bab i pendahuluan 1.1 latar belakang...

31
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat Jawa dalam kehidupannya menghasilkan kebudayaan yang tercermin dalam perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, kehidupan manusia dan masyarakat Jawa sebagai makhluk sosial juga selalu dihadapkan dengan segala bentuk permasalahan hidup, sehingga manusia selalu dituntut mencari berbagai cara untuk mengatasinya. Salah satu permasalahan yang selalu dihadapi masyarakat adalah permasalahan kesehatan. “Kesehatan dan penyakit merupakan permasalahan utama yang dihadapi umat manusia sejak awal keberadaan umat manusia itu sendiri. Berbagai cerita mengenai penyakit selalu muncul dalam setiap peradaban masyarakat dari masa ke masa” (Prasetya, 2009:13). Penyakit dalam suatu masyarakat pun menjadi suatu ancaman manusia dalam mempertahankan kelangsungan hidup dari kelompoknya, akibatnya berbagai pengetahuan timbul untuk merespon penyakit. Manusia sebagai makhluk yang berakal akan selalu mengembangkan pengetahuannya untuk menghadapi dan merespon permasalahan hidupnya termasuk permasalahan tentang kesehatan dan penyakit. Bentuk respon oleh manusia terhadap permasalahan penyakit dalam kehidupannya bermacam-macam, ada yang dipengaruhi oleh lingkungan, ideologi dan gagasan, serta nilai-nilai yang diyakini dalam suatu kelompok masyarakat. Kosmologi semacam inilah yang turut mempengaruhi etiologi dan respon penyakit dari suatu masyarakat 1 . Bentuk 1 Kosmologi Jawa menurut Endraswara, (dalam Triratnawati, 2011) adalah wawasan manusia Jawa terhadap alam semesta, dan yang difokuskan dalam penelitian ini adalah pengetahuan atau

Upload: ngothien

Post on 03-Mar-2019

212 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Masyarakat Jawa dalam kehidupannya menghasilkan kebudayaan yang

tercermin dalam perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu,

kehidupan manusia dan masyarakat Jawa sebagai makhluk sosial juga selalu

dihadapkan dengan segala bentuk permasalahan hidup, sehingga manusia selalu

dituntut mencari berbagai cara untuk mengatasinya. Salah satu permasalahan yang

selalu dihadapi masyarakat adalah permasalahan kesehatan. “Kesehatan dan

penyakit merupakan permasalahan utama yang dihadapi umat manusia sejak awal

keberadaan umat manusia itu sendiri. Berbagai cerita mengenai penyakit selalu

muncul dalam setiap peradaban masyarakat dari masa ke masa” (Prasetya,

2009:13). Penyakit dalam suatu masyarakat pun menjadi suatu ancaman manusia

dalam mempertahankan kelangsungan hidup dari kelompoknya, akibatnya

berbagai pengetahuan timbul untuk merespon penyakit.

Manusia sebagai makhluk yang berakal akan selalu mengembangkan

pengetahuannya untuk menghadapi dan merespon permasalahan hidupnya

termasuk permasalahan tentang kesehatan dan penyakit. Bentuk respon oleh

manusia terhadap permasalahan penyakit dalam kehidupannya bermacam-macam,

ada yang dipengaruhi oleh lingkungan, ideologi dan gagasan, serta nilai-nilai yang

diyakini dalam suatu kelompok masyarakat. Kosmologi semacam inilah yang

turut mempengaruhi etiologi dan respon penyakit dari suatu masyarakat1. Bentuk

1 Kosmologi Jawa menurut Endraswara, (dalam Triratnawati, 2011) adalah wawasan manusia

Jawa terhadap alam semesta, dan yang difokuskan dalam penelitian ini adalah pengetahuan atau

2

respon masyarakat terhadap permasalahannya tersebut secara antropologi

dipengaruhi oleh kebudayaan, baik kebudayaan material maupun kebudayaan

immaterial. Manusia sadar akan adanya suatu alam dunia yang tidak tampak, yang

ada di luar batas panca inderanya dan di luar batas akalnya. Frazer (dalam

Koentjaraningrat, 1980:221; Syam, 2011:33) mengemukakan bahwa “manusia

memecahkan soal-soal hidupnya dengan akal dan sistem pengetahuannya, tetapi

akal dan sistem pengetahuan itu ada batasnya” yang disebut dengan teori batas

akal. Persoalan-persoalan hidup yang tidak dapat dipecahkan dengan akal

kemudian dipecahkan dengan magic atau ilmu gaib, hal ini terutama terjadi pada

masyarakat pedesaaan (tradisional).

Pada masyarakat tradisional, khususnya masyarakat Jawa penyakit terbagi

ke dalam penyakit dalam dan luar, sehingga dalam meresponnya pun akan

berbeda. Menurut Geertz (1989:131-133) semua orang Jawa berpendapat bahwa

ada dua jenis penyakit yang pokok: satu jenis yang bisa ditemukan sebab-sebab

fisiknya dan bisa disembuhkan dengan pengobatan dokter yang dididik secara

medis Barat; yang kedua adalah penyakit yang tidak bisa ditemukan sebab-sebab

secara medis, tetapi si pasien masih saja sakit, ini merupakan jenis penyakit yang

hanya mampu diobati oleh para dukun.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Suseno (2001:181) bahwa

“umumnya masyarakat desa Jawa mengenal dukun, begitu pula yang ada di Desa

Tanggulangin Kecamatan Montong, Kabupaten Tuban. Di sana ada semacam

dukun berjenis kelamin laki-laki yang biasanya disebut dengan istilah dongke.

kerangka berpikir masyarakat Jawa yang dipengaruhi oleh dunia mikrokosmos dan makrokosmos

yang mempengaruhi gagasan, artefak, dan tindakan manusia Jawa. Khsusnya yang mempengaruhi

pemanfaatan pengobatan tradisional kepada dongke.

3

Para dongke dipercaya mampu menyembuhkan penyakit. Dongke dikenal oleh

masyarakat melalui informasi (Jawa: getok tular) dari beberapa pasien dongke.

Di tengah perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, masyarakat Jawa

[Desa Tanggulangin] masih mempercayai kekuatan supranatural di luar

kemamuan manusia. Masyarakat percaya bahwa dunia manusia juga mempunyai

ketergantungan dengan dunia supranatural. Dunia Jawa dimaknai sebagai

keseimbangan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Akibatnya, dalam konteks

kesehatan, khususnya etiologi penyakit masyarakat mengenal sakit supranatural.

Sakit akibat gangguan supranatural ini biasanya direspon masyarakat ke dukun

(Tanggulangin: dongke). Selain dongke digunakan sebagai praktisi penyembuh

dalam medis tradisional, masyarakat juga menggunakan jasa dongke untuk

mengetahui hari-hari baik dalam suatu ritus adat, misalnya ritus perkawinan,

khitanan, maupun acara lain yang dinilai masyarakat mempunyai nilai sakral.

Seiring perkembangan zaman yang semakin ilmiah, modern, dan rasional

serta banyaknya layanan kesehatan yang tersedia di Tuban. Ternyata tidak hanya

masyarakat awam saja yang menggunakan jasa dongke sebagai praktisi

penyembuh dan pemimpin ritual adat. Tokoh agama pun juga masih percaya dan

menggunakan jasa dongke. Uniknya, dongke sebagai praktisi penyembuh

menggunakan sistem numerologi/petungan sebagai basis perhitungan Jawa.

Petungan yang digunakan oleh dongke untuk pengobatan berlandaskan pada hari

dan weton menurut masyarakat Jawa. Petungan-petungan tersebut biasanya

digunakan untuk mengetahui sumber atau agen penyakit dan menentukan

bagaimana cara merespon penyakit berdasarkan jenis penyakit. Eksistensi dongke

sangat bertentangan dengan dunia modern yang berlandaskan dengan rasionalitas

4

serta bertolak belakang dengan ikon masyarakat Tuban yang dikenal sebagai kota

Wali2. Dari sisi lain, terdapat fenomena yang menarik tentang pengobatan medis

tradisional dalam konteks kosmologi masyarakat terkait etiologi dan pengobatan

sakit yang menggunakan basis petungan Jawa. Berbicara tentang pengobatan

dongke, tidak hanya berbicara mengenai sistem medis pengobatan tradisional,

tetapi juga terkait dengan sistem kepercayaan, tradisi, dan magis yang akan

dianalisa dalam konteks kosmologi Jawa yang menganut model keseimbangan

alam antara dunia mikrokosmos maupun makrokosmos.

