laporan igd dr anton selesai fix

22
KARYA TULIS ILMIAH PENANGANAN GAWAT DARURAT PADA PASIEN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Kasus di Instalasi Gawat Darurat RSUD Tugurejo Semarang) Disusun oleh: Rahadian Indra Jati G1G212002 Mila Yuniarti G1G212008 Ina Permata Dewi G1G212009 KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

Upload: aisha-mutiara

Post on 23-Dec-2015

31 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

IGD

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Igd Dr Anton Selesai Fix

KARYA TULIS ILMIAH

PENANGANAN GAWAT DARURAT PADA PASIENKECELAKAAN LALU LINTAS

(Studi Kasus di Instalasi Gawat Darurat RSUD Tugurejo Semarang)

Disusun oleh:

Rahadian Indra Jati G1G212002

Mila Yuniarti G1G212008

Ina Permata Dewi G1G212009

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN KEDOKTERAN GIGI

2013

Page 2: Laporan Igd Dr Anton Selesai Fix

BAB IPENDAHULUAN

Gawat darurat adalah suatu keadaan yang mana penderita memerlukan

pemeriksaan medis segera, apabila tidak dilakukan akan berakibat fatal bagi

penderita. Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab dengan persentase yang tinggi

terjadinya kecacatan dan kematian. Salah satu trauma yang dapat terjadi akibat

kecelakaan lalu lintas adalah trauma maksilofasial. Berdasarkan studi yang

dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan

oleh kecelakaan lalu lintas. Pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal harus

menjalani rawat inap di rumah sakit dan dapat mengalami cacat permanen

(Fahrevi, 2009).

Prinsip utama dalam keadaan gawat darurat adalah menyelamatkan pasien

dari kematian, dimana seluruh tindakan yang dilakukan pada saat kondisi gawat

darurat haruslah efektif dan efisien, karena pada kondisi tersebut pasien dapat

kehilangan nyawa dalam hitungan menit. Salah satu keadaan gawat darurat yang

membutuhkan pertolongan dengan segera adalah kasus trauma. Trauma dapat

didefinisikan sebagai cedera pada tubuh akibat pemajanan akut tubuh ke suatu

bentuk energi atau akibat ketidakadaan suatu bahan esensial misalnya oksigen dan

panas (Gruendemann, 2006).

Penyebab trauma diklasifikasikan dalam beberapa cara, antara lain

kekuatan mekanik, aksi suhu, dan agen kimia. Dalam prakteknya, seringkali

terdapat kombinasi trauma yang disebabkan oleh satu jenis penyebab, sehingga

klasifikasi trauma ditentukan oleh alat penyebab dan usaha yang menyebabkan

trauma (Sebaztian, 2011).

Kegawatdaruratan yang terjadi di bidang kedokteran gigi salah satunya

adalah trauma maksilofasial. Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang

mengenai wajah dan jaringan sekitarnya. Trauma pada maksilofaksial dapat

diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma jaringan keras wajah dan

trauma jaringan lunak wajah (Fahrevi, 2009).

Pada penatalaksanaan kasus trauma maksilofasial, dokter gigi sangat

berperan untuk menentukan diagnosis dan melakukan perawatan yang tidak

Page 3: Laporan Igd Dr Anton Selesai Fix

terlalu rumit terutama untuk trauma dentoalveolar dan merujuk ke spesialis bedah

mulut apabila diperlukan perawatan yang lebih kompleks (Pedersen, 1996). Karya

tulis ilmiah ini menyajikan penatalaksanaan gawat darurat seorang pasien yang

trauma akibat kecelakaan lalu lintas dengan trauma pada wajah serta ekstremitas.

Page 4: Laporan Igd Dr Anton Selesai Fix

BAB IIPENATALAKSANAAN KASUS

A. Kasus

Pasien laki-laki usia 33 tahun datang ke IGD RSUD Tugurejo

Semarang karena kecelakaan lalu lintas. Pasien dalam keadaan sadar,

merasa pusing, sesak nafas, kaki kiri dan punggung nyeri untuk digerakan,

luka lecet di bahu kiri, leher, dan kedua kaki. Terdapat hematom di dahi

dan luka robek di sudut bibir dan di vestibulum.

