bab i pendahuluan a. latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemerintah desa sebagai level pemerintahan terendah, sejatinya dalam era
otonomi daerah memiliki kedudukan dan peran yang strategis dalam pelaksanaan
pembangunan masyarakat perdesaan. Meskipun faktanya pemerintah desa lebih
banyak menangani persoalan administrasi, namun fungsinya dalam pemberdayaan
masyarakat dan pembangunan kurang terdengar. Pemerintah sendiri seperti double
standar dalam melihat pemerintah desa. Di satu pihak pemerintah mendorong agar
kedudukan pemerintah desa lebih kuat, tapi di pihak lain, dalam pelaksanaan
program pembangunan, perannya seringkali dipinggirkan. Banyak program
pemberdayaan masyarakat yang dikelola kementerian/lembaga melakukan
langsung (top down) ke masyarakat melalui skema BLM (Bantuan Langsung
Masyarakat). Biasanya pemerintah desa baru dilibatkan bila ada masalah yang
ditemui. Kondisi inilah yang banyak dikeluhkan aparat desa di lapangan.
Sepertinya berbagai pihak di pusat masih belum rela memberikan kewenangan
kepada pemerintah desa sesuai dengan semangat desentralisasi dan otonomi
daerah.
Kondisi di atas menjadikan alasan perlunya memperkuat desa dan
pemerintah desa. Beberapa upaya langkah strategis yang telah dilakukan antara
lain dengan disyahkannya Undang-Undang Nomor 06 tahun 2014 tentang Desa
(Kementerian Dalam Negeri) pada tanggal 15 Januari 2014. Salah satu program
2
yang sedang gencar diprom osikan oleh Kementerian Dalam Negeri adalah Badan
Usaha Milik Desa (BUMDes), namun setelah diterbitkannya UU Desa penamaan
BUMDes berubah menjadi BUM Desa. Sesuai Undang-undang Nomor 06 Tahun
2014 tentang Desa, dalam bab X diatur juga mengenai BUM Desa. Bahwa Desa
dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa yang disebut dengan BUM Desa.
BUM Desa dikelola dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan. BUM
Desa dapat menjalankan usaha di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum dan
memiliki kesempatan untuk mengelola aset desa seperti: pasar, kawasan
pariwisata, air bersih, dan listrik perdesaan.
Dengan adanya BUM Desa di desa diharapkan sebagai penggerak
perekonomian desa. BUM Desa didirikan dengan kesepakatan melalui
Musyawarah Desa yang ditetapkan dengan Peraturan Desa. Tujuan pembentukan
BUM Desa adalah untuk memperkuat kelembagaan perekonomian desa, BUM
Desa juga menjadi jembatan penghubung antara pemerintah desa dengan
masyarakat dalam melaksanakan pemberdayaan masyarakat dan mengelola
potensi desa untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hasil usaha BUM Desa
dimanfaatkan untuk: pengembangan usaha; dan Pembangunan Desa,
pemberdayaan masyarakat Desa, dan pemberian bantuan untuk masyarakat miskin
melalui hibah, bantuan sosial, dan kegiatan dana bergulir yang ditetapkan dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Badan usaha ini merupakan lembaga ekonom i baru dan perlu landasan
hukum yang kuat. Untuk itu perlu adanya peranan pemerintah dalam melakukan
sosialisasi dan penyadaran kepada masyarakat desa melalui pemerintah provinsi
3
dan/atau pemerintah kabupaten tentang arti penting BUM Desa bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Melalui pemerintah desa masyarakat dimotivasi,
disadarkan dan dipersiapkan untuk membangun kehidupannya sendiri. Pemerintah
memfasilitasi dalam bentuk pendidikan dan pelatihan dan pemenuhan lainnya
yang dapat memperlancar pendirian BUM Desa. Sebagaimanan disebutkan dalam
Pasal 90 Bab X UU Desa No 6 Tahun 2014 bahwa Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa
mendorong perkembangan BUM Desa dengan : a. memberikan hibah dan/atau
akses permodalan; b. melakukan pendampingan teknis dan akses ke pasar; dan c.
memprioritaskan BUM Des.
Dalam menjalankan usahanya prinsip efisiensi dan efektifitas harus selalu
ditekankan. BUM Desa sebagai badan hukum, dibentuk berdasarkan tata
perundang-undangan yang berlaku, dan sesuai dengan kesepakatan yang
terbangun di masyarakat desa. Dengan demikian, bentuk BUM Desa dapat
beragam di setiap desa di Indonesia. Ragam bentuk ini sesuai dengan karakteristik
lokal, potensi, dan sumberdaya yang dimiliki masing-masing desa. Pengaturan
lebih lanjut tentang BUM Desa diatur melalui Peraturan Daerah (Perda). Jika
kelembagaan ekonomi kuat serta ditopang kebijakan yang memadai, maka
pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan pemerataan distribusi aset kepada
rakyat secara luas akan mampu menanggulangi berbagai permasalahan ekonomi
di pedesaan.
Keberadaan sebuah institusi seperti BUM Desa tidak lepas dari
keberhasilan dan kegagalan. Salah satu faktor penentu keberhasilan/kegagalan
4
organisasi adalah faktor Sumber Daya Manusia (SDM). Keunggulan mutu
bersaing suatu organisasi sangat ditentukan oleh m utu SDM -nya. Penanganan
SDM harus dilakukan secara menyeluruh dalam kerangka sistem pengelolaan
SDM yang bersifat strategic, integrated, interrelated dan united . Organisasi
sangat membutuhkan SDM yang kompeten, memiliki kompetensi tertentu yang
dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan pekerjaannya. Begitu
juga halnya dengan BUM Desa, dengan adanya pengurus dalam mengelola BUM
Desa yang berkompeten. Selain itu, modal sosial juga dianggap sebagai hal yang
penting untuk mengembangkan ekonomi suatu masyarakat. Pada tataran
perkembangan pedesaan keberadaan jaringan yang kuat dari organisasi tingkat
bawah (grassroots) masyarakat sama pentingnya sebagaimana layaknya
perkembangan industri fisik dan teknologi. Elemen modal sosial seperti
kepercayaan, norma dan jaringan dapat berkembang di suatu komunitas.
Demikian juga, keberhasilan kolaborasi dalam suatu usaha seperti unit-unit usaha
yang ada di BUM Desa akan membangun hubungan-hubungan dan kepercayaan
yang pada gilirannya akan memfasilitasi ikatan-ikatan pada masa depan di bidang
lain.
Nilai gotong royong, tolong menolong, yang merupakan bagian dari modal
sosial yang menjadi bagian terpenting dalam kehidupan masyarakat telah semakin
tipis, begitu juga dengan nilai kemandirian, kerja keras, yang pernah meny atu
dalam kehidupan masyarakat. Kilas balik kehidupan masyarakat kita dalam
memenuhi kebutuhan seperti halnya pembangunan sarana ibadah, sekolah, balai
umum, pasar, dan berbagai sarana kehidupan lainnya merupakan bukti dari
5
kemandirian dan kerja keras masyarakat itu sendiri. Akan tetapi, nilai-nilai sosial
seperti itu, sekarang jarang terlihat lagi sebagai bagian dari denyut jantung
masyarakat kita saat ini (Kamarni, 2009).
Nilai-nilai tersebut merupakan bagian dari m odal sosial (social capital)
yang dianggap sebagai hal yang penting untuk mengembangkan ekonomi suatu
masyarakat. Pada tataran perkembangan pedesaan keberadaan jaringan yang kuat
dari organisasi tingkat bawah (grassroots) masyarakat sama pentingnya
sebagaimana layaknya perkembangan industri fisik dan teknologi. Elemen modal
sosial seperti kepercayaan, norma dan jaringan dapat berkembang di suatu
komunitas. Demikian juga, keberhasilan kolaborasi dalam suatu usaha seperti
unit-unit usaha yang ada di BUM Desa akan membangun hubungan-hubungan
dan kepercayaan yang pada gilirannya akan memfasilitasi ikatan-ikatan pada masa
depan di bidang lain.
