bab i pendahuluan a. latar belakang...

30
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan, keterbelakangan, tingkat pendidikan yang rendah, kesehatan dan gizi yang buruk, minimnya pembangunan infrastruktur untuk fasilitas umum yang memadai merupakan permasalahan dan isu utama pembangunan yang tak ada habisnya di negara-negara dunia ketiga (berkembang) dan semestinya harus segera diselesaikan. Di Indonesia, berdasarkan data yang dihimpun oleh BPS Pusat, per-maret 2014, Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan mencapai 28.280.010 atau 11, 25 % dari keseluruhan populasi. Dari jumlah yang fantastis tersebut, sebanyak 17.772.810 jiwa adalah penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan. Dengan jumlah yang tidak sedikit ini, diperlukan pengayaan program-program pemberdayaan untuk mengentaskan mereka dari kemiskinan. Pemerintah telah menggulirkan ragam program untuk mempercepat pengentasan kemiskinan. Meski hal ini belum berjalan optimal dan membuktikan bahwa pemerintah tidak dapat bekerja sendiri. Jika ditelusuri lebih lanjut, hal penting yang tidak boleh dikesampingkan dalam penerapan program-program tersebut, adalah bagaimana cara agar program-program tersebut dapat dilaksanakan secara efektif, menjangkau ke setiap sudut, mencapai hasil lebih cepat namun menyeluruh, dan memiliki dampak positif yang berkelanjutan; bukan hanya mengarah pada pembangunan masyarakat secara fisik semata, tetapi juga mencakup pembangunan mental sebagai manusia seutuhnya, sehingga tercapailah tujuan pembangunan dalam perspektif etik (Melkote & Steeves 2001/2008), yakni: menjadikan masyarakat sejahtera, lahir dan batin. Dalam perspektif komunikasi, munculnya konsep komunikasi pembangunan (Communication for Development/ C4D) yang kemudian

Upload: vutruc

Post on 03-Mar-2019

233 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemiskinan, keterbelakangan, tingkat pendidikan yang rendah, kesehatan

dan gizi yang buruk, minimnya pembangunan infrastruktur untuk fasilitas umum

yang memadai merupakan permasalahan dan isu utama pembangunan yang tak

ada habisnya di negara-negara dunia ketiga (berkembang) dan semestinya harus

segera diselesaikan.

Di Indonesia, berdasarkan data yang dihimpun oleh BPS Pusat, per-maret

2014, Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan mencapai 28.280.010 atau

11, 25 % dari keseluruhan populasi. Dari jumlah yang fantastis tersebut, sebanyak

17.772.810 jiwa adalah penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan. Dengan

jumlah yang tidak sedikit ini, diperlukan pengayaan program-program

pemberdayaan untuk mengentaskan mereka dari kemiskinan.

Pemerintah telah menggulirkan ragam program untuk mempercepat

pengentasan kemiskinan. Meski hal ini belum berjalan optimal dan membuktikan

bahwa pemerintah tidak dapat bekerja sendiri. Jika ditelusuri lebih lanjut, hal

penting yang tidak boleh dikesampingkan dalam penerapan program-program

tersebut, adalah bagaimana cara agar program-program tersebut dapat

dilaksanakan secara efektif, menjangkau ke setiap sudut, mencapai hasil lebih

cepat namun menyeluruh, dan memiliki dampak positif yang berkelanjutan; bukan

hanya mengarah pada pembangunan masyarakat secara fisik semata, tetapi juga

mencakup pembangunan mental sebagai manusia seutuhnya, sehingga tercapailah

tujuan pembangunan dalam perspektif etik (Melkote & Steeves 2001/2008),

yakni: menjadikan masyarakat sejahtera, lahir dan batin.

Dalam perspektif komunikasi, munculnya konsep komunikasi

pembangunan (Communication for Development/ C4D) yang kemudian

2

berkembang dan memiliki spesifikasi lain, yaitu: komunikasi pemberdayaan

(Communication for Empowerment/ C4E), juga disinyalir bertolak dari

pemahaman bahwa diantara pondasi keberhasilan agenda pembangunan atau

pemberdayaan adalah dikarenakan keberhasilan penerapan komunikasi yang tepat

dan partisipasi aktif didalamnya. Maka komunikasi dianggap sebagai elemen

penting dalam pembangunan, yang tidak dapat dipisahkan dari agenda

pembangunan atau pemberdayaan itu sendiri.

Selain program pemberdayaan yang digulirkan oleh pemerintah di setiap

negara, keberadaan LSM-LSM (Lembaga Sosial Masyarakat) yang familiar juga

disebut NGO (Non- Government Organization) yang bergerak di bidang

pemberdayaan masyarakat ikut membantu dalam usaha pembangunan negeri ini,

sebagaimana yang terjadi di berbagai belahan dunia di negara-negara berkembang

lainnya.

Bahkan, aktivis - aktivis sosial yang bergerak secara individu dan

independen, tanpa membawa embel-embel lembaga juga bermunculan dari masa

ke masa, penuh sukarela membawa misi sosial yang juga bertujuan pemberdayaan

masyarakat sebagai sumbangsih bagi pembangunan negerinya dengan ragam

landasan motivasi serta profesi masing-masing tanpa adanya latar belakang

akademik kesejahteraan sosial sebagaimana pada umumnya para pekerja sosial.

Meski tak banyak, tapi berbagai aksi heroik berbasis tokoh peorangan ini

juga telah menyumbangkan bantuan yang sangat berarti bagi pembangunan

masyarakatnya. Dengan pengalaman mereka secara langsung di masyarakat dan

kekhasan ideologi yang mereka anut tentunya menjadikan mereka memiliki pola

penerapan komunikasi yang berbeda yang akan menarik untuk diteliti lebih

mendalam sebagai tambahan kekayaan intelektual di bidang komunikasi

pemberdayaan (C4E) dan dimungkinkan ditemukannya solusi-solusi praktis

dalam menangani permasalahan komunikasi khususnya dalam komunikasi

pembangunan.

3

Sebut saja, Mahatma Ghandi di India dengan prinsip satya graha

(penegakan kebenaran) dan ahimsa (tanpa kekerasan) nya yang mendunia,

Ariyaratne dengan gerakan Sarvodaya Shramadana (gerakan kemandirian) di

Srilanka, belum lagi Paulo Freire dengan konsep liberasi (teologi pembebasan)

berbasis gerakan conscientization (penyadaran) nya di Brazil, dan lain sebagainya.

Mereka mampu memulai program-program pemberdayaan masyarakat dari diri

mereka sendiri, tentunya dengan penerapan komunikasi yang khas.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Indonesia dengan kemajemukan suku,

budaya, agama, dan karakteristik penduduknya, dengan posisi sebagai negara

berkembang yang populasinya terbesar kelima di dunia mencapai 237.641.326

jiwa menurut sensus penduduk terakhir, tahun 2010 (Data BPS Pusat), tentunya

diikuti permasalahan pembangunan yang juga kompleks. Diperlukan sekali

adanya terobosan-terobosan baru dan ragam solusi yang praktis dan jitu dalam

mengatasi permasalahan tersebut. Penulis melihat, masih jarang pembahasan

tentang pemberdayaan masyarakat berbasis tokoh terutama dengan perspektif

komunikasi. Dari beberapa contoh gerakan pemberdayaan berbasis tokoh di atas,

diasumsikan sangat menarik untuk dipelajari, sehingga dapat membawa kesegaran

bagi perspektif komunikasi pembangunan, utamanya komunikasi pemberdayaan.

Di Indonesia, keberadaan tokoh-tokoh aktivis individu ini masih dapat dihitung

dengan jari.

Achmad Nuril Mahyudin, adalah salah satu aktivis sosial Indonesia, yang

bergerak secara independen di bidang pemberdayaan masyarakat, berbasis

individu. Nuril, demikian dia biasa dipanggil, telah menekuni aktivitas sosial ini

selama 25 tahun (1989 – 2014); sebuah kurun waktu yang cukup panjang.

