bab i pendahuluan 1.1.latar belakang...

30
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Menurut ketentuan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak Bumi dan Gas Alam, kegiatan usaha Minyak Bumi dan Gas Alam terdiri atas kegiatan usaha hulu (eksplorasi dan eksploitasi/produksi) dan kegiatan usaha hilir (pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga). Kegiatan usaha hulu Migas dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama antara Pemerintah dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap (BUT). Pemerintah, setelah berlakunya UU No. 22 Tahun 2001 dan dengan mengacu pada PP No. 42 Tahun 2003, diwakili oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). Sebelum berlakunya UU No. 22 tahun 2001, Pemerintah diwakili oleh PERTAMINA. Di sisi lain, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dinamakan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) yang dapat merupakan perusahaan dalam negeri, perusahaan luar negeri yang mempunyai izin bentuk usaha tetap atau dapat juga merupakan perusahaan patungan antara perusahaan dalam negeri dan luar negeri. Peraturan pemerintah tentang pengembalian biaya operasi (cost recovery) bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dalam aspek cost recovery dan ketentuan perpajakan bagi investor dan kontraktor.

Upload: hoangdien

Post on 02-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Menurut ketentuan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak Bumi dan Gas

Alam, kegiatan usaha Minyak Bumi dan Gas Alam terdiri atas kegiatan usaha

hulu (eksplorasi dan eksploitasi/produksi) dan kegiatan usaha hilir (pengolahan,

pengangkutan, penyimpanan, dan niaga). Kegiatan usaha hulu Migas dilaksanakan

dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama antara Pemerintah dengan Badan

Usaha atau Bentuk Usaha Tetap (BUT). Pemerintah, setelah berlakunya UU No.

22 Tahun 2001 dan dengan mengacu pada PP No. 42 Tahun 2003, diwakili oleh

Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas).

Sebelum berlakunya UU No. 22 tahun 2001, Pemerintah diwakili oleh

PERTAMINA. Di sisi lain, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dinamakan

Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) yang dapat merupakan perusahaan dalam

negeri, perusahaan luar negeri yang mempunyai izin bentuk usaha tetap atau dapat

juga merupakan perusahaan patungan antara perusahaan dalam negeri dan luar

negeri.

Peraturan pemerintah tentang pengembalian biaya operasi (cost recovery)

bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dalam aspek cost recovery dan

ketentuan perpajakan bagi investor dan kontraktor.

2

Mengenai pembatasan (capping) cost recovery didasarkan pada UU

no.47/2009 tentang APBN 2010. Pembatasan dilakukan sebagai dasar untuk

mengaloksikan anggaran untuk cost recovery. Jika ada peraturan pemerintah (PP)

yang kemudian dianggap mampu untuk mengatur cost recovery dan dianggap

dapat mewadahi seluruh aspek secara baik, itu akan dijadikan dasar untuk

menghitung APBN pada 2011 dan APBN pada tahun-tahun berikutnya, yang

dicadangkan ketika ada suatu klaim biaya dari kontraktor.

Dasarnya adalah komponen yang sudah ditampung dalam PP ini, yang

nanti di hitung oleh BP Migas (Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas

Bumi) sekarang Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak

dan Gas Bumi (SKK Migas). Sehingga tidak ada yang disebut pembatasan yang

mengatakan suatu tingkatan yang lebih tidak boleh dibayarkan. Penghentian dan

pengambilalihan (assume and discharge) ini yang akan sangat berbeda dari

perlakuan Exhibit C dengan PP ini. Penghentian dan pengambilalihan merupakan

biaya yang langsung di bayar kembali tanpa melalui cost recovery.

Sementara prinsip bagi hasil adalah biaya yang dikembalikan merupakan

biaya yang akan ditutupi, apabila biaya itu sudah menghasilkan. Sehingga jika

tidak menghasilkan menjadi resiko kontraktor tersendiri. Bagi yang belum

menghasilkan, maka biaya-biaya itu tidak harus dikembalikan.

Adapun prinsip utama pengaturan dalam PP tentang pengembalian biaya

operasi (cost recovery) dan ketentuan pajak penghasilan di bidang usaha hulu

minyak bumi dan gas alam meliputi: Pertama, PP berisi ketentuan khusus di

3

bidang pertambangan minyak bumi dan gas alam, utamanya tentang cost

recovery, untuk menghitung bagi hasil dan sekaligus untuk perpajakan. Kedua, PP

ini wajib dijadikan dasar dalam kontrak kerja sama di bidang pertambangan

minyak bumi dan gas alam.

Ketiga, seluruh pajak tidak langsung termasuk pajak daerah dan retribusi

daerah merupakan bagian dari biaya operasi. Keempat, standar atau norma dan

metode pembebanan biaya di dalam ketentuan khusus ini merupakan kombinasi

dari ketentuan UU Pajak Penghasilan dan Exhibit C yang berlaku saat ini. Kelima,

batasan pembebanan biaya di dalam PP ini disesuaikan dengan prinsip kewajaran

dunia usaha dan ketentuan perpajakan. Keenam, biaya yang tidak diperbolehkan

dibebankan kepada cost recovery merupakan kombinasi dari ketentuan PPh dan

peraturan menteri ESDM nomor 22 tahun 2008 yang berlaku saat ini. Ketujuh,

penghasilan lain (by product) merupakan pengurangan cost recovery. Kedelapan,

transaksi farm-in farm out dan up lift dikarenakan pajak final. Kesembilan, dalam

hal tertentu (khusus), menteri keuangan berkoordinasi dengan menteri ESDM

dapat menunjuk pihak ketiga untuk melakukan verifikasi finansial dan teknis.

Kesepuluh, kontraktor wajib melakukan transaksinya di dalam negeri dan

menyelesaikan pembayarannya melalui sistem perbankan Indonesia.

Dalam menjalankan kegiatan eksplorasi dan produksinya, K3S tentu

memerlukan perusahaan-perusahaan EPCI untuk ataupun di dalam pembangunan

infrastruktur mereka baik onshore maupun offshore. Proses dari EPCI inipun

bertahap di mulai dari adanya studi kelayakan (feasibility study/FS), Plan of

4

Development (POD), eksplorasi, konstruksi, produksi dan pemeliharaan.

