bab i pendahuluan 1.1 latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Setiap bahasa memiliki ungkapan yang digunakan untuk menyampaikan
makna kausatif. Meskipun demikian kausatif dalam masing-masing bahasa
dinyatakan dengan konstruksi yang berbeda-beda. Konstruksi kausatif
menggambarkan adanya dua peristiwa yang saling berkaitan. Comrie (1989: 165)
mengatakan bahwa dalam situasi kausatif terdapat dua komponen yaitu sebab (the
cause) dan akibat yang dihasilkan (result). Definisi konstruksi kausatif di atas
menunjukkan komponen sebab memberi pengaruh sehingga timbul akibat pada
komponen akibat.
Dua komponen tersebut merupakan situasi mikro yang apabila
digabungkan akan membentuk situasi makro yang disebut situasi kausatif. Hal
tersebut dapat dilihat pada contoh berikut.
(1) The bus’s failure to come caused me to late for the meeting.
(Comrie, 1989:163)
Pada contoh di atas Comrie menjelaskan situasi mikro terdiri atas komponen
sebab yaitu klausa the bus fails to turn up dan kompenen akibat I am late for the
meeting. Penggabungan dua komponen tersebut akan membentuk situasi kausatif.
Selanjutnya, Comrie (1989:166) juga menjelaskan bahwa ada banyak cara
untuk mengekspresikan situasi kausatif, seperti dalam bahasa Inggris digunakan
konjungsi because, so that, atau preposisi because of, thanks to, atau predikat
yang terpisah seperti verba to cause, to bring it abaout that, dan sebagainya.
2
Selain itu dapat juga menggunakan predikat yang di dalamnya terkandung makna
sebab seperti contoh berikut.
(2) John killed Bill.
Dalam bahasa Jepang istilah kausatif dikenal dengan istilah shieki.
Kausatif dalam bahasa Jepang dapat diungkapkan dengan verba turunan yang
dimarkahi oleh sufiks V-aseru/V-saseru seperti contoh berikut ini.
(3) Watashi wa musume ni piano o naraw- ase- masu.
saya anak pr. piano belajar kaus. formal
‘Saya menyuruh anak perempuan (saya) belajar piano.’
(Kiso II: 231)
(4) Kodomo o kooen de asob- ase- masu.
anak taman bermain kaus. formal
‘(Saya) mengizinkan anak bermain di taman.’
(Kiso II: 233)
Kausatif pada contoh di atas diekspresikan dengan verba kausatif narawasemasu
‘menyuruh belajar’ dan asobasemasu ‘mengizinkan bermain’. Pada contoh (3)
dan (4) subjek Watashi ‘Saya’ merupakan penyebab (causer) yang memberi
pengaruh atau melakukan tindakan terhadap objek musume ‘anak perempuan’ dan
kodomo ‘anak’ yang menjadi tersebab (causee). Pengaruh atau tindakan penyebab
terhadap tersebab membawa akibat sesuatu terjadi pada tersebab (objek kalimat).
Kausatif bahasa Jepang tidak selalu dinyatakan dengan verba turunan,
verba transitif berikut ini juga menyatakan kausatif.
(5) Taroo ga mado o hiraku.
Taroo jendela membuka
3
‘Taroo membuka jendela.’ (SS: 241)
(6) Taroo ga kaeru o koroshi -ta.
Taroo katak membunuh lamp.
‘Taroo membunuh katak.’
(SS: 241)
Pada contoh di atas verba hiraku ‘membuka’ dan koroshita ‘membunuh’
juga menyatakan makna kausatif meskipun bukan verba turunan. Dikatakan verba
kausatif karena menggambarkan peristiwa sebab dan peristiwa akibat. Dilihat dari
maknanya, kausatif dalam bahasa Jepang seperti contoh di atas dapat
diinterpretasikan sebagai suruhan, pemberian izin maupun tindakan penyebab
terhadap tersebab. Artinya, pengaruh atau tindakan penyebab terhadap tersebab
dapat bersifat positif maupun negatif.
Bahasa Indonesia juga memiliki ungkapan yang digunakan untuk
mengekspresikan makna kausatif seperti contoh berikut ini.
(7) Berita itu membuat hatinya gembira.
(8) Perbuatannya menyebabkan orang-orang di dekatnya merasa gembira.
(9) Ibu membersihkan kamar tidur.
(10) Perampok itu juga membunuh korbannya.
Pada contoh di atas verba membuat, menyebabkan, membersihkan, dan
membunuh merupakan verba yang menyatakan makna kausatif. Verba kausatif
dalam bahasa Indonesia bentuknya dapat berupa verba berafiks maupun bukan
verba berafiks. Subjek kalimat (7-10) di atas yaitu Berita itu, Perbuatannya, Ibu,
dan Perampok itu menjadi penyebab yang memberi pengaruh kepada objek dia,
4
orang-orang di dekatnya, kamar tidur, dan korbannya sehingga objek melakukan
suatu tindakan atau mengalami suatu peristiwa. Dilihat dari maknanya, kausatif
bahasa Indonesia mengekspresikan subjek menyebabkan objek menjadi
mengalami sesuatu.