Hal yang tidak biasa bahwa sebagian besar dari dana kegiatan sosial

adalah dari kantongnya sendiri; 99% dari hasil penjualan lukisan dan tas

produksinya dengan brand “reptile®” dan “Amphibi®”, hasil penjualan karya

lukisnya, sementara sisanya dari bantuan insidentil perorangan maupun institusi.

Diluar masalah pendanaan, dia juga terlibat langsung dalam proses pengerjaan,

4

pembelanjaan, pendokumentasian, pengontrolan dan pengevaluasian program,

bersama dengan anggota masyarakat yang dia libatkan untuk dikaderkan.

Singkatnya, dapat dikatakan bahwa dia adalah seorang individu yang bersifat

institusional; karena dia berperan sebagai lembaga pemrakarsa, penyedia dan

penggalang dana, pembimbing program, pelaksana dan komunikator sekaligus.

Tentunya penelitian ini, menitikberatkan perannya sebagai aktivis sosial yang juga

berkapasitas sebagai komunikator pemberdayaan masyarakat.

Jenis aktivitas sosialnyapun sangat variatif, meliputi hampir semua kisi-

kisi utama kebutuhan masyarakat, diantaranya seperti: perawatan kesehatan,

pembangunan madrasah, pembelajaran sholat dan pembagian alat sholat,

pembagian tas dan alat tulis, pelestarian sepeda onthel, cagar gembala dan

sebagainya; meski menetapkan prioritas pada pengadaan sarana air bersih dengan

target 1000 sumur dan MCK di pelosok. Ketekunannya di dalam perjuangan

sosial telah juga menuai apresiasi melalui peliputan di berbagai media cetak

maupun elektronik dan penghargaan nasional, diantaranya yang terakhir adalah

sebagai Pahlawan untuk Indonesia 2014 versi MNC TV.

Salah satu fakta komunikasi unik yang ditemukan, berdasarkan observasi

pra-penelitian di wilayah aktivitas sosialnya, dia memilih untuk menggunakan

bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasinya dengan masyarakat pelosok

Ngawi yang notabene orang Jawa, meskipun dia seorang Jawa yang dapat

berbahasa Jawa secara aktif. Meskipun demikian, dia terlihat sangat dekat dengan

masyarakat binaannya.1

Anehnya, dia memilih memfokuskan kegiatan sosialnya di titik – titik

pelosok Ngawi, yang bukan wilayahnya sendiri: Lamongan, tempat dia

dibesarkan, ataupun Pamulang Tangerang Selatan, tempat dia membuka usaha

produksi tasnya, sebagai seorang pengusaha dan galeri lukisnya sebagai seorang

seniman.

1Observasi pra-penelitian di Dusun Kebon Waru Pandean Ngawi, 13 Desember 2013

5

Pada dasarnya, aktivitas Nuril bukan hanya bergerak di pedusunan di

Kabupaten Ngawi saja, tetapi juga di berbagai kantong-kantong kemiskinan di

beberapa wilayah di pulau Jawa. Namun dia memilih pedusunan pelosok yang

terletak di berbagai pedesaan Ngawi selama 10 tahun terakhir, dan khususnya di

Desa Pandean, Karang Anyar Ngawi sebagai pilot projectnya, secara intensif

selama 8 tahun terakhir, dikarenakan tingginya tingkat kemiskinan dan

keterbelakangan di daerah tersebut yang telah menghinggapi penduduk di wilayah

tersebut selama puluhan tahun, secara turun temurun, dilengkapi dengan sangat

minimnya bantuan dari pemerintah yang sampai kesana.

Pedusunan yang berada di Pandean Ngawi, sekitar 35% wilayahnya

merupakan hutan, perkebunan, dan persawahan dan terletak berbatasan dengan

Jawa Tengah, mesti dicapai dengan melalui jalanan bebatuan nan terjal, ataupun

disebrangi dengan sampan, di seberang aliran Sungai Bengawan Solo.

Indikasi kemiskinan dan keterbelakangan yang dapat ditengarai dengan

jelas adalah aliran listrik yang sangat terbatas, buruknya sarana transportasi

berupa jalanan terjal tak beraspal yang bahkan membuat tetangga desa

sekitarnyapun enggan untuk datang kesana. Terlebih sarana air bersih yang sangat

minim terutama di musim kemarau. Mengambil air bermil-mil jauhnya dari

sumber air, ketiadaan kamar mandi yang layak, sehingga mandi di ruang terbuka

merupakan hal yang terpaksa dianggap lumrah oleh penduduk setempat. Profesi

sebagai petani dengan penghasilan minim dan rendahnya tingkat pendidikan juga

merupakan bentuk lain gambaran dari keterbelakangan mereka. Disanalah Nuril

memprioritaskan aktivitas pemberdayaan masyarakatnya pada pembangunan

sumur dan MCK yang layak untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka berikut

ragam aktivitas pemberdayaan lainnya. Atas dasar ini juga, peneliti menjadikan

Pandean Ngawi sebagai obyek penelitian ini.

Berawal dari satu aktivitas tersebut, Nuril melayani segala macam

kebutuhan masyarakat lainnya sebagai individu yang bergerak layaknya sebuah

6

institusi profesional: menginisiasi program, mendanainya sendiri, kemudian

mengimplementasikannya langsung bersama masyarakat lapisan bawah.

Aktivitas sosialnya tidak hanya beragam jenis programnya, namun juga

beragam jangkauannya, meliputi segala lapisan usia. Laki-laki, perempuan, tua,

muda, dari anak-anak hingga kakek nenek, berada dalam target pemberdayaannya.

Beberapa fakta diatas menunjukkan bahwa Nuril tentunya menggunakan

strategi yang variatif dan spesifik dalam berkomunikasi dengan seluruh pihak

dalam aktivitas sosialnya tidak hanya dalam penyampaian pesan

pemberdayaannya; namun juga dalam rangka mencapai tujuan program

komunikasi pemberdayaan yang diharapkan, yang tentunya menarik untuk diteliti

lebih lanjut sebagai prototype aktivis sosial di Indonesia.

Indonesia dengan kekhasan masyarakat, corak budaya yang beragam,

falsafah berfikirnya dengan latar religiusitas yang cukup kuat, tentunya tidak serta

merta mudah untuk menerapkan dan mengadopsi mentah-mentah model-model

komunikasi pemberdayaan yang sudah ada, baik yang bersumber dari penelitian

di negara-negara berkembang lainnya ataupun yang berbasis penelitian

komunikasi pembangunan berperspektif negara-negara maju yang dilakukan oleh

berbagai NGO internasional yang bergerak dibidang komunikasi pembangunan

dan pemberdayaan masyarakat. Meskipun demikian, kerangka kerja (framework)

yang telah disusun oleh akademisi berdasarkan penelitian dan penerapan praktisi

di lapangan yang dibawahi oleh lembaga-lembaga tersebut, tentunya sangat

diperlukan sebagai batu pijakan yang kuat dalam menemukan hasil-hasil

penelitian yang menarik yang berbasis lokal dan independen.

Sebagaimana konsep tentang CNA (Communication Needs analysis),

yaitu: analisa kebutuhan-kebutuhan komunikasi secara umum dalam program

pembangunan, yang digunakan untuk memahami dan menganalisa isu-isu

komunikasi yang terdapat dalam program tersebut yang menjadi pintu masuk

dalam pembahasan tentang komunikasi pembangunan secara komprehensif

7

sebelum menuju tahapan berikutnya, seperti pendesainan strategi komunikasi,

implementasi program, yang disertai dengan penerapan monitoring dan evaluasi

(Monev). Belum lagi praktek pemberdayaan sebagai pendekatan komunikasi

pembangunan dengan perspektif yang khas seperti perspektif etik dan perspektif

teologi pembebasan yang diajukan oleh dua pakar komunikasi pembangunan

negara-negara berkembang, Melkote dan Steeves.