B. Penatalaksanaan Kasus di IGD

1. Anamnesa

Pasien datang ke RSUD Tugurejo karena kecelakaan lalu

lintas. Pasien mengendarai sepeda motor dan tertabrak mobil. Pasien

dalam kondisi sadar. Pasien merasa pusing, sesak nafas, kaki kiri sakit

untuk digerakan dan punggung nyeri, luka lecet di bahu kiri, leher, dan

kedua kaki.

2. Pemeriksaan tanda vital (vital sign)

Pemeriksaan tanda vital (vital sign) meliputi pengukuran suhu

tubuh, denyut nadi, tekanan darah, dan pernapasan. Pada pasien ini

didapatkan hasil:

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Heart rate : 96 x/menit

Respiration rate : 20 x/menit

Temperatur : 37 °C

3. Pemeriksaan fisik

a. Keadaan umum: lemah, compos mentis

b. Kepala: hematom di regio frontal berukuran 3 cm x 4 cm, hematom

kelopak mata atas +/-, pupil mata isokor ø 3mm/3mm, reflek

cahaya +/+, otorhea - / -, rhinorhea (-), VL di vestibulum labialis

inferior dari regio 34-45 ukuran 6cm x 3cm, VL di sudut bibir

Page 5: Laporan Igd Dr Anton Selesai Fix

kanan ukuran 1cm x 1cm, VL di mukosa labial ukuran 1,5cm x

0,5cm.

c. Leher: multipel VE dekstra dengan ukuran 3cm x 3cm dan 3cm x

2cm; VE leher sinistra dengan ukuran 10 cm x 5 cm

d. Thorax:

- Inspeksi : jejas kemerahan di dada kiri ukuran 5cm x 6cm,

ketinggalan gerak (–); jejas kemerahan di vertebra thoracalis

ukuran 5cm x 4 cm,

- Perkusi : sonor +/+

- Palpasi : fremitus +/+, ketinggalan gerak (-)

- Auskultasi : vesikuler +/+, whezing -/-

e. Abdomen:

- Inspeksi : jejas (–)

- Auskultasi : bising usus (+) normal

- Perkusi : tympani

- Palpasi : supel, nyeri tekan (-)

f. Ekstremitas: multipel VE di bahu kiri dengan ukuran 10cm x 6cm

dan 3cm x 3 cm; VE femur dekstra dengan ukuran 7cm x 5cm,

deformitas femur sinistra (+)

g. Diagnosa: CKR + trauma vertebrae cervicalis + trauma vertebrae

thoracalis + fraktur femur sinistra tertutup + VL lower lips

4. Tata Laksana

a. Stabilisasi ABCD

b. Pemasangan Collar Neck

c. Pemasangan Spalk/bidai di femur sinistra

d. Pemasangan O2, 2 liter per menit nasal canul

e. Wound toilet VE dan VL

f. Infus RL 20 tetes per menit

g. Injeksi ceftriaxone 2x1 gr (dengan skin test)

h. Injeksi ketorolac 2x1 ampul

i. Injeksi asam traneksamat 3x500 mg

j. Injeksi citicolin 2x500 mg

Page 6: Laporan Igd Dr Anton Selesai Fix

k. Pemeriksaan darah rutin

l. Rontgen cranium, vertebra cervicalis, vertebra thoracalis, dan

femur sinistra

m. Pengawasan keadaan umum dan vital sign

n. Perawatan oleh dokter spesialis syaraf, dokter spesialis orthopaedi,

dan dokter spesialis bedah mulut

Page 7: Laporan Igd Dr Anton Selesai Fix

BAB IIIPEMBAHASAN

Gawat darurat adalah adalah suatu keadaan yang mana penderita

memerlukan pemeriksaan medis segera, apabila tidak dilakukan akan berakibat

fatal bagi penderita. Kegawatdaruratan di bidang kedokteran gigi salah satunya

adalah trauma maksilofasial. Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang

mengenai wajah dan jaringan sekitarnya. Trauma pada maksilofaksial dapat

diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma jaringan keras wajah dan

trauma jaringan lunak wajah (Fahrevi, 2009).

