bab ii budi -...

40
8 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK MENTAL DISORDER DAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM 2.1. Anak dalam Keluarga 2.1.1. Pengertian Anak dalam Keluarga Dalam setiap masyarakat manusia, pasti akan dijumpai keluarga. Keluarga merupakan kelompok sosial kecil yang terdiri dari suami, istri beserta anak-anaknya yang belum menikah. Keluarga, lazimnya juga disebut rumah tangga, yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat sebagai wadah dan proses pergaulan hidup (Soekanto, 2004: 1). Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial di dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya (Gerungan, 1978: 180). Keluarga mempunyai peranan penting untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani anak serta menciptakan kesehatan jasmani dan rohani yang baik (Ramayulis, 1990: 79). Keluarga merupakan kelembagaan (institusi) primer yang sangat penting dalam kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat (Suhendi dan Wahyu, 2001: 5). Sebenarnya keluarga mempunyai fungsi yang tidak hanya terbatas selaku penerus keturunan saja. Dalam bidang pendidikan, keluarga merupakan sumber pendidikan utama, karena segala pengetahuan dan kecerdasan intelektual manusia

Upload: phamcong

Post on 12-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

8

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK MENTAL DISORDER

DAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM 2.1. Anak dalam Keluarga

2.1.1. Pengertian Anak dalam Keluarga

Dalam setiap masyarakat manusia, pasti akan dijumpai keluarga.

Keluarga merupakan kelompok sosial kecil yang terdiri dari suami, istri

beserta anak-anaknya yang belum menikah. Keluarga, lazimnya juga

disebut rumah tangga, yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat

sebagai wadah dan proses pergaulan hidup (Soekanto, 2004: 1).

Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan

manusia, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial

di dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya (Gerungan, 1978:

180). Keluarga mempunyai peranan penting untuk membantu

pertumbuhan dan perkembangan jasmani anak serta menciptakan

kesehatan jasmani dan rohani yang baik (Ramayulis, 1990: 79).

Keluarga merupakan kelembagaan (institusi) primer yang sangat

penting dalam kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun

masyarakat (Suhendi dan Wahyu, 2001: 5). Sebenarnya keluarga

mempunyai fungsi yang tidak hanya terbatas selaku penerus keturunan

saja. Dalam bidang pendidikan, keluarga merupakan sumber pendidikan

utama, karena segala pengetahuan dan kecerdasan intelektual manusia

9

diperoleh pertama-tama dari orang tua dan anggota keluarganya

(Gunarsa, 1986: 1). Lima ciri khas yang dimiliki keluarga, yaitu (1)

adanya hubungan berpasangan antara kedua jenis kelamin; (2) adanya

perkawinan yang mengokohkan hubungan tersebut; (3) pengakuan

terhadap keturunan, (4) kehidupan ekonomi bersama; dan (5) kehidupan

berumah tangga (Harahap, 1997: 35).

Menurut Notosoedirdjo dan Latipun bahwa tata cara kehidupan

keluarga akan memberikan suatu sikap serta perkembangan kepribadian

anak yang tertentu pula. Dalam hubungan ini Notosoedirdjo dan Latipun

meninjau tiga jenis tata cara kehidupan keluarga, yaitu tata cara

kehidupan keluarga yang (1) demokratis, (2) membiarkan dan (3)

otoriter. Anak yang dibesarkan dalam susunan keluarga yang

demokratis, membuat anak mudah bergaul, aktif dan ramah tamah. Anak

belajar menerima pandangan-pandangan orang lain, belajar dengan

bebas mengemukakan pandangannya sendiri dan mengemukakan

alasan-alasannya. Hal ini bukan berarti bahwa anak bebas melakukan

segala-galanya, bimbingan kepada anak tentu harus diberikan. Anak

yang mempunyai sikap agresif atau dominasi, kadang-kadang tampak

tetapi hal ini kelak akan mudah hilang bila dia dibesarkan dalam

keluarga yang demokratis. Anak lebih mudah melakukan kontrol

terhadap sifat-sifatnya yang tak disukai oleh masyarakat. Anak yang

dibesarkan dalam. susunan keluarga yang demokratis merasakan akan

kehangatan pergaulan (Notosoedirdjo dan Latipun, 2002: 175).

10

Adapun keluarga yang sering membiarkan tindakan anak, maka

anak yang dibesarkan dalam keluarga yang demikian ini akan membuat

anak tidak aktif dalam kehidupan sosial, dan dapat dikatakan anak

menarik diri dari kehidupan sosial. Perkembangan fisik anak yang

dibesarkan dalam keluarga ini menunjukkan terhambat. Anak

mengalami banyak frustrasi dan mempunyai kecenderungan untuk

mudah membenci seseorang. Dalam lingkungan keluarga anak tidak

menunjukkan agresivitasnya tetapi dalam pergaulan sosialnya kelak

anak banyak mendapatkan kesukaran. Dalam kehidupan sosialnya, anak

tidak dapat mengendalikan agresivitasnya dan selalu mengambil sikap

ingin menang dan benar, tidak seperti halnya dengan anak yang

dibesarkan dalam susunan keluarga yang demokratis. Hal ini terjadi

karena anak tidak dapat mendapatkan tingkat interaksi sosial yang baik

di keluarganya. Sedangkan anak yang dibesarkan dalam keluarga yang

otoriter, biasanya akan bersifat tenang, tidak melawan, tidak agresif dan

mempunyai tingkah laku yang baik. Anak akan selalu berusaha

menyesuaikan pendiriannya dengan kehendak orang lain (yang

berkuasa, orang tua). Dengan demikian kreativitas anak akan berkurang,

daya fantasinya kurang, dengan demikian mengurangi kemampuan anak

untuk berpikir abstrak. Sementara itu, pada keluarga yang demokratis

anak dapat melakukan banyak eksplorasi (Notosoedirdjo dan Latipun,

2002: 176).

11

Tipe kepemimpinan orang tua yang otoriter, meski tidak disukai

oleh kebanyakan orang, karena menganggap dirinya sebagai orang tua

paling berkuasa, paling mengetahui dalam segala hal, tetapi dalam etnik

keluarga tertentu masih terlihat dipraktikkan. Dalam praktiknya tipe

kepemimpinan orang tua yang otoriter cenderung ingin menguasai anak.

Perintahnya harus selalu dituruti dan tidak boleh dibantah. Anak kurang

diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan dalam bentuk

penjelasan, pandangan, pendapat atau saran-saran. Tanpa melihat

kepentingan pribadi anak, yang penting instruksi orang tua harus

dituruti. Tipe kepemimpinan orang tua yang otoriter selain ada

keuntungannya, juga ada kelemahannya. Anak yang selalu taat perintah

adalah di antara keuntungannya. Sedangkan kelemahannya adalah

kehidupan anak statis, hanya menunggu perintah, kurang kreatif, pasif,

miskin inisiatif, tidak percaya diri, dan sebagainya (Djamarah, 2004:

70).

Dari tiga jenis tersebut Baldwin yang dikutip Moeljono

Notosoedirdjo dan Latipun mengatakan bahwa lingkungan keluarga

yang demokratis merupakan tata cara yang terbaik bagi anak untuk

memberikan kemampuan menyesuaikan diri. Namun demikian, tata cara

susunan keluarga ini kenyataannya tidak terbagi secara tajam

berdasarkan ciri-ciri keluarga dalam tiga jenis tersebut. Yang terbanyak

ialah campuran dari tiga jenis tersebut, dan dalam hal yang demikian ini

akan ditentukan oleh mana yang paling menonjol atau yang paling kuat

12

yang ada dalam susunan suatu keluarga (Notosoedirdjo dan Latipun,

2002: 176).

Dari uraian tersebut dapat penulis simpulkan bahwa pengertian

anak dalam keluarga merupakan hasil cinta kasih suami isteri dan

merupakan tanggung jawab bersama. Oleh sebab itu orang tua

memegang peran penting dalam mewarnai perilaku anak.