Dari pemaparan contoh-contoh di atas, terlihat perbedaan bentuk verba
kausatif dan maknanya dalam bahasa Jepang dan bahasa Indonesia. Hal ini
menimbulkan minat penulis untuk meneliti verba kausatif dalam bahasa Jepang
dan bahasa Indonesia. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengamati bentuk verba
kausatif, struktur kalimat, dan makna kausatif kedua bahasa. Penelitian akan
dilakukan dalam tataran morfologi, sintaksis, dan semantik untuk membahas
bentuk verba kausatif kedua bahasa, struktur kalimat kausatif dan makna kausatif
pada kedua bahasa.
1.2 Perumusan Masalah
1) Bagaimanakah bentuk dan makna verba kausatif dalam bahasa Jepang?
2) Bagaimanakah bentuk dan makna verba kausatif dalam bahasa Indonesia?
3) Apakah persamaan dan perbedaan bentuk verba dan makna kausatif yang
diekspresikan dengan verba kausatif dalam bahasa Jepang dan bahasa
Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk menjawab pertanyaan yang telah penulis kemukan di atas, tujuan
dari penelitian ini adalah:
5
1) Menjelaskan bentuk dan makna verba kausatif dalam bahasa Indonesia.
2) Menjelaskan bentuk dan makna verba kausatif dalam bahasa Jepang.
3) Mendeskripsikan persamaan dan perbedaan situasi kausatif yang
diekspresikan dengan verba kausatif dalam bahasa Indonesia dan bahasa
Jepang.
1.4 Manfaat Penelitian
1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini akan berupa deskripsi tentang persamaan dan perbedaan
antara kalimat kausatif bahasa Jepang dan bahasa Indonesia. Secara teoritis,
diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan
penelitian kontrastif mengenai bahasa Jepang dan bahasa Indonesia mengingat
dua bahasa tersebut memiliki banyak karakteristik yang berbeda baik pada tataran
fonologi, morfologi, sintaksis, maupun semantik.
2 Manfaat Praktis
Secara praktis, diharapkan penelitian dapat dimanfaatkan bagi bidang
linguistik kontrastif terapan, yaitu bagi para pembelajar dan pengajar bahasa
Jepang. Untuk kepentingan pembelajaran bahasa Jepang penelitian ini dapat
digunakan sebagai acuan dalam menyusun strategi dan metode pembelajaran
bahasa Jepang. Selain itu, penelitian ini diharapkan juga dapat bermanfaat bagi
bidang penerjemahan teks Jepang – Indonesia maupun sebalikya. Hasil penelitian
berupa penjelasan mengenai verba kausatif bahasa Jepang dan bahasa Indonesia
6
dapat mengungkapkan suatu bentuk padanan tertentu yang dapat memberikan
kontribusi bagi perkembangan bidang penerjemahan.
1.5 Tinjuan Pustaka
Beberapa linguis berikut ini telah melakukan kajian tentang kausatif dalam
berbagai bahasa. Pandangan-pandangan linguis tersebut mengenai kausatif
menjadi referensi penulis dalam melakukan penelitian ini. Berikut ini akan
ditampilkan secara singkat pandangan linguis-linguis tersebut.
1. Arka (1993)
Dalam tesisnya, Arka menerangkan tentang kausatif dengan verba yang
dibentuk oleh afiks –kan. Arka menggunakan teori Goverment and Binding (GB
Theory) dan teori Lexical Functional Grammar (LFG Theory) untuk menjelaskan
kausatif –kan dari aspek sintaksis dan semantik.
2. Mayani (2005)
Dalam penelitiannya, Mayani membahas konstruksi kausatif bahasa
Madura dengan menggunakan teori yang dikembangkan oleh Comrie (1989).
Dengan menggunakan teori Comrie tersebut, menurut Mayani, tipologi kausatif
bahasa Madura dapat dilihat dari segi morfosintaksis dan semantik. Berdasarkan
parameter morfosintaksis, kausatif bahasa Madura terbagi men jadi tiga tipe, yaitu
(1) kausatif analitik, (2) kausatif morfologis, dan (3) kausatif leksikal.
7
Selanjutnya berdasarkan parameter semantik, kausatif bahasa Madura
dapat dibedakan berdasarkan dua fitur yaitu, fitur tingkat kendali yang diterima
tersebab dan tingkat kedekatan hubungan antara komponen sebab dan akibat. Dari
fitur tingkat kendali yang diterima tersebab, kausatif bahasa Madura dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu kausatif sejati (kausatif yang dilakukan secara tidak
sengaja) dan kausatif permisif (kausatif yang dilakukan dengan sengaja). Kausatif
sejati terjadi jika tindakan penyebab secara tidak langsung mengenai tersebab
(causee) secara fisik. Sedangkan, kausatif permisif terjadi apabila penyebab dan
tersebab tidak terlibat secara fisik atau nyata. Sementara itu, berdasarkan tingkat
kedekatan hubungan antara komponen sebab dan akibat, kausatif bahasa Madura
dapat dibedakan menjadi kausatif langsung dan kausatif tak langsung.