Diagnosis pada pasien trauma oromaksilofasial dapat dilihat dari riwayat

trauma, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan radiografis. Mendapatkan riwayat

yang adekuat dari korban trauma adalah sulit, karena biasanya korban tidak

mampu memberi respon dengan baik. Keadaan tidak sadar (koma), syok, amnesia,

dan intoksikasi merupakan hambatan yang sering terjadi dalam menjalin

komunikasi dengan pasien. Sumber terbaik yang dapat digunakan adalah keluarga

dekat yang menemaninya, temannya, PPPK, polisi ataupun pekerja pada unit

gawat darurat. Informasi yang harus diperoleh dapat meliputi tanggal, waktu,

tempat kejadian, dan peristiwa yang khusus, sebab dari cedera yang terjadi,

kondisi medis risiko tinggi, alergi, dan tanggal imunisasi tetanus serta obat-

obatan yang pernah atau sedang dikonsumsi. Selain riwayat trauma, pada trauma

orofasial dilakukan pemeriksaan klinis serta pemeriksaan radiografis (Pedersen,

1996).

1. Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan yang dilakukan pada trauma orofasial meliputi

pernafasan dan perdarahan, pemeriksaan kepala leher, saraf-saraf kranial,

wajah bagian tengah, mandibula, dan pemeriksaan mulut (Pedersen, 1996).

a. Pernafasan dan Perdarahan

Pendekatan awal pada pasien dengan trauma oromaksilofasial akut

berbeda dengan cedera lain. Perhatian diarahkan ke saluran pernafasan,

Adekuasi ventilasi dan kontrol perdarahan eksternal. Sebelum melakukan

pemeriksaan tanda-tanda vital,gangguan pernafasan dan perdarahan yang

Page 8: Laporan Igd Dr Anton Selesai Fix

mengancam jiwa harus ditangani lebih dahulu kemudian baru dilakukan

pemeriksaan tanda vital dan status neurologis. Pembukaan mata

merupakan pemeriksaan yang dapat berguna untuk menentukan tingkat

kesadaran dan dinilai berdasarkan kemampuan pasien membuka matanya

jika diberi stimulus, termasuk stimulus nyeri apabila diperlukan. Salah

satu indikator yang dapat menentukan tingkat kerusakan otak yaitu durasi

amnesia paska trauma.

b. Pemeriksaan kepala leher

Pemeriksaan kepala dan leher merupakan pemeriksaan awal yang

bermanfaat. Luka di wajah dicatat lokasi, panjang, kedalaman dan

kemungkinan keterlibatan struktur di bawahnya seperti arteri, saraf dan

glandula. Bagian yang mengalami abrasi dan kontusio dicatat. Edema

fasial diobservasi dan dievaluasi karena kemungkinan merupakan tempat

yang terkena benturan atau merupakan tanda kerusakan struktur wajah di

bawahnya seperti hematom, fraktur atau keduanya.

c. Saraf-saraf kranial

Nervus cranialis ketiga, empat, lima, enam dan tujuh dites untuk

mengetahui kemungkinan terjadinya paralisis. Tanyakan apakah pasien

dapat mengangkat alis dan meretraksi sudut bibir, apakah bola mata dapat

bergerak bebas dan apakah pupil bereaksi terhadap sinar dan

berakomodasi.

d. Wajah bagian tengah

Cara melakukan pemeriksaan manual atau digital adalah dengan

mempalpasi dimulai dari superior ke inferior. Lebih baik memeriksa

pasien yang mengalami trauma fisik dari arah belakang apabila

memungkinkan. Pemeriksaan dimulai dari aspek medial ke cincin

supraorbital secara bilateral. Os nasal dan sutura frontalis dipalpasi secara

bersamaan ke kanan dan ke kiri. Palpasi diteruskan ke arah lateral

menyilang cincin supraorbita menuju sutura zygomaticofrontalis. Jaringan

lunak yang menutupinya digeser dan sutura dipalpasi apakah terjadi

kelainan atau tidak. Cincin infraorbital dipalpasi dari medial ke lateral

untuk mengevaluasi sutura zygomaticomaxillaris. Bagian yang

Page 9: Laporan Igd Dr Anton Selesai Fix

mengalami nyeri tekan dan baal dicatat, karena ini menujukkan adanya

fraktur atau cedera kepala pada saraf, arcus zygomaticus dipalpasi

bilateral dan diamati apakah terdapat tanda-tanda asimetris dari posterior

dan anterior. Verstibulum nasi juga diperiksa karena biasanya terjadi

pergeseran septum dan adanya perdarahan atau cairan.