.

2.1.2. Perkembangan Anak dan Karakteristiknya

Menurut Hurlock (t.th: 2), istilah perkembangan berarti

serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses

kematangan dan pengalaman. Selanjutnya Elisabeth B. Hurlock dengan

mengutip perkataan Van den Daele menyatakan:

Perkembangan berarti perubahan secara kualitatif, ini berarti bahwa perkembangan bukan sekedar penambahan beberapa sentimeter pada tinggi badan seseorang atau peningkatan kemampuan seseorang, melainkan suatu proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang kompleks. Pada dasarnya ada dua proses perkembangan yang saling bertentangan yang terjadi secara serempak selama kehidupan, yaitu pertumbuhan atau evolusi dan kemunduran atau involusi ( Hurlock, t.th: 2).

Menurut Andi Mappiare sebagaimana mengutip Elizabeth

B.Hurlock bahwa jika dibagi berdasarkan bentuk-bentuk perkembangan

dan pola-pola perilaku yang nampak khas bagi usia-usia tertentu, maka

rentangan kehidupan terdiri atas sebelas masa yaitu :

Prenatal : Saat konsepsi sampai lahir.

Masa neonatal : Lahir sampai akhir minggu kedua setelah

lahir.

13

Masa bayi : Akhir minggu kedua sampai akhir tahun

kedua.

Masa kanak-kanak awal : Dua tahun sampai enam tahun.

Masa kanak-kanak akhir: Enam tahun sampai sepuluh atau sebelas

tahun.

Pubertas/preadolescence : Sepuluh atau dua belas tahun sampai tiga

belas atau empat belas tahun

Masa remaja awal : Tiga belas atau empat belas tahun sampai

tujuh belas tahun.

Masa remaja akhir : Tujuh belas tahun sampai Dua puluh satu

tahun.

Masa dewasa awal : Dua puluh satu tahun sampai empat puluh

tahun.

Masa setengah baya : Empat puluh sampai enam puluh tahun

Masa tua : Enam puluh tahun sampai meninggal dunia

(Mappiare, 1982: 24 –25).

Dalam pembagian rentangan usia menurut Hurlock tersebut,

terlihat jelas masa kanak-kanak awal: dua tahun sampai enam tahun,

dan masa kanak-kanak akhir: enam tahun sampai sepuluh atau sebelas

tahun

Y. Byl yang dikutip Abu Ahmadi membagi fase anak sebagai

berikut:

a. Fase bayi 0,0 - 0,2.

14

b. Fase tetek 0,2 - 1,0.

c. Fase pencoba 1,0 - 4,0.

d. Fase menentang 2,0 - 4,0.

e. Fase bermain 4,0 - 7,0.

f. Fase sekolah 7,0 - 12,0.

g. Fase pueral 11,0 - 14,0.

h. Fase pubertas 15,0 - 18,0 (Ahmadi, 2004: 47).

Dengan melihat pembagian yang berbeda-beda antara ahli satu

dengan lainnya, Asnely mengambil kesimpulan dengan melakukan

pembagian:

1. Fase pranatal;

2. Fase awal masa kanak-kanak, umur 0-5 tahun;

3. Fase akhir masa kanak-kanak, umur 6-12 tahun;

4. Fase remaja dan dewasa, umur 13-18 tahun (Ilyas, 1997: 48).

Pembagian perkembangan ke dalam masa-masa perkembangan

hanyalah untuk memudahkan mempelajari dan memahami jiwa anak-

anak. Walaupun perkembangan itu dibagi-bagi ke dalam masa-masa

perkembangan, namun tetap merupakan kesatuan yang hanya dapat

dipahami dalam hubungan keseluruhan (Zulkifli, 1986: 23).

Dalam perspektif Islam, perjalanan hidup manusia dibagi menjadi

empat priode (Daradjat, 1995: 1):

15

a. Periode Kandungan

Periode kandungan ialah suatu periode di ketika manusia

masih berada di dalam kandungan ibunya (Hamid, 1980: 23).

b. Periode Thufulah (kanak-kanak)

Periode ini dimulai semenjak seseorang lahir ke dunia. Dengan

lahirnya itu, maka telah sempurnalah sifat kemanusiaannya, karena ia

telah terpisah dari tubuh ibunya. Namun demikian, kemampuan

akalnya belum ada, kemudian berkembang sedikit demi sedikit.

Periode ini berlangsung sampai seseorang mencapai masa tamyiz

(Daradjat, 1995: 1-2)

c. Periode Tamyiz

Dalam masa ini seseorang mempunyai kemampuan berbuat

tidak penuh. Perbuatannya ada kalanya berhubungan dengan hak

Allah atau dengan hak manusia (Hanafie, 2001: 26).

Periode tamyiz dimulai dari seseorang mampu membedakan

antara sesuatu yang baik dengan yang buruk dan antara sesuatu yang

bermanfaat dengan yang madlarat. Pada periode ini kemampuan akal

seseorang belum sempurna, karena periode ini adalah masa mulai dan

semakin bersinarnya cahaya kemampuan akal seseorang. Karena itu

daya fikirnya masih dangkal, yakni masih terbatas pada hal-hal yang

nampak saja (Daradjat, 1995: 2-3). Sedangkan berakhirnya periode

tamyiz, yaitu apabila seseorang telah mencapai masa baligh.

16

d. Periode Baligh

Dalam masa ini dimana seseorang telah mencapai

kedewasaannya, ia mempunyai kemampuan berbuat sepenuhnya, baik

yang berhubungan dengan ibadat ataupun muamalat. Dalam masa

inilah, ia menjadi mukallaf yang sebenarnya (Hanafie, 2001: 27).

Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak,

tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Dalam

keluarga, umumnya anak ada dalam hubungan interaksi yang intim.

Segala sesuatu yang diperbuat anak mempengaruhi keluarganya dan

sebaliknya. Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah-laku,

watak, moral dan pendidikan kepada anak. Pengalaman interaksi di

dalam keluarga akan menentukan pula pola tingkah-laku anak

terhadap orang lain dalam masyarakat (Soesilo, 1985: 19).

Sebenarnya sejak anak masih dalam kandungan telah banyak

pengaruh yang di dapat dari orang tuanya. Misalnya situasi kejiwaan

orang tua (terutama ibu) bila mengalami kesulitan, kekecewaan,

ketakutan, penyesalan, terhadap kehamilan tentu saja memberi

pengaruh. Juga kesehatan tubuh, gizi makanan ibu akan memberi

pengaruh terhadap bayi tentu saja mengakibatkan kurangnya

perhatian, pemeliharaan, kasih sayang. Padahal segala perlakuan sikap

sekitar itu akan memberi andil terhadap pembentukan pribadi anak,

bila bayi sering mengalami kekurangan, kekecewaan, tak terpenuhinya

kebutuhan secara wajar tentu saja akan memberi pengaruh yang tidak

17

sedikit dalam penyesuaian selanjutnya. Pada masa anak sangat sensitif

apa yang dirasakan orang tuanya. Dengan kedatangan kelahiran

adiknya sering perhatian orang tua berkurang, hal ini akan dirasakan

oleh anak dan mempengaruhi perkembangan (Sundari, 2005: 65).

Seirama dengan perkembangan ini, anak tersebut

membutuhkan beberapa hal yang sering dilupakan oleh orang tua.

Kebutuhan ini mencakup rasa aman, dihargai, disayangi, dan

menyatakan diri. Rasa aman ini dimaksudkan rasa aman secara

material dan mental. Aman secara material berarti orang tuanya

memberikan kebutuhannya seperti pakaian, makanan dan lainnya.