Pemerintah menerbitkan aturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) No

79/2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan serta Perlakuan Pajak

Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (PP Cost Recovery).

Apabila pengoperasian semua blok E&P diserahkan kepada satu

perusahaan PSC akan mengakibatkan cost recovery menjadi sangat berbahaya

karena bisa merugikan Negara dalam jumlah besar. Itu dikarenakan jadi amat

leluasanya di dalam menyusun Plan of Development (POD), sehingga terbuka

peluang cost recovery untuk digelembungkan (mark up). Penggelembungan

pengeluaran belanja dalam POD yang kelak diklaimkan sebagai cost recovery.

Mantan Vice President Unocal Indonesia, Effendi Situmorang mengingatkan

kalau selama ini banyak sekali kegiatan berbau riset yang dilakukan perusahaan

asing pemegang kontrak bagi hasil (PSC), seperti technical service menyangkut

suatu blok di Indonesia, dilaksanakan di luar negeri.

Padahal kalau riset itu dilakukan di Indonesia, biayanya jauh lebih murah

sehingga tidak membebani cost recovery. Lebih jauh lagi, penggunaan kandungan

lokal juga bisa membantu usaha dalam negeri lewat riset itu.

Menurut Effendi, besarnya cost recovery yang diklaim pemegang KKKS

bukan karena seseorang melakukan korupsi atau mark up. Kemungkinan

perbuatan perusahaan yang kebetulan merupakan korporasi. "Misalnya saja, satu

perusahaan KKKS juga beroperasi di banyak Negara. Perusahaan tersebut hanya

membuat satu analisis riset dasar, tetapi hasilnya bisa dipakai di unit usaha mereka

5

di negara lain," katanya.

Biaya riset itu kemudian dimasukkan cost recovery di Indonesia. Tindakan

tersebut tidak mungkin dilakukan di Negara lain, karena memang hanya Indonesia

yang menerapkan sistem cost recovery ini.

Di sisi lain, soal gaji juga bisa membuat cost recovery membengkak.

Effendi menuturkan, gaji orang Indonesia yang bekerja di perusahaan asing

pemegang KKKS lazim dicantumkan lebih besar ketimbang jumlah yang diterima

pegawai bersangkutan. "Bisa saja, dalam konsep KKKS, gaji orang Indonesia ini

5.000 dolar AS. Karena peraturan ini dan itu, gaji yang diterima pegawai itu

hanya 1.000 dolar AS. Tetapi yang masuk ke cost recovery di korporat pemegang

KPS itu tetap 5.000 dolar AS," paparnya.

Ketua Asosiasi Perminyakan Indonesia (Indonesia Petroleum Association/

IPA) Ron Aston menilai sejumlah pasal dalam PP tersebut bertentangan dengan

kontrak kerja sama sehingga berpotensi mengganggu iklim investasi di bidang

migas. Menanggapi kekhawatiran itu, Evita menjamin bahwa aturan pelaksanaan

akan lebih menjelaskan pasal-pasal yang ada dalam PP Cost Recovery.

Di situ, kata dia, akan ada penjelasan lebih lanjut mengenai hal-hal yang dinilai

kontraktor bertentangan dengan kontrak kerja sama. Direktur Jenderal Minyak

dan Gas Bumi Kementerian ESDM Evita menegaskan, sesuai pasal 38a dalam PP

Cost Recovery, kontrak kerja sama akan tetap dihormati.Namun, pasal 38b dalam

aturan yang sama memang menuntut adanya penyesuaian atas sejumlah hal.

Cost Recovery (CR) adalah biaya operasi yang dikeluarkan kontraktor

6

minyak dan gas dalam hal ini pihak swasta yang selanjutnya akan diganti

pemerintah setelah produksinya berjalan. Di dalam CR ini terdapat komponen

AFE (Authorization for Expenditure) yang merupakan kewenangan pengeluaran

biaya proyek kontraktor KKKS yang akan menjadi beban biaya operasi setelah

mendapat persetujuan dari BP MIGAS.

Menurut Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution

penggunaan anggaran untuk kegiatan tersebut sangat tidak transparan sehingga

laporan keuangan lembaga tersebut selalu mendapat opini tidak wajar atau

disclaimer. Terlebih lagi Anwar Nasution menilai akuntabilitas lembaga BP

Migas dalam bidang cost recovery membuat penggunaan anggaran tersebut tidak

wajar. Meneg BUMN, Sugiharto menekankan, audit pengelolaan suatu blok

Migas akan dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan

Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta kantor akuntan publik.

Pengeluaran belanja blok tersebut harus mengikuti model yang disetujui dan

memenuhi syarat tender pengadaan barang pemerintah.

Cost Recovery seharusnya berbanding lurus dengan produksi migas (lifting

migas). Namun kenyataannya sebaliknya di mana CR selalu bertambah besar

(membengkak) sedangkan produksi migas (lifting migas) menurun drastis di

dalam waktu yang singkat/anjlok.

Meskipun target lifting minyak tahun 2010 gagal terpenuhi, namun seiring

dengan meningkatnya harga minyak dunia, maka penerimaan negara dari kegiatan

hulu migas berhasil melampaui target. Dari target sebesar USD 26.060 miliar,

7

industri sektor migas mampu menyumbang USD 26.178 miliar terhadap

penerimaan Negara.

BP Migas memang mengakui bahwa tidak mampu memenuhi target lifting

minyak yang ditetapkan dalam APBN 2010 yang sebesar 965 ribu barel per hari.

Kepala BP Migas R Priyono menyatakan bahwa lifting minyak tahun ini hanya

dapat menembus 954 ribu barel per hari. Pasalnya, dirinya mengaku bahwa

banyak peristiwa di semester II tahun ini yang sifatnya di luar kendali BP Migas

sepanjang tahun ini yang menghambat target lifting minyak.

