampai 10 atau 15 menit baru dibilas.Pemberian antijamur oral memang memberikan hasil yang memuaskan, tetapi beberapa peneliti tidak membenarkan pemberian terapi oral pada DS karena berbagai alasan. Alasan pertama karena DS merupakan penyakit kronik residif yang membutuhkan pengulangan pengobatan dalam waktu lama,. Alasan kedua karena lesi DS hanya berbatas tegas dan hanya mengenai area terbatas, berarti DS hanya mengenai area tubuh tertentu dan tidak perlu mendapat pengobatan secara sistemik.

3.      MetronidazoleFormulasi yang dipakai adalah dalam bentuk basis krim 1 - 2% atau produk komersial seperti gel / krim / losion 0,7% atau krim 1% yang digunakan sekali atau dua kali sehari.

4.      Lithium

Page 11: Dermatitis Seboroik

JOURNAL READING anekartikelkesehatan Senin, 02 Mei 2011

Lithium succinate dan lithium gluconate yang mempunyai efek sebagai antijamur.5.      Calcineurin inhibitor

Tacrolimus dan pimecrolimus, keduanya mempunyai efek anti – inflamasi dan tidak mempunyai efek samping yang berarti bila dipakai jangka panjang.

6.      Analog vitamin D3Analog vitamin D3 seperti calcipotriol sediaan krim atau losion calcitiol ointment atau tacalcitol bisa dipakai untuk pengobatan DS, kaerna mempunyai efek anti- inflamasi dan antijamur.

• Oral          1.      Antijamur

Walaupun ada pendapat yang tidak menyetujui pemberian antijamur sistemik, perlu dipikirkan indikasinya untuk kasus DS yang sangat berat atau luas seperti pada penderita HIV / AIDS. Dapat diberikan ketoconazole 200 -400 mg/hari salama 2 minggu atau itraconazole 200 mg/hari selama 7 hari. Itraconazole mempunyai afinitas yang tinggi pada jaringan kerati, seperti kulit, rambut, dan kuku, bisa menetap selama 2 -24 minggu dan menimbulkan efek therapeutic resevior. Terbinafin termasuk dalam golongan allylamine yang bersifat broad spectrum terhadap dermatofir, molds, jamur dimorphic dan yeast. Preparat ini efektif untuk pengobatan DS baik topical maupun sistemik dengan dosis 250 mg/hari. Bentuk sediaan topical mempunyai efek anti-inflamasi, sedangkan bentuk oral tidak.

2.      IsotretinoinBisa diberiakn dalam dosis rendah 0,05 - 0,10 mg/kgBB setiapa hari selama beberap bulan, khusunya untuk kasus DS yang sukar sembuh.•        FototerapiPenggunaan fototerapi narrow-band ultraviolet B merupakan pangobatan yang efektif dan aman untuk kasus DS yang berat. Terapi dengan psoralen dan sinar ultraviolet A juga memberikan hasil yang bagus untuk kasus eritrodemi karena DS.

Perlu penjelasan lebih lanjut mengenai keadaan penyakit pada penderita dan keluarga. DS infantil memberikan hasil prognosis yang bagus, karena kondisinya tidak parah dan bisa sembuh sendiri.  Pada orang dewasa perlu diinformasikan bila penyakit ini cenderungbesifat kronis dan terapi bertujuan untuk lebih mengontrol penyakitnya daripada menyembuhkan. Ketoconazole ditemukan pada tahun 1976 dan mulai digunakan secara luas pada tahun 1980-an. Ketocinazole mempunyai struktur 5 cincin yang mengandung 2 atom nitrogen.

Ketoconazole temasuk dalam golongan imidazole. Azole lain dalam golongan tersebut adalah miconazole, clotrimazole, econazole, dan tioconazole. Selain sebagai antijamur ketoconazole juga mempunyai efek antikimiakrobial spectrum luas, diantaranya dapat mengeliminasi bekteri gram positif seperti Staphylococcus aureus, S. epidermidis dan enterococcal stertococci.

