makalah kelompok f4 dermatitis atopik

38
MAKALAH KELOMPOK DERMATITIS ATOPIK Kelompok F4 Apriliana Widiastuti (102010-048) Ni Nyoman Juli (102010-059) Lydia Margaretha (102010-136) Kevin Ardiansyah (102010-138) Veny Febrina (102010-166) Jonathan Karel Gunawan (102010-245) Agrippina Perdiani (102010-264) Lidya Lestari (102010-351) Mahasiswa Fakultas Kedokteran Angkatan 2010

Upload: ruby-wright

Post on 27-Dec-2015

51 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

kelompok

TRANSCRIPT

MAKALAH KELOMPOK

DERMATITIS ATOPIK

Kelompok F4

Apriliana Widiastuti (102010-048)

Ni Nyoman Juli (102010-059)

Lydia Margaretha (102010-136)

Kevin Ardiansyah (102010-138)

Veny Febrina (102010-166)

Jonathan Karel Gunawan (102010-245)

Agrippina Perdiani (102010-264)

Lidya Lestari (102010-351)

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Angkatan 2010

Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna no. 6 – Jakarta Barat 11470

Pendahuluan

Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respons terhadap

pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan gejala klinis berupa

efloresensi polimorfik serta cenderung residif dan menjadi kronis. Dermatitis atopik ialah

keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal, yang umumnya sering terjadi

selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam

serum dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita (D.A., rintis alergik, dan atau asma

bronkial). Kelainan berupa papul gatal, yang kemudian mengalami ekskoriasi dan

likenifikasi, distribusinya di lipatan (fleksural).1

Terdapat berbagai jenis dermatitis, salah satunya adalah Dermatitis Atopik. Dermatitis

atopik (DA) adalah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal, umumnya

sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan

kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita (DA, rhinitis alergik,

dan atau asma bronchial). Kelainan kulit berupa papul gatal, yang kemudian mengalami

ekskoriasi dan likenifikasi, distribusinya di lipatan (fleksural).2

Kata ‘atopi’ pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah yang dipakai

untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam

keluarganya. Misalnya: asma bronkial, rinitis alergik, dermatitis atopik, dan konjungtivitis

alergik.1

Dengan makalah ini, kita dapat memahami tentang mekanisme terjadinya dermatitis

atopik. Selain itu, dapat mengetahui bagaimana cara mencegah dan menangani dermatitis

atopik agar tidak bermanifestasi klinis menjadi lebih luas yang bisa membahayakan

kehidupan kita.

Skenario

Seorang anak laki-laki usia 10 tahun dibawa ibunya datang ke poliklinik dengan beruntus

bersisik kemerahan yang terasa gatal pada badan serta kedua tungkai atas dan bawah sejak 2

minggu yang lalu. Kulit terlihat sangat kering. Kelainan sudah tibul sejak kecil.

Anamnesis

Anamnesis merupakan tahap awal dalam pemeriksaan untuk mengetahui riwayat

penyakit dan menegakkan diagnosis. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, teratur dan

lengkap karena sebagian besar data yang diperlukan dari anamnesis untuk menegakkan

diagnosis. Sistematika yang lazim dalam anamnesis, yaitu identitas, riwayat penyakit, dan

riwayat perjalanan penyakit.1,3

Anamnesis yang dapat dilakukan adalah Auto anamnesis dan Allo anamnesis. Dan

yang perlu diperhatikan dari auto anamnesis dicatat tanggal saat melakukan anamnesis dari

dan oleh siapa. Sedangkan allo anamnesis pada dasarnya sama dengan autoanamnesis,

bedanya yang menceritakan adalah orang lain, hal ini penting bila kita berhadapan dengan

anak kecil atau bayi serta orang tua yang sudah mulai demensia atau penderita yang tidak

sadar atau sakit jiwa, oleh karena itu perlu dicatat siapa yang memberikan allo anamnesis,

misalnya: dari orang tua, pembantu rumah tangga, atau saksi kecelakaan.

Karena pasien khawatir untuk memperlihatkan ruamnya, hal yang bijaksana bagi

dokter adalah memerhatikan ruam tersebut dengan cepat, kemudian menanyakan riwayatnya,

dan terakhir kembali memeriksa ruam tersebut dengan teliti.

Pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan pada pasien dengan lesi kulit antara lain:

1. Tempat lesi tersebut mulai timbul?

2. Apakah lesi tersebut terasa gatal?

3. Apakah lesi tersebut terasa nyeri?

4. Pola penyebaran (baik secara anatomis maupun perjalanan penyakitnya)

5. Perkembangan lesi tersebut

6. Respons terhadap pengobatan yang diberikan

7. Adanya pencetus, antara lain obat yang digunakan

8. Adanya gejala yang menunjukkan penyakit yang mendasari

9. Faktor predisposisi pada riwayat pekerjaan

10. Faktor predisposisi pada riwayat keluarga

Pemeriksaan

a. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dermatitis atopik dilakukan dalam bentuk pemeriksaan kulit, yang

dibagi menjadi dua berdasarkan :3,4

Lokalisasi

- Bayi : kedua pipi, kepala, badan, lipat siku, lipat lutut.

- Anak : tengkuk, lipat siku, lipat lutut.

- Dewasa : tengkuk, lipat lutut, lipat siku, punggung kaki.

Efloresensi/ sifat-sifatnya

- Bayi : eritema berbatas tegas, papula/ vesikel miliar disertai erosi dan eksudasi

serta krusta.

- Anak : papula-papula miliar, likenifikasi, tidak eksudatif.

- Dewasa : biasanya hiperpigmentasi, kering dan likenifikasi.

Pada pemeriksaan fisik pasien dapat diketahui bahwa terdapat beruntus kemerahan

yang terasa gatal pada badan serta kedua tungkai atas dan bawah.

b. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan :

IgE serum. IgE serum dapat diperiksa dengan metode ELISA. Ditemukan

80% pada penderita dermatitis atopik menunjukkan peningkatan kadar IgE

dalam serum terutama bila disertai gejala atopi ( alergi )

Eosinofil. Kadar serum dapat ditemukan dalam serum penderita dermatitis

atopik. Berbagai mediatore berperan sebagai kemoatraktan terhadap eosinofil

untuk menuju ke tempat peradangan dan kemudian mengeluarkan berbagai zat

antara lain Major Basic Protein (MBP). Peninggian kadar eosinofil dalam

darah terutama pada MBP.