Eksistensi BUM Desa dari mulai sejak didirikannya sampai saat ini tidak
terlepas dari peran nilai-nilai sosial yang dimiliki yang sejalan dengan modal
sosial yang ada di masyarakat. Menurut Putnam (1993a:169) dalam Field (2010:6)
modal sosial adalah bagian dari organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma dan
jaringan yang dapat memperbaiki efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi
tindakan terkoordinasi.
Eksistensi dan peranan lembaga keuangan di pedesaan (rural financial
institution) tidak selamanya tergantung pada kekuatan eksternal (pemerintah),
tetapi dapat ditumbuhkembangkan oleh kekuatan internal. Kekuatan itu berakar
dari nilai-nilai modal sosial yang hidup dan berkembang di masyarakat pedesaan.
6
Beragamnya lembaga keuangan di pedesaan, seperti lembaga keuangan formal
(LKF), informal (LKI), dan semi formal (LKSF) memberikan ruang gerak yang
luas untuk menganalisis bagaimana potensi modal sosial dan pe ranannya terhadap
eksistensi dan peranan lembaga keuangan yang ada di pedesaan .
Hal terpenting yang harus disadari adalah bagaimana pembangunan modal
sosial, sebagai kunci utama bagi pembangunan berkelanjutan, dapat sepenuhnya
dilaksanakan, sehingga tercapai masyarakat yang cerdas dan sejahtera. Banyak
bukti menunjukkan bahwa masyarakat yang makmur adalah masyarakat yang
modal sosialnya tinggi, yaitu tercermin dari kehidupan sosialnya yang harmonis,
saling memberi, ada kebersamaan dan saling percaya serta terdapat tingkat
toleransi yang tinggi dalam kehidupan bermasyarakat. Fukuyama (2001) percaya
bahwa keunggulan suatu masyarakat dan negara yang dapat survive dalam abad
ke-21, adalah ditentukan oleh faktor social capital (modal sosial) yang tinggi,
yaitu high trust society . Negara yang mempunyai modal sosial tinggi adalah
masyarakat yang mempunyai rasa kebersamaan tinggi, rasa saling percaya (baik
vertikal maupun horizontal), serta saling memberi. Selanjutnya dikatakan bahwa
hal ini bisa terwujud kalau masing-masing individu dan golongan masyarakat
menjunjung tinggi rasa saling hormat, kebersamaan, toleransi, kejujuran dan
menjalankan kewajibannya.
Grootaert (2001) menyatakan bahwa perkembangan ekonomi yang terjadi
pada level individu, rumah tangga, bahkan negara tidak selalu bisa dijelaskan dari
faktor-faktor input berupa tenaga kerja, sumberdaya lahan, dan kapital fisik
belaka. Modal sosial (social capital) telah menjadi salah satu variabel yang
7
dipertimbangkan sebagai penjelas semenjak beberapa dekade terakhir ini. Pada
level makro, modal sosial terbukti memiliki peran pada kemajuan ekonomi yang
dicapai sekelompok masyarakat. Karena itu, pemahaman terhadap modal sosial
yang dimiliki masyarakat sangat perlu karena dapat mempengaruhi bagaimana
kebijakan pembangunan dan desain program yang akan diimplementasikan.
Modal sosial terdiri atas tiga komponen, yaitu kepercayaan ( trust), norma
(social norm) dan jaringan (network). Grootaert (2001) menyebutkan bahwa,
keberadaan institusi dan asosiasi lokal merupakan bahan yang menentukan kuat
atau lemahnya jaringan sosial di masyarakat bersangkutan. Banyak riset
membuktikan bahwa asosiasi lokal berperan dalam kegiatan program
pembangunan, yang berjalan melalui 3 mekanisme yaitu: wadah untuk berbagi
informasi antar anggota, mengurangi peluang perilaku oportunis, dan
memfasilitasi pembuatan keputusan kolektif. Juga disebutkan bahwa, pada level
komunitas, asosiasi lokal memiliki kesejajaran dengan modal sosial, meskipun
kedua hal ini tidak sinonim secara timbal balik. Penelitian Grootaert (2001) ini
bertujuan mempelajari kondisi keanggotaan masyarakat pedesaaan dalam
organisasi-organisasi, serta mempelajari derajat keefektifan partisipasi masyarakat
dalam asosiasi. Keterlibatan dan partisipasi dalam institusi lokal ini merupakan
indikator utama untuk memahami modal sosial yang dimiliki masyarakat
bersangkutan. BUM Desa merupakan institusi lokal yang ada di desa yang
memiliki ragam bentuk sesuai dengan karakteristik lokal, potensi, dan sumberdaya
yang dimiliki masing-masing desa. BUM Desa dapat beragam di setiap desa di
Indonesia.
8
Di Indonesia, di beberapa Kabupaten telah banyak desa yang mempunyai
BUM Desa, ada yang secara mandiri mengembangkan potensi ekonomi desa yang
sudah ada, ada juga yang sedikit dipaksakan oleh Pemerintah Kabupaten setempat
dengan diberikan stimulan permodalan awal dari APBD Kabupaten melalui dana
hibah dengan status dana milik masyarakat desa dan menjadi saham dalam BUM
Desa, Seperti di Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan semua desa telah
membentuk BUMDesa dengan stimulan permodalan awal dari APBD Kabupaten
melalui dana hibah sebesar 10.000.000,- per desa dengan status dana milik
masyarakat desa dan menjadi saham dalam BUMDesa. Demikian juga di
Kabupaten Rokan Hulu (Rohul) Provinsi Riau, pembentukan BUMDesa di 151
desa dengan diberikan stimulan dana dari APBD Kabupaten dan APBD Provinsi,
yang saat ini menjadi percontohan terbaik se Indonesia adalah BUMDesa Bangun
Jaya, Kecamatan Tambusai Utara, Kabupaten Rokan Hulu. Sama halnya dengan
Kabupaten Bandung Jawa Barat, 267 desa telah mendirikan BUM Desa dengan
stimulan dana dari Pemerintah Kabupaten. Tetapi saat ini hanya 84 BUM Desa
yang berkembang dengan baik. Penyebabnya antara lain adala h tidak dikelolanya
BUM Desa secara professional. Begitu halnya dengan Kabupaten Majalengka,
semua desa yang ada di Kabupaten tersebut sudah mendirikan BUM Desa. Namun
pembentukan BUM Desa tersebut atas prakarsa pemerintah setempat, karena ada
kebijakan Gubernur Jawa Barat untuk desa peradaban. Dimana desa diberikan
dana 1 Milyar dan salah satu diperuntukan untuk dana stimulan modal BUMDesa.
Di Kabupaten Gunungkidul, salah satu Kabupaten di Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, kebijakan dari pemerintah kabupaten yang berkaitan
9
dengan BUM Desa dalam hal pembinaan hanya bersifat pendampingan tanpa di
sertai penyertaan pendampingan modal. Akibat tidak adanya penyertaan modal
dari pemerintah, masyarakat berinisiatif untuk mendirikan BUM Desa melalui
swadaya seperti yang di anjurkan oleh pemerintah.
Kebutuhan bersama masyarakat Gunungkidul akan jasa lembaga simpan
pinjam direalisasikan dengan membangun BUM Desa. Untuk menjalankan
kegiatan rutin BUM Desa berdasarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip BUM Desa
sehingga mampu menjaga eksistensinya sampai saat ini yang memberikan
kontribusi baik secara makro bagi masyarakat sekitar secara umum dan secara
mikro bagi anggotanya.
Kepercayaan sebagai dasar dalam memberikan pinjaman kepada
anggotanya membuat BUM Desa sebagai lembaga non bank yang bebeda dengan
lembaga bank pada umumnya. Kepercayaan yang dibangun dijadikan menjadi
salah satu lembaga non bank bagi masyarakat Gunungkidul pada umumnya dan
kepada anggota nya secara khusus.
