bab i pendahuluan a. latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Relasi antara laki-laki dan perempuan sejauh ini masih terjadi ketimpangan.
Relasi yang adil dan setara di banyak tempat masih sulit terjadi, yang masih sering
ditemui adalah ketidakadilan dan ketidaksetaraan relasi antara laki-laki dan
perempuan. Dalam banyak kasus perempuan terposisikan dalam situasi yang tidak
diuntungkan. Banyak tindakan ketidakadilan yang menimpa perempuan dengan
mayoritas pelaku adalah laki-laki. Kasus kekerasan, tindakan diskriminatif, dan
pelecehan terhadap perempuan masih sering terdengar dan terlihat dalam kehidupan
sehari-hari dewasa ini. Kasus perkosaan masih marak terjadi dengan korban rata-rata
adalah perempuan. Kekerasan dalam rumah tangga yang sering terjadi korbannya
adalah perempuan walaupun dalam beberapa kasus laki-laki juga ada yang menjadi
korban. Tindakan diskriminatif pada TKW (Tenaga Kerja Wanita) juga masih sering
terjadi. Banyak kasus kekerasan menimpa TKW Indonesia di luar negeri mulai dari
penyiksaan bahkan sampai pembunuhan. Kasus kekerasan yang menimpa TKW
tersebut bahkan sering terulang tiap tahunnya. Di dalam negeri sendiri kekerasan
terhadap PRT (Pekerja Rumah Tangga) juga sering muncul melalui media. Pada
masa lalu upah buruh perempuan di beberapa kasus juga masih dibedakan dengan
upah buruh laki-laki dan sangat mungkin praktik itu masih terjadi di masa sekarang.
2
Berbagai ketidakadilan tersebut menunjukkan bahwa posisi perempuan dalam
kehidupan sosial di satu sisi masih lemah. Posisi laki-laki di sisi lain masih dominan
dan kuat dalam kehidupan sosial, politik dan budaya. Hal tersebut terlihat dari
berbagai peristiwa yang menimpa perempuan dangan berbagai kasus yang ada.
Berbagai ketidakadilan terhadap perempuan sudah terjadi sejak lama. Ketidakadilan
dalam ranah teologis tergambar dalam tafsir-tafsir agama samawi yaitu sejak
penciptaan manusia yaitu Adam dan Hawa. Dalam beberapa tafsir keagamaan sejak
terciptanya Adam dan Hawa, relasi laki-laki dan perempuan sudah dianggap tidak
dalam posisi yang setara. Filsafat Aristotelian memandang perempuan sebagai
manusia inferior. Hal tersebut berdasarkan penciptaan Hawa sebagai yang terakhir
dan lebih rendah „posterior et inferior‟ (Gamble, 2010: 6).
Adanya ketidakadilan tersebut membuat perempuan sadar bahwa posisinya
sangat tidak diuntungkan dalam relasi dengan laki-laki baik dalam rumah tangga
maupun dalam relasi sosial kemasyarakatan. Di Eropa pada abad ke 16-18, benih-
benih kesadaran atas ketidakadilan terhadap perempuan tersebut mulai muncul. Pada
akhir abad ke 18 gerakan feminisme modern muncul dengan ditandai adanya buku
Vindication Rights of Woman karya Mary Wollstonecraft pada tahun 1792
(Gamble,2010:19). Generasi awal gerakan perempuan di Eropa waktu itu dari segi isu
masih belum kompleks seperti saat ini. Waktu itu dorongan utama adalah perempuan
mempunyai hak suara dalam pemilihan umum dan bisa masuk dalam ruang-ruang
3
publik yang selama ini didominasi oleh laki-laki. Gerakan perempuan pada abad ke
19 merupakan awal mula gerakan feminisme dan berkembang sampai saat ini.
Gerakan feminisme telah lama memperjuangkan hak-hak perempuan dalam
berbagai bentuk. Usaha-usaha tersebut saat ini sudah mulai kelihatan dampaknya, isu-
isu gender telah menjadi isu internasional dan diakui juga oleh PBB. Perjuangan
untuk memperjuangkan hak-hak perempuan saat ini masih gencar dilakukan tidak
saja oleh gerakan masyarakat sipil tapi juga sudah dilakukan oleh negara. Sayangnya,
tidak semua negara atau wilayah dalam suatu negara dapat dengan mudah menerima
isu-isu perjuangan keadilan gender tersebut. Budaya patriarki masih begitu lekat
dalam diri para pemegang kekuasaan yang pada umumnya masih dipegang oleh kaum
laki-laki. Adanya beberapa penolakan terhadap isu keadilan gender tersebut tentunya
merupakan suatu tantangan tersendiri bagi gerakan feminisme.
Banyak program tentang isu gender menyasar pada korban yaitu perempuan.
Perempuan sebagai korban dianggap butuh pengetahuan mengenai hak-haknya agar
terjadi kesadaran yang masif di masyarakat. Perempuan diharapkan menjadi aktor
perubahan khususnya berkaitan dengan ketimpangan gender yang selama ini ada di
masyarakat. Hal tersebut merupakan spirit dari gerakan feminisme yang sejak awal
gerakan tersebut memang diinisiasi dan digerakkan oleh perempuan. Upaya-upaya
menyadarkan diri bagi pihak tertindas harus dilakukan, karena perlawanan terhadap
sistem yang menindas hanya dapat dilakukan bersama-sama oleh pihak tertindas itu
sendiri.
4
Program untuk kesadaran gender di masyarakat sudah berjalan untuk beberapa
waktu di Indonesia. Perempuan banyak yang terlibat aktif dalam program kesadaran
gender tersebut. Hampir setiap kegiatan yang berkaitan dengan gender pesertanya
kebanyakan perempuan. Gender diidentikkan dengan perempuan. Hal tersebut
membuat berbagai informasi yang berkaitan dengan isu gender hanya diterima oleh
perempuan, sementara laki-laki sangat sedikit atau bahkan tidak tahu informasi
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan isu gender tersebut. Terjadi perbedaaan
pengetahuan yang mencolok antara perempuan dan laki-laki dalam memahami isu
gender. Hal tersebut dalam beberapa kasus tertentu dapat membuat potensi konflik
antara laki-laki dan perempuan terbuka lebar. Kesadaran terhadap keadilan dan
kesetaraan gender bisa dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Pengetahuan terhadap
isu gender mestinya dapat diperoleh juga oleh kedua belah pihak. Kesadaran gender
membutuhkan kesadaran juga dari laki-laki sebagai “aktor yang diuntungkan dalam
patriarki” sehingga laki-laki tahu dan sadar akan posisinya. Pada saat terjadi
perubahan sosial yang berkaitan dengan keadilan dan kesetaraan gender, laki-laki dan
perempuan tidak mengalami shock culture.
