bab i pendahuluan 1.1 latar belakang...

21
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Industri perbankan telah mengalami perubahan yang mendasar, terutama dalam struktur pasar dan tingkat persaingan atau kompetisinya. Perubahan tersebut dimulai dari trend deregulasi perbankan pada tahun 80an. Sementara itu di Indonesia, kebijakan deregulasi dimulai pada tahun 1983 sampai dengan 1990. Sebelumnya, pembatasan atas operasional perbankan diatur oleh pemerintah. Bank-bank pemerintah menurut McLeod (1996) saat itu bukanlah bank yang bersifat profit oriented melainkan hanya menjadi kepanjangan tangan rezim pemerintah. Pasca Kebijakan deregulasi atau liberalisasi diterapkan, sebagian besar kontrol bank sentral terhadap suku bunga dan pemberian kredit mulai dihapuskan, serta memberi kemudahan dalam pendirian kantor cabang, dan mengurangi hambatan masuk pasar. Kebijakan ini selanjutnya meningkatkan persaingan di sektor perbankan. Pengalaman industri perbankan Indonesia menunjukkan paket deregulasi selain membawa dampak positif berupa peningkatkan akses jasa bank pada masyarakat juga membawa dampak negatif. Bertambahnya jumlah bank mendorong sektor perbankan lebih agresif dalam pemberian dan penghimpunan dana. Aktivitas perbankan yang meningkat ini menurut Abdullah dan Santoso (2004) tidak disertai dengan penegakan dan pelakasanaan prinsip kehati-hatian,

Upload: docong

Post on 23-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Industri perbankan telah mengalami perubahan yang mendasar, terutama

dalam struktur pasar dan tingkat persaingan atau kompetisinya. Perubahan

tersebut dimulai dari trend deregulasi perbankan pada tahun 80an. Sementara itu

di Indonesia, kebijakan deregulasi dimulai pada tahun 1983 sampai dengan 1990.

Sebelumnya, pembatasan atas operasional perbankan diatur oleh pemerintah.

Bank-bank pemerintah menurut McLeod (1996) saat itu bukanlah bank yang

bersifat profit oriented melainkan hanya menjadi kepanjangan tangan rezim

pemerintah.

Pasca Kebijakan deregulasi atau liberalisasi diterapkan, sebagian besar kontrol

bank sentral terhadap suku bunga dan pemberian kredit mulai dihapuskan, serta

memberi kemudahan dalam pendirian kantor cabang, dan mengurangi hambatan

masuk pasar. Kebijakan ini selanjutnya meningkatkan persaingan di sektor

perbankan.

Pengalaman industri perbankan Indonesia menunjukkan paket deregulasi

selain membawa dampak positif berupa peningkatkan akses jasa bank pada

masyarakat juga membawa dampak negatif. Bertambahnya jumlah bank

mendorong sektor perbankan lebih agresif dalam pemberian dan penghimpunan

dana. Aktivitas perbankan yang meningkat ini menurut Abdullah dan Santoso

(2004) tidak disertai dengan penegakan dan pelakasanaan prinsip kehati-hatian,

2

sehingga seringkali pemberian pinjaman tanpa melalui analisis kredit yang baik

dan membawa pada NPL (Non-Performing Loan) yang tinggi.

Tidak hanya kebijakan deregulasi yang juga mengubah bentuk struktur

industri perbankan. Menurut Rajan (2005) adanya inovasi dalam teknologi juga

memberikan andil dalam perubahan tersebut. Sebelumnya deregulasi didasarkan

pada kurangnya insentif bagi perbankan untuk melakukan inovasi. Setelah adanya

inovasi, perbankan mulai berorientasi kepada produknya. Orientasi terhadap

produk perbankan ini disertai dengan insentif promosi seperti pemberian hadiah

dan potongan harga menurut Afiliani (2012) makin meningkatkan persaingan di

sektor perbankan.

Pengenalan teknologi baru serta adanya pergeseran teknik pemasaran

perbankan yang cenderung menjadi lebih berorientasi kepada pelanggan (nasabah)

seperti pengenalan ATM (Automated Teller Machine) dan kerjasama dalam

pembayaran dengan beberapa instansi pemerintah membuat industri perbankan

menjadi tersegmentasi.

Kotler (2001) membagi segmentasi pasar ke dalam empat tingkatan (level),

yaitu:

1. Pemasaran Segmen (Segment Marketing)

Dikatakan sebuah pemasaran dengan segmen pasar jika dalam sebuah

pasar mengandung banyak kelompok dengan kesamaan kebutuhan, daya

beli, lokasi geografis, dan perilaku membeli.