Untuk melihat bagaimana perkembangan dan dinamika BUM Desa
sebagai salah satu tonggak penguatan kelembagaan perekonomian desa, penulis
melakukan penelitan di dua desa di Kabupaten Gunungkidul yaitu Desa
Karangrejek dan Desa Bleberan. Keberhasilan Desa Karangrejek dalam
pengelolaan BUM Desa menarik perhatian peneliti untuk membandingkan
pengelolaan BUM Desa yang ada di Desa B leberan Kecamatan Playen Kabupaten
Gunungkidul yang juga berhasil dalam pengelolaan BUM Desa serta berpotensi
untuk meningkatkan Pendapatan Asli Desa Bleberan, sehingga terbentuknya
10
BUMDesa yang pada awalnya mengelola unit usaha Pengelola Air Bersih di desa
ini dengan didukung potensi sumber mata air dan aspek pasar yang memadai,
serta adanya SDM pengelola telah berkembang dan mampu memberikan
kontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan dan memberdayakan masyarakat .
Di Desa Karangrejek Kecamatan Wonosari, BUM Desa yang dibentuk
dengan memberdayakan dan mengembangkan aset Lembaga Ekonomi Desa yang
ada tanpa stimulan dana dari APBD Kabupaten dan APBD Provinsi. Selain itu,
Desa Karangrejek juga memanfaatkan nilai asset dari Departemen PU dalam
Program Pengembangan Air Tanah (P2AT) di tahun 2007.
Jenis usaha yang dikembangkan di Desa Karangrejek adalah pengelolaan
air bersih yang saat ini asetnya sudah mencapai 1 Milyar dan pengelolaan simpan
pinjam. Di Desa Karangrejek secara swadaya masyarakat menggali sum ur untuk
kebutuhan air bersih, untuk minum, mandi dan cuci. Permasalahan yang sering
tiba bilamana musim kemarau panjang, biasa dipastikan seluruh sumur gali
kering, sehingga kembali lagi mengambil air hanya ke sungai, atau sumur pompa.
Diawali dari kesulitan untuk m endapatkan air bersih, di masa Pemerintah Orde
Baru ada program untuk Pembuatan sumur gali untuk tanaman sayur di ladang
pertanian, sumur dalam melalui Program Pengembangan Air Tanah (P2AT) baik
untuk irigasi maupun untuk air minum.
Walaupun dihadapkan dengan banyak tantangan eksternal maupun
internal, BUM Desa Karangrejek mampu bertahan. Hal ini dapat dilihat dari
perkembangan asset awal dari PU sebesar Rp. 1.056.065.444 serta bantuan dari
APBDes sebesar 10 juta telah menunjukkan perkembangan pendapatan dan
11
mampu berkontribusi BUM Desa pada PADes serta perkembangan pemasangan
sambungan rumah sebagaimanan dapat dilihat pada Tabel 1.1, 1.2 dan 1.3
dibawah ini.
Tabel 1.1
Perkembangan Aset/Modal BUM Desa Karangrejak Didasarkan Atas Swadaya
Masyarakat
Tahun Swadaya Jumlah
2008 345.308.550 345.308.550
2009 202.571.450 547.880.000
2010 127.217.894 675.097.894
2011 75.750.000 750.847.894
JMH 750.847.894
Sumber : Desa Karangrejek
Tabel 1.2
Perkembangan Pendapatan Dan Kontribusi Pada PADes
Tahun Pendapatan
Biaya
Operasional
Dana
Pemupukan/
Cadangan
PADes
2008
167.032.665
88.374.590
78.658.075
9.716.515
2009
227.018.374
123.828.204
103.190.170
20.638.034
2010
272.268.832
148.510.272
123.758.560
24.751.712
2011
343.098.122
187.144.430
155.953.692
31.190.738
Sumber : Desa Karangrejek
Tabel 1.3
Perkembangan Pemasangan Sambungan Baru PAB Desa Karangrejek
Tahun Pemasangan Jumlah Total
2008 465 465
2009 117 582
2010 119 701
20111 98 799
Sumber : Desa Karangrejek
12
Di desa Karangrejek dalam mendirikan lembaga kredit desa (LKD)
memanfaatkan modal hibah dari pemerintah, seperti IDT, UED, UED.SP, Aset
dari LPMD Sendiri (dana BANDES.) dan Perguliran program program dirjen
cipta karya, dep. PU PPKL, yang kemudian dijadikan sebagai modal awal dalam
pengelolaan unit usaha kredit mikro. Sebagaimana terlihat pada tabel 1.4 di bawah
ini.
Tabel 1.4
Sumber Modal UKM Karangrejek
KET. S.D. 2005 2010 2011 JUMLAH
UED. 1.000.000 0 0 1.000.000
UED.SP. 950.000 0 0 950.000
IDT 12.224.440 0 0 12.224.440
APBDes. 9.800.000
PENGEMB 11.525.560 0 0 21.325.560
PPKL (PU) 0 59.000.000 27.500.000 86.500.000
PAB.TK 0 55.514.000 2.000.000 57.514.000
PEMKAB. 0 0 0 0
PH.III 0 0 0 0
JUMLAH 35.500.000 114.514.000 29.500.000 179.514.000
Sumber : Desa Karangrejek
Terbentuknya BUM Desa di Desa Bleberan Kecamatan Playen,
memanfaatkan dana pusat PKPS BBM sebesar Rp. 250.000.000 ditahun 2007.
Kemudian dari hasil musyawarah pemerintahan desa dan masyarakat adanya
kemauan untuk mengembangkan BUM Desa. Berawal dari sebuah keprihatinan
dengan Pendapatan Asli Desa (PADes) Bleberan yang rata -rata per tahun hanya
Rp.1.000.000,- sehingga ada keinginan dari masyarakat setempat untuk
melakukan perubahan untuk bisa meningkatkan pendapatan asli desa. Selain itu
13
juga adanya keprihatinan warga masyarakat tentang kesulitan akan air bersih.
Dengan bermodalkan optimisme masyarakat, adanya potensi yang dapat di kelola
sebagai sumber mata air, adanya sumber daya manusia sebagai pengelola dan
mereka menganggap ini sebagai peluang usaha untuk peningkatan pendapatan
desa (PADes).
Pada tahun 2007 BUM Desa yang ada di Desa Bleberan (saat itu belum
BUM Desa) mendapat dana pusat PKPS BBM sebesar Rp. 250.000.000 yang di
pergunakan untuk pembangunan jaringan perpipaan dan bak resorvoar serta
generator, kemudian ada penawaran program tentang BUM Desa kepada BPD,
LPMD. Pada awalnya memang susah memberikan pengertian tentang BUM Desa
kepada BPD dan LPMD karena pada tahun 2007 belum adanya peraturan
pemerintah dan juga Perda yang mengatur tentang BUM Desa sehingga banyak
pertentangan. Dan baru ditetapkan peraturan Kepala Desa, namun masih bersifat
mengatur tentang kepengurusan, pengelolaan air bersih.
Untuk penentuan jenis usaha Desa Bleberan dengan melihat potensi alam
(sumber mata air) dan potensi masyarakat maka sebagai awal kegiatan BUM
Desa adalah mengelola Unit Pengelolaan Air Bersih (PAB). Dibentuk karena
adanya kebutuhan air bersih, disetiap musim kemarau mengalami kekurangan air
bersih, bahkan per kk 1 s/d 5 tengki per bulan @ Rp. 100.000.-, tersedianya
sumber mata air, fasilitas pemerintah PKPS BBM, dan yang terpenting adalah
menyiapkan kebutuhan air baku kepada masyarakat.
Kedua, Unit Pengelolaan UED SP dibentuk karena masyarakat kesulitan
dalam mengakses perbankan karena lumayan jauh, kemudian prosedur yang
14
cukup sulit, sehingga di perlukan untuk mendekatkan kepada masyarakat sebuah
LKM, maka dibentuklah kegiatan simpan pinjam baik untuk masyarakat Desa
Bleberan dan juga masyarakat se-kec. Playen sebagai Unit kegiatan BUM Desa.