Kehadiran Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2010 tentang

biaya operasi yang dapat dikembalikan dan perlakuan pajak penghasilan di bidang

usaha hulu Minyak dan Gas Bumi, atau yang lazim di sebut dengan PP Cost

Recovery, di nilai tidak akan menyelesaikan masalah. Bukan PP Cost Recovery

yang dibutuhkan karena akar persoalannya ialah kegagalan BP Migas dalam

mengelola dan mengontrol perusahaan migas. Di semua Negara penghasilan

migas yang menerapkan sistem PSC (Production Sharing Contract) tidak dikenal

adanya PP Cost Recovery. Baik itu di Malaysia, Aljazair, Arab Saudi, Libya,

Venezuela, dan sebagainya.

Penyelesaian kasus tunggakan pajak kontraktor kontrak kerja sama (K3S)

harus menjaga asas kerahasiaan dengan demikian penyelesaian kasus tunggakan

pajak diharapkan tidak mengganggu iklim investasi minyak dan gas di Indonesia.

Bila tidak mengandalkan asas kerahasiaan itu, justru akan berpengaruh negatif

terhadap penerimaan negara.

8

Pemerintah harus secepatnya menyelesaikan masalah tunggakan pajak

yang diduga mencapai Rp 1,6 triliun sesuai dengan mekanisme perpajakan yang

ada.

Selama ini, kontraktor minyak dan gas telah memberi kontribusi kepada negara

yang sangat besar. Setoran pajak selama 2005-2010 berkisar antara Rp 35-77

triliun. Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan telah menemukan 14

perusahaan migas asing yang memiliki tunggakan pajak. Dari sejumlah

perusahaan itu, "Bahkan ada beberapa perusahaan yang tidak membayar pajak

sejak lima kali menteri keuangan berganti," kata Wakil Ketua KPK, Haryono

Umar, di Jakarta, Senin 18 Juli 2011. Nilai tunggakan itu diduga Rp1,6 triliun.

Selain itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) juga merilis 33 perusahaan

migas yang memiliki tunggakan pajak. Dari 33 perusahaan itu terdapat perusahaan

asing dan lokal. Data yang diolah ICW tersebut berasal dari hasil audit Badan

Pemeriksa Keuangan serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan per

24 Mei 2011. Tercatat, total tunggakan pajak dari 33 perusahaan itu mencapai Rp.

5 triliun. Tunggakan itu merupakan akumulasi hingga tahun 2010.

BP MIGAS adalah suatu badan pemerintah yang dibentuk melalui

Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2002 tanggal 16 Juli 2002 tentang Badan

Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak Bumi dan Gas Alam. BP MIGAS

merupakan badan hukum milik Negara (Pasal 2 ayat 2), berkedudukan dan

berkantor pusat di Jakarta (Pasal 3) dan berfungsi untuk melakukan pengawasan

terhadap Kegiatan Usaha Hulu agar pengambilan sumber daya alam minyak bumi

9

dan gas alam milik Negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang

maksimal bagi Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (Pasal 10). BP

MIGAS terdiri dari unsur pimpinan, tenaga ahli, tenaga teknis, dan tenaga

administrasi. Unsur pimpinan terdiri dari seorang Kepala, Wakil Kepala, dan

Deputi-deputi. Salah satu Deputi yang membawahi fungsi Pengadaan adalah

Deputi Umum. Deputi Umum mempunyai beberapa divisi diantaranya divisi

Pengadaan dan Manajemen Aset (PMA). Divisi PMA bertugas untuk mengawasi,

mengendalikan dan melakukan pembinaan terhadap proses pengadaan K3S.

Dalam melakukan fungsinya tersebut, PMA BP MIGAS dibekali dengan

Pedoman Tata Kerja Nomor 007 revisi II/PTK/I/2011 tentang Pengelolaan Rantai

Suplai Kontraktor Kontrak Kerja Sama (PTK-007) yang merupakan keputusan

Kepala BP MIGAS untuk dijalankan oleh K3S (Surat Keputusan No. Kpts-

21/BP00000/2004-SO tanggal 9 Juni 2004). PTK-007 inilah yang menjadi dasar

hukum bagi bagian Pengadaan K3S untuk menjalankan aktifitas pembelian barang

dan jasa; sebagai prosedur pengadaan. Seperti umumnya sebuah peraturan, adalah

tidak mungkin untuk menuliskan semua ketentuan di dalam satu peraturan

sehingga perlu ada ketentuan-ketentuan tambahan yang bersifat melengkapi dan

memperjelas peraturan di atasnya. Dalam hal tersebut bagian Pengadaan K3S

kemudian membuat Prosedur Pengadaan K3S. Secara praktek, masih banyak hal-

hal yang tidak diatur dalam PTK-007 ataupun dalam Prosedur Pengadaan K3S.

Dalam hal ini, kesepakatan antara dua pihak, selama tidak bertentangan dengan

dua (2) peraturan di atas, bersifat mengikat/ Pacta Sun Servanda (Pasal 1338 KUH

10

Perdata) dan dituangkan di dalam satu perjanjian, atau dalam rangka tesis ini

disebut sebagai kontrak.

Dalam melakukan proses pengadaan, bagian Pengadaan K3S melakukan

proses pengadaan baik melalui penunjukan langsung, pemilihan langsung,

ataupun melalui proses lelang. Hasil dari pengadaan barang dan jasa tersebut

dapat berupa Purchase Order (PO), Blanket Order (BO), Service Order (SO),

ataupun Kontrak yang semuanya adalah merupakan sebuah perjanjian tertulis.

Dalam rangka penelitian ini, Peneliti menyebut perjanjian tertulis tersebut sebagai

kontrak, baik kontrak untuk pembelian barang maupun kontrak untuk pembelian

jasa.