TNF-a. Konsentrasi plasma TNF-a meningkat pada penderita dermatitis

atopik dibandingkan penderita asma bronkhial.

Sel T. Limfosit T di daerah tepi pada penderita dermatitis atopik mempunyai

jumlah absolut yang normal atau berkurang. Dapat diperiksa dengan

pemeriksaan imunofluouresensi terlihat aktifitas sel T-helper menyebabkan

pelepasan sitokin yang berperan pada patogenesis dermatitis atopik.

Uji tusuk. Pajanan alergen udara (100 kali konsentrasi) yang dipergunakan untuk

tes intradermal yang dapat memacu terjadinya hasil positif.

Pemeriksaan biakan dan resistensi kuman dilakukan bila ada infeksi sekunder

untuk menentukan jenis mikroorganisme patogen serta antibiotika yang sesuai.

Sampel pemeriksaan diambil dari pus tempat lesi penderita.

Dermatografisme Putih. Penggoresan pada kulit normal akan menimbulkan 3

respon, yakni : akan tampak garis merah di lokasi penggoresan selama 15 menit,

selanjutnya mennyebar ke daerah sekitar, kemudian timbul edema setelah

beberapa menit. Namun, pada penderita atopik bereaksi lain, garis merah tidak

disusul warna kemerahan, tetapi timbul kepucatan dan tidak timbul edema.

Percobaan Asetilkolin. Suntikan secara intrakutan solusio asetilkolin 1/5000

akan menyebabkan hiperemia pada orang normal. Pada orang Dermatitis Atopik.

akan timbul vasokontriksi, terlihat kepucatan selama 1 jam.4

Percobaan Histamin. Jika histamin fosfat disuntikkan pada lesi penderita

Dermatitis Atopik. eritema akan berkurang, jika disuntikkan parenteral, tampak

eritema bertambah pada kulit yang normal.4

Diagnosis Kerja

Diagnosis dermatitis atopik didasarkan kriteria yang disusun oleh Hanifin dan Rajka

yang diperbaiki oleh Williams (1994).5

Kriteria Mayor

- Pruritus

- Dermatitis di muka atau ekstensor bayi dan anak

- Dermatitis di fleksura pada dewasa

- Dermatitis kronis atau residif

- Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya.

Kriteria Minor

- Xerosis

- Infeksi kulit (khususnya oleh S. aureus dan virus herpes simpleks)

- Dermatitis non spesifik pada tangan dan kaki

- Iktiosis/ hiperlinearis palmaris/ keratosis pilaris

- Pitiriasis alba

- Dermatitis di papila mame

- White dermatografism dan delayed blanched response

- Keilitis

- Lipatan infra orbital Dennie – Morgan

- Konjungtivitis berulang

- Keratokonus

- Katarak subkapsular anterior

- Orbita menjadi gelap

- Muka pucat atau eritema

- Gatal bila berkeringat

- Intolerans perifolikular

- Hipersensitif terhadap makanan

- Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau emosi

- Tes alergi kulit tipe dadakan positif

- Kadar IgE dalam serum meningkat

- Awitan pada usia dini

Berdasarkan Hanifin dan Rajka diagnosis DA harus mempunyai tiga kriteria mayor dan

kriteria minor seperti yang telah disebutkan di atas. Untuk bayi, kriteria diagnosis

dimodifikasi menjadi sebagai berikut.5

Tiga kriteria mayor berupa :

- Riwayat atopi pada keluarga

- Dermatitis di muka atau ekstensor

- Pruritus

Ditambah tiga kriteria minor :

- Xerosis/ iktiosis/ hiperliniaris palmaris

- Aksentuasi perfolikular

- Fisura belakang telinga

- Skuama di skalp kronis

Kriteria major dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka didasarkan pengalaman

klinis. Kriteria ini cocok untuk diagnosis penelitian berbasis rumah sakit (hospital based) dan

eksperimental, tetapi tidak dapat dipakai pada penelitian berbasis populasi, karena kriteria

minor umumnya ditemukan pula pada kelompok kontrol. Oleh karena itu kelompok kerja

Inggris (UK working party) yang dikoordinasi oleh William memperbaiki dan

menyederhanakan kriteria Hanifin dan Rajka menjadi satu set kriteria untuk pedoman

diagnosis DA yang dapat diulang dan divalidasi. Pedoman ini sahih untuk orang dewasa,

anak, berbagai ras, dan sudah divalidasi dalam populasi, sehingga dapat membantu dokter

puskesmas membuat diagnosis.5

Pedoman diagnosis DA yang diusulkan kelompok tersebut adalah sebagai berikut.

- Harus mempunyai kondisi kulit gatal (itchy skin) atau laporan dari orangtuanya

bahwa anaknya suka menggaruk atau menggosok.

- Ditambah 3 atau lebih kriteria berikut :

1. Riwayat terkenanya lipatan kulit, misalnya lipat siku, belakang lutut, bagian

depan pergelangan kaki atau sekeliling leher (termasuk pipi anak usia di

bawah 10 tahun)

2. Riwayat asma bronkial atau hay fever pada penderita (atau riwayat penyakit

atopi pada keluarga tingkat pertama dari anak di bawah 4 tahun).

3. Riwayat kulit kering secara umum pada tahun terakhir.

4. Adanya dermatitis yang tampak di lipatan (atau dermatitis pada pipi/dahi dan

anggota badan bagian luar anak di bawah 4 tahun).

5. Awitan di bawah usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak di bawah 4 tahun).

Gambar 1. Dermatitis Atopik.

