bab i pendahuluan 1.1 latar belakang...

39
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di abad ke-21 orang mulai berbicara bahwa mereka sedang berada dalam proses memasuki sebuah tata kehidupan yang baru yang kerap disebut dengan istilah zaman modern. Modernisme ditandai oleh adanya perubahan yang sangat cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi, politik dan sosial-budaya. Perkembangan yang pesat dalam bidang teknologi, khususnya teknologi informasi, memungkinkan produksi dan distribusi informasi mencapai tingkat kemudahan dan kecepatan yang tinggi sehingga dapat menembus batas ruang dan waktu (Mangunwijaya, 1999:34). Kehidupan modern semacam itu pada awalnya memang banyak memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Namun semakin lama manusia semakin terikat dengan teknologi. Teknologi tidak lagi berhadapan dengan manusia tetapi sudah terintegrasi dengan manusia. Dalam kondisi demikian manusia akan terkungkung oleh kemajuan itu sendiri. Dengan kata lain kemajuan teknologi pada awalnya membuat efisiensi dalam kehidupan manusia. Namun dalam perkembangan selanjutnya teknologi justru menenggelamkan manusia dalam suatu rutinitas dan otomatisasi kerja yang diciptakan. Keadaan itulah yang menjadi salah satu penyebab manusia terpisah dari sesama atau dunia luar dan akhirnya mengalami keterasingan. Manusia tidak lagi hidup secara bebas dengan lingkungannya tetapi secara berangsur-angsur telah dikelilingi oleh teknik, organisasi, dan sistem yang diciptakan sendiri. Manusia mulai terkuasai oleh kekuatan-kekuatan tersebut sehingga menjadi tergantung dan lemah. Dalam

Upload: duongnhi

Post on 19-Mar-2019

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Di abad ke-21 orang mulai berbicara bahwa mereka sedang berada dalam

proses memasuki sebuah tata kehidupan yang baru yang kerap disebut dengan

istilah zaman modern. Modernisme ditandai oleh adanya perubahan yang sangat

cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi, politik

dan sosial-budaya. Perkembangan yang pesat dalam bidang teknologi, khususnya

teknologi informasi, memungkinkan produksi dan distribusi informasi mencapai

tingkat kemudahan dan kecepatan yang tinggi sehingga dapat menembus batas

ruang dan waktu (Mangunwijaya, 1999:34).

Kehidupan modern semacam itu pada awalnya memang banyak

memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Namun semakin lama manusia

semakin terikat dengan teknologi. Teknologi tidak lagi berhadapan dengan

manusia tetapi sudah terintegrasi dengan manusia. Dalam kondisi demikian

manusia akan terkungkung oleh kemajuan itu sendiri. Dengan kata lain kemajuan

teknologi pada awalnya membuat efisiensi dalam kehidupan manusia. Namun

dalam perkembangan selanjutnya teknologi justru menenggelamkan manusia

dalam suatu rutinitas dan otomatisasi kerja yang diciptakan. Keadaan itulah yang

menjadi salah satu penyebab manusia terpisah dari sesama atau dunia luar dan

akhirnya mengalami keterasingan. Manusia tidak lagi hidup secara bebas dengan

lingkungannya tetapi secara berangsur-angsur telah dikelilingi oleh teknik,

organisasi, dan sistem yang diciptakan sendiri. Manusia mulai terkuasai oleh

kekuatan-kekuatan tersebut sehingga menjadi tergantung dan lemah. Dalam

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

2

keadaan ini manusia tidak lagi menjadi subjek yang mandiri tetapi telah

mengalami detotalisasi dan dehumanisasi (Erich Form, dalam Poespowardojo,

1988:83).

Dalam konteks ini, fenomena kehidupan masyarakat modern menjadi

salah satu fragmen yang ditonjolkan dalam novel Supernova: Ksatria, Putri dan

Bintang Jatuh karya Dewi Lestari1, sebuah karya sastra yang sarat dengan refleksi

kemanusiaan ketika berhadapan dengan modernisasi. Terkait relasi antara kajian

sosiologi dan sastra, proses kreatif dalam dunia sastra memang tidak akan dapat

dilepaskan dengan realitas empiris. Dengan demikian realitas tentang modernisasi

merupakan salah satu sumber bahan penciptaan karya sastra.

Dalam hubungannya dengan realitas yang menjadi sumber penciptaan

karya sastra, Kuntowijoyo (1984:132) mengatakan, melalui karya sastra yang

diciptakan itulah sebenarnya sastrawan mencoba menerjemahkan realitas dengan

bahasa imajiner untuk memahami peristiwa tersebut menurut kadar

kemampuannya. Oleh karena itu, untuk melihat fenomena modernitas, penelitian

ini akan difokuskan pada penggambaran kehidupan masyarakat modern dalam

karya sastra. Sebab karya sastra, pada hakikatnya berpretensi menampilkan

gambaran kehidupan. Adapun kehidupan yang digambarkan bisa mencakup

hubungan antar-masyarakat, antara masyarakat dengan perseorangan, maupun

antar manusia dan juga antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang.

Hal tersebut dikarenakan sebuah karya sastra tidaklah muncul secara tiba-

tiba dan situasi yang berada di dalamnya juga terkait sejumlah faktor sosial yang

akan membantu pembacanya memahami kejadian, bentuk, dan isi yang terdapat di

dalam karya sastra tersebut. Karya sastra merupakan imitasi dari universe atau

semesta, yang dalam pengertian kritikus sastra sering disebut dengan istilah

refleksi masyarakat (Abrams, 1981: 178-179). 1 Selanjutnya dalam penulisan tesis ini, judul novel tersebut disingkat menjadi Supernova.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

3

Seperti dikatakan Tanaka (1976, dalam Mahayana, 2007: 6), dalam sistem

sastra, teks tidak jatuh begitu saja dari langit. Di sekeliling teks ada berbagai

persoalan politik, sosial, ekonomi, budaya yang melatarbelakangi dan

melatardepani kelahiran teks dan penerbitan karya sastra. Oleh karena itu sastra

adalah roh kebudayaan. Ia lahir dari proses yang rumit dengan melibatkan

kegelisahan sastrawan atas kondisi masyarakat dan terjadinya ketegangan atas

kebudayaannya. Sastra sering juga ditempatkan sebagai potret sosial. Ia

mengungkapkan kondisi masyarakat pada masa tertentu. Ia dipandang juga

memancarkan zamannya. Dari sanalah, sastra memberi pemahaman yang khas

atas situasi sosial, kepercayaan, ideologi, dan harapan-harapan individu yang

sesungguhnya merepresentasikan kebudayaan bangsanya.

Hal itu kompatibel dengan pandangan Berger dan Luckman (1990:56)

yang mengatakan, sepanjang menyangkut hubungan sosial, bahasa

‘menghadirkan’ sesama manusia tidak hanya secara fisik hari ini, melainkan juga

yang dikenang atau yang dikonstruksikan kembali dari masa lampau, maupun

yang diproyeksikan sebagai orang-orang khayalan di masa depan. Kesimpulannya

tak ada karya sastra yang lahir dari ketiadaan. Mustahil pula sastra tanpa fakta.

Sastra tidak diturunkan malaikat dari langit. Hakikat sastra yang fiksional tidak

serta-merta merupakan kedustaan atau sekedar kebohongan. Ada kebenaran

faktual. Lewat kreativitas fakta menjelma fiksi. Dengan kata lain, karya sastra

bolehlah dikatakan sebagai representasi kehidupan sosial (Mahayana, Kompas, 30

Desember 2012).

Bertolak dari kontruksi argumen di atas, munculnya pendekatan sosiologis

dalam kritik sastra adalah keniscayaan. Analisis sosiologis dalam kajian sastra

menjadi konsekuensi logis mengingat dunia kesusastraan selalu berurusan dengan

dunia manusia, atau dunia simbolik yang mengacu pada kehidupan manusia.

Karya sastra adalah produk pengarang yang hidup di lingkungan sosial. Dengan

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

4

begitu, karya sastra merupakan dunia imajinatif pengarang yang selalu terkait

dengan kehidupan sosial. Pengarang sebagai anggota masyarakat, pasti dilahirkan,

dibesarkan, dan memperoleh pendidikan di tengah-tengah kehidupan sosial. Inilah

yang kemudian membuat Laurenson dan Swingewood (1972:17) menyimpulkan

bahwa, literature as cultural phenomena and social product (karya sastra

merupakan sebuah fenomena kebudayaan dan produk sosial suatu masyarakat).

Dalam cara pandang ini kemudian lahir satu pendekatan dalam kajian sastra dan

budaya yang dinamakan sosiologi sastra (sociology of literature).

Ringkasnya, sosiologi sastra adalah pendekatan yang coba mengkritisi

kecenderungan formalisme dalam aliran strukturalisme saat menelaah karya

sastra. Formalisme (strukturalisme bahasa) beranggapan bahwa sebuah karya

sastra mesti dianalisis hanya dari konten (isi) karya sastra itu semata sehingga bisa

lepas dari konteks sosial teksnya maupun setting sosio-kultural pengarangnya.

Maka aliran ini pun hanya bergulat pada analisis isi tekstualnya (fonem, plot,

penokohan, dan sebagainya). Dengan kata lain, sosiologi sastra beranggapan

sastra senantiasa lahir dan berkembang dalam masyarakat dengan menampilkan

gambaran kehidupan, sedangkan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan

sosial (Damono, 2002: 1). Selanjutnya segenap problematika kehidupan tersebut

oleh masing-masing pengarang dituangkan ke dalam beberapa bentuk karya sastra

yang biasa kita kenal selama ini, yaitu roman, novel, cerita pendek (cerpen), sajak,

puisi, dan sebagainya.