Alasan lain dilakukannya penelitian yang bertemakan etnomedisin, yaitu

untuk menggali pengetahuan lokal yang berbasis pada komunitas. Hal ini sesuai

dengan kebijakan pemerintah yang ingin mensurvei secara skala nasional untuk

mengetahui kearifan lokal masyarakat (Tunggal, 2012). Wawasan sebagai

pengetahuan lokal masyarakat Tanggulangin yang terekspresikan lewat

pemanfaatan dongke menjadi salah satu kajian etnomedisin yang dimaksud

pemerintah.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka dapat ditarik suatu rumusan masalah,

yaitu mengapa animo masyarakat Desa Tanggulangin pergi berobat ke dongke

masih tinggi, seiring perkembangan zaman yang semakin ilmiah, modern, dan

rasional? Mengingat pula pembangunan kesehatan yang sudah mulai membaik.

2 Masyarakat Kabupaten Tuban dikenal dengan masyarakat yang banyak wali-nya, sehingga

masyarakatnya diinterpretasikan sebagai masyarakat yang religius.

http://jokolelonokosti.wordpress.com/2009/10/25/wisata-tuban-nan-agamis/ di unduh 26/10/2011.

5

Hal ini dapat terlihat dengan fasilitas rumah kesehatan dengan adanya rumah sakit

dan puskesmas di Kabupaten Tuban.

Merujuk pada rumusan masalah di atas, maka peneliti menguraikannya ke

dalam beberapa pertanyaan penelitian yang berguna untuk menguraikan dan

membantu menjawab rumusan masalah, yaitu:

1. Bagaimana pengetahuan lokal masyarakat Desa Tanggulangin mengenai sehat,

sakit, dan penyebab sakit?

2. Bagaimana masyarakat mengidentifikasi dan merespon penyakit? Dan

bagaimana pencegahan terhadap penyakit?

3. Pilihan rasional yang bagaimana yang mempengaruhi masyarakat pergi berobat

ke dongke?

Rumusan pertanyaan di atas disusun guna mengetahui pengetahuan lokal

terkait pengobatan tradisional dalam konteks kosmologi Jawa. Kosmologi

semacam inilah yang akan berusaha dibaca oleh peneliti dalam menganalisis

tingginya fenomena masyarakat berobat ke pengobatan sistem medis tradisional

(dongke). Selain itu, juga akan dikaitkan dengan perubahan dan pilihan rasional

masyarakat dalam merespon sakit.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan utama dalam penelitian ini adalah menjelaskan tingginya animo

pengobatan ke dongke dalam konteks kosmologi Jawa sebagai pengetahuan lokal

yang dikaitkan dengan perubahan-perubahan dan pilihan-pilihan rasional yang

terjadi di Masyarakat Desa Tanggulangin. Adapun sub tujuan penelitian yang

akan dilakukan, yaitu sebagai berikut:

6

1. Mengungkap pemahaman masyarakat mengenai konsep sehat-sakit dan

penyebab sakit di Tanggulangin.

2. Menjelaskan cara masyarakat mengidentifikasi dan merespon penyakit serta

perilaku pencegahan penyakit.

3. Mendeskripsikan perubahan-perubahan sosial dan pilihan rasional masyarakat

dalam melakukan pengobatan.

Selain itu, tulisan ini merupakan kerangka yang berusaha menganalisis

tindakan dalam konteks kosmologi berpikir masyarakat Tanggulangin. Penelitian

ini tidak hanya sekedar mendeskripsikan dan mengetahui fenomena yang ada pada

masyarakat Tanggulangin, tetapi lebih jauh akan bergerak untuk mengisi

khasanah keilmuah (teoritis) dalam bidang antropologi kesehatan. Apabila kajian

etnomedisin biasanya mengungkap sisi pengobatan dari dalam (cara

pengobatannya/teknis), maka tulisan ini berusaha mencari kerangka berpikir

mengapa masyarakat melakukan suatu tindakan dengan cara melihat etnomedisin

tidak dari dalam, tetapi dari luar.

1.4 Tinjauan Pustaka

Kepustakaan yang dibahas dalam tulisan ini merupakan literatur yang

membahas etnomedisin, yang searah dengan apa yang akan dilakukan oleh

peneliti. Kepustakaan sebagai data bukan berfungsi sebagai data duplikasi, tetapi

sebagai bukti keorisinalitasan peneliti dari hasil penelitian-penelitian sebelumnya.

Beberapa hasil kajian entomedisin yang peneliti gunakan untuk

menunjukkan keorisinalitasan tulisan, antara lain adalah karya Riyanto (1999)

yang mengkaji konstruksi sosial budaya dukun pada masyarakat Banyuwangi.

Riyanto memfokuskan kajiannya tentang bagaimana masyarakat

7

menginterpretasikan seorang dukun, bagaimana seorang dukun memberikan

makna terhadap dirinya sendiri (self image), dan strategi apa yang harus dilakukan

agar kehadirannya diakui oleh masyarakat. Penelitian Riyanto menghasilkan

simpulan dengan melihat perbedaan dukun modern dan tradisional dari cara

pengobatan seperti strategi pengiklanan yang merupakan bagian dari pengobatan,

interpretasi, dukun yang membangun relasi sosial, pemaknaan dukun terhadap

dirinya sendiri terkait perannya sebagai penyembuh. Hal ini hampir sama

pengamatan Suwarna dan Febriane, bahwa fenomena dunia penyembuhan

alternatif-supranatural di era konsumsi seperti saat ini sangat mementingkan citra.

Dulu, penyembuh identik dengan orang tua yang disebut “Mbah”, namun seiring

dengan perkembangan media komunikasi yang semakin maju, tidak sedikit dari

para pelaku atau praktisi penyembuh tradisional mulai membangun citra dirinya

melalui radio dan televisi (TV). Hal ini terbukti dengan seringnya acara pada TV

dan radio dengan siaran eksklusif pengobatan alternatif dengan praktisi yang

mendapat julukan Jeng (Suwarna, Budi & Sarie Febria dalam Kompas.com,

2011).

Sementara studi lain, yaitu Walcott (2004:52-54) memfokuskan

penelitiannya pada adanya faktor dalam pemilihan pengobatan seperti faktor

ekonomi, kepercayaan, dan kebudayaan yang saling berpengaruh. Berbagai jenis

pengobatan alternatif, pengobatan yang berdasarkan tumbuh-tumbuhan lebih

mudah diterima. Hubungan diantara pengobatan alternatif dengan pengobatan

modern tidak dianggap sebagai hubungan yang bersaing.

Kajian etnomedisin yang paling banyak dikaji oleh peneliti di Indonesia

adalah pengobatan tradisional yang pengobatannya memanfaatkan ramuan

8

tanaman yang banyak tumbuh di masyarakat Indonesia yang dijadikan sebagai

jamu. Kajian-kajian tersebut masih belum memperhatikan kemampuan

supranatural orang yang melakukan penyembuhan. Pengkajian semacam itu, dapat

dilihat dalam beberapa artikel tentang pengobatan yang ditulis diberbagai media

seperti (Anonim, 1980:57-59; Lum, 1984:111; Supardi, Jamal, & Badan, 2005-

192-198; Prastika, 2011:1-18; Kuntorini, 2005:25-36; Limananti dan Triratnawati,

2003:11-20). Selain itu juga dapat ditemukan dalam buku Jawa Serat Centhini

(Sudardi, 2002:13; Kasniyah, 1997).