Jenis barang dan jasa yang dibeli oleh K3S sangatlah bervariasi. Namun

demikian secara umum dapat dikategorikan ke dalam barang atau jasa yang

berteknologi tinggi dan yang berteknologi tidak tinggi. Jenis kegiatan operasi K3S

adalah jenis kegiatan yang mempunyai resiko tinggi, maka wajar apabila barang

dan jasa yang dibeli mempunyai kategori berteknologi tinggi yang masih

merupakan barang dan jasa yang dibeli dari luar negeri (impor). Beberapa Negara

maju yang merupakan Negara pengekspor barang dan jasa yang dipakai di K3S

adalah Negara-Negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Italia, Perancis, Belanda,

Kanada, Australia, Jepang, Korea Selatan, Cina, Singapura, dan Rusia.

UNIDROIT Principles (Prinsip-Prinsip UNIDROIT) adalah merupakan

salah satu sumber hukum perdagangan internasional yang merupakan hukum

kebiasaan internasional yang berkembang dan telah diadopsi ke dalam konvensi

11

internasional (Lex Mercatoria). Feronica Taylor (1999, Indonesia Law and

Society: The Transformations of Indonesian Commercial Contracts and Legal

Advises), yang dikutip oleh Taryana Soenandar (2004) menyarankan agar hukum

kontrak Indonesia memperhatikan prinsip-prinsip hukum kontrak UNIDROIT

agar supaya dapat menampung perkembangan perdagangan komersial yang

semakin kompleks dan melibatkan pihak-pihak antar Negara yang berbeda. Tidak

saja antar dua (2) pihak dari dua (2) Negara berbeda namun seringkali suatu

pembelian barang atau pekerjaan melibatkan lebih dari dua (2) pihak yang berasal

dari lebih dari dua (2) Negara.

Mengacu pada, terutama pendapat Feronica Taylor di atas, dan

pengalaman Peneliti sebagai praktisi di bidang jasa konstruksi di perusahaan

EPCI, maka Peneliti ingin melakukan penelitian apakah prinsip-prinsip

UNIDROIT telah diterapkan dalam pembuatan kontrak pengadaan barang dan

jasa di perusahaan EPCI.

1.2.Perumusan Masalah

Melalui latar belakang permasalahan sebagaimana disebutkan di atas,

maka dapat dirumuskan permasalahan serta sub-permasalahan terhadap tinjauan

yuridis atas prinsip-prinsip UNIDROIT yang telah diterapkan dalam pembuatan

kontrak di perusahaan EPCI sebagai berikut:

1. Bagaimana PP Nomor 79/2010 (PP cost recovery) tentang biaya operasi

yang dapat dikembalikan dan perlakuan pajak penghasilan di bidang usaha

12

hulu minyak dan gas bumi mampu mengatasi masalah meningkatnya cost

recovery di tengah menurunnya produksi Migas?

2. Apakah UU Nomor 22/2001 tentang Minyak Bumi dan Gas Alam atau UU

Migas cukup efektif untuk menyeimbangkan cost recovery terhadap

produksi Migas melalui pembentukan lembaga independence (BP Migas)?

3. Apakah cost recovery, pengaturan pajak penghasilan K3S dan domestic

market obligation / DMO di dalam kontrak K3S telah memenuhi rasa

keadilan bagi para pihak?

1.3.Keaslian Penelitian

Untuk memastikan bahwa penelitian yang Peneliti sedang lakukan adalah

asli, maka Peneliti telah melakukan penelusuran data kepustakaan dengan datang

ke gedung perpustakaan pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

serta melalui Internet untuk melihat perpustakaan on-line yang tersedia di

beberapa perguruan tinggi dan lembaga penelitian non universitas di Indonesia.

Selain itu Peneliti juga melakukan browsing lebih lanjut terhadap situs-situs

website lainnya. Pada akhirnya Peneliti menyimpulkan bahwa penelitian terhadap

penerapan prinsip UNIDROIT di dalam penyusunan kontrak baku EPCI terhadap

pengembalian biaya operasi (cost recovery) dan ketentuan pajak penghasilan di

bidang usaha hulu minyak bumi dan gas alam yang ditinjau secara yuridis ini

belum ada Peneliti sebelumnya yang melakukan penelitian mengenai hal yang

13

sama seperti judul penelitian yang Peneliti sedang lakukan namun pernah ada

Peneliti dari Pasca Sarjana Hukum Bisnis yang meneliti penerapan prinsip

UNIDROIT di dalam penyusunan kontrak pengadaan barang dan jasa di

perusahaan migas yang ruang lingkupnya lebih kecil. Peneliti menemukan ada

beberapa buku yang memberikan uraian tentang pengenalan prinsip-prinsip

UNIDROIT, seperti buku yang dikarang oleh Taryana Soenandar (2004) dan

Huala Adolf (2005).

1.4.Tujuan Penelitian

Dari hasil penelitian thesis ini, secara umum diharapkan dapat memberikan

2 (dua) manfaat, yaitu:

1. Manfaat ilmiah

1.1 Diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan di

bidang hukum khususnya mengenai hukum kontrak bagi pembangunan

bangsa dan Negara Indonesia.

1.2 Secara khusus, dari tinjauan yuridis terhadap penerapan prinsip UNIDROIT

di dalam perusahaan EPCI memberikan informasi bahwa penerapan prinsip-

prinsip UNIDROIT akan mempunyai peranan terhadap perubahan Cost

Recovery serta produksi migas, maka diharapkan akan dapat memberikan

konfirmasi kepada para praktisi bahwa salah satu sumber hukum perdagangan

internasional yang dapat dipakai sebagai sumber hukum kontrak telah

diadopsi sehingga para praktisi dapat melakukan negosiasi dengan lebih baik

14

dengan para pelaku bisnis dari luar negeri khususnya Amerika Serikat,

Negara-Negara Eropa maupun Negara penganut sistem Common Law lainnya

mengenai syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan kontrak sehingga dihasilkan

suatu Kontrak yang memberikan manfaat dan keuntungan yang wajar di

kedua belah pihak.

1.3 Manfaat praktikal

Dengan mengacu pada permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka

penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam dan memberikan

informasi apakah prinsip-prinsip UNIDROIT telah diterapkan dalam

pembuatan kontrak di perusahaan EPCI dan dapat memberikan kontribusi

terhadap pengembalian biaya operasi (Cost Recovery) yang wajar serta

peningkatan produksi (lifting) migas. Lebih lanjut untuk mengetahui prinsip-

prinsip mana dari UNIDROIT yang digunakan sebagai dasar pembuatan

kontrak EPCI, serta pertimbangan apa yang mendasari penggunaan prinsip-

prinsip tersebut.