Diagnosis Banding

1. Dermatitis seboroik (D.S.)1,6

Penyebabnya masih belum diketahui pasti. Faktor predisposisinya adalah kelainan

konstitusi berupa status seboroik yang diturunkan. D.S. berubungan erat dengan

keaktifan glandula sebasea, yaitu kematangannnya merupakan faktor timbulnya D.S.,

tetapi tidak ada hubungan langsung secara kuantitatif antara keaktifan kelenjar

tersebut dengan suseptibilitas untuk memperoleh D.S. D.S dapat diakibatkan oleh

proliferasi epidermis yang meningkat. Pada orang yang telah mempunyai fakktor

predisposisi, timbulnya D.S. dapat disebabkan oleh faktor kelelahan, stress emosional,

infeksi atau defisiensi umum. Kelainan kulit terdiri atas eritema dan skuama yang

berminyak dan agak kekuningan batasnya agak kurang tegas. D.S yang ringan hanya

mengenai kulit kepala berupa skuama-skuama yang halus, mulai sebagai bercak yang

kecil yang kemudian mengenai seluruh kulit kepala dengan skuama-skuama yang

halus dan kasar yang disebut pitiriasis sika, sedangkan bentuk yang berminyak disebut

pitiriasis steatoides yang dapat disertai eritema dan krusta-krusta yang tebal. Rambut

pada tempat tersebut mempunya kecenderungan rontok. Pada bentuk yang berat maka

dapat meluas kedahi, glabela, telinga posaurikular dan leher. Pada bentuk yang lebih

berat lagi seluruh kepala tertutup oleh krusta-krusta yang kotor dan berbau tidak

sedap. Pada bayi, skuama-skuama yang kekuningan dan kumpulan-kumpulan debris

epitel yang lekat pada kulit kepala disebut cradle cap. Selain tempat-tempat tersebut

D.S. juga dapat mengenai liang telinga luar, lipatan nasolabial, daerah sterenal, areola

mame, lipatan dibawah mame pada wanita, interskapular, umbilicus, lipat paha dan

daerah anogenital. Pada daerah pipi, hidung dan dahi kelainan dapat berupa papul-

papul. Terdapat sisik kuning gelap pada pipi, badan dan lengan. Onset invariabel pada

daerah pantat halus, tidak bersisik, batas jelas, merah terang. D.S. pada bayi memiliki

ciri-ciri axillary patches, kurang oozing dan weeping dan kurang gatal.

Gambar 2. Dermatitis Seboroik pada Kulit Kepala, Pipi dan Tangan.

2. Dermatitis Kontak1,6,7

Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi yang

menempel pada kulit.

Ada 2 macam dermatitis kontak, yaitu dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak

alergik, keduanya dapat bersifat akut maupun kronis.

a. Dermatitis kontak iritan (DKI)

Penyakit ini merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik, tanpa didahului

proses sensitisasi. Dapat diderita semua orang dari berbagai golongan umur, ras,

dan jenis kelamin. Penyebabnya bahan yang bersifat iritan misalnya bahan pelarut,

deterjen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu. Kelainan kulit yang

terjadi sangat beragam bergantung pada sifat iritan. Jenis dermatitis kontak yang

paling sering terjadi adalah DKI kronis. Penyebabnya ialah kontak berulang-ulang

dengan iritan lemah (seperti deterjen, sabun, pelarut, tanah, bahkan juga air) dan

faktor fisik (seperti gesekan, trauma mikro, kelembapan rendah, panas, dingin).

Gejala klasiknya berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit tebal

(hiperkeratosis)dan likenifikasi, difus. Bila kontak terus berlangsung akhirnya

kulit dapat retak seperti luka iris (fisur), misalnya pada kulit tumit tukang cuci

yang mengalami kontak terus menerus dengan deterjen. Keluhan penderita

umumnya rasa gatal atau nyeri karena kulit retak karena fisur. Ada kalanya

kelainan hanya berupa kulit kering atau skuama tanpa eritema, sehingga diabaikan

oleh penderita. Setelah dirasakan mengganggu baru mendapat perhatian.

Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat dan pengamatan gambaran

klinis, kadang diperlukan uji tempel dengan bahan yang dicurigai.

Gambar 3.1. Dermatitis Kontak Iritan

b. Dermatitis kontak alergik (DKA)

Bila dibandingkan dengan DKI, jumlah penderita DKA lebih sedikit karena hanya

mengenai orang yang keadaan kulitnya sangat peka (hipersensitif). DKA terjadi

pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap suatu alergen. Penyebab

DKA adalah bahan kimia dengan berat molekul <1000 dalton, merupakan antigen

yang belum diproses, yang disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat

menembus stratum korneum sehingga mencapai sel epidermis di bawahnya.

Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya potensi sensitisasi

alergen, dosis per unit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, oklusi, suhu

dan kelembapan lingkungan, vehikulum, dan pH. Juga faktor individu, misalnya

keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum korneum, ketebalan

epidermis), status imunologik (misalnya sedang menderita sakit, terpajan sinar

matahari). Proses perjalanan penyakit melalui 2 tahap, yaitu sensitisasi dan

elisitasi. Penderita umumnya merasa gatal. Kelainan kulit bergantung pada

keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Pada yang akut dimulai dengan bercak

eritematosa yang berbatas jelas, diikuti edema, papulovesikel, vesikel, atau bula.

Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul likenifikasi dan mungkin

juga fisur, batasannya tidak jelas. Diagnosis didasarkan atas hasil anamnesis yang

cermat dan pemeriksaan klinis yang teliti. Dapat dilakukan uji tempel untuk

memastikan. Pengobatan untuk dermatitis ini adalah kortikosteroid topikal

misalnya hidrokortison ataupun kortikosteroid oral dalam jangka pendek seperti

prednison 30 mg/hari.

Gambar 3.2. Dermatitis Kontak Alergi

3. Dermatitis Numularis

Dermatitis numularis adalah salah satu bentuk dermatitis yang belum diketahui

penyebabnya secara pasti, bersifat kronik residif. Dermatitis berupa lesi eritematosus

eksudatif berbentuk koin atau agak lonjong, berbatas tegas dengan efloresensi berupa

papulovesikel, biasanya mudah pecah sehingga basah (oozing). Lesi terdapat pada

ekstremitas bagian ekstensor, bokong dan bahu disertai dengan Koebner

fenomena. Lebih sering dijumpai pada pria dewasa. Banyak faktor secara sendiri atau

bersama-sama telah dikemukakan sebagai agen penyebab.1,4

a. Trauma lokal, baik fisik maupun kimia

Patogenesisnya belum diketahui secara pasti. DN yang disebabkan trauma lokal

terutama terjadi pada tangan, misalnya gigitan serangga atau terkena bahan kimia

yang menyebabkan iritasi.

b. Xerosis atau kekeringan kulit : Insiden DN meningkat pada musim kering dengan

kelembaban rendah. Lingkungan dengan kelembaban rendah menyebabkan

peningkatan hilangnya kandungan air dalam kulit, selanjutnya terjadi perubahan

komposisi lipid sawar epidermis sehingga kulit menjadi kering atau xerosis.

c. Insufisiensi vena dan varises : ditemukannya kasus dengan lesi DN di sepanjang

vena tungkai menimbulkan dugaan bahwa DN mungkin disebabkan oleh adanya

varises dan edema pada ekstremitas bawah, sehingga timbul istilah varicose

eczema.

d. Stres emosional atau psikologis : 60% kasus eksema dicetuskan oleh faktor stres,

bahkan dikatakan  bahwa stres merupakan faktor pencetus utama pada dermatitis.