Aman secara mental berarti harus memberikan perlindungan

emosional, menjauhkan ketegangan-ketegangan, membantu dalam

menyelesaikan problem mental emosional (Simanjuntak dan Pasaribu,

1984: 282).

Pada tulisan ini sesuai dengan tema skripsi bahwa penulis

hanya akan mengetengahkan fase ketiga dari perkembangan anak

yaitu fase akhir masa kanak-kanak. Fase ini adalah permulaan anak

bersekolah yang berkisar antara umur 5 sampai 12 tahun. Pada fase ini

pendidikan anak tidak hanya terfokus pada keluarga, tetapi lebih luas

lagi yaitu mempersiapkan anak untuk mengikuti kewajiban

bersekolah.

Yang menjadi fokus pembahasan pada bab ini adalah

perkembangan anak dari aspek jasmani, intelektual, dan akhlak.

18

Banyak ahli menganggap masa ini sebagai masa tenang, di mana

apa yang telah terjadi dan dipupuk pada masa-masa sebelumnya akan

berlangsung terus untuk masa-masa selanjutnya (Gunarsa dan Ny.

Gunarsa, t.th: 13).

1. Perkembangan Jasmani

Anak umur 5-7 tahun perkembangan jasmaninya cepat,

badannya bertambah tinggi, meski beratnya berkurang sehingga ia

kelihatan lebih tinggi dan kurus dari masa-masa sebelumnya, tampak

sekali terlihat pada wajahnya (Ilyas, 1997: 57). Menurut FJ.Monks,

A.M.P.Knoers, dan Siti Rahayu Haditomo bahwa sampai umur 12

tahun anak bertambah panjang 5 sampai 6 cm tiap tahunnya. Sampai

umur 10 tahun dapat dilihat bahwa anak laki-laki agak lebih besar

sedikit daripada anak wanita, sesudah itu maka wanita lebih unggul

dalam panjang badan, tetapi sesudah 15 tahun anak laki-laki

mengejarnya dan tetap unggul daripada anak wanita (Monks, Knoers,

dan Haditomo, 2002: 177).

Kekuatan badan dan tangan anak laki-laki bertambah cepat

pada umur 6-12 tahun. Dalam masa ini juga ada perubahan dalam sifat

dan frekuensi motorik kasar dan halus. Ternyata bahwa kecakapan-

kecakapan motorik ini mulai disesuaikan dengan keleluasaan

lingkungan. Gerakan motorik sekarang makin tergantung dari aturan

formal atau yang telah ditetapkan (Monks, Knoers, dan Haditomo,

2002: 177).

19

Bermain merupakan suatu cara untuk mempersiapkan anak

terhadap pekerjaan-pekerjaannya di masa, datang, sebab dengan

bermain, anak dididik dalam berbagai segi seperti jasmani, akal-

perasaan, dan sosial-kemasyarakatan. Kemudian bermain dapat

menguatkan otot-otot tubuh anak dan melatih panca inderanya untuk

mengetahui hubungan sesuatu dengan yang lainnya. Pada fase ini anak

juga cenderung berpindah dari permainan sandiwara kepada

permainan sesungguhnya seperti bola kaki, bulu tangkis, dan lain-lain.

2. Perkembangan Intelektual

Dalam keadaan normal, pikiran anak pada masa ini

berkembang secara berangsur-angsur dan tenang. Anak betul-betul

berada dalam stadium belajar. Di samping keluarga, sekolah

memberikan pengaruh yang sistematis terhadap pembentukan akal-

budi anak. Pengetahuannya bertambah secara pesat. Banyak

ketrampilan mulai dikuasainya, dan kebiasaan-kebiasaan tertentu

mulai dikembangkannya. Dari keadaan egosentris anak memasuki

dunia objektivitas dan dunia pikiran orang lain. Hasrat untuk

mengetahui realitas benda dan peristiwa-peristiwa mendorong anak

untuk meneliti dan melakukan eksperimen.

Kartini Kartono menjelaskan:

Minat anak pada periode tersebut terutama sekali tercurah pada segala sesuatu yang dinamis bergerak. Anak pada usia ini sangat aktif dan dinamis. Segala sesuatu yang aktif dan bergerak akan sangat menarik minat perhatian anak. Lagi pula minatnya banyak tertuju pada macam-macam aktivitas. Dan semakin banyak dia berbuat, makin bergunalah aktivitas

20

tersebut bagi proses pengembangan kepribadiannya (Kartono, 1995: 138).

Tentang ingatan anak pada usia ini, ia juga menjelaskan:

Ingatan anak pada usia ini mencapai intensitas paling besar dan paling kuat. Daya menghafal dan memorisasi (dengan sengaja memasukkan dan melekatkan pengetahuan dalam. ingatan) adalah paling kuat. Dan anak mampu memuat jumlah materi ingatan paling banyak (Kartono, 1995: 138).

3. Perkembangan akhlak

Konsep moral pada akhir masa kanak-kanak sudah jauh

berbeda, tidak lagi sesempit pada masa sebelumnya. Menurut Piaget,

anak usia 5-12 tahun konsepnya tentang keadilan sudah berubah.

Pengertian yang kaku tentang benar dan salah yang dipelajari dari

orang-tua menjadi berubah. Anak mulai memperhitungkan keadaan

khusus di sekitar pelanggaran moral. Relativisme moral meringankan

nilai moral yang kaku. Misalnya bagi anak umur 5 tahun berbohong

selalu buruk, sedang anak yang lebih besar sadar bahwa dalam

beberapa situasi berbohong dibenarkan dan tidak selalu buruk

(Hurlock, t.th: 163).

Elizabeth B. Hurlock mengatakan bahwa anak yang masih

berada pada fase awal masa kanak-kanak melakukan pelanggaran

disebabkan ketidaktahuan terhadap peraturan. Dengan meningkatnya

usia anak, ia cenderung lebih banyak melanggar peraturan-peraturan

di rumah dan di sekolah ketimbang perilakunya waktu ia masih lebih

muda. Pelanggaran di rumah sebagian, karena anak ingin menegakkan

kemandiriannya, dan sebagian lagi karena anak sering menganggap

21

peraturan tidak adil, terutama apabila berbeda dengan peraturan-

peraturan rumah yang diharapkan dipatuhi oleh semua teman.

Meningkatnya. pelanggaran di sekolah disebabkan oleh kenyataan

bahwa anak yang lebih besar tidak lagi menyenangi sekolah seperti

ketika masih kecil, dan tidak lagi menyukai guru seperti ketika masih

duduk di kelas yang lebih rendah. Menjelang akhir masa kanak-kanak

pelanggaran semakin berkurang. Menurunnya pelanggaran adalah

karena adanya kematangan fisik dan psikhis, tetapi lebih sering karena

kurangnya tenaga yang merupakan ciri pertumbuhan pesat yang

mengiringi bagian awal dari masa puber. Banyak anak prapuber yang

sama sekali tidak mempunyai tenaga untuk nakal (Hurlock, t.th: 163-

164).

Dari uraian tersebut, tentang perkembangan akhlak anak pada

akhir masa kanak-kanak, jelaslah bahwa anak berusaha untuk

menyesuaikan diri dengan aturan-aturan sosial di sekitarnya yang

apabila terjadi sesuatu pelanggaran akan mengakibatkan adanya

sanksi. Sebagai salah satu usaha untuk mengatasi pelanggaran,

diterapkan suatu disiplin yang disesuaikan dengan tingkat

perkembangan anak. Di samping itu, orang-tua perlu memberikan

pengertian tentang nilai-nilai kepada anak, dan membiasakan untuk

melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pada saatnya anak perlu diberi

ganjaran seperti pujian atas perlakuannya melaksanakan nilai-nilai

22

tersebut, yang sudah barang tentu pujian tersebut disesuaikan dengan

tingkat perkembangan anak.