2. Pemasaran Lubang (Niche Marketing)

3

Pemasaran pada segmen ini adalah pemasaran dengan segmen kelompok

kecil tertentu (typical) yang kebutuhannya tidak terpenuhi dengan baik.

3. Pemasaran Lokal (Local Marketing)

Pemasaran produk ditujukan untuk kelompok masyarakat lokal tertentu.

Dengan demikian dimana perusahaan menjual maka segmen pasarnya

adalah warga setempat.

4. Pemasaran Individual (Individual Marketing)

Target utama dari pemasaran indivudal ini adalah individu seorang.

Pengelompokkan pasar ke dalam satu individu dapat ditemui dengan

hadirnya internet, dimana produk-produk dapat disesuaikan dengan

keinginan individu (customize).

Dari keempat tingkatan segementasi pasar tersebut, industri perbankan di

Indonesia hampir memenuhi kesemuanya. Ada bank yang memfokuskan kepada

kelompok atau sektor tertentu, kelompok yang susah dijangkau dan tidak

bankable, serta kelompok daerah atau regional (provinsi, kecamatan),

Segmentasi berdasarkan sektor misalanya dapat dilihat pada Tabel 1.1.

Pemberian kredit bank komersial (bank umum) sebagian besar disalurkan kepada

sektor perindustrian (manufaktur) dan perdagangan. Pemberian kredit bank

komersial kepada sektor perindustrian dan perdagangan lebih dari 40 persen dari

total kredit pada tahun 2005 dan 2008. Meski pada tahun 2010 mengalami

penurunan menjadi 35 persen namun kedua sektor tersebut masih menjadi pilihan

utama kredit bank umum.

4

Tabel 1.1 Pangsa Kredit Bank Umum Berdasarkan Sektor Ekonomi

Sektor Ekonomi 2005 2008 2010

Pertanian, perburuan, dan sarana pertanian 0.05 0.05 0.05 Pertambangan 0.01 0.02 0.03 Perindustrian 0.25 0.21 0.16 Listrik, gas, dan air 0.01 0.01 0.02 Konstruksi 0.04 0.04 0.04

Perdagangan, restoran dan hotel 0.20 0.20 0.19

Pengangkutan, pergudangan dan komunikasi 0.03 0.05 0.04 Jasa dunia usaha 0.10 0.12 0.10

Jasa sosial/masyarakat 0.01 0.01 0.03 Lain-lain 0.30 0.28 0.34

Sumber: Bank Indonesia (2005-2008).

Sementara itu Tabel 1.2 menunjukkan pangsa kredit di tiap sektor atas dasar

kelompok bank pemberi kredit. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa

penyumbang terbesar pemberian kredit kepada kedua sektor (perindustrian dan

perdagangan) adalah kelompok Bank Persero dan BUSN Devisa. Pemberian

kredit dari kedua bank tersebut kepada sektor industri dan perdagangan mencapai

lebih dari 70 persen dari total kredit bank umum di sektor itu.

Tabel 1.2 juga menunjukkan kelompok Bank Persero dan BUSN Devisa dapat

dikatakan menguasai pemberian kredit di setiap sektor ekonomi. Dengan

demikian tidak hanya pemberian kredit perbankan itu tersegmentasi (berdasarkan

sektor) namun juga pangsa pasar kreditnya dikuasai oleh kedua kelompok bank

yaitu sebesar 77 persen dari semua pemberian kredit.

5

Tabel 1.2 Pangsa Kredit di Tiap Sektor berdasar Kelompok Bank (Tahun 2010)

Sektor Ekonomi Bank Persero

BUSN Devisa

BUSN Non

Devisa BPD Bank

Campuran Bank Asing Total

Pertanian, perburuan, dan sarana pertanian 0.54 0.32 0.005 0.05 0.06 0.03 1.00 Pertambangan 0.43 0.34 0.006 0.02 0.07 0.14 1.00 Perindustrian 0.34 0.40 0.009 0.01 0.12 0.12 1.00 Listrik, gas, dan air 0.52 0.31 0.002 0.04 0.02 0.11 1.00 Konstruksi 0.32 0.45 0.018 0.14 0.03 0.03 1.00

Perdagangan, restoran dan hotel 0.34 0.51 0.023 0.05 0.05 0.03 1.00

Pengangkutan, pergudangan dan komunikasi 0.36 0.45 0.018 0.02 0.09 0.06 1.00

Jasa dunia usaha 0.14 0.54 0.043 0.02 0.11 0.15 1.00

Jasa sosial/masyarakat 0.21 0.59 0.033 0.12 0.02 0.03 1.00 Lain-lain 0.43 0.32 0.043 0.16 0.02 0.03 1.00 Total 0.36 0.41 0.028 0.08 0.06 0.06 1.00

Sumber: Bank Indonesia, 2010.