Secara morfologi dan biokimia, ketoconazole bekerja primer pada membrane sel jamur. Bila cholesterol adalah komponen utama pada membrane sel mamalia, maka

Page 12: Dermatitis Seboroik

JOURNAL READING anekartikelkesehatan Senin, 02 Mei 2011

ergosterol adalah komponen utama pada sel jamur. Ketoconazole bekerja dengan menghambat enzim cytochrom p450 yang mengganggu biosintesis ergosterol. Selanjutnya akan menyebabkan akumulasi 14alfa–methyl sterols seperti lanosterol yang tidak dapat menggantikan fungsi ergosterol pada sel jamur. Akumulasi 14alfa-methyl sterols bersamaan dengan penurunan ergosterol pada membran sel jamur akan menyebabkan keadaan yang tidak stabil dan mengganggu fungsi membrane, pertumbuhan dan viabilitas sel jamur.

Ketoconazole mempunyai 2 cara kerja, fungistatik dengan menghambat biosintesis ergosterol yaitu bila diberikan dengan konsentrasi 0,001 mg/L dan fungisidal bila diberikan dengan konsentrasi 1 mg/L yang dapat menyebabkan kerusakan membran sel. Pada ketoconazol topical perlu diperhatikan masalah absorbs perkutan dan efek sistemik, khususnya bila digunakan dalam waktu lama seperti kondis DS yang kronis.

Sebuah penelitian dilakukan untuk mengetahui efek pemberian krim ketoconazole 2% pada wajah penderita DS moderat sampai berat selama 2 minggu hingga 3 bulan. Didapatkan hasil absorbsi perkutan lebih besar pada kulit wajah karena area tersebut mempunyai jumlah glandula sebasea, pilosebasea dan kelenjar keringat lebih banyak. Walaupun hasil absorbsi perkutan cukup besar tetapi tidak ditemukan ketoconazole dalam plasma.

Sebuah penelitian di Amerika Serikat tentang efek pemberian shampoo ketoconazole 2% dengan frekuensi 4 – 10 kali setiap minggunya selama 6 bulan pada 40 penderita DS dan dandruff ternyata tidak menyebabkan toksisitas. Dari 2 penelitian tersebut dapat dismpulkan bahwa baik krim ketoconazole maupun shampoo tidak diabsorbsi secara perkutan. Dengan alatautoradiographic dapat diketahui bahwa sekali ketoconazole diapplikasikan pada kulit, maka preparat antijamur tersebut akan bertahan di lapisan luar epidermis, tempat jamur malassezia tumbuh. Baik ketoconazole bentuk krim maupun shampoo tidak mempunyai efek samping yang berarti, sehinga pemakaian jangka panjang dapat diteleransi dengan baik.

Ketoconazole oral diabsorbsi di usus halus yang dibawa dengan cepat dalam waktu 1 jam lewat keringat dan difusi pasif melalui pembuluh darah ke kulit dan menetap pada stratum korneum selama 10 – 12 hari. Malalui alur yang lebih lambat dapat mencapai stratum basalis dan sabum sesudah 3 – 4 minggu.

Dosis tunggal ketoconazole 200 mg oral menghasilkan peak plasma concentrations 3 – 4,5 µmg/ml dalam 1 – 2 jam. Nilai ini akan meninggkat bila ketoconazole diminum pada saat makan. Ketoconazole bersifat lipofilik, sehingga sehingga biovailabilitas lebih tinggi bila diminum pada saat atau sebelum makan. Pemberian ketoconazole bersamaan dengan semitidinakan menurunkan absorbs, khusunya saat keasamaan lambung berkurang dengan pemberian bikarbonat. Asam lambung memang berperan penting pasa absorbsi ketoconazole, sehingga dibutuhkan sekresi asam lambung yang cukup untuk menghancurkan obat dan selanjutnya proses absorbs.

Ketoconazole dimetabolisme di hati dan metabolitnya diekskresi di kandung empedu. Obat ini didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh dan dapat dideteksi dalam urin, saliva, sebum, kelenjar ekrin, serumen, cairan serebrospinal, cairan sendi dan berbagai jaringan.