1.5. Beberapa Permasalahan yang Terjadi Di Lapangan

1. Beberapa permasalahan yang terjadi dilapangan yang dimuat majalah Eksplo

Edisi II Maret Tahun 2010 menunjukkan bahwa BP Migas tidak mampu

menjalankan tugas sebagai pengelola dan pengendali kegiatan usaha Hulu

Migas antara lain sebagai berikut :

1.1 Perlu keberpihakan dalam mengelola gas.

15

Data terakhir dari world energi report menyebut cadangan gas

Indonesia saat ini jauh melebihi Cina dan jauh melebihi India yang kurang

dari separuh cadangan gas Indonesia.

Dari data kepemilikan cadangan gas, ternyata tidak otomatis membuat

Negara ekonominya tumbuh secara baik. Adakah yang keliru dengan

kebijakan pemanfaatan gas kita ?

Besaran ekspor gas menimbulkan permasalahan dalam pemenuhan

kebutuhan gas utuk keperluan domestik, utamanya untuk pembangkit listrik

dan industri seperti pupuk dan infra struktur. Ekspor gas dianggap terlalu

besar dari alokasi kebutuhan dalam negeri terlalu kecil.

Penerapan kebijakan Market Domestik Obligation (DMO) belum

baik. DMO dianggap sebagai belas kasihan dan terkesan pemerintah diberi

jatah. Banyak yang menginginkan kuota ekspor yang berkesan memihak

kepentingan dalam negeri (bangsa) yang ternyata masih banyak yang belum

tercukupi. Kecukupan gas dalam negeri mempunyai multiplier effect dari

industri dalam negeri. Pengalaman penghentian pasokan gas PT. Pupuk

Iskandar Muda (PIM) di Aceh mengakibatkan sering terjadi kelangkaan

pupuk dikalangan petani yang berimbas kepada berkurangnya hasil tanaman

pangan di Indonesia.

Kontribusi gas belum proporsional terhadap pertumbuhan ekonomi.

Dari rincian kontribusi per sektor terhadap PDB, gas, listrik dan air tahun

2009 hanya menyumbang 0,8% saja.

16

Pengelolaan gas perlu koordinasi antar kementerian yang baik.

Kementerian perindustrian yang mengelola industri dalam negeri,

kementerian energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan BP Migas yang

mengelola sumber daya migas, dan BUMN yang membina BUMN Migas.

Keberpihakan terhadap kepentingan dalam negeri perlu dimiliki oleh semua

pemangku kepentingan.

1.2 Menyoal kuota gas domestik.

Dengan menerapkan kuota ekspor, maka kebutuhan gas domestik

akan lebih diutamakan jika ada sisa baru diekspor. Ada beberapa pertanyaan

dari masyarakat : “ Mengapa Negara seperti tersandera terus menjual gas ke

luar negeri? Mengapa yang dipakai DMO, yang nilainya, kita hanya

mendapat jatah sisa? Mengapa kita tidak memilih kuota ekspor?

Persoalan pasokan gas untuk kebutuhan dalam negeri, kementerian

Perindustrian belum bisa secara terkoordinasi menuntaskan jaminan gas bagi

enam pabrik pupuk baru yang akan direvitalisasi. Dari enam rencana

pendirian pabrik baru tersebut, pemerintah hanya bisa menyelesaikan alokasi

gas untuk pabrik pupuk Kalimantan Timur 5. Milik PT Pupuk Kalimantan

Timur (PKT) untuk menggantikan PKT I yang boros energi.

Volume pasokan gasnya hanya 80MM scfd (million metric standard

cubic feet) perhari dan tidak lebih dari 10 thn. Mulai dari thn 2012 hingga

2021. Untuk operasi ideal, industri pupuk harus mendapat pasokan gas

sedikitnya 20 tahun.

17

Kata Menteri MS Hidayat, kepastian itu diperoleh setelah principle

agreement antara PKT dan K3S yang terdiri dari Total E & P, Pearl Oil

sekarang menjadi Mubadala dan Inpex.

Namun lima pabrik baru, yaitu Pusri IIB, IIIB, dan IVB berkapasitas

total 272 ribu ton, satu pabrik PT. Petro Kimia Gresik (Petrogres ) kapasitas

570 ribu ton dan satu pabrik pupuk Kujang Cikampek (PKC) berkapasitas

907 ribu ton pertahun belum memperoleh kepastian pasokan gas.

BP Migas mengaku sudah berusaha maksimal namun belum

mencukupi, BP Migas malah meminta perencanaan revitalisasi pabrik pupuk

dengan memperhatikan sumber daya gas yang ada. Deputy operasi Migas

mengingatkan bahwa pemerintah telah menggariskan agar menghormati

terhadap kontrak – kontrak yang sudah ada sebelumnya, kendati terjadi defisit

pasokan gas terus terjadi di Negara ini.

Adanya konflik tersebut Dirut PT. PIM, Mashudiyanto mengusulkan

agar masalah gas untuk industri ini sebaiknya dibawa ke tingkat Kementerian

Koordinator Perekonomian. Pendapat BP Migas itu dibantah oleh Menteri

BUMN Mustofa Abu Bakar yang justru menegaskan, bahwa kontrak yang

sudah ditanda tangani bisa dinegosiasi khususnya yang berakhir tahun 2010

dengan tujuan agar pasokan gas untuk revitalisasi industri pupuk nasional

terpenuhi.

Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono: “ Pasokan gas menjadi

perhatian serius pemerintah mengingat pabrik pupuk harus mampu

18

merealisasikan produksi dengan optimal untuk mendukung ketahanan pangan

nasional.