Gambar 4. Dermatitis Numularis

4. Dermatitis Herpetiformis

Dermatitis Herpetiformis adalah peradangan kulit kronis yang ditandai gatal pada

kulit yang terlihat seperti kulit melepuh. Penyakit ini adalah jenis penyakit menurun

dan tidak menular. Umumnya yang terkena adalah anak anak. Penyebab belum

diketahui, akan tetapi diduga  gangguan dari sistem kekebalan tubuh. Gejala gesekan

dengan fitur berikut: bentuk lepuhan dalam kelompok kecil-kecil. Dan biasanya

berdiameter antara 2 mm sampai 6 mm. Cluster muncul di tempat yang sama di kedua

sisi. Sting, tapi biasanya tidak terasa sakit kecuali kecuali rumit. Paparan panas dan

kelembaban meningkatkan frekuensi dan tingkat keparahan penyakit tersebut. Sejauh

ini dermatitis herpetiformis masih dapat dicegah. Untuk menghindari kambuhnya

gejala, minumlah obat yang telah diresepkan oleh dokter dan hindari cedera pada

bagian kulit sehat.

Gambar 5. Dermatitis Herpetiformis

5. Skabies

Penyakit kulit akibat infestasi dan sensitasi tungau Sarcoptes scabiei. Banyak

menyerang anak-anak. Penularan dapat terjadi secara langsung maupun tidak

langsung melalui pakaian, tempat tidur dan alat-alat tidur, handuk, dll. Penyakit ini

menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam sebuah keluarga, begitu juga

dalam sebuah perkampungan yang padat penduduknya, sebagain besar tetangga yang

berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut dan kebersihan lingkungan yang

kurang dapat mempermudah penularan penyakit. Tempat predileksinya tangan, kaki,

genitalia pria dan bokong, serta pada bayi juga dapat terkena dikepala dan pipi.

Terdapat rasa gatal pada malam hari (pruritus nocturna) karena aktivitas tungau ini

lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas. Pada tempat-tempat predileksi

akan ditemukan terowongan-terowongan (kunikulus) yang berbentuk garis lurus atau

berkelok-kelok, pada ujung terowongan ditemukan papul atau vesikel yang

didalamnya terdapat Sarcoptes scabiei. Kelainan kulit tidak hanya disebabkan oleh

tungau scabies tetapi oleh penderita sendiri akibat garukan pada saat ini kelainan kulit

menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urtika, erosi, krusta dan

infeksi sekunder.

Gambar 6. Skabies Pada Tangan.

6. Psoriasis

Psoriasis ialah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronik dan residif,

ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama yang

kasar, berlapis-lapis dan transparan; disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz dan

Kobner. Kelainan kulit terdiri atas bercak-bercak eritema yang meninggi (plak)

dengan skuama di atasnya. Eritema sirkumskrip dan merata, tetapi pada stadium

penyembuhan sering eritema ditengah menghilang dan hanya terdapat di pinggir.

Skuama berlapis-lapis dan kasar dan bewarna putih mika, serta transparan. Besar

kelainan bervariasi.

Gambar 7. Psoriasis

7. Iktiosis

Iktiosis merupakan kelainan keratinisasi dimana kulit menjadi sangat kering dan

berskuama. Pada sebagian besar kasus, penyakit ini adalah herediter, tetapi

kadang-kadang iktiosis bisa merupakan fenomena yang didapat (ac-quired),

misalnya yang berkaitan dengan limfoma. Ada beberapa tipe iktiosis yang

dibedakan berdasarkan cara pewarisan penyakitnya.9

a. Iktiosis dominan autosomal (iktiosis vulgaris)

Merupakan iktiosis yang paling banyak didapatkan, dan sering sangat ringan.

Pembentukan skuama biasanya terjadi pada usia dini. Kulit pada badan dan

bagian ekstensor dari ekstremitas menjadi kering dan rapuh, sedangkan

bagian fleksor sering tidak mengalami kelainan. Iktiosis dominan sering

berkaitan dengan keadaan atopik.

b. Iktiosis terkait-X (X-linked ichtyosis)

Iktiosis jenis ini hanya menyerang laki-laki. Skuama lebih besar dan

berwarna lebih gelap daripada iktiosis dominan lainnya, dan biasanya bagian

yang paling steroid sulfatase, bisa seluruhnya maupun hanya sebagian.

Baik iktiosis terkait-X maupun iktiosis dominan autosomal akan membaik

selama musim panas.

c. Iktiosis lamellar

Saat lahir; bayi kolodion merupakan awal timbul lesi dengan lokalisasi pada

lipatan tubuh, batang tubuh, dan selalu bentuk, gambaran klinis berupa

eritroderma, terdapat skuama kasar, telapak tangan dan kaki yang menebal.

Dengan efloresensi didapatkan sisik besar datra berwarna gelap.

Gambar 8. Iktiosis.

Epidemiologi

Oleh karena definisi secara klinis tidak ada yang tepat, maka untuk menginterpretasi

hasil penelitian epidemiologik harus berhati-hati. Berbagai penelitian menyatakan bahwa

prevalensi DA makin meningkat sehingga merupakan masalah kesehatan besar. Di Amerika

Serikat, Eropa, Jepang, Australia, dan negara industri lain, prevalensi DA pada anak

mencapai 10 sampai 20 persen, sedangkan pada dewasa kira-kira 1 sampai 3 persen. Di

negara agraris, misalnya Cina, Eropa Timur, Asia Tengah, prevalensi DA jauh lebih rendah.