Dengan demikian nyatalah bahwa perkembangan anak pada fase

ini baik perkembangan jasmani, intelektual, fantasi maupun perasaan dan

akhlak sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak pada fase-fase

berikutnya.

Setiap orang dikenali dengan identitas masing-masing, tetapi

pengenalan kita terhadap seseorang sering tidak utuh sehingga "siapa dia"

yang sebenarnya sesungguhnya tidak dikenali. Ada seorang isteri yang

sudah hidup serumah dengan suaminya selama belasan tahun, tetapi tetap

belum mengenali suaminya secara utuh, dan kemudian pada usia

perkawinannya yang ke-20 ia dibuat kaget setelah mengenal "siapa"

sebenarnya suaminya itu. Siapa dia seutuhnya dari seseorang itulah yang

biasanya disebut sebagai kepribadian, atau syahshiyyah, atau personality.

Manusia sebagai makhluk yang berfikir dan merasa memang bisa

dibentuk kepribadiannya melalui proses pendidikan, atau tepatnya, bahwa

corak perjalanan hidup seseorang sangat besar peranannya dalam

membentuk kepribadiannya (Mubarok, t.th: 82).

Kepribadian (Suryabrata, 1988: 1) merupakan terjemahan dari

personality (Inggris), persoonlijkheid (Belanda); personnalita (Prancis);

personlichkeit (Jerman); personalita (Itali); dan personalidad (Spanyol)

(Mujib, 2006: 17).

23

Akar kata masing-masing sebutan itu berasal dari kata Latin

"persona" yang berarti “kedok” atau "topeng", yaitu tutup muka yang

sering dipakai oleh pemain panggung, yang maksudnya untuk

menggambarkan perilaku, watak atau pribadi seseorang. Hal itu dilakukan

karena terdapat ciri-ciri yang khas yang hanya dimiliki oleh seseorang

tersebut baik dalam arti kepribadian yang baik, ataupun yang kurang baik.

Misalnya untuk membawakan kepribadian yang angkara murka, serakah

dan sebagainya sering ditopengkan dengan gambar raksasa, sedangkan

untuk perilaku yang baik, budiluhur, suka menolong, berani berkorban dan

sebagainya ditopengkan dengan seorang ksatria, dan sebagainya (Sujanto,

Lubis dan Hadi, 2004: 10).

Dengan demikian “topeng” yang dimaksud tersebut yaitu topeng

yang dipakai oleh aktor drama atau sandiwara. Atau juga dari kata Latin

"personare" yang berarti to sound through (suara tembus). Dalam bahasa

Arab kontemporer, kepribadian ekuivalen dengan istilah syakhshiyyah.

Term syakhshiyyah bukan satu-satunya term yang dipergunakan untuk

menunjukkan makna personality. Ronald Alan Nicholson sebagaimana

dikutip Abdul Mujib misalnya, menyebut dua istilah yang menjadi

sinonimnya, yaitu al-huwiyyah dan al-dzatiyyah. Sementara dalam

leksikologi bahasa Arab, dikenal juga istilah nafsiyyah yang berasal dari

kata nafs, istilah aniyyah (ada yang menyebut iniyyah) dari kata "ana",

dan istilah khuluqiyyah atau akhlaq. Istilah yang terakhir ini (akhlak) lebih

banyak ditemukan di dalam literatur Islam klasik (Mujib, 2006: 18).

24

Adapun kata personality berasal dari kata "person" yang secara

bahasa memiliki arti: (1) an individual human being (sosok manusia

sebagai individu); (2) a common individual (individu secara umum); (3) a

living human body (orang yang hidup); (4) self (pribadi); (5) personal

existence or identity (eksistensi atau identitas pribadi); dan (6) distinctive

personal character (kekhususan karakter individu). Atau personality: (1)

Existence as a person (eksistensi sebagai orang); (2) The assemblage of

qualities, physical, mental, and moral, that set one apart from others

(kumpulan dari kualitas, phisik, mental, dan moral, yang menetapkan satu

terlepas dari orang yang lain); (3) Distinctive individuality, as, he is a man

of strong personality (Ciri khas yang membedakan, sebab ia adalah suatu

orang berprinsip kepribadian yang kuat); (4) A too intimate or offensive

remark about a person, as, don't indulge in personalities (Seorang teman

karib atau komentar yang menyerang tentang seseorang, jangan menurut

kesenangan diri kepribadian) (Teall and Taylor, 1958: 722).

Sedangkan dalam bahasa Arab, pengertian etimologis kepribadian

dapat dilihat dari pengertian term-term padanannya, seperti huwiyah,

aniyyah, dzatiyyah, nafsiyyah, khuluqiyyah, dan syakhshiyyah sendiri.

Masing-masing term ini meskipun memiliki kemiripan makna dengan kata

syakhsiyyah, tetapi memiliki keunikan tersendiri.

Pengertian kepribadian dari sudut terminologi memiliki banyak

definisi, karena hal itu berkaitan dengan konsep-konsep empiris dan

filosofis tertentu yang merupakan bagian dari teori kepribadian. Konsep-

25

konsep empiris dan filosofis di sini meliputi dasar-dasar pemikiran

mengenai wawasan, landasan, fungsi-fungsi, tujuan, ruang lingkup, dan

metodologi yang dipakai perumus. Oleh sebab itu, tidak satu pun definisi

yang subtantif kepribadian dapat diberlakukan secara umum, sebab

masing-masing definisi dilatarbelakangi oleh konsep-konsep empiris dan

filosofis yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, tidak berkelebihan jika

Gordon W Allport (1897 – 1967) dalam studi kepustakaannya

menemukan sejumlah 50 definisi mengenai kepribadian yang berbeda-

beda yang digolongkan ke dalam sejumlah kategori (Hall dan Lindzey,

1993: 24).

Dengan meminjam definisi Allport, kepribadian secara sederhana

dapat dirumuskan dengan definisi "what a man really is" (manusia

sebagaimana adanya). Maksudnya, manusia sebagaimana sunnah atau

kodratnya, yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Akan tetapi definisi itu oleh

Allport dianggap terlalu singkat untuk dapat digunakan, maka sampailah

ia pada definisi yang lebih terkenal berikut ini:

Kepribadian adalah organisasi yang dinamis dalam diri individu yang terdiri dari sistem-sistem psiko-fisik yang menentukan cara penyesuaian diri yang khas (unik) dari individu tersebut terhadap lingkungannya (Hall dan Lindzey, 1993: 24).

Kata dinamis menunjukkan bahwa kepribadian bisa berubah-ubah,

dan antar berbagai komponen kepribadian (yaitu sistem-sistem psikofisik)

terdapat hubungan yang erat. Hubungan-hubungan itu terorganisir

26

sedemikian rupa sehingga secara bersama-sama mempengaruhi pola

perilakunya dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan.

Definisi yang luas dapat berpijak pada struktur kepribadian, yaitu

integrasi sistem kalbu, akal, dan hawa nafsu manusia yang menimbulkan

tingkah laku." Definisi ini sebagai bandingan dengan definisi yang

dikemukakan oleh para psikolog Psikoanalitik seperti Sigmund Freud dan

Carl Gustav Jung (Chaplin, 1981:.362).

Dalam diri manusia terdapat elemen jasmani sebagai struktur

biologis kepribadiannya dan elemen ruhani sebagai struktur psikologis

kepribadiannya. Sinergi kedua elemen ini disebut dengan nafsani yang

merupakan struktur psikopisik kepribadian manusia. Struktur Nafsani

memiliki tiga daya, yaitu (1) qalbu yang memiliki fitrah ketuhanan

(ilahiyah) sebagai aspek supra-kesadaran manusia yang berfungsi sebagai

daya emosi (rasa); (2) akal yang memiliki fitrah kemanusiaan (insaniah}

sebagai aspek kesadaran manusia yang berfungsi sebagai daya kognisi

(cipta); dan (3) nafsu yang memiliki fitrah kehewanan (hayawaniyyah)

sebagai aspek pra atau bawah-kesadaran manusia yang berfungsi sebagai

daya konasi (karsa), Ketiga komponen fitrah nafsani ini berintegrasi untuk

mewujudkan suatu tingkah laku.