Kepala BP Migas Raden Priyono mengatakan: Bila kontrak

diperpanjang, maka kewajiban mengganti hutang yang merupakan akumulasi

kekurangan kontrak ekspor LNG ke Jepang akan hilang atau selesai. Kalau

kita tidak penuhi kekurangan 80 kargo itu, Indonesia harus membayar US$ 2

Milyar.

Melihat kasus pengiriman gas dari Grissik, Sumatra ke Singapura

menurut Raden Priyono, mayoritas gas yang digunakan Singapura dibeli dari

Indonesia. Ternyata kita mengimpor BBM dari kilang - kilang yang banyak

dibangun di singapura. Lalu menguntungkan siapa? Kenapa dana untuk

mengimpor BBM itu tidak digunakan saja untuk menambang gas atau

membeli gas dari kontraktor yang menambang di Indonesia.

Tabel 1.1: Pola Neraca Gas ( 9 Propinsi di Indonesia secara Random)

Pola Neraca Gas Indonesia (MMScfd)

No. Region Pasokan Kebutuhan Balance Keluar Masuk

Net

Balance

1

Nangroe Aceh

Darussalam 358 60 298 325 0 -27

2 Sumatera Utara 54 88 34 0 0 -34

3 Sumatera Tengah 1736 867 869 1143 0 -274

19

4 Jawa Barat 669 1561 892 0 716 -176

5 Jawa Tengah 2 2 0 0 0 0

6 Jawa Timur 486 746 -263 0 0 -263

7 Sulawesi Selatan 53 38 15 0 0 15

8 Papua 856 1 855 949 0 -94

9

Kep. Riau dan

sekitar 545 5 480 575 65 -30

Sumber : BP Migas, 2012

Kasus Donggi – Senoro hingga sekarang proyek ini macet, karena

didesak untuk dijual ke domestik. Persoalannya Pertamina dan Medco yang

menjadi operator utama penambang gas Donggi. Senoro meminta pembeli

domestik dengan harga yang kompetitif dengan pembeli asing. Tentu saja

pembeli domestik sulit bersaing.

Tetapi industri domestik sudah mulai berani membeli gas dengan

harga internasional. PLN dan PT PJM berani membeli dengan harga US$5,8

per MM padahal biasanya industri domestik hanya mampu membeli gas

dibawah US$5 per MMBtu dibawah harapan investor.

Pengakuan suyitno Padmo sukisno menyatakan bahwa harga dibawah

harapan tersebut masih menguntungkan investor. Karena itu kini tinggal

keberanian atau arahan yang jelas dari pemerintah untuk mendahulukan

20

kebutuhan domestik, sehingga kita bisa menerapkan kuota ekspor, bukan lagi

DMO.

Sebagai amanat konstitusi, kekayaan alam adalah kekayaan termasuk

migas nasional tidak bisa dilepaskan dari penguasaan Negara dan

dipergunakan sebesar – besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Banyak sisi yang

harus diperhatikan dalam implementasi DMO usaha pertimbangan, termasuk

batu bara. Yaitu skala usaha pertambangan, transportasi, dan pengguna yaitu

PLN dan industri lainnya.

Oleh karena itu DMO lebih tepat dipandang sebagai supply chain

management (SCM), bukan sekadar logistic chain. Dengan begitu, strategi

pengaturan dan pengontrolan pasokan sumber daya energi ke industri

pemakai lebih terkontrol, sehingga secara makro lebih untuk kepentingan

efisiensi sumber daya energi nasional.

Jika kebijakan pemerintah tepat terhadap pengelolaan sumber daya

energi dalam negeri, akan lebih mampu membangun kesejahteraan rakyat.

1.3 Maju mundur Donggi – Senoro.

Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan bahwa kontrak – kontrak

gas yang sudah jatuh tempo tidak lagi untuk ekspor, melainkan untuk

kebutuhan dalam negeri. Kebijakan ini kalau ingin sukses harus ditopang

ketersediaan gas bumi di dalam negeri.

Kebijakan revitalisasi pabrik pupuk dan industri lain, diantaranya

industri keramik dan pulp and paper mulai mengeluhkan pasokan gas itu.

21

Defisit gas mengancam keberlangsungan industri padat tenaga kerja itu.

Lapangan Donggi – Senoro ini dioperasikan oleh kontraktor, yaitu PT

Pertamina E&P dan JOB Pertamina Medco E&P Tomori. Gas yang

dihasilkan akan dijual kepada PT Donggi Senoro LNG yang saham

terbanyaknya dikuasai Mitsubishi Jepang 51%. Cadangan gas dilapangan ini

mencapai 2,3 Triliun Kaki Kubik (TCF). Total investasi US$ 3,7 Milyar

terdiri dari pengembangan hulu US$ 1,7 Milyar dan untuk hilir US$ 2 Milyar.

Persoalan yang hingga sekarang belum tuntas, terutama tentang alokasi gas

produksi dari lapangan ini, apakah diekspor semuanya atau untuk domestik

atau gabungan keduanya.

Dalam hal ini pemerintah menyusun empat skenario :

1. Skenario pertama : Sebanyak 335 MM scfd gas di ekspor dan jatah

domestik 70 MM Scfd

2. Skenario kedua : Semua gas akan dijual kepada PT Donggi – Senoro

LNG.

3. Skenario ketiga : Jatah ekspor 265 MM scfd dan domestik 70 MM scfd.

4. Skenario keempat : Semua untuk keperluan dalam negeri.

Pemerintah dan kontraktor cenderung memilih skenario pertama dan

kedua. Skenario pertama pemerintah akan menerima pendapatan Negara

US$6,4 Milyar. Sedangkan skenario kedua pemerintah akan menerima

pendapatan US$7 Milyar.

22

Lambatnya keputusan yang akan diambil disebabkan industri dalam

negeri sedang defisit gas yang harus dipertimbangkan oleh Pemerintah , dan

belum ada titik temu soal harga gas antara pembeli domestik dengan

produsen. Pembeli domestik yang terdiri dari PT PLN, PT Pusri Palembang,

PT. Panca Amara Utama mematok harga US$4,2 per MMBtu. Sedangkan

produsen bersedia mematok US$5,3 per MMBtu.