Sedangkan dari Tabel 1.3 menunjukkan bahwa pangsa Dana Pihak Ketiga

(DPK) juga didominasi oleh kelompok Bank Persero dan Bank Umum Swasta

Nasional Devisa. Pada tahun 2008, Kelompok BUSN Devisa mulai mengambil

dominansi dari Bank Persero (pemerintah).

Sedangkan jika dilihat dari segmen usahanya terdapat dua jenis segmen yaitu

bank dengan usaha konvensional dan usaha syariah. Bank (Umum) Komersial

Konvensional berfungsi sebagai penghimpun dana dan menyalurkan kredit.

6

Sedangkan Bank (Umum) Komersial Syariah menurut UU No. 21 tahun 2008

tentang Perbankan Syariah mendefinisikan bank berdasarkan prinsip syariah

adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung riba, maisir, gharar, objek haram

dan menimbulkan kezaliman.

Tabel 1.3 Pangsa Dana Pihak Ketiga (DPK) Berdasar Kelompok Bank tahun 2002, 2008, dan 2012.

Kelompok Bank

2002 2008 2012 DPK

(dalam miliar rupiah)

Pangsa

DPK (dalam miliar rupiah)

Pangsa

DPK (dalam miliar rupiah)

Pangsa

Bank Persero

370,542.0

0 0.44

669,827.00 0.38 960,609.00 0.35

Bank Umum Swasta Nasional Devisa

321,111.0

0 0.38

701,710.00 0.40

1,187,610.00

0.43

Bank Umum Swasta Nasional non-devisa

17,050.00 0.02

33,213.00 0.02 83,662.00 0.03

Bank Pemerintah Daerah (BPD)

45,758.00 0.05

143,262.00 0.08 263,103.00 0.10

Bank Campuran

21,418.00 0.03

76,902.00 0.04 118,505.00 0.04

Bank Asing

59,900.00 0.07

128,377.00 0.07 150,454.00 0.05

Total

835,779.00

1.00

1,753,291.00

1

2,763,943.00

1

Sumber: Bank Indonesia, 2002-2012.

Bank yang memiliki segmen usaha syariah dapat dilihat pada Tabel 1.4. Tabel

tersebut menunjukkan beberapa indikator terkait dengan bank berprinsip syariah

seperti indikator sumber dan penyaluran dana serta pangsa asset.

7

Tabel 1.4 Indikator Aset, Sumber dan Penyaluran Dana, serta Pangsa tiap Indikator Bank Umum dan Unit Usaha Syariah serta Bank Konvensional.

Indikator Bank Umum

dan Unit Usaha Syariah

Bank Persero

Bank Umum Swasta

Nasional Devisa

Tahun 2008

Asset (dalam miliar rupiah) 49,555 847,653 883,470

Pangsa Asset 0.02 0.36 0.37 Sumber Dana (DPK) 40,591 669,827 701,710 Pangsa Sumber Dana (DPK) 0.02 0.37 0.39

Penyaluran Dana (Kredit) 48,264 470,665 524,295 Pangsa Penyaluran Dana (Kredit) 0.04 0.35 0.39

Sumber: Bank Indonesia, 2008.

Tabel 1.4 menunjukkan bahwa segmen usaha bank umum masih didominasi

oleh bank konvensional dibandingkan dengan usaha syariah. Dari total penyaluran

dana, bank dengan prinsip syariah memiliki pangsa 4 persen jika dibandingkan

dengan total penyaluran bank umum konvensional dalam bentuk kredit. Hal ini

menunjukkan bahwa usaha bank umum yang konvensional lebih mendominasi

dari usaha berdasarkan prinsip syariah.

Jika melihat dari jumlah bank yang memiliki aset terbesar dalam industri

perbankan, kepemilikan aset terbesar juga masih terkelompok pada bank-bank

swasta dan pemerintah. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1.5.

Tabel 1.5 menunjukkan perkembangan total asset bank umum. Tabel tersebut

menunjukkan bahwa bank yang memilki aset kurang dari 1 triliun rupiah

didominasi oleh Bank Umum Swasta Nasional Non-Devisa, sementara untuk bank

umum dengan aset antara 10 sampai dengan 50 triliun dan di atas 50 triliun

8

didominasi oleh Bank Umum Swasta Nasional Devisa dan Bank Persero. Kedua

kelompok bank ini memiliki aset terbesar dalam industri perbankan nasional pada

tahun 2012 dengan jumlah 14 bank.