Di bawah ini dapat dilihat pada tabel 1.5 perkembangan pendapatan BUM Desa
Bleberan dari dua unit kegiatan, yaitu pengelolaan air bersih dan pengelolaan
UED SP.
Tabel 1.5
Pendapatan BUM Desa Bleberan
Tahun Pendapatan Biaya oprasional Dana pemupukan
& cadangan
PADes
2007 84,643,520 36,235,944 44,288,376 0
2008 117,838,650 42,361,404.5 51,775,050.25 4,740,439
2009 110,494,340 38,705,853.5 47,307,496.5 4,896,208
2010 122,500,000 41,090,683.5 50,221,946.5 4,213,000
Sumber : Desa Bleberan
Desa Karangrejek dan Desa Bleberan, selain sama-sama mengembangkan
Badan Usaha Milik Desa, Kedua desa juga banyak memiliki potensi yang bisa
dikembangkan sehingga menjadi peluang untuk mengembangakan BUM Desa.
Diantaranya potensi sumber daya manusia yang produktif, potensi budaya lokal
setempat, potensi sumber daya alamnya.
Dari pemaparan diatas, penulis ingin melihat lebih jauh bagaimana
dinamika dan perkembangan BUM Desa di kedua desa di Gunungkidul tersebut.
Dinamika dan perkembangan tersebut akan dituliskan dalam thesis ini yang
berjudul, “Peranan Modal Sosial dalam Pengelolaan BUM Desa di Desa
Karangrejek dan Desa Bleberan, Kabupaten Gunung kidul.”
15
B. Perumusan Masalah
Oleh karena itu rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah dinamika modal sosial yang dimiliki masyarakat Desa
Karangrejek dan Desa Bleberan dalam pengelolaan BUMDesa.
2. Bagaimanakah kontribusi dan peranan modal sosial terhadap pengelolaan
BUMDesa Desa Karangrejek dan Desa Bleberan.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika modal sosial yang
dimiliki masyarakat Desa Karangrejek dan Desa Bleberan dalam pengelolaan
BUM Desa serta mengetahui kontribusi dan peranan modal sosial terhadap
pengelolaan BUM Desa Desa Karangrejek dan Desa Bleberan.
D. Manfaat Penelitian
Selanjutnya manfaat yang diharapkan dari kajian dan penelitian ini adalah sebagai
berikut
a. Bagi mahasiswa : diharapkan penelitian ini bisa menjadi referensi akademik
tentang modal sosial dalam pengelolaan BUM Desa dan bisa mnejadi tonggak
awal untuk penelitian tentang modal sosial dalam pengelolaan BUM Desa
b. Dengan adanya penelitian ini menjadi salah satu sumber informasi dan
masukan bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan dalam menumbuhkan
keberdayaan dan kesejahteraan masyarakat pedesaan.
16
c. Bagi BUM Desa : bisa menjadi masukan terhadap upaya menumbuhkan
modal sosial di desa, meningkatkan kualitas pelayanan dan sumber daya serta
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
E. KERANGKA TEORI
E.1. Konsep Modal Sosial
Semua kelompok masyarakat (suku bangsa) di Indonesia pada hakekatnya
mempunyai potensi-potensi sosial budaya yang kondusif dan dapat menunjang
pembangunan (Berutu, 2002: 9) dalam Simarmata (2009: 1). Potensi ini terkadang
terlupakan begitu saja oleh kelompok masyarakat sehingga tidak dapat
difungsionalisasikan untuk tujuan-tujuan tertentu. Tetapi banyak juga kelompok
masyarakat yang menyadari akan potensi-potensi sosial budaya yang dim ilikinya,
sehingga potensi-potensi tersebut dapat dimanfaatkan secara arif bagi keperluan
kelompok masyarakat itu sendiri. Salah satu potensi sosial budaya tersebut adalah
modal sosial. Secara sederhana modal sosial merupakan kemampuan masyarakat
untuk mengorganisir diri sendiri dalam memperjuangkan tujuan mereka. Modal
sosial bisa dikatakan sebagai sumber daya sosial yang dimiliki oleh masyarakat.
Sebagai sumber daya, modal sosial ini memberi kekuatan atau daya dalam
beberapa kondisi-kondisi sosial dalam masyarakat.
Fukuyama (2002) dalam Simarmata (2009: 22), menjelaskan social capital
secara sederhana bisa didefinisikan sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-
norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok
masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Jika
17
anggota-anggota kelompok itu mengharapkan para anggota yang lain akan
berperilaku jujur dan terpercaya, maka mereka akan saling mempercayai.
Hal yang sama juga digambarkan oleh Grootaert (1999) dalam Kamarni
(2009: 3), bahwa semakin meningkatnya stock social capital, meningkat pula ex
post kesejahteraan masyarakat (net benefit) sebagai hasil meningkatnya jumlah
transaksi, joint venture, output, kualitas hidup, kualitas lingkungan dan
kemudahan lainnya yang dinikmati oleh penduduk.
Menurut Franscis Fukuyama ada tiga bentuk modal sosial yakni
kepercayaan atau trust, norma-norma atau norms dan jaringan-jaringan atau
networks (Syahyuti, 2006).
a. Kepercayaan (Trust)
Kepercayaan (trust) merupakan harapan yang tumbuh di dalam sebuah
masyarakat yang ditujukan oleh adanya perilaku jujur, teratur, dan kerja sama
berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. Kepercayaan sosial
merupakan penerapan pemahaman ini. Dalam masyarakat yang memiliki
kepercayaan tinggi, aturan sosial cenderung positif, hubungan-hubungan juga
bersifat kerjasama.
Kepercayaan sosial pada dasarnya merupakan produk dari modal sosial yang
baik. Adanya modal sosial yang baik ditandai oleh adanya lembaga -lembaga
sosial yang kokoh. Modal sosial melahirkan kehidupan sosial yang harmonis.
Kerusakan m odal sosial akan menimbulkan anomi dan perilaku anti
sosial.(Suharto, 2008). Modal sosial (social capital) adalah kapabilitas yang
18
muncul dari kepercayaan umum dalam sebuah masyarakat atau bagian -bagian
tertentu darinya.
b. Norma (norm)
Norma merupakan kumpulan aturan, nilai, harapan dan tujuan yang dipatuhi,
diikuti dan dijalankan bersama oleh anggota masyarakat pada intitas tertentu.
Norma-norma ini bisa timbul dari agama, dari kaidah-kaidah moral atau
budaya maupun standar lain yang dapat saja merupakan kesepakatan bersama
seperti kode etik professional. Norma-norma ini biasanya melembaga dan
mengandung sanksi sosial yang dapat mencegah individu berbuat sesuatu yang
menyimpang dari kebiasaan yang berlaku dalam masyarakatnya. Norma dapat
berupa pra-kondisi maupun dari kepercayaan sosial (Hasbullah, 2006:111).
c. Jaringan (Network)
Jaringan merupakan wadah suatu produk interaksi antar manusi. Modal sosial
yang memiliki wadah yang memfasilitasi interaksi tersebut, biasany berupa
jaringan-jaringan kerjasama antar manusia. Jaringan inilah yang berfungsi
sebagai wadah terjadinya komunikasi dan interaksi yang memungkinkan
tumbuhnya kepercayaan dan terjadinya kerja sama.
Masyarakat yang sehat cenderung memiliki jaringan-jaringan sosial yang kokoh.
Ruang bertemu dan saling berkenalan dengan orang lain. Mereka kemudian
membangun relasi yang kental, baik bersifat formal maupun informal. Jaringan-
jaringan sosial yang erat akan memperkuat perasaan kerjasama para anggotanya
serta dapat mengambil manfaat dari partisipasinya itu.
19
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya dasar terbentuknya modal
sosial adalah rasa percaya (trust). Kepercayaan (trust) menjadi pengikat
masyarakat. Pada masyarakat Low Trust’ ikatan kelembagaan /institusi diikat oleh
keanggotaan dalam keluarga. Karena dalam ikatan keluarga trust tidak perlu
dipermasalahkan. Anggota keluarga adalah bagian diri sendiri. Selain i ni pada
kelompok multi e tnik, kepercayaan antar anggota etnik yang sama lebih mudah
berkembang daripada antar etnik. Fukuyama berpendapat bahwa trust
berkolaborasi dengan pertumbuhan ekonomi (Fukuyama, 2008:26).