Keterlibatan laki-laki dalam perjuangan keadilan dan kesetaraan gender
sangatlah perlu. Subjek perubahan tidak saja perempuan tapi juga laki-laki, hal
tersebut juga menjadi perhatian beberapa aktivis gender baik di Indonesia maupun di
dunia internasional. Gerakan perubahan sosial dalam isu gender diharap lebih
maksimal dengan adanya keterlibatan laki-laki. Seperti gerakan perempuan di masa
5
awal yang mulai mengkonsolidasikan diri untuk memperjuangkan hak-hak
perempuan, gerakan pelibatan laki-laki juga membentuk suatu wadah agar ide-ide
tentang keterlibatan laki-laki dan gerakannya bisa lebih masif dan maksimal. Salah
satu wadah tersebut adalah munculnya Aliansi Laki-laki Baru (ALB). Aliansi Laki-
laki Baru hadir dalam kancah perjuangan keadilan dan kesetaraan gender di Indonesia
dengan tantangannya sendiri. Keterlibatan laki-laki dalam isu gender di Indonesia
juga sudah cukup lama namun tidak membentuk komunitas sendiri. Keterlibatan laki-
laki tersebut dengan bergabung dalam lembaga-lembaga sosial secara umum maupun
lembaga yang mayoritas beranggotakan perempuan. Adanya Aliansi Laki-laki Baru
merupakan generasi awal organisasi yang berisi laki-laki dengan tujuan
memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender.
Aliansi Laki-laki Baru ini kegiatannya berskala nasional, hal tersebut
dibuktikan dengan adanya sekretariat nasional yang berada di Jakarta. Gerakan
tersebut muncul awalnya di Bandung pada 2009 hasil dari pertemuan beberapa
lembaga dari berbagai wilayah di Indonesia yang melihat bahwa transformasi sosial
untuk keadilan dan kesetaraan gender tidak dapat hanya dilakukan oleh perempuan
saja tapi juga harus dilakukan oleh laki-laki. Aliansi Laki-laki Baru sebagai gerakan
yang basis anggotanya laki-laki, berusaha berjuang mengubah pandangan
maskulinitas laki-laki dalam kultur yang patriarki. Pandangan bahwa laki-laki
merupakan sosok dominan dan berkuasa terhadap perempuan diperjuangkan ALB
menjadi relasi yang adil dan setara antara laki-laki dan perempuan. Aliansi Laki-laki
6
Baru terlibat dalam program pelibatan laki-laki dalam isu gender dengan beberapa
lembaga pendukung salah satunya dengan Rifka Annisa dengan program MensCare
yang berada di Yogyakarta.
Aliansi Laki-laki Baru merupakan suatu gerakan “revolutif” dalam isu-isu
gender karena mencoba melakukan pendekatan yang berbeda dalam isu tersebut.
Aliansi Laki-laki Baru mencoba menyadarkan laki-laki yang digambarkan sebagai
sosok yang dominan karena dibesarkan dengan budaya patriarki menjadi laki-laki
yang adil gender. Selama ini setiap berdiskusi tentang isu gender, yang dipahami
adalah isu tersebut untuk perempuan dan laki-laki tidak perlu terlibat, sehingga sering
terjadi pada saat diskusi maupun seminar isu gender, pesertanya kebanyakan
perempuan. Kesadaraan adil gender tidak hanya harus dimiliki perempuan yang
dianggap sebagai kaum “subordinat” tapi juga wajib bagi laki-laki yang
memposisikan diri lebih “superior”. Adanya keterlibatan laki-laki dalam isu gender
tersebut membuat pemahaman terhadap isu gender dalam frekuensi yang sama
sehingga akan mengurangi kecurigaan terhadap perempuan. Tanpa keterlibatan laki-
laki, isu gender dipandang sebagai upaya perempuan untuk memberontak dan
menentang laki-laki. Hal tersebut bisa menimbulkan adanya konflik serta relasi yang
tidak adil pada perempuan. Keberanian Aliansi Laki-laki Baru menjadikan laki-laki
sebagi subjek perubahan sosial bersama perempuan merupakan usaha membuat dunia
menjadi lebih baik dan mencegah kekerasan terhadap perempuan agar tidak terjadi
lagi. Konsep-konsep mengenai pola pendekatan yang dilakukan untuk membangun
7
relasi yang adil dan setara tersebut memang perlu dibuktikan apakah mempunyai
dampak yang positif atau malah sebaliknya.
Adanya gerakan Aliansi Laki-laki Baru ini menambah peta gerakan dan
pemikiran dalam isu-isu perubahan sosial berbasis gender. Eksistensi Aliansi Laki-
laki Baru dalam gerakan perempuan penting untuk dipetakan. Beragamnya
pandangan dalam feminisme membuat posisi Aliansi Laki-laki Baru dalam peta
pemikiran feminisme menjadi menarik untuk dikaji. Dalam beberapa diskusi ada
yang mengakui bahwa Aliansi Laki-laki Baru adalah bagian dari feminisme tapi ada
juga yang berpendapat bahwa Aliansi Laki-laki Baru bukan termasuk dalam gerakan
feminisme. Perbedaan sudut pandang tersebut perlu untuk dilihat dasar berpikirnya
dan dampaknya dalam perjuangan terhadap keadilan dan kesetaraan gender
khususnya di Indonesia.
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dirumuskan masalah yang hendak
dijawab dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Apa hakikat gerakan Aliansi Laki-laki Baru terutama dalam melihat relasi
antara laki-laki dan perempuan?
2. Bagaimana gerakan Aliansi Laki-laki Baru dilihat dalam kacamata
Feminisme?
3. Bagaimana Relevansi gerakan Aliansi Laki-laki Baru bagi keadilan gender
di Indonesia?
8
2. Keaslian Penelitian
Gerakan Aliansi Laki-laki Baru merupakan salah satu gerakan yang
memperjuangkan isu keadilan dan kesetaraan gender. Gerakan ini cenderung baru
sehingga penelitian yang berbasis gerakan Aliansi Laki-laki Baru masih sangat
minim apalagi dalam sudut pandang filsafat. Penelitian yang dilakukan berkaitan
dengan gerakan Aliansi Laki-laki Baru ditulis oleh penulis. Namun ada beberapa
tulisan baik berupa buku, skripsi maupun tesis yang topiknya mengenai gender
dan feminisme yang berkaitan dengan penelitian mengenai gerakan Aliansi
Aliansi Laki-laki Baru, yaitu:
Buku yang berjudul “Laki-laki yang (sedang) Berubah. Cerita-cerita
perubahan Laki-laki di NTT dan NTB)”, 2014. Buku tersebut merupakan
kumpulan tulisan hasil refleksi dari berbagai pihak yang terlibat dalam program
laki-laki untuk keadilan gender dalam penghapusan kekerasan terhadap
perempuan. Program ini bertujuan tanggungjawab laki-laki meningkat dalam
mewujudkan keadilan gender dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Buku tersebut diterbitkan oleh Rifka Annisa dan Aliansi Laki-laki Baru.
Buku berjudul “Dadi Wong Lanang, Idealisasi dan Perolehan Nilai Remaja
Laki-laki di Jawa”, 2014. Penelitian ini dilakukan oleh Rifka Annisa di daerah
Gunungkidul dan Kulon Progo. Penelitian ini melibatkan remaja dari beberapa
9
sekolah di Gunungkidul dan Kulon Progo. Penelitian ini melihat nilai-nilai remaja
laki-laki terhadap pemahaman seksualitas dan relasi gender. Penelitian dilakukan
oleh Ryan Sugiarto, Aditya Putra Kurniawan, dan Alfi Sulistyowati.