Wanita lebih banyak menderita DA daripada pria dengan rasio 1,3:1. Berbagai faktor

lingkungan berpengaruh terhadap prevalensi DA, misalnya jumlah keluarga kecil, pendidikan

ibu makin tinggi, penghasilan meningkat, migrasi dari desa ke kota, dan meningkatnya

penggunaan antibiotik, berpotensi menaikkan jumlah penderita DA sedangkan rumah yang

berpenghuni banyak, meningkatnya jumlah keluarga, urutan lahir makin belakang, sering

mengalami infeksi sewaktu kecil, akan melindungi kemungkinan timbulnya DA pada

kemudian hari.10

DA cenderung diturunan. Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang

menderita atopi akan mengalami DA pada masa kehidupan 3 bulan pertama. Bila salah satu

orang tua menderita atopi, lebih separuh jumlah anak akan mengalami gejala alergi sampai

usia 2 tahun, dan meningkat sampai 79% bila kedua orang tua menderita atopi. Risiko

mewarisi DA lebih tinggi bila ibu yang menderita DA dibandingkan dengan ayah. Tetapi bila

DA yang dialami berlanjut hingga masa dewasa, maka risiko untuk mewariskan kepada

anaknya sama saja yaitu kira-kira 50%.10

Etiopatogenesis11,12

Etiologi dari penyakit dermatitis atopik belum diketahui. Berbagai faktor yang saling

berinteraksi seperti faktor genetik, imunologik, lingkungan, sawar kulit dan farmakologik

memicu timbulnya manifestas klinis DA. Konsep dasar terjadinya DA adalah melalui reaksi

imunologik, yang diperantarai oleh sel-sel yang berasal dari sumsum tulang.

Kadar IgE dalam serum penderita DA dan jumlah eosinofil dalam darah perifer

umumnya meningkat. Terbukti bahwa ada hubungan secara sistemik antara DA dan alergi

saluran napas, karena 80% anak dengan DA mengalami asma bronkial atau rinitis alergik.

Faktor Genetik

Kromosom 5q31-33 mengandung kumpulan famili gen sitokin IL-3, IL-4, IL-13, dan

GM-CSF (granulocyte macrophage colony stimulating factor) yang diekspresikan oleh sel

TH2. Ekspresi gen IL-4 memainkan peranan penting dalam ekspresi DA. Perbedaan genetik

aktivitas transkripsi gen IL-4 mempengaruhi predisposisi DA.

Respon Imun pada Kulit

Sitokin TH2 dan TH1 berperan dalam patogenesis peradangan kulit DA. Jumlah TH2

lebih banyak pada penderita atopi sebaliknya TH1 menurun. Pada kulit normal penderita DA

bila dibandingkan dengan kulit normal bukan penderita DA ditemukan lebih banyak sel-sel

yang mengekspresikan mRNA IL-4 dan IL-13. Dijumpai pula berbagai kemokin pada lesi

kulit DA yang dapat menarik sel-sel seperti eosinofil, limfosit T, dan monosit, masuk ke

dalam kulit.

Pada DA kronis, ekspresi IL-5 akan mempertahankan eosinofil hidup lebih lama dan

menggiatkan fungsinya. Peningkatan ekspresi GM-SCF akan mempertahankan hidup dan

fungsi monosit, sel Langerhans, dan eosinofil. Produksi TNF-a dan IFN-y pada DA memicu

kronisitas dan keparahan dermatitis. Garukan kronis dapat menginduksi terlepasnya TNF-a

dan sitokin proinflamasi yang lain dari epidermis sehingga mempercepat timbulnya

peradangan di kulit DA.

Sel Langerhans pada kulit penderita DA adalah abnormal, dapat secara langsung

menstimulasi sel TH tanpa adanya antigen dan mengaktifasi TH2. SL yang mengandung IgE

meningkat, mampu mempresentasikan alergen tungau debu rumah kepada sel T. Sel

Langerhans yang mengandung IgE setelah menangkap allergen akan mengaktifkan sel TH2

memori di kulit atopi, bermigrasi juga ke kelenjar getah bening setempat, menstimulasi

bertambahnya jumlah sel TH2.

Kadar seramid pada kulit penderita DA berkurang sehingga kehilangan air

(transepidermal water loss=TEWL) melalui epidermis dipermudah. Hal ini mempercepat

absorbsi antigen ke dalam kulit. Sensitisasi epikutan terhadap alergen menimbulkan respons

TH2 yang lebih tinggi daripada melalui sistemik atau jalan udara, maka kulit yang terganggu

fungsi sawarnya merupakan tempat yang sensitif.

Respon Sistemik

Jumlah IFN-y yang dihasilkan oleh sel mononuklear darah tepi penderita DA

menurun sedangkan konsentrasi IgE dalam serum meningkat. IFN-y menghambat sintesis

IgE, proliferasi sel TH2 dan ekspresi reseptor IL-4 pada sel T. Sel monosit di darah tepi

penderita DA diaktivasi, mempunyai insiden apoptosis spontan yang rendah. Hal ini

disebabkan oleh meningkatnya produksi GM-CSF oleh monosit yang beredar pada DA.

Berbagai Faktor Pemicu

Pada anak kecil makanan dapat berperan dalam patogenesis DA, tetapi biasa tidak

terjadi pada penderita DA yang lebih tua. Makanan yang paling sering ialah telur, susu,

gandum, kedelai, dan kacang tanah. Reaksi yang terjadi pada penderita DA karena induksi

alergen makanan dapat berupa dermatitis ekzematosa, utrikaria, kontak urtikaria, atau

kelainan muko-kutan yang lain. Hasil pemeriksaan laboratorium dari bayi dan anak-anak

kecil dengan DA sedang atau berat, menunjukkan reaksi positif terhadap tes kulit dadakan

(immediate skin test) dengan berbagai jenis makanan. Reaksi positif ini diikuti dengan

kenaikan mencolok histamin dalam plasma dan aktivasi eosinofil.

Dijumpai pada penderita DA setelah menghirup tungau debu rumah akan mengalami

ekserbasi ditempat lesi lama, dan timbul pula lesi baru. Demikian pula setelah aplikasi

epikutan dengan aeroalergen (TDR, bulu binatang, kapang) melalui uji tempel pada kulit

penderita atopi tanpa lesi, terjadi reaksi ekzematosa pada 30-50% penderita DA, sedangkan

pada penderita alergi saluran napas dan relawan sehat jarang yang menunjukkan hasil positif.

Hasil pemeriksaan laboratorium ditemukan pada sebagian besar penderita DA. IgE spesifik

untuk alergen hirup. Juga pada 95% penderita DA mempunyai IgE spesifik terhadap TDR,

sedangkan pada penderita asma bronkial hanya 42%. Derajat sensitisasi terhadap aeroalergen

berhubungan langsung dengan tingkat keparahan DA.