Dari sekian macam bentuk karya sastra tersebut, penelitian ini

dikhususkan pada analisa novel. Argumentasinya, novel merupakan ragam karya

sastra yang representatif sebagai refleksi sosial-budaya dalam sebuah ruang

kehidupan tertentu di mana karya tersebut dihasilkan. Novel sebagai genre sastra

yang utama dari industri masyarakat dapat dilihat sebagai usaha untuk

menciptakan kembali dunia sosial manusia yang berhubungan dengan politik,

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

5

sosial, budaya dan segenap aspek kehidupan lainnya. Dalam konteks ini novel

juga melukiskan peran manusia dalam keluarga, kelompok maupun unit (institusi)

sosial lainnya. Novel juga bisa menggambarkan terjadinya konflik maupun

ketegangan antarkelompok dan kelas sosial dalam masyarakat (Laurenson dan

Swingewood, 1972: 11-12).

Dalam istilah lain, novel merupakan karya sastra yang paling mendekati

gambaran kehidupan sosial dibandingkan puisi atau drama. Konflik yang dapat

kita tangkap dalam novel adalah gambaran ketegangan antara individu dengan

individu, lingkungan sosial, alam, dan Tuhan. Atau ketegangan individu dengan

dirinya sendiri. Ketegangan-ketegangan itu, sering kali justru dipandang sebagai

cermin kehidupan masyarakat, yang di dalamnya terkandung juga akar budaya

dan semangat zamannya. Dalam novel, pengungkapan pengalaman dan

permasalahan yang dialami individu dalam relasinya dengan hal-hal di luar

dirinya (aspek sosial) disampaikan secara lebih detail dan kaya unsur

dibandingkan dengan ragam karya sastra lainnya (Mahayana, 2007: 227; Faruk,

2010:7).

Pemilihan novel Supernova sebagai objek material penelitian ini

dilatarbelakangi beberapa argumen. Pertama, adanya kategori keunggulan (aspek-

aspek yang membuat novel ini layak diapresiasi), keterjangkauan (jangkauan

pengaruh novel ini di masyarakat) dan kekuatan relevansi topik maupun substansi

novel ini dengan realitas kehidupan masyarakat kontemporer di Indonesia.

Melalui novel ini akan coba dilihat gagasan apa saja yang dituangkan Dewi

Lestari terkait dengan cerita dalam novel tersebut dan realitas yang dicerminkan.

Hal tersebut sesuai dengan tujuan penelitian ini yang ingin mengetahui tentang

representasi kritik terhadap masyarakat modern dalam novel Supernova KPBJ ini.

Kedua, penelitian ini menjadi penting karena selama ini belum banyak

dilakukan penelitian terhadap novel tersebut, padahal masalah yang diangkat

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

6

memiliki relevansi dengan berbagai sisi kehidupan masyarakat modern di

Indonesia. Melalui penelitian mendalam terhadap novel ini diharapkan dapat

diketahui wacana apa saja yang berusaha diberikan pengarang terkait realitas dan

problematika yang dihadapi masyarakat modern dewasa ini.

Ketiga, yang membedakan studi ini dengan studi lainnya adalah pemilihan

fokus penelitian ini yang ingin melihat representasi kritik terhadap masyarakat

modern yang ditampilkan oleh novel Supernova tersebut. Hal ini menjadi potret

yang menarik mengingat secara sosiologis novel ini lahir dari setting sosio-

kultural Indonesia yang telah merasakan hingar bingar globalisasi kebudayaan,

ekonomi dan politik pascareformasi. Apalagi di masa itu dunia sedang memasuki

era baru, abad 21 yang biasa disebut abad millenium. Pascareformasi yang

kemudian ditandai dengan berbagai perubahan di abad 21 merupakan titik tolak

bagi segenap perubahan pada masyarakat Indonesia. Dengan demikian secara

tematik novel ini memiliki relevansi yang sangat kuat dengan isu yang

berkembang dalam masyarakat modern di Indonesia. Di mana sebagian

masyarakat Indonesia sedang mengalami “pertempuran” hebat antara berkutat

dengan budaya ketimurannya dengan infiltrasi budaya asing.

Mahayana (2011) menggambarkannya sebagai berikut:

Ayu Utami dan Taufik Ikram Jamil merupakan dua novelis penting di

akhir tahun 1990-an. Memasuki tahun 2000, Gus tf Sakai, lewat novelnya,

Tambo: Sebuah Pertemuan (2000) juga sengaja menampilkan bentuk

eksperimentasi dengan memasukkan bentuk esai dan pola penceritaan

yang gonta-ganti. Pada tahun berikutnya, seorang novelis –pendatang

baru– Dewi Lestari (Dee) juga membuat kejutan yang benar-benar

mengagumkan lewat sebuah novel science, berjudul Supernova (2001).

Jika keempat nama itu ditempatkan dalam kotak yang mewakili novelis

Indonesia mutakhir, maka tampak jelas bahwa akar tradisi yang

melatarbelakangi kepengarangan mereka sangat mempengaruhi unsur

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

7

intrinsik karya yang ditampilkannya. Ayu Utami dan Dewi Lestari adalah

produk manusia kosmopolitan yang tak jelas akar tradisinya. Keduanya

telah tercerabut dari masa lalu yang menjadi latar sejarah etnis orang tua

yang melahirkan dan membesarkannya. Akibatnya, mereka telah

kehilangan identitas masing-masing dari kultur etnis. Itulah sebabnya,

novel yang diangkatnya memperlihatkan kegelisahan manusia

kosmopolitan. Bahkan, dalam novel Supernova, Dewi Lestari tidak hanya

mencoba memanfaatkan deskripsi science sebagai bagian tak terpisahkan

dari unsur intrinsik novel bersangkutan (tokoh, latar, dan tema), tetapi

juga menyodorkan kontroversi tokoh gay (homoseksual) yang dalam

sejarah novel Indonesia, belum pernah diungkapkan novelis lain2.

Kemudian, pertimbangan keempat adalah, kajian ini dimaksudkan untuk

memberi kontribusi bagi studi sosiologi dalam hal studi tentang kritik terhadap

masyarakat modern. Selama ini masih jarang dilakukan studi tentang kritik

terhadap masyarakat modern dengan menggunakan medium sastra (novel) yang

dianalisis dengan pendekatan sosiologi sastra. Karena salah satu elemen menarik

dalam novel Supernova adalah penggambaran tokoh-tokohnya yang

merepresentasikan potret kritik terhadap masyarakat atau manusia modern di

Indonesia. Menghubungkan konteks sosial yang terepresentasi dalam karya sastra

(novel) bisa dilacak dengan mencari simpul-simpul relasi antara persoalan-

persoalan zaman dan kemasyarakatan dari suatu kurun waktu tertentu yang

berpengaruh dan amat menentukan pemilihan tema-tema yang diungkapkan para

sastrawan dalam karya sastra yang dihasilkannya.

2http://media-sastra-indonesia.blogspot.com/2011/02/sastrawan-indonesia-pasca-angkatan-66.html

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

8

1.2 Rumusan Pertanyaan

Salah satu yang menarik dari novel ini adalah diskursus tentang kehidupan

masyarakat modern yang ditampilkan oleh penulisnya. Oleh karena pertanyaan

utama yang diajukan dalam penelitian ini adalah, “apa makna teks novel

Supernova karya Dewi Lestari?”. Untuk menjawab pertanyaan utama tersebut,

akan dielaborasi melalui rincian pertanyaan berikut.

1. Apa yang digambarkan oleh Dewi Lestari dalam novel Supernova?.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk:

• Ingin mengetahui dan menggambarkan makna sosial dari teks novel

Supernova.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Manfaat yang sekiranya dapat diperoleh dalam penelitian ini adalah:

• Untuk melengkapi studi-studi sebelumnya tentang novel Supernova

dengan sudut pandang dan pendekatan yang berbeda.

• Secara akademis diharapkan dapat memberi sumbangsih terhadap studi

sosiologi sastra yang selama ini masih jarang ditekuni oleh ilmuwan

sosiologi.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

9

1.4 Tinjauan Pustaka

1.4.1 Studi Tentang Sastra dan dan Kemanusiaan

Untuk riset tentang sastra dan tema keterasingan manusia, setidaknya ada

dua hasil riset terkait hal tersebut yang bisa kita jadikan komparasi dan tinjauan

pustaka dalam penelitian ini. Pertama, penelitian tesis untuk FIB UGM yang

dilakukan Indraningsih di tahun 2006 dengan judul, “Eksistensi Manusia dalam

Rafilus dan Olenka karya Budi Darma: Sebuah kajian Semiotik.” Dengan

menggunakan pendekatan sosiologi sastra, peneliti dalam penelitian itu

menyimpulkan bahwa manusia-manusia dalam gambaran Budi Darma adalah

manusia pinggiran yang selalu bergelut dengan eksistensialnya. Sisi kemanusiaan

dan eksistensialisme selalu menjadi “roh” dalam novel Budi Darma tersebut.

Secara gaya sastrawi pun, penekanan pada sisi eksistensialisme merupakan “trade

mark” Budi Darma yang sangat khas.

Kemudian penelitian selanjutnya berjudul, “Dinamika Tipe Manusia

dalam Puisi Amir Hamzah, Chairil Anwar dan WS. Rendra: Sebuah Tinjaun

Semiotik.” Penelitian tersebut dilakukan oleh Hendra Putranto tahun 2010. Dalam

riset tesis untuk S2 Sastra Indonesia FIB UGM tersebut, peneliti berkesimpulan

bahwa ada perbedaan karakter manusia Indonesia yang digambarkan oleh tiga

penyair besar yang berbeda zaman. Untuk Amir Hamzah yang hidup pra-

kemerdekaan, manusia Indonesia yang digambarkan adalah manusia nasionalis,

religius, dan masih kental dengan tradisionalitas. Sementara Chairil Anwar

sebagai sastrawan di era kemerdekaan menggambarkan manusia Indonesia

sebagai mahkluk yang menggebu-gebu, nasionalis dan penuh bara –seperti

julukannya, “binatang jalang dari kumpulannya terbuang”-. Sementara WS

Rendra yang hidup di era pasca kemerdekaan cenderung menggambarkan manusia

Indonesia sebagai sosok yang melankolis meski juga nasionalis.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

10

1.4.1 Studi Novel Supernova dalam Berbagai Perspektif

Adapun penelitian sastra tentang Novel Supernova berhasil dilacak dari

beberapa penelitian hasil tesis maupun tulisan di buku-buku kumpulan hasil

penelitian (bunga rampai) maupun jurnal ilmiah.