Page 13: Dermatitis Seboroik

JOURNAL READING anekartikelkesehatan Senin, 02 Mei 2011

BEBERAPA HAL YANG PERLU DIPERTIMBANGKAN DALAM PEMBERIAN KETOCONAZOLEBeberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemberian ketoconazole adalah :

•         Hati – hati bila diberikan pada penderita dengan riwayat abdominal discomfort, karena ketoconazole bisa menyababkan mual dan muntah.

•         Pemberian ketoconazole oral pada wanita hamil merupakan kontraindikasi, karena obat ini dimasukkan dalam kategori “C” yang terbukti teratogenik pada hewan percobaan.

•         Didapatkan kenaikan serum transaminase pada 5 – 10% penderita yang mendapat terapi ketoconazole. Sebaiknya pemeriksaan fungsi liver dilakukan pada penderita yang akan mendapatkan pengobatan ketoconazole jangka lama atau pemberian obat bersamaan degna obat lain yang bersifat hepatotoksik.

•         Ketoconazole dengan dosis  konvensional kadang bisa menghambat sintesis testosterone dan respons adrenal. Peningkatan dosis sampai 800 mg – 1200 mg/hr bisa menurunkan konsentrasi testosteron. Bila diberikan dalam jangka panjang bisa menyebabkan oligospermia atau azoospermia, penurunan libido, impoten, genikomasti dan alopesia.

•         Pada penderita dengan tuberkolusis, histoplasmosis, paracoccidioidomycosis atau AIDS disarankan diberikan keadaan hipoadrenal yang daapt memberatkan penyakit.

PERANAN KETOCONAZOLE PADA PENGOBATAN DERMATITIS SEBOROIK DAN DUNDRUFF : EFEK ANTI-AINFLAMASI KETOCONAZOLE

Pemberian kortikosteroid topical sebagai anti-aflamasi secara cepat dapat menurunkan keparahan penyakit ini, tetapi akan cepat menimbulkan kekambuhan segera setalah obat dihentikan.

Selain sebagai  antijamur, ketoconazole juga mempunyai efek anti-inflamasi. Kedua fungsi tersebut memberikan efek yang menguntungkan bagi pengobatan DS. Sebagai antijamur tidak memberikan efek samping yang berarti walau diberikan berulang kali, oleh sebab itu anti jamur denga potensi anti-inflamasi bisa memberikan manfaat ganda bagi pengobatan DS. Golongan azole yang mempunyai efek anti-inflamasi adalah bifonazole, itrakonazole dan ketoconazole, sedangkan oxiconazole dan econazole kurang mempunyai efek tersebut. Percobaan pada binatang guinea-pigs menunjukkan bahwa ketoconazole mempunyai efek anti-inflamasi setara dengan kortikosteroid lemah (hidrokortison 1%).

Cara kerja ketoconazole sebagai anti-inflamasi adalah denga menghambat thromboxane synthase, sebuah enzim pada jalur sintetik dari thromboxane A2 yang bekerja sebagai potent pulmonary vasoconstrictor dan aggregator dari platelets danneutrophils. Antijamur tersebut juga menghambat 5-lypoxygenase, sebuah enzim yang dibutuhkan untuk menghasilkanleucotrienes dan menyababkan penurunan produksi leucotrine B4.

Page 14: Dermatitis Seboroik

JOURNAL READING anekartikelkesehatan Senin, 02 Mei 2011

RINGKASANDandruff selalu dibicarakan bersama DS karena gamabaran klinisnya berupa skuama

halus pada kulit kepala dan hubungan antara keduanya memicu kontroversi  sejak dulu. Sebagian peneliti menyebut DS sebagai severe dandruff sedangkan yang lain menyebut dandruff sebagai pengelupasan pasa kulit kepala apapun penyebabnya atau dandruff adalah gambaran klinis DS yang ringa karena klinis kedua penyakit tersebut memang satu kesatuan, bahkan beberapa peneliti lain menyebut dandruff sebagai kondisi DS yang tidak beradang. Dari data yang ada banyak yang menyimpulkan bahwa DS dan dandruff adalah penyakit yang mempunyai menifestasi klinis berbeda dari satu penyakit yang sama.