Ryan Fajar Febryanto, Skripsi, “Feminisme dan Aktivisme Laki-laki: Analisis
Frame Alignment dalam Gerakan Laki-laki Pro Feminis (Studi Sosiologi Gerakan
Sosial Mengenai Upaya Pengorganisasian Gerakan Aliansi Laki-laki Baru)”,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik Universitas Indonesia (UI),2014. Penelitian
ini bertujuan untuk mengeksplorasi upaya Aliansi Laki-laki Baru mengorganisasi
gerakannya dalam menghimpun dukungan dan partisipasi publik baik kepada
laki-laki sebagai partisipan gerakan maupun bagaimana mereka memposisikan
Aliansi laki-laki Baru dalam gerakan perempuan. Dalam upaya mencapai tujuan
ini, peneliti memfokuskan pada proses frame alignment, sebagai proses yang
menganalisa bagaimana peran aktor-aktor gerakan sosial berusaha membentuk
persepsi pihak/kelompok tertentu terhadap keresahan yang muncul dan diangkat
oleh gerakannya dan menentukan apakah pihak/kelompok tersebut ingin terlibat
dalam gerakan tersebut atau tidak.
Septiana Dwi Putri Maharani, Tesis, “Tinjauan Filosofis terhadap Konsep
Kemitrasejajaran Laki-laki dan perempuan di Indonesia”, Fakultas Filsafat UGM,
2000. Penelitian ini secara umum bertujuan menelaah secara kritis terhadap
konsep manusia dengan melihat hakikat manusia seutuhnya, sehingga didapatkan
pemahaman baru terhadap konsep kemitrasejajaran. Secara khusus penelitian ini
10
mempunyai tujuan 1. Mengungkapkan pemahaman baru terhadap konsep
kemitrasejajaran yang menyangkut laki-laki dan perempuan di Indonesia. 2.
Menunjukkan hakikat manusia, otonomi dan perannya dalam kehidupan yang
manusiawi. 3. Menemukan relevansinya dalam praktek kehidupan di Indonesia,
Sehingga ditemukan konsep yang ideal sebagai salah satu solusi.
Hastanti Widy Nugroho, “Tesis, Refleksi Filsafat Moral Terhadap
Permasalahan Diskriminasi Gender”, Fakultas Filsafat UGM, 2002. Tujuan
penelitian ini 1. Melakukan evaluasi kritis terhadap masalah moralitas, dalam
kaitannya dengan persoalan gender, melalui sumbangan pemikiran para filsuf
moral. 2. Mencari pemecahan masalah dalam bidang etika normatif yang
bernuansa gender.
Ahmad Sururi,Tesis, “Pemikiran Ekofeminisme Dalam Perspektif Etika
Lingkungan : Relevansinya Bagi Pelestarian Lingkungan Hidup Di Indonesia”,
Fakultas Filsafat UGM, 2010. Tujuan Penelitian ini 1. Menjelaskan secara
diskriptif latar belakang pemikiran ekofeminisme. 2. Memberikan pemahaman
baru tentang konsep etika lingkungan menurut ekofeminisme. 3. Menjelaskan
secara reflektif relevansi pemikiran ekofeminisme terhadap upaya pelestarian
lingkungan hidup di Indonesia.
Abdul Wahid,Tesis, “Pemimpin Perempuan Dalam Perspektif Feminisme
Husein Muhammad”, Fakultas Filsafat UGM, 2013. Tujuan penelitian adalah 1.
11
Mendeskripsikan pemimpin perempuan dalam pandangan feminisme Islam. 2.
Memahami atau merumuskan dasar-dasar filosofis pemimpin perempuan. 3.
Mendeskripsikan dan menganalisis pandangan dan urgensi pemikiran Husein
Muhamad tentang pemimpin perempuan.
Fatrawati Kumari , Disertasi, “Relasi Gender Sachiko Murata Relevansinya
dengan Konsep Kesetaraan Gender Di Indonesia”, Fakultas Filsafat UGM, 2011.
Penelitian ini bertujuan 1. Merumuskan latar belakang historis pemikiran Murata.
2. Merumuskan relasi gender murata. 3. Merumuskan relevansi konsep relasi
gender Murata dengan kesetaraan gender di Indonesia.
B. Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan hakikat gerakan Aliansi Laki-laki Baru terutama dalam
melihat relasi antara laki-laki dan perempuan.
2. Menganalisa secara kritis gerakan Aliansi Laki-laki Baru dilihat dalam
kacamata Feminisme.
3. Menemukan relevansi gerakan Aliansi Laki-laki Baru bagi keadilan
gender di Indonesia.
C. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
12
1. Bagi pengembangan Ilmu: Penelitian ini memperkaya wacana-wacana
pemikiran khususnya yang berkaitan dengan feminisme dan juga
mengenai perubahan sosial yang ada di masyarakat.
2. Bagi pengembangan penelitian Filsafat: Penelitian ini diharapkan
menambah khasanah pemikiran filsafat khususnya filsafat sosial baik di
lingkungan UGM maupun juga dunia akademik di Indonesia pada
umumnya.
3. Bagi negara dan masyarakat: Adanya penelitian ini diharapakan akan
memberikan kesadaran bahwa adanya ketiakadilan dan ketidaksetaraan
gender menimbulkan kerugian tidak saja perempuan tapi juga laki-laki.
Adanya gerakan Aliansi Laki-laki Baru akan memberikan gambaran
bagaimana laki-laki bisa memposisikan diri dalam berinteraksi dalam
masyarakat khususnya dengan kaum perempuan. Dalam relasi antara laki-
laki dan perempuan akan tercipta relasi yang setara dan adil gender. Dan
hal tersebut bisa didukung melalui peraturan dan program yang
dikeluarkan oleh pemerintah baik di tingkat eksekutif, legislatif maupun
yudikatif.
D. Tinjauan Pustaka
Pembagian peran berdasarkan jenis kelamin merupakan sejarah kultural yang
bisa dikatakan sebagai tradisi yang paling tua. Struktur tubuh jadi penentu manusia
mendapatkan peran tertentu. Secara umum peran-peran awal dibedakan berdasarkan
jenis kelamin. Peran-peran yang disepakati sebagai peran publik akan lebih
13
didominasi oleh laki-laki dan peran-peran yang disepakati sebagai peran domestik
akan lebih banyak dilakukan oleh perempuan. Hal tersebut sudah dianggap menjadi
“kesepakatan” umum. Konstruksi sosial itu melegitimasi peran-peran yang sudah
menempel erat pada laki-laki dan perempuan serta merupakan bentuk ratifikasi
terhadap dominasi maskulin (Bourdieu, 2010:13). Ruang-ruang publik di beberapa
kasus tidaklah domain laki-laki saja, pasar adalah salah satu contohnya. Tapi kalau
diperhatikan barang-barang yang dijual oleh perempuan kebanyakan adalah barang-
barang yang mendukung kebutuhan domestik yang “erat” dengan perempuan.
Walby mengungkapkan hal yang senada;
“Kebiasaan seksual dipandang dikonstruksi secara sosial di sekitar gagasan
laki-laki atas hasrat, bukan hasrat perempuan. Heteroseksualitas
dilembagakan secara sosial di dalam masyarakat kontemporer dan mengatur
berbagai aspek relasi gender lainnya. Kekerasan laki-laki atas perempuan
dianggap sebagai bagian dari sistem yang mengontrol perempuan, tidak
seperti sudut pandang tradisional yang memegang pandangan bahwa
pemerkosaan dan pemukulan berulang-ulang merupakan kasus khusus yang
melibatkan masalah psikologis beberapa laki-laki (Walby, 2014; 4-5)”.
