bab i pendahuluan a. latar belakang...

37
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerintah desa sebagai level pemerintahan terendah, sejatinya dalam era otonomi daerah memiliki kedudukan dan peran yang strategis dalam pelaksanaan pembangunan masyarakat perdesaan. Meskipun faktanya pemerintah desa lebih banyak menangani persoalan administrasi, namun fungsinya dalam pemberdayaan masyarakat dan pembangunan kurang terdengar. Pemerintah sendiri seperti double standar dalam melihat pemerintah desa. Di satu pihak pemerintah mendorong agar kedudukan pemerintah desa lebih kuat, tapi di pihak lain, dalam pelaksanaan program pembangunan, perannya seringkali dipinggirkan. Banyak program pemberdayaan masyarakat yang dikelola kementerian/lembaga melakukan langsung (top down ) ke masyarakat melalui skema BLM (Bantuan Langsung Masyarakat). Biasanya pemerintah desa baru dilibatkan bila ada masalah yang ditemui. Kondisi inilah yang banyak dikeluhkan aparat desa di lapangan. Sepertinya berbagai pihak di pusat masih belum rela memberikan kewenangan kepada pemerintah desa sesuai dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah. Kondisi di atas menjadikan alasan perlunya memperkuat desa dan pemerintah desa. Beberapa upaya langkah strategis yang telah dilakukan antara lain dengan disyahkannya Undang-Undang Nomor 06 tahun 2014 tentang Desa (Kementerian Dalam Negeri) pada tanggal 15 Januari 2014. Salah satu program

Upload: trandieu

Post on 03-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemerintah desa sebagai level pemerintahan terendah, sejatinya dalam era

otonomi daerah memiliki kedudukan dan peran yang strategis dalam pelaksanaan

pembangunan masyarakat perdesaan. Meskipun faktanya pemerintah desa lebih

banyak menangani persoalan administrasi, namun fungsinya dalam pemberdayaan

masyarakat dan pembangunan kurang terdengar. Pemerintah sendiri seperti double

standar dalam melihat pemerintah desa. Di satu pihak pemerintah mendorong agar

kedudukan pemerintah desa lebih kuat, tapi di pihak lain, dalam pelaksanaan

program pembangunan, perannya seringkali dipinggirkan. Banyak program

pemberdayaan masyarakat yang dikelola kementerian/lembaga melakukan

langsung (top down) ke masyarakat melalui skema BLM (Bantuan Langsung

Masyarakat). Biasanya pemerintah desa baru dilibatkan bila ada masalah yang

ditemui. Kondisi inilah yang banyak dikeluhkan aparat desa di lapangan.

Sepertinya berbagai pihak di pusat masih belum rela memberikan kewenangan

kepada pemerintah desa sesuai dengan semangat desentralisasi dan otonomi

daerah.

Kondisi di atas menjadikan alasan perlunya memperkuat desa dan

pemerintah desa. Beberapa upaya langkah strategis yang telah dilakukan antara

lain dengan disyahkannya Undang-Undang Nomor 06 tahun 2014 tentang Desa

(Kementerian Dalam Negeri) pada tanggal 15 Januari 2014. Salah satu program

2

yang sedang gencar diprom osikan oleh Kementerian Dalam Negeri adalah Badan

Usaha Milik Desa (BUMDes), namun setelah diterbitkannya UU Desa penamaan

BUMDes berubah menjadi BUM Desa. Sesuai Undang-undang Nomor 06 Tahun

2014 tentang Desa, dalam bab X diatur juga mengenai BUM Desa. Bahwa Desa

dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa yang disebut dengan BUM Desa.

BUM Desa dikelola dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan. BUM

Desa dapat menjalankan usaha di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum dan

memiliki kesempatan untuk mengelola aset desa seperti: pasar, kawasan

pariwisata, air bersih, dan listrik perdesaan.

Dengan adanya BUM Desa di desa diharapkan sebagai penggerak

perekonomian desa. BUM Desa didirikan dengan kesepakatan melalui

Musyawarah Desa yang ditetapkan dengan Peraturan Desa. Tujuan pembentukan

BUM Desa adalah untuk memperkuat kelembagaan perekonomian desa, BUM

Desa juga menjadi jembatan penghubung antara pemerintah desa dengan

masyarakat dalam melaksanakan pemberdayaan masyarakat dan mengelola

potensi desa untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hasil usaha BUM Desa

dimanfaatkan untuk: pengembangan usaha; dan Pembangunan Desa,

pemberdayaan masyarakat Desa, dan pemberian bantuan untuk masyarakat miskin

melalui hibah, bantuan sosial, dan kegiatan dana bergulir yang ditetapkan dalam

Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.

Badan usaha ini merupakan lembaga ekonom i baru dan perlu landasan

hukum yang kuat. Untuk itu perlu adanya peranan pemerintah dalam melakukan

sosialisasi dan penyadaran kepada masyarakat desa melalui pemerintah provinsi

3

dan/atau pemerintah kabupaten tentang arti penting BUM Desa bagi peningkatan

kesejahteraan masyarakat. Melalui pemerintah desa masyarakat dimotivasi,

disadarkan dan dipersiapkan untuk membangun kehidupannya sendiri. Pemerintah

memfasilitasi dalam bentuk pendidikan dan pelatihan dan pemenuhan lainnya

yang dapat memperlancar pendirian BUM Desa. Sebagaimanan disebutkan dalam

Pasal 90 Bab X UU Desa No 6 Tahun 2014 bahwa Pemerintah, Pemerintah

Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa

mendorong perkembangan BUM Desa dengan : a. memberikan hibah dan/atau

akses permodalan; b. melakukan pendampingan teknis dan akses ke pasar; dan c.

memprioritaskan BUM Des.

Dalam menjalankan usahanya prinsip efisiensi dan efektifitas harus selalu

ditekankan. BUM Desa sebagai badan hukum, dibentuk berdasarkan tata

perundang-undangan yang berlaku, dan sesuai dengan kesepakatan yang

terbangun di masyarakat desa. Dengan demikian, bentuk BUM Desa dapat

beragam di setiap desa di Indonesia. Ragam bentuk ini sesuai dengan karakteristik

lokal, potensi, dan sumberdaya yang dimiliki masing-masing desa. Pengaturan

lebih lanjut tentang BUM Desa diatur melalui Peraturan Daerah (Perda). Jika

kelembagaan ekonomi kuat serta ditopang kebijakan yang memadai, maka

pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan pemerataan distribusi aset kepada

rakyat secara luas akan mampu menanggulangi berbagai permasalahan ekonomi

di pedesaan.

Keberadaan sebuah institusi seperti BUM Desa tidak lepas dari

keberhasilan dan kegagalan. Salah satu faktor penentu keberhasilan/kegagalan

4

organisasi adalah faktor Sumber Daya Manusia (SDM). Keunggulan mutu

bersaing suatu organisasi sangat ditentukan oleh m utu SDM -nya. Penanganan

SDM harus dilakukan secara menyeluruh dalam kerangka sistem pengelolaan

SDM yang bersifat strategic, integrated, interrelated dan united . Organisasi

sangat membutuhkan SDM yang kompeten, memiliki kompetensi tertentu yang

dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan pekerjaannya. Begitu

juga halnya dengan BUM Desa, dengan adanya pengurus dalam mengelola BUM

Desa yang berkompeten. Selain itu, modal sosial juga dianggap sebagai hal yang

penting untuk mengembangkan ekonomi suatu masyarakat. Pada tataran

perkembangan pedesaan keberadaan jaringan yang kuat dari organisasi tingkat

bawah (grassroots) masyarakat sama pentingnya sebagaimana layaknya

perkembangan industri fisik dan teknologi. Elemen modal sosial seperti

kepercayaan, norma dan jaringan dapat berkembang di suatu komunitas.

Demikian juga, keberhasilan kolaborasi dalam suatu usaha seperti unit-unit usaha

yang ada di BUM Desa akan membangun hubungan-hubungan dan kepercayaan

yang pada gilirannya akan memfasilitasi ikatan-ikatan pada masa depan di bidang

lain.