Penderita DA cenderung mudah terinfeksi oleh bakteri, virus, dan jamur karena

imunitas selular menurun (aktivitas TH1 berkurang). Pada lebih dari 90% lesi kulit penderita

DA ditemukan S. Aureus, sedangkan pada orang normal hanya 5%. Akan tetapi bila diobati

dengan kombinasi antibiotika dan kortikosteroid topikal, hasilnya lebih baik dibandingkan

kalau hanya dengan kortikosteroid topikal saja. Sebagian besar penderita DA membuat

antibodi IgE spesifik terhadap superantigen stafilokokus yang ada di kulit. Apabila ada

superantigen menembus sawar kulit yang terganggu, akan menginduksi IgE spesifik, dan

degranulasi sel mast, kejadian ini akan memicu siklus gatal-garuk yang akan menimbulkan

lesi dikulit penderita DA. Superantigen juga meningkatkan sintesis IgE spesifik dan

menginduksi resistensi kortikosteroid, sehingga memperparah DA.

Gejala Klinis

Kulit penderita D.A. umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid di epidermis

berkurang, dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Jari tangan teraba dingin.

Penderita D.A. cenderung tipe astenik, dengan inteligensia di atas rata-rata, sering

merasa cemas, egois, frustrasi, agresif, atau merasa tertekan.

Gejala utama D.A. ialah (pruritus), dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi umumnya

lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk sehingga timbul

bermacam-macam kelainan di kulit berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi,

eksudasi, dan krusta. D.A. dapat dibagi menjadi tiga face, yaitu: D.A. infantil (terjadi

padausia 2 bulan sampai 2 tahun), D.A. anak (2 sampai 10 tahun) dan D.A. pada remaja dan

dewasa.

a. D.A. infantil (usia 2 bulan sampai 2 tahun)

D.A. paling sering muncul pads tahun pertama kehidupan, biasanya setelah

usia 2 bulan. Lesi mulai di muka (dahi, pipi) berupa eritema, papulo-vesikel yang

halus, karena gatal digosok, pecah, eksudatif, clan akhirnya terbentuk krusta. Lesi

kemudian meluas ke tempat lain yaitu ke skalp, leher, pergelangan tangan, lengan

dan tungkai. Bila anak mulai merangkak, lesi ditemukan di lutut. Biasanya anak

mulai menggaruk setelah berumur 2 bulan. Rasa gatal yang timbul sangat

mengganggu sehingga anak gelisah, susah tidur, dan sering menangis. Pada

umumnya lesi D.A. infantil eksudatif, banyak eksudat, erosi, krusta dan dapat

mengalami infeksi. Lesi clapat meluas generalisata bahkan, walaupun jarang,

dapat terjadi eritroderma. Lambat laun lesi menjadi kronis clan residif. Sekitar usia

18 bulan mulai tampak likenifikas:, Pada sebagian besar penderita sembuh setelausia

2 tahun, mungkin juga sebelumnya, sebagian lagi berlanjut menjadi bentuk anak.

Pada saat itu penderita tidak lagi mengalami eksaserbas bila makan makanan yang

sebelumnya menyebabkan kambuh penyakitnya.

Larangan makan atau minuman yang mengandung susu sapi pada bayi masih ada

sitang pendapat. Ada yang melaporkan bahwa kelaina secara dramatis membaik

setelah makanat ersebut dihentikan, sebaliknya ada pula yang mendapatkan tidak

ada perbedaan.

b. D.A. pada anak (usia 2 sampai 10 tahun)

Dapat merupakan kelanjutan bentuk infantil atau timbul sendiri (de novo). Lesi

lebih kering tidak begitu eksudatif, lebih banyak papul , likenifikasi, dan

sedikit skuama. Letak kelainan kulit di lipat siku, lipat lutut, pergelangan tangan -

bagian fleksor, kelopak mata, leher, jarang di muka rasa gatal menyebabkan

penderita sering menggaruk dapat terjadi erosi, likenifikas mungkin juga

mengalami infeksi sekunder. Akibat garukan, kulit menebal dan perubahan lainnya

yang menyebabkan gatal, sehingga terjadi lingkaran setan "siklus gatal-garuk".

Rangsangan menggaruk sering di luar kendali. Penderita sensitif terhadap, wol,

bulu kucing dan anjing juga bulu ayam, burung dan sejenisnya. D.A. berat yang

melebihi 50% permukaan tubuh dapat memperlambat pertumbuhan.

c. D.A. pada remaja dan dewasa

Lesi kulit D.A. pada bentuk ini dapat berupa plak papular-eritematosa dan berskuama

atau plak likenifikasi yang gatal. Pada D.A. remaja lokalisasi lesi di lipat siku,

lipat lutut, dan sampai leher, dahi, dan sekitar mata. Pada D.A. dewasa distribusi lesi

kurang karakteristik, sering mengenai tangan dan pergelangan tangan, dapa pula

ditemukan setempat, misalnya di bibir (kering, pecah, bersisik), vulva, puting susu,

atau scalp. Kadang erupsi meluas, dan paling parah dilipatan, mengalami

likenifikasi. Lesi kering, agak menimbul, papul datar dan cenderung bergabung

menjadi plak likenifikasi dengan sedikit skuama dan sering tejadi eksoriasi dan

eksudasi karena garukan. Lambat laun terjadi hiperpigmentasi.

Lesi sangat gatal, terutama pada malam hari waktu beristirahat. Pada orang

dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh bila mengalami stres. Mungkin

karena stres dapat menurunkan ambang rangsang gatal. Penderita atopik memang sulit

mengeluarkan keringat, sehingga rasa gatal timbul bila mengadakan latihan fisik.

Pada umumnya D.A. remaja atau dewasa berlangsung lama, kemudian cenderung

menurun dan membaik (sembuh) setelah usia 30 tahun, jarang sampai usia

pertengahan, hanya sebagian kecil terus berlangsung sampai tua. Kulit penderita

D.A. yang telah sembuh mudah gatal dan cepat meradang bila terpajan oleh

bahan iritan eksogen.

Komplikasi13

Komplikasi DA meliputi superinfeksi bakteri dan virus. Jumlah limfosit T berkurang

sehingga mudah mendapat infeksi oleh virus, bakteri, maupun jamur. Jika mendapat infeksi

demikian dapat menjadi lebih berat dibandingkan dengan orang normal, terutama kalau

mendapat infeksi virus, misalnya vaksianasi atau herpes simpleks. Kedua keadaan tersebut

dapat menimbulkan keadaan akut, berupa timbulnya banyak vesikel dan pustul yang akan

menyebar disertai dengan demam tinggi dan menyebabkan kematian dan disebut erupsi

variseliformis Kaposi. Oleh karena itu penderita dermatitis atopik tidak boleh berdekatan

dengan penderita berpenyakit virus misalnya varisela, herpes zoster, dan herpes simpleks.