Putnam (1993) menunjukkan bukti bahwa pertumbuhan ekonomis sangat
berkorelasi dengan kehadiran m odal sosial. Pertum buhan ekonomi suatu
masyarakat akan baik apabila ciri-ciri berikut ini dimiliki oleh masyarakat :
1. Hadirnya hubungan yang erat antar anggota masyarakatnya.
2. Adanya para pemimpin yang jujur dan egal iter yang memperlakukan dirinya
sebagai bagian dari masyarakat buakan sebagai penbgausa
3. Adanya rasa saling percaya dan kerjasama di antara unsur masyarakat.
E.2. Konsep Kelembagaan
Kelembagaan (institution) menurut Uphoff (1986:8-9) merupakan
kompleksitas norma dan pola perilaku yang berorientasi pada tujuan bernilai
sosial tertentu secara kolektif. Kelembagaan dapat berwujud organisasi seperti
pengadilan dan bukan organisasi seperti hukum.
Dengan demikian kelembagaan menurut Uphoff (1986) berhubungan
dengan pola-pola tindakan individu dalam ruang hidupnya. Dalam kaitannya
dengan ini, kelembagaan ditentukan pula oleh tingkatan pengambilan keputusan
20
dalam masyarakat, mulai dari individu hingga internasional (Uphoff, 1986:11).
Tingkatan pengambilan keputusan terpenting untuk pembangunan pedesaan
berada pada level lokalitas sehingga kemudian ia mengajukan kelembagaan lokal
sebagai alternatif pembangunan ( local institution development-LID). Yang
dimaksud dengan kelembagaan level lokal adalah level lokalitas (atau setingkat
kota kecamatan di Indonesia), level komunitas (seperti desa di Indonesia), dan
level grup (seperti kelompok rumah tangga/rukun tetangga di Indonesia).
Jadi institusi lokal merupakan asosiasi komunitas setempat yang
bertanggung jawab atas proses kegiatan pembangunan setempat (Esman dan
Uphoff, 1982:9), seperti rukun tetangga, arisan , kelompok pengajian, kelompok
ronda dan sejenisnya. Yang jelas institusi ini memberikan manfaat bagi
masyarakat dan pemerintah setempat.
Institusi lokal dalam komunitas harus dilihat sebagai suatu sistem yang
saling silang menyilang (cross-cutting affiliation) dan institusi lokal telah
menyediakan jaring pengaman sosial (sosial safety net) ketika komunitas lokal
berada dalam situasi krisis. Kehadiran institusi lokal bukan atas kepentingan
pribadi/individu tetapi atas kepentingan bersama, sehingga institusi lokal lama
kelamaan menduduki pada posisi penting dalam penyelenggaraan pemerintahan
lokal. Rasa saling percaya warga komunitas lokal yang digalang dan diasah
melalui institusi ini semakin hari semakin didambakan sebagai modal sosial
(social capital).
21
Institusi lokal ternyata mampu menjadi bingkai etika komunitas lokal
(Santoso, 2002: 6). Institusi lokal pada dasarnya adalah regulasi perilaku kolektif,
di mana sandarannya adalah etika sosial, sehingga institusi lokal mampu
menghasilkan kemampuan mengatur diri sendiri dari kacamata normatif.
Pada bagian lain Uphoff menjelaskan argumentasi pentingnya kelembagaan
lokal untuk mengelola sumberdaya alam dan membangun pedesaan (Uphoff,
1992, 2001). Rasionalisasi bagi kelembagaan lokal itu adalah sebagai berikut:
1. Kelembagaan di level lokal penting untuk memobilisasi sumberdaya dan
mengatur penggunaannya dengan suatu pandangan jangka panjang terhadap
pemeliharaan dan aktivitas produktif.
2. Sumberdaya yang tersedia dapat dimanfaatkan secara paling efisien dan
berkelanjutan karena menggunakan sistem pengetahuan spesifik lokal.
3. Perubahan status sumber daya dapat dipantau secara lebih cepat dengan biaya
rendah.
4. Bila kelembagaan lokal tidak mampu menyelesaikan konflik manajemen
sumberdaya maka penyelesaiannya dapat diserahkan pada level yang lebih
tinggi.
5. Perilaku orang-orang dikondisikan oleh norma-norma dan konsensus
komunitas.
6. Institusi menodorong orang-orang untuk menggunakan cara pandang jangka
panjang melalui harapan-harapan dan basis kerjasama antar-individu yang
berkepentingan.
22
Menurut sektornya (Uphoff, 1986) kelembagaan lokal merupakan suatu
kontinum antara sektor publik (public sector) dan sektor privat (privat sector)
(Uphoff, 1986: 4-5). Di tengah-tengahnya terdapat sektor antara yang bersifat
sukarela (voluntary sector) yakni dicirikan oleh ciri-ciri publik dan privat. Urutan
kontinum itu adalah administrasi lokal ( local administration); pemerintahan lokal
(local government); organisasi sosial berbasis keanggotaan (membership
organizations) meliputi organisasi dengan tugas jamak, tugas spesifik, dan sesuai
kebutuhan anggota; koperasi (cooperatives); organisasi bergerak bidang jasa
(services organizations); dan bisnis privat (private business). Urutan pertama dan
kedua adalah kelembagaan sektor publik, urutan ketiga dan keempat sektor
sukarela, sedangkan urutan klima dan keenam adalah sektor privat.
Badan usaha m ilik desa sebaga i salah satu kelembagaan (institusi) ekonomi
desa yang dibentuk didasarkan atas modal sosial merupakan perwujudan dari
adanya hubungan interaksi sosial masyarakat setempat untuk meningkatkan
perekonomian desa berdasarkan aturan-aturan yang telah ditetapkan. Menurut
Bardhan (1993), kelembagaan (institusi) akan lebih akurat bila didefenisikan
sebagai aturan-aturan sosial, kesepakatan (convention), dan elemen lain dari
struktur kerangka kerja interaksi soaial. North (1994) memaknai kelembagaan
sebagai aturan-aturan yang membatasi perilaku menyimpang manusia (human
devised) untuk membangun struktur interaksi ekonomi, politik dan sosial. Melalui
rentetan sejarah, kelembagaan yang dapat meminimalisasi perilaku manusia yang
menyimpang telah berhasil menciptakan ketertiban dan mengurangi
ketidakpastian dalam melakukan pertukaran (exchange). Coleman (1988)
23
menegaskan bahwa modal sosial dapat berwujud pada tiga bentuk. Pertama
kewajiban (obligations) dan harapan (expectations) yang tergantung pada
kepercayaan (trustworthiness) pada lingkungan sosial. Kedua, kapasitas informasi
yang mengalir dari struktur sosial untuk menyediakan basis tindakan, dan ketiga,
kehadiran norma yang didampingi dengan sanksi efektif.
E.3. Sosial Kapital dalam Pengembangan Kelembagaan
Modal sosial dapat diartikan sebagai karakteristik dari hubungan antar
individu dalam suatu organisasi sosial maupun dengan individu diluar organisasi
yang dapat berwujud kepercayaan sosial, norma dan jaringan sosial yang
memungkinkan setiap individu yang ada di dalamnya untuk melakukan kerjasama
untuk mencapai tujuan bersama.
Modal sosial yang terbentuk di masyarakat dapat memiliki bentuk yang
beraneka ragam, baik itu berupa organisasi maupun nilai-nilai yang berkembang
dimasyarakat. Wujud nyata dari modal sosial yang terjadi di masyarakat tidak
dapat dilepaskan dari sistem budaya yang di masyarakat itu sendiri. Hermawati
dan Handari (2003) dalam Ambara (2009: 4) mengungkapkan bentuk -bentuk
modal sosial yang berkembang di masyarakat sebagai : hubungan sos ial, adat dan
nilai budaya lokal, toleransi, kesediaan untuk mendengar, kejujuran, kearifan
lokal dan pengetahuan lokal, jaringan sosial dan kepemimpinan sosial,
kepercayaan, kebersamaan dan kesetiaan, tanggung jawab sosial, partisipasi
masyarakat, dan kemandirian.