Nilai gotong royong, tolong menolong, yang merupakan bagian dari modal

sosial yang menjadi bagian terpenting dalam kehidupan masyarakat telah semakin

tipis, begitu juga dengan nilai kemandirian, kerja keras, yang pernah meny atu

dalam kehidupan masyarakat. Kilas balik kehidupan masyarakat kita dalam

memenuhi kebutuhan seperti halnya pembangunan sarana ibadah, sekolah, balai

umum, pasar, dan berbagai sarana kehidupan lainnya merupakan bukti dari

5

kemandirian dan kerja keras masyarakat itu sendiri. Akan tetapi, nilai-nilai sosial

seperti itu, sekarang jarang terlihat lagi sebagai bagian dari denyut jantung

masyarakat kita saat ini (Kamarni, 2009).

Nilai-nilai tersebut merupakan bagian dari m odal sosial (social capital)

yang dianggap sebagai hal yang penting untuk mengembangkan ekonomi suatu

masyarakat. Pada tataran perkembangan pedesaan keberadaan jaringan yang kuat

dari organisasi tingkat bawah (grassroots) masyarakat sama pentingnya

sebagaimana layaknya perkembangan industri fisik dan teknologi. Elemen modal

sosial seperti kepercayaan, norma dan jaringan dapat berkembang di suatu

komunitas. Demikian juga, keberhasilan kolaborasi dalam suatu usaha seperti

unit-unit usaha yang ada di BUM Desa akan membangun hubungan-hubungan

dan kepercayaan yang pada gilirannya akan memfasilitasi ikatan-ikatan pada masa

depan di bidang lain.

Eksistensi BUM Desa dari mulai sejak didirikannya sampai saat ini tidak

terlepas dari peran nilai-nilai sosial yang dimiliki yang sejalan dengan modal

sosial yang ada di masyarakat. Menurut Putnam (1993a:169) dalam Field (2010:6)

modal sosial adalah bagian dari organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma dan

jaringan yang dapat memperbaiki efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi

tindakan terkoordinasi.

Eksistensi dan peranan lembaga keuangan di pedesaan (rural financial

institution) tidak selamanya tergantung pada kekuatan eksternal (pemerintah),

tetapi dapat ditumbuhkembangkan oleh kekuatan internal. Kekuatan itu berakar

dari nilai-nilai modal sosial yang hidup dan berkembang di masyarakat pedesaan.

6

Beragamnya lembaga keuangan di pedesaan, seperti lembaga keuangan formal

(LKF), informal (LKI), dan semi formal (LKSF) memberikan ruang gerak yang

luas untuk menganalisis bagaimana potensi modal sosial dan pe ranannya terhadap

eksistensi dan peranan lembaga keuangan yang ada di pedesaan .

Hal terpenting yang harus disadari adalah bagaimana pembangunan modal

sosial, sebagai kunci utama bagi pembangunan berkelanjutan, dapat sepenuhnya

dilaksanakan, sehingga tercapai masyarakat yang cerdas dan sejahtera. Banyak

bukti menunjukkan bahwa masyarakat yang makmur adalah masyarakat yang

modal sosialnya tinggi, yaitu tercermin dari kehidupan sosialnya yang harmonis,

saling memberi, ada kebersamaan dan saling percaya serta terdapat tingkat

toleransi yang tinggi dalam kehidupan bermasyarakat. Fukuyama (2001) percaya

bahwa keunggulan suatu masyarakat dan negara yang dapat survive dalam abad

ke-21, adalah ditentukan oleh faktor social capital (modal sosial) yang tinggi,

yaitu high trust society . Negara yang mempunyai modal sosial tinggi adalah

masyarakat yang mempunyai rasa kebersamaan tinggi, rasa saling percaya (baik

vertikal maupun horizontal), serta saling memberi. Selanjutnya dikatakan bahwa

hal ini bisa terwujud kalau masing-masing individu dan golongan masyarakat

menjunjung tinggi rasa saling hormat, kebersamaan, toleransi, kejujuran dan

menjalankan kewajibannya.

Grootaert (2001) menyatakan bahwa perkembangan ekonomi yang terjadi

pada level individu, rumah tangga, bahkan negara tidak selalu bisa dijelaskan dari

faktor-faktor input berupa tenaga kerja, sumberdaya lahan, dan kapital fisik

belaka. Modal sosial (social capital) telah menjadi salah satu variabel yang

7

dipertimbangkan sebagai penjelas semenjak beberapa dekade terakhir ini. Pada

level makro, modal sosial terbukti memiliki peran pada kemajuan ekonomi yang

dicapai sekelompok masyarakat. Karena itu, pemahaman terhadap modal sosial

yang dimiliki masyarakat sangat perlu karena dapat mempengaruhi bagaimana

kebijakan pembangunan dan desain program yang akan diimplementasikan.

Modal sosial terdiri atas tiga komponen, yaitu kepercayaan ( trust), norma

(social norm) dan jaringan (network). Grootaert (2001) menyebutkan bahwa,

keberadaan institusi dan asosiasi lokal merupakan bahan yang menentukan kuat

atau lemahnya jaringan sosial di masyarakat bersangkutan. Banyak riset

membuktikan bahwa asosiasi lokal berperan dalam kegiatan program

pembangunan, yang berjalan melalui 3 mekanisme yaitu: wadah untuk berbagi

informasi antar anggota, mengurangi peluang perilaku oportunis, dan

memfasilitasi pembuatan keputusan kolektif. Juga disebutkan bahwa, pada level

komunitas, asosiasi lokal memiliki kesejajaran dengan modal sosial, meskipun

kedua hal ini tidak sinonim secara timbal balik. Penelitian Grootaert (2001) ini

bertujuan mempelajari kondisi keanggotaan masyarakat pedesaaan dalam

organisasi-organisasi, serta mempelajari derajat keefektifan partisipasi masyarakat

dalam asosiasi. Keterlibatan dan partisipasi dalam institusi lokal ini merupakan

indikator utama untuk memahami modal sosial yang dimiliki masyarakat

bersangkutan. BUM Desa merupakan institusi lokal yang ada di desa yang

memiliki ragam bentuk sesuai dengan karakteristik lokal, potensi, dan sumberdaya

yang dimiliki masing-masing desa. BUM Desa dapat beragam di setiap desa di

Indonesia.

8

Di Indonesia, di beberapa Kabupaten telah banyak desa yang mempunyai

BUM Desa, ada yang secara mandiri mengembangkan potensi ekonomi desa yang

sudah ada, ada juga yang sedikit dipaksakan oleh Pemerintah Kabupaten setempat

dengan diberikan stimulan permodalan awal dari APBD Kabupaten melalui dana

hibah dengan status dana milik masyarakat desa dan menjadi saham dalam BUM

Desa, Seperti di Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan semua desa telah

membentuk BUMDesa dengan stimulan permodalan awal dari APBD Kabupaten

melalui dana hibah sebesar 10.000.000,- per desa dengan status dana milik

masyarakat desa dan menjadi saham dalam BUMDesa. Demikian juga di

Kabupaten Rokan Hulu (Rohul) Provinsi Riau, pembentukan BUMDesa di 151

desa dengan diberikan stimulan dana dari APBD Kabupaten dan APBD Provinsi,

yang saat ini menjadi percontohan terbaik se Indonesia adalah BUMDesa Bangun

Jaya, Kecamatan Tambusai Utara, Kabupaten Rokan Hulu. Sama halnya dengan

Kabupaten Bandung Jawa Barat, 267 desa telah mendirikan BUM Desa dengan

stimulan dana dari Pemerintah Kabupaten. Tetapi saat ini hanya 84 BUM Desa

yang berkembang dengan baik. Penyebabnya antara lain adala h tidak dikelolanya

BUM Desa secara professional. Begitu halnya dengan Kabupaten Majalengka,

semua desa yang ada di Kabupaten tersebut sudah mendirikan BUM Desa. Namun

pembentukan BUM Desa tersebut atas prakarsa pemerintah setempat, karena ada

kebijakan Gubernur Jawa Barat untuk desa peradaban. Dimana desa diberikan

dana 1 Milyar dan salah satu diperuntukan untuk dana stimulan modal BUMDesa.