Beberapa penelitian tesis yang telah dilakukan terhadap novel Supernova

antara lain berjudul “Supernova Karya Dewi Lestari: Analisis Struktur Naratif

yang oleh Suryantiningdyah pada tahun 2005.” Penelitian yang merupakan tesis di

Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM itu bertujuan untuk mendeskripsikan struktur

novel Supernova dan menyajikan sebuah alternatif pemaknaan dengan

menggunakan tinjauan terhadap psikologi tokoh-tokoh dalam cerita itu. Hasilnya

bahwa novel Supernova yang terdiri dari atas 203 sekuen (narrative event units)

secara keseluruhan merupakan ringkasan. Menggunakan pendekatan

intrinsikalitas struktur penulisan karya sastra (unsur intrinsik dalam struktur

penulisan atau pengkisahan), peneliti berusaha menganalisis bagaimana gaya dan

teknik Dewi Lestari dalam menulis sastra, terutama karya sastra yang berwujud

novel Supernova.

Selanjutnya penelitian tentang novel Supernova dilakukan Rima Woro

Sejati dengan judul, “Gaya Hidup Tokoh dalam Novel Supernova: Ksatria, Puteri,

dan Bintang Jatuh Karya Dee Tinjauan Sosiologi Sastra”, sebagai tesis di S2

Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma tahun 2005. Penelitian ini

mengkaji gaya hidup tokoh-tokoh dalam novel (Ruben, Dhimas, Ferre, Rana, dan

Diva) yang dianggap sebagai cerminan dari budaya konsumerisme. Indikasinya

bisa dilihat dari gaya hidup yang dianut tokoh-tokoh tersebut. Misalnya tinggal di

apartemen atau kawasan hunian mewah (real estate elite), memakai fashion

dengan tren terbaru, liburan wisata ke luar negeri, penggunaan piranti teknologi

canggih, pemanfaatan waktu luang, memilih gaya hidup alternatif, serta

penyimpangan gaya hidup (homoseksualitas, drugs, perselingkuhan, dan free sex).

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

11

Asumsi dasarnya setiap tokoh yang digambarkan dalam novel tersebut merupakan

penghuni kota metropolitan: tempat masyarakat modern hidup. Dengan

menggunakan pendekatan sosiologi sastra, hasil penelitian ini menyimpulkan

bahwa budaya konsumerisme yang dianut oleh para tokoh novel itu secara tidak

langsung mencerminkan gaya hidup yang menunjukkan status sosial, sikap, dan

cita rasa mereka sebagai masyarakat modern yang hidup di kota metropolitan.

Penelitian berikutnya tentang novel Supernova berjudul, “Aspek Sains

dalam Novel Supernova KPBJ.” Penelitian ini merupakan tesis yang disusun oleh

Mochammad Ali, mahasiswa Pascasarjana Sastra Indonesia di Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Airlangga (Unair) Surabaya pada tahun 2006. Dalam

penelitian itu diperoleh hasil bahwa secara garis besar beberapa indikasi yang

ditemukan dalam teks supernova tersebut memperlihatkan adanya aspek sains

dalam karya sastra.

Apa yang dilakukan Mochammad Ali tersebut punya kemiripan dengan

penelitian yang dilakukan Musrin dengan judul “Makna dan Fungsi Diksi Istilah

Sains dalam Karya Sastra: Kajian Stilistika Terhadap Novel Supernova Karya

Dewi Lestari,” pada tahun 2009 sebagai tesis yang Ia susun untuk Prodi Ilmu

Sastra FIB UGM. Pembahasan penelitian ini menggunakan landasan teori

stilistika, yaitu ilmu tentang gaya bahasa yang terfokus pada diksi istilah sains

atau pilihan kata istilah sains sebagai sebuah gaya dan didukung teori sosiologi

sastra dan teori semiotika. Memang, penggunaan diksi istilah sains atau pilihan

kata sains dalam novel Supernova berasal dari berbagai disiplin ilmu. Diantaranya

Kimia, Fisika, Biologi, Astronomi, Matematika, Psikologi, Ekonomi, Komunikasi

(teknologi informasi), bahkan Sosiologi dan Antropologi. Penelitian ini

menyimpulkan bahwa penggunaan diksi istilah-istilah sains dalam Novel

Supernova menjadi gaya khas dan baru untuk mengungkapkan gagasan tentang

persoalan kehidupan. Penggunaan diksi istilah sains adalah sebuah

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

12

ketidaklangsungan ekspresi, yaitu penggantian arti (displacing of meaning).

Penggantian arti ini meliputi metafora, metomini, dan personifikasi sebagai gaya

bahasa kiasan yang berasal dari istilah-istilah sains. Selain itu, penggunaan istilah-

istilah sains dalam novel Supernona menciptakan kepuitisan sehingga menarik

untuk dibaca.

Adapun Maman S. Mahayana dalam buku Ekstrinsikalitas Sastra

Indonesia (2007) menelaah karya Dewi Lestari yang terbit di awal abad 21

tersebut. Menurut Mahayana, Dewi Lestari melalui novel Supernova, berhasil

menawarkan mainstream baru dalam peta novel Indonesia, dengan memasukkan

deskripsi ilmiah sebagai bagian integral dalam cerita. Ada dua hal yang boleh

dikatakan sesuatu yang baru yang disodorkan Dewi Lestari dalam Supernova.

Pertama, ihwal deskripsi ilmiah yang menjadi bagian integral dalam keseluruhan

cerita. Dalam kesusastraan Eropa, novel yang sejenis itu dimasukkan ke dalam

kotak science fiction. Kedua, menyangkut penggambaran tokoh gay

(homoseksual) Dhimas dan Ruben. Meski Nano Riantiarno dalam Cermin Merah

(2004) sudah mengangkat persoalan per-gay-an dalam setting awal tahun 1980-an,

namun Supernova sudah terbit lebih awal (tahun 2001) (Mahayana, 2007: 64).

Mahayana (2007: 343) menjelaskan lebih detail lagi bahwa dalam novel

Supernova, sejumlah deskripsi ilmiah (sains) berhasil lebur menjadi sebuah fiksi,

dan bukan teks ilmiah. Dengan begitu, yang muncul ke permukaan bukanlah

sebuah teks yang beku dan memusingkan, melainkan keindahan estetik yang

menjadi syarat mutlak estetika teks fiksi. Dan ia merangsang kita untuk

melakukan penelusuran lebih mendalam mengenai deskripsi-deskripsi ilmiah

tersebut. Dalam analogi novelis Prancis Stendhal, memasukkan unsur-unsur

diskursus ilmiah dalam novel laksana letusan pistol di tengah pagelaran konser: ia

dapat terdengar keras dan kampungan, tetapi mau tidak mau, kita pasti

memperhatikannya. Dalam hal ini memasukkan sains, politik, filsafat, atau ilmu

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

13

pengetahuan lain ke dalam novel, dapat menghasilkan dua kemungkinan. Ia akan

berantakan lantaran ada misi tertentu yang dipaksakan atau akan melahirkan nilai

estetik yang cerdas, jika ia menjadi bagian integral dalam struktur novel itu.

Supernova, terlepas dari sejumlah kritik dari para kritikus sastra, berhasil

menjadikan letusan pistol itu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari

komposisi konser.

Usaha pemanfaatan deskripsi ilmiah (sains, filsafat, dan sebagainya) dalam

khazanah kesusastraan Indoensia sesungguhnya pernah dilakukan oleh sastrawan-

sastrawan Indonesia sebelumnya. Namun upaya tersebut banyak yang gagal.

Karena itu dalam sejarah novel Indonesia, mesti diakui Supernova merupakan

novel pertama yang berhasil memasukkan unsur-unsur sains dan filsafat untuk

kepentingan fiksi. Dialog tokoh Ruben dan Dhimas, misalnya, yang sarat

bernuansa sains selain memperkuat impresi ilmiah Supernova juga menguatkan

ketokohan keduanya dalam alur cerita novel tersebut. Begitu juga pemaparan

sejumlah teori, baik yang diberi keterangan dalam catatan kaki, maupun yang

diintegrasikan dalam deskripsi dan dialog antartokoh, memastikan luasnya

wawasan Dewi Lestari dalam bidang itu, atau setidak-tidaknya Dewi sangat tidak

miskin bacaan.

Dalam buku Sastra, Perempuan, Seks (2009), Katrin Bandel menulis dua

chapter yang membahas novel Supernova karya Dewi Lestari. Tulisan pertama

berjudul Karya Sastra Sebagai Taman Bermain (hlm. 1-14) bercerita tentang

usaha Dewi Lestari untuk berinteraksi dengan pembaca novel Supernova.

Menggunakan media internet, Dewi Lestari membuat homepage bernama

“truedee.com” untuk berdiskusi tentang novel Supernova. Menariknya, dalam

riset yang dilakukan Bandel ditemukan satu topik pembicaraan yang berusaha

merekonstruksi struktur cerita dalam novel sesuai dengan imajinasi masing-

masing pembaca. Dalam grup perbincangan (diskusi) via internet tersebut masing-

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

14

masing pembaca punya kuasa untuk memperluas, memperpanjang,

memperpendek atau bahkan merubah sama sekali watak, karakter maupun dialog

antar tokoh yang sebelumnya sudah “baku” di dalam novel. Mengikuti logika

Roland Barthes yang menganggap “the author is dead” pasca sebuah tulisan

dipublikasikan, Bandel menanggap usaha Dewi Lestari sebagai opsi menarik di

era kemajuan teknologi komunikasi-informasi.