Beberapa kajian etnomedisin yang mencoba menggali pengetahuan lokal

masyarakat dan kondisi praktisi sistem medis tradisional salah satunya dilakukan

oleh Iskandar (2007) yang mengkaji pengetahuan sando tentang etiologi dan

metode penyembuhan di Desa Pakuli Provinsi Sulawesi Tengah. Iskandar belum

menggali pengetahuan lokal dengan mendalam, tetapi mengklasifikasikan praktisi

sistem medis tradisional. Menurutnya ada dua tipe sando, yaitu sando perahu dan

sando pengenalan. Sando perahu lebih konservatif terhadap perubahan pola-pola

pengobatan (Jawa: duku tiban). Sementara sando pengenalan lebih terbuka untuk

memodifikasi dan mengembangkan metode pengobatannnya. Deskripsi lain yang

dapat saya interpretasikan adalah sebutan untuk sando bisa dianalogikan dengan

dukun sebagaimana sebutan praktisi kesehatan pada masyarakat Jawa. Hal ini

terlihat pada pendeskripsian Iskandar bahwa sando juga bisa mengobati patah

tulang (sando koto atau mpeonju) dan menangani persalinan, ini mirip dengan

dukun sangkal putung dan dukun bayi pada masyarakat Jawa. Selain itu, struktur

masyarakat yang diteliti oleh Iskandar juga kurang dijelaskan di dalamnya.

Menurut saya, kaitan antara struktur sosial-budaya masyarakat akan

9

mempengaruhi pola pikir dan respon terhadap sistem sakit yang ada pada

masyarakat (hubungan kausalitas), sehingga keberadaannya jangan diabaikan.

Beberapa studi di atas, menurut peneliti masih belum mengungkap secara

mendalam pengetahuan lokal terkait dengan konsep sehat-sakit, penyebab dan

pencegahan sakit, cara masyarakat merespon dan mengidentifikasi sakit. Beberapa

diantaranya belum ada yang menghasilkan etnografi yang mengkaitkan

pengetahuan dan pilihan pengobatan dengan alam pikiran masyarakatnya

(kosmologinya). Selain itu, penelitian tentang etnomedisin masih banyak yang

membahas dari dalam (cara pengobatan/teknis), tidak melihat kosmologi berpikir

mengapa masyarakat melakukan suatu tindakan. Kekosongan yang demikianlah

yang akan berusaha peneliti ungkap melalui tulisan ini.

Selain itu, yang membedakan penelitian ini dengan penelitian yang

sebelumnya adalah upanya peneliti melihat perubahan pengetahuan lokal dan

gejala penyakit yang menyerang pasien yang akan digali dengan konteks kekinian

dan kelokalan. Selain itu, menurut Geertz elemen yang sangat terpenting dalam

sebuah pengobatan tradisional adalah kondisi pemberi obat (condition of the

performer) yang dikaitkan dengan etiologi penyakit masyarakat (Geertz,

1989:123-127). Hal inilah yang juga kurang diperhatikan oleh peneliti-peneliti

sebelumnya. Dari penelitian-penelitian di atas, maka peneliti tertarik dan akan

menganalisa lebih komprehensif kajian etnomedisin dengan pendekatan

etnosains. Selain untuk melihat klasifikasi-klasifikasi, pendekatan ini juga untuk

mengalisis pengetahuan lokal terkait pilihan rasional dalam pengobatan pada

masyarakat yang sedang mengalami perubahan.

10

Guna mendukung dan memberikan arah dalam penelitian, literatur

tambahan dipakai untuk mempertegas dan menunjukkan keaslian penelitian yang

akan dilakukan. Hal ini merupakan landasan berpijak peneliti ketika akan

menguraikan hasil penelitian untuk dapat mendeskripsikan hubungan-hubungan

yang terjadi dengan data yang diperoleh di lapangan, antara lain:

1.4.1 Sistem Medis Tradisional pada Masyarakat Jawa

Sistem medis tradisional akhir-akhir ini lebih menarik perhatian dan

mungkin lebih banyak yang memanfaatkannya dibanding masa-masa sebelumnya.

Artinya bahwa akhir-akhir ini pengobatan tradisional ada kecenderungan menjadi

daya tarik tersendiri bagi masyarakat yang menderita suatu penyakit. Hasil Survei

Sosial Ekonomi Nasional di tahun 2010 dan 2011 didapatkan bahwa pengobatan

penyakit dari masyarakat yang terserang sakit dengan pengobatan sendiri baik

pengobatan modern maupun tradisional sebanyak 68,41 % (2010:38) dan 68,70 %

(2010:11). Sementara dari pengobatan yang dilakukan dengan cara medis

tradisional sebanyak 22,26% di tahun 2008; 24,24% di tahun 2009; dan 27,58% di

tahun 2010 (2011:149). Prosentase ini menunjukkan bahwa angka pengobatan

yang dilakukan secara mandiri dan pilihan pengobatan medis tradisonal

mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Pengobatan dengan menggunakan

sistem medis tradisional seperti inilah yang justru menjadi pilihan masyarakat.

Menurut ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bahri, sebelum adanya

pengobatan modern, masyarakat dulu memanfaatkan jasa dukun yang kemudian

dikembangkan menjadi pengobatan alternatif. Pada zaman modern pun banyak

juga masyarakat yang lebih mendahulukan berobat ke dukun daripada ke dokter.

(Bahri, 2012).

11

Jauh sebelum mengenal dokter, masyarakat Indonesia sudah mengenal

pengobatan tradisional. Djauzi (2011) menjelaskan, pada praktiknya di

masyarakat, pengobatan tradisional terbagi ke dalam dua fungsi, yaitu pengobatan

alternatif dan pengobatan komplementer dengan tujuan yang sama, yaitu untuk

menjaga dan mendapatkan kesehatan masyarakat. Diterima atau tidak, nyatanya

pengobatan alternatif hidup di tengah masyarakat. Hal ini juga didukung oleh

ketidaksembuhan semua pasien yang pergi berobat ke medis modern (Suwarna,

Budi dan Yulia Septhiani dalam Kompas.com, 2011). Lebih lanjut menurut Gould

(dalam Sciortino, 1999:164) pengobatan tradisional masih didukung dan dipilih

oleh masyarakat yang mempunyai tingkat sosial-ekonomi dan pendidikan yang

lebih rendah. Sementara masyarakat yang mempunyai tingkat sosial-ekonomi dan

pendidikan yang lebih tinggi lebih mendukung pengobatan biomedis. Ahimsa-

Putra (dalam Triratnawati, dkk 2005:16) menyatakan bahwa apa yang dilakukan

oleh dokter juga melengkapi apa yang dilakukan oleh kajian kesehatan dalam

perspektif sosial-budaya, dan begitu pula sebaliknya.

Pengobatan pada umumnya dibagi menjadi dua kategori besar, yaitu

pengobatan modern dan pengobatan tradisional. Pengobatan tradisional yang ada

sering disebut dengan berbagai macam istilah. Hal ini sangat tergantung pada

kehidupan sosial budaya masyarakat yang bersangkutan. Kepustakaan antropologi

mengistilahkan pengetahuan pengobatan tradisional disebut sebagai etnomedisin

dengan praktisi yang disebut shaman (penyembuh). Sementara di beberapa daerah

pengobatan yang dilakukan oleh praktisi tradisional misalnya di masyarakat Kaili

disebut dengan sando, Jawa pada umumnya dengan dukun, Cina Shinsei, di India

dengan tabib, begitu pula dengan masyarakat Tuban yang menyebutnya dengan

12

istilah dongke. Beberapa istilah lain yang sama dengan etnomedisin adalah

pengobatan non-medis, pengobatan lokal, pengobatan alternatif, pengobatan

pribumi, pengobatan non-barat, pengobatan asli Indonesia, pengobatan sistem

medis tradisional (lihat, Sciortino, 1999: Triratnawati, 2005: Foster dan Anderson,

2006).