Penatalaksanaan

1. Umum

a. Hindari semua faktor luar yang mungkin menimbulkan manifestasi klinis.

b. Menjauhi alergen pencetus.

c. Hindari pemakaian bahan yang merangsang seperti sabun keras dan bahan pakaian

dari wol.

2. Khusus

a. Pengobatan topical

1) Hidrasi kulit

Kulit penderita DA kering dan fungsi sawarnya berkurang, mudah retak

sehingga mempermudah masuknya mikroorganisme patogen, bahan iritan dan

alergen.Pada kulit yang demikian perlu diberikan pelembab, misalnya krim

hidrofilik urea 10%, dapat pula ditambahkan hidrokortison 1% di

dalamnya.Bila memakai pelembab yang mengandung asam laktat, konsentrasinya

jangan lebih dari 5%, karena dapat mengiritasi bila dermatitisnya

masih aktif.Setelah mandi kulit dilap, kemudian merakai emolien agar kulit tetap

lembab.Emolien dipakai beberapa kali sehari, karena lama kerja raksimum 6 jam.

2) Kortikosteroid topical

Pengobatan DA dengan kortikosteroid topical adalah yang paling

sering digunakan sebagai anti-inflamasi lesi kulit.Namun demikian harus waspada

karena dapat terjadi efek samping yang tidak diinginkan.Pada bayi digunakan

salap steroid berpotensi rendah, misalnya hidrokortison 1%-2.5%.pada anak dan

dewasa dipakai steroid berpotensi menengah, misalnya triamsinolon, kecuali pada

luka digunakan steroid berpotensi lebih rendah. Kortikosteroid berpotensi rendah

juga dipakai didaerah genitalia dan intertriginosa, jangan digunakan yang

berpotensi kuat, misalnya, wrinated glucocorticoid.Bila aktivitas penyakit telah

terkontrol, dipakai secara intermiten, umumnya 2 kali seminggu, untuk menjaga

agar tidak cepat kambuh; sebaiknya dengan kortikosteroid yang potensinya paling

rendah. Pada lesi akut yang basah dikompres dahulu sebelum digunakan steroid,

misalnya dengan larutan Burowi, atau dengan larutan permanganas kalikus

1:5000.

3) Imunomodulator topikal

Takrolimus, suatu penghambat calcineurin, menghambat aktivasi sel yang

terlibat dalam DA yaitu: sel Langerhans, sel T, sel mas, clan keratinosit.

Takrolimus dapat digunakan untuk anak (salep 0,03%) maupun dewasa (salep

0,03% dan 0,1%). Pimekrolimus, suatu senyawa askomisin yaitu imunomodulator

golongan makrolaktam.Cara pemakaian keduanya adalah dioleskam 2 kali

sehari.Pimekrolimus dan takrolimus tidak dianjurkan pada anak usia kurang dari 2

tahun. Penderita yang diobati dengan pimekrolimus dan takrolimus dinasehati

untuk memakai pelindung matahari karena ada dugaan bahwa kedua obat tersebut

berpotensi menimbulkan kanker kulit.

4) Preparat ter

Preparat ter mempunyai efek antipruritus dan anti-inflamasi pada kulit.Dipakai

pada lesi kronis, jangan pada lesi akut. Sediaan dalam bentuk salap hidrofilik,

misalnya yang mengandung likuor karbonis detergen 5% sampai 10 %, atau crude

coal tar 1% sampai 5%.

b. Pengobatan sistemik

1) Kortikosteroid

Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk mengendalikan eksaserbasi

akut, dalam jangka pendek, dan dosis rendah, diberikan berselang-

seling (alternate), atau diturunkan bertahap(tapering), kemudian segera diganti

dengan kortikosteroid topikal. Pemakaian jangka panjang menimbulkan berbagai

efek samping, dan bila dihentikan, lesi yang lebih berat akan muncul kembali.

2) Antihistamin

Antihistamin digunakan untuk membantu mengurangi rasa gatal yang hebat,

terutama malam hari, sehingga mengganggu tidur.Oleh karena itu antihistamin

yang dipakai ialah yang mempunyai efek sedatif, misalnya hidroksisin atau

difenhidramin. Pada kasus yang lebih sulit dapat diberikan doksepin

hidroklorid yang mempunyai efek antidepresan dan memblokade reseptor

histamih H1 dan H2, dengan dosis 10 sampai 75 mg secara oral malam hari pads

orang dewasa.

3) Antimikroba,hanya diberikan bila ada indikasi

4) Interferon

IFN-γ diketahui menekan respons IgE dan menurunkan fungsi dan proliferasi

sel TH2. Pengobatan dengan IFN-γ rekombinan menghasilkan perbaikan klinis,

karena dapat menurunkan jumlah eosinofil total dalam sirkulasi.

5) Siklosporin

DA yang sulit diatasi dengan pengobatan konvensional dapat diberikan

pengobatan dengan siklosporin dalam jangka pendek. Dosis jangka pendek yang

dianjurkan per oral: 5 mg/kg berat badan. Siklosporin adalah obat imunosupresif

kuat yang terutama bekerja pads sel T akan terikat dengan cyclophilin (suatu

protein intraselular) menjadi satu kompleks yang akan menghambat calcineurin

sehingga transkripsi sitokin ditekan. Tetapi, bila pengobatan dengan siklosporin

dihentikan umumnya penyakitnya akan segera kambuh lagi. Efek samping yang

mungkin timbul yaitu peningkatan kreatinin dalam serum, atau bahkan terjadi

penurunan fungsi ginjal dan hipertensi.

c. Terapi sinar (phototherapy)

UntukDAyangberatdanluasdapatdigunakan

PUVA (photochemotherapy) seperti yang dipakai pada psoriasis. Terapi UVB, atau

Goeckerman dengan UVB dan ter juga efektif. Kombinasi UVB dan UVA lebih baik

daripada hanya UVB. UVA bekerja pada sel Langerhans dan eosinofil, sedangkan

UVB mempunyai efekimunosupresif dengan cara memblokade fungsisel Langerhans,

dan mengubah produksi sitokin keratinosit.