Di Kabupaten Gunungkidul, salah satu Kabupaten di Propinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta, kebijakan dari pemerintah kabupaten yang berkaitan

9

dengan BUM Desa dalam hal pembinaan hanya bersifat pendampingan tanpa di

sertai penyertaan pendampingan modal. Akibat tidak adanya penyertaan modal

dari pemerintah, masyarakat berinisiatif untuk mendirikan BUM Desa melalui

swadaya seperti yang di anjurkan oleh pemerintah.

Kebutuhan bersama masyarakat Gunungkidul akan jasa lembaga simpan

pinjam direalisasikan dengan membangun BUM Desa. Untuk menjalankan

kegiatan rutin BUM Desa berdasarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip BUM Desa

sehingga mampu menjaga eksistensinya sampai saat ini yang memberikan

kontribusi baik secara makro bagi masyarakat sekitar secara umum dan secara

mikro bagi anggotanya.

Kepercayaan sebagai dasar dalam memberikan pinjaman kepada

anggotanya membuat BUM Desa sebagai lembaga non bank yang bebeda dengan

lembaga bank pada umumnya. Kepercayaan yang dibangun dijadikan menjadi

salah satu lembaga non bank bagi masyarakat Gunungkidul pada umumnya dan

kepada anggota nya secara khusus.

Untuk melihat bagaimana perkembangan dan dinamika BUM Desa

sebagai salah satu tonggak penguatan kelembagaan perekonomian desa, penulis

melakukan penelitan di dua desa di Kabupaten Gunungkidul yaitu Desa

Karangrejek dan Desa Bleberan. Keberhasilan Desa Karangrejek dalam

pengelolaan BUM Desa menarik perhatian peneliti untuk membandingkan

pengelolaan BUM Desa yang ada di Desa B leberan Kecamatan Playen Kabupaten

Gunungkidul yang juga berhasil dalam pengelolaan BUM Desa serta berpotensi

untuk meningkatkan Pendapatan Asli Desa Bleberan, sehingga terbentuknya

10

BUMDesa yang pada awalnya mengelola unit usaha Pengelola Air Bersih di desa

ini dengan didukung potensi sumber mata air dan aspek pasar yang memadai,

serta adanya SDM pengelola telah berkembang dan mampu memberikan

kontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan dan memberdayakan masyarakat .

Di Desa Karangrejek Kecamatan Wonosari, BUM Desa yang dibentuk

dengan memberdayakan dan mengembangkan aset Lembaga Ekonomi Desa yang

ada tanpa stimulan dana dari APBD Kabupaten dan APBD Provinsi. Selain itu,

Desa Karangrejek juga memanfaatkan nilai asset dari Departemen PU dalam

Program Pengembangan Air Tanah (P2AT) di tahun 2007.

Jenis usaha yang dikembangkan di Desa Karangrejek adalah pengelolaan

air bersih yang saat ini asetnya sudah mencapai 1 Milyar dan pengelolaan simpan

pinjam. Di Desa Karangrejek secara swadaya masyarakat menggali sum ur untuk

kebutuhan air bersih, untuk minum, mandi dan cuci. Permasalahan yang sering

tiba bilamana musim kemarau panjang, biasa dipastikan seluruh sumur gali

kering, sehingga kembali lagi mengambil air hanya ke sungai, atau sumur pompa.

Diawali dari kesulitan untuk m endapatkan air bersih, di masa Pemerintah Orde

Baru ada program untuk Pembuatan sumur gali untuk tanaman sayur di ladang

pertanian, sumur dalam melalui Program Pengembangan Air Tanah (P2AT) baik

untuk irigasi maupun untuk air minum.

Walaupun dihadapkan dengan banyak tantangan eksternal maupun

internal, BUM Desa Karangrejek mampu bertahan. Hal ini dapat dilihat dari

perkembangan asset awal dari PU sebesar Rp. 1.056.065.444 serta bantuan dari

APBDes sebesar 10 juta telah menunjukkan perkembangan pendapatan dan

11

mampu berkontribusi BUM Desa pada PADes serta perkembangan pemasangan

sambungan rumah sebagaimanan dapat dilihat pada Tabel 1.1, 1.2 dan 1.3

dibawah ini.

Tabel 1.1

Perkembangan Aset/Modal BUM Desa Karangrejak Didasarkan Atas Swadaya

Masyarakat

Tahun Swadaya Jumlah

2008 345.308.550 345.308.550

2009 202.571.450 547.880.000

2010 127.217.894 675.097.894

2011 75.750.000 750.847.894

JMH 750.847.894

Sumber : Desa Karangrejek

Tabel 1.2

Perkembangan Pendapatan Dan Kontribusi Pada PADes

Tahun Pendapatan

Biaya

Operasional

Dana

Pemupukan/

Cadangan

PADes

2008

167.032.665

88.374.590

78.658.075

9.716.515

2009

227.018.374

123.828.204

103.190.170

20.638.034

2010

272.268.832

148.510.272

123.758.560

24.751.712

2011

343.098.122

187.144.430

155.953.692

31.190.738

Sumber : Desa Karangrejek

Tabel 1.3

Perkembangan Pemasangan Sambungan Baru PAB Desa Karangrejek

Tahun Pemasangan Jumlah Total

2008 465 465

2009 117 582

2010 119 701

20111 98 799

Sumber : Desa Karangrejek

12

Di desa Karangrejek dalam mendirikan lembaga kredit desa (LKD)

memanfaatkan modal hibah dari pemerintah, seperti IDT, UED, UED.SP, Aset

dari LPMD Sendiri (dana BANDES.) dan Perguliran program program dirjen

cipta karya, dep. PU PPKL, yang kemudian dijadikan sebagai modal awal dalam

pengelolaan unit usaha kredit mikro. Sebagaimana terlihat pada tabel 1.4 di bawah

ini.

Tabel 1.4

Sumber Modal UKM Karangrejek

KET. S.D. 2005 2010 2011 JUMLAH

UED. 1.000.000 0 0 1.000.000

UED.SP. 950.000 0 0 950.000

IDT 12.224.440 0 0 12.224.440

APBDes. 9.800.000

PENGEMB 11.525.560 0 0 21.325.560

PPKL (PU) 0 59.000.000 27.500.000 86.500.000

PAB.TK 0 55.514.000 2.000.000 57.514.000

PEMKAB. 0 0 0 0

PH.III 0 0 0 0

JUMLAH 35.500.000 114.514.000 29.500.000 179.514.000

Sumber : Desa Karangrejek

Terbentuknya BUM Desa di Desa Bleberan Kecamatan Playen,

memanfaatkan dana pusat PKPS BBM sebesar Rp. 250.000.000 ditahun 2007.

Kemudian dari hasil musyawarah pemerintahan desa dan masyarakat adanya

kemauan untuk mengembangkan BUM Desa. Berawal dari sebuah keprihatinan

dengan Pendapatan Asli Desa (PADes) Bleberan yang rata -rata per tahun hanya

Rp.1.000.000,- sehingga ada keinginan dari masyarakat setempat untuk

melakukan perubahan untuk bisa meningkatkan pendapatan asli desa. Selain itu

13

juga adanya keprihatinan warga masyarakat tentang kesulitan akan air bersih.

Dengan bermodalkan optimisme masyarakat, adanya potensi yang dapat di kelola

sebagai sumber mata air, adanya sumber daya manusia sebagai pengelola dan

mereka menganggap ini sebagai peluang usaha untuk peningkatan pendapatan

desa (PADes).

Pada tahun 2007 BUM Desa yang ada di Desa Bleberan (saat itu belum

BUM Desa) mendapat dana pusat PKPS BBM sebesar Rp. 250.000.000 yang di

pergunakan untuk pembangunan jaringan perpipaan dan bak resorvoar serta

generator, kemudian ada penawaran program tentang BUM Desa kepada BPD,

LPMD. Pada awalnya memang susah memberikan pengertian tentang BUM Desa

kepada BPD dan LPMD karena pada tahun 2007 belum adanya peraturan

pemerintah dan juga Perda yang mengatur tentang BUM Desa sehingga banyak

pertentangan. Dan baru ditetapkan peraturan Kepala Desa, namun masih bersifat

mengatur tentang kepengurusan, pengelolaan air bersih.