Berdasarkan pengelompokannya, sistem medis tradisional yang ada pada

masyarakat Desa Tanggulangin tergolong sistem medis lokal3. Sesuai dengan

penyebutannya, sistem medis lokal hanya berkembang dan dikenal di dalam lokal

atau daerah tertentu saja. Apabila ada persamaan dalam pemikiran dan praktik

pengobatan antara pengobatan medis lokal satu dengan yang lainnya, lebih

disebabkan pada temuan sendiri atau akibat adanya kontak budaya yang saling

berpengaruh antara daerah satu dengan daerah yang lainnya.

Sistem medis tradisional sebagai sistem medis lokal lahir tidak terlepas

dengan etiologi penyakit dan alam pikiran masyarakatnya. Menurut Clement

(dalam Soehardi, 2000:114) ada lima macam penyebab utama etiologi penyakit

dalam masyarakat non-industri, yaitu tenung/santet (sorcery), hilang semangat

(soul lost), melanggar tabu, gangguan benda berpenyakit, dan gangguan roh atau

makhluk halus. Etiologi semacam ini dapat dijumpai pada masyarakat yang masih

tradisional. Sementara menurut Foster dan Anderson (2006:63-64) membagi

etiologi sakit menjadi dua, yaitu sebagai berikut:

1) Sistem-Sistem Personalistik

3 Lihat tulisan Joyomartono, 2003: 63) secara geografis dan setting budaya sistem medis dapat

dikelompokkan dalam tiga gabungan, yang terdiri dari sistem medis lokal, sistem medis regional,

dan sitem medis kosmopolitan.

13

Suatu sistem dimana penyakit (illness) disebabkan oleh intervensi agen aktif

berupa makhluk supranatural (dewa), makhluk bukan manusia (hantu, roh

leluhur/roh jahat) maupun makhluk manusia (tukang sihir/tenung).

2) Sistem-Sistem Naturalistik

Penyakit (illness) dijelaskan dengan istilah-istilah sistemik yang bukan pribadi.

Sistem-sistem naturalistik, mengakui adanya suatu model keseimbangan, sehat

terjadi karena unsur-unsur yang tetap dalam tubuh, seperti panas, dingin, cairan

tubuh (humor atau dosha), yin dan yang, dalam keadaan menurut usia dan

kondisi individu dalam lingkungan alamiah dan sosialnya. Apabila

keseimbangan ini terganggu, maka akan muncul penyakit.

Selain di atas, maka Foster dan Anderson juga menambahkan sebab sakit

akibat percampuran konsep personalistik dan konsep naturalistik, seperti jenis

penyakit yang datangnya dari roh jahat yang menimbulkan gangguan pada

keseimbangan cairan dalam tubuh (Bakta, 1991:189). Selain faktor antropologis,

ternyata menurut Jones dan Bartlett, secara psikologis dan sosial juga dapat

menyebabkan timbulnya sakit, misalnya stres yang dialami oleh manusia. Stres

dapat meningkatkan denyut jantung, tekanan darah meningkat, tegangan otot

meningkat, dan aktivitas metabolik meningkat (2004:4). Penyebab Stres ini dapat

terjadi karena faktor organisasional, individu, dan lingkungan (2004:7). Bahkan

dalam analisanya menyatakan di awal tahun 1970-an dari semua penyakit dan

kesakitan yang terjadi, 60 % berkaitan dengan stres. Dari hasil temuan barunya

sekitar 80 % semua masalah yang berkaitan dengan kesehatan disebabkan atau

diperburuk dengan stres (2004:29). Sementara menurut Hendranata ada lima hal

yang perlu diperhatikan untuk menjaga kesehatan, yaitu dengan menjaga

14

keharmonisan pikiran, perkataan, teman, lingkungan, dan pekerjaan (2005:8).

Akibatnya tekanan karena stres juga mampu menjadi faktor penyebab kondisi

kesehatan seseorang.

Masyarakat Jawa menyebut penyakit sebagai akibat gangguan faktor

supranatural atau personalistik sebagai penyakit “ora lumrah” atau “ora sabaene”

(tidak wajar atau tidak biasa). Hal ini penyembuhannya berdasarkan pengetahuan

secara supernatural, misalnya melakukan upacara dan sesaji. Upacara ini

dimaksudkan untuk menetralisir atau membuat keseimbangan agar sebab sakit

dapat dikembalikan pada asalnya, sehingga orang tersebut sehat kembali.

Sementara konsep naturalistik, penyebab penyakit bersifat natural dan

mempengaruhi kesehatan tubuh, misalnya karena cuaca, iklim, makanan, racun,

bisa, kuman atau kecelakaan. Di samping itu ada unsur lain yang mengakibatkan

ketidakseimbangan dalam tubuh, misalnya dingin, panas, angin atau udara

lembab. Oleh masyarakat Jawa hal ini biasa disebut dengan penyakit “lumrah”

atau biasa.

Masyarakat Jawa sangat menjaga keseimbangan alam, antara dunia

makrokosmos dan mikrokosmos. Keseimbangan ini dijaga dengan berbagai

aktivitas, baik dalam ranah ide, maupun dengan serangkaian aktivitas, seperti

ritual religi. Keharmonisan alam dan tubuh manusia akan tetap seimbang apabila

manusia selalu menjaga energi keharmonisan alam dengan badan, jiwa, dan hati

(emosi). Menurut Hendranata keseimbangan merupakan penyembuhan alami

ketika manusia mengalami kesakitan, selain karena alam pula manusia

memperoleh peristiwa sakit (2005:12). Keseimbangan ini telah lama terbentuk

dalam masyarakat Jawa dalam konteks kosmologi masyarakat Jawa. Hal

15

terpenting yang tidak bisa ditinggalkan adalah pengetahuan masyarakat itu sendiri

tentang pemahaman sehat-sakit, penyebab sakit, dan pemaknaannya terhadap

lingkungan (alam dan sosial).

Menurut Galanti (2008:21) terdapat 3 model penyakit yang disebut dengan

health belief models yang diidentifikasi oleh ahli antropologi kesehatan, yaitu

magico reliogius model, biomedical model, dan holistic model. Berdasarkan

ketiga model tersebut, maka pengobatan yang dilakukan dongke termasuk pada

magico religius model (penyakit dilihat sebagai akibat religi, melanggar tabu,

melawan dewa, yang ditafsirkan oleh pihak ketiga) dan holistic model (penyakit

terjadi karena adanya ketidakseimbangan). Magico reliogius dan holistic model,

juga menjadi ciri model penyakit bagi negara-negara yang sedang berkembang,

termasuk pedesaan Jawa, dibandingkan biomedical model yang dominan di negara

maju.

Pengetahuan tentang pengobatan sistem medis tradisional dalam

pelaksanaannya bisa bersifat umum dan khusus. Kategori umum pengetahuan

pengobatan bisa dilakukan sendiri, seperti apabila sedang masuk angin maka

pengetahuan akan pengobatan sakit itu cukup dengan kerokan atau minum-

minuman dari obat-obatan tradisional yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan

(Triratnawati, 2005; Hull, 1979; www:http//Tim Koordinasi Siaran Direktorat

Jenderal Kebudayaan. 1995). Sedangkan pada kategori khusus, gejala atau

penyakit yang diderita dalam pengobatannya tidak bisa dilakukan sendiri atau

sembarang orang. Dalam hal ini, maka biasanya masyarakat Jawa pergi berobat

kepada praktisi pengobatan sistem medis tradisional yang disebut dengan dukun.

16

Pernyataan ini seperti apa yang sudah dijelaskan oleh Koentjaraningrat dalam

Purwadi dan Geertz 4.

Pengobatan dukun juga dikenal konsep cocog-kesesuaian-yang begitu

penting dalam ramalan, angka memainkan peranan penting juga di sini. Seorang

dukun yang terkenal dan pintar belum tentu mampu mengobati pasien, ini artinya

ia tidak cocog. Seseorang apabila terserang sakit, ia mencoba dukun demi dukun

sampai kepada dukun yang benar-benar mampu menolongnya (Geertz, 1989:122-

123).