Kaitannya dengan hal diatas, pada observasi pra-penelitian, peneliti

mensinyalir ada sesuatu yang baru diluar mainstream yang ada tentang penerapan

komunikasi yang unik yang dikembangkan oleh Achmad Nuril Mahyudin dalam

aktivitasnya memberdayakan masyarakat yang lebih bercorak Indonesia dan dapat

menghantarkan pada penerapan komunikasi pemberdayaan berbasis local wisdom

(kearifan lokal). Maka, perlu diteliti, bagaimana komunikasi diterapkan dalam

pemberdayaan masyarakat berbasis tokoh independen, khususnya sebagai praktisi

komunikasi pemberdayaan di lapangan, yang akan dibingkai dengan penerapan

CNA, berdasarkan perspektif khas yang dijadikan dasar pijakan tokoh aktivis

sosial tersebut. Diharapkan, dari penelitian ini, akan dapat menjadi panduan

(guidance) serta inspirasi bagi tokoh-tokoh independen lainnya yang akan ataupun

telah menekuni aktivitas sosial dimanapun berada, khususnya di Indonesia.

Terutama dalam memahami serta menangani permasalahan-permasalahan

komunikasi yang terjadi di lapangan, demi tercapainya tujuan pemberdayaan

masyarakat, dan pembangunan negeri ini dikemudian hari, ataupun dalam konteks

yang lebih luas di dunia.

Intensitas yang tinggi dan jam terbang Nuril yang cukup lama, sekitar 25

tahun dalam aktivitas sosial, menurut penulis, menjadikannya layak dijadikan

acuan dalam memahami seluk beluk komunikasi pemberdayaan masyarakat.

Meski sepak terjangnya dalam aktivitas sosial sudah beberapa kali diliput, baik

oleh media cetak maupun media televisi, namun belum ada yang meneliti dan

menyorot secara khusus tentang bagaimana pemberdayaan masyarakat melalui

komunikasi pembangunan yang dikembangkan oleh aktivis sosial Indonesia,

8

Achmad Nuril Mahyudin di desa Pandean, Karang Anyar Ngawi. Maka peneliti

melihat pentingnya diteliti tema tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, dalam penelitian ini,

peneliti hendak menjawab rumusan masalah sebagai berikut:

“Bagaimanakah komunikasi pemberdayaan masyarakat diterapkan

oleh aktivis sosial Achmad Nuril Mahyudin di Pandean Ngawi?”

Dan rumusan masalah tersebut akan dibantu dengan menjawab pertanyaan

penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimanakah CNA (Communication Needs Assessment) diterapkan dalam

komunikasi pemberdayaan masyarakat berbasis tokoh independen?

a. Apa saja program pemberdayaan masyarakat yang diinisiasi oleh tokoh

aktivis sosial?

b. Bagaimanakah pendesainan stategi komunikasi dalam komunikasi

pemberdayaan tersebut diaplikasikan?

1) Apa sajakah tujuan pemberdayaannya?

2) Siapa sajakah sasaran pemberdayaannya?

3) Bagaimanakah pendekatan komunikasinya?

4) Apa saja saluran dan atau media komunikasi yang dipilih?

5) Apa saja hambatan komunikasinya?

c. Bagaimanakah monitoring dan evaluasi (Monev) yang

diselenggarakan dalam komunikasi pemberdayaan tersebut?

9

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menggambarkan tipologi komunikasi untuk pemberdayaan masyarakat

berbasis tokoh independen.

2. Menemukan kekhasan fenomena komunikasi pemberdayaan masyarakat

berbasis tokoh beserta dinamika masalah dan solusi komunikasi yang

menyertainya.

3. Memahami tahapan-tahapan komunikasi pemberdayaan masyarakat yang

diinisiasi oleh aktivis sosial independen.

4. Mengkaji evaluasi kualitatif terhadap kualitas dan keberhasilan komunikasi

pemberdayaan masyarakat dalam perspektif dan pandangan stakeholder,

terutama respon masyarakat yang diberdayakan.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi personil maupun institusi

khususnya di lembaga penelitian, perguruan tinggi, pustaka keilmuan, lembaga

pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat, serta organisasi sosial dan

kemasyarakatan formal maupun informal, di tingkat desa hingga tingkat nasional

bahkan internasional, baik manfaat secara teoritis, praktis, maupun metodologis.

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat dijadikan landasan teoritis dalam mendapatkan

pemahaman yang komprehensif dan mendalam tentang kajian komunikasi

pemberdayaan masyarakat di Indonesia, khususnya yang berbasis tokoh

independen. Sehingga landasan ini dapat menjadi salah satu tolok ukur dalam

menentukan kebijakan yang tepat, baik berbentuk undang-undang, kurikulum, visi

10

misi lembaga dan arah komunikasi yang lebih pro pemberdayaan masyarakat di

institusi terkait.

2. Manfaat Praktis

Ditingkat makro, penelitian ini dapat menjadi alternatif model komunikasi

pemberdayaan masyarakat berbasis tokoh independen khas Indonesia yang dapat

disandingkan dengan model komunikasi pemberdayaan berbasis tokoh

independen di belahan bumi lainnya. Sehingga dapat menjadi pilihan solusi bagi

masalah-masalah pembangunan khususnya pemberdayaan masyarakat di lembaga

terkait. Karena keberhasilan komunikasi pemberdayaan masyarakat akan

mengarah pada keberhasilan komunikasi pembangunan yang merupakan salah

satu agenda sentral negara manapun di dunia.

Pada tingkatan mikro, penelitian ini dapat menjadi salah satu panduan

(guidance) bagi para pelaku aktivitas sosial lainnya, khususnya kalangan

independen yang tentunya merangkap juga sebagai praktisi komunikasi dalam

menangani masalah-masalah komunikasi pemberdayaan masyarakat yang sejenis

di lapangan terutama dalam penerapan komunikasi pemberdayaan yang tepat

berikut dengan tahapan-tahapannya, serta dapat melakukan peningkatan-

peningkatan yang signifikan dalam aktivitas sosial yang dilakukannya. Secara

mendetail, para aktivis sosial akan dapat memahami pentingnya CNA dan

bagaimana menerapkannya sebagai basis penerapan proses program

pemberdayaannya. Para aktivis sosial juga dapat menjadikan devcomm

methodological framework contoh nyata tahapan ideal proses pemberdayaan,

mulai dari CBA, desain strategi komunikasi, implementasi program, hingga

Monev, dan bagaimana menyesuaikannya dengan pelaksanaan program yang

digagasnya dengan kekhasannya sendiri dan berdasarkan perspektif nilai yang

dimilikinya.

Penelitian ini juga berguna bagi spesialis komunikasi (communication

specialist) pada umumnya, khususnya para spesialis komunikasi pembangunan

11

(development communication specialists) untuk melakukan tugasnya memahami,

mengawal, dan mengevaluasi pelaksanaan program-program komunikasi

pembangunan ataupun pemberdayaan.

Disamping itu, penelitian ini dapat dimanfaatkan juga oleh lembaga-

lembaga sosial pemerintahan maupun non pemerintahan, sebagai bahan

pertimbangan pencanangan program pemberdayaan masyarakat berikut penerapan

komunikasi pemberdayaan masyarakat yang sesuai di Indonesia, khususnya

pemberdayaan masyarakat di pelosok. Secara khusus, lembaga-lembaga terkait

dapat juga menjadikan penelitian ini sebagai contoh evaluasi pembanding

kualitatif dalam mengetahui kedalaman kepercayaan, saling pengertian, situasi

pemberdayaan dan keikutsertaan/ partisipasi masyarakat.

Sebagai tambahan, lembaga-lembaga sosial tersebut, dapat menggunakan

penelitian ini sebagai panduan pengevaluasian kerja spesialis komunikasi yang

bekerja di lembaga tersebut secara kualitatif.