Sedangkan tulisan kedua Bandel berjudul Religiusitas dalam Novel Tiga

Pengarang Perempuan Indonesia (hlm. 67-89), Bandel secara bersamaan

menganalisa novel Supernova karya Dewi Lestari (2001), novel Tujuh Musim

Setahun karya Clara Ng (2002), dan Memburu Kalacakra (2004) karya Ani

Sekarningsih. Dalam hemat Bandel, sebelum hadirnya ketiga novel(is) tersebut,

para pengarang sastra Indonesia terkesan enggan menggeluti karya yang

berdimensi religiusitas. Namun konsep religi di sini tidak ekuivalen dengan

konsep “agama” yang cukup distortif pengertiannya di era Orde Baru. Religiusitas

oleh Bandel dimaknai sebagai konsep yang mencakup segala macam kepercayaan

akan adanya hubungan manusia dengan kekuatan supranatural, teori-teori

mengenai hakikat kekuatan supranatural tersebut, usaha manusia untuk mencapai

kesadaran spiritual tertentu, dan sebagainya. Dalam novel Supernova, Bandel

menilai religiusitas menjadi salah satu unsur penting yang mendeterminasi

jalannya cerita.

Selain dari berbagai studi di atas, dalam jurnal Sintesis Vol.3 No. 4, April

2005 yang diterbitkan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Wiyatmi juga

telah mempublikasikan risetnya yang berjudul Estetika Posmodernisme dalam

Supernova Karya Dee.3 Penelitian Wiyatmi bermula dari pembacaannya terhadap

novel Supernova yang memiliki karakteristik berbeda dibandingkan novel-novel 3 Dee adalah panggilan akrab Dewi Lestari. Di setiap sampul buku yang ditulisnya, Dewi Lestari lebih suka menampilkan nama Dee dibandingkan Dewi Lestari. Namun dalam penulisan riset tesis ini, penulis lebih memilih menggunakan nama asli Dewi Lestari.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

15

sebelum maupun sezamannya. Perbedaan itu terlihat pada struktur penceritaan

yang ditandai dengan tipis atau hilangnya batas antara “yang fiksi” dengan “yang

fakta” atau wilayah seni dengan wilayah ilmu pengetahuan. Selain itu Supernova

menampilkan cerita yang melibatkan beberapa tokoh yang tampaknya tidak saling

berhubungan, juga teknik penulisan (termasuk font huruf yang dipakai) yang tidak

konvensional.

Selanjutnya Wiyatmi mengembangkan konstruksi argumen bahwa pilihan

gaya estetis Dewi Lestari tersebut didasari oleh estetika posmodernisme.

Setidaknya ada lima idiom khas estetika posmodernisme yang dapat ditemukan

dalam struktur penceritaan novel Supernova, yaitu (1) pastiche, (2) parodi, (3)

kitsch, (4) camp, dan (5) skizofrenia.

Sementara itu Aprinus Salam dalam Jurnal Sintesis Vol. 6 No. 1 Tahun

2008 (hlm. 1-13) mempublikasikan hasil risetnya yang berjudul, “Novel Indonesia

Setelah 1998: Dari Sastra Traumatik Ke Sastra Heroik”. Salam menempatkan

Dewi Lestari dan novel Supernova sebagai salah satu novel pasca-reformasi 1998

yang menikmati iklim kebebasan berkarya dan lepas dari “trauma” represi Orde

Baru yang membatasi tema karya sastra tidak boleh menyentuh isu-isu tertentu,

misalnya isu yang berkaitan dengan ideologi komunisme.

Sastra traumatik adalah sastra yang ditulis dalam kenangan berdarah,

dalam bayang-bayang ancaman negara menghancurkan musuh-musuh politiknya

pasca peristiwa 30 September 1965. Kemudian kekuasaan negara berganti dengan

cepat kepada satu era reformasi yang dimulai oleh Habibie. Hal yang utama dari

Orde Reformasi adalah kekuasaan baru tidak dilandasi oleh peristiwa traumatik,

tetapi justru peristiwa heroik. Hampir sebagian besar masyarakat merasa “menjadi

pahlawan” terhadap upaya penumbangan rezim Orde Baru. Dalam kondisi

semangat “menjadi pahlawan” reformasi itulah novel-novel pada tahun 1998, dan

setelahnya, mulai bermunculan. Berbeda dengan novel-novel 1980-an dan 1990-

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

16

an awal, novel-novel setelah 1998 sebagian besar justru diambil alih oleh anak-

anak muda. Mereka menawarkan tema-tema yang jauh lebih beragam

dibandingkan sebelumnya. Jalur bercerita dengan gaya kritik ideologis dan

budaya model Toer yang pernah ditutup oleh Orde Baru kembali dibuka.

Masalah-masalah etnis dan atau SARA yang sensitif menjadi cerita yang biasa.

Sebagian anak muda yang lain bahkan mengabaikan nasionalisme dan

memilih menjadi warga dunia atau warga dunia maya, seperti tampak pada Saman

dan Supernova. Hal itu terjadi, di samping pengaruh langsung perkembangan

teknologi dan globalisasi, juga sebagai satu dampak dari kekecewaan generasi

muda terhadap negara Orde Baru Indonesia. Karena itu novel-novel beberapa

tahun belakangan ini kembali memindahkan lokasi penceritaan ke kota-kota (atau

beberapa kota setingkat propinsi), lokasi yang sangat dekat dengan pusat

kekuasaan. Mulai dari Saman, Supernova, dan sejumlah novel yang terbit pada

tahun 2000-an seperti Ketika Lampu Berwarna Merah, Jejak Sang Pembangkang,

Tapol, dan sebagainya. Para tokoh juga berganti, mereka relatif terpelajar yang

tahu politik, yang mengerti sosiologi dan demokrasi, yang memiliki pengetahuan

cukup luas.

1.5 Posisi Penelitian

Dari berbagai penelitian sebelumnya sebagaimana dijelaskan di atas,

ternyata belum ada yang secara spesifik menjelaskan analisis mengenai novel

Supernova dari sudut pandang kritik terhadap modernitas. Hanya satu penelitian

yang dilakukan Rima Woro Sejati yang mendekati fokus permasalahan tersebut.

Namun Rima Woro Sejati hanya fokus pada gaya hidup konsumtif yang

tergambar dalam perilaku tokoh-tokohnya tanpa menukik lebih dalam pada

diskursus mengenai kritik terhadap kehidupan masyarakat modern. Sedangkan

ikhtiar yang dilakukan Mahayana dan Bandel dalam dua buku yang telah

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

17

disebutkan di atas belum secara jelas memproblematisir kritik terhadap

modernitas. Selanjutnya dari dua riset tentang Supernova yang dipublikasikan

dalam jurnal ilmiah di atas, belum sepenuhnya berbicara tentang kritik terhadap

modernitas.

Oleh karena itu posisi penelitian ini benar-benar berbeda secara sudut

pandang maupun pendekatan teoritik dan metodologi dibanding penelitian-

penelitian sebelumnya. Dengan demikian dapat disimpulkan novel Supernova

berdasarkan beberapa penelitian di atas belum diteliti dari sudut pandang, sejauh

mana makna teks dalam novel Supernova bisa merepresentasikan kritik terhadap

masyarakat modern. Dengan kata lain, penelitian ini memiliki objek formal yang

berbeda dengan beberapa penelitian di atas sehingga penelitian ini memiliki unsur

kebaruan dibandingkan penelitian-penelitian sebelumnya.

1.6 Batasan Penelitian

Dalam penelitian ilmu sosial selalu dihadapkan pada limitasi-limitasi. Baik

berasal dari limitasi peneliti, maupun batasan dalam konteks substansi penelitian

itu sendiri. Terkait dengan penelitian kali ini, beberapa limitasi atau batasan

tersebut dapat disusun sebagaimana di bawah ini.

• Basis data dalam penelitian ini hanya diperoleh dari satu novel, yakni

Supernova edisi Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh.

• Penelitian ini hanya memfokuskan pada aspek ekstrinsik (sosio-kultural)

dari novel Supernova.

• Penelitian hanya berfokus pada satu aspek, yakni sejauh mana makna teks

dalam novel Supernova bisa merepresentasikan kritik terhadap masyarakat

modern.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

18

1.7 Kerangka Teoritik

Untuk menjawab sejumlah masalah dalam penelitian ini digunakan

kerangka teori yaitu teori tentang sosiologi sastra strukturalisme genetik, konsep

tentang modernitas dan juga konsep sosiologi kritik.

1.7.1 Teori Sosiologi Sastra Strukturalisme Genetik

Swingewood dan Laurenson (1972:11) menyatakan bahwa sosiologi

adalah studi ilmiah dan objektif tentang manusia dalam masyarakat, studi

mengenai lembaga-lembaga, dan proses-proses sosial. Sosiologi berusaha

menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan,

bagaimana cara kerjanya dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Dengan

mempelajari lembaga-lembaga sosial, ekonomi, politik, agama, dan keluarga yang

bersama-sama akan membentuk struktur sosial. Dalam sosiologi akan diperoleh

gambaran mengenai cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan masyarakat-

masyarakat tertentu, gambaran mengenai mekanisme situasi sosial, proses belajar

secara kultural, yang dengannya individu-individu dialokasikan untuk menerima

peran tertentu dalam struktur sosial itu.

Kemudian mengenai sastra, Swingewood dan Laurenson (1972:12)

menyatakan bahwa “Literature too is prominently concerned with man’s social

world, his adaption to it, and his desire to change it,” sastra juga terutama terkait

dengan manusia dalam dunia kemasyarakatan, adaptasinya dengan dunia

kemasyarakatan itu, dan keinginannya melakukan perubahan terhadap dunia

kemasyarakatan. Selain itu, sosiologi dan sastra, sesuai pendapat Swingewood dan

Laurenson di atas, memiliki persamaan dalam hal objek atau sasaran yang

dibicarakan atau dengan kata lain sosiologi dan sastra memiliki persamaan yang

mendasar pada tingkat isi. Objek yang dimaksud adalah manusia dalam

masyarakat serta segala aspek yang terkait dengan masyarakat itu.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

19

Adapun perbedaan antara sosiologi dan sastra adalah, sosiologi melakukan

analisis ilmiah yang objektif. Sedangkan sastra menyusup menembus permukaan

kehidupan sosial dan menujukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat

dengan perasaannya (Swingewood dan Laurenson, 1972:12; Damono, 1979:8).