1.4.2 Konsep Sehat, Sakit, dan Sembuh

1.4.2.1 Konsep Sehat

Konsep “sehat” dapat diinterpretasikan orang berbeda-beda, berdasarkan

komunitas dan pengalaman medis modern (peneliti) dan masyarakat. Sehat

berdasarkan pendekatan oleh peneliti, sebagaimana yang yang dikemukakan oleh

Linda Ewles & Ina Simmet (dalam Dumatubun, 2002:46) mencakup 6 kompunen,

yaitu: konsep sehat dilihat dari segi jasmani, mental, emosional, sosial, aspek

spiritual, dan societal.

4 Koentjaraningrat (dalam Purwadi, 2004:13) mengemukakan bahwa dukun mempunyai arti sangat

luas. Bukan hanya orang yang ahli dalam ilmu pengetahuan saja yang mendapat sebutan seperti

itu, tetapi juga orang yang menjalankan praktik penyembuhan tradisional, ilmu gaib, dan ilmu

sihir. Sebutan dukun bahkan tidak hanya untuk orang yang melakukan aktivitas ilmu gaib saja,

melainkan juga untuk orang yang ahli dalam membantu wanita pada waktu melahirkan, yaitu

dukun bayi, ahli pijat yang disebut ahli pijat, ahli sunat yang dinamakan dukun calak, atau ahli rias

pengantin yaitu dukun paes.

Geertz (1989:116) yang menyatakan bahwa ada beberapa dukun: yaitu meliputi dukun bayi, dukun

pijet, dukun prewangan (medium), dukun calak (tukang sunat), dukun wiwit (ahli upacara panen),

dukun temanten atau ahli upacara perkawinan, dukun petungan (ahli meramal, dengan angka),

dukun sihir atau juru sihir, dukun susuk (spesialis yang mengobati dengan menusukkan jarum

emas di bawah kulit), dukun japa (tabib yang mengandalkan mantra), dukun jampi (tabib yang

menggunakan tumbuh-tumbuhan dan berbagai obat asli), dukun siwer spesialis dalam mencegah

kesialan alami (mencegah hujan kalau orang sedang mengadakan pesta besar, mencegah supaya

piring tidak pecah pada pesta dan sebagainya), dukun tiban, tabib yang kekuatannya temporer dan

merupakan hasil dari kesatuan roh.

17

Konsep sehat yang dikemukakan oleh Wold Health Organization (WHO)

maka itu berarti bahwa: Sehat itu adalah “a state of complete physical, mental,

and social well being, and not merely the absence of disease or infirmity” (WHO

dalam Dumatubun, 2002:46-47). Pada dimensi ini jelas terlihat bahwa sehat itu

tidak hanya menyangkut kondisi fisik, melainkan juga kondisi mental dan sosial

seseorang. Rumusan yang relativistik mengenai konsep ini dihubungkan dengan

kenyataan akan adanya pengertian dalam masyarakat bahwa ide kesehatan adalah

sebagai kemampuan fungsional dalam menjalankan peranan-peranan sosial dalam

kehidupan sehari-hari.

Menurut Helman (dalam Joyomartono, 2003:12) pada masyarakat non

industri pada umumnya mengartikan sehat sebagai suatu keseimbangan hubungan

antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan

supranatural. Sementara pada masyarakat Barat, kondisi sehat diartikan mencakup

aspek-aspek fisik psikologis dan perilaku. Hal ini juga senada dengan hasil

penelitian Dumatubun (2002:47) bahwa seseorang secara medis modern

dinyatakan tidak sehat, tetapi masih dapat melakukan aktivitas sosial lainnya, ini

berarti orang tersebut dapat menyatakan dirinya sehat. Jadi kondisi seseorang

dapat dikatakan sakit tergantung parameter yang digunakan, sebab persepsi

seseorang terhadap kondisi kesehatannya dipengaruhi oleh kebudayaannya.

1.4.2.2 Konsep Sakit

Menurut Supardi dan Susyanty, keluhan sakit (illness) berbeda dengan

penyakit (disease). Pengertian sakit berkaitan dengan gangguan psikososial yang

dirasakan seseorang dan bersifat subjektif, sedangkan pengertian penyakit

berkaitan dengan gangguan yang terjadi pada organ tubuh berdasarkan diagnosis

18

medis dan bersifat objektif. Hal ini senada dengan Sarwono bahwa penyakit

(disease) diartikan sebagai gangguan fungsi fisiologis dari suatu organisme

sebagai akibat terjadinya infeksi atau tekanan dari lingkungan, jadi penyakit itu

bersifat obyektif. Sebaliknya sakit (illness) adalah penilaian individu terhadap

pengalaman menderita suatu penyakit (Sarwono, 1993:31). Fenomena subjektif

ini ditandai dengan perasaan tidak enak. Sementara menurut Hardon dalam

(Triratnawati, 2005:161-162) menjelaskan bahwa disease, illness, dan sickness itu

berbeda. Disease merupakan problem kesehatan yang didefinisikan oleh ahli

kesehatan, illness menunjuk pada pengalaman pasien, dan sickness adalah peran

sosial yang melekat pada penderita yang mengalami masalah kesehatan dan peran

itu dipengaruhi oleh masyarakat pada umumnya. Menurut Koos (Foster dan

Anderson, 2006:173) “Tingkah laku sakit, peranan sakit dan peranan pasien

sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kelas sosial, perbedaan suku bangsa,

dan budaya”5.

1.4.2.3 Konsep Sembuh

Banyak dari masyarakat yang ketika terserang sakit menginginkan cepat

sembuh. Akibatnya ketika gejala sakit menyerang, individu yang terserang sakit

langsung meresponnya sesuai dengan gejala sakit yang dirasakannya (Sudiyanto,

2009:1). Menurut teori health belief model menyatakan bahwa seseorang akan

mencari atau melakukan tindakan untuk menyembuhkan penyakit jika dia benar-

benar merasa terancam oleh suatu penyakit (Sarwono, 2004).

5 Menurut Hendranata (2005:8) stres dan gaya hidup juga mempengaruhi kondisi kesehatan

seseorang.

19

Secara umum menurut Sorensen (2009) kriteria kesembuhan terbagi

menjadi tiga, yaitu kesembuhan sosial, psikologis, dan medis. Secara rinci tentang

uraiannya, yaitu:

1. Kesembuhan sosial berhubungan dengan penerimaaan oleh masyarakat di

mana seseorang hidup. Jika orang-orang di sekitar tidak mempunyai suatu

masalah dengan penderita, hal itu sudah menunjukkan bahwa penderita sudah

mencapai kesembuhan sosial. Kita menjadi anggota yang produktif dari

masyarakat dan bisa berperan untuk struktur sosial dalam struktur masyarakat.

Artinya individu yang sebelumnya sakit dan tidak mampu menjalankan peran

sebagaimana mestinya, sudah sehat dan mampu menjalankan peran-peran

sosialnya di dalam masyarakat.

2. Kesembuhan psikologis dapat tercapai ketika seseorang yang setelah sakit

mampu menjadi pendengar yang baik bagi orang yang berada di sekelilingnya.

Selebihnya kesembuhan dapat dirasakan ketika pasien bisa tidur nyenyak

karena merasa badannya enak dan ringan.

3. Kesembuhan medis merupakan salah satu kategori kesembuhan yang

menggunakan standar yang pasti. Standar yang digunakan jelas, yaitu

berdasarkan diagnosa uji laboratorium dengan menggunakan gejala dan tanda

dari dunia medis modern.

1.4.3 Praktisi Penyembuh dalam Pengobatan Tradisional

Berdasarkan etiologi penyakit, maka terdapat beberapa praktisi

penyembuh menurut Linda-Stone (dalam Bakta 1991:184), yaitu shaman, ahli

ramuan, dan pengobatan tradisional lain seperti dukun beranak, dukun patah

tulang, dan dukun pijat. Praktisi penyembuh pada masyarakat Jawa sering disebut

20

dengan dukun. Menurut Kasnodihardjo (2005:58), ada beberapa kategori dukun

yang secara tradisional umumnya dikenal atau dianggap dapat menyembuhkan

penyakit, yaitu: dukun bayi, dukun pijat, dukun klenik, dan dukun mantra.