3. Manfaat Metodologis

Secara metodologis, penelitian bergenre kualitatif ini dapat bermanfaat

bagi para peneliti ilmu sosial dan komunikasi pembangunan sebagai penyeimbang

pandangan dan perspektif komunikasi pembangunan, khususnya komunikasi

pemberdayaan yang selama ini didominasi oleh penelitian kuantitatif.

Penelitian ini juga dapat dijadikan salah satu batu pijakan, bahan refleksi,

maupun tinjauan pustaka bagi para akademisi dan peneliti dalam pengembangan

penelitian dalam rangka pengayaan ragam komunikasi pembangunan dan

pemberdayaan masyarakat, terlebih yang berbasis tokoh independen, yang masih

terbuka luas untuk diteliti lebih mendalam dari segi-segi lainnya.

12

E. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini dibangun dari kerangka pemikiran dan teoritis tentang

komunikasi pemberdayaan masyarakat sebagai berikut:

E.1. Teori-teori Komunikasi Pemberdayaan Masyarakat

Penelitian ini akan didekati dengan 4 macam teori, sebagai berikut:

E.1.1. Komunikasi Pembangunan

Komunikasi Pembangunan hadir sebagai sebuah studi komprehensif yang

secara konseptual bersumber dari teori komunikasi dan teori pembangunan yang

saling menopang dalam rangka mempercepat dan menuntaskan permasalahan

pembangunan. Studi komunikasi pembangunan menjadi kajian populer di negara

dunia ketiga dimana studi ini dalam bingkai teoritis dikembangkan melalui kajian

dan analisis mendalam yang diarahkan pada upaya pencarian konsep atau model

pembangunan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, yang akan menuntun

jalan bagi munculnya kesadaran baru dengan konsep-konsep yang bersifat

korektif.

Dalam memahami konsep komunikasi pembangunan tidak dapat

dilepaskan dari teori dan paradigma yang mengiringi perkembangan kajian ini.

Paradigma modernisasi yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi dalam

pembangunan dengan pendekatan komunikasi yang top-down dan satu arah (one-

way communication), mendewakan kemampuan komunikasi masa dengan teori

difusi inovasinya; terbukti telah gagal dalam mencapai tujuan pembangunan. Dan

disinyalir menjadikan keadaan semakin memburuk dengan dinikmatinya hasil

pembangunan oleh segelintir kelompok elit saja. Kegagalan modernisasi yang

baru saja disebut merupakan bagian dari apa yang dikemukakan oleh teori

dependensi, sebagai kritik kelemahan teori modernisasi yang merupakan wajah

dari paradigma dominan pembangunan. Hadir sebagai paradigma kritis, teori

dependensi menjelaskan bahwa pembangunan dengan paradigma modernisasi

13

menjadikan negara-negara berkembang (dunia ketiga) memiliki ketergantungan

yang kuat terhadap negara-negara maju, sehingga menjadi tidak berdaya dan

semakin terbelakang. Namun sayangnya, teori ini tidak mampu memberikan

solusi untuk mengatasi keadaan yang ada. Paradigma partisipatoris muncul

kemudian, sebagai paradigma alternatif bagi komunikasi pembangunan. Dengan

mengusung pentingnya partisipasi masyarakat dalam program pembangunan dan

penerapan komunikasi dua arah yang tepat guna, dan penetapan tujuan

pembangunan yang komprehensif yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat

yang menyeluruh, paradigma ini dianggap lebih mampu dan adil dalam mengatasi

permasalahan pembangunan dibandingkan dua paradigma yang hadir sebelumnya

dan mulai diterapkan secara meluas sembari dikembangkan strategi dan tekhnik

praktis yang menyertainya.

Keluar dari perdebatan paradigma tersebut, dalam tataran praktis, studi

komunikasi pembangunan difokuskan untuk mencari strategi, tekhnik dan metode

yang tepat dimana komunikasi ditempatkan sebagai entitas penting bagi proses

pembangunan sebagai bentuk pendekatan antar disiplin untuk menjawab

tantangan dan tuntutan sekaligus memberikan pengaruh yang signifikan pada

pencapaian tujuan pembangunan. Hal ini dapat dimengerti jika dilihat dari

kompleksitas permasalahan pembangunan seperti: sosial, ekonomi, politik, dan

budaya yang menjadikan pembangunan menjadi sebuah fenomena sosial. Oleh

karenanya, studi komunikasi pembangunan dianggap mampu untuk mengarahkan

perubahan dan pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara.

Dengan demikian, konsep komunikasi pembangunan merupakan usaha

pemilihan strategi dan model komunikasi yang bertujuan untuk menyampaikan,

mengkaji, dan menjelaskan tentang suatu isu, ide, atau gagasan ideal yang

berkaitan dengan perubahan menuju pembangunan masyarakat yang akan

memberikan inspirasi segar dalam penggalian kreativitas, kepentingan, aspirasi,

dan kebutuhan individu, kelompok, dan masyarakat dan diharapkan akan

bermunculan ide, gagasan dan inovasi dari kalangan akar rumput (grassroots)

(Dilla, 2007: 2-4)

14

E.1.2. Komunikasi Pemberdayaan Masyarakat

Komunikasi pemberdayaan masyarakat (KPM) merupakan entitas yang

tidak dapat terlepas dari komunikasi pembangunan (KP). KPM merupakan salah

satu strategi pembangunan yang mengedepankan pembangunan yang terpusat

pada manusianya (people-centered), pengoptimalan partisipasi masyarakat, dan

komunikasi dialogis yang berlangsung dua arah.

Kemunculan paradigma partisipatoris, memunculkan varian komunikasi

pembangunan yang beragam. Seperti berkembangnya konsep komunikasi

penunjang pembangunan (Development Support Communication/ DSC) yang lahir

dari semangat pemberdayaan. Dalam pandangan peneliti sendiri, sebagaimana

yang dikemukakan secara implisit oleh Melkote (Melkote & Steeves, 2008: 348-

352), dilihat dari diferensiasi DSC dan karakteristiknya, mempunyai konsep yang

sama dengan komunikasi pemberdayaan masyarakat, sehingga dapat disebut

sebagai istilah atau nama lain dari komunikasi pemberdayaan itu sendiri. Melkote

mengetengahkan perbedaan yang jelas antara keduanya. Komunikasi

pembangunan dipotret dalam paradigma modernisasinya memiliki struktur

komunikasi yang top-down, memiliki kecenderungan otoriter dengan

hubungannya yang bernuansa subjek-objek. Sementara komunikasi penunjang

pembangunan/ komunikasi pemberdayaan sendiri mengedepankan komunikasi

yang horizontal antar masing-masing individu atau kelompok dalam masyarakat

dengan hubungan yang bernuansa subjek-subjek. Dilihat dari level peranannya,

komunikasi pembangunan berada pada level internasional dan nasional, KPM

sendiri pada level lokal dan akar rumput (grassroots). Komunikasi pembangunan

berfokus pada penggunaan media-media besar seperti TV, radio, surat kabar, dsb

sementara KPM cenderung menggunakan media-media kecil atau menengah,

seperti: video, strip film, media tradisional, komunikasi interpersonal dan

kelompok. Pembangunan regional dan nasional, peningkatan masyarakat,

perubahan sosial terutama di bidang ekonomi merupakan tujuan utama dari

komunikasi pembangunan. Sementara KPM menjadikan pemberdayaan

15

masyarakat, keadilan sosial, pembangunan kapasitas dan kesetaraan sebagai

prioritas dalam tujuannya.

Maka, komunikasi pemberdayaan masyarakat dapat diartikan sebagai

upaya pembebasan dan pencerahan untuk meningkatkan harkat, martabat, serta

menanamkan jiwa kemandirian masyarakat sehingga seluruh aktivitas

pembangunan diarahkan pada pemberdayaan masyarakat secara menyeluruh.