Dari pendapat ini, sosiologi dan sastra mempunyai objek kajiannya adalah sama-

sama manusia, tetapi yang berbeda adalah dalam hal perwujudannya. Dengan

demikian, karya sastra dapat dianggap sebagai usaha untuk menciptakan kembali

dunia sosial, hubungan manusia dengan keluarganya, lingkungan, politik, negara,

dan kehidupan sosial lainnya. Setelah digabungkan kedua ilmu tersebut, lahirlah

apa yang disebut dengan sosiologi sastra, yaitu ilmu yang mempelajari hubungan

realitas literer dengan realitas empirik.

Swingewood dan Laurenson (1972:13) menjelaskan beberapa perspektif

berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu: (1) The most popular perspective adopts

the documentary aspect of literature, arguing that is provides a mirror to the age,

yaitu perspektif paling populer adalah penelitian yang memandang karya sastra

sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada waktu

karya tersebut diciptakan; (2) the second approach to a literary sociology moves

aways from the emphasis on the work of literature it self to the production side,

and expecially to the social situation of the writer, penelitian sosiologi sastra yang

ditekankan pada situasi sosial penulisnya sebagai orang yang memproduksi

sebuah karya sastra. Posisi pengarang dalam masyarakat dan latar belakang

sejarah sangat mempengaruhi perkembangan sastra karena saat teks itu diciptakan

banyak dipengaruhi oleh latar belakang sejarah suatu zaman; dan (3) a third

perspective, one demanding a high level of skills, attempts to trace the ways in

which a work of literature is actually received by particular society at a specific

historical moment, perspektif yang melihat bagaimana peneliti melacak

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

20

penerimaan masyarakat terhadap sebuah karya sastra atau resepsi masyarakat

terhadap karya sastra.

Dalam perkembangannya, sosiologi sastra, sebagai sub-disiplin dari studi

sosiologi juga terdiversifikasi dalam berbagai perspektif (aliran) yang berbeda

satu sama lain. Faruk (2010) mengidentifikasi bahwa konsep sosiologi sastra

berkembang hingga menciptakan bermacam pendekatan. Diantaranya sosiologi

sastra strukturalisme genetik, sosiologi sastra Marxisme, sosiologi sastra dengan

pendekatan fungsionalisme, sosiologi sastra dengan pendekatan fenomenologis,

hinggs sosiologi sastra post-modernis. Dengan demikian, pandangan dari

pandangan Faruk (2010) di atas dapat disimpulkan bahwa kajian sosiologi sastra

mencakup berbagai aspek.

Dalam kapasitas penelitian ini, penulis tidak hendak menjelaskan semua

pendekatan tersebut. Namun penulis hanya akan menjelaskan pendekatan

sosiologi sastra yang dipilih sebagai pendekatan teoritis dalam penelitian ini.

yakni sosiologi sastra strukturalisme genetik.

Diantara berbagai pendekatan teori sosiologi sastra yang telah disebutkan

di atas, teori yang masih memperhitungkan pandangan sosial pengarangnya

adalah teori strukturalisme genetik (Faruk, 2010). Salah satu cabang sosiologi

sastra ini awalnya dirintis oleh Lucien Goldmann, seorang filsuf dan sosiolog

Rumania-Perancis. Teori ini dikemukakannya pada tahun 1956 dengan terbitnya

buku The Hidden God: a Study of Tragic Vision in the Pensees of Pascal and the

Tragedies of Racine. Teori dan pendekatan yang dimunculkannya ini

dikembangkan sebagai sintesis atas pemikiran Jean Piaget, Georg Lucaks, dan

Karl Marx. Teori strukturalisme genetik Goldmann ini dibangun berdasarkan

seperangkat kategori yang saling berkaitan, yaitu fakta kemanusiaan (human fact),

penstrukturan (structures), subjek kolektif, dan pandangan dunia (world view)

(Goldman, 1981).

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

21

Berikut ini akan dijelaskan lebih detail mengenai aspek-aspek pokok

dalam konstruksi teoritis sosiologi sastra strukturalisme genetik.

a. Fakta Kemanusiaan (Human Fact)

Menurut Goldmann (1981: 40), fakta-fakta kemanusiaan merupakan

prinsip utama teori strukturalisme genetik. Fakta kemanusiaan bisa berupa

aktivitas sosial tertentu, aktivitas politik tertentu, penciptaan karya sastra, dan

penciptaan kreasi kultural pada umumnya. Fakta-fakta kemanusiaan adalah bagian

hasil usaha manusia untuk mencapai keseimbangan dengan dunia sekitarnya, baik

yang verbal maupun yang fisik. Perilaku tersebut meliputi aktivitas sosial, politik,

maupun kreasi kultural. Karya sastra, sebagai fakta kemanusiaan, memiliki

struktur yang berarti. Adapun tujuan yang menjadi arti dari fakta-fakta

kemanusiaan itu sendiri tumbuh sebagai respons dari subjek kolektif atau pun

individual terhadap situasi dan kondisi yang ada di dalam diri dan di sekitarnya,

pembangunan suatu percobaan dari si subjek untuk mengubah situasi yang ada

agar cocok bagi aspirasi-aspirasi subjek itu (Goldmann, 1970: 583). Dengan kata

lain, fakta-fakta kemanusiaan ini merupakan hasil usaha manusia untuk mencapai

keseimbangan yang lebih baik dalam hubungannya dengan dunia sekitar

(Goldmann, 1981: 40).

Goldmann (1981: 40) melihat bahwa semua fakta kemanusiaan memiliki

makna karena merupakan respons dari subjek kolektif atau individual dalam

usahanya untuk memodifikasi situasi yang ada agar sesuai dengan aspirasi-

aspirasi subjek kolektif tersebut. Sementara revolusi sosial, politik, ekonomi, dan

karya kultural yang besar merupakan fakta sosial yang hanya mungkin diciptakan

oleh subjek transindividual (Goldmann, 1981: 97). Perlu diketahui pula bahwa

subjek transindividual adalah subjek yang di atas individu, sehingga individu

hanya menjadi bagian. Subjek transindividual juga bukan merupakan kumpulan

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

22

individu-individu yang berdiri sendiri-sendiri, tetapi merupakan satu kesatuan,

satu kolektivitas. Goldmann (1977: 90), menspesifikasikan subjek transindividual

sebagai kelas sosial dalam pengertian Marxis, sebab baginya kelompok itulah

yang terbukti dalam sejarah sebagai kelompok yang telah menciptakan suatu

pandangan yang lengkap dan menyeluruh mengenai kehidupan dan yang telah

memengaruhi perkembangan sejarah umat manusia. Dalam strukturalisme

genetik, subjek transindividual merupakan energi untuk membangun pandangan

dunia.

b. Penstrukturan (Structures)

Strukturalisme genetik juga memandang karya sastra sebagai sebuah

struktur yang memiliki relasi antarelemennya. Pada prinsipnya, teori

strukturalisme genetik menganggap karya sastra tidak hanya struktur yang statis

dan lahir dengan sendirinya, tetapi merupakan hasil strukturasi pikiran subjek

penciptanya yang timbul akibat interaksi antara subjek dengan situasi sosial

ekonomi tertentu (Goldmann, 1970: 584).

Goldmann beranggapan bahwa teks sastra adalah struktur yang merupakan

hal dari proses sejarah yang terus berlangsung, yang hidup, dan dihayati oleh

masyarakat asal karya tersebut (Goldman, 1977: 8). Akan tetapi, Goldmann tidak

secara langsung menghubungkan antara teks sastra dengan struktur sosial yang

menghasilkannya, melainkan mengaitkannya terlebih dahulu dengan kelas sosial

dominan. Sebab, struktur itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan

produk dari sejarah yang terus berlangsung, proses strukturisasi dan

destrukturisasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal teks sastra yang

bersangkutan.

Sebuah struktur, bagi Goldmann, harus disempurnakan agar memiliki

makna, di mana setiap gejala memiliki arti apabila dikaitkan dengan struktur yang

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

23

lebih luas, demikian seterusnya hingga setiap unsur menopang totalitasnya. Proses

strukturasi tersebut merupakan proses struktur yang secara signifikan berlangsung

secara terus-menerus, dan merupakan bagian dari proses strukturasi yang lebih

besar.

c. Pandangan Dunia (World Vision)

Uraian di atas menunjukkan bahwa hubungan yang penting antara

kehidupan masyarakat dan karya sastra tidak berkaitan dengan dua faktor realitas

manusia, tetapi hanya dengan struktur mental yang disebut sebagai kesadaran

empiris kelompok sosial tertentu dan dunia imajiner penulis (Goldmann,

1970:584). Goldmann (1977: 158-159) juga beranggapan bahwa adanya homologi

antara struktur karya sastra dan struktur masyarakat karena keduanya merupakan

produk penstrukturan yang sama, tetapi hubungan tersebut bukan hubungan

determinasi langsung, melainkan dimediasi oleh pandangan dunia atau ideologi

pengarang.

Menurut Goldmann (1977: 17-18, 1981: 112), pandangan dunia adalah

gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi dan perasaan-perasaan yang kompleks dan

menyeluruh, yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu

kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannya dengan kelompok-

kelompok sosial lain atau merupakan iklim general dari pikiran-pikiran dan

perasaan tertentu. Lebih lanjut, Goldmann (1981: 64-68) mengatakan pula bahwa

pandangan dunia tidak lahir dengan tiba-tiba, tetapi melalui proses yang panjang.

Hal ini terjadi sebab pandangan dunia merupakan hasil interaksi antara

subjek kolektif dengan dunia sekelilingnya. Proses yang panjang disebabkan

pandangan dunia merupakan kesadaran yang tidak semua ornag memahaminya

kecuali dalam momen-momen khusus sebagai ekspresi individu pada karya-

karyanya (Goldmann, 1981: 87).

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

24

Goldmann (1977: 17) mengatakan pula bahwa karya sastra sebagai

struktur bermakna itu mewakili pandangan dunia (vision de monde) penulis.

Penulis dalam hal ini bukan sebagai individu, melainkan sebagai golongan

masyarakatnya. Hubungan antara struktur sastra dan struktur masyarakat

dimediasi melalui pandangan dunia atau ideologi yang diekspresikannya. Oleh

sebab itu, karya sastra yang merupakan hasil budaya manusia tidak dapat

dipahami secara utuh jika totalitas kehidupan masyarakat tempat karya sastra

tersebut dilahirkan, diabaikan begitu saja.