e. Mandibula

Lokasi mandibula terhadap maksila dievaluasi apakah tetap di garis

tengah, terjadi pergeseran lateral atau inferior. Pergerakan mandibula juga

dievaluasi dengan jalan memerintahkan pasien melakukan gerakan

tertentu dan dicatat apabila terdapat penyimpangan. Kisaran gerak

dievaluasi pada semua arah dan jarak interinsisal dicatat. Apabila pada

meatus austicus externus penuh dengan darah dan cairan, jari telunjuk

dapat dimasukan dengan telapak mengarah ke bawah dan depan untuk

melakukan palpasi endaural terhadap caput condylus pada saat istirahat

dan bergerak. Pada fraktur subcondylus tertentu, dapat dijumpai adanya

nyeri tekan yang amat sangat dan caput mandibula tidak terdeteksi. Tepi

inferior dan posterior mandibula dipalpasi mulai dari processus condylaris

sampai ke symphisis mandibula. Catat apabila terdapat nyeri tekan dan

kelainan kontinuitas.

f. Pemeriksaan Mulut

Pertama kali yang dilihat secara intraoral adalah oklusi, apakah

gigi dapat dioklusikan seperti biasanya. Dataran oklusal dari maksila dan

mandibula diperiksa kontinuitas dan step deformitasnya. Bagian yang

giginya mengalami pergeseran karena trauma atau alveoli yang kosong

karena gigi avulsi juga dicatat. Apabila pasien menggunakan protesa,

maka protesa tersebut harus dilepas dan diperiksa apakah ada kerusakan

atau tidak. Jaringan lunak mulut diperiksa dalam kaitannya dengan luka,

kontinuitas, abrasi, ekimosis dan hematom. Lidah disisihkan sementara

untuk pemeriksaan dasar mulut dan orofaring apakah terdapat serpihan

gigi, restorasi, dan beku darah. Arcus zygomaticus dan basisnya dipalpasi

bilateral. Maksila harus dicoba digerakkan dengan memberikan tekanan

pada processus alveolaris sebelah anterior dengan tetap menahan kepala.

Page 10: Laporan Igd Dr Anton Selesai Fix

Gigi geligi dan processus alveolaris dipalpasi untuk mengetahui nyeri

tekan dan mobilitas.

2. Pemeriksaan Radiografis

Penegakkan diagnosis pasien yang mengalami trauma orofasial hanya

diperlukan radiograf oklusal dan periapikal saja. Detail dari cedera gigi seperti

luksasi dan avulsi serta sebagian besar fraktur processus alveolaris paling baik

dirontgen dengan cara ini. Rontgen panoramik merupakan film skrining

pilihan untuk kasus fraktur maksila dan mandibula. Apabila sarana untuk

pembuatan film panoramik tidak tersedia maka paling tidak diperlukan

serangkaian pemotretan mandibula ditambah proyeksi Waters dan foto fasial

anterolateral. Rangkaian proyeksi mandibula biasanya terdiri dari rontgen

oblik lateral kiri dan kanan, rontgen posteroanterior, dan rontgen Reverse

Town untuk kondil. Apabila diperkirakan terjadi fraktur sub kondil, sebaiknya

dilakukan rontgen transkranial untuk sendi temporomandibular (Pedersen,

1996).

Pada fraktur wajah bagian tengah sebaiknya dilakukan rontgen Waters,

rontgen wajah anterolateral. Fraktur pada arcus zygomaticus ditunjukan

dengan baik dengan rontgen submentoverkteks. Fraktur dasar orbita

menimbulkan beberapa masalah dalam pemeriksaan radiograf dan seringkali

lebih baik diperiksa dengan tomografi konvensional atau CT. Proyeksi

servical diperlukan untuk fraktur vertebra dan os hyoideum. Hal ini dapat

dilakukan dengan proyeksi lateral atau anteroposterior (Pedersen, 1996).