Jadi, dari sudut tingkatannya maka kepribadian itu merupakan

integrasi dari aspek-aspek supra-kesadaran (ketuhanan), kesadaran

(kemanusiaan), dan pra-atau bawah kesadaran (kebinatangan). Sedang

dari sudut fungsinya, kepribadian merupakan integrasi dari daya-daya

27

emosi, kognisi, dan konasi, yang terwujud dalam tingkah laku luar

(berjalan, berbicara, dan sebagainya) maupun tingkah laku dalam (pikiran,

perasaan, dan sebagainya).

Memang agak aneh bahwa untuk menjelaskan keunikan individu,

para ahli belum memperoleh suatu pendekatan yang disepakati bersama.

Penelitian-penelitian sudah lama dan banyak sekali dilakukan. Hasil yang

diperoleh adalah banyaknya teori kepribadian yang ditawarkan. Tetapi

harus dikatakan bahwa tidak ada satu teoripun yang sempurna. Morgan

dkk (1986: 67), memberi alasan bahwa kita tidak akan mampu menguji

semua teori yang disajikan secara menyeluruh. Itulah sebabnya Sarwono

(1989: 87) menegaskan bahwa kepribadian adalah sebuah konsep yang

sangat sukar dimengerti dalam psikologi, meskipun istilah ini digunakan

sehari-hari.

2.2. Kesehatan Mental

2.2.1.Pengertian Kesehatan Mental

Sebagai makhluk yang memiliki kesadaran, manusia menyadari

adanya problem yang mengganggu mentalnya, oleh karena itu sejarah

manusia juga mencatat adanya upaya mengatasi problema tersebut.

Upaya-upaya tersebut ada yang bersifat mistik yang irasional, ada juga

yang bersifat rasional, konsepsional dan ilmiah (Mubarok, 2000: 13).

Pada masyarakat Barat modern atau masyarakat yang mengikuti

peradaban Barat yang sekular, solusi yang ditawarkan untuk mengatasi

28

problem mental itu dilakukan dengan menggunakan pendekatan

psikologi, dalam hal ini kesehatan mental. Sedangkan pada masyarakat

Islam, karena mereka (kaum muslimin) pada awal sejarahnya telah

mengalami problem psikologis seperti yang dialami oleh masyarakat

Barat, maka solusi yang ditawarkan lebih bersifat religius spiritual,

yakni tasawuf atau akhlak. Keduanya menawarkan solusi bahwa

manusia itu akan memperoleh kebahagiaan pada zaman apa pun, jika

hidupnya bermakna (Mubarok, 2000: 14).

Islam menetapkan tujuan pokok kehadirannya untuk memelihara

agama, mental spiritual, akal, jasmani, harta, dan keturunan. Setidaknya

tiga dari yang disebut di atas berkaitan dengan kesehatan. Tidak heran

jika ditemukan bahwa Islam amat kaya dengan tuntunan kesehatan

(Shihab, 2003: 181). Namun demikian para ahli belum ada kesepakatan

terhadap batasan atau definisi kesehatan mental. Hal itu disebabkan

antara lain karena adanya berbagai sudut pandang dan sistem

pendekatan yang berbeda. Dengan tiadanya kesatuan pendapat dan

pandangan tersebut, maka menimbulkan adanya perbedaan konsep

kesehatan mental. Lebih jauh lagi mengakibatkan terjadinya perbedaan

implementasi dalam mencapai dan mengusahakan mental yang sehat.

Perbedaan itu wajar dan tidak perlu merisaukan, karena sisi lain adanya

perbedaan itu justru memperkaya khasanah dan memperluas pandangan

orang mengenai apa dan bagaimana kesehatan mental (Musnamar, 1992:

29

XIII). Sejalan dengan keterangan di atas maka di bawah ini

dikemukakan beberapa rumusan kesehatan mental, antara lain:

Pertama, menurut Daradjat, dalam pidato pengukuhannya

sebagai guru besar IAIN "Syarif Hidayatullah Jakarta" (1984)

mengemukakan lima buah rumusan kesehatan mental yang lazim dianut

para ahli. Kelima rumusan itu disusun mulai dari rumusan- rumusan

yang khusus sampai dengan yang lebih umum, sehingga dari urutan itu

tergambar bahwa rumusan yang terakhir seakan-akan mencakup

rumusan-rumusan sebelumnya.

1. Kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari gejala gangguan

jiwa (neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psychose).

Definisi ini banyak dianut di kalangan psikiatri (kedokteran jiwa)

yang memandang manusia dari sudut sehat atau sakitnya.

2. Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri

dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta

lingkungan tempat ia hidup. Definisi ini tampaknya lebih luas dan

lebih umum daripada definisi yang pertama, karena dihubungkan

dengan kehidupan sosial secara menyeluruh. Kemampuan

menyesuaikan diri diharapkan akan menimbulkan ketenteraman dan

kebahagiaan hidup.

3. Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-

sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan

untuk menghadapi problema-problema yang biasa terjadi, serta

30

terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin (konflik). Definisi

ini menunjukkan bahwa fungsi-fungsi jiwa seperti pikiran, perasaan,

sikap, pandangan dan keyakinan harus saling menunjang dan

bekerja sama sehingga menciptakan keharmonisan hidup, yang

menjauhkan orang dari sifat ragu-ragu dan bimbang, serta terhindar

dari rasa gelisah dan konflik batin.

4. Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan

untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi, bakat dan

pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa

kepada kebahagiaan diri dan orang lain, serta terhindar dari

gangguan dan penyakit jiwa (Daradjat, 1983: 11-13).

Definisi keempat ini lebih menekankan pada pengembangan

dan pemanfaatan segala daya dan pembawaan yang dibawa sejak

lahir, sehingga benar-benar membawa manfaat dan kebaikan bagi

orang lain dan dirinya sendiri.

5. Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-

sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian

din antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya, berlandaskan

keimanan dan ketaqwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup

yang bermakna dan bahagia di dunia dan bahagia di akhirat

(Daradjat, 1983: 11-13).

Kedua, menurut M.Buchori, kesehatan mental adalah ilmu yang

meliputi sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan serta

31

prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan ruhani. Orang yang

sehat mentalnya ialah orang yang dalam ruhani atau dalam hatinya selalu

merasa tenang, aman, dan tenteram. Jalaluddin dengan mengutip H.C.

Witherington menambahkan, permasalahan kesehatan mental menyangkut

pengetahuan serta prinsip-prinsip yang terdapat lapangan psikologi,

kedokteran, psikiatri, biologi, sosiologi, dan agama (Jalaluddin, 2000:

154)

Ketiga, Kartini Kartono, Jenny Andari mengetengahkan rumusan

bahwa mental hygiene atau ilmu kesehatan mental adalah ilmu yang

mempelajari masalah kesehatan mental/jiwa, bertujuan mencegah

timbulnya gangguan/penyakit mental dan gangguan emosi, dan berusaha

mengurangi atau menyembuhkan penyakit mental, serta memajukan

kesehatan mental rakyat. Dengan demikian mental hygiene mempunyai

tema sentral yaitu bagaimana cara orang memecahkan segenap keruwetan

batin manusia yang ditimbulkan oleh macam-macam kesulitan hidup,

serta berusaha mendapatkan kebersihan mental, dalam pengertian tidak

terganggu oleh macam-macam ketegangan, kekalutan dan konflik terbuka

serta konflik batin (Kartono, 1989: 4).