Lebih lanjut, Goldmann (1977: 9) mengatakan bahwa pandangan dunia

yang selalu terbayang dalam karya sastra adalah abstraksi, bukan fakta empiris

yang akan diperoleh dalam ilmu-ilmu sosial dan filsafat. Hal tersebut bertolak dari

karya sastra, tetapi tidak berhenti pada teks itu saja. Dia kembali pada penulis

karena pandangan dunia dalam novel yang dianalisisnya adalah pandangan dunia

yang penulisnya merupakan bagian dari suatu kelompok sosial. Konsep-konsep

inilah yang kemudian membawa strukturalisme genetik pada masa kejayaannya

sekitar tahun 1980 hingga 1990.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa strukturalisme

genetik adalah salah satu teori sastra yang memberi perhatian kepada perpaduan

struktur teks, konteks sosial, dan pandangan dunia pengarang. Dengan kata lain,

perhatian strukturalisme genetik tidak hanya pada struktur karya sastranya saja,

tetapi juga berkaitan dengan unsur genetiknya, yaitu pengarang dan fakta sejarah.

1.7.2 Konsep tantang Modernitas

Zaman kita ini, yang sering disebut sebagai zaman modern, secara

konvensional dianggap dimulai pada kira-kira abad ke-15 yaitu selepas abad

pertengahan dan dimulainya fajar baru zaman Renaissance yang dimotori oleh

para intelektual dan seniman zaman itu yang sering menyebut diri sebagai para

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

25

humanis. Kaum humanis inilah yang tercatat pertama-tama menggunakan istilah

“modern” untuk menunjukkan cita-cita terbentuknya kultur masyarakat baru yang

membedakannya dengan zaman sebelumnya. Dengan demikian makna “zaman

modern” adalah suatu zaman yang berbeda dengan zaman-zaman yang

mendahuluinya, yang termasuk di dalamnya zaman-zaman yang kemudian disebut

sebagai “pra modern”, “tradisional”, “primitif”, “feodal”, dan sebagainya yang

senantiasa merujuk bentuk-bentuk sistem sosial-budaya yang lebih spesifik.

Dalam hal ini Giddens (2008) menyatakan bahwa pembedaan antara “yang

tradisional” dan “yang modern” haruslah dipahami semata-mata sebagai

perdebatan zaman, yang masing-masing membewa cara berfikir dan semangat

zamannya sendiri.

Makna “modern”, selanjutnya, membawa pengertian tentang adanya

kesadaran akan sesuatu yang baru yang dimiliki bersama: “akan suatu cara hidup

yang berlainan dengan cara hidup nenek-moyang kita”. Prinsip itu di abad ke-17

dimaknai sebagai cara hidup yang “lebih baik” daripada cara hidup nenek-moyang

kita, suatu optimisme yang mencerminkan semangat zaman Aufklarung

menjelang era revolusi industri. Dan sikap ini adalah salah satu ciri nyata yang

menengarai kebudayaan modern di mana kita sekarang ini hidup (Magnis-Suseno,

2013).

Semangat zaman pencerahan diwakili oleh seruan yang terkenal: Sapare

Aude!: beranilah menggunakan akal pikiranmu sendiri. Manusia-manusia zaman

itu dituntut untuk sungguh-sungguh berani berbicara dan bertindak dengan

didasari akalnya masing-masing sebagai bakat alam perseorangan. Wujud yang

lebih konkrit dari semangat zaman itu secara metodologis dipelopori oleh Francis

Bacon pada beberapa dekade sebekumnya yang mengintrodusir cara berpikir

induktif (sebagai lawan model deduktif Aristotelian yang menjadi mainstream

cara berpikir saat itu) sehingga menjadi dasar bekerjanya prinsip efisiensi dalam

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

26

kerja ilmu pengetahuan modern. Adagium knowledge is power mewakili hasrat

manusia-manusia pra-revolusi industri untuk menaklukkan alam (dan sesamanya

bangsa-bangsa lain) serta mengubah kerja keras berdasarkan otot dan tenaga fisik

menjadi hidup yang lebih mudah, nyaman dan efisien dengan memanipulasi alam

berdasarkan hukum-hukum ilmiah modern. Dalam konteks ini benih-benih

“rasionalitas instrumental” dan berbagai tindakan sosial yang didasari prinsip

mean and end mechanism mulai menampak meskipun bentuknya yang formal.

Modernitas adalah situasi sekaligus dampak dari berlangsungnya hasrat

manusia-manusia barat menjadi modern. Situasi ini terlihat dalam realitas sosial

yang menujukkan terjadinya dominasi estetisme, sekularisasi (proses profanisasi

atau penduniawian dunia) dan sekularisme (penentangan terhadap pengaruh

agama atas kehidupan masyarakat), klaim universal tentang rasionalitas

instrumental, diferensiasi berbagai lapangan lapangan kehidupan dunia,

birokratisasi ekonomi serta moneterisasi nilai-nilai yang sedang berkembang

(Hardiman, 2003). Oleh sebab itu, modernitas timbul selain bersamaan selain

bersamaan dengan penerimaan prosedur ilmiah Bacon dan Newton, berseiring

juga dengan meluasnya imperialisme barat dalam abad ke-16, muncul dan

mendominasinya kapitalisme di Eropa Utara.

Sebagaimana juga dinyatakan Habermas bahwa modernitas, atau model

dominasi modernis, secara khas terjadi melalui diferensiasi sistem dan melalui

rasionalisasi hubungan antar manusia yang dikendalikan oleh media. Media

instrumentalis ini –seperti uang dan kekuasaan— mengendalikan hubungan antar

manusia dalam jaringan kerja yang semakin kompleks, di mana masing-masing

individu yang terlibat tidak merasa perlu bertanggung jawab atas berbagai hal

yang dihasilkan melalui dan dalam interaksi tersebut (Habermas, 1987 dalam

hardiman, 2003). Habermas dalam The Theory of Communicative Action melihat

modernitas sebagai hasil proses rasionalisasi dan diferensiasi. Modernitas berarti

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

27

bahwa sistem sosial yang mengatur diri sendiri, yang berusaha untuk

mempertahankan integritasnya di hadapan keragaman lingkungan dan internal

yang berskala luas menjadi semakin terdiferensiasi.

Max Weber ketika membahas modernitas dalam bukunya General

Economic History (Giddens, 2008) menekankan paparannya pada munculnya

ambiguitas –yang dalam karya sosiologis kontemporer dimaknai sebagai paradoks

modernitas— sebagai sifat mendasarnya. Hasrat untuk menjadi modern membawa

dampak pada terjadinya erosi makna, konflik yang berkepanjangan tentang nilai-

nilai politeistik dan munculnya ancaman kerangkeng besi birokrasi.

Rasionalisasi sebagai dasar modernisasi membuat dunia menjadi tertib dan

dapat diandalkan, tetapi ia tak dapat membuat dunia menjadi bermakna.

Rasionalisasi telah mampu membuat hidup manusia menjadi lebih efisien tetapi

sekaligus telah mengakibatkan hilangnya pesona dunia (disenchatment of the

world). Dalam karyanya tersebut Weber terkesan cenderung menolak visi gelap

apokaliptik tentang tujuan modernitas (misalnya runtuhnya dominasi iron cage

birokrasi yang anonim, munculnya mediokritas dan kontrol dunia oleh “elite

jahat” yang arogan dan serakah) sementara dalam beberapa aspek juga kurang

mentolerir sikap radikal dan konservatif yang menolak kapitalisme (Hardiman,

2003). Hal yang terakhir ini bisa dipahami, sebab bagi Weber munculnya

kapitalisme merupakan penjelasan terpokok tentang modernitas (Hardiman,

2003). Dinamika sosial masyarakat barat yang menggejala lewat proses

modernisasi hanya bisa dipahami dari muncul dan berkembangnya kapitalisme.

Jika modernitas adalah implikasi dari hasrat menjadi modern, maka

“modernisasi” sering lebih dimaknai sebagai suatu proses sosial-ekonomi-budaya

yang terjadi ketika hasrat menjadi modern tersebut dimanifestasikan melalui

perilaku individual dan –terutama— perilaku sosial. Jika “modern” menjadi

semacam idea dan platform bagi tindakan sosial dan “modernitas” adalah dampak

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

28

yang ditimbulkan oleh tindakan sosial tersebut, maka “modernisasi” adalah

bentuk action-nya. Modernisasi secara umum mengandung arti “proses menuju

terwujudnya masyarakat modern.” Maka secara logis jika zaman modern

dibedakan dengan zaman sebelumnya oleh karena digunakannya akal manusia

sebagai dubium universale yang menandai seseorang disebut sebagai manusia

modern, maka modernisasi tidak lain adalah proses identifikasi manusia modern

dengan rasionalitas.

Pada sisi yang lebih ekstrem muncul pula beberapa pandangan bahwa

proses menjadi modern berarti pula menolak hal-hal yang bersifat irasional dan

nonrasional. Segala yang berbau religio-metafisik dan tidak bisa dibuktikan oleh

akal sehat berdasarkan hukum-hukum ilmiah akan cenderung ditolak oleh

manusia yang telah menganggap dirinya modern. Sikap inilah yang mendasari

cara berpikir positivisme dan saintisme, bahwa “kebenaran hanya ada sejauh

memenuhi kriteria rasional” dan yang pada masa mendatang menjadi

kecenderungan berpikir teknokratisme dalam rekayasa penataan sistem sosial

(social engineering) dalam teori-teori modernisasi abad ke-20.