Jenis terapi tradisional dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori besar.

Kategori pertama, terdiri dari terapi teknis-sekuler yang menggunakan „ilmu lahir‟

(ilmu luar, teknis atau alami) seperti pengobatan mandiri dengan jamu-jamuan dan

pijit serta dukun bayi, dukun atau tukang pijat, dan penjual jamu. Semua spesialis

ini menerapkan metode-metode pengobatan yang bersifat teknis ketika melakukan

pengobatan.

Kategori kedua, terdiri dari terapi-terapi yang menggunakan „ilmu batin;

(ilmu spiritual) seperti dukun „prewangan‟ dan dukun kebatinan. Pengobatan

selalu menggunakan kekuatan batin si dukun atau pembantu supernaturalnya

meskipun dapat pula dokombinasikan dengan praktik yang bersifat teknik seperti

pijit atau jamu-jamuan. Agar mampu melakukan pengobatan semacam ini,

seseorang harus mempunyai pengetahuan yang melampaui pemahaman rasional

mengenai dunia nyata melalui meditasi dan puasa (Sciortino, 1999).

1.4.4 Perubahan Sosial dan Perubahan Pilihan-Pilihan Rasional Masyarakat

dalam Pengobatan

Sebelum masyarakat mengenal pengobatan medis modern, masyarakat

sudah mengenal dan memanfaatkan sistem medis tradisional6. Namun seiring

dunia yang semakin modern dan berbagai penemuan dalam teknologi, telah

banyak mempengaruhi sistem medis itu sendiri yang mendorong pada

6 Djauzi (2011) ibid

21

perkembangan medis modern. Perubahan ini disambut positif oleh masyarakat,

sehingga mendorong pengobatan medis modern berkembang dengan pesat.

Dengan adanya perubahan-perubahan ini, maka mengakibatkan

pengobatan medis modern dipandang lebih ampuh, ilmiah, dan rasional apabila

dibandingan dengan pengobatan sistem medis tradisional. Kecenderungan yang

pertama dialami oleh negara-negara maju. Sementara di negara-negara yang

sedang berkembang, meskipun sudah ada pembangunan medis modern, namun

pengobatan tradisional tidak dapat dipandang sebelah mata. Di Indonesia sebagai

negara yang sedang bekembang, pembangunan yang demikian mengakibatkan

masyarakatnya dihadapkan pada pilihan-pilihan, khususnya masyarakat pedesaan

Jawa. Satu posisi masih menggunakan medis tradisional, tetapi juga menggunakan

teknik komplementer dengan medis modern7. Pilihan-pilihan yang mendua ini

dipengaruhi perubahan sosial dan pilihan rasional yang dihubungkan kondisi dari

masyarakat untuk mencapai tujuannya8. Kondisi yang demikian karena

masyarakat sedang mengalami perubahan, dari tradisional9 menuju modern.

Namun sebelum mencapai suatu masyarakat yang modern, terlebih dahulu

7 Suwarna, Budi dan Yulia Septhiani dalam Kompas.com, 2011; Sciortino, 1999:164; Ahimsa-

Putra (dalam Triratnawati, dkk 2005:16) menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh dokter juga

melengkapi apa yang dilakukan oleh kajian kesehatan dalam perspektif sosial-budaya, atau

sebaliknya. 8 Kimin menjelaskan bahwa obat baru sebagai produk dari dunia rasional belum tentu menjamin

aman bagi konsumennya. „Jangan abaikan obat lama, dan jangan anggap obat yang baru beredar

sebagai obat paling baik,” demikianlah nasihat ahli farmakologi yang sering dikumandangkan.

Pendapat ini untuk menggugah masyarakat agar lebih rasional dalam mengkonsumsi obat. Dari hal

ini masyarakat mulai beralih ke tradisional-komplementer. 9 Masyarakat tradisional adalah masyarakat yang kehidupannya masih banyak dikuasai oleh adat

istiadat lama, ditandai masyarakat yang masih tergantung dengan alam, dan berorientasi pada

masyarakat kota [modern].

22

masyarakat akan mencapai suatu titik yang dinamakan sebagai masyarakat

transisi10

(Ifzanul, 2009).

Menurut Sulistiana (2011) model teori pilihan rasional melihat individu

dalam latar belakang sosial dan membuat pilihan tindakan atau keputusan

berdasarkan kepercayaan dan tujuan. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa model

pilihan rasional menyediakan aturan berdasarkan pengalaman dan praktek atau

petunjuk praktis, ”rule of thumb” tentang bagaimana (mekanisme) suatu tindakan

itu dipilih. Teori ini melihat penentuan pilihan sebagai sebuah proses untuk

mengoptimalkan dan mengefisienkan tujuan11

. Lebih lanjut Heckathorn (dalam

Sulistiana, 2011) juga menjelaskan bahwa teori pilihan rasional mempunyai

struktur umum yang mencakup terminologi teoritik yaitu, sebagai berikut; (1)

sekumpulan aktor yang berfungsi sebagai pemain dalam sistem, (2) Alternatif-

alternatif yang tersedia bagi masing-masing aktor, (3) Seperangkat hasil yang

mungkin diperoleh dari sejumlah alternatif yang tersedia bagi aktor, (4) Pemilihan

kemungkinan hasil oleh aktor, dan (5) Harapan aktor terhadap akibat dari

parameter-parameter sistem.

Coleman menjelaskan orientasi pilihan rasional bahwa "orang-orang

bertindak untuk mencapai tujuan yang dibentuk oleh nilai-nilai atau preferensi",

tetapi Coleman kemudian berpendapat bahwa untuk kebanyakan tujuan teoritis, ia

10

Masyarakat transisi ialah masyarakat yang mengalami perubahan dari suatu masyarakat ke

masyarakat yang lainnya. Misalnya masyarakat pedesaan yang mengalami transisi ke arah

kebiasaan kota, yaitu pergeseran tenaga kerja dari pertanian, dan mulai masuk ke sektor industri.

Dengan ciri mengalami perubahan ke arah kemajuan, adanya pergeseran dalam bidang tertentu,

dan biasanya terjadi pada masyarakat yang sudah memiliki akses ke kota melalui jalan raya. 11

Roen (2011) yang menjelaskan bahwa aktor merupakan manusia yang mempunyai tujuan dan

tindakannya tertuju pada upaya mencapai tujuan itu. Gagasan dasarnya ialah “tindakan

perseorangan mengarah kepada sesuatu tujuan dan tujuan itu (dan juga tindakan) ditentukan oleh

nilai atau pilihan (preferensi). Selanjutnya, ia pun berargumen bahwa untuk sebagian besar tujuan

teoritis, dihubungkan juga dengan ekonomi, yakni aktor akan memaksimalkan keuntungan atau

pemuasan kebutuhan dan keinginannya.

23

akan memerlukan konseptualisasi yang lebih tepat terhadap aktor rasional yang

berasal dari ekonomi, yang melihat aktor yang memilih tindakan-tindakan itu

yang akan memaksimalkan utilitas, atau kepuasan kebutuhan dan keinginan

mereka. Bagi Coleman bahwa teori rasional juga sangat dipengaruhi oleh proses

internalisasi keluarga, sehingga proses pilihan rasional juga secara tidak langsung

akan dipengaruhi oleh cara berpikir yang sudah ditanamkan dari kecil oleh

anggota keluarga. Coleman melihat internalisasi norma-norma sebagai

pembentukan sistem sanksi internal; orang memberi sanksi dirinya sendiri bila

mereka melanggar norma. Oleh karena itu, demi kepentingan satu set aktor untuk

meminta yang lain menginternalisasi norma dan dikendalikan oleh mereka. Dia

merasa bahwa ini adalah rasional "ketika upaya tersebut dapat efektif untuk

mencapai tujuan (dalam Sulistiana, 2011).