Apabila terjadi fraktur multipel pada wajah yang perluasannya dan

kemungkinan keterlibatan struktur penting disekitarnya masih dipertanyakan,

maka bisa dilakukan tomografi komputerisasi atau CT. CT memiliki

keunggulan dengan tidak adanya gambaran tumpang tindih dan dapat

mempertahankan detail jaringan lunak. Sifat ini sangat penting dalam

melakukan diagnosis fraktur yang akurat dari fraktur fasial. Melakukan CT

pada kepala merupakan prosedur penyaringan standar untuk menentukan

adanya fraktur kepala dan mungkin dapat menunjukkan adanya fraktur kepala

dan mungkin menunjukkan fraktur intrakranial misalnya adanya hematom

Page 11: Laporan Igd Dr Anton Selesai Fix

intra atau ekstra serebral, daerah kontusio dan edema serebral (Pedersen,

1996).

3. Manajemen Luka

Luka atau vulnera merupakan terjadinya gangguan kontinuitas atau

jaringan sehingga terjadi pemisahan jaringan semula yang normal. Secara

umum luka dapat dibagi menjadi dua, yaitu simpleks yang melibatkan kulit

dan komplikatum apabila melibatkan kulit dan jaringan di bawahnya

(Bachsinar, 1992).

Luka dapat disebabkan oleh berbagai hal, yaitu:

a. Trauma mekanis, disebabkan karena tergesek, terpotong, terpukul,

tertusuk, terbentur dan terjepit.

b. Trauma eksentris, disebabkan oleh cedera karena listrik dan petir.

c. Trauma termis, disebabkan oleh perubahan suhu panas dan dingin.

d. Trauma kimia, disebabkan oleh zat kimia yang bersifat asam dan basa

serta zat iritatif lainnya.

Luka dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu luka tertutup (close

wound) dan luka terbuka (open wound). Luka tertutup (close wound) yaitu

luka dimana tidak terjadi hubungan dengan dunia luar, contohnya luka memar

(vulnus contusium). Luka terbuka merupakan luka dimana terjadi hubungan

dengan dunia luar. Luka terbuka dapat dibedakan sebagai berikut (Bachsinar,

1992):

a. Luka lecet (vulnus exoriatio), merupakan luka paling ringan dan paling

mudah untuk sembuh. Terjadi akibat gesekan tubuh dengan benda rata

seperti tanah, aspal atau semen.

b. Luka sayat (vulnus scissum/incisivum), merupakan luka dengan tepi tajam

dan licin. Bila luka sejajar dengan garis lipatan kulit, maka luka tidak

terlalu terbuka, apabila luka memotong pembuluh darah, maka darah sukar

berhenti karena cincin thrombosis sukar terbentuk.

c. Luka sobek (vulnus laceratum), merupakan luka yang biasanya disebabkan

oleh benda tumpul, tepi luka tidak rata, dan perdarahan sedikit karena

mudah terbentuk cincin thrombosis.

Page 12: Laporan Igd Dr Anton Selesai Fix

d. Luka tusuk (vulnus punctum), luka ini disebabkan oleh benda runcing

memanjang. Dari luar luka tampak kecil, namun di dalam bisa rusak berat.

Derajat bahaya tergantung dari benda yag menusuknya (besar dan

kebersihannya) dan daerah yang tertusuk. Luka tusuk yang mengenai

abdomen atau thorax sering pula disebut luka tembus (vulnus penetrosum).

Pemeriksaan penting dilakukan untuk menentukan tingkat bahaya

kerusakan tersebut. Pada luka ini sebaiknya dilakukan tindakan eksplorasi

(membuka dan melebarkan luka).

e. Luka potong (vulnus caesum), luka ini disebabkan oleh benda tajam yang

besar dan disertai tekanan. Tepi luka tajam dan rata, serta kemungkinan

infeksi besar akibat seringnya terkontaminasi.

f. Luka tembak (vulnus sclopetorum), luka ini dapat disebabkan oleh senjata

seperti tembakan dan granat. Tepi lukanya biasanya tidak teratur dan

sering dapat dijumpai pecahan peluru atau granat yang masuk ke dalam

tubuh sehingga kemungkinan infeksi bakteri anaerob dan gas gangren

lebih besar.

g. Luka gigit (vulnus morsum), disebabkan oleh gigitan binatang ataupun

manusia. Kemungkinan infeksi pada luka ini lebih besar.