Dominasi laki-laki terhadap perempuan bisa mewujud dalam banyak hal salah
satunya dengan melakukan kekerasan. Banyak kasus kekerasan terhadap perempuan
mengemuka di media-media baik cetak maupun elektronik. Suharti selaku direktur
Rifka Annisa mengungkap fakta kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani
oleh Rifka Annisa. Rifka Annisa mendapat laporan lebih dari 300 kasus setiap
tahunnya. Kasus-kasus tersebut terdiri dari kasus Kekerasan Terhadap Istri (KTI)
sebanyak 180 kasus, kemudian perkosaan sebanyak 31 kasus, Kekerasan Dalam
14
Pacaran (KDP) sebanyak 21 kasus, pelecehan seksual 15 kasus, dan 5 kasus
kekerasan dalam rumah tangga. Kasus tersebut baru yang tercatat di Yogyakarta pada
tahun 2014. Kasus kekerasan terhadap istri menempati urutan tertinggi jumlah kasus
(Sugiarto dkk, 2014: 3). Kasus yang tercatat tersebut belum bisa menunjukkan fakta
secara keseluruhan kasus yang terjadi. Banyak kasus kekerasan terhadap perempuan
tersebut tidak diadukan baik ke kepolisisan maupun LSM, kemungkinan kasus yang
tidak tercatat pun bisa lebih besar lagi.
Berbagai kekerasan yang terjadi pada perempuan dalam berbagai bentuk
sangatlah memprihatinkan. Kampanye tentang keadilan dan kesetaraan gender
sepertinya belum banyak memberikan perubahan. Selama ini kampanye tentang
keadilan dan kesetaraan gender lebih banyak melibatkan perempuan dan sedikit
sekali melibatkan laki-laki. Kesadaran bahwa dalam kehidupan sosial selama ini
perempuan banyak mendapat perlakuan tidak adil, disadari oleh perempuan namun
sangat jarang bagi laki-laki, padahal pelaku ketidakadilan gender pada umumnya
adalah laki-laki. Hal tersebut memberikan sebuah gagasan adanya pelibatan laki-laki
dalam kampanye-kampanye keadilan dan kesetaraan gender.
“Terkait dengan faktor risiko kekerasan domestik dari sisi laki-laki sebagai
pelaku, sejak dasawarsa terakhir ini memang telah banyak riset dilakukan untuk
melihat sumbangannya bagi terjadinya KDRT. Sayangnya, kebanyakan studi
tersebut masih lebih banyak dilakukan di negara maju seperti kawasan Eropa
dan Amerika Utara. Dalam konteks regional di Asia Tenggara dan Asia Timur,
wacana tentang keterlibatan laki-laki dalam penghapusan kekerasan terhadap
perempuan mulai menjadi concern berbagai organisasi baik pemerintah
maupun non pemerintah seperti tercermin dalam konferensi yang
diselenggarakan di gedung PBB di Bangkok pada awal September 2007.
15
Konferensi tersebut menghasilkan deklarasi Bangkok yang mendorong
keterlibatan laki-laki dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan di
berbagai bidang seperti agama, pendidikan, media, pengambil kebijakan, dan
organisasi non pemerintah (Hasyim dkk, 2007: 5)”.
Upaya adanya keterlibatan laki-laki tersebut dilakukan oleh Aliansi Laki-laki
Baru dengan lembaga pendukungnya, salah satunya adalah Rifka Annisa. Sejak tahun
2011 akhir Rifka Annisa dengan Aliansi Laki-laki Baru bekerjasama dengan
beberapa lembaga di NTT dan NTB. Beberapa lembaga tersebut yaitu di NTT
(Rumah Perempuan, CIS Timor, SSP Soe, Yabiku Kefa) dan di NTB (LBH-APIK,
Santai Mataram, ADBMI dan Gema Alam). Kerjasama antara Rifka Annisa dan ALB
dengan beberapa lembaga di NTT dan NTB tersebut berkaitan dengan program laki-
laki untuk keadilan gender dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
program tersebut bertujuan meningkatkan tanggungjawab laki-laki dalam
mewujudkan keadilan gender dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan
(Sahude dkk, 2014: vi)”. Keterlibatan laki-laki saat ini dianggap penting karena untuk
mencapai kesetaran dan keadilan gender harus dilakukan dalam kerangka
kesepahaman dari kedua belah pihak, laki-laki dan perempuan.
Laki-laki, di dalam masyarakat, dikonstruksi untuk menjadi “laki-laki yang
ideal”. Penelitian Sugiarto dkk terhadap remaja laki-laki di Gunungkidul dan
Kulonprogo menunjukkan betapa konstruksi sosial punya pengaruh kuat dalam
membentuk definisi laki-laki. Laki-laki dalam penelitian tersebut menilai bahwa laki-
laki itu adalah sosok yang secara fisik tinggi dan perkasa, suara keras, kelamin besar,
berani bersaing , tidak putus asa, tegas atau tidak plin-plan, gagah berani, melakukan
16
tindakan yang cenderung menantang (pecicilan), berperilaku buruk, tidak patuh pada
orang tua, dan gonta-ganti pacar tapi tetap bertanggungjawab. Konsep “ideal” dari
laki-laki tersebut terus direproduksi secara turun temurun (Sugiarto, 2014: 68).
Dalam penelitian tersebut tidak saja laki-laki menilai dirinya sendiri, tapi juga
melihat sudut pandang laki-laki terhadap perempuan. Laki-laki dalam penelitian
tersebut mendefinisikan perempuan sebagai sosok cantik berambut panjang, kulit
putih mulus, wajah mempesona, lemah lembut, tidak mudah emosi, kalem, berjiwa
penyayang, sopan, tidak suka keluar rumah, mudah tersentuh perasaannya, lapang
dada, fisik menggoda dengan buah dada besar, dan bisa melahirkan, menstruasi,
hamil dan punya sifat keibuan (Sugiarto, 2014: 69). Pandangan remaja laki-laki
terhadap perempuan tersebut juga direproduksi terus menerus secara sosial dan
kultural di masyarakat.
Dalam kehidupan sosial, laki-laki mempunyai peran yang lebih menonjol
daripada perempuan. Laki-laki dipandang sebagai pihak yang berhak mengurus hal-
hal yang bersifat publik. Pertemuan-pertemuan RT/RW maupun pertemuan warga
pada umumnya didatangi oleh laki-laki. Sangat sedikit sekali atau bahkan jarang
perempuan terlibat aktif dalam aktivitas publik. Pada masa sekarang, di wilayah-
wilayah tertentu sudah ada perubahan, tapi secara umum keterlibatan laki-laki lebih
dominan di berbagai pertemuan-pertemuan yang membicarakan masalah publik.
Laki-laki secara sosial memang diposisikan berperan lebih banyak di sektor publik
17
dan perempuan di sektor domestik. Hal tersebut dipertegas dalam penelitian Hasyim
dkk;
“Kaum laki-laki diposisikan sebagai penjembatan antara keluarga dan
masyarakat. Segala kesuksesan dan keberhasilan dalam keluarga akan
dipandang sebagai keberhasilan laki-laki oleh masyarakat, disamping itu
seorang laki-laki juga diposisikan sebagai figur panutan baik dalam keluarga
maupun lingkungan masyarakat. Hal itu menyebabkan segala tindakan laki-laki
akan banyak mendapat sorotan oleh masyarakat sehingga secara tidak sadar, hal
ini menimbulkan suatu beban tersendiri (Hasyim dkk, 2007: 116)”.