E.1.3. Kampanye Sosial

Kampanye menurut Roger dan Storey (1987) adalah serangkaian kegiatan

komunikasi terencana dan berkesinambungan yang bertujuan mencapai hasil atau

efek tertentu pada sejumlah besar khalayak pada periode waktu tertentu.

“A communication campaign (a) intends to achieve specific effects,

(b) in a relatively large number of individuals, (c) within a

specified period of time, and (d) through an organized set of

communication activities” (Rogers & Storey, 1987).

Adapun jenis kampanye dibagi menjadi tiga kategori (Charles U. Larson,

1992), yaitu:

1. Kampanye produk (Product oriented campaigns)

2. Kampanye pencalonan kandidat (Candidate Oriented Campaigns)

3. Kampanye ideologi atau misi sosial (Ideological or Cause Oriented

Campaigns).

Jenis kampanye yang ketiga inilah yang digunakan dalam pemberdayaan

masyarakat, karena kampanye ini bersifat khusus ideologis, berdimensi sosial dan

mengarah pada perubahan sosial, sehingga disebut juga sebagai kampanye sosial

atau kampanye perubahan sosial.

16

Dengan demikian, kampanye sosial dapat didefinisikan sebagai

serangkaian kegiatan komunikasi yang terencana, berkesinambungan, dan

periodik yang bertujuan membawa masyarakat kepada suatu perubahan sosial.

Kampanye sosial akan menjadi efektif ketika pesan yang disampaikan

memiliki fungsi dapat mengubah pola pikir masyarakat dan menggugah kesadaran

masyarakat pada suatu isu tertentu. Jenis pendekatan ini disebut oleh Kotler dan

Roberto (1989) sebagai salah satu solusi potensial dalam mengatasi masalah-

masalah sosial dengan mengubah sikap dan perilaku masyarakat (Kotler &

Roberto, 1989).

Kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat, masalah yang dihadapi oleh

masyarakat akar rumput adalah kesadaran mereka terhadap kondisi ketidak-

berdayaan mereka dan bagaimana keluar dari situasi tersebut sehingga menjadi

lebih mandiri dan berdaya merupakan masalah yang cukup pelik, dan kampanye

sosial diperkirakan dapat membantu mengatasi permasalahan tersebut dengan

menggugah kesadaran masyarakat melalui pesan-pesan yang disampaikan dalam

kampanye tersebut oleh agen perubahan, dalam hal ini tokoh aktivis sosial yang

ada di wilayahnya.

E.1.4. CNA (Communication Needs Assessment)

CNA istilah yang sering digunakan untuk penilaian tentang kebutuhan

komunikasi, secara khusus ditujukan untuk menginvestigasi, memahami, dan

menentukan isu-isu yang berkaitan dengan komunikasi. Konsep ini biasanya

digunakan untuk meneliti lingkungan media, infrastruktur dan kebijakan

komunikasi, kapasitas komunikasi institusional, hambatan informasi, aliran

informasi formal maupun informal, serta jaringan. Secara singkat, CNA

digunakan untuk membahas isu-isu komunikasi seperti media, pesan, system

informasi, kapasitas komunikasi dan segala hal yang berkaitan langsung dengan

komunikasi. (Mefalopulos, 2008: 15, 149)

17

Sebagaimana dicontohkan oleh Cabanero-Verzosa (2005) (dalam

Mefalopulos 2008: 15), tentang penggunaan CNA dalam Program Pembangunan

Anak Usia Dini dan Nutrisi Uganda, disebutkan bahwa CNA digunakan untuk

menginvestigasi isu-isu komunikasi dan memahami perilaku dan praktik

masyarakat yang terkait dengan pola nutrisi yang sesuai dengan tujuan program.

Dimana tujuannya adalah untuk mengidentifikasi pesan-pesan komunikasi dan

saluran-saluran komunikasi apa sajakah yang dapat diaplikasikan secara efektif

yang mengarah pada perubahan yang diharapkan.

E.2. Konsep-konsep pemberdayaan

Istilah pemberdayaan tidak dapat dilepaskan dari istilah pembangunan.

Demi memahami istilah ini, diperlukan pemahaman yang mendalam tentang

konsep-konsep yang berkenaan dengan pemberdayaan.

E.2.1. Pemberdayaan dan Pembangunan

Untuk memahami konsep pemberdayaan secara utuh, perlu memahami

konsep pembangunan terlebih dahulu. Pembangunan adalah proses

berkesinambungan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas. Pada

awal-awal kemunculannya, konsep ini dipengaruhi dengan teori modernisasi yang

mengacu pada teori pertumbuhan ekonomi Adam Smith, sehingga

menitikberatkan kesejahteraan kepada peningkatan pendapatan masyarakat dan

pembangunan infrastruktur. Dengan hadirnya paradigma partisipatoris yang

membawahi teori teologi pembebasan, pembangunan tidak lagi hanya dipahami

sebagai peningkatan ekonomi sebagai tolok ukur keberhasilannya. Untuk

mencapai tujuan pembangunan, peningkatan sumberdaya manusia haruslah lebih

dahulu diutamakan, yang tidak lain melalui upaya-upaya pemberdayaan.

Istilah pemberdayaan (empowerment) berasal dari kata daya (power).

Yang lebih mengacu pada makna mengontrol daya (power over = controlling

power). Berdasarkan pemahaman ini, pemberdayaan adalah pembangunan dan

pelatihan kekuatan sebagai proses dimana individu atau masyarakat meraih

18

kontrol dan penguasaan penuh atas kondisi sosial ekonominya (Rappaport 1981

dalam Melkote & Steeves, 2001/2008) dan atas partisipasi demokratik di

komunitasnya (Zimmerman & Rappaport, 1988; dalam Melkote & Steeves,

2001/2008: 36) dan atas kehidupannya sendiri.

Payne (1997) menitikberatkan pemberdayaan pada kemampuan dalam

pengambilan keputusan dengan mengurangi hambatan-hambatan personal dan

meningkatkan kapasitas dan kepercayaan diri untuk menggunakan daya tersebut

untuk kemudian diteruskan kepada orang lain.

Dari beragam konsep pemberdayaan masyarakat yang telah dijelaskan

diatas, dapat dinilai bahwa konsep ini membangun paradigma baru dalam

pembangunan, dan semuanya mengarah pada empat sifat sebagaimana yang

diajukan oleh Robert Chambers, yakni konsep yang bersifat “people-centered,

participatory, empowering, and sustainable” (terpusat pada aktor, partisipatif,

memberdayakan, berkesinambungan) (Chambers, 1995).

Berdasarkan kerangka metodologi 4 fase bentukan divisi khusus

Development Communication (DevComm) di organisasi World Bank, akan

dibahas tahapan-tahapan pemberdayaan. Berbeda dengan divisi-divisi serupa di

lembaga-lembaga internasional sejenis, divisi DevComm ini difungsikan lebih

optimal untuk meningkatkan hasil program pembangunan yang dicanangkan oleh

World Bank. DevComm tidak hanya berfungsi untuk mendesain strategi

komunikasi yang efektif saja, namun juga dalam menginisiasi fase atau tahapan

dalam program pembangunan, dimana komunikasi juga digunakan sebagai alat

penelitian dan analisis dalam program-program tersebut. Kerangka 4 fase

sebagaimana yang diterapkan oleh DevComm ini meliputi: 1) CBA

(Communication-Based Assessment/ penilaian berbasis komunikasi); 2)

Pendesainan strategi komunikasi; 3) Implementasi program; 4) Monitoring dan

Evaluasi (Monev).

19

Pada tahapan pertama, CBA dilaksanakan untuk mengeksplorasi situasi

dan persepsi yang melingkupi setiap stakeholder atau pihak-pihak yang berkaitan

dengan program pembangunan termasuk program pemberdayaan yang akan

ditargetkan pada suatu wilayah. Dalam tahapan CBA ini, Spesialis Komunikasi

mempelajari kultur budaya, konteks sosial dan politik, untuk mengidentifikasi

pemuka-pemuka masyarakat (opinion leaders) dan para stakeholders; dalam

rangka menilai resiko-resiko yang dimungkinkan muncul, seperti penolakan

maupun konflik potensial dari masyarakat, termasuk juga mencari solusi-solusi

dan menentukan tujuan-tujuan yang dapat mendukung perubahan yang

diinginkan.