24
1. Kepercayaan (Trust)
Kepercayaan adalah rasa percaya yang terjadi antara dua orang atau
lebih untuk saling berhubungan. Ada tiga hal inti yang saling terkait dalam
kepercayaan, yaitu: (1) Hubungan antara dua orang atau lebih. Termasuk dalam
hubungan tersebut adalah institusi, yang dalam hal ini diwakili oleh orang.
Seseorang percaya pada institusi tertentu untuk kepentingannya, karena orang -
orang dalam institusi itu bertindak. (2) Harapan yang akan terkandung dalam
hubungan itu, yang kalau direalisasikan tidak akan merugikan salah satu atau
kedua belah pihak. (3) Interaksi sosial yang memungkinkan hubungan dan
harapan itu terwujud. Dengan ketiga dasar tersebut kepercayaan dapat diartikan
sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih yang mengandung harapan yang
menguntungkan salah satu atau kedua belah pihak melalui interaksi sosial
(Lawang, 2004: 46).
Percaya berarti seseorang memiliki kerelaan menerima segala resiko
dalam hubungan-hubungan sosialnya berdasarkan pada keyakinan bahwa orang
lain akan melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang diharapkan dan bertindak
saling menguntungkan. Percaya yaitu menerima dan mengabaikan
kemungkinan bahwa sesuatu akan tidak benar (Casson dan Godley dalam
Vipriyanti 2007 :23).
Rasa percaya merupakan dasar dari perilaku moral dimana modal sosial
dibangun. Moralitas mengarahkan bagi kerjasama dan koordinasi sosial dari
semua aktivitas sehingga manusia dapat hidup bersama dan berinteraksi satu
25
sama lain. Sepanjang adanya rasa percaya, perilaku dan hubungan
kekeluargaan maka akan terbangun prinsip-prinsip resiproksitas dan
pertukaran. Sebagai alat untuk membangun hubungan, rasa percaya dapat
menekan biaya-biaya transaksi yang muncul dalam proses kontak, kontrak dan
kontrol. Dengan demikian semua orang tentunya akan lebih menyukai
hubungan yang didasari oleh rasa saling percaya dibandingkan dengan
hubungan yang oportunistik.
Rasa percaya akan mempermudah terbentuknya kerjasama. Semakin
kuat rasa percaya pada orang lain semakin kuat juga kerjasama yang terjadi
diantara mereka. Kepercayaan sosial muncul dari hubungan yang bersumber
pada norma resiprositas dan jaringan kerja dari keterkaitan warga negara.
Dengan adanya rasa saling percaya, tidak dibutuhkan aktivitas monitoring
terhadap perilaku orang lain agar orang tersebut berperilaku sesuai dengan
yang kita inginkan.
Kepercayaan dapat dibangun, akan tetapi dapat juga hancur. Demikian
juga kepercayaan tidak dapat ditum buhkan oleh salah satu sumber saja, tetapi
seringkali tum buh berdasarkan pada hubungan teman dan keluarga
(Williamson dalam Vipriyanti, 2007). Rasa percaya ditentukan oleh
homogenitas, komposisi populasi dan tingkat keberagaman. Rasa percaya yang
tinggi ditemukan pada wilayah dengan ras dan komposisi populasi yang
homogen serta tingkat kebergaman yang rendah.
Hasbullah (2006:9), menyatakan bahwa berbagai tindakan kolektif yang
didasari atas rasa saling percaya mempercayai yang tinggi akan meningkatkan
26
partisipasi masyarakat dalam berbagai ragam bentuk dan dimensi terutama
dalam konteks membangun kemajuan bersama. Ketiadaan rasa saling percaya
dalam masyarakat akan mengundang berbagai masalah sosial yang serius.
Masyarakat yang kurang memiliki rasa saling percaya akan sulit menghindari
berbagai situasi kerawanan sosial dan ekonomi yang mengancam. Semangat
kolektifitas dan partisipasi masyarakat untuk membangun bagi kepentingan
kehidupan yang lebih baik akan hilang. Lambat laun akan mendatangkan biaya
tinggi bagi pembangunan karena masyarakat cenderung bersikap apatis dan
hanya menunggu apa yang diberikan oleh pemerintah dan pihak-pihak lain.
Jika rasa saling mempercayai sudah lemah, maka yang akan terjadi adalah
sikap-sikap yang menyimpang dari nilai dan norma yang berlaku, kriminalitas
akan meningkat, tindakan-tindakan destruktif dan anarkhis gampang mencuat,
kekerasan dan kerusuhan massa akan cepat tersulut. Kurangnya rasa saling
percaya juga membuat masyarakat cenderung pasif, sendiri-sendiri dan pada
akhirnya muncul perasaan keterisolasian diri. Pada situasi yang de mikian
masyarakat akan gampang terserang berbagai penyakit kejiwaan seperti
kecemasan, putus asa, dan kemungkinan akan melekukan tindakan-tindakan
yang fatal bagi dirinya maupun bagi orang lain.
2. Jaringan (Network)
Modal sosial tidak hanya dibangun oleh satu orang, te tapi oleh
kemampuan suatu kelompok untuk bersosialisasi dan berinteraksi. Kuat
lemahnya modal sosial sangat tergantung oleh kapasitas yang dimiliki oleh
suatu kelompok untuk membangun sejumlah asosiasi dan jaringan yang solid.
27
Jaringan-jaringan tersebut memfasilitasi terjadinya komunikasi dan interaksi,
memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan memperkuat kerjasama.
Dalam menjalin interaksi dengan sesamanya, masyarakat memiliki
karakteristik hubungan yang didasarkan atas prinsip kesamaan, kebebasan,
kesukarelaan, dan keadaban. Kemampuan anggota-anggota kelompok/
masyarakat untuk selalu menyatukan diri dalam suatu pola hubungan yang
sinergitas akan sangat besar pengaruhnya dalam menentukan kuat tidaknya
modal sosial suatu kelompok (Hasbullah, 2006: 9). Jaringan merupakan sumber
pengetahuan yang menjadi dasar dalam pembentukan kepercayaan. Lawang
(2004: 63) mengungkapkan bahwa jaringan menunjuk pada semua hubungan
dengan orang atau kelompok lain yang memungkinkan pengetasan masalah
dapat berjalan secara efisien dan efektif.
Berdasarkan tinjauan hubungan sosial yang membentuk jaringan so sial
dalam suatu masyarakat, maka jaringan sosial dapat dibedakan menjadi tiga
jenis sebagai berikut:
1. Jaringan kekuasaan, dimana hubungan sosial yang terbentuk bermuata n
kepentingan kekuasaan.
2. Jaringan kepentingan, dimana hubungan sosial yang membentuknya
adalah hubungan sosial yang bermuatan kepentingan.
3. Jaringan perasaan, dimana jaringan sosial yang terbentuk atas dasar
hubungan sosial yang bermuatan peran.
Masing-masing jenis jaringan sosial tersebut memiliki logika -situasional yang
berbeda-beda antara satu dengan lainnya (Agusyanto, 2007: 34-35).
28
Jaringan kepentingan terbentuk oleh hubungan yang bermuara pada
tujuan tertentu atau tujuan khusus. Bila tujuan yang spesifik atau konkrit,
seperti untuk memperoleh pekerjaan, barang dan jasa sudah dicapai oleh
pelaku, hubungan kepentingan itupun tidak dilanjutkan lagi. Struktur sosial
yang muncul dari jaringan sosial tipe ini bersifat sementara dan terus berubah -
ubah, ruang bagi tindakan dan interaksipun lebih didasarkan pada tujuan
relasional. Sebaliknya jika tujuan tersebut tidak konkret dan spesifik atau
hampir selalu berulang setiap saat, struktur yang tebentuk relatif stabil atau
permanen (Agusyanto, 2007: 35).