DS termasuk dalam golongan chronic papulosquamos dermatosis yang dapat dengan mudah dikenali. Bisa ditemukan pada usia bayi dan dewasa, sering dikaitkan degna peningkatan produksi sebum (seborrehea) pada kulit kepala dan filokel sebasea pasda wajah dan tubuh.

Pada bayi penyakit ini lazim disebut DS infatil. Penyakit ini predominan pada 1 bulan pertama, paling banyak pada 3 bulan pertamadan akan menghilang dengan spontan pada usia 8 sampai 12 bulan meskipun tanpa pengobatan. DS infatil utamanya mengenai kulit kepala dan area intertrigenosa denga skuama berminyak dan krusta. Pada orang dewasa penyakit ini sering ditemukan pada dekade umur keempat sampai ketujuh dan memiliki tingkatan bervariasi dari yang ringan sampai berat, termasuk lesi yang menyerupai pola psoriasis atau pitiriasi dan eritroderma.

Prevelensi DS pada orang dewasa yang imunokompeten sebesar 1–3% dan ditemukan lebih banyak pada pria dari pada wanita, sedangkan dandruff mengenai 5-10% populasi. Insidensi DS pada penderita imunokompromais (HIV / AIDS) ditemukan lebih besar yaitu sekitar 30-85%. DS merupakan salah satu manifestasi penyakit kulit yang paling banyak ditemukan pada penderita yang terinfeksi HIV dan AIDS.

Beberapa faktor diduga sebagai contributor terhadap timbulnya DS, termasuk kondisi system imun yang terganggu seperti pada infeksi HIV/AIDS. Faktor – factor penyebab timbulnya DS tersebut antara lain adalah seborrhea, efek microbial, kerentana individu, obat-obatan tertentu, abnormalitas neurotransmitter, factor fisik, gangguan nutrisi, stress emosional, dan ketidakseimbangan hormonal.

Banyak penelitian yang mendukungperana jamur malassezia sebgai penyebab DS. Terbukti dari beberapa obat antijamur baik topikal maupun sistemik bisa memberikan kesembuhan pada banyak penderita.

Keberhasilan pengobatan DS dengan beberapa preparat antijamur terutama golongan azole seperti ketoconazole dapat membuka cakrawala baru pengobatan DS yang sebelumnya hanya mengenal keratolik dan kortikostroid. Terlebih setelah diteliti bahwa ketoconazole mempunyai efek anti-inflamasi yang dapat dipakai sebagai terapi DS yang bersifat kronik dan rekuren.

Page 15: Dermatitis Seboroik

JOURNAL READING anekartikelkesehatan Senin, 02 Mei 2011

DAFTAR PUSTAKA1. Degree H, Jacobs PH, Rosenberg EW, Shuster S. ketoconazole in Seberrhosic Dermatitis and

Dandruff A Review.Manchester : ADIS Press International Limited; 19892. Gupta AK, Kogan N. Seberrohoeic dermatitis : current treatment practiceas, expert Opin om

Pharmacop 2004;5:1755-653. Gupta AK, Brata R, Bluhm R, Boekhout T, Dawson TL, Skin diseases associated with

malassezia spscies. J Am Acad dermatol 2004;51:785-984. Plewig G, JnasenT, Seberrheic dermatitis, in: Wolff K, Goldsmith LA, KAzt SI, Gilchrest

BA, Paller AS, Leffel DJ, editors 7thed. Fitzpatrick’s dermatology in General Medicine. New York: Mc Graw Hill;2008.p.219-24

5. Jawas FA, Agusni I. Dermatitis seboroik pasda penderita HIV/ADIS. BIPKK 2006;18:150-5Atau silahkan unduh Filenya DiSiniEdting By : EnongXp