Pendesainan strategi adalah tahapan yang mesti dilakukan selanjutnya.

Tahapan ini diharapkan dapat mendefinisikan rancangan strategi dan pelaksanaan

program yang meliputi waktu dan biaya yang dibutuhkan, pendekatan komunikasi

yang dibutuhkan, termasuk pemilihan media dan pesan yang sesuai untuk masing-

masing sasaran berdasarkan analisis data yang terhimpun dari pelaksanaan

tahapan sebelumnya, CBA.

Implementasi program barulah dilaksanakan setelah strategi komunikasi

telah terdesain dengan baik. Dalam fase implementasi ini, program yang telah

dicanangkan dilaksanakan tahap demi tahap sesuai dengan media dan pendekatan

yang telah ditentukan dalam rancangan strategi.

Pada tahap akhir, monitoring dan evaluasi (Monev) dilaksanakan. Monev

meliputi pengawasan dan evaluasi terhadap jalannya proses selama program

berlangsung, yang biasa disebut evaluasi formatif atau monitoring; serta

pengukuran terhadap hasil akhir, yang disebut juga sebagai evaluasi sumatif.

Dalam penelitian ini, sebagaimana desain penelitiannya, dilakukan secara

kualitatif, dan yang dilihat adalah hal-hal yang tidak mudah untuk diukur secara

empiris, seperti kedalaman pemberdayaan dan partisipasi oleh masyarakat yang

dikenai program. Sehingga yang dijadikan tolok ukur adalah bukan sekedar

berapa jumlah program yang sudah tercapai tetapi bagaimana umpan balik dan

20

respon dari masyarakat atau para stakeholder yang berkaitan langsung maupun

tidak langsung dengan program pemberdayaan tersebut.

E.2.2. Partisipasi Masyarakat

Sebagaimana yang ditulis oleh Anyaegbunam et al (2004) (dalam

Mefalopulos, 2008: 10-11). Menurutnya, ada 4 tipologi partisipasi dalam konteks

pembangunan, dimulai dengan level yang terendah hingga level yang tertinggi,

yaitu:

1. Partisipasi Pasif Komponen masyarakat berpartisipasi dengan

diinformasikan tentang apa yang akan atau telah terjadi.

Umpan balik masyarakat sangatlah minim atau nyaris

tidak ada. Partisipasi dinilai hanya dari tingkat

kehadiran dalam program maupun dalam diskusi.

2. Partisipasi

Konsultatif

Komponen masyarakat berpartisipasi dengan

memberikan umpan balik akan pertanyaan dari peneliti

luar, komunikator ataupun tokoh pemberdaya. Meski

demikian, keputusan final berada di tangan tokoh di luar

masyarakat.

3. Partisipasi

Fungsional

Komponen masyarakat mengambil bagian dalam diskusi

dan analisis akan tujuan sementara yang telah

ditentukan oleh program. Dalam partisipasi tipe ini,

meski jarang sekali berujung pada perubahan tujuan,

namun bernilai dalam memberikan masukan bagaimana

mencapai tujuan tersebut. Pada tipe ini, komunikasi

horizontal sudah dilakukan

4. Partisipasi

terberdayakan

Komponen masyarakat mau dan mampu untuk menjadi

bagian dari proses dan analisis, sehingga mengarah pada

pengambilan keputusan bersama tentang apa yang harus

dicapai (tujuan) dan bagaimana. Maka masyarakat disini

memiliki posisi yang sama dalam pengambilan

keputusan yang terkait dengan hidup mereka.

Tabel 1.1.

Tingkatan Partisipasi

Sumber: Paulo Mefalopulos dalam Development Communication Sourcebook.

Broadening the Boundaries of Communication. Washington DC. : World Bank.

2008: 11

21

Empat tingkatan partisipasi, sebagaimana yang disebutkan diatas, serupa

dengan level-level partisipasi yang diajukan oleh World Bank meski dalam istilah

yang sedikit berbeda, yitu: 1) Pembagian informasi (information sharing); 2)

konsultasi (consultation); 3) kolaborasi (collaboration); 4) pemberdayaan

(empowerment). Pembagian informasi dan konsultasi berada dalam dua level

terbawah, sementara kolaborasi dan pemberdayaan merupakan dua level

partisipasi tertinggi. (Mefalopulos, 2008: 52)

E.2.3. Teologi Pembebasan (Liberation Theology)

Teologi pembebasan dengan paradigma partisipatorisnya dikemukakan

oleh Paulo Freire (1970) yang memiliki fokus terhadap keterbelakangan dan

bagaimana mengatasinya. Pembangunan menurut Freire, tidak hanya terfokus

pada pencapaian ekonomi atau harta kekayaan semata tetapi lebih mengedepankan

pada pembangunan manusia seutuhnya. Perspektif ini menegaskan bahwa hal

pertama dalam pembangunan yang perlu diperhatikan adalah pemberdayaan

masyarakat. Makna dari pemberdayaan adalah pembebasan masyarakat dari

keadaan tertindas, termarjinalkan, tidak berdaya dalam struktur sosial yang

melingkupi mereka (sosio-ekonomi, politik dan budaya). Konsep utama dalam

teori ini adalah “Conscientization” (penyadaran), yaitu bagaimana menyadarkan

masyarakat dengan kondisi terbelakang mereka dan bagaimana terbebas dari

kondisi tersebut. Ketika kesadaran itu tumbuh, maka masyarakat tersebut dapat

berfikir dan berusaha bagaimana terhindar dari penyebab keadaan mereka dengan

menemukan upaya bagaimana mengatasi keadaan mereka.

Perspektif ini lebih menekankan pada pendekatan humanistik dari pada

pendekatan struktural, dengan pendekatan bottom-up dan komunikasi dua arah

(two-way communication) dan berlandaskan nilai-nilai spiritual agama yang

menjadi landasan bagi penerapan pemberdayaan dengan meningkatkan partisipasi

masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan sehingga mereka menjadi

masyarakat yang mandiri dan berdaya. Dalam perspektif ini, ajaran agama tidak

menjadi penghambat program pemberdayaan, justru menjadi kekuatan dan faktor

22

penting dalam usaha pembebasan dan pemberdayaan masyarakat dari

ketertindasan dan keterbelakangan. Baik yang berupa nilai-nilai ajaran dan

implementasinya maupun ritual-ritual keagamaan itu sendiri, dianggap sebagai

bagian tak terpisahkan dari usaha pemberdayaan itu sendiri untuk mencapai tujuan

pembebasan dan pemberdayaan manusia yang sejati dan seutuhnya. (Melkote &

Steeves, 2001: 273-276). Dalam penelitian ini, perspektif teologi pembebasan

diasumsikan sebagai jawaban teoritis bagi pertanyaan penelitian dalam

mengungkap perspektif komunikasi pemberdayaan masyarakat berbasis tokoh

independen yang dilihat dari nilai-nilai komunikasi yang diungkapkan.

E.3. Dinamika Pemberdayaan Masyarakat Desa

Desa sebagai wilayah yang berada dalam lingkup terbatas, merupakan

satuan pemerintahan terkecil dalam suatu Negara, dengan penduduk yang

umumnya bermata-pencaharian yang berkaitan langsung dengan iklim seperti

pertanian dan perikanan (Kartodikusumo 1965, Ogburn & Nimkoff, Landis)

seringkali diidentikkan dengan kesan terbelakang, tertinggal, miskin, kumuh, dan

tidak berpendidikan.