Permasalahan relasi yang tidak adil serta adanya dominasi dari laki-laki tersebut
menimbulkan suatu “perlawanan” dari perempuan atas ketidakadilan yang terjadi
selama ini. “Perlawanan” tersebut sering dikenal orang sebagai gerakan feminisme.
Feminisme sendiri memiliki beragam pandangan dan pemikiran yang beragam
sampai saat ini. Beragamnya pemikiran feminisme tersebut terlihat dalam aliran-
aliran feminisme. Dalam beberapa pemikiran aliran feminisme tersebut bisa terlihat
perbedaan dari masing-masing aliran. Perbedaan pemikiran tersebut merupakan
kekayaan wacana dan pengalaman yang dialami oleh perempuan. Berbagai pemikiran
dan pengalaman perempuan tersebut melahirkan berbagai aliran femininisme.
“Seiring perkembangan feminisme, teorisasi memiliki arah dan bentuk yang
berbeda-beda. Masing-masing feminis juga mengubah pandangan mereka
sepanjang waktu. Hal ini terlihat jelas dalam banyak karya feminis yang
bercorak reflektif dan kritis terhadap diri sendiri. Kaum feminis terus-menerus
merefleksikan gagasan mereka dan mengubah pendirian mereka sebagai
tanggapan atas perdebatan dan tantangan dari feminis yang lain. Karena itu,
seorang teoritisasi tidak bisa dilekatkan pada pernyataan tunggal mengenai
pendirian mereka karena pendirian ini terus-menerus dikembangkan dan
dimodifikasi (Jackson dan Jones, 2009: 3)”.
18
Adanya beragam cara pandang tersebut terlihat dalam melihat sumber relasi yang
tidak adil dan setara antara laki-laki dan perempuan tersebut terbentuk. Selama ini
perempuan memandang laki-laki sebagai manusia yang “berkuasa” atas diri
perempuan. Berbagai aliran feminisme ini muncul memetakan sebab musababnya.
Berbagai aliran feminisme mempunyai titik tekan yang beragam berkaitan dengan
sebab musabab adanya relasi yang tidak adil antara laki-laki dan perempuan.
Berbagai budaya yang muncul dan pengetahuan yang dipelajari lahir dari cara
berpikir laki-laki. Logika-logika yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari sangatlah
patriarki. Hal tersebut yang dikritisi oleh feminisme. Dalam kehidupan sehari-hari
telah direproduksi cara berpikir yang dikembangkan oleh laki-laki.
“Berpikir sebagai seorang feminis melibatkan upaya menantang banyak hal
yang dianggap sebagai “pengetahuan”. Karena kita secara historis hidup dalam
masyarakat yang didominasi laki-laki, perempuan lebih sering dijadikan objek
ketimbang pencipta pengetahuan. Akibatnya, banyak hal yang diwariskan
sebagai pengetahuan objektif mengenai dunia sebenarnya dihasilkan oleh kaum
laki-laki dan dibingkai oleh posisi mereka yang khas dalam masyarakat sebagai
laki-laki-dan umumnya kulit putih, kelas menengah, dan heteroseksual. Cara
teorisasi feminis menggugat cara mengetahui yang bersifat androsentris
(berpusat pada laki-laki), dengan mempertanyakan hierarki berbasis gender
dalam masyarakat dan budaya. Teori feminis adalah soal berpikir untuk diri
kita sendiri-perempuan menghasilkan pengetahuan tentang perempuan dan
gender bagi perempuan ( Jackson dan Jones, 2009: 1-2)”.
Feminisme tidak saja dipahami sebagai sebuah pemikiran tapi juga sebagai
sebuah ideologi. Bagi para feminis memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender
merupakan ideologi yang harus diperjuangkan. Feminisme sendiri berkembang tidak
semata-mata di dunia pergerakan tapi juga berkembang dalam ranah ilmu
pengetahuan. Dalam ranah pengetahuan, feminisme berkembang karena kritik dan
19
pemikiran-pemikiran yang terus berkembang. Ada sedikit perbedaan dalam sudut
pandang antara gerakan dan dunia pemikiran. Dalam dunia gerakan, ideologi menjadi
tuntunan dalam berbagai aktivitasnya sedangkan dalam dunia akademik, ilmu yang
menjadi acuannya. Ada ungkapan yang menarik mengenai perbedaan antara ideolog
dan ilmuwan.
“Seorang ideolog adalah seorang ilmuwan sosial yang buruk dan seorang
ilmuwan sosial merupakan seorang ideolog yang buruk. Keduanya-sekurang-
kurangnya bagaimana keduanya seharusnya- berada dalam garis-garis kerja
yang sangat berbeda, garis-garis yang sedemikian berbeda sehingga sedikit
diperoleh dan banyak diamati dengan mengukur kegiatan-kegiatan yang satu
yang berlawanan dengan tujuan-tujuan yang lain (Geertz, 1992: 45)”.
Kesejarahan yang panjang antara yang mendominasi dan yang terdominasi
membuat hal tersebut dianggap sebagai sesuatu yang bukan masalah. Dominasi
membuat tidak saja kaum dominan yang melestarikan dominasi terhadap kaum
terdominasi tetapi juga kaum terdominasi akhirnya ikut melestarikan adanya
dominasi terhadap kaum terdominasi tersebut dengan menerima perlakuan sebagai
pihak terdominasi. Seperti diungkapkan oleh Haryatmoko “Dominasi tidak selalu
dalam bentuk penjajahan atau kasat mata seperti penindasan fisik, ekonomi atau
sosial,tetapi bisa dalam bentuk dominasi simbolik yang sering secara sadar atau
tidak disetujui oleh korbannya” (Haryatmoko, 2010: 5). Gerakan feminis ingin
merombak konsep relasi yang menguasai menjadi relasi yang adil dan setara.
Membangun relasi yang adil dan setara tersebut tentulah tidak mudah dan masih
berlangsung sampai sekarang ini.
20
Konsep maskulin yang dianggap sebagai sosok superior dalam kultur patriarki
dalam relasi antara laki-laki dan perempuan menjadi salah satu penghalang adanya
relasi yang adil dan setara. Maskulinitas diposisikan sebagai budaya utama dalam
suatu masyarakat. Maskulinitas selalu diagung-agungkan dalam budaya patriarki.
Feminitas dilihat lebih rendah dalam kultur yang maskulin. Feminisme datang dengan
konsep yang dianggap radikal yang mengancam dominasi maskulin. Namun
feminisme melihat budaya patriarki sudah saatnya berubah dengan melihat bahwa
manusia bukan hanya laki-laki tapi juga perempuan. Hal yang perlu digarisbawahi
adalah perubahan itu adalah berasal dari manusia itu sendiri, kalau manusianya ingin
berubah maka perubahan bisa dilakukan. Segala tradisi yang hidup ribuan tahun yang
sudah tidak sesuai dengan jaman merupakan suatu hal yang wajar jika mengalami
perubahan. Van Peursen mengungkapkan;
“Manusialah yang membuat sesuatu dengan tradisi itu: ia menerimanya,
menolaknya atau mengubahnya. Itulah sebabnya mengapa kebudayaan
merupakan cerita tentang perubahan-perubahan: riwayat manusia yang selalu
memberi wujud baru kepada pola-pola kebudayaan yang sudah ada (Peursen,
2009: 11)”.