Kesehatan mental seseorang berhubungan dengan kemampuan

menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapi. Setiap manusia

memiliki keinginan-keinginan tertentu, dan di antara mereka ada yang

berhasil memperolehnya tanpa harus bekerja keras, ada yang

memperolehnya setelah berjuang mati-matian, dan ada yang tidak berhasil

32

menggapainya meskipun telah bekerja keras dan bersabar untuk

menggapainya.

Dari berbagai definisi tersebut, maka definisi dari Daradjat

khususnya definisi yang kelima lebih mencakup keseluruhan unsur-unsur

kesehatan mental. Di samping itu definisi yang kelima memasukkan unsur

agama yang sangat penting dan harus diupayakan penerapannya dalam

kehidupan, sejalan dengan penerapan prinsip-prinsip kesehatan mental dan

pengembangan hubungan baik dengan sesama manusia.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kesehatan mental

adalah terhindarnya seseorang dari gejala-gejala gangguan dan penyakit

mental, dapat menyesuaikan diri, dapat memanfaatkan segala potensi dan

bakat semaksimal mungkin dan membawa kepada kebahagiaan bersama

serta tercapainya keharmonisan dalam hidup

2.2.2.Ciri-Ciri Mental Yang Sehat

Jahoda sebagaimana dikutip Jaya (1995: 140) memberikan

batasan yang luas tentang kesehatan mental. Menurutnya, pengertian

kesehatan mental tidak hanya terbatas pada terhindarnya seseorang dari

gangguan dan penyakit kejiwaan, akan tetapi orang yang bersangkutan

juga memiliki karakter utama sebagai berikut.

1. Sikap kepribadian yang baik terhadap diri sendiri, dalam arti ia dapat

mengenal dirinya dengan baik.

2. Pertumbuhan, perkembangan, dan perwujudan diri yang baik.

33

3. Integrasi diri yang meliputi keseimbangan mental, kesatuan

pandangan, dan sabar terhadap tekanan-tekanan yang terjadi.

4. Otonomi diri yang mencakup unsur-unsur pengatur kelakuan diri atau

kelakuan-kelakuan bebas.

5. Persepsi mengenai realitas, bebas dari penyimpangan kebutuhan, serta

memiliki empati dan kepekaan sosial.

6. Kemampuan untuk menguasai lingkungan dan berintegrasi dengannya

secara baik

Jasmani yang sehat ditandai oleh ciri-ciri memiliki energi, daya

tahan atau stamina yang tinggi, kuat bekerja, serta badan selalu sehat

dan nyaman. Adapun mentalitas yang sehat memiliki gejala: posisi

pribadinya harmonis dan seimbang, baik ke dalam, terhadap diri sendiri,

maupun keluar, terhadap lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, ciri-ciri

khas pribadi yang bermental sehat, antara lain berikut ini.

1. Ada koordinasi dari segenap usaha dan potensinya sehingga mudah

mengadakan adaptasi terhadap tuntutan lingkungan, standar, dan

norma sosial, serta perubahan-perubahan sosial yang serba cepat.

2. Memiliki integrasi dan regulasi terhadap struktur kepribadian sendiri

sehingga mampu memberikan partisipasi aktif kepada masyarakat.

3. Senantiasa giat melaksanakan proses realisasi diri (yaitu

mengembangkan secara riil segenap bakat dan potensi), memiliki

tujuan hidup, dan selalu mengarah pada transendensi diri, berusaha

untuk melebihi kondisinya yang sekarang.

34

4. Bergairah, sehat lahir dan batin, tenang dan harmonis

kepribadiannya, efisien dalam setiap tindakannya, serta mampu

menghayati kenikmatan dan kepuasan dalam pemenuhan

kebutuhannya (Kartono, 2003: 82)

Sementara itu, menurut Hasan Langgulung, ada empat kriteria

yang biasa digunakan dalam menentukan sehat dan normal. Pertama,

kaidah statistik. Dalam kaidah statistik, sehat tidaknya mental seseorang

diukur dengan angka-angka statistik. Penggunaan kaidah statistik ini

didasarkan fakta tentang seseorang, baik dari segi jasmani, intelektual

atau emosi, kemudian fakta-fakta itu dituangkan dalam tabel statistik.

Tabel itu menunjukkan bahwa kebanyakan orang akan mencapai angka

pertengahan (sederhana) dari setiap item yang dinilai. Adapun tingkat

kesehatan mental yang sangat tinggi atau yang berada di bawah normal

mencapai angka yang lebih kecil. Kaidah statistik sangat lazim

digunakan untuk mengukur benda-benda. Oleh karena itu, meskipun

metode ini dapat dipakai, banyak ahli meragukan keakuratan ukuran ini.

Kedua, kriteria norma sosial. Kriteria ini menyatakan bahwa

orang normal atau sehat mentalnya adalah orang yang mengikuti pola-

pola tingkah laku, sikap-sikap sosial, dan nilai-nilai lain yang telah

disepakati oleh masyarakat sebagai norma-norma sosial. Kriteria ini

sangat cocok dengan madzhab Behaviorisme. Teori ini sangat lemah jika

diterapkan pada orang yang hidup di lingkungan masyarakat yang sakit,

35

karena ukuran yang tidak normal adalah apabila memiliki tingkah laku

yang sakit (pathological).

Ketiga, tingkah laku ikut-ikutan. Menurut kriteria ini, sehat

mental tidak diukur dengan kepatuhan seseorang pada norma-norma

sosial seperti kriteria kedua tersebut, tetapi pada keseimbangan

menentukan pilihan untuk mengikuti atau pura-pura mengikuti, bahkan

menentang dengan alasan bahwa sikap itu menghilangkan potensi-

potensi dirinya dan potensi masyarakatnya. Menurut teori ini, seseorang

mengikuti atau menentang norma-norma sosial bukan hanya

dipengaruhi oleh faktor kepribadiannya, tetapi juga oleh faktor interaksi

antar individu dan antar kelompok interaksi dan masalah yang menjadi

tumpuan pada saat ia mengikuti atau menentang. Dalam suasana

tertentu, seseorang mungkin mengikuti norma-norma sosial dan dalam

suasana lain, ia menentangnya.

Keempat, kriteria lain. Semua teori mungkin ada benarnya, tetapi

tidak terhindar dari kekurangan, apalagi jika digunakan untuk mengukur

kesehatan mental. Di samping tiga kriteria tersebut, menurut Hasan

Langgulung, ada sifat-sifat yang dapat digunakan untuk mengukur

kesehatan mental seseorang, antara lain:

1. Apakah seseorang menyadari kelebihan dan kekurangan dirinya;

2. Apakah jarak antara aspirasi dan potensi yang secara realistik

dimiliki oleh orang itu sesuai;

36

3. Apakah seseorang memiliki keluwesan dalam hubungannya dengan

orang lain

4. Apakah seseorang memiliki keseimbangan emosi;

5. Apakah seseorang memiliki sifat spontanitas yang sesuai;

6. Apakah seseorang berhasil menciptakan hubungan sosial yang

dinamis dengan orang lain (Mubarok, 2000: 15-17)

Di pihak lain, Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO, 1959)

memberikan kriteria mental yang sehat, yaitu sebagai berikut.

1. Dapat menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan

meskipun kenyataan itu buruk baginya.

2. Memperoleh kepuasan dari hasil jerih payah usahanya,

3. Merasa lebih puas memberi daripada menerima.

4. Secara relatif bebas dari rasa tegang dan cemas.

5. Berhubungan dengan orang lain secara tolong-menolong dan saling

memuaskan.

6. Menerima kekecewaan untuk dipakainya sebagai pelajaran di

kemudian hari.

7. Menjuruskan rasa permusuhan pada penyelesaian yang kreatif dan

konstruktif.