Tabel 1.5 Jumlah Bank Umum Berdasarkan Total Asset Pada Desember 2002-2012

Kelompok Bank

Kurang dari 1 triliun rupiah

Antara 1 sampai 10 triliun rupiah

Antara 10 sampai 50 triliun rupiah

Lebih dari 50 triliun rupiah

2002 2008 2012 2002 2008 2012 2002 2008 2012 2002 2008 2012

Bank Persero 0 0 0 1 2 0 1 2 0 3 3 4

Bank Umum Swasta Nasional Devisa

10 3 1 15 16 18 10 10 7 1 6 10

Bank Umum Swasta Nasional non-devisa

33 24 13 7 8 14 0 1 3 0 0 0

Bank Pemerintah Daerah (BPD)

11 0 0 15 19 14 0 7 11 0 0 1

Bank Campuran 11 1 0 13 8 6 0 6 8 0 0 0

Bank Asing 2 0 0 4 4 3 4 4 3 4 2 4

Total 67 28 14 55 57 55 15 30 32 8 11 19

Sumber: Bank Indonesia , 2002-2012.

9

Dengan demikian dari uraian di atas dapat diketahui bahwa industri perbankan

Indonesia memiliki karaktersitik sebagai berikut:

1. Tersegmentasi di tiap sektor dan usaha, terutama dalam hal pemberian

kredit. Sedangkan dari sisi usahanya, bank umum (komersial)

konvensional lebih mendominasi dibandingkan dengan bank umum dan

unit usaha dengan prinsip syariah.

2. Pangsa terbesar dari pemberian kredit dan sumber dana (DPK) dimiliki

oleh kelompok Bank Persero (pemerintah) dan Bank Swasta (BUSN

Devisa).

3. Jika dilihat dari kepemilikan asetnya, pangsa terbesar dimiliki oleh

sebagian kecil bank dari total bank yang beroperasi di Indonesia dan

berasal dari kelompok bank pemerintah dan BUSN Devisa. Sehingga

dapat dikatakan bahwa sektor perbankan nasional terkonsentrasi.

Dari uraian tersebut, penelitian ini bermaksud mengambil objek penelitian

industri perbankan di Indonesia terutama pada kelompok bank umum yang

memiliki kegiatan konvensional yaitu Bank (Persero) Pemerintah dan Bank

Swasta Nasional (BUSN) Devisa. Penelitian ini tertarik untuk meneliti topik yang

berhubungan dengan stuktur dan tingkat persaingan dalam kelompok bank

tersebut di Indonesia. Topik yang menjadi pembahasan adalah dampak dari

program Aristerkur Perbankan Indonesia (API) terhadap struktur dan tingkat

persaingan perbankan di Indonesia terutama pada Bank Komersial (Umum)

Konvensional dengan kelompok Bank Persero dan Bank Swasta Nasional (BUSN

Devisa).

10

Sejalan dengan perkembangan industri perbankan di Indonesia, kebijakan

deregulasi yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia mulai mengalami kebalikan

arus (reverted), yaitu menuju kepada kebijakan yang cenderung re-regulation

dengan perhatian lebih besar pada prudential regulation perbankan (McLeod,

1996). Trend menuju re-regulation Bank Indonesia (BI) ini selanjutnya sejalan

dengan program restrukturisasi perbankan yang dijalankan oleh pemerintah

Indonesia pasca krisis keuangan 97/98.

Dalam rangka penyehatan perbankan pasca krisis keuangan 97/98, Bank

Indonesia membuat program yang diharapkan menjadi arah kebijakan perbankan

nasional. Program ini kemudian disebut sebagai Arsitektur Perbankan Indonesia

(API). Pada dasarnya program ini berisi kerangka dasar perbankan nasional yang

dapat dijadikan arah, bentuk dan tatanan industri perbankan nasional lima sampai

sepuluh tahun mendatang (Bank Indonesia, 2004).

Program API yang mulai diimplementasikan pada tahun 2004 oleh Bank

Indonesia memilki pandangan terhadap struktur perbankan nasional. Harapan

yang ingin dicapai oleh API sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 1.1 adalah

struktur perbankan nasional yang terdiri dari bank berskala internasional,

nasional, fokus (daerah, korporasi, dan ritel), serta bank perkreditan rakyat (BPR).

Struktur perbankan nasional versi API ini diklasifikasikan menurut

permodalan bank. Bank yang memiliki modal inti di atas 50 triliun masuk masuk

ke dalam kategori bank internasional, 10-50 triliun masuk ke dalam kategori bank

nasional, 100 miliar sampai 10 triliun masuk dalam kategori Bank dengan fokus,

dan sampai dengan 100 miliar masuk ke dalam kategori BPR.