Tradisi maskulin membudaya secara turun temurun dan diwarisi oleh tiap-tiap
individu. Mengubah budaya tersebut secara serta merta tentu bukanlah hal yang
mudah apalagi budaya maskulin tersebut sudah dianggap sebagai sebuah tindakan
yang benar dan wajar. Lingkungan sangat mempengaruhi kebiasaan-kebiasaan
individu. Tidak ada individu yang hidup bebas tanpa pengaruh dari sikap-sikap dan
pemikiran lingkungan sekitar.
21
E. Landasan Teori
Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori feminisme, yang melihat dari
berbagai aspek baik dari sisi perubahan sosialnya, perubahan kebudayaannya dan dari
situasi sosial politiknya. Salah satu hal yang menjadi soroton utama dalam kajian
feminisme adalah budaya patriarki. Menganalisis konsep-konsep budaya patriarki
agar berubah menjadi budaya yang adil gender tentu butuh energi ekstra. Di satu sisi
kajian feminisme bukan hanya satu pemikiran tapi terdiri dari beragam pemikiran.
Prabasmoro mengungkapkan bahwa pemikiran feminisme itu tidak tunggal;
“Berbicara mengenai feminisme bagi saya adalah berbicara tentang
kesadaran. Bukan semata-mata bidang ilmu, feminisme merupakan semangat
dan cara pandang bagi saya. Pada saat saya mengatakan bahwa feminisme
bukanlah sesuatu yang dihasilkan oleh satu cara pandang sedemikian
sehingga menghasilkan produk pengetahuan dan cara mengetahui yang
tunggal juga. Bagi saya feminisme lebih bersifat cair dan jamak
(Prabasmoro,2006: 39)”.
Adanya berbagai macam aliran feminisme tidaklah terbentuk dalam ruang
kosong. Aliran feminisme lahir dalam usahanya menjawab berbagai permasalahan
yang dianggap tidak adil gender dan mendiskriminasikan perempuan. Dialektika
tentang feminisme terus berkembang dalam usaha menjawab permasalahan-
permasalahan dan diskursus baru berkaitan dengan relasi laki-laki dan perempuan.
Prabasmoro menjelaskan;
“Menurut saya, feminisme bergerak sesuai dengan zamannya dan yang
seharusnya terjadi adalah dialog yang belum selesai, yang masih terus
berlangsung antara feminisme “masa lalu” dan feminisme “kontemporer”.
Menurut Ahmed et.al., diperlukan mobilisasi feminisme pada waktu dan
ruang (tempat) tertentu melalui pengembangan pemanfaatan indra, perasaan,
22
konsep, dan pemikiran yang berbeda. Mempertanyakan feminisme adalah
mempertanyakan efek dari pemanfaatan tersebut, mempertanyakan
bagaimana hal tersebut berfungsi, untuk siapa hal tersebut berfungsi, untuk
siapa hal tersebut berfungsi dan apakah kita dapat memikirkan, merasakan
atau membayangkan cara lain “melakukan” feminisme (Prabasmoro, 2006:
41)”.
Pemikiran feminis tidak saja lahir dan berkembang oleh para pemikir dan feminis
perempuan tapi juga lahir dan berkembang berdasarkan pemikiran filsuf-filsuf yang
kebetulan juga laki-laki. Pemikiran Sartre, Marx,dan Derrida mempengaruhi
perkembangan pemikiran feminis tidak saja di masa lalu tapi juga sampai jaman
sekarang. Tong mengungkapkan ;
“Sejak menulis pendahuluan saya yang pertama tentang pemikiran feminis,
hampir sepuluh tahun yang lalu, saya semakin yakin bahwa sebagian besar
pemikiran feminis meresistensi kategorisasi, terutama kategorisasi
berdasarkan label dari “bapak” pemikiran itu. Percayalah pada saya bahwa
akan merupakan suatu tragedi jika label-label ini dapat menyakinkan
pembaca, bahwa feminisme liberal hanyalah variasi dari pemikiran John
Stuart Mill, Feminisme Marxis-sosialis hanyalah perbaikan dari tulisan Karl
Marx dan Fredrich Engels, dan feminisme psikoanalisis hanyalah tambahan
atas spekulasi Freud, feminisme eksistensialis hanyalah artikulasi lebih jauh
dari gagasan Jean Paul Sartre, Feminisme Posmodern hanyalah merupakan
rekapitulasi dari perenungan Jacques Lacan dan Jacques Derrida. Adalah juga
suatu yang tidak menguntungkan jika label ini yang diambil dari usaha
feminis radikal dan ekofeminis, misalnya, untuk berfilsafat secara baru
(Philosophy de novo) tanpa mendasarkan diri pada pemikiran patriarki
manapun-suatu tugas yang tidak menyenangkan, bahkan berbahaya, tetapi
bagaimanapun harus tetap direkomendasikan untuk dilakukan (Tong, 2006:
1)”.
Feminisme telah melakukan perubahan sosial dengan mendobrak budaya
patriarki yang telah ada ribuan tahun. Ketimpangan relasi antara laki-laki dan
perempuan terjadi sejak dahulu kala dan tidak ada upaya untuk mengubahnya sampai
pemikiran feminisme datang. Mengubah budaya yang telah mengakar ribuan tahun
23
tentu bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Tapi budaya itu sendiri bukanlah
sesuatu yang statis melainkan sesuatu yang dinamis sehingga sangat mungkin untuk
berubah. Kata kebudayaan sendiri tidak diartikan sebagai kata benda yang cenderung
diam statis tapi merupakan kata kerja yang aktif dan bergerak dinamis (Peursen,2009:
11).
Sebagai contoh bahwa pandangan aliran feminis mempunyai titik tekan tertentu
adalah feminis radikal. Feminis radikal melihat adanya ketidakadilan tersebut karena
sistem patriarki yang selama ini lebih banyak menguntungkan laki-laki. Perjuangan
yang dilakukan feminis radikal adalah merombak praktik-praktik patriarki yang
menindas perempuan tersebut. Sistem patriarki adalah masalah utama munculnya
ketidakadilan gender tersebut.
“Kata patriarki secara harfiah berarti kekuasaan bapak atau “patriarch
(patriarch)”. Mulanya patriarki digunakan untuk menyebut suatu jenis
“keluarga yang dikuasai oleh kaum laki-laki”, yaitu rumah tangga besar
patriarch yang terdiri dari kaum perempuan, laki-laki muda, anak-anak, budak,
dan pelayan rumah tangga yang semuanya berada di bawah kekuasaan si laki-
laki penguasa itu. Sekarang istilah ini digunakan secara lebih umum untuk
menyebut kekuasaan laki-laki, hubungan kuasa dengan apa laki-laki menguasai
perempuan, dan untuk menyebut sistem yang membuat perempuan tetap
dikuasai melalui bermacam-macam cara. Di Asia Selatan, misalnya, disebut
pitrasatta dalam bahasa Hindi, pidarshahi dalam bahasa Urdu, dan
pitrantontro dalam bahasa Bangla (Bhasin, 1996: 1)”.