8. Mempunyai rasa kasih sayang yang besar (Hawari, 2002: 12-13)

Sementara itu, Rosihon Anwar dan M. Solihin memberikan tolok

ukur bagi orang yang sehat mentalnya, yaitu mampu merasakan

kebahagiaan dalam hidup. Orang-orang inilah yang dapat merasakan

37

bahwa dirinya berguna, berharga, dan mampu menggunakan segala

potensi dan bakatnya semaksimal mungkin dengan cara membawa

dirinya dan orang lain pada kebahagiaan. Di samping itu, ia mampu

menyesuaikan diri dalam arti yang luas sehingga terhindar dari

kegelisahan dan gangguan jiwa dan moralnya pun selalu terpelihara

(Anwar, 2000: 94)

Dari pengertian tersebut, dapat diketahui bahwasanya tolok ukur

orang yang benar-benar sehat mentalnya adalah orang yang beriman dan

bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berusaha secara sadar

merealisasikan nilai-nilai agama sehingga kehidupannya itu dijalaninya

sesuai dengan tuntutan agama.

2.2.3 Mental Disorder

Keluarga dalam hal ini orang tua sangat mempengaruhi

perkembangan mental anak. Dari orang tua maka anak bisa tumbuh

menjadi generasi yang sehat mental, namun sebaliknya karena keluarga

juga bisa melahirkan pertumbuhan anak mental disorder. Menurut CP.

Chaplin (1981: 298), mental disorder (gangguan, kekalutan, penyakit

mental) itu adalah sebarang bentuk ketidak mampuan menyesuaikan diri

yang serius sifatnya terhadap tuntutan dan kondisi lingkungan yang

mengakibatkan ketidak mampuan tertentu. Sumber

gangguan/kekacauannya bisa bersifat psikogenis atau organis,

mencakup kasus-kasus reaksi psikopatis dan reaksi-reaksi neurotis yang

gawat.

38

Menurut Wiramihardja (2005: 3), mental disorder atau gangguan

mental merupakan istilah yang meliputi seluruh rentang gangguan, dari

yang sifatnya sangat ringan sampai dengan yang sangat berat. Seringkali

dimasukkan dalam pengertian ini adalah gangguan yang berat pada

fungsi-fungsi mental, bahkan digunakan pula untuk perilaku-perilaku

yang secara komprehensif tidak efektif. Menurut Kartini Kartono,

disorder mental adalah bentuk penyakit, gangguan, dan kekacauan

fungsi mental atau gangguan mental, disebabkan oleh kegagalan

mereaksinya mekanisme adaptasi dari fungsi-fungsi kejiwaan/mental

terhadap stimuli ekstern dan ketegangan-ketegangan; sehingga muncul

gangguan fungsional atau gangguan struktural dari satu bagian, satu

organ, atau sistem kejiwaan/mental (Kartono dan Andari, 1989: 80).

Seseorang dengan mudah mengenal orang lain yang sakit. Ada

tumor, tekanan darah tinggi, atau dia menyatakan sakit kepala. Penyakit

atau sakit pada badan diakui adanya dan dapat dirasakan anak-anak

sampai orang yang lanjut usia. Asalkan terdapat suatu gangguan pada

badan maka orang itu dikatakan mengalami kesakitan atau secara

khusus disebut sakit fisik (phisically illness).

Sebagai analogi dari adanya sakit badan, maka tentunya ada

penyakit, sakit, gangguan psikis, atau gangguan mental (mental

disorder). Jika sakit fisik mencakup segenap abnormalitas badan, organ,

jaringan, sel, dan proses fisiologis, maka gangguan mental mencakup

abnormalitas mental. Untuk memahami ada tidaknya suatu gangguan

39

mental tidak semudah mengenal pada gangguan fisik. Banyak faktor

yang mempengaruhi kesepakatan pengertian terhadap gangguan mental

ini. Selain karena faktor kultural yang mengartikan konsep sehat dan

sakit secara berbeda antara budaya satu dengan lainnya, juga faktor

individual yaitu persepsi dan perasaan yang sangat subjektif sifatnya

(Notosoedirdjo dan Latipun, 2002: 35).

Namun demikian, hampir setiap orang menyadari bahwa

gangguan mental itu diakui adanya di masyarakat. Sama halnya dengan

yang terjadi pada gangguan fisik, gangguan mental ini pada dasarnya

juga terdapat di semua masyarakat, jadi gangguan mental ada secara

universal. Gangguan mental dalam beberapa hal disebut perilaku ab-

normal (abnormal behavior), yang juga dianggap sama dengan sakit

mental (mental illness), sakit jiwa (insanity, lunacy, madness), selain

terdapat pula istilah-istilah yang serupa, yaitu: distress, discontrol,

disadvantage, disability, inflexibility, irrationality, syndromal pattern,

dan disturbance. Berbagai istilah ini dalam beberapa hal dianggap sama,

namun di lain pihak digunakan secara berbeda. Dalam International

Classification of Diseases (ICD) dan Diagnostic and Statistical Manual

of Mental Disorders (DSM) digunakan istilah "mental disorder" yang

diterjemahkan menjadi gangguan jiwa atau mental (Notosoedirdjo dan

Latipun, 2002: 35).

40

2.3. Bimbingan dan Konseling Islam

2.3.1. Pengertian Bimbingan dan Konseling Islam

Pengertian harfiyyah “bimbingan” adalah menunjukkan,

memberi jalan, atau menuntun” orang lain ke arah tujuan yang

bermanfaat bagi hidupnya di masa kini dan masa mendatang. Istilah

“bimbingan” merupakan terjemahan dari kata bahasa Inggris “guidance”

yang berasal dari kata kerja ”to guide” yang berarti “menunjukkan”

(Arifin, 1994: 1).

Secara etimologis, istilah konseling berasal dari bahasa latin

yaitu “consilium” yang berarti “dengan” atau “bersama” yang dirangkai

dengan “menerima” atau “memahami”. Sedangkan dalam bahasa Anglo-

Saxon, istilah konseling berasal dari “sellan” yang berarti

“menyerahkan” atau “menyampaikan” (Prayitno dan Amti, 2004: 99)

Menurut Walgito (1989: 4), “Bimbingan adalah bantuan atau

pertolongan yang diberikan kepada individu atau sekumpulan individu

dalam menghadapi atau mengatasi kesulitan-kesulitan di dalam

kehidupannya, agar individu atau sekumpulan individu itu dapat

mencapai kesejahteraan hidupnya” Dengan memperhatikan rumusan

tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa bimbingan merupakan

pemberian bantuan yang diberikan kepada individu guna mengatasi

berbagai kesukaran di dalam kehidupannya, agar individu itu dapat

mencapai kesejahteraan hidupnya.

41

Dalam tulisan ini, bimbingan dan konseling yang di maksud

adalah yang Islami, maka ada baiknya kata Islam diberi arti lebih

dahulu. Menurut etimologi, Islam berasal dari bahasa Arab, terambil

dari asal kata salima yang berarti selamat sentosa. Dari asal kata itu

dibentuk kata aslama yang artinya memeliharakan dalam keadaan

selamat sentosa, dan berarti juga menyerahkan diri, tunduk, patuh dan

taat. Kata aslama itulah menjadi pokok kata Islam mengandung segala

arti yang terkandung dalam arti pokoknya, sebab itu orang yang

melakukan aslama atau masuk Islam dinamakan muslim (Razak, 1986:

56). Secara terminologi sebagaimana dirumuskan oleh Harun Nasution,

Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada

masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul

(Nasution, 1985: 24).

Bertitik tolak dari uraian tersebut, maka yang di maksud

bimbingan Islami adalah proses pemberian bantuan terhadap individu

agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah

sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Sedang konseling Islam adalah proses pemberian bantuan terhadap

individu agar menyadari kembali akan eksistensinya sebagai makhluk

Allah yang seharusnya hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk

Allah sehingga dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat

(Musnamar, 1992: 5).