11

Gambar 1.1 Piramida Arsitektur Perbankan Indonesia (Booklet Perbankan Indonesia, 2005).

Selanjutnya isu yang juga melatarbelakangi dibentuknya API adalah isu

mengenai jumlah bank yang dinilai terlalu banyak. Pada bulan Desember tahun

2003 total bank yang beroperasi di Indonesia ada sebanyak 141 bank. Hal ini

menurut pendapat banyak kalangan masih terlalu banyak. Banyaknya jumlah bank

ini dikhawatirkan akan meningkatkan persaingan perbankan yang lebih tinggi dan

menghilangkan prinsip kehatian-hatian di dalam tata kelola bank. Permasalahan

juga muncul terkait dengan terkonsentrasinya industri perbankan nasional, dimana

pada tahun 2003 kurang lebih 60 persen pangsa asset perbankan dikuasi oleh 7

bank1. Pada tahun 2004 industri perbankan nasional diwarnai dengan penutupan,

1 CR7: Bank Mandiri, Bank Central Asia, Bank Nasional Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, Bank Danamon, Bank Internasional Indonesia, Bank Permata..

12

likuidasi, serta merger.2 Kebijakan ini sejalan dengan agenda BI untuk

mendorong konsolidasi bank guna mengantisipasi persaingan di sektor perbankan

yang semakin ketat (Bank Indonesia, 2004).

Peraturan atau regulasi untuk membatasi tingkat persaingan dalam industri

perbankan mendapat perhatian khusus dalam analisis regulasi di sektor keuangan.

Alasannya adalah perbedaan karaktersitik yang dimiliki bank dengan industri lain,

yaitu adanya maturity miss-match dan systemic risk (Carletti dan Hartman, 2001).

Dalam teori kebijakan publik, regulasi pemerintah dibenarkan atas adanya

kegagalan pasar (market failure) yang dapat muncul dari faktor kekuatan

monopoli, eksternalitas, dan informasi yang tidak simetris di pasar yang pada

akhirnya membuat pasar tidak efisien. Oleh karena permasalahan tersebut maka

intervensi dari pemerintah (dalam bentuk regulasi) dibutuhkan (Vessala, 1995).

Bank Indonesia sebagai otoritas moneter diberi kewenangan untuk melakukan

intervensi di sektor keuangan. Intervensi tersebut bisa dalam bentuk kebijakan

ataupun program yang berisi kebijakan dan aturan bagi perbankan. Salah satu

program BI adalah API. Sebagaimana diurai sebelumnya, pelaksanaan program

API mentitikberatkan pada penguatan struktur permodalan bank. Dalam hal ini BI

dapat memberikan insentif bagi bank untuk merger dan konsolidasi untuk

memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam API (misalnya kebijakan

kepemilikan tunggal atau single presence policy). Konsolidasi ini selanjutnya

2 Penutupan Bank Dagang Bali dan Bank Asiatic, Self-liquidation ING Bank, dan merger tiga bank (Bank Danpac, Bank Pikko, dan Bank CIC) menjadi Bank Century.

13

akan berdampak pada penuruanan jumlah bank yang ada yang selanjutnya

mempengaruhi struktur dan tingkat persaingan industri perbankan.

Analisis struktur dan tingkat persaingan industri masuk ke dalam lingkup teori

Organisasi Industri (Industrial Organization atau IO). Faktor pembentuk struktur

pasar dalam teori IO dapat dilihat melalui dua pendekatan. Pendekatan pertama

adalah pendekatan struktural. Pendekatan ini memiliki dua teori yang memberikan

prediksi mengenai struktur industri. Teori tersebut yaitu, Structure Conduct

Performance (SCP) dan Efficient-Structure (ES). Selanjutnya pendekatan kedua

adalah pendekatan non-struktural atau New Empirical Industrial Organization

(NEIO).

Teori pertama dari pendekatan struktural adalah teori Structure Conduct

Performance (SCP). Teori ini menyatakan bahwa struktur pasar terjadi karena

adanya kebijakan (by design) yang diaplikasikan kepada sektor atau industri

tertentu (Kunt et al., 2003). Kebijakan yang membatasi tingkat persaingan dalam

industri seperti kebijakan merger dan akuisisi ataupun kebijakan yang terkait

dengan hambatan masuk pasar (barriers to entry) dapat membentuk struktur pasar

terkonsentrasi. Pasar yang terkonsentrasi ini selanjutnya membentuk kolusi antar

pelaku di dalamnya, dan pada akhirnya hanya terbentuk beberapa pelaku pasar

yang akan menikmati keuntungan besar (abnormal profit). Kolusi antar pelaku

pasar membuat mereka mampu untuk menetapkan harga lebih tinggi

dibandingkan dengan harga yang berlaku jika dibandingkan ketika pasar berada

dalam tingkat persaingan yang tinggi. Implikasi terhadap pasar pada akhirnya

adalah inefisiensi.