Direktur Reforminer institute, Pri Agung Rahmanto memprediksi gas

dari lapangan ini akan diekspor, karena selain saham Mitsubishi mencapai

51%, pembiayaan proyek ini siap ditangani Bank kerjasama Internasional

Jepang (JBIC) dengan asumsi gasnya diekspor dalam bentuk LNG ke Jepang.

Pengembangan hilir fasilitas LNG Donggi – Senoro dipilih karena alasan :

1. Pemerintah tidak terekspose liability (tidak menanggung akibat aliran

kemungkinan terjadinya kesulitan dalam penjualan LNG) jika terjadi

short fall gas, keterlambatan pembangunan kilang LNG, gas depletion

atau persoalan operasional LNG.

2. Tidak perlu garansi pemerintah seperti proyek Tangguh

3. Tidak memberatkan keuangan Negara, kalau dikerjakan dengan pola

Hulu, biaya pembangunan kilang akan direimburse ke Negara sebagai

cost recovery.

4. Investasi kilang LNG merupakan investasi langsung PMA.

5. Bagian pendapatan Negara sudah positif sejak kilang LNG dioperasikan.

23

Direktur utama Pertamina, Koren Agustiawan menyatakan : “ Kami

hanya memegang saham 29%, karena mempertimbangkan kemampuan

keuangan dan resiko investasi.”

Project director Medco Energi International, Lukman Mahfoedz

menjelaskan : “Mengacu pada harga gas dengan patokan Japan Crude

cocktail (JCC) senilai US$70 atau US$6,16 per MMBtu, Negara diprediksi

memperoleh pendapatan US$330 juta per tahun. Pada saat harga BBM

dengan patokan JCC US$80 atau harga gas US$7,36 per MMBtu pendapatan

Negara bisa mencapai US$420 juta per tahun.”

Anggota Komisi III DPR RI, Alimin Abdullah mengatakan : “ Jika

dilihat dari nilai penjualan Gas Donggi – Senoro, menguntungkan bila

diekspor. Namun jauh lebih menguntungkan, jika digunakan untuk industri

pupuk nasional selama 15 tahun ke depan. “ Dengan belajar menggunakan

sumber daya alam sendiri, kita mendapat nilai tambah. Kita belajar dari

Jepang dan Korea yang lihai mengelola sumber daya alam, padahal mereka

tidak punya sumber daya alam. Mereka mengandalkan teknologi jangan

pernah menjual barang ke luar negeri.

Mengacu data neraca Gas Indonesia, perkiraan kebutuhan gas yang

bisa kita penuhi dari existing supply dan project supply sebagai berikut :

24

Tabel 1.2: Contracted Demand dan Committed Demand

No. Permintaan Dipenuhi per tahun Sebab

1 Jangka pendek 2010

A contracted demand 88,9%

Penurunan dan keterlambatan

produksi dari lapangan Gas bumi

B

Permintaan terkontrak

dan committed demand

75,7%

2

Jangka Menengah

(2010 – 2014)

A contracted demand 115%

B

Permintaan terkontrak

dan committed demand

81,7%

Menurunnya kemampuan produksi

secara alamiah dan adanya

kenaikan committed demand

3

Jangka Panjang (2010 -

2025)

A contracted demand 148%

Kelebihan suplai rata - rata

pertahun pada mulai produksi

lapangan gas dan minimnya

contracted demand pada akhir

kontrak

25

Sumber : BP Migas, 2012

Karena itu lebih baik gas itu diutamakan untuk kebutuhan domestik.

Apalagi LNG yang biasa kita ekspor merupakan teknologi pengurasan

sumber daya energi dari suatu Negara ke Negara lain yang diprakarsai Negara

– Negara yang bukan produsen gas. “Lebih baik memacu pembangunan

instalasi pipa gas untuk kebutuhan dalam negeri daripada membangun kilang

LNG.

1.4 Industri pupuk kesulitan pasokan gas.

Dalam rapat dengan DPR, Menteri ESDM Darurin Zahedy, anggota

dewan menanyakan kepastian gas untuk kebutuhan dalam negeri. Dia

menyatakan: “Pemenuhan bahan baku bagi pabrik pupuk, pembangkit listrik

tenaga uap (PLTGU) dan kebutuhan sektor industri lain merupakan hal yang

vital untuk menggerakkan perekonomian nasional. Maka kebutuhan gas untuk

domestik akan diprioritaskan.”

Menteri BUMN Mustofa Abu Bakar dalam rapat dengan komisi VI

DPR, mengungkapkan program revitalisasi enam pabrik pupuk membutuhkan

B

Contracted demand

dan commited demand

73%

Menurunnya kemampuan produksi

secara alamiah dan adanya

kenaikan commited demand

26

tambahan gas 509 juta MMScFd. Tambahan pasokan gas itu ditujukan untuk

meningkatkan kapasitas produksi pupuk urea dari 80,5 juta ton menjadi 10,4

juta ton, untuk pengembangan pertanian dalam negeri. Kementerian BUMN

ingin ada kepastian kontrak pasokan gas selama 20 tahun. Selama lebih enam

tahun pabrik pupuk selalu sekarat akibat kekurangan pasokan gas, karena

sebagian besar gas diekspor. Pupukpun menjadi langka dan harganya

dipasaran terus melonjak. Pupuk plat merah, PT. Pupuk Iskandar Muda

(PIM), pada tahun 2003 Exxon Mobile sebagai kontraktor Lapangan Gas

Arun mengehentikan pengiriman gas ke pabrik itu, karena perusahaan

Amerika ini memilih ekspor ke Korea dan Jepang karena telah

menandatangani kontrak jangka panjang dengan kedua Negara tersebut.

Pada tahun 2005 dua pabrik PIM 1 dan PIM 2 masing – masing

berkapasitas 1.750 ton urea berhenti beroperasi. Pada tahun 2007 PIM

membeli 110 juta MMScFd gas dari PT Medco Maluku dengan harga US$6,5

per MMBtu. Sayangnya terkendala kontrak yang baru akan dimulai tahun

2012.