42

2.3.2. Dasar Pijakan dan Azas-Azas Bimbingan dan Konseling Islam

Yang menjadi dasar pijakan utama bimbingan dan konseling

Islam adalah al-Qur'ān dan hadiś. Keduanya merupakan sumber hukum

Islam atau dalil-dalil hukum (Khallaf, 1978: 10).

Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda :

عن مالك أنهم بلغهم أن رسول الله صلى اللهم عليه وسـلم قـال كترة تنسالله و ابا كتبهم مكتسما تا مدضلواابت ن لنيرأم فيكم

)رواه مسلم(نبيه

Artinya : Dari Malik sesungguhnya Rasulullah bersabda: Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara atau pusaka, kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, selama kalian berpegang kepada keduanya; kitabullah (Qur’an) dan Sunnah Rasulnya (HR Muslim) (Muslim, 1967: 35)

Dalam al-Qur'ān Allah berfirman:

)7: احلشر...(وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا...

Artinya : Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah (Q.S. Al-Hasyr:7) (Depag RI, 1978: 915)

Al-Qur'ān dan hadiś merupakan landasan utama yang dilihat dari

sudut asal-usulnya, merupakan landasan naqliyah. Ada landasan lain

yang dipergunakan oleh bimbingan dan konseling Islam yang sifatnya

aqliyah yaitu filsafat dan ilmu, dalam hal ini filsafat Islam dan ilmu atau

landasan ilmiah yang sejalan dengan ajaran Islam.

Landasan filosofis Islam yang penting artinya bagi bimbingan

dan konseling Islam antara lain :

43

1. Falsafah tentang dunia manusia (citra manusia)

2. Falsafah tentang dunia dan kehidupan

3. Falsafah tentang pernikahan dan keluarga.

4. Falsafah tentang pendidikan.

5. Falsafah tentang masyarakat dan hidup kemasyarakatan.

6. Falsafah tentang upaya mencari nafkah atau falsafah kerja.

Dalam gerak dan langkahnya, bimbingan dan konseling Islam

berlandaskan pula pada berbagai teori yang telah tersusun menjadi ilmu.

Sudah barang tentu teori dan ilmu itu, khususnya ilmu-ilmu atau teori-

teori yang dikembangkan bukan oleh kalangan Islam yang sejalan

dengan ajaran Islam sendiri. Ilmu-ilmu yang membantu dan dijadikan

landasan gerak operasional bimbingan dan konseling Islam itu antara

lain:

1. Ilmu jiwa (psikologi)

2. Ilmu hukum Islam (syari’ah)

3. Ilmu kemasyarakatan (sosiologi, antropologi sosial dan sebagainya)

(Musnamar,.1992; 6)

Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa al-Qur'an dan Hadits

merupakan basis utama yang mewarnai gerak langkah bimbingan dan

konseling Islam.

Adapun asas-asas atau prinsip-prinsip bimbingan dan konseling

Islam terdiri dari:

1. Asas-asas kebahagiaan di dunia dan akhirat

44

Bimbingan dan konseling Islam tujuan akhirnya adalah

membantu klien, atau konseli, yakni orang yang dibimbing,

mencapai kebahagiaan hidup yang senantiasa didambakan oleh

setiap muslim.

2. Asas fitrah

Bimbingan dan konseling Islam merupakan bantuan kepada

klien atau konseli untuk mengenal, memahami dan menghayati

fitrahnya, sehingga segala gerak tingkah laku dan tindakannya

sejalan dengan fitrahnya tersebut.

3. Asas “lillahi ta’ala

Bimbingan dan konseling Islam diselenggarakan semata-

mata karena Allah. Konsekuensi dari asas ini berarti pembimbing

melakukan tugasnya dengan penuh keikhlasan, tanpa pamrih,

sementara yang dibimbing pun menerima atau meminta bimbingan

dan atau konseling pun dengan ikhlas dan rela, karena semua pihak

merasa bahwa semua yang dilakukan adalah karena dan untuk

pengabdian kepada Allah semata, sesuai dengan fungsi dan tugasnya

sebagai mahkluk Allah yang harus senantiasa mengabdi pada-Nya.

4. Asas Bimbingan seumur hidup

Manusia hidup betapapun tidak akan ada yang sempurna dan

selalu bahagia. dalam kehidupannya mungkin saja manusia akan

menjumpai berbagai kesulitan dan kesusahan. Oleh karena itulah

45

maka bimbingan dan konseling Islam diperlukan selama hayat

dikandung badan.

5. Asas kesatuan jasmaniah-rohaniah

Seperti telah diketahui dalam uraian mengenai citra manusia

menurut Islam ,manusia itu dalam hidupnya di dunia merupakan satu

kesatuan jasmaniah-rohaniah. Bimbingan dan konseling Islam

memperlakukan kliennya sebagai makhluk jasmaniah-rohaniah

tersebut, tidak memandangnya sebagai makhluk biologis semata atau

makhluk rohaniah semata.

6. Asas keseimbangan rohaniah

Rohani manusia memiliki unsur daya kemampuan pikir,

merasakan atau menghayati dan kehendak atau hawa nafsu serta

juga akal. Kemampuan ini merupakan sisi lain kemampuan

fundamental potensial untuk:(1) mengetahui (=”mendengar), (2)

memperhatikan atau menganalisis (=”melihat”;dengan bantuan atau

dukungan pikiran), dan (3) menghayati (=”hati” atau af’idah, dengan

dukungan kalbu dan akal).

7. Asas kemaujudan individu (eksistensi)

Bimbingan dan konseling Islami, memandang seorang

individu merupakan maujud (eksistensi) tersendiri. Individu

mempunyai hak, mempunyai perbedaan individu dari yang lainnya,

dan mempunyai kemerdekaan pribadi sebagai konsekuensi dari

haknya dan kemampuan fundamental potensial rohaniahnya.

46

8. Asas sosialitas manusia

Manusia merupakan makhluk sosial, hal ini diakui dan

diperhatikan dalam bimbingan dan konseling Islami. Pergaulan,

cinta kasih, rasa aman, penghargaan pada diri sendiri dan orang lain,

rasa memiliki dan dimiliki, semuanya merupakan aspek-aspek yang

diperhatikan di dalam bimbingan dan konseling Islam , karena

merupakan ciri hakiki manusia (Faqih, 2002: 200)

9. Asas kekhalifahan manusia

Manusia, menurut Islam diberi kedudukan yang tinggi

sekaligus tanggung jawab yang besar, yaitu sebagai pengelola alam

semesta (“khalifatullah fil ard”). Dengan kata lain, manusia

dipandang sebagai makhluk berbudaya yang mengelola alam sekitar

sebaik baiknya. Sebagai khalifah, manusia harus memelihara

keseimbangan ekosistem sebab problem-problem kehidupan kerap

kali muncul dari ketidakseimbangan ekosistem tersebut yang

diperbuat oleh manusia itu sendiri. bimbingan dan fungsinya tersebut

untuk kebahagiaan dirinya dan umat manusia.

10. Asas keselarasan dan keadilan. Islam menghendaki keharmonisan,

keselarasan, keseimbangan, keserasian dalam segala segi.

11. Asas pembinaan akhlakul karimah, manusia menurut pandangan

Islam memiliki sifat-sifat yang baik (mulia). Sekaligus mempunyai

sifat-sifat lemah.

47

12. Asas kasih sayang. Setiap manusia memerlukan cinta kasih dan rasa

kasih sayang dari orang lain.

13. Asas saling menghargai dan menghormati. Dalam bimbingan dan

konseling Islam kedudukan pembimbing atau konselor dengan yang

dibimbing sama atau sederajat.

14. Asas musyawarah. Bimbingan dan konseling Islam dilakukan

dengan asas musyawarah.

15. Asas keahlian, bimbingan dan konseling Islam dilakukan oleh

orang–orang yang memang memiliki kemampuan keahlian dibidang

tersebut.(Musnamar, 1992: 20-33)