14

Teori kedua dari pendekatan struktural adalah teori Efficient-Structure atau

dalam beberapa literature ada yang menyebutnya Efficient Structure Hypothesis

(ESH). Teori ini menyatakan bahwa struktur pasar atau industri terbentuk oleh

karena faktor efisiensi para pelaku pasar di dalamnya. Lingkungan pasar dengan

tingkat persaingan yang tinggi akan membentuk pelaku pasar yang beroperasi

secara efisien. Pelaku pasar yang beroperasi secara efisien lebih mampu bertahan

dan akan memiliki pangsa pasar yang lebih besar dibanding pelaku pasar lain

yang kurang efisien, dan pada akhirnya menciptakan struktur perbankan yang

terkonsentrasi. Dengan kata lain, pasar akan melakukan seleksi atas para

pelakunya dan menyisakan para pelaku yang memiliki kinerja terbaik. Implikasi

terhadap pasar adalah terciptanya lingkungan industri yang efisien.

Pendekatan stuktural memiliki beberapa kelemahan, baik dari segi teori dan

hasil penelitian ilmiah. Pada tatanan teori terdapat permasalahan endogenitas

(terutama pada pendekatan SCP). Kelemahan lainnya adalah kedua teori (SCP dan

ESH) memiliki prediksi yang berbeda mengenai faktor pembentuk struktur pasar.

Menurut Kunt et al. (2003) struktur pasar dalam teori SCP dibentuk oleh regulasi-

regulasi yang membatasi persaingan (regulatory impediment of competition)

sementara dalam ESH dibentuk oleh perilaku pelaku di dalam pasar.

Hasil penelitian ilmiah juga menunjukkan beberapa kelemahan dari

pendekatan struktural. Temuan ilmiah menunjukkan bahwa tingkat konsentrasi

pasar tidak berhubungan terbalik dengan tingkat persaingan sebagaimana dalam

teori SCP (lihat dalam Classens dan Laeven, 2004). Selain itu, beberapa peneliti

juga menilai pendekatan struktural lemah dalam analisis tingkat persaingan

indsutri perbankan. Selain disebabkan oleh ketidaktersediaan data yang memadai,

15

juga dikarenakan susahnya menentukan harga yang sesuai di pasar perbankan.

Misalnya harga di pasar kredit, suku bunga kredit, tingkat harganya beragam antar

bank yang satu dengan bank yang lain. Oleh sebab itu dalam analisis SCP

seringkali tingkat konsentrasi sebuah industri menjadi tolak ukur atau parameter

tingkat persaingan dalam sebuah industri (Adams et al., 2002).

Pendekatan yang kedua adalah pendekatan non-struktural atau New Empirical

Industrial Organization (NEIO). Pendekatan ini merupakan respon dari beberapa

kelemahan pendekatan struktural. Pendekatan ini lebih menekankan kepada

perilaku bersaing (competitive conduct) pelaku di dalam industri (Bikker, 2003).

Pendekatan non-struktural lebih mengedepankan pengukuran kekuatan pasar atau

market power sebagai sinyal tingkat persaingan.

Terkait dengan identifikasi struktur pasar dan pengukuran tingkat persaingan,

pendekatan NEIO memberikan tiga model. Model tersebut adalah Bresnahan-Lau

Test (BL-Test), Iwata Model, dan Panzar-Rosse (Model PR). Dari ketiga

pendekatan model tersebut penelitian ini menggunakan pendekatan non-struktural

Model PR, untuk mengidentifikasi struktur pasar dan mengukur tingkat

persaingan dalam industri perbankan di Indonesia.

Pendekatan dengan Model PR menjelaskan hubungan antara perubahan harga

input dengan pendapatan yang diperoleh perusahaan (Yudaruddin, 2013).

Hubungan tersebut ditunjukkan dalam bentuk elastisitas faktor harga (factor price

elasticity) (Panzar dan Rosse, 1987). Perkembangan selanjutnya dari model PR ini

adalah diperkenalkannya Statistik-H oleh Juka Vessala pada tahun 1995. Statistik-

16

H merupakan penjumlahan dari elastisitas faktor harga dalam Model PR. Dari

hasil Statistik-H inilah identifikasi struktur dan tingkat persaingan diperoleh.