Untuk penentuan jenis usaha Desa Bleberan dengan melihat potensi alam

(sumber mata air) dan potensi masyarakat maka sebagai awal kegiatan BUM

Desa adalah mengelola Unit Pengelolaan Air Bersih (PAB). Dibentuk karena

adanya kebutuhan air bersih, disetiap musim kemarau mengalami kekurangan air

bersih, bahkan per kk 1 s/d 5 tengki per bulan @ Rp. 100.000.-, tersedianya

sumber mata air, fasilitas pemerintah PKPS BBM, dan yang terpenting adalah

menyiapkan kebutuhan air baku kepada masyarakat.

Kedua, Unit Pengelolaan UED SP dibentuk karena masyarakat kesulitan

dalam mengakses perbankan karena lumayan jauh, kemudian prosedur yang

14

cukup sulit, sehingga di perlukan untuk mendekatkan kepada masyarakat sebuah

LKM, maka dibentuklah kegiatan simpan pinjam baik untuk masyarakat Desa

Bleberan dan juga masyarakat se-kec. Playen sebagai Unit kegiatan BUM Desa.

Di bawah ini dapat dilihat pada tabel 1.5 perkembangan pendapatan BUM Desa

Bleberan dari dua unit kegiatan, yaitu pengelolaan air bersih dan pengelolaan

UED SP.

Tabel 1.5

Pendapatan BUM Desa Bleberan

Tahun Pendapatan Biaya oprasional Dana pemupukan

& cadangan

PADes

2007 84,643,520 36,235,944 44,288,376 0

2008 117,838,650 42,361,404.5 51,775,050.25 4,740,439

2009 110,494,340 38,705,853.5 47,307,496.5 4,896,208

2010 122,500,000 41,090,683.5 50,221,946.5 4,213,000

Sumber : Desa Bleberan

Desa Karangrejek dan Desa Bleberan, selain sama-sama mengembangkan

Badan Usaha Milik Desa, Kedua desa juga banyak memiliki potensi yang bisa

dikembangkan sehingga menjadi peluang untuk mengembangakan BUM Desa.

Diantaranya potensi sumber daya manusia yang produktif, potensi budaya lokal

setempat, potensi sumber daya alamnya.

Dari pemaparan diatas, penulis ingin melihat lebih jauh bagaimana

dinamika dan perkembangan BUM Desa di kedua desa di Gunungkidul tersebut.

Dinamika dan perkembangan tersebut akan dituliskan dalam thesis ini yang

berjudul, “Peranan Modal Sosial dalam Pengelolaan BUM Desa di Desa

Karangrejek dan Desa Bleberan, Kabupaten Gunung kidul.”

15

B. Perumusan Masalah

Oleh karena itu rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah dinamika modal sosial yang dimiliki masyarakat Desa

Karangrejek dan Desa Bleberan dalam pengelolaan BUMDesa.

2. Bagaimanakah kontribusi dan peranan modal sosial terhadap pengelolaan

BUMDesa Desa Karangrejek dan Desa Bleberan.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika modal sosial yang

dimiliki masyarakat Desa Karangrejek dan Desa Bleberan dalam pengelolaan

BUM Desa serta mengetahui kontribusi dan peranan modal sosial terhadap

pengelolaan BUM Desa Desa Karangrejek dan Desa Bleberan.

D. Manfaat Penelitian

Selanjutnya manfaat yang diharapkan dari kajian dan penelitian ini adalah sebagai

berikut

a. Bagi mahasiswa : diharapkan penelitian ini bisa menjadi referensi akademik

tentang modal sosial dalam pengelolaan BUM Desa dan bisa mnejadi tonggak

awal untuk penelitian tentang modal sosial dalam pengelolaan BUM Desa

b. Dengan adanya penelitian ini menjadi salah satu sumber informasi dan

masukan bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan dalam menumbuhkan

keberdayaan dan kesejahteraan masyarakat pedesaan.

16

c. Bagi BUM Desa : bisa menjadi masukan terhadap upaya menumbuhkan

modal sosial di desa, meningkatkan kualitas pelayanan dan sumber daya serta

peningkatan kesejahteraan masyarakat.

E. KERANGKA TEORI

E.1. Konsep Modal Sosial

Semua kelompok masyarakat (suku bangsa) di Indonesia pada hakekatnya

mempunyai potensi-potensi sosial budaya yang kondusif dan dapat menunjang

pembangunan (Berutu, 2002: 9) dalam Simarmata (2009: 1). Potensi ini terkadang

terlupakan begitu saja oleh kelompok masyarakat sehingga tidak dapat

difungsionalisasikan untuk tujuan-tujuan tertentu. Tetapi banyak juga kelompok

masyarakat yang menyadari akan potensi-potensi sosial budaya yang dim ilikinya,

sehingga potensi-potensi tersebut dapat dimanfaatkan secara arif bagi keperluan

kelompok masyarakat itu sendiri. Salah satu potensi sosial budaya tersebut adalah

modal sosial. Secara sederhana modal sosial merupakan kemampuan masyarakat

untuk mengorganisir diri sendiri dalam memperjuangkan tujuan mereka. Modal

sosial bisa dikatakan sebagai sumber daya sosial yang dimiliki oleh masyarakat.

Sebagai sumber daya, modal sosial ini memberi kekuatan atau daya dalam

beberapa kondisi-kondisi sosial dalam masyarakat.

Fukuyama (2002) dalam Simarmata (2009: 22), menjelaskan social capital

secara sederhana bisa didefinisikan sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-

norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok

masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Jika

17

anggota-anggota kelompok itu mengharapkan para anggota yang lain akan

berperilaku jujur dan terpercaya, maka mereka akan saling mempercayai.

Hal yang sama juga digambarkan oleh Grootaert (1999) dalam Kamarni

(2009: 3), bahwa semakin meningkatnya stock social capital, meningkat pula ex

post kesejahteraan masyarakat (net benefit) sebagai hasil meningkatnya jumlah

transaksi, joint venture, output, kualitas hidup, kualitas lingkungan dan

kemudahan lainnya yang dinikmati oleh penduduk.

Menurut Franscis Fukuyama ada tiga bentuk modal sosial yakni

kepercayaan atau trust, norma-norma atau norms dan jaringan-jaringan atau

networks (Syahyuti, 2006).

a. Kepercayaan (Trust)

Kepercayaan (trust) merupakan harapan yang tumbuh di dalam sebuah

masyarakat yang ditujukan oleh adanya perilaku jujur, teratur, dan kerja sama

berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. Kepercayaan sosial

merupakan penerapan pemahaman ini. Dalam masyarakat yang memiliki

kepercayaan tinggi, aturan sosial cenderung positif, hubungan-hubungan juga

bersifat kerjasama.

Kepercayaan sosial pada dasarnya merupakan produk dari modal sosial yang

baik. Adanya modal sosial yang baik ditandai oleh adanya lembaga -lembaga

sosial yang kokoh. Modal sosial melahirkan kehidupan sosial yang harmonis.

Kerusakan m odal sosial akan menimbulkan anomi dan perilaku anti

sosial.(Suharto, 2008). Modal sosial (social capital) adalah kapabilitas yang

18

muncul dari kepercayaan umum dalam sebuah masyarakat atau bagian -bagian

tertentu darinya.

b. Norma (norm)

Norma merupakan kumpulan aturan, nilai, harapan dan tujuan yang dipatuhi,

diikuti dan dijalankan bersama oleh anggota masyarakat pada intitas tertentu.

Norma-norma ini bisa timbul dari agama, dari kaidah-kaidah moral atau

budaya maupun standar lain yang dapat saja merupakan kesepakatan bersama

seperti kode etik professional. Norma-norma ini biasanya melembaga dan

mengandung sanksi sosial yang dapat mencegah individu berbuat sesuatu yang

menyimpang dari kebiasaan yang berlaku dalam masyarakatnya. Norma dapat

berupa pra-kondisi maupun dari kepercayaan sosial (Hasbullah, 2006:111).

c. Jaringan (Network)

Jaringan merupakan wadah suatu produk interaksi antar manusi. Modal sosial

yang memiliki wadah yang memfasilitasi interaksi tersebut, biasany berupa

jaringan-jaringan kerjasama antar manusia. Jaringan inilah yang berfungsi

sebagai wadah terjadinya komunikasi dan interaksi yang memungkinkan

tumbuhnya kepercayaan dan terjadinya kerja sama.