1.7.3 Masyarakat Modern dalam Perspektif Teori Sosiologi Kritik

Selama ini, pada umumnya kajian teori modernisasi lebih banyak

menggunakan pendekatan struktural-fungsional yang memakai kategori-kategori

ekonomis, politis, dan teknologis yang diakui bersifat “objektif”. Modernisasi

dipandang sebagai proses penataan infra dan supra-struktur masyarakat menurut

kriterium-kriterium yang netral dari kesadaran manusia, di mana seolah-olah

strukturlah yang menjadi paling penting sementara tugas tugas kesadaran manusia

sekedar menyesuaikannya (Hardiman, 2003). Bahkan seolah-olah mesin yang

menggerakkan proses modernisasi sudah dirakit berdasarkan petunjuk-petunjuk

objektif, sehingga yang dibutuhkan tinggal tenaga-tenaga untuk untuk

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

29

menggerakkannya. Padahal seperti ditemukan Peter L Berger melalui analisis

fenomenologisnya dalam buku Pyramids of Sacrifice (1967:1), bahwa kesadaran

manusia dan struktur dalam modernisasi adalah dua hal yang tidak saling ekslusif,

keduanya saling mengandaikan, sebab ilmu dan pengetahuan terapan yang

menjadi dasar modernisasi terbentuk dan berkembang dalam media kepentingan

(kesadaran) tertentu.

Modernisasi dengan demikian, secara epistemologis merupakan wujud

dari paradigma positivisme yang berasumsi dengan penjelasan tunggal untuk

semua bentuk fenomena sosial. Bagi Habermas, paradigma semacam ini disebut

instrumental knowledge, di mana pengetahuan menjadi alat untuk mendefinisikan

sekaligus selanjutnya mendominasi objeknya (Magnis-Suseno, 1992).

Dalam pandangan teoritikus Mahdzab Frankfurt, modernitas menghasilkan

paradoks. Paradoks modernitas merupakan salah satu fokus kritik yang

dilancarkan Mahdzab Frankfurt (melalui tokoh-tokohnya: Theodore W. Adorno,

Max Horkheimer, Herbert Marcuse dan Jurgen Habermas) terhadap dunia

industrial modern masyarakat barat. Secara singkat Paradoks Modernitas

dijabarkan sebagai berikut:

“Modernisasi yang pada mulanya merupakan pembebasan manusia dari

berbagai kungkungan dominasi mitos, ideologi, dan tradisi pada akhirnya

menjadi dominasi dalam wajah baru. Otonomi manusia dan kebebasan

yang berhasil diraih dengan penghancuran masyarakat tradisional beserta

tradisi-tradisi kulturalnya malah kembali raib dalam kerangkeng besi (iron

cage) birokrasi dan teknologi yang merupakan perwujudan praktis dari

rasionalitas yang diraihnya.” (Magnis-Suseno, 1992).

Disebut sebagai paradoks karena manusia dalam modernisasi, semakin ia

mau merasionalkan kehidupannya, malah semakin irasional. Paradoks modernitas

yang oleh Adorno dan Horkheimer disebut “dialektika pencerahan” itu didasari

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

30

logika kerja: rasionalisasi tindakan rasional bertujuan telah menyingkirkan

pandangan dunia tradisional, tetapi pada gilirannya rasionalisasi itu

menggantinnya dengan ideologi baru yang bernama teknoratisme, sebagai sesuatu

yang diperlukan untuk melegitimasikan proses produksi modern (kapitalisme).

Oleh karena itu, manusia modern bagi Horkheimer dan pengikutnya di

Frankfurt School adalah manusia yang teralienasi. Kehilangan sisi

kemanusiaannya karena rasionalitas yang dia gunakan untuk “menaklukkan”

dunia dan tantangan hidup justru telah memenjarakannya. Hal itu disebabkan

rasionalitas yang manusia gunakan di era kapitalisme lanjut adalah rasionalitas

instrumental (Sindhunata, 1983:19).

Konsep teori kritis dalam menggambarkan manusia di era kapitalisme

lanjut sepertinya masih relevan digunakan untuk melihat konteks modernitas di

Indonesia saat ini. Di mana Indonesia merupakan “graviti globalisasi”. Terutama

dalam hal konsumen teknologi dan gaya hidup kapitalistik. Karena itu salah satu

pokok bahasan dalam diskursus modernitas dan kapitalisme lanjut adalah

teknologi. Manusia industri modern diperbudak oleh mesin, hanya bentuknya saja

yang sekarang diubah. Energi fisik yang dibutuhkan untuk bekerja memang

semakin berkurang, tetapi irama kerja yang monoton, terkurung dalam masing-

masing bidangnya, menimbulkan ketegangan-ketegangan psikis. Usaha

memperbesar produktivitas membuat jam kerja tetap panjang, dan bahkan lebih

intensif. Mekanisasi tidak hanya menentukan kuantitas barang-barang produksi,

melainkan juga kecepatan kerjanya, serta tuntutan-tuntutan keahlian tertentu,

membuat manusia diperbudak oleh mesin.

Sastrapratedja menggambarkannya seperti ini:

“Budak-budak dari peradaban industri modern merupakan budak yang

terselubung, tetapi bagaimanapun juga mereka tetap budak, karena

perbudakan tidak ditentukan oleh ketaatan pada majikan atau kerasnya

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

31

pekerjaan, melainkan oleh keberadaannya sebagai alat dan pemerosotan

martabat manusia menjadi benda” (Sastrapratedja, 1982:127-129).

Teknologi tidak lagi berhadapan dengan manusia tetapi sudah terintegrasi

dengan manusia. Dalam kondisi demikian itulah manusia akan menjadi terkukung

oleh kemajuan itu sendiri. Kemajuan teknologi pada awalnya membuat efisiensi

dalam kehidupan manusia. Perkembangan selanjutnya teknologi justru

menenggelamkan manusia dalam suatu rutinitas dan otomatisasi kerja yang

diciptakan. Keadaan itulah yang menjadi salah satu penyebab manusia terpisah

dari sesama atau dunia luar dan akhirnya mengalami keterasingan (alienasi).

Manusia tidak lagi hidup secara bebas dengan lingkungannya tetapi secara

berangsur-angsur telah dikelilingi oleh teknik, organisasi, dan sistem yang

diciptakan sendiri. Manusia mulai terkuasai oleh kekuatan-kekuatan tersebut

sehingga menjadi tergantung dan lemah. Dalam keadaan ini manusia tidak lagi

menjadi subjek yang mandiri tetapi telah mengalami detotalisasi dan

dehumanisasi (Hardiman, 2008:66).

Dalam konteks inilah teori kritis dengan paradigma emasipatifnya masih

relevan diketengahkan untuk membaca fenomena kehidupan modern. Di mana

salah satu misi teori kritis adalah untuk menumbuhkan kesadaran reflektif

(Hardiman, 2008:182). Kesadaran reflektif dalam teori kritis hendak mengarahkan

manusia modern untuk kembali menemukan emansipasinya. Teori itu mau

mengembalikan kemerdekaan dan masa depan manusia. Teori kritis tidak hanya

mau menjelaskan, mempertimbangkan, merefleksikan, mengkategorisasikan,

mengantur, melainkan hendak mengubah. Yang mau diubah bukan filsafat,

melainkan pemberangusan manusia oleh hasil pekerjaannya sendiri.

Teori kritis mengadakan analisa baru terhadap masyarakat yang dipahami

sebagai “masyarakat kapitalis tua” atau masyarakat industri maju. Karena itu yang

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

32

dihangatkan kembali dalam teori kritis bukanlah teori Marx yang usang,

melainkan maksud dasar Marx, yaitu pembebasan manusia dari segala belenggu,

penghisapan, dan penindasan. Sebagai teori yang kritis maka teori yang

dikembangkan Horkheimer mau menciptakan kesadaran yang kritis: Teori Kritik

Masyarakat pada hekikatnya ingin menjadi aufklarung. Aufklarung itu berarti:

mau membuat cerah, mau menyingkap segala tabir yang menutup kenyataan yang

tak manusiawi terhadap kesadaran kita. Teori kritis dalam hubungan ini bicara

tentang “Verblendungszusamenhang”, semacam selubung menyeluruh yang

membutakan kita terhadap kenyataan yang sebenarnya, yang perlu disobek. Di

situ muncul istilah “totalitas”. Dalam masyarakat industri maju, kontradiksi-

kontradiksi, frustasi-frustasi, penindasan-penindasan tidak lagi nampak. Semua

segi hidup masyarakat berkongkalikong menimbulkan kesan bahwa semuanya

baik adanya, semua kebutuhan dapat dipuaskan, semuanya efisien, produktif,

lancar, bermanfaat. Kesan semu itulah yang harus dibuka. Dibongkar (Magnis-

Suseno, 1983).

Teori kritis membuka selubung bahwa sebenarnya produksi tidak untuk

memenuhi kebutuhan manusia, melainkan kebutuhan manusia itu diciptakan,

dimanipulasi demi produksi. Dan teori kritis berharap bahwa apabila rasionalitas

semu sistem itu sudah sobek, maka kontradiksi-kontradiksi yang sebenarnya tetap

ada, dapat mematahkan belenggu dan membebaskan manusia pada kemanusiaan

yang sebenarnya.

Melalui konsep-konsep dalam penjelasan teoritikus Mahdzab Frankfurt

tersebut, kritik terhadap masyarakat modern seperti yang digambarkan dalam

novel akan dijelaskan secara ilmiah.

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

33

1.8 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode

kualitatif dengan pendekatan hermeneutika Paul Ricoeur. Menurut Bogdan dan

Taylor (dalam Moleong, 1995:3), metode kualitatif merupakan suatu prosedur

penelitian yang berdasarkan dan menghasilkan data-data deskriptif berupa kata-

kata tertulis. Sedangkan hermeneutika merupakan teknik penafsiran dan

pemahaman teks (Palmer, 2005:8) Metode dan pendekatan tersebut sengaja dipilih

karena sifat penelitian ini adalah studi kepustakaan, di mana bahan yang

digunakan sebagai objek penelitian adalah teks novel Supernova karya Dewi

Lestari.

Seperti diungkapkan Denzin dan Lincoln (2011:7,249), selain mempelajari

data-data empiris, para peneliti kualitatif juga dimungkinkan mempelajari

rekaman pengalaman manusia, baik yang terucap/lisan maupun tertulis, termasuk

percakapan hasil transkripsi, film, novel dan foto. Hal itu memungkinkan karena

sebagian besar kehidupan sosial dalam masyarakat sesungguhnya dimediasi oleh

teks-teks tertulis dengan berbagai ragam jenis yang berlainan.