Prognosis

Sulit meramalkannya prognosis DA pada seseorang. Ada kencerungan perbaikan spontan

pada masa anak dan sering ada yang mengalami kekambuhan pada masa remaja. Sebagian

kasus menetap pada usia di atas 30 tahun. Berikut adalah faktor yang berkaitan dengan

prognosis pada DA yang kurang baik.

- DA yang luas pada anak.

- Menderita rinitis alergika dan asma bronkial.

- Riwayat DA pada orang tua atau saudara kandung.

- Awitan (onset) DA pada usia muda.

- Anak tunggal.

- Kadar IgE serum sangat tinggi.

Diperkirakan 30-50% penderita DA infantil akan berkembang menjadi asma bronkial atau

hay fever. Penderita atopi mempunyai resiko tinggi untuk mendapat dermatitis kontak iritan

akibat kerja di tangan.

Preventif1,4,6

Pencegahan untuk mengurangi risiko kekambuhan D.A. dapat dilakukan dengan :

a. Kulit penderita D.A. cenderung lebih rentan terhadap bahan iritan, oleh karena itu

penting untuk mengidentifikasi kemudian menyingkirkan faktor yang memperberat

dan memicu siklus 'gatal-garuk', misalnya sabun dan detergen, kontak dengan

bahan kimia, pakaian kasar, pajanan terhadap panas atau dingin yang

ekstrim.

b. Bila memakai sabun hendaknya yang berdaya larut minimal terhadap lemak dan

mempunyai pH netral.

c. Pakaian baru sebaiknya dicuci terlebih dahulu sebelum dipakai untuk membersihkan

formaldehid atau bahan kimia tambahan.

d. Mencuci pakaian dengan detergen harus dibilas dengan baik, sebab sisa detergen

dapat bersifat iritan.

e. Selesai berenang harus segera mandi untuk membilas klorin yang biasanya

digunakan pada kolam renang.

f. Hindari stress karena stres juga dapat menyebabkan eksaserbasi DA.

g. Seringkali serangan dermatitis pada bayi dan anak dipicu oleh iritasi dari luar,

misalnya terlalu sering dimandikan, menggosok terlalu kuat pakaian terlalu tebal,

ketat atau kotor, kebersihar kurang terutama di daerah popok, infeksi local, seperti

iritasi kencing atau feses; bahkan juga -edicated baby oil. Pada bayi penting

diperhatikan kebersihan daerah bokong dan genitalia, popok segera diganti, bila

basah atau kotor. Upaya pertama adalah melindungi daerah yang terkena terhadap

garukan agar tidak memperparah penyakitnya. Usahakan tidak memakai pakaian

yang bersifat iritan (misalnya wol, atau srtetik), bahan katun lebih baik. Kulit

anak/bayi dijaga tetap tertutup pakaian untuk menghindari pajanan iritan atau trauma

garukan.

h. Mandi dengan pembersih yang mengandung pelembab, hindari pembersih

antibacterial karena berisiko menginduksi resistensi.

Kesimpulan

Keluhan gatal yang disertai dengan beruntus, sisik, kemerahan pada badan serta kedua

tingkai atas dan bawah yang dijumpai pada anak laki-laki berusia 10 tahun dapat disimpulkan

bahwa anak laki-laki tersebut mengalami dermatitis atopik. Hal ini dapat dilihat dari adanya

keluhan utama berupa gatal yang diikuti dengan lesi berupa papul, eritema, dan juga skuama

yang sesuai dengan manifestasi klinis dermatitis atopik.

Dermatitis atopik adalah gangguan kulit kambuhan yang bersifat akut, subakut, atau

kronis yang biasanya dimulai pada masa bayi dan ditandai terutama oleh kulit kering dan

pruritus. Konsekuensi dari garukan dan gosokan pada kulit yang mengalami kelainan dapat

menyebabkan terjadinya likenifikasi dan rasa gatal serta keinginan untuk menggaruk yang

lebih besar lagi. Umumnya dermatitis ini akan hilang secara spontan, tetapi pada sebagian

bayi gangguan ini akan terus berkembang saat anak-anak dan dewasa. Semua penderita

mempunyai keluhan yang sama, yaitu gatal (pruritus). Pada penyakit ini sering terdapat

peningkatan IgE.

Penatalaksanaan yang penting ialah mencegah garukan. Sedapat-dapatnya

menghindari garukan yang dapat menyababkan infeksi di kulit. Berkeringat dan panas pada

kulit seringkali menjadi faktor pencetus, dan pasien dianjurkan menghindari faktor pencetus

tersebut. Mandi dengan air hangat dan penggunaan sabun yang lembut dianjurkan; emolien

dapat dioleskan pada kulit yang lembab untuk memaksimalkan retensi kelembaban. Steroid

potensi menengah dapat dioleskan 2 kali sehari untuk eksaserbasi DA. Antibiotik hanya

digunakan untuk kasus dengan tanda infeksi.

Namun untuk menunjang diagnosis, perlu dilakukan anamnesis lebih lanjut kepada

pasien atau orang tuanya. Anamnesis perlu dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis

banding lainnya yang masih ada kemungkinan menjadi diagnosis kerja. Riwayat alergi,

riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga penting untuk dapat membedakan

penyakit atopi dengan penyakit kulit lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sularsito SA, Djuanda S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: FKUI;

2010.h.138-96.

2. Rassner, Steinert U. Buku ajar dan atlas dermatologi Rassner. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC; 1995.h.24-73.

3. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta: EGC; 2009.h.181-5.

4. Siregar R.S. Saripati penyakit kulit. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2004.h.115-7.

5. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-6. Jakarta:

Badan Penerbit FKUI; 2011.h.129-213.

6. Harahap M. Ilmu penyakit kulit. Jakarta: Hipokrates; 2000.h.4-26.

7. Davey P. Medicine at a glance. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2006.h.400-7.

8. Handoko RP. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-6.Jakarta:FKUI;2010.h.122-5.

9. Graham, Robin. Lecture notes dermatology. Edisi 8. Jakarta: Erlangga; 2005.p.120-1

10. Soegondo S. Penuntun anamnesis dan pemeriksaan fisis. Jakarta: Pusat Penerbit

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

2005.h.35-7.

11. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006.h.138-1438.

12. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.

13. Williams L, Wilkins. Teks atlas kedokteran kadaruratan. Jilid 2. Jakarta: Erlangga,

2007; 402-8.