Mosse memberikan gambaran betapa patriarki telah begitu berkuasa dalam
banyak hal, tanpa memberi kesempatan pada perempuan.
24
“Yang mutakhir, istilah “patriarki” mulai digunakan di seluruh dunia untuk
menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak-anak di dalam
keluarga dan ini berlanjut kepada dominasi laki-laki dalam semua lingkup
kemasyarakatan lainnya. “Patriarki” adalah konsep bahwa laki-laki memegang
kekuasaan atas semua peran penting dalam masyarakat-dalam pemerintahan,
militer, pendidikan, industri, bisnis, perawatan kesehatan, iklan, agama-dan
bahwa dasarnya perempuan tercerabut dari akses terhadap kekuasaan itu
(Mosse, 1996: 64-65)”.
Contoh lain adalah feminis Marxis. Bagi feminis Marxis akar masalah adanya
ketidakadilan adalah berkaitan kepemilikan modal. Pemilik modal adalah pelaku
ketidakadilan bagi kelas pekerja. Selama ini kebanyakan pemilik modal adalah laki-
laki sehingga perempuan mendapatkan perlakuan yang tidak adil karena meraka
bukan pemilik modal. Saat kepemilikan modal ini hanya dikuasai oleh laki-laki maka
ketidakadilan terhadap perempuan akan tetap berlangsung. Bahkan relasi suami istri
dalam rumahtangga pun digambarkan feminis Marxis sebagai relasi kuasa atas modal.
“Dalam hal ini, feminis Marxis melihat perbedaan antara seorang pelacur dan
seorang istri semata-mata dalam konteks tingkat perbedaannya, bukan jenis
perbedaannya. Pelacur dan istri sama-sama menjual diri-menjual pelayanan
seksual dan, dalam hal istri, juga menjual layanan domestik serta pelayanan
merawat dan mengasuh-untuk dapat menjaga kelangsungan hidupnya secara
ekonomi. Apakah hal tersebut mewujud dalam bentuk “melacur” atau dalam
bentuk “Pernikahan untuk kenyamanan” adalah isu sekunder bagi para pemikir
Marxis (Tong, 2006: 171)”.
Contoh lainnya adalah feminisme multikultural. Feminis multikultural melihat
ketidakadilan gender tersebut dikonstruksi secara tidak setara berkaitan dengan ras,
kelas, seksual, agama, budaya dan lain sebagainya. Feminis multikultur melihat
ketidakadilan gender bisa terjadi di berbagai budaya yang ada. Namun ada cara
pandang yang berbeda di tiap-tiap budaya tersebut. Feminisme global melihat bahwa
25
ketidakadilan gender itu terjadi di berbagai wilayah. Tapi ada yang membedakan
antara ketiadadilan gender di dunia ketiga dengan dunia pertama. Di dunia pertama
perempuan bisa lebih dihormati daripada laki-laki di dunia ketiga. Perempuan di
dunia ketiga secara umum mendapat pengakuan lebih rendah. Ungkapan yang muncul
“sudah perempuan, hidup kedunia ketiga pula”, perempuan di dunia ketiga tersebut
mendapat perlakuan yang tidak adil tidak saja oleh dunia pertama tapi juga di dunia
ketiga. Seperti diungkapkan oleh Mansur Fakih menjelaskan pandangan Mosse:
“Kritik yang lebih mendasar dilakukan pada saat ia (Mosse) mengupas bagaimana
dalam era “pembangunan” kaum perempuan tidak hanya menderita dikarenakan
diskriminasi atau ketidakadilan yang disebabkan oleh keyakinan gender, namun
pada saat yang sama juga masih menderita warisan dari penindasan kelas, kasta
dan suku. Dengan kata lain, kaum perempuan menderita tidak hanya karena peran
gendernya, melainkan juga karena kelasnya di masyarakat, warna kulitnya,
kastanya serta asal darah sukunya. Penindasan berlapis tersebut di mulai sejak
zaman kolonialisme dan tetap dilanjutkan pada zaman pascakolonialisme yakni
zaman pembangunan (Mosse, 1996: x)”.
Femininisme profetik berkaitan dengan pemaknaan dan tafsir ulang terhadap teks-
teks keagamaan yang mendiskriditkan perempuan. Dalam beberapa tafsir keagamaan
laki-laki diposisikan lebih dominan daripada perempuan. Hal tersebut berdampak
pada tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Tafsir keagamaan menjadi
pembenar bahwa laki-laki memang berhak berlaku “sewenang-wenang” pada
perempuan. Perlu kajian yang lebih adil dibandingkan dengan kajian-kajian
sebelumnya menjadi titik tekan feminisme profetik. Kadarusman menyebutnya
sebagai teologi feminisme.
26
“Teologi pembebasan yang diterapkan untuk membebaskan perempuan dari
ketertindasan disebut teologi feminisme (theology of feminism). Teologi
Feminisme adalah gerakan reformis dan revolusioner untuk mendekonstruksi
ideologi dan pemahaman keagamaan yang bias kelelakian. Dekonstruksi ini
bertujuan untuk menghapus patriarki, dan mencari landasan teologis atas
kesetaraan gender. Gender bukan semata-mata persoalan sosiologis, tapi telah
merambah wilayah ketuhanan (Kadarusman, 2005: 35)”.
Dari sekian contoh aliran feminisme tersebut bisa dilihat perbedaan titik tekan
dari masing-masing aliran tersebut. Dari semua aliran feminisme ada sudut pandang
yang hampir sama yaitu relasi yang tidak adil antara laki-laki dan perempuan, hanya
saja sudut pandang yang dipakai masing-masing aliran berbeda.
“Di balik majemuknya aliran-aliran pemikiran tentang feminis yang ada,
ternyata ada homogenitas pemikiran diantara mereka tidak ada yang tidak
mempertanyakan hubungan dominasi dan subordinasi antara laki-laki dan
perempuan. Dalam konteks ini, ke-„laki-laki”-an dan ke-“perempuan”-an tidak
boleh dipahami secara biologis, yakni sebagai jenis kelamin (seks) melainkan
sebagai konstruksi kultural, yang lebih sering dikenal dengan sebutan “gender”
(Nugroho, 2011: 62)”.
Adanya persamaan dari sekian perbedaan yang ada ini membuat perjuangan
feminisme tetaplah satu yaitu melawan dominasi dan memperjuangkan kesetaraan
dan keadilan. Siti Ruhaini Dzuhayatin mengungkapkan:
“Berbeda dengan isme produk oksident (Barat) lainnya, diskursus feminisme
tidak menggunakan grand-theory yang monolitik, sehingga tidak ada suatu
standar tunggal yang rigid dalam aplikasinya. Dengan demikian feminisme
dapat diartikulasikan secara beragam dalam konteks ruang dan waktu serta
sosio-kultural yang indigenous, dengan catatan bahwa sepanjang suatu aksi
atau gerakan ini berangkat dari kesadaran tentang terjadinya penindasan baik
fisik maupun mental terhadap perempuan dalam suatu masyarakat, lapangan
pekerjaan dan di dalam keluarga. Selanjutnya kesadaran tersebut memotivasi
adanya suatu aksi dari perempuan ataupun laki-laki untuk dengan sengaja
mengubah keadaan tersebut (Fakih dkk, 2000: 234-235)”.