Hal tersebut berangkat dari kenyataan bahwa pembangunan wilayah dan

masyarakat belum merata, sebagian besar terpusat pada perkotaan dan pinggiran

kota. Sementara sebagian besar wilayah di pedesaan belum mendapatkan sentuhan

pembangunan yang maksimal terutama yang berada di daerah pelosok.

E.3.1. Permasalahan Masyarakat Desa

Pada dasarnya akar permasalahan dari ketidak berdayaan masyarakat,

terutama yang berada di pedesaan, adalah disebabkan oleh kemiskinan.

Poerwadarminta (1976) mengartikan kemiskinan secara harfiah dengan “tidak

berharta-benda” yang berasal dari kata dasar miskin. Secara epistemologi

kemiskinan adalah kondisi ketidakmampuan suatu individu maupun kelompok

dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka.

23

Kartasasmita (1997: 234) berpendapat bahwa kemiskinan adalah masalah

krusial dalam upaya pembangunan yang berbentuk ketimpangan, diawali dengan

merebaknya pengangguran dan keterbelakangan. Secara singkat Kuncoro (1997:

102-103) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi ketidakmampuan

dalam memenuhi standar hidup minimum. Adapun Friedmann (1992: 123)

memaknai kemiskinan sebagai dampak dari ketidakmerataan kesempatan dalam

pengaksesan kekuatan sosial.

Secara garis besar dapat ditarik kesimpulan bahwa kemiskinan adalah

kondisi ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar individu ataupun

kelompok baik secara materi maupun lingkup sosial.

Dilihat dari faktor penyebab kemiskinan, terdapat 3 bentuk kemiskinan,

yaitu: kemiskinan natural, kemiskinan kultural, dan kemiskinan struktural

(Kartasasmita, 1997: 235 dan Baswir, 1997: 23).

Kemiskinan natural adalah keadaan miskin dikarenakan sedari awalnya

dalam kondisi miskin. Masyarakat tersebut menjadi miskin karena ketiadaan

sumber daya yang memadai baik sumber daya alam maupun sumber daya

manusia. Baswir (1997 : 21) menambahkan bahwa kemiskinan jenis ini utamanya

akibat dari beberapa faktor alamiah seperti cacat, sakit, usia lanjut atau karena

bencana alam. Kartasasmita (1997: 235) menyebutnya sebagai “Persistent

Poverty” atau kemiskinan kronis yang telah terjadi secara turun temurun, yang

biasanya berada di daerah yang terisolir.

Adapun kemiskinan kultural mengacu pada sikap hidup, gaya hidup,

budaya yang enggan berusaha untuk memperbaiki dan merubah tingkat

kehidupannya. Faktor budaya seperti malas, tidak disiplin, boros, tidak memiliki

keterampilan kerja menjadikan tingkat pendapatan mereka rendah dibandingkan

standar pendapatan pada umumnya di wilayahnya. (Baswir, 1997: 21).

Sementara kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh

system dan struktur sosial yang timpang yang ditengarai dengan adanya kebijakan

24

yang berat sebelah, distribusi yang tidak merata, serta merebaknya korupsi dan

kolusi serta tatanan yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat

tertentu. Menurut Baswir, hal ini bisa juga disebabkan karena adanya upaya

menanggulangi kemiskinan natural, dimana pencanangan program dan kebijakan

yang tidak merata menimbulkan struktur masyarakat yang timpang sehingga

menimbulkan kelompok masyarakat miskin baru. Bentuk kemiskinan yang

disebut oleh Kartasasmita (1997: 236) sebagai “accidental poverty” ini merupakan

dampak akan adanya suatu kebijaksanaan tertentu yang menyebabkan

menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.

E.3.2. Program Pemberdayaan Masyarakat Desa

Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan bentuk

pembangunan lain yang tidak kalah penting dibandingkan pembangunan

infrastruktur di pedesaan. Maka perlu ditingkatkan pendidikan dan pelatihan,

formal maupun informal di pedesaan sehingga terbentuk pola pikirnya, memiliki

keterampilan dan keahlian yang memadai sehingga akhirnya dapat berfikir

mandiri dan maju demi kemajuan pedesaan.Dengan jumlah desa sebanyak 79.702

(data BPS Pusat 2012) dan jumlah penduduknya yang mencapai 119.321.070 jiwa

atau sama dengan 50,21 % (sensus penduduk 2010, BPS Pusat) dari keseluruhan

penduduk Indonesia, seharusnya pembangunan di pedesaan mendapat perhatian

yang khusus dan dukungan yang penuh dari pemerintah, karena desa merupakan

ujung tombak pemerintahan, garda terdepan dari pembangunan.

Meski masih jauh dari harapan, dan masih banyak desa-desa terutama

yang terletak di pelosok hampir tidak tersentuh oleh bantuan pemerintah, kita

tidak menutup mata bahwa pemerintah juga telah berupaya dalam mengatasi

permasalahan di pedesaan, yaitu dengan program-program pemberdayaan

masyarakat desa. Beberapa upaya pemerintah untuk membangun desa yaitu

program IDT (Inpres Desa Tertinggal), dirjen PMD (Pemberdayaan Masyarakat

Desa) di bawah kementerian Pembangunan dan IDT yang memfokuskan kepada

desa. Belum lagi keberadaan lembaga-lembaga pemberdayaan seperti LPMD

25

(Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa) dulu bernama LKMD (Lembaga

Ketahanan Masyarakat Desa) dengan beragam program dan bantuannya untuk

pemberdayaan masyarakat di pedesaan.Yang beberapa tahun terakhir ini mulai

digulirkan adalah PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) melalui

program bantuan permodalan bagi individu di pedesaan, yang mulai dirasakan

manfaatnya oleh masyarakat desa, meski belum menjangkau daerah-daerah

pedesaan di titik jauh, yang benar-benar membutuhkan.

E.4. Aktivis Sosial sebagai Tokoh Pemberdayaan Masyarakat Desa

Aktivis sosial yang sering juga disebut relawan sosial (volunteer) adalah

orang yang berbuat untuk menolong dan memberdayakan masyarakat berdasarkan

keterpanggilan jiwa dan atas dasar rasa welas asih (philantrophy) dan dorongan

amal (charity) yang didorong oleh intuisi dan pengalaman hidup, sehingga disebut

juga dengan penolong alamiah (natural helper). Ada yang berbuat melalui Orsos

dan ada pula yang bergerak secara individu. Hal yang paling membedakan dengan

pekerja sosial adalah, aktivis sosial tidak memiliki dasar keilmuan khusus di

bidang kesejahteraan sosial, mereka memiliki latar belakang keilmuan yang

beragam atau bahkan latar kehidupan yang berbeda. Tentunya motivasi

berbuatnya juga berbeda, jika pekerja sosial berlandaskan pengembangan

kompetensi, maka aktivis sosial berlandaskan pada keterpanggilan jiwa. Tidak ada

standar-standar dan batasan yang jelas untuk aktivis sosial seperti pada pekerja

sosial. Namun, menurut hemat penulis, minimal aktivis sosial haruslah memiliki

pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki oleh pekerja sosial, sebagai yang

disebutkan diatas, meskipun tidak mesti dengan menempuh pendidikan

kesejahteraan sosial. Sebagaimana pekerja sosial, karena bidangnya adalah

kemanusiaan dan kesejahteraan sosial, akan lebih baiknya jika memiliki motivasi

keterpanggilan juga sebagaimana pada aktivis sosial.

Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka penelitian ini dapat dilihat

secara komprehensif pada model penelitian sebagai berikut:

26

Gambar 1.1.

Model Penelitian

Sumber: Peneliti

F. KERANGKA KONSEP

1. Komunikasi Komunikasi dalam penelitian ini dimaknai sebagai

pertukaran makna (shared meaning) dimana komunikasi

bukanlah sebagai proses linier dan statis namun sirkular

dan dinamis.