Beberapa penelitian terdahulu telah mencoba menelaah isu di atas dalam

industri perbankan Indonesia, diantaranya Pradiptyo et al. (2012) yang

berpendapat bahwa struktur perbankan di Indonesia adalah oligopoli. Sementara

Soedarmono (2010) meneliti mengenai tingkat persaingan dalam industri

perbankan di Indonesia pasca krisis dengan menggunakan indeks lerner. Hasil

yang diperoleh adalah tingkat persaingan yang cenderung menurun pasca krisis.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, penelitian ini tertarik untuk meneliti

topik berupa dampak dari program API terhadap struktur dan tingkat persaingan

perbankan di Indonesia terutama pada Bank Umum Konvensional dengan

kelompok Bank Persero dan Bank Swasta Nasional (BUSN Devisa). Sementara

itu terkait dengan pelaksanaan program API oleh Bank Indonesia, program ini

cenderung membentuk struktur perbankan yang membatasi tingkat persaingan

dengan jumlah bank yang lebih sedikit. Jika dilihat selama sepuluh tahun terakhir,

jumlah bank mengalami penurunan (141 bank pada tahun 2003 menjadi 120 bank

pada tahun 2012). Sementara rasio konsentrasi (Concentration Ratio atau CR)

perbankan Indonesia menunjukkan trend yang menurun (tabel 1.6).

Maka sebagaimana diurai oleh kedua pendekatan dalam teori IO sebelumnya,

perubahan dalam struktur pasar juga mempengaruhi perilaku bersaing industri,

dalam hal ini perbankan. Dengan demikian, pasca penerapan program API juga

akan memiliki dampak pada struktur dan perilaku bersaing perbankan di

Indonesia.

17

Tabel 1.6. Rasio Konsentrasi (CR) Perbankan Indonesia Tahun 2003-2011

Jumlah Bank 2003 2008 2011 CR 4 54.15 44.93 44.34 CR 5 58.5 49.47 48.84 CR 7 63.75 55.22 55.58

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia (2003-2011).

Saat ini program API sudah berjalan hampir sepuluh tahun. Evaluasi

mengenai capaian program API perlu untuk dibahas. Terutama yang terkait

dengan pilar pertama dalam API berupa menciptakan struktur perbankan domestik

yang sehat. Penelitian ini mengajukan sebuah telaah mengenai struktur perbankan

nasional dengan melihat kepada aspek tingkat persaingan industri perbankan

pasca implementasi program API oleh Bank Indonesia.

1.2 Perumusan Masalah

Industri perbankan, sebagaimana industri lain memiliki isu yang terkait

dengan struktur dan tingkat persaingan. Menurut teori SCP sebelumnya, struktur

pasar dibentuk salah satunya dari adanya regulasi-regulasi yang membatasi

tingkat persaingan (regulatory impediment to competition).

Pengetatan permodalan yang diinginkan oleh API dapat dikatakan sebagai

hambatan masuk pasar (barriers to entry) bagi pelaku yang tidak memenuhi

persyaratan permodalan tersebut. Dampaknya berupa praktik merger dan

konsolidasi bank sehingga membuat industri perbankan Indonesia terkonsentrasi

dan menurunkan tingkat persaingan.

18

Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1.7. Sektor industri perbankan

terkonsentrasi pada kelompok bank persero (pemerintah) dan bank swasta

nasional (BUSN Devisa).

Sementara itu jika dilihat dalam data pemberian kredit pada bagian

pendahaluan sebelumnya, sektor perbankan Indonesia tersegmentasi pada sektor-

sektor tertentu. Sebagian besar pemberian kredit disalurkan kepada sektor industri

dan perdagangan dimana pemberian kredit di kedua sektor tersebut dikuasai oleh

kelompok bank persero (pemerintah) dan bank swasta (BUSN Devisa)

sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel 1.8 berikut.

Tabel 1.7 Kelompok Bank dalam Aset, Pangsa Kredit, dan Pangsa DPK

Kelompok Bank Aset Lebih dari 50 triliun

Pangsa Pasar Kredit

Pangsa Pasar DPK

Bank Persero (Pemerintah) 4 bank 36% 35% BUSN Devisa 10 bank 41% 43% BUSN Non-Devisa - 2.80% 3% BPD 1 bank 8% 10% Bank Campuran - 6% 4% Bank Asing 4 bank 6% 5%

Sumber: Bank Indonesia, 2010-2012.