Dasgupta dan Serageldin (2002) dalam Vipriyanti (2007: 24),
mengansumsikan bahwa setiap orang mampu berinteraksi dengan orang lain
tanpa harus memilih. Tetapi sesungguhnya, setiap orang memiliki pola tertentu
dalam berinteraksi, melakukan pilihan dengan siapa berin teraksi dan dengan
alasan tertentu. Jaringan kerja pada awalnya merupakan sistem dari saluran
komunikasi (system of communication chanel) untuk melindungi dan
mengembangkan hubungan interpersonal. Membangun saluran komunikasi ini
membutuhkan biaya yang dikenal dengan biaya transaksi. Keinginan untuk
bergabung dengan orang lain, sebagian disebabkan oleh adanya nilai-nilai
bersama. Jaringan kerja juga berperan dalam membangun koalisi dan
koordinasi. Secara umum dikatakan bahwa keputusan melakukan investasi
dalam saluran tertentu disebabkan oleh adanya konstribusi saluran tersebut
terhadap kesejahteraan ekonom i individu.
29
Jaringan kerja menekankan pada pentingnya asosiasi vertikal dan
horizontal antar manusia dan hubungan inter dan antar asosiasi tersebut.
Granovetter dalam Vipriyanti (2007: 25), menyatakan bahwa ikatan inter
masyarakat (strong ties) diperlukan untuk memberikan identitas pada keluarga
dan masyarakat serta tujuan bersama. Pandangan ini juga menganggap bahwa
tanpa ikatan antar masyarakat (weak ties) yang menghubungkan berbagai
asosiasi sosial, maka ikatan horizontal yang kuat akan menjadi dasar untuk
mewujudkan keinginan kelompok yang terbatas.
Lawang dalam Suparman (2012: 41-42), mengatakan jaringan sosial
apapun harus diukur dengan fungsi ekonomi dan fungsi kesejahteraan sosial
sekaligus. Fungsi ekonom i menunjuk pada produktifitas, efisiensi dan
efektifitas yang tinggi, sedangkan fungsi sosial menunjuk pada dampak
partisipatif, kebersamaan yang diperoleh dari suatu pertumbuhan ekonomi.
Jaringan sosial seperti itu sajalah yang disebut sebagai kapital sosial. Jadi,
jaringan teroris, narkoba dan perampok, biarpun mendatangkan untung bagi
mereka yang masuk dalam jaringan tersebut, tetap merupakan ancaman bagi
masyarakat secara keseluruhan, sehingga jaringan seperti itu bukan merupakan
kapital sosial.
3. Norma (Share Value)
Norma tidak dapat dipisahkan dari jaringan dan kepercayaan, kalau
struktur jaringan itu terbentuk karena pertukaran sosial yang terjadi antar dua
orang. Sifat norma adalah muncul dari pertukaran yang saling menguntungkan
(Blau dan Fukuyama) dalam Suparman (2012:44), artinya kalau dalam
30
pertukaran itu keuntungan hanya dinikmati oleh salah satu pihak saja,
pertukaran sosial selanjutnya pasti tidak akan terjadi. Karena itu norma yang
muncul bukan hanya satu pertukaran saja. Kalau dari beberapa kali pertukaran
prinsip saling menguntungkan dipegang teguh, maka dari situlah muncul norma
dalam bentuk kewajiban sosial, yang intinya membuat kedua belah pihak
merasa diuntungkan dari pertukaran, dengan demikian hubungan pertukaran itu
dipelihara (Blau, dalam Lawang, 2004) dalam Suparman (2012:44).
Lawang dalam Suparman (2012: 45), mengatakan norma tidak dapat
dipisahkan dari jaringan dan kepercayaan. Kalau struktur jaringan itu terbentuk
karena pertukaran sosial yang terjadi antara dua orang atau lebih, sifat norma
kurang lebih sebagai berikut:
1. Norma itu muncul dari pertukaran yang saling menguntungkan, artinya
kalau pertukaran itu keuntungan hanya dinikmati oleh salah satu pihak saja,
pertukaran sosial selanjutnya pasti tidak akan terjadi. Karena itu, norma
yang muncul disini, bukan sekali jadi melalui satu pertukaran saja. Norma
muncul karena beberapa kali pertukaran yang saling menguntungkan dan
ini dipegang terus menerus menjadi sebuah kewajiban sosial yang harus
dipelihara.
2. Norma bersifat resiprokal, artinya isi norma menyangkut hak dan
kewajiban kedua belah pihak yang dapat menjamin keuntungan yang
diperoleh dari suatu kegiatan tertentu. Orang yang melanggar norma ini
yang berdampak pada berkurangnya keuntungan di kedua belah pihak, akan
diberi sanksi negative yang sangat keras jaringan yang terbina lama dan
31
menjamin keuntungan kedua belah pihak secara merata, akan
memunculkan norma keadilan, dan akan melanggar prinsip keadilan akan
dikenakan sanksi yang keras juga.
Secara nyata dalam keseharian, apabila dicermati secara mendalam, semua
perilaku aktivitas sosial-ekonomi warga masyarakat lokal melekat dalam jaringan
hubungan-hubungan sosialnya. Sosial kapital dan kepercayaan (trust) dapat
membuat dan memungkinkan transaksi-transaksi ekonomi menjadi lebih efisien
dengan memberikan kemungkinan bagi pihak-pihak yang terkait untuk bisa (1)
mengakses lebih banyak informasi, (2) memungkinkan mereka untuk saling
mengkoordinasikan kegiatan untuk kepentingan bersama, dan (3) dapat
mengurangi atau bahkan menghilangkan opportunistic behavior melalui transaksi-
transaksi yang terjadi berulang-ulang dalam rentang waktu yang panjang.
Di Indonesia, studi tentang sosial kapital secara formal masih merupakan
hal yang baru. Namun meskipun secara eksplisit belum menggunakan terminologi
sosial kapital, sebenarnya telah ada beberapa studi terutama berupa kajian tentang
hubungan kerjasama saling menguntungkan antar warga masyarakat di daerah
pedesaan yang pada esensinya memiliki keterkaitan erat dengan sosial kapital.
Mempertimbangkan simpulan sementara bahwa elemen utama so sial kapital
terdiri dari norms, reciprocity, trust, dan network, maka sebenarnya hal tersebut
secara historis bukan merupakan fenomena baru dan asing bagi masyarakat di
Indonesia dan hal tersebut lebih berakar kuat dan terinstitusikan dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat di daerah pedesaan. Semangat dan implementasi dari
32
kemauan untuk saling bekerjasama dalam upaya memenuhi kepentingan sosial
dan kepentingan individu atau personal telah termanivestasikan dalam berbagai
bentuk aktivitas bersama yang secara umum dikenal dengan kegiatan “ saling
tolong-menolong” atau secara luas terwadahi dalam tradisi “gotong royong”.
Tradisi gotong royong memiliki aturan main yang disepakati bersama (norm),
menghargai prinsip timbal-balik dimana masing-masing pihak memberikan
kontribusi dan dalam waktu tertentu akan menerima kompensasi/ reward sebagai
suatu bentuk dari sistem resiprositas (reciprocity), ada saling kepercayaan antar
pelaku bahwa masing-masing akan mematuhi semua bentuk aturan main yang
telah disepakati (trust), serta kegiatan kerjasama tersebut diikat kuat oleh
hubungan-hubungan spesifik antara lain mencakup kekerabatan (kinship),
pertetanggaan (neighborship) dan pertemanan (friendship) sehingga semakin
menguatkan jaringan antar pelaku (network).
Tradisi gotong royong secara nyata telah melembaga dan mengakar kuat,
ini diwujudkan dalam berbagai aktivitas keseharian masyarakat Indonesia.