Masyarakat yang sehat cenderung memiliki jaringan-jaringan sosial yang kokoh.

Ruang bertemu dan saling berkenalan dengan orang lain. Mereka kemudian

membangun relasi yang kental, baik bersifat formal maupun informal. Jaringan-

jaringan sosial yang erat akan memperkuat perasaan kerjasama para anggotanya

serta dapat mengambil manfaat dari partisipasinya itu.

19

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya dasar terbentuknya modal

sosial adalah rasa percaya (trust). Kepercayaan (trust) menjadi pengikat

masyarakat. Pada masyarakat Low Trust’ ikatan kelembagaan /institusi diikat oleh

keanggotaan dalam keluarga. Karena dalam ikatan keluarga trust tidak perlu

dipermasalahkan. Anggota keluarga adalah bagian diri sendiri. Selain i ni pada

kelompok multi e tnik, kepercayaan antar anggota etnik yang sama lebih mudah

berkembang daripada antar etnik. Fukuyama berpendapat bahwa trust

berkolaborasi dengan pertumbuhan ekonomi (Fukuyama, 2008:26).

Putnam (1993) menunjukkan bukti bahwa pertumbuhan ekonomis sangat

berkorelasi dengan kehadiran m odal sosial. Pertum buhan ekonomi suatu

masyarakat akan baik apabila ciri-ciri berikut ini dimiliki oleh masyarakat :

1. Hadirnya hubungan yang erat antar anggota masyarakatnya.

2. Adanya para pemimpin yang jujur dan egal iter yang memperlakukan dirinya

sebagai bagian dari masyarakat buakan sebagai penbgausa

3. Adanya rasa saling percaya dan kerjasama di antara unsur masyarakat.

E.2. Konsep Kelembagaan

Kelembagaan (institution) menurut Uphoff (1986:8-9) merupakan

kompleksitas norma dan pola perilaku yang berorientasi pada tujuan bernilai

sosial tertentu secara kolektif. Kelembagaan dapat berwujud organisasi seperti

pengadilan dan bukan organisasi seperti hukum.

Dengan demikian kelembagaan menurut Uphoff (1986) berhubungan

dengan pola-pola tindakan individu dalam ruang hidupnya. Dalam kaitannya

dengan ini, kelembagaan ditentukan pula oleh tingkatan pengambilan keputusan

20

dalam masyarakat, mulai dari individu hingga internasional (Uphoff, 1986:11).

Tingkatan pengambilan keputusan terpenting untuk pembangunan pedesaan

berada pada level lokalitas sehingga kemudian ia mengajukan kelembagaan lokal

sebagai alternatif pembangunan ( local institution development-LID). Yang

dimaksud dengan kelembagaan level lokal adalah level lokalitas (atau setingkat

kota kecamatan di Indonesia), level komunitas (seperti desa di Indonesia), dan

level grup (seperti kelompok rumah tangga/rukun tetangga di Indonesia).

Jadi institusi lokal merupakan asosiasi komunitas setempat yang

bertanggung jawab atas proses kegiatan pembangunan setempat (Esman dan

Uphoff, 1982:9), seperti rukun tetangga, arisan , kelompok pengajian, kelompok

ronda dan sejenisnya. Yang jelas institusi ini memberikan manfaat bagi

masyarakat dan pemerintah setempat.

Institusi lokal dalam komunitas harus dilihat sebagai suatu sistem yang

saling silang menyilang (cross-cutting affiliation) dan institusi lokal telah

menyediakan jaring pengaman sosial (sosial safety net) ketika komunitas lokal

berada dalam situasi krisis. Kehadiran institusi lokal bukan atas kepentingan

pribadi/individu tetapi atas kepentingan bersama, sehingga institusi lokal lama

kelamaan menduduki pada posisi penting dalam penyelenggaraan pemerintahan

lokal. Rasa saling percaya warga komunitas lokal yang digalang dan diasah

melalui institusi ini semakin hari semakin didambakan sebagai modal sosial

(social capital).

21

Institusi lokal ternyata mampu menjadi bingkai etika komunitas lokal

(Santoso, 2002: 6). Institusi lokal pada dasarnya adalah regulasi perilaku kolektif,

di mana sandarannya adalah etika sosial, sehingga institusi lokal mampu

menghasilkan kemampuan mengatur diri sendiri dari kacamata normatif.

Pada bagian lain Uphoff menjelaskan argumentasi pentingnya kelembagaan

lokal untuk mengelola sumberdaya alam dan membangun pedesaan (Uphoff,

1992, 2001). Rasionalisasi bagi kelembagaan lokal itu adalah sebagai berikut:

1. Kelembagaan di level lokal penting untuk memobilisasi sumberdaya dan

mengatur penggunaannya dengan suatu pandangan jangka panjang terhadap

pemeliharaan dan aktivitas produktif.

2. Sumberdaya yang tersedia dapat dimanfaatkan secara paling efisien dan

berkelanjutan karena menggunakan sistem pengetahuan spesifik lokal.

3. Perubahan status sumber daya dapat dipantau secara lebih cepat dengan biaya

rendah.

4. Bila kelembagaan lokal tidak mampu menyelesaikan konflik manajemen

sumberdaya maka penyelesaiannya dapat diserahkan pada level yang lebih

tinggi.

5. Perilaku orang-orang dikondisikan oleh norma-norma dan konsensus

komunitas.

6. Institusi menodorong orang-orang untuk menggunakan cara pandang jangka

panjang melalui harapan-harapan dan basis kerjasama antar-individu yang

berkepentingan.

22

Menurut sektornya (Uphoff, 1986) kelembagaan lokal merupakan suatu

kontinum antara sektor publik (public sector) dan sektor privat (privat sector)

(Uphoff, 1986: 4-5). Di tengah-tengahnya terdapat sektor antara yang bersifat

sukarela (voluntary sector) yakni dicirikan oleh ciri-ciri publik dan privat. Urutan

kontinum itu adalah administrasi lokal ( local administration); pemerintahan lokal

(local government); organisasi sosial berbasis keanggotaan (membership

organizations) meliputi organisasi dengan tugas jamak, tugas spesifik, dan sesuai

kebutuhan anggota; koperasi (cooperatives); organisasi bergerak bidang jasa

(services organizations); dan bisnis privat (private business). Urutan pertama dan

kedua adalah kelembagaan sektor publik, urutan ketiga dan keempat sektor

sukarela, sedangkan urutan klima dan keenam adalah sektor privat.

Badan usaha m ilik desa sebaga i salah satu kelembagaan (institusi) ekonomi

desa yang dibentuk didasarkan atas modal sosial merupakan perwujudan dari

adanya hubungan interaksi sosial masyarakat setempat untuk meningkatkan

perekonomian desa berdasarkan aturan-aturan yang telah ditetapkan. Menurut

Bardhan (1993), kelembagaan (institusi) akan lebih akurat bila didefenisikan

sebagai aturan-aturan sosial, kesepakatan (convention), dan elemen lain dari

struktur kerangka kerja interaksi soaial. North (1994) memaknai kelembagaan

sebagai aturan-aturan yang membatasi perilaku menyimpang manusia (human

devised) untuk membangun struktur interaksi ekonomi, politik dan sosial. Melalui

rentetan sejarah, kelembagaan yang dapat meminimalisasi perilaku manusia yang

menyimpang telah berhasil menciptakan ketertiban dan mengurangi

ketidakpastian dalam melakukan pertukaran (exchange). Coleman (1988)

23

menegaskan bahwa modal sosial dapat berwujud pada tiga bentuk. Pertama

kewajiban (obligations) dan harapan (expectations) yang tergantung pada

kepercayaan (trustworthiness) pada lingkungan sosial. Kedua, kapasitas informasi

yang mengalir dari struktur sosial untuk menyediakan basis tindakan, dan ketiga,

kehadiran norma yang didampingi dengan sanksi efektif.

E.3. Sosial Kapital dalam Pengembangan Kelembagaan

Modal sosial dapat diartikan sebagai karakteristik dari hubungan antar

individu dalam suatu organisasi sosial maupun dengan individu diluar organisasi

yang dapat berwujud kepercayaan sosial, norma dan jaringan sosial yang

memungkinkan setiap individu yang ada di dalamnya untuk melakukan kerjasama

untuk mencapai tujuan bersama.