27
Feminisme bisa lahir di mana saja, di masyarakat apa saja, tapi yang jelas feminisme
membangun kesadaran bahwa telah terjadi ketidakadilan dalam relasi perempuan
dengan laki-laki baik dalam ranah domestik maupun sosial. Adanya kesadaran untuk
merubah kondisi yang tidak adil tersebut. Ditambahkan oleh Siti Ruhaini
Dzuhayatin;
“Esensinya adalah bahwa kesadaran atas ketertindasan itu dapat muncul di
mana pun dan dalam kurun waktu kapan pun. Tidak harus diimpor dari belahan
bumi lainnya. Diakui atau tidak, fenomena patriarchal yang cenderung
mendiskreditkan martabat kemanusiaan perempuan telah mengakar di setiap
budaya penjuru dunia. Dalam akar dan kadar yang berbeda-beda, penindasan
itu telah menimbulkan kesadaran baru untuk menciptakan paradigma baru yang
lebih harmonis untuk kedua jenis manusia, laki-laki dan perempuan, serta
merumuskan identitas gender yang tidak terlalu tajam terpolarisasi dalam
sudut-sudut yang superioritas dan inferior (Fakih dkk, 2000: 235-236)”.
Yunahar Ilyas menambahkan;
“Karena kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan
hanyalah salah satu saja dari kesadaran terhadap ketidakadilan gender, maka
kiranya menurut hemat penulis, feminisme lebih tepat kalau didefinisikan
sebagai berikut: “Kesadaran akan ketidakadilan gender yang menimpa kaum
perempuan baik dalam keluarga maupun masyarakat serta tindakan sadar
oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut (Ilyas,
1997: 42)”.
F. Metode Penelitian
1. Bahan Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian ini
dilakukan berdasarkan penelitian lapangan dan juga penelitian kepustakaan. Sumber
primer sebagai bahan penelitian berasal dari wawancara aktivis gerakan Aliansi
28
Laki-laki Baru yang mewakili pengurus pusat, daerah dan juga lembaga pendukung.
Data yang ada merupakan hasil wawancara maupun dari dokumen-dokumen, artikel
maupun tulisan lainnya yang berkaitan dengan ide-ide atau pemikiran dari organisasi
Aliansi Laki-laki Baru. Bahan dari wawancara berasal dari aktivis gerakan Aliansi
Laki-laki Baru dan juga aktivis gerakan perempuan yang memiliki keterkaitan dengan
gerakan Aliansi Laki-laki Baru tersebut. Penelitian pustaka berupa buku-buku yang
berasal dari berbagai perpustakaan yang ada di beberapa tempat di Yogyakarta
khususnya perpustakaan di kampus-kampus dan juga Lembaga Swadaya masyarakat
yang bergerak di isu gender.
2. Cara Penelitian
Penelitian lapangan dilakukan dengan melakukan pemetaan pihak-pihak yang
dapat menjadi narasumber berkaitan tema penelitian. Penelitian pustaka dilakukan
dengan pemilihan bahan-bahan berupa buku maupun dokumen pendukung dari data
yang diperlukan. Penulis melakukan wawancara mendalam terhadap penggiat/aktivis
Aliansi Laki-laki Baru dan juga aktivis perempuan dari lembaga pendukung Aliansi
Laki-laki Baru di Yogyakarta. Penulis melakukan wawancara dengan pihak-pihak
yang mempunyai informasi berkaitan dengan tema penelitian baik data utama
maupun pendukung untuk penelitian ini.
3. Proses Penelitian
a. Tahap Pengumpulan Data
29
Data dibedakan menjadi dua, yaitu data primer dan sekunder. Pengumpulan
data tersebut dengan dua cara sesuai karakteristik data yang dibutuhkan. Data primer
dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan pegiat organisasi, dan juga
wawancara mendalam dengan aktivis perempuan yang dianggap paham terhadap isu-
isu gender dan pemikiran feminisme. Data sekunder diambil dari berbagai tulisan
yang ada hubungannya dengan ide-ide pokok dari gerakan Aliansi Laki-laki Baru,
baik berupa artikel, hasil penelitian dan juga buku.
b. Tahap Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode
refleksi filosofis dengan unsur metodis sebagai berikut:
1. Deskripsi
Peneliti mencoba menyajikan filsafat tersembunyi ALB tidak secara abstrak dan
dilepaskan dari kehidupan konkrit. Peneliti mencoba mendiskripsikan sedemikian
rupa sehingga terus menerus ada referensi pada masalah konkret dengan detail-
detailnya.
2. Interpretasi
Peneliti berusaha menafsirkan berbagai temuan data yang ada baik data primer
maupun sekunder dari ALB dan mengungkapkan esensi realitas yang ada. Atas dasar
tersebut peneliti memberikan evaluasi kritis dan menyajikan filsafat alternatif.
30
3. Holistika
Peneliti berusaha mengidentifikasi struktur dan norma-norma dari ALB dan
melihatnya dalam rangka keseluruhan hakikat manusia, bersama dengan sesama
manusia, dengan dunia dan dengan Tuhan.
4. Kesinambungan historis
Peneliti mencoba menempatkan masalah dan situasi aktual dari ALB ditempatkan
dalam konteks historis; muncul dan berkembangnya.
5. Heuristik
Mencoba menemukan teori atau pemikiran baru berkaitan dengan pemikiran
feminisme yang selama ini ada dan berkaitan dengan ALB.
6. Reflesksi peneliti pribadi
Peneliti mencoba mengevaluasi berkaitan dengan filsafat tersembunyi dan mencoba
menyusun konsep yang lebih menyeluruh dan seimbang berkaitan dengan konsep
ALB.
(Bakker dan Zubair, 2005: 110-113).
31
G. Hasil yang Dicapai
Hasil yang dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Pemahaman terhadap hakikat gerakan Aliansi Laki-laki Baru terutama dalam
melihat relasi antara laki-laki dan perempuan.
2. Adanya analisis kritis terhadap gerakan Aliansi Laki-laki Baru dilihat dalam
kacamata feminisme.
3. Adanya analisis relevansi gerakan ALB bagi keadilan gender di Indonesia.
H. Sistematika Penulisan
Hasil penelitian ini dilaporkan dalam lima bab sebagai berikut
Bab pertama, Bab pertama berisi latar belakang dilakukannya penelitian ini,
rumusan masalah yang hendak dijawab, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
pustaka,landasan teori, dan metode penelitian yang dilakukan.
Bab kedua, bab kedua membahas mengenai pemikiran feminisme yang berdampak
pada relasi antara laki-laki dan perempuan.
Bab ketiga, bab ketiga berisi pembahasan berkaitan gerakan Aliansi Laki-laki Baru,
baik dari sejarah, pemikiran, serta gerakan yang dilakukan serta aktivitasnya di
masyarakat.
32
Bab keempat, bab keempat membahas mengenai pemikiran filsafat yang berkaitan
dengan Aliansi Laki-laki Baru dilihat dari perspektif pemikiran feminisme. Serta
relevansi gerakan Aliansi Laki-laki Baru dalam kebijakan pada isu gender di
Indonesia.
Bab kelima, bab kelima berisi kesimpulan dari hasil pembahasan pada bab-bab
sebelumnya.