Khususnya di pedesaan Jawa, praktek gotong royong walaupun cenderung
mengalami penurunan baik dari sudut pandang lingkup aktifitas maupun jumlah
orang yang terlibat, namun secara umum masih mendapatkan apresiasi positif oleh
warga masyarakat. Hal ini nampaknya juga dipengaruhi oleh salah satu
karakteristik khusus yaitu keeratan hubungan sosial yang dimiliki oleh masyarakat
Jawa. Salah seorang peneliti terkemuka tentang masyarakat pedesaan Scott (1976)
dalam Subejo (2008: 4) telah mengkategorikan masyarakat pedesaan Jawa sebagai
33
salah satu dari masyarakat pedesaan di dunia yang memiliki tradisi communitarian
paling kuat.
Studi-studi yang terkait dengan sosial kapital di pedesaan Indonesia dan
secara khusus di pedesaan Jawa umumnya masih dilakukan secara parsial da ri
setiap elemen sosial kapital. S tudi lanjut yang lebih mendalam akan menjadi lebih
komprehensif jika mampu mencakup semua aspek atau elemen sosial kapital yang
dipraktekkan oleh warga masyarakat dalam berbagai aktifitas sosial dan ekonomi.
Beberapa aspek kajian tentang elemen sosial kapital di pedesaan Indonesia
khususnya di pedesaan Jawa oleh Iwamo dan Subejo (2004 :5) telah digambarkan
dalam suatu struktur. Eleman-elemen dasar tersebut antara mencakup institusi
lokal yang memiliki fungsi pelayanan sosia l, kelompok sim pan pinjam
berotasi/arisan, jaring pengaman sosial tradisional lainya, sistem pewarisan yang
seimbang, sistem penyakapan dan bagi hasil serta pelayanan pemerintah untuk
kesejahteraan masyarakat. Melalui kajian elemen seperti tersebut akan da pat
ditunjukkan peranan masing-masing elemen serta saling keterkaitan antar elemen
yang memungkinkan masing-masing pihak terkait dalam kerjasama memperoleh
optimal gain serta secara makro mampu memacu pertumbuhan ekonomi dalam
masyarakat lokal. Selain mengkaji masing-masing elemen sosial kapitalyang
terpraktekkan di daerah pedesaan, nampaknya masih ada unsur lain yang tidak
kalah pentingnya dan layak mendapatkan perhatian lebih intens yaitu “proses”
kerjasama itu sendiri.
34
Tiga kata kunci dalam pembangunan pedesaan yang tidak dapat dipisahkan
satu sama lain, yaitu penguatan kelembagaan lokal, membangkitkan kapital sosial,
dan mendinamiskan teknologi dan pendanaan. Pengembangan kelembagaan tidak
dapat dilepaskan dari kapital sosial yang ada. Kepercayaan, hubungan sosial dan
norma merupakan tiga komponen penting yang mampu menjadi perekat elemen
masyarakat. Apabila semuanya dapat berjalan dengan baik maka kapital sosial
akan mampu menggerakkan sebuah lembaga yang efektif dan ef isien dalam
melaksanakan pembangunan. Kapital sosial mampu mengembangkan
kelembagaan bahkan “melembagakan lembaga yang belum melembaga” namun
kelembagaan belum tentu akan dapat menciptakan kapital sosial.
Begitu juga dengan BUM Desa, jika dalam pengelolaan BUM Desa
adanya tiga komponen penting dalam kapital sosial tidak menutup kemungkinan
dalam pengelolaannya akan berhasil. Jika tiga elemen itu saling melengkapi
dimana adanya kepercayaan masyarakat kepada pengurus-pengurus BUM Desa
dan unit-unit usahanya akan mampu menggerakkan BUM Desa. Di dalam BUM
Desa pun adanya AD/ART BUM Desa sehingga adanya kejelasan aturan dalam
setiap unit-unit usaha, seperti pembagian hasil usaha. Begitu juga dengan adanya
jejaring bias dilakukan dalam pengembangan unit-unit usaha BUM a atau dalam
hal penambahan modal BUM Desa.
Pembentukannya, BUM Desa dibangun atas prakarsa masyarakat serta
mendasarkan pada prinsip-prinsip kooperatif dan partisipatif. Selain itu, yang
terpenting juga adalah pengelolaannya dilakukan secara profesional dan mandiri.
35
BUM Desa sebagai badan hukum, tentunya dibentuk berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan sesuai dengan kesepakatan yang terbangun
di masyarakat desa. Dengan demikian, bentuk BUM Desa dapat beragam di setiap
desa di Indonesia.
Belajar dari pengalaman masa lalu, satu pendekatan baru yang diharapkan
mampu menstim ulus dan menggerakkan roda perekonomian di pedesaan adalah
melalui pendirian kelembagaan ekonomi yang dikelola sepenuhnya oleh
masyarakat desa, harus didasarkan pada keinginan masyarakat desa yang
berangkat dari adanya potensi yang jika dikelola dengan tepat akan menimbulkan
permintaan di pasar. Agar keberadaan lembaga ekonomi ini tidak dikuasai oleh
kelompok tertentu yang memiliki modal besar di pedesaan. Maka kepemilikan
lembaga itu oleh desa dan dikontrol bersama di mana tujuan utamanya untuk
meningkatkan standar hidup ekonomi masyarakat.
Terdapat 7 (tujuh) ciri utama yang membedakan BUM Desa dengan
lembaga ekonomi komersial pada umumnya yaitu:
1. Badan usaha ini dim iliki oleh desa dan dikelola secara bersama secara gotong
royong;
2. Modal usaha bersumber dari desa (51%) dan dari masyarakat (49%) melalui
penyertaan modal (saham atau andil);
3. Operasionalisasinya menggunakan falsafah bisnis yang berakar dari budaya
lokal (local wisdom);
36
4. Bidang usaha yang dijalankan didasarkan pada potensi dan hasil informasi
pasar;
5. Keuntungan yang diperoleh ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan
anggota (penyerta modal) dan masyarakat melalui kebijakan desa (village
policy);
6. Difasilitasi oleh Pemerintah, Pemprov, Pemkab, dan Pemdes;
7. Pelaksanaan operasionalisasi dikontrol secara bersama (Pemdes, BPD,
anggota).
BUM Desa sebagai suatu lembaga ekonomi modal usahanya dibangun atas
inisiatif masyarakat dan menganut asas mandiri. Ini berarti pemenuhan modal
usaha BUM Desa harus bersumber dari masyarakat. Meskipun demikian, tidak
menutup kemungkinan BUM Desa dapat mengajukan pinjaman modal kepada
pihak luar, seperti dari Pemerintah Desa atau pihak lain, bahkan melalui pihak
ketiga. Ini sesuai dengan peraturan per undang-undangan (UU 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah Pasal 213 ayat 3). Penjelasan ini sangat penting
untuk mempersiapkan pendirian BUM Desa, karena implikasinya akan
bersentuhan dengan pengaturannya dalam Peraturan Daerah (P erda) maupun
Peraturan Desa (Perdes).
Ada empat peluang yang dapat diraih terkait BUM Desa. Pertama, Pemda
berkewajiban dan berkeinginan untuk mewujudkan pemerintahan desa yang kuat
di mana ekonomi kerakyatan berperan penting. Peran ekonom i kerakyatan seb agai
ujung tombak kekuatan desa di masa depan ini ditopang BUM Desa dengan
37
memperkuat usaha-usaha kecil di pedesaan. Kedua munculnya program -program
donor yang memfasilitasi berkembangnya BUM Desa melalui dukungan
pendampingan yang handal. Ketiga, menekan arus Urbanisasi di Indonesia karena
BUM Desa mampu menciptakan kesempatan kerja dan yang terpenting. Keempat,
banyaknya unit usaha BUM Desa yang strategis dan memiliki keunggulan
maupun potensi untuk berkembang dan berhasil. Dengan demikian, BUM Desa
bisa meningkatkan kesejahteraan warga.
Kerangka teori yang di jelaskan di atas, akan penulis gunakan dalam
melakukan analisa terhadap peranan modal sosial dalam pengelolaan BUM Desa
di Desa Karangrejek dan Desa Bleberan, Kabupaten Gunungkidul.