2. Pemberdayaan Istilah ini dimaksudkan usaha pembebasan kondisi

masyarakat yang tidak berdaya menjadi berdaya atau

mandiri, bukan hanya secara materil namun juga secara

mental. Pemberdayaan dalam penelitian ini berakar dari

konsep pembangunan dengan perspektif etik (Ethical

perspective), yaitu: pembangunan yang titik ukuran

keberhasilannya meliputi dua aspek penting yaitu:

peningkatan pendapatan perkapita dan pertumbuhan

mental spiritual. Dalam penelitian ini istilah

Pemetaan CNA (Communication Need Assessment)

Pada Komunikasi Pemberdayaan Masyarakat

Berbasis Tokoh

Program- program Pemberdayaan

Masyarakat:

Ragam Program

Pemberdayaan

Desain Strategi Komunikasi:

1. Tujuan 2. Sasaran 3. Pendekatan 4. Saluran & Media 5. Hambatan

Monev:

1. Monitoring 2. Evaluasi

a. Pencapaian b. Feedback

Masyarakat

27

pemberdayaan, pembangunan, aktivitas sosial, program

kemanusiaan, perjuangan sosial digunakan secara

bergantian dan mewakili makna dari pemberdayaan.

3. Masyarakat Dalam penelitian ini istilah masyarakat khususnya

ditujukan pada sekelompok orang yang mendiami suatu

wilayah dan berada dalam kondisi ketidakberdayaan

baik secara ekonomi maupun secara mental.

4. Komunikasi

Pemberdayaan

Masyarakat

(KPM)

Suatu usaha pemberdayaan masyarakat yang dilakukan

melalui pendekatan komunikasi, metode dan media

yang dianggap tepat dan mengedepankan bentuk

komunikasi dialogis atau dua arah; merupakan bagian

dari bidang komunikasi pembangunan dengan

paradigma partisipasi.

5. Berbasis Tokoh Usaha KPM yang dilakukan oleh seorang tokoh,

individu yang berperan sebagai aktivis sosial secara

independen dan tidak berasal dari institusi kelembagaan

tertentu.

6 CNA

(Communication

Needs

Assessment)

Diartikan sebagai penilaian kebutuhan komunikasi

Metode investigasi untuk menilai situasi yang berkaitan

dengan isu-isu komunikasi, yang mana pada penelitian

ini dipusatkan pada pembahasan tentang program-

program pemberdayaan, desain strategi komunikasinya

dan aplikasi Monev dalam program pemberdayaan

7. Program

Pemberdayaan

Program-progam pemberdayaan yang diinisiasi oleh

tokoh pemberdayaan masyarakat, baik program

komunikasi maupun non-komunikasi, yang

mengandung pesan-pesan pemberdayaan

8. Ragam Program Bentuk-bentuk program pemberdayaan menurut

bidangnya masing-masing

9. Tahapan-tahapan Proses dan urutan implementasi program pemberdayaan

28

dari A-Z yang diterapkan oleh tokoh yang diteliti

10.. Desain strategi

komunikasi

Perencanaan dan manajemen untuk pencapaian tujuan

pemberdayaan yang menjadi panduan bagaimana

mengimplementasikan program. Desain strategi ini

mencakup penetapan tujuan, pengenalan sasaran

pemberdayaan, penentuan pendekatan komunikasi,

pemilihan saluran & media yang tepat, disertai

penganalisaan hambatan.

11. Tujuan Dampak positif yang diharapkan dari masyarakat

setelah menerima pesan-pesan pemberdayaan dari

aktivis sosial.

12. Sasaran Digunakan bergantian dengan istilah audiens, stake

holder, masyarakat, ataupun komunitas. Dimaknai

sebagai individu perorangan ataupun kelompok

masyarakat yang dikenai/ merasakan program

pemberdayaan secara khusus.

13. Pendekatan Bagaimana aktivis sosial memilih pendekatan

komunikasi pesan-pesan pemberdayaan agar tujuan

komunikasi dapat sampai dengan efektif terhadap

masyarakat yang diberdayakan.

14. Saluran atau

Media

Meliputi segala macam bentuk saluran komunikasi,

tradisional maupun elektronik yang dapat

menghantarkan pesan pemberdayaan yang ingin

disampaikan. Seperti: video, radio, internet, teater,

musik, dongeng, kentongan, majalah, suratkabar,

brosur, dsb.

15. Hambatan Konflik, ketidak-lancaran komunikasi yang terjadi

dalam proses pemberdayaan yang mengacu pada tidak

tercapainya tujuan komunikasi pemberdayaan

masyarakat.

29

16. Monev Monitoring dan evaluasi. Monitoring maksudnya proses

pengawasan pelaksanaan program komunikasi atau

yang disebut juga dengan evaluasi formatif, yang

dilakukan oleh agen atau tokoh pemberdaya. Sementara

evaluasi dimaksudkan sebagai penilaian atau hasil akhir

program komunikasi pemberdayaan yang diukur secara

kualitatif melalui respon dan umpan balik masyarakat

terhadap program komunikasi pemberdayaan yang

dialaminya.

17. Monitoring Bentuk evaluasi formatif yang berlangsung selama

program pemberdayaan berjalan

18. Evaluasi Bentuk evaluasi sumatif yang dilakukan pasca program

pemberdayaan dimana penilaian tertuju pada kesesuaian

pencapaian program dengan tujuan yang dicanangkan

dan feedback dari masyarakat atas pendekatan KPM

yang mereka terima

19. Pencapaian Hasil akhir atau bentuk puncak dari program

pemberdayaan yang dilaksanakan berdasarkan tujuan

pemberdayaan

20. Feedback Respon, refleksi, umpan balik, atau tanggapan

masyarakat yang meliputi 3 aspek, yaitu aspek kognitif

(kesadaran/ pengetahuan), aspek afektif (sikap,

perasaan/ emosi) dan aspek konatif (perilaku/ tindakan)

berupa verbal maupun non-verbal terhadap model

komunikasi tokoh aktivis sosial di wilayahnya

G. METODE PENELITIAN

1. Metodologi

Desain penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat

eksploratif dengan pendekatan studi kasus. Data yang diharapkan adalah

30

eksplorasi penerapan komunikasi prototype Aktivis sosial Achmad Nuril

Mahyudin dalam pemberdayaan masyarakatnya berdasarkan CNA (Communiction

Needs Assessment) yang meliputi ragam dan tahapan program pemberdayaannya,

strategi komunikasi dan pelaksanaan Monev. Dalam hal strategi komunikasi, data

yang diharapkan adalah berupa tujuan, sasaran, pendekatan, saluran dan hambatan

komunikasi. Sementara dalam pelaksanaan Monev, data yang diharapkan adalah

bentuk monitoring yang diterapkan dan feedback masyarakat terhadap penerapan

komunikasi pemberdayaan masyarakat tokoh yang diteliti.

2. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan

dokumentasi tokoh aktivis sosial berupa foto dan video rekaman. Observasi

lapangan mengarah pada bentuk-bentuk komunikasi dan pesan-pesan yang

disampaikan oleh aktivis sosial terhadap komunitasnya. Adapun wawancara

dilakukan dengan tokoh aktivis sosial, rekan aktivis sosial, tokoh masyarakat, dan

anggota masyarakat.

Sasaran Pokok dari objek Penelitian ini, adalah:

Pertama, Penerapan Komunikasi Pemberdayaan Masyarakat berbasis

tokoh pada aktivis sosial independen, yaitu, Achmad Nuril Mahyudin, sebagai

prototype tokoh aktivis sosial di Indonesia, untuk diteliti penerapan komunikasi

pemberdayaannya, berdasarkan CNA (Communication Needs Assessment).

Kedua, kelompok masyarakat Pandean Ngawi yang menjadi sasaran

umum program komunikasi pemberdayaan oleh aktivis sosial, terutama untuk

diteliti bagaimana feedback masyarakat tersebut berikut kedalaman partisipasi

mereka terhadap program yang dirasakan oleh mereka secara langsung, sebagai

bagian dari proses evaluasi pada tahapan Monev.