Tujuan penatalaksanaan luka lokal adalah untuk memberikan

lingkungan yang optimal untuk berlangsungnya proses penyembuhan yang

alamiah. Prioritas dalam penataaksanaan luka lokal pada dasarnya sama

dengan luka apapun, yaitu mengatasi perdarahan (hemostasis), mengeluarkan

benda asing yang dapat bertindak sebagai fokal infeksi, melepaskan jaringan

yang mengalami devitalisasi, krusta yang tebal dan pus, menyediakan

temperature, kelembapan dan pH yang optimal untuk sel-sel berperan dalam

proses penyembuhan, meningkatkan pembentukan jaringan granulasi dan

epitelisasi, dan melindungi luka dari trauma lebih lanjut serta terhadap

masuknya mikroorganisme patogen. Tujuannya untuk melindungi individu

dari kerusakan fisiologis yang lebih lanjut, menyingkirkan penyebab actual

atau potensial yang memperlambat penyembuhan dan untuk menciptakan

suatu lingkungan lokal yang optimal untuk rekonstruksi dan epitelisasi

vascular dan jaringan ikat (Morison, 1995).

Page 13: Laporan Igd Dr Anton Selesai Fix

Debridement luka dilakukan untuk mengeluarkan debris organik

maupun anorganik sebelum menggunakan balutan untuk mempertahankan

lingkungan yang optimum pada tempat luka untuk proses penyembuhan.

Adanya debris yang terus menerus termasuk benda asing, jaringan lunak yang

mengalami devitalisasi, krusta dan jaringan nekrotik dapat memperlambat

penyembuhan luka dan menjadi focus infeksi. Pada luka cedera biasa,

pembersihan luka dilakukan dengan larutan NaCl untuk membantu meredakan

nyeri dan menghilangkan debris. Pembersihan luka dilanjutkan dengan

pemberian povidone iodine sebagai antiseptik. Povidone iodine merupakan

agen antimikroba paten yang digunakan secara luas sebagai desinfeksi dan

asepsis dan penatalaksanaan luka traumatik yang kotor (Helm, 1978) dan

untuk mengurangi sepsis luka pada luka bakar (Zellner dan Bugyi, 1985).

Page 14: Laporan Igd Dr Anton Selesai Fix

BAB IVKESIMPULAN

Pada penatalaksanaan kasus gawat darurat trauma maksilofasial, dokter

gigi sangat berperan untuk menentukan diagnosis dan melakukan perawatan yang

tidak terlalu rumit terutama untuk trauma dentoalveolar dan merujuk ke spesialis

bedah mulut apabila diperlukan perawatan yang lebih kompleks. Prioritas

perawatan pada kasus gawat darurat harus diketahui agar dapat menentukan

penatalaksanaan kasus trauma dengan cepat dan tepat sehingga mengurangi

kecacatan bahkan kematian dari pasien gawat darurat. Oleh karena itu, dokter gigi

penting untuk mengetahui dan memahami prioritas perawatan gawat darurat

terutama pada trauma oromaksilofasial yang sangat erat hubungannya dengan

peran dokter gigi sebagai pelayan kesehatan.

Page 15: Laporan Igd Dr Anton Selesai Fix

DAFTAR PUSTAKA

Bachsinar, B., 1992, Ilmu Bedah Minor, Penerbit Hipokrates, Jakarta.

Fahrevi, 2009, Penanganan Kegawatdaruratan pada Pasien TraumaMaksilofasial, Skripsi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara Medan.

Gruendemann, B.J., Fernsebner, B., 2006, Buku Ajar Keperawatan Perioperatif, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Helm, P.A., 1978, Outpatient Wound Management with Betadine Products (Povidone-iodine) The Proceedings of World Congress on Antispsis,, pp. 105-108, New York HP.

Morison, M.J., 1995, Manajemen Luka, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Pedersen, G. W., 1996, Buku Ajar Praktis Bedah Mulut, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Sebaztian, L. R., dan Simangunsong, 2011, Traumatologi, Fakultas Kedokteran Universitas HKBP, Nommensen.

Zellner, P.R., and Bugyi, S., Povidone Iodine in The Treatment of Burn Patients, J.Hosp. Infect, 6(supplement), 139-146.