Kepala Pusat data dan analisa Indonesian Corruption Watch (ICW),

Firdaus Ilyas berpendapat bahwa defisit pasokan gas yang terjadi selama ini

adalah buah ketidak tegasan dan ketidak konsistenan pemerintah.

27

Peraturan Menteri ESDM no.3 tahun 2010 mengenai alokasi dan

pemanfaatan gas bagi kebutuhan di dalam negeri dinilai tidak menjawab

permasalahan kelangkaan pasokan gas yang ada. “Dalam peraturan itu alokasi

gas, malah diprioritaskan untuk memacu produksi migas. Sedang yang

mendesak untuk dipenuhi kebutuhan gas bukan industri migas, melainkan

PLN, pabrik pupuk, dan pabrik keramik. DMO untuk produksi gas nasional

juga tidak diatur dengan jelas.

Dalam UU no. 22 thn 2001 tentang migas memang mengatur,

kontaktor migas wajib menyerahkan maksimal 25% dari volume produksinya

bagi kepentingan domestik namun kewajiban tersebut hanya diperlakukan

disektor perminyakan tidak pada gas.

Kebutuhan PLN per tahun 462 MMBtu, pasokan gas ke PLN baru 150

– 160 jika tidak ada komitmen mengenai kebutuhan gas dalam negeri, maka

pasokan gas dalam negeri dapat terancam. Apabila pemerintah

mengalokasikan pasokan untuk dalam negeri dengan mengacu pada harga gas

US$ 4 per MMBtu dengan kurs Rp.12.000 maka pemerintah dapat

menghemat Rp.29 Triliun. Lebih dari 60% gas malah diekspor, akibatnya

pemerintah kelimpungan untuk memenuhi defisit gas dalam negeri.

Direktur Eksekutif Revorminer Institute, Pri agung Rahmanto

berpendapat senada: “ Pemerintah tidak perlu khawatir kehilangan

28

pemasukan dikarenakan menjual gas kedalam negeri, penerimaan negara

menjadi berkurang.

Tabel 1.3: Kebutuhan Gas untuk Listrik dan Pupuk Tahun 2010

Perusahaan Volume (MMScfd) Perkiraan status

1. PT. PLN 2233 defisit 661 MMscfd

2. PKT 285 defisit 20 MMscfd

3. Petrokimia Gresik 65 defisit 15 MMscfd

4. Pupuk Kijang Cikampek 108 defisit 19 MMscfd

5. Pupuk Sriwijaya 225 Terpenuhi

6. PIM 110 defisit 110 MMscfd

Sumber : Kementrian Pertambangan dan Energi, 2013

1.5 Indonesia Seharusnya Belajar dari Negara Singapura

“Kebijakan pemerintah gemar mengekspor gas, menghilangkan

potensi pendapatan Negara 50% dari nilai riil sumber daya alam gas. Itu

karena mata rantai ekspor gas 50% dinikmati pihak luar, termasuk biaya

transportasi gas alam cair, regasifikasi, dan penyimpanan.” Kata Widodo W

Purwanto, peneliti minyak dan gas bumi di pusat pengkajian energi

Universitas Indonesia dihubungi Eksplo februari 2010.

29

Komponen harga gas terdiri dari biaya produksi hingga kepala sumur

berkisar US$0,5 – 1 per juta British Terminal Unit (BTU), transportasi US$

0,8 – 1 per MMBtu dan proses menjadikan gas atau regasifikasi serta

penyimpanan di Negara tujuan US$ 0,4 – 0,5 per MMBtu. Pemerintah

memang masih mengutamakan ekspor gas sebagai salah satu andalan devisa

Negara. Ilustrasi lain pada tahun 2008 harga rata – rata minyak mentah sekitar

US$ 100 per barel, pemerintah mengeluarkan anggaran Rp. 297,5 Triliun

untuk mengimpor 35,84 juta kilo liter BBM. Sedangkan pemasukan dari

ekspor gas hanya Rp. 164,9 Triliun, sehingga neraca perdagangan defisit

Rp.133 triliun. Kalau pemerintah dibebani subsidi masyarakat sebesar

Rp.134,7 Triliun, maka potensi loss yang dialami negeri ini menjadi Rp.267,3

Triliun.

Salah satu pemecahan masalah ini adalah pembelian yang sudah

berjalan biarkan sampai habis masa kontraknya dan tidak diperpanjang kalau

tidak Indonesia akan selalu rugi, lebih baik digunakan untuk keperluan dalam

negeri. Sebenarnya gas alam Indonesia berpotensi membawa Indonesia

menjadi pemimpin di sektor energi. Sejak 1980 – 2009 ketika cadangan

minyak merosot tajam, cadangan gas justru naik dari 820 milyar meter kubik

menjadi 3,18 triliun meter kubik sehingga merupakan cadangan gas tertinggi

di kawasan regional. Produksi gas juga naik dari 1,2 milyar kaki kubik

menjadi 69,7 milyar kaki kubik, atau 2,3% dari produksi dunia. Menurut

30

kepala BP Migas, Tubagus Haryono mengatakan bahwa : “Cadangan gas

alam Indonesia 170 Triliun kaki kubik, terdiri dari 112 Triliun kaki kubik

merupakan cadangan terbukti, dan 58 triliun kaki kubik potensial.”

Keberhasilan Indonesia mengekspor LNG kontras dengan pemanfaatan gas

bumi untuk dalam negeri yang sangat tertinggal. Ini dibuktikan minimnya

infrastruktur gas bumi yang baru mencapai 4.346 km (milik pertamina 2.189

km, PGN 2.157 km). Sejauh ini Indonesia hanya memiliki kemampuan

mengekspor gas ke Singapura dan Malaysia melalui jaringan transmisi pipa,

meskipun kini Indonesia menjadi pengekspor LNG terbesar ketiga di dunia

dengan volume secara konsisten sebesar 25 milyar kaki kubik per tahun. Kita

mengekspor minyak mentah ke Singapura dan kita membeli kembali BBM

dari singapura yang telah diolah melalui kilang – kilang minyak mereka.