Modal sosial yang terbentuk di masyarakat dapat memiliki bentuk yang

beraneka ragam, baik itu berupa organisasi maupun nilai-nilai yang berkembang

dimasyarakat. Wujud nyata dari modal sosial yang terjadi di masyarakat tidak

dapat dilepaskan dari sistem budaya yang di masyarakat itu sendiri. Hermawati

dan Handari (2003) dalam Ambara (2009: 4) mengungkapkan bentuk -bentuk

modal sosial yang berkembang di masyarakat sebagai : hubungan sos ial, adat dan

nilai budaya lokal, toleransi, kesediaan untuk mendengar, kejujuran, kearifan

lokal dan pengetahuan lokal, jaringan sosial dan kepemimpinan sosial,

kepercayaan, kebersamaan dan kesetiaan, tanggung jawab sosial, partisipasi

masyarakat, dan kemandirian.

24

1. Kepercayaan (Trust)

Kepercayaan adalah rasa percaya yang terjadi antara dua orang atau

lebih untuk saling berhubungan. Ada tiga hal inti yang saling terkait dalam

kepercayaan, yaitu: (1) Hubungan antara dua orang atau lebih. Termasuk dalam

hubungan tersebut adalah institusi, yang dalam hal ini diwakili oleh orang.

Seseorang percaya pada institusi tertentu untuk kepentingannya, karena orang -

orang dalam institusi itu bertindak. (2) Harapan yang akan terkandung dalam

hubungan itu, yang kalau direalisasikan tidak akan merugikan salah satu atau

kedua belah pihak. (3) Interaksi sosial yang memungkinkan hubungan dan

harapan itu terwujud. Dengan ketiga dasar tersebut kepercayaan dapat diartikan

sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih yang mengandung harapan yang

menguntungkan salah satu atau kedua belah pihak melalui interaksi sosial

(Lawang, 2004: 46).

Percaya berarti seseorang memiliki kerelaan menerima segala resiko

dalam hubungan-hubungan sosialnya berdasarkan pada keyakinan bahwa orang

lain akan melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang diharapkan dan bertindak

saling menguntungkan. Percaya yaitu menerima dan mengabaikan

kemungkinan bahwa sesuatu akan tidak benar (Casson dan Godley dalam

Vipriyanti 2007 :23).

Rasa percaya merupakan dasar dari perilaku moral dimana modal sosial

dibangun. Moralitas mengarahkan bagi kerjasama dan koordinasi sosial dari

semua aktivitas sehingga manusia dapat hidup bersama dan berinteraksi satu

25

sama lain. Sepanjang adanya rasa percaya, perilaku dan hubungan

kekeluargaan maka akan terbangun prinsip-prinsip resiproksitas dan

pertukaran. Sebagai alat untuk membangun hubungan, rasa percaya dapat

menekan biaya-biaya transaksi yang muncul dalam proses kontak, kontrak dan

kontrol. Dengan demikian semua orang tentunya akan lebih menyukai

hubungan yang didasari oleh rasa saling percaya dibandingkan dengan

hubungan yang oportunistik.

Rasa percaya akan mempermudah terbentuknya kerjasama. Semakin

kuat rasa percaya pada orang lain semakin kuat juga kerjasama yang terjadi

diantara mereka. Kepercayaan sosial muncul dari hubungan yang bersumber

pada norma resiprositas dan jaringan kerja dari keterkaitan warga negara.

Dengan adanya rasa saling percaya, tidak dibutuhkan aktivitas monitoring

terhadap perilaku orang lain agar orang tersebut berperilaku sesuai dengan

yang kita inginkan.

Kepercayaan dapat dibangun, akan tetapi dapat juga hancur. Demikian

juga kepercayaan tidak dapat ditum buhkan oleh salah satu sumber saja, tetapi

seringkali tum buh berdasarkan pada hubungan teman dan keluarga

(Williamson dalam Vipriyanti, 2007). Rasa percaya ditentukan oleh

homogenitas, komposisi populasi dan tingkat keberagaman. Rasa percaya yang

tinggi ditemukan pada wilayah dengan ras dan komposisi populasi yang

homogen serta tingkat kebergaman yang rendah.

Hasbullah (2006:9), menyatakan bahwa berbagai tindakan kolektif yang

didasari atas rasa saling percaya mempercayai yang tinggi akan meningkatkan

26

partisipasi masyarakat dalam berbagai ragam bentuk dan dimensi terutama

dalam konteks membangun kemajuan bersama. Ketiadaan rasa saling percaya

dalam masyarakat akan mengundang berbagai masalah sosial yang serius.

Masyarakat yang kurang memiliki rasa saling percaya akan sulit menghindari

berbagai situasi kerawanan sosial dan ekonomi yang mengancam. Semangat

kolektifitas dan partisipasi masyarakat untuk membangun bagi kepentingan

kehidupan yang lebih baik akan hilang. Lambat laun akan mendatangkan biaya

tinggi bagi pembangunan karena masyarakat cenderung bersikap apatis dan

hanya menunggu apa yang diberikan oleh pemerintah dan pihak-pihak lain.

Jika rasa saling mempercayai sudah lemah, maka yang akan terjadi adalah

sikap-sikap yang menyimpang dari nilai dan norma yang berlaku, kriminalitas

akan meningkat, tindakan-tindakan destruktif dan anarkhis gampang mencuat,

kekerasan dan kerusuhan massa akan cepat tersulut. Kurangnya rasa saling

percaya juga membuat masyarakat cenderung pasif, sendiri-sendiri dan pada

akhirnya muncul perasaan keterisolasian diri. Pada situasi yang de mikian

masyarakat akan gampang terserang berbagai penyakit kejiwaan seperti

kecemasan, putus asa, dan kemungkinan akan melekukan tindakan-tindakan

yang fatal bagi dirinya maupun bagi orang lain.

2. Jaringan (Network)

Modal sosial tidak hanya dibangun oleh satu orang, te tapi oleh

kemampuan suatu kelompok untuk bersosialisasi dan berinteraksi. Kuat

lemahnya modal sosial sangat tergantung oleh kapasitas yang dimiliki oleh

suatu kelompok untuk membangun sejumlah asosiasi dan jaringan yang solid.

27

Jaringan-jaringan tersebut memfasilitasi terjadinya komunikasi dan interaksi,

memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan memperkuat kerjasama.

Dalam menjalin interaksi dengan sesamanya, masyarakat memiliki

karakteristik hubungan yang didasarkan atas prinsip kesamaan, kebebasan,

kesukarelaan, dan keadaban. Kemampuan anggota-anggota kelompok/

masyarakat untuk selalu menyatukan diri dalam suatu pola hubungan yang

sinergitas akan sangat besar pengaruhnya dalam menentukan kuat tidaknya

modal sosial suatu kelompok (Hasbullah, 2006: 9). Jaringan merupakan sumber

pengetahuan yang menjadi dasar dalam pembentukan kepercayaan. Lawang

(2004: 63) mengungkapkan bahwa jaringan menunjuk pada semua hubungan

dengan orang atau kelompok lain yang memungkinkan pengetasan masalah

dapat berjalan secara efisien dan efektif.

Berdasarkan tinjauan hubungan sosial yang membentuk jaringan so sial

dalam suatu masyarakat, maka jaringan sosial dapat dibedakan menjadi tiga

jenis sebagai berikut:

1. Jaringan kekuasaan, dimana hubungan sosial yang terbentuk bermuata n

kepentingan kekuasaan.

2. Jaringan kepentingan, dimana hubungan sosial yang membentuknya

adalah hubungan sosial yang bermuatan kepentingan.

3. Jaringan perasaan, dimana jaringan sosial yang terbentuk atas dasar

hubungan sosial yang bermuatan peran.

Masing-masing jenis jaringan sosial tersebut memiliki logika -situasional yang

berbeda-beda antara satu dengan lainnya (Agusyanto, 2007: 34-35).