Tabel 1.8 Kelompok Bank Penyumbang Terbesar dalam Sektor Perindustrian dan Perdagangan

Sektor Ekonomi

Porsi Pemberian Kredit terhadap

Total Kredit Bank dengan Penyumbang

Terbesar

Pangsa Bank Penyumbang

terbesar 2005 2008 2010

Perindustrian 25% 21% 16% BUSN Devisa dan Bank Persero 74%

Perdagangan, restoran dan hotel 20% 20% 19%

BUSN Devisa dan Bank Persero 85%

Total 45% 42% 35% Sumber: Bank Indonesia, 2005-2010.

19

Sementara itu terkait dengan hubungan antara jumlah bank dengan tingkat

konsentrasinya, makin menurun tingkat bank cenderung membuat struktur

perbankan menjadi terkonsentrasi. Jika melihat pada data yang ada jumlah bank

memang mengalami penurunan dari 141 bank pada tahun 2003 menjadi 120 pada

tahun 2012. Namun sebaliknya dengan rasio tingkat konsentrasi industri (CR4)

justru mengalami penurunan (sebesar 54% tahun 2004 menjadi 44% pada tahun

2012).

Tingkat kosnsentrasi industri dalam beberapa penelitian sebelumnya (yang

menggunakan pendekatan SCP) merupakan parameter tingkat persaingan.

Temuan sebelumnya menunjukkan bahwa hubungan terbalik antara struktur (yang

dicerminkan dari jumlah bank) dengan tingkat persaingan (yang dicerminkan dari

rasio tingkat konsentrasi) tidak terjadi. Dengan demikian penggunaan tingkat

konsentrasi sebagai parameter tingkat persaingan dirasa kurang tepat. Oleh sebab

itu penelitian ini menggunakan pendekatan NEIO dengan pemikiran bahwa rasio

tingkat konsentrasi tidak selalu menceminkan tingkat persaingan.

Daru uraian tersebut penelitian ini bermaksud untuk melihat struktur dan

tingkat persaingan bank. Terutama pada bank komersial (umum) konvensional

dalam kelompok Bank Persero (pemerintah) dan bank swasta (BUSN Devisa).

Kedua kelompok bank ini menjadi objek penerlitaian karena sebagaimana

disebutkan sebelumnya, kelompok bank ini mendominasi baik pemberian kredit

dan sumber dana di sektor perbankan secara keseluruhan. Sehingga telaah

mengenai struktur dan tingkat persaingan di kedua kelompok bank ini dianggap

sesuai.

20

Selanjutnya terkait dengan program API, visi yang ingin dicapai adalah

membuat lingkungan perbankan menjadi lebih efisien (Bank Indonesia, 2004).

Visi ini dicapai dengan membentuk struktur perbankan yang sehat (Pilar I) dalam

bentuk penguatan permodalan perbankan. Hal ini berdampak pada praktik merger

dan akuisisi. Di Indonesia sendiri sepanjang tahun 2000-2010 terjadi sekitar 11

merger. Merger ini memunculkan bank-bank baru dengan pangsa besar (seperti

Bank OCBC NISP dan Bank CIMB Niaga). Munculnya bank-bank baru ini

ditambah dengan pangsa yang besar akan berpengaruh kepada struktur dan tingkat

persaingan perbankan terutama di kelompok bank pangsa besar yang dalam hal ini

adalah Bank Persero dan BUSN Devisa. Oleh karena itu perlu telaah lebih lanjut

mengenai struktur pasar dan pengukuran tingkat persaingan industri perbankan di

Indonesia terutama pada kelompok bank persero (pemerintah) dan bank swasta

(BUSN Devisa) pasca penerapan program API oleh Bank Indonesia.

Dari perumusan masalah tersebut dapat diajukan pertanyaan penelitian sebagai

berikut:

1. Bagaimanakah struktur industri bank komersial konvensional di

Indonesia?

2. Adakah perbedaan tingkat persaingan dalam industri bank

komersial konvensional sebelum dan setelah pelaksanaan program

API oleh Bank Indonesia?

21

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3. 1 Tujuan Penelitian

Mengacu kepada pertanyaan penelitian di atas, tujuan penelitian ini

adalah:

1. Mengatahui struktur industri bank komersial konvensional di

Indonesia.

2. Mengetahui perbedaan tingkat persaingan industri bank komersial

konvensional di Indonesia sebelum dan sesudah dilaksanakannya

program API.

1.3. 2 Manfaat Penelitian

Secara praktis manfaat penelitian yang akan dilakukan ini adalah

dapat sebagai informasi guna memantau apakah kebijakan API (Arsitektur

Perbankan Indonesia) yang diterapkan oleh Bank Indonesia sudah sejalan

dengan yang diharapkan. Penelitian yang akan dilakukan ini juga

diharapkan memberi kontribusi empiris terhadap penelitian terkait dengan

tingkat persaingan dalam industri, khususnya industri perbankan.