1.5 Landasan Teori

Pendekatan yang akan digunakan untuk menganalisa pengetahuan lokal

pada masyarakat Desa Tanggulangin adalah pendekatan etnosains. Peneliti

menggunakan pendekatan etnosains untuk mengungkap pengetahuan lokal

mengenai sistem medis tradisional yang mengacu pada rumusan masalah di atas.

Hal ini dilakukan, karena selama ini dalam sistem pengobatan masih mengabaikan

sistem pengetahuan lokal terutama yang berangkat dari perbedaan konsep sehat-

sakit yang berimplikasi pada cara pengobatannya. Sistem pengetahuan yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah pengetahuan lokal tineliti tentang praktik

pengobatan dongke sebagai pengobatan sistem medis tradisional. Dengan kajian

ini, maka peneliti akan menggali secara mendalam dan komprehensif mengenai

permasalahan penelitian. Melalui pendekatan ini pula, akan memperoleh hasil

24

penelitian yang bersifat komprehensif dan mempunyai representasi yang tinggi

terhadap hasil etnografi.

Pada kajian antropologi, pendekatan etnosains berasal dari pendekatan

fenomenologi yang dalam penjelasannya menggunakan model linguistik. Menurut

Warner dan Fento (dalam Ahimsa-Putra, 1985:110) mengenai istilah etnosains

sendiri ada yang menyebutnya dengan “the new ethnography”, cognitive

anthropology”, dan “ethnography semantic” serta “descriptive semantics”.

Sementara kata ethnoscience secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, ethnos

yaitu bangsa, dan kata Latin scientia, pengetahuan. Maksudnya dalam kajian ini

yang lebih ditekankan adalah pengetahuan lokal dari tineliti dengan tujuan

menggali pengetahuan lokal mengenai hal tertentu yang dipandang unik dan khas

yang berbeda dari sistem masyarakat yang lainnya. Ahimsa-Putra (1985)

mempertegas bahwa etnosains merupakan pendekatan antropologi yang

menekankan makna yang menghasilkan klasifikasi-klasifikasi yang berusaha

mengetahui sistem pengetahuan yang mendasari tingkah-laku individu dalam

masyarakat. Hal ini senada dengan pendapat Marzali (dalam Spradley, 1997).

Oleh sebab itu, etnosains merupakan pengetahuan yang dimiliki oleh suatu

komunitas budaya12

.

Darmana mengatakan bahwa pendekatan etnosains itu mempelajari atau

mengkaji sistem pengetahuan dan tipe-tipe kognitif budaya tertentu yang

menekankan pada pengetahuan asli dan khas dari suatu komunitas budaya

(Darmana, 2008:4). Kajian etnosains, tidak lagi memandang budaya dari aspek

peneliti, melainkan berlandaskan pengalaman empiris. Budaya diangkat

12

Etnosains akan memusatkan usahanya untuk menemukan bagaimana masyarakat

mengorganisasikan budaya mereka dalam pikiran dan kemudian menggunakan budaya tersebut

dalam kehidupan.

25

berdasarkan pendapat dari pemilik budaya, tanpa campur tangan peneliti yang

berarti. Peneliti tidak bermaksud menilai atau mengeklaim apakah pandangan

mereka benar atau salah, tepat atau tidak tepat menurut pandangan luar (outsider),

tetapi mencoba memahami dan menjelaskan pandangan-pandangan masyarakat

yang diteliti (insider). Tugas peneliti lebih ke arah menjelaskan kepada publik

tentang pandangan-pandangan mereka. Peneliti bertugas mensistematiskan

pandangan mereka ke dalam bentuk laporan hasil penelitian (Ahimsa-Putra,

1985:104-111; Darmana, (2008:5). Penutur penduduk asli kemungkinan akan

mengungkapkan bahasa asli dan keyakinan asli dengan pengetahuan yang

dimilikinya, itulah yang diangkat oleh peneliti. Peneliti sependapat dengan

Ahimsa-Putra (1997:55) mengenai pengungkapan makna dari tineliti yang

diungkap dengan wawancara, memahami kategori lingkungan dan aturan sebab

makna tersebut tersimpan dalam bahasa. Maka yang akan peneliti lakukan adalah

mengadakan observasi dan wawancara dengan tineliti terkait masalah yang akan

disajikan dalam tesis ini.

1.6 Metode Penelitian

1.6.1.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada masyarakat Desa Tanggulangin, Kecamatan

Montong, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Alasan peneliti tertarik kajian ini,

karena banyaknya peneliti yang mengabaikan cara pikir masyarakat yang

mendorong dilakukannya pengobatan. Terutama dalam konteks kosmologi dari

masyarakat lokal, khususnya Jawa (Tanggulangin). Hal yang juga kurang

diperhatikan adalah pengungkapan secara mendalam pengetahuan lokal terkait

konsep sehat-sakit, etiologi penyakit yang mempengaruhi pilihan berobatan.

26

Kalaupun ada hasil penelitian yang menggali konsep sehat-sakit, tetapi masih

sangat jarang yang menghubungkannya dengan etiologi sakit dan pemilihan

sumber pengobatan pada masyarakat lokal. Selain itu, etnomedisin yang ada di

Kabupaten Tuban masih dapat dikatakan belum tersentuh oleh para peneliti

sebelumnya. Kajian ini menjadi menarik ketika mampu menjadi pembeda dan

melengkapi literatur tentang etnomedisin itu sendiri. Terlebih ketika dihubungkan

dengan berbagai perubahan dan pilihan-pilihan rasional masyarakat dalam

mencari pengobatan yang akan dianalisa dari luar (tidak melihat teknis

pengobatan yang dilakukan oleh dongke).

Berdasarkan hasil pengamatan bulan Januari 2012, masih banyak

masyarakat yang masih memanfaatkan dongke sebagai tenaga medis tradisional

dalam menangani sakit yang diderita masyarakat. Penelitian ini, selain dilakukan

pada tataran masyarakat, juga dilakukan di instansi pemerintah lokal, dalam hal

ini adalah aparatur Desa Tanggulangin seperti kepala desa dan kaurnya.

Pengumpulan data secara resmi dilakukan pada bulan Januari 2013 sampai Maret

2013.

1.6.1.2 Pemilihan Informan

Pemilihan informan penting dilakukan agar data yang didapat nantinya

sesuai dengan tujuan penelitian serta bisa mendeskripsikan jawaban atas

permasalahan penelitian. Berdasarkan rumusan masalah penelitian, informan

terdiri atas (1) pasien yang memanfaatkan jasa dongke dan dongke, (2) aparatur

pemerintah lokal, dan (3) masyarakat secara umum yang tahu tentang pengobatan

dongke, termasuk yang berobat ke sistem medis modern.

27

1.6.1.3 Pengumpulan Data

Analisa yang digunakan mengacu pada pendekatan etnosains yang

memfokuskan pada sistem pengetahuan yang mendasari perilaku dan makna-

makna yang diberikan oleh individu terhadap tindakannya dan juga terhadap

sistem klasifikasi yang ada pada masyarakat. Atas dasar pertimbangan itu, maka

penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data kualitatif. Menurut

Ahisam-Putra data kualitatif (2005),13

merupakan data yang berupa pernyataan-

pernyataan mengenai isi, sifat, ciri, keadaan, antara sesuatu dengan sesuatu lain.

Data kualitatif ini biasanya mengenai nilai-nilai, norma-norma, dan aturan-aturan;

kategori-kategori sosial dan budaya; ceritera; percakapan; pola perilaku dan

interaksi sosial; organisasi sosial; dan lingkungan fisik. Secara garis besar, data

kualitatif dapat digali dari sumber data primer (melalui observasi partisipasi dan

wawancara) dan data sekunder (sumber pustaka tertulis dan dokumentasi).

Penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan yang menekankan pada

pengetahuan dan pengalaman lokal tineliti. Terkait hal ini, maka peneliti

melakukan wawancara kepada masyarakat, pasien, dan dongke serta para aparatur

desa setempat. Studi ini menggunakan metode pengumpulan data kualitatif yang

akan dioperasikan melalui analisis deskriptif. Secara fundamental, dapat dikatakan

bahwa sebuah deskripsi adalah representasi objektif terhadap fenomena yang

dikaji. Oleh karena itu, peneliti harus mengontrol diri untuk tidak bertindak terlalu

subjektif.