28

Jaringan kepentingan terbentuk oleh hubungan yang bermuara pada

tujuan tertentu atau tujuan khusus. Bila tujuan yang spesifik atau konkrit,

seperti untuk memperoleh pekerjaan, barang dan jasa sudah dicapai oleh

pelaku, hubungan kepentingan itupun tidak dilanjutkan lagi. Struktur sosial

yang muncul dari jaringan sosial tipe ini bersifat sementara dan terus berubah -

ubah, ruang bagi tindakan dan interaksipun lebih didasarkan pada tujuan

relasional. Sebaliknya jika tujuan tersebut tidak konkret dan spesifik atau

hampir selalu berulang setiap saat, struktur yang tebentuk relatif stabil atau

permanen (Agusyanto, 2007: 35).

Dasgupta dan Serageldin (2002) dalam Vipriyanti (2007: 24),

mengansumsikan bahwa setiap orang mampu berinteraksi dengan orang lain

tanpa harus memilih. Tetapi sesungguhnya, setiap orang memiliki pola tertentu

dalam berinteraksi, melakukan pilihan dengan siapa berin teraksi dan dengan

alasan tertentu. Jaringan kerja pada awalnya merupakan sistem dari saluran

komunikasi (system of communication chanel) untuk melindungi dan

mengembangkan hubungan interpersonal. Membangun saluran komunikasi ini

membutuhkan biaya yang dikenal dengan biaya transaksi. Keinginan untuk

bergabung dengan orang lain, sebagian disebabkan oleh adanya nilai-nilai

bersama. Jaringan kerja juga berperan dalam membangun koalisi dan

koordinasi. Secara umum dikatakan bahwa keputusan melakukan investasi

dalam saluran tertentu disebabkan oleh adanya konstribusi saluran tersebut

terhadap kesejahteraan ekonom i individu.

29

Jaringan kerja menekankan pada pentingnya asosiasi vertikal dan

horizontal antar manusia dan hubungan inter dan antar asosiasi tersebut.

Granovetter dalam Vipriyanti (2007: 25), menyatakan bahwa ikatan inter

masyarakat (strong ties) diperlukan untuk memberikan identitas pada keluarga

dan masyarakat serta tujuan bersama. Pandangan ini juga menganggap bahwa

tanpa ikatan antar masyarakat (weak ties) yang menghubungkan berbagai

asosiasi sosial, maka ikatan horizontal yang kuat akan menjadi dasar untuk

mewujudkan keinginan kelompok yang terbatas.

Lawang dalam Suparman (2012: 41-42), mengatakan jaringan sosial

apapun harus diukur dengan fungsi ekonomi dan fungsi kesejahteraan sosial

sekaligus. Fungsi ekonom i menunjuk pada produktifitas, efisiensi dan

efektifitas yang tinggi, sedangkan fungsi sosial menunjuk pada dampak

partisipatif, kebersamaan yang diperoleh dari suatu pertumbuhan ekonomi.

Jaringan sosial seperti itu sajalah yang disebut sebagai kapital sosial. Jadi,

jaringan teroris, narkoba dan perampok, biarpun mendatangkan untung bagi

mereka yang masuk dalam jaringan tersebut, tetap merupakan ancaman bagi

masyarakat secara keseluruhan, sehingga jaringan seperti itu bukan merupakan

kapital sosial.

3. Norma (Share Value)

Norma tidak dapat dipisahkan dari jaringan dan kepercayaan, kalau

struktur jaringan itu terbentuk karena pertukaran sosial yang terjadi antar dua

orang. Sifat norma adalah muncul dari pertukaran yang saling menguntungkan

(Blau dan Fukuyama) dalam Suparman (2012:44), artinya kalau dalam

30

pertukaran itu keuntungan hanya dinikmati oleh salah satu pihak saja,

pertukaran sosial selanjutnya pasti tidak akan terjadi. Karena itu norma yang

muncul bukan hanya satu pertukaran saja. Kalau dari beberapa kali pertukaran

prinsip saling menguntungkan dipegang teguh, maka dari situlah muncul norma

dalam bentuk kewajiban sosial, yang intinya membuat kedua belah pihak

merasa diuntungkan dari pertukaran, dengan demikian hubungan pertukaran itu

dipelihara (Blau, dalam Lawang, 2004) dalam Suparman (2012:44).

Lawang dalam Suparman (2012: 45), mengatakan norma tidak dapat

dipisahkan dari jaringan dan kepercayaan. Kalau struktur jaringan itu terbentuk

karena pertukaran sosial yang terjadi antara dua orang atau lebih, sifat norma

kurang lebih sebagai berikut:

1. Norma itu muncul dari pertukaran yang saling menguntungkan, artinya

kalau pertukaran itu keuntungan hanya dinikmati oleh salah satu pihak saja,

pertukaran sosial selanjutnya pasti tidak akan terjadi. Karena itu, norma

yang muncul disini, bukan sekali jadi melalui satu pertukaran saja. Norma

muncul karena beberapa kali pertukaran yang saling menguntungkan dan

ini dipegang terus menerus menjadi sebuah kewajiban sosial yang harus

dipelihara.

2. Norma bersifat resiprokal, artinya isi norma menyangkut hak dan

kewajiban kedua belah pihak yang dapat menjamin keuntungan yang

diperoleh dari suatu kegiatan tertentu. Orang yang melanggar norma ini

yang berdampak pada berkurangnya keuntungan di kedua belah pihak, akan

diberi sanksi negative yang sangat keras jaringan yang terbina lama dan

31

menjamin keuntungan kedua belah pihak secara merata, akan

memunculkan norma keadilan, dan akan melanggar prinsip keadilan akan

dikenakan sanksi yang keras juga.

Secara nyata dalam keseharian, apabila dicermati secara mendalam, semua

perilaku aktivitas sosial-ekonomi warga masyarakat lokal melekat dalam jaringan

hubungan-hubungan sosialnya. Sosial kapital dan kepercayaan (trust) dapat

membuat dan memungkinkan transaksi-transaksi ekonomi menjadi lebih efisien

dengan memberikan kemungkinan bagi pihak-pihak yang terkait untuk bisa (1)

mengakses lebih banyak informasi, (2) memungkinkan mereka untuk saling

mengkoordinasikan kegiatan untuk kepentingan bersama, dan (3) dapat

mengurangi atau bahkan menghilangkan opportunistic behavior melalui transaksi-

transaksi yang terjadi berulang-ulang dalam rentang waktu yang panjang.

Di Indonesia, studi tentang sosial kapital secara formal masih merupakan

hal yang baru. Namun meskipun secara eksplisit belum menggunakan terminologi

sosial kapital, sebenarnya telah ada beberapa studi terutama berupa kajian tentang

hubungan kerjasama saling menguntungkan antar warga masyarakat di daerah

pedesaan yang pada esensinya memiliki keterkaitan erat dengan sosial kapital.

Mempertimbangkan simpulan sementara bahwa elemen utama so sial kapital

terdiri dari norms, reciprocity, trust, dan network, maka sebenarnya hal tersebut

secara historis bukan merupakan fenomena baru dan asing bagi masyarakat di

Indonesia dan hal tersebut lebih berakar kuat dan terinstitusikan dalam kehidupan

sehari-hari masyarakat di daerah pedesaan. Semangat dan implementasi dari

32

kemauan untuk saling bekerjasama dalam upaya memenuhi kepentingan sosial

dan kepentingan individu atau personal telah termanivestasikan dalam berbagai

bentuk aktivitas bersama yang secara umum dikenal dengan kegiatan “ saling

tolong-menolong” atau secara luas terwadahi dalam tradisi “gotong royong”.

Tradisi gotong royong memiliki aturan main yang disepakati bersama (norm),

menghargai prinsip timbal-balik dimana masing-masing pihak memberikan

kontribusi dan dalam waktu tertentu akan menerima kompensasi/ reward sebagai

suatu bentuk dari sistem resiprositas (reciprocity), ada saling kepercayaan antar

pelaku bahwa masing-masing akan mematuhi semua bentuk aturan main yang

telah disepakati (trust), serta kegiatan kerjasama tersebut diikat kuat oleh

hubungan-hubungan spesifik antara lain mencakup kekerabatan (kinship),

pertetanggaan (neighborship) dan pertemanan (friendship) sehingga semakin

menguatkan jaringan antar pelaku (network).

Tradisi gotong royong secara nyata telah melembaga dan mengakar kuat,

ini diwujudkan dalam berbagai aktivitas keseharian masyarakat Indonesia.