1.8.1 Objek Penelitian

Dalam penelitian sosiologi sastra yang berusaha menjembatani

intrinsikalitas teks dengan ekstrinsikalitas (dimensi sosiologis) dari teks, objek

kajiannya pun dibagi menjadi dua, yakni objek formal yang menjadi representasi

sisi ekstrinsik dan objek material yang merepresentasikan aspek intrinsik dari

sebuah teks.

a. Objek Formal

Objek formal penelitian ini adalah fenomena paradoks manusia modern

dan kritik terhadap paradoks manusia modern tersebut..

b. Objek Material

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

34

Sumber data dalam penelitian ini adalah novel Supernova KPBJ karya

Dewi Lestari.

1.8.2 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan penelitian ini adalah metode

penelitian kepustakaan. Menurut Damono (2002:39), karena fokusnya adalah

karya sastra, tentu saja data yang tidak boleh ditinggalkan adalah karya sastra,

baik yang berupa buku maupun yang disebarluaskan lewat berbagai media.

Selanjutnya, menurut Damono (2002:39), karena sosiologi sastra tidak hanya

memfokuskan penelitian pada teks sebagai benda yang otonom, sumber-sumber

yang di luar teks sastra itu pun merupakan bahan penting, seperti: pengetahuan

mengenai sejarah, situasi sosial-politik, perkembangan budaya, agama, struktur

sosial, nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, beserta aspek-aspek lainnya.

Terkait hal tersebut, ada tiga hal yang tidak terpisahkan dalam rangka

pemerolehan-pengumpulan data penelitian, yaitu realita, fakta, dan data. Realita

atau “kenyataan” adalah segala sesuatu yang dianggap ada, bersifat relatif, ada

secara empiris maupun dalam konsep pikiran. Fakta berbeda dengan realita. Fakta

adalah pernyataan tentang realita, dapat bersifat subjektif maupun objektif. Fakta

dapat menjadi data, namun tidak semua fakta adalah data. Adapun data adalah

fakta yang telah dipilih, diseleksi, berdasarkan relevansinya (Ahimsa-Putra,

2009:12-13).

Dalam konteks penelitian ini, aspek faktual teks sastra dapat diteliti melaui

teks. Teks dianggap berada dalam konteks faktual apabila bertujuan melakukan

analisis deskriptif bahwa suatu teks dilihat sebagai fakta. Oleh karena itu

interpretasi terhadap sebuah teks sastra didasarkan pada teks sebagai seperangkat

data faktual. Prosedur interpretatif bertumpu pada data yang diketahui secara

empirik (artefak, konteks sosial, dan situasi komunikasi). Di samping fakta-fakta

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

35

tekstual, nilai-nilai pada saat karakter dijelaskan dalam ringkasan teks mungkin

penting dalam fase interpretasi (Segers, 2000:85-86). Dengan demikian

pengumpulan data dalam penelitian ini dimulai dari data teks dalam novel

Supernova yang kemudian dikontekstualisasikan dengan data-data pendukung

yang merupakan data dan fakta sosiologis.

1.8.3 Metode Analisis Data Menurut Pendekatan Hermeneutika Ricoeur

Sebagaimana dijelaskan di atas, penelitian ini menggunakan metode

kualitatif dengan pendekatan hermeneutika Paul Ricoeur. Dalam teknik analisis

data, akan dijelaskan bagaimana operasionalisasi pendekatan hermeneutika Paul

Ricoeur dalam menelaah suatu karya seni, yang dalam hal ini adalah teks seni

sastra.

Bagi Ricoeur, hal yang harus diperhatikan adalah seleksi atas hal-hal di

luar teks harus selalu berada dalam petunjuk teks. Ini berarti bahwa analisis harus

selalu bergerak dari teks, bukan sebaliknya. Karena penelitian ini menggunakan

teks sastra sebagai objek penelitiannya, maka, menurut Ricoeur (1975) ada tiga

ciri utama dalam bahasa (teks) sastra yang perlu diberi perhatian oleh seorang

pemakai kaidah hermeneutika.

Pertama, bahasa sastra dan uraian falsafah bersifat simbolik, puitik dan

konseptual. Di dalamnya berpadu antara makna dan kesadaran. Kita tidak dapat

memberi makna referensial terhadap karya sastra dan falsafah sebagaimana

dilakukan terhadap teks yang menggunakan bahasa penuturan biasa. Bahasa sastra

menyampaikan makna simbolik melalui image-image dan metafora yang dapat

dicerap oleh indera. Sedangkan bahasa bukan sastra berusaha menjauhkan bahasa

atau kata-kata dari dunia makna yang luas.

Kedua, dalam bahasa satra pasangan rasa dan kesadaran menghasilkan

objek estetik yang terikat pada dirinya. Penandaan harus dilakukan dan tanda

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

36

harus diselami maknanya, tidak dapat dibaca secara sekilas lintas. Tanda dalam

bahasa simbolik sastra mesti dipahami sebagai sesuatu yang mempunyai peran

konotatif, metaforikal dan sugestif.

Ketiga, bahasa sastra berpeluang menerbitkan pengalaman fiksional dan

pada hakekatnya lebih kuat dalam menggambarkan ekspresi kehidupan. Bahasa

sastra yang bersifat puitik tidak memberi kemungkinan kepada pembacanya untuk

memahaminya secara langsung. Karena itu kegiatan hermeneutika diperlukan.

Ricoeur menambahkan bahwa setiap teks berbeda komponen dan struktur bahasa

atau semantiknya, oleh karena itu dalam memahami teks diperlukan proses

hermeneutik yang berbeda pula.

Konsep dan cara kerja metode dan pendekatan yang telah diuraikan di atas

dalam kaitannya dengan karya seni (seni sastra) sebagai subjek penelitian,

divisualisasikan oleh Ricoeur melalui gambar di bawah ini.

Gambar 1.1 Metode Kerja Analis Data Hermeneutika Ricoeur

Sumber: Thompson (1990)

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

37

Dari gambar yang berupa piramida terbalik sebagaimana disistematiskan

oleh Thompson (1990) di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Mula-mula teks seni (dalam konteks ini seni sastra) ditempatkan sebagai

objek yang diteliti sekaligus sebagai subjek atau pusat yang otonom.

Karya sastra diposisikan sebagai fakta ontologi. Secara praksis hal ini

menempatkan novel Supernova sebagai pangkal dari proses analisis.

Yakni awal mula data maupun proses analisis data bertolak dari teks

dalam novel Supernova.

2. Karya sastra sebagai fakta ontologi dipahami dengan cara mengobjektivasi

strukturnya. Di sini analisis struktural menempati posisi penting. Bagi

Thompson (1990), objektivasi struktur adalah penelaahan terhadap

struktur cerita dalam sebuah teks sastra. Penelaahan terhadap struktur

cerita berarti mempelajari dan memetakan alur cerita maupun karakteristik

masing-masing tokoh dalam novel Supernova.

3. Pada tahap berikutnya, pemahaman semakin meluas ketika masuk pada

lapis simbolisasi. Hal ini terjadi sebab di sini tafsir telah melampaui batas

struktur. Bagi Ricoeur (Thompson, 1990), setiap kata dalam sastra adalah

simbol. Maka dalam hal ini langkah penyisiran teks novel Supernova

adalah memilah kata-kata yang mengandung simbol, di mana simbol-

simbol (kata-kata) tersebut dirasa sesuai dengan tujuan penelitian ini.

4. Kode-kode simbolik yang ditafsirkan tentu saja membutuhkan hal-hal

yang bersifat referensial menyangkut proses kreatif seniman dan faktor-

faktor yang berkaitan dengannya. Maka, acuan yang bersifat referensial

tersebut merujuk pada konsepsi sosiologi sastra sebagaimana telah

dijelaskan dalam tahapan konstruksi teoritik di atas.

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

38

5. Kode simbolik yang dipancarkan teks dan dikaitkan dengan berbagai

persoalan di luar dirinya menuntut disiplin ilmu lain untuk melengkapi

tafsir. Dalam hal ini, analisis mulai bergerak untuk mencari kaitan antara

telaah struktur cerita dan penafsiran simbolik terhadap kata-kata dalam

teks novel dengan referensi teoritik dari sub-disiplin lain dari kajian

sosiologis yang dianggap relevan dengan tujuan penelitian ini.

6. Akhirnya, ujung dari proses itu adalah ditemukannya makna atau pesan.

Dari skema tampak bahwa makna dan pesan dalam tafsir hermeneutik

berada pada wilayah yang paling luas dan paling berjauhan dengan teks

(karya seni sebagai fakta ontologisnya), tetapi tetap berada di dalam

horizon yang dipancarkan teks. Dengan kata lain, skema kerja

hermeneutika Ricoeur berawal dari teks novel hingga menemukan makna

atau pesan yang ingin disampaikan oleh penulis novel melalui struktur teks

yang dia bangun dalam novel.

1.8.4 Rangkuman Sistematika Penelitian

Secara lebih terperinci, langkah-langkah dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. menetapkan objek formal dan objek material penelitian, yakni novel

Supernova karya Dewi Lestari dan kritik terhadap masyarakat modern

sebagai tema utamanya;

2. melakukan studi pustaka untuk mencari dan mengumpulkan data-data

yang mendukung subjek penelitian. Data tersebut dapat berupa karya fiksi

dan non fiksi Dewi Lestari, tulisan-tulisan tentang Dewi Lestari dan karya-

karyanya, buku-buku refersensi lainnya yang ada hubungannya dengan

penelitian novel Supernova;

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78036/potongan/S2-2014...cepat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang teknologi, ekonomi,

39

3. melakukan analisis novel Supernova karya Dewi Lestari dengan

pendekatan hermeneutika Paul Ricoeur sebagaimana dijelaskan di atas.

4. melakukan tinjauan sosiologi sastra dengan pendekatan sosiologi sastra

strukturalisme genetik atas hasil telaah teks yang menggunakan

pendekatan hermeneutika Paul Ricoeur.

5. menyimpulkan dan melaporkan hasil penelitian.