13

Ukuran data kualitatif adalah logika dalam menerima atau menolak sesuatu yang dinyatakan

berupa kalimat, yang dirumuskan setelah mempelajari sesuatu itu secara cermat. Data kualitatif

tidak memiliki pembanding yang pasti, karena kebenaran yang ingin dibuktikan bersifat relatif.

Bentuknya dapat berupa pandangan atau pendapat, konsep-konsep, keterangan, kesan-kesan,

tanggapan-tanggapan dan lain sebagainya tentang sesuatu atau keadaan yang berkaitan dengan

kehidupan manusia (Hadari Nawawi dalam Dzulkarnain, 2006).

28

Bagi antropolog, melakukan penelitian merupakan kerangka menuju

pembuatan etnografi. Menurut Geertz (1973:6) mengerjakan etnografi dapat

dilakukan dengan menetapkan hubungan-hubungan, menyeleksi informan,

menafsirkan teks-teks, menarik hubungan genealogis, memetakan lapangan,

menulis buku harian sebagai usaha untuk mendapatkan deskripsi yang mendalam.

Berdasarkan hal ini, maka peneliti mengerjakan etnografi berdasarkan studi

tentang manusia dalam setting yang berlangsung secara wajar, maka penelitian

dilakukan dengan ikut berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat guna melihat,

mendengar, dan bertanya kepada seseorang (wawancara).

Secara rinci, tahap-tahap pengumpulan data dapat dilakukan sebagai

berikut: tahap awal, yaitu studi pustaka. Pemfokusan penelusuran sumber

sekunder sebagai data pendukug tesis, yaitu mengenai pengobatan tradisional.

Pencarian data yang dimaksud dapat diperoleh dari jurnal, buku, surat kabar,

skripsi, tesis, disertasi, dan internet. Sebagai studi etnografi maka pergi ke

lapangan untuk mendapatkan data dari informan langsung (data primer) mutlak

dilakukan, dengan melakukan kerja lapangan. Hasil dari kerja lapangan ini

kemudian dibandingakan hasil studi pustaka yang sudah diperoleh.

Tahap kedua, yaitu observasi. Peneliti mengobservasi kondisi geografis,

sosial, ekonomi, dan budaya tineliti. Selain itu juga memfokuskan keadaan (sosial,

ekonomi, dan pendidikan) dari perilaku pasien dongke. Sementara dari praktisi

dongke juga diobservasi terkait perilaku praktik penyembuhan dan sarana-

prasarana yang digunakan sebagai media penyembuhan. Perolehan data melalui

tahap ini, peneliti lakukan dengan berinteraksi dengan masyarakat lokal yang

diteliti, karena peneliti tinggal bersama dengan tineliti. Selama melakukan

29

penelitian, peneliti juga melakukan beberapa hal yang biasanya masyarakat

lakukan, sehingga penelitian ini dapat dikatakan sebagai penelitian yang

menggunakan teknik partisipasi observasi.

Waktu pengumpulan data, peneliti melakukan teknik observasi sekaligus

wawancara (terbatas). Maksudnya, ketika melakukan pengamatan juga kadang

diselingi dengan pertanyaan kepada masyarakat terkait dengan penampakan

fenomena sosial budaya yang terkait dengan kondisi masyarakat dan pengobatan

medis tradisional yang dilakukan oleh dongke. Pada tahap ini, peneliti masih

terfokus pada pengamatan saja, namun dari apa yang peneliti dapatkan selama

observasi juga bisa dimanfaatkan oleh peneliti sebagai bahan penelitian

(wawancara) selanjutnya.

Tahap ketiga, yaitu wawancara. Beradasarkan kajian dan data yang

diperoleh dari tahap di atas, maka peneliti selanjutnya melakukan wawancara

mendalam kepada masyarakat, pasien, dan dongke sebagai praktisi sistem medis

tradisional. Sistem wawancara yang peneliti gunakan, mengacu pada satu prinsip

saturation. Apabila data yang diperoleh dari informan sudah tidak memberikan

kebaruan informasi atau sudah jenuh, maka wawancara dihentikan karena sudah

dianggap cukup (Schensul, Schensul, & LeCompte, 1999:262). Sumber data

primer (observasi dan wawancara) ini akan didukung dengan sumber data

sekunder (kajian pustaka) dalam penyusunan laporan tesis.

Wawancara peneliti lakukan dengan informan dengan situasi yang santai.

Artinya wawancara berlangsung ketika informan sedang istirahat di sore hari

setelah bekerja. Wawancara berlangsung terkadang sembari melihat TV yang

menjadi tayangan favorit informan, meskipun ketika selama wawancara

30

berlangsung tayangan TV menjadi teralihkan dengan pertanyaan peneliti atau

jawaban dari informan lain. Wawancara semacam ini dihadiri beberapa informan

dengan adanya keterwakilan dari kategori informan, seperti pasien, masyarakat

yang tahu tentang pengobatan dongke dan aparatur desa setempat. Dapat

dikatakan kegiatan wawancara semacam ini sebagai FGD (Focus Group

Discussion). Dengan demikian kegiatan wawancara bisa mengalir tanpa ada

penekanan dari peneliti. Selain itu kegiatan wawancara juga dilakukan dengan

wawancara terfokus. Kegiatan wawancara terfokus dilakukan untuk mengetahui

bagaimana pendapat informan ketika sedang santai sembari melihat TV dan santai

saat fokus dilakukan wawancara.

Tahap akhir dari penelitian ini adalah seleksi data dan penulisan tesis.

Pada tahap seleksi data, peneliti melakukan reduksi data. Selain itu, juga

memeriksa terhadap kekurangan data yang diperoleh selama penelitian, baik

waktu observasi, wawancara, maupun kajian literatur. Setelah semua dirasa

cukup, langkah terakhir adalah penyusunan tesis (etnografi) dalam bentuk

deskripsi (teks) sesuai dengan permasalahan.

Data yang diperoleh dalam penelitian ini terbagi atas studi literatur dan

studi lapangan. Studi literatur dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder

berupa buku, tesis, jurnal, berita koran (on-line), khususnya yang membahas

tentang kajian pengobatan tradisional. Studi literatur juga digunakan oleh peneliti

agar tidak terjadi pengulangan representasi dalam kajian etnografi. Hal ini

dilakukan oleh peneliti untuk kesahihan data dan mendukung data temuan

lapangan selama membuat representasi hasil penelitian. Sementara data yang

31

termasuk studi lapangan termasuk data hasil wawancara dan observasi selama

penelitian lapangan.

1.6.1.4 Analisis Data

Pada proses analisis data terdapat komponen-komponen utama yang harus

benar-benar dipahami, yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan

atau verifikasi (Sutopo dalam Rachman, 1999:34). Untuk menganalisis berbagai

data yang sudah ada, peneliti menggunakan metode deskriptif analitik. Analisis

data dilakukan secara induktif kualitatif bersamaan dengan proses pengumpulan

data. Menurut Miles dan Huberman (1992:20) tahap analisis data yang saling

interaktif melalui tahapan pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan

pengambilan kesimpulan.

Selain itu, penelitian ini menggunakan analisis berdasarkan analisis

kontekstual yang digunakan untuk menganalisis data sesuai dengan konteks di

mana data diperoleh. Maksudnya, yaitu melihat faktor-faktor apa saja yang

melatarbelakangi pengobatan dongke sebagai fenomena sosial-budaya. Hal ini

digunakan untuk melihat bagaimana faktor sosial budaya masyarakat serta

berbagai perubahannya yang terjadi di Tanggulangin, serta analisis tematik untuk

menganalisis hasil penelitian sesuai dengan tema yang diteliti dan menjadi pokok

pembahasan dalam penelitian, yaitu tentang kajian Antropologi Kesehatan yang

memfokuskan kajiannya pada etnomedisin.