Khususnya di pedesaan Jawa, praktek gotong royong walaupun cenderung

mengalami penurunan baik dari sudut pandang lingkup aktifitas maupun jumlah

orang yang terlibat, namun secara umum masih mendapatkan apresiasi positif oleh

warga masyarakat. Hal ini nampaknya juga dipengaruhi oleh salah satu

karakteristik khusus yaitu keeratan hubungan sosial yang dimiliki oleh masyarakat

Jawa. Salah seorang peneliti terkemuka tentang masyarakat pedesaan Scott (1976)

dalam Subejo (2008: 4) telah mengkategorikan masyarakat pedesaan Jawa sebagai

33

salah satu dari masyarakat pedesaan di dunia yang memiliki tradisi communitarian

paling kuat.

Studi-studi yang terkait dengan sosial kapital di pedesaan Indonesia dan

secara khusus di pedesaan Jawa umumnya masih dilakukan secara parsial da ri

setiap elemen sosial kapital. S tudi lanjut yang lebih mendalam akan menjadi lebih

komprehensif jika mampu mencakup semua aspek atau elemen sosial kapital yang

dipraktekkan oleh warga masyarakat dalam berbagai aktifitas sosial dan ekonomi.

Beberapa aspek kajian tentang elemen sosial kapital di pedesaan Indonesia

khususnya di pedesaan Jawa oleh Iwamo dan Subejo (2004 :5) telah digambarkan

dalam suatu struktur. Eleman-elemen dasar tersebut antara mencakup institusi

lokal yang memiliki fungsi pelayanan sosia l, kelompok sim pan pinjam

berotasi/arisan, jaring pengaman sosial tradisional lainya, sistem pewarisan yang

seimbang, sistem penyakapan dan bagi hasil serta pelayanan pemerintah untuk

kesejahteraan masyarakat. Melalui kajian elemen seperti tersebut akan da pat

ditunjukkan peranan masing-masing elemen serta saling keterkaitan antar elemen

yang memungkinkan masing-masing pihak terkait dalam kerjasama memperoleh

optimal gain serta secara makro mampu memacu pertumbuhan ekonomi dalam

masyarakat lokal. Selain mengkaji masing-masing elemen sosial kapitalyang

terpraktekkan di daerah pedesaan, nampaknya masih ada unsur lain yang tidak

kalah pentingnya dan layak mendapatkan perhatian lebih intens yaitu “proses”

kerjasama itu sendiri.

34

Tiga kata kunci dalam pembangunan pedesaan yang tidak dapat dipisahkan

satu sama lain, yaitu penguatan kelembagaan lokal, membangkitkan kapital sosial,

dan mendinamiskan teknologi dan pendanaan. Pengembangan kelembagaan tidak

dapat dilepaskan dari kapital sosial yang ada. Kepercayaan, hubungan sosial dan

norma merupakan tiga komponen penting yang mampu menjadi perekat elemen

masyarakat. Apabila semuanya dapat berjalan dengan baik maka kapital sosial

akan mampu menggerakkan sebuah lembaga yang efektif dan ef isien dalam

melaksanakan pembangunan. Kapital sosial mampu mengembangkan

kelembagaan bahkan “melembagakan lembaga yang belum melembaga” namun

kelembagaan belum tentu akan dapat menciptakan kapital sosial.

Begitu juga dengan BUM Desa, jika dalam pengelolaan BUM Desa

adanya tiga komponen penting dalam kapital sosial tidak menutup kemungkinan

dalam pengelolaannya akan berhasil. Jika tiga elemen itu saling melengkapi

dimana adanya kepercayaan masyarakat kepada pengurus-pengurus BUM Desa

dan unit-unit usahanya akan mampu menggerakkan BUM Desa. Di dalam BUM

Desa pun adanya AD/ART BUM Desa sehingga adanya kejelasan aturan dalam

setiap unit-unit usaha, seperti pembagian hasil usaha. Begitu juga dengan adanya

jejaring bias dilakukan dalam pengembangan unit-unit usaha BUM a atau dalam

hal penambahan modal BUM Desa.

Pembentukannya, BUM Desa dibangun atas prakarsa masyarakat serta

mendasarkan pada prinsip-prinsip kooperatif dan partisipatif. Selain itu, yang

terpenting juga adalah pengelolaannya dilakukan secara profesional dan mandiri.

35

BUM Desa sebagai badan hukum, tentunya dibentuk berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, dan sesuai dengan kesepakatan yang terbangun

di masyarakat desa. Dengan demikian, bentuk BUM Desa dapat beragam di setiap

desa di Indonesia.

Belajar dari pengalaman masa lalu, satu pendekatan baru yang diharapkan

mampu menstim ulus dan menggerakkan roda perekonomian di pedesaan adalah

melalui pendirian kelembagaan ekonomi yang dikelola sepenuhnya oleh

masyarakat desa, harus didasarkan pada keinginan masyarakat desa yang

berangkat dari adanya potensi yang jika dikelola dengan tepat akan menimbulkan

permintaan di pasar. Agar keberadaan lembaga ekonomi ini tidak dikuasai oleh

kelompok tertentu yang memiliki modal besar di pedesaan. Maka kepemilikan

lembaga itu oleh desa dan dikontrol bersama di mana tujuan utamanya untuk

meningkatkan standar hidup ekonomi masyarakat.

Terdapat 7 (tujuh) ciri utama yang membedakan BUM Desa dengan

lembaga ekonomi komersial pada umumnya yaitu:

1. Badan usaha ini dim iliki oleh desa dan dikelola secara bersama secara gotong

royong;

2. Modal usaha bersumber dari desa (51%) dan dari masyarakat (49%) melalui

penyertaan modal (saham atau andil);

3. Operasionalisasinya menggunakan falsafah bisnis yang berakar dari budaya

lokal (local wisdom);

36

4. Bidang usaha yang dijalankan didasarkan pada potensi dan hasil informasi

pasar;

5. Keuntungan yang diperoleh ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan

anggota (penyerta modal) dan masyarakat melalui kebijakan desa (village

policy);

6. Difasilitasi oleh Pemerintah, Pemprov, Pemkab, dan Pemdes;

7. Pelaksanaan operasionalisasi dikontrol secara bersama (Pemdes, BPD,

anggota).

BUM Desa sebagai suatu lembaga ekonomi modal usahanya dibangun atas

inisiatif masyarakat dan menganut asas mandiri. Ini berarti pemenuhan modal

usaha BUM Desa harus bersumber dari masyarakat. Meskipun demikian, tidak

menutup kemungkinan BUM Desa dapat mengajukan pinjaman modal kepada

pihak luar, seperti dari Pemerintah Desa atau pihak lain, bahkan melalui pihak

ketiga. Ini sesuai dengan peraturan per undang-undangan (UU 32 tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah Pasal 213 ayat 3). Penjelasan ini sangat penting

untuk mempersiapkan pendirian BUM Desa, karena implikasinya akan

bersentuhan dengan pengaturannya dalam Peraturan Daerah (P erda) maupun

Peraturan Desa (Perdes).

Ada empat peluang yang dapat diraih terkait BUM Desa. Pertama, Pemda

berkewajiban dan berkeinginan untuk mewujudkan pemerintahan desa yang kuat

di mana ekonomi kerakyatan berperan penting. Peran ekonom i kerakyatan seb agai

ujung tombak kekuatan desa di masa depan ini ditopang BUM Desa dengan

37

memperkuat usaha-usaha kecil di pedesaan. Kedua munculnya program -program

donor yang memfasilitasi berkembangnya BUM Desa melalui dukungan

pendampingan yang handal. Ketiga, menekan arus Urbanisasi di Indonesia karena

BUM Desa mampu menciptakan kesempatan kerja dan yang terpenting. Keempat,

banyaknya unit usaha BUM Desa yang strategis dan memiliki keunggulan

maupun potensi untuk berkembang dan berhasil. Dengan demikian, BUM Desa

bisa meningkatkan kesejahteraan warga.

Kerangka teori yang di jelaskan di atas, akan penulis gunakan dalam

melakukan analisa terhadap peranan modal sosial dalam pengelolaan BUM Desa

di Desa Karangrejek dan Desa Bleberan, Kabupaten Gunungkidul.