Dari hubungan antara konstruksi kausatif dan rentang durasi yang
diperlukan, rentang durasi antara komponen sebab dan akibat pada konstruksi
kausatif morfologis lebih pendek dibandingkan dengan rentang durasi antara
komponen sebab dan akibat pada konstruksi kausatif analitik. Dengan kata lain,
kausatif morfologis pada bahasa Madura bersifat langsung sedangkan kausatif
analitik bersifat tidak langsung.
3. Darmadi, dkk. (2006)
Darmadi, dkk. dalam penelitiannya yang berjudul Aspek Morfoleksikal
dan Tipologis dalam Kausatif Bahasa Jawa dan Bahasa Sunda membahas
kausatif morfologis kedua bahasa dari aspek bentuk verba, tipologi dan properti
semantik kausatif morfologis. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan
8
gabungan antara linguistik struktural, linguistik tipologi dan semantik. Hasil
analisisnya menunjukkan bahwa kausatif morfologis kedua bahasa ditandai
dengan pemarkah yang tampak (overt markers) dan yang tidak tampak (covert
markers).
Dari aspek tipologi kausatif morfologi kedua bahasa, diketahui bahwa
pada kedua bahasa terdapat dua tipe, yaitu kausatif dengan dasar verba intransitif
memiliki konstruksi NP0 + V + NP1 dan kausatif dengan dasar verba mono
transitif memiliki konstruksi NP0 + V + NP2 + (NP1).
Properti semantik kausatif morfologis kedua bahasa menunjukkan tingkat
keberhasilan, keterlibatan, kontrol dan kemauan (volitional) pelaku. Properti pada
tingkat keberhasilan hanya terdapat pada dasar leksikal tertentu saja. Sementara
properti keterlibatan, kontrol, dan kemauan pelaku berkaitan dengan fitur
semantik argumennya apakah [+bernyawa] atau [-bernyawa].
4. Zha Xi Cai Rang (2008)
Dalam penelitiannya membandingkan ungkapan kausatif bahasa Jepang
yang ditandai dengan pemarkah –saseru dan kausatif bahasa Tibet yang ditandai
dengan pemarkah keu jeug. Makna kausatif kedua bahasa dilihat dari keterlibatan
partisipannya. Menurutnya makna kausatif kedua bahasa dapat dibedakan menjadi
tiga, yaitu (1) makna kausatif dengan partisipasi langsung, (2) makna kausatif
dengan partisipasi tidak langsung, dan (3) makna kausatif dengan tanpa partisipasi.
Makna-makna tersebut terbagi lagi menjadi makna-makna berikut ini. Pertama,
makna kausatif dengan partisipasi langsung terdiri atas makna (1) paksaan, (2)
9
arahan/bimbingan, (3) bantuan/kebaikan, dan (4) permintaan. Kedua, makna
kausatif dengan partisipasi tidak langsung terdiri atas makna (1) izin, (2)
pembiaran, dan (3) persetujuan bersama. Dan, ketiga makna kausatif tanpa adanya
partisipasi.
Dari hasil analisisnya diketahui makna kausatif yang sama pada kedua
bahasa hanya makna partisipasi tidak langsung (makna bimbingan / arahan) dan
makna partisipasi langsung ( makna izin dan makna pembiaran). Selain itu
terdapat perbedaan makna dalam kausatif kedua bahasa sebagai berikut.
1. Kausatif yang bermakna paksaan dan memberi kebaikan dalam kedua bahasa
dinyatakan dengan pemarkah keu jeug yang melekat pada verba dalam bahasa
Tibet dan pemarkah –saseru yang melekat pada verba dalam bahasa Jepang.
Namun, dalam bahasa Jepang makna seperti itu dapat pula dinyatakan dengan
verba berafiks –saserareru dan verba berafiks –sasete ageru.
2. Kausatif yang bermakna memberi kebaikan dalam bahasa Jepang, hanya dapat
digunakan apabila objeknya bukan orang yang memiliki kedudukan atau status
lebih tinggi dari subjek. Sementara dalam bahasa Tibet tidak terdapat
pembatasan seperti itu.
3. Kausatif yang bermakna permohonan dalam bahasa Tibet dapat diungkapankan
dengan verba berafiks keu jeug, sedangkan dalam bahasa Jepang dinyatakan
dengan verba –te morau.
4. Dalam bahasa Jepang, afiks –saseru tidak dapat menyatakan makna
pertanggungjawaban dan menyalahkan kecuali afiks –saseru dilekatkan pada
10
verba shinu ‘mati’. Sementara afiks keu jeug yang dilekati verba apapun dalam
bahasa Tibet, dapat menyatakan makna pertanggungjawaban dan menyalahkan.
Dari penjelasan tersebut, disimpulkan bahwa penggunaan kausatif dengan
afiks keu jeug dalam bahasa Tibet lebih luas daripada kausatif dengan afiks –
saseru dalam bahasa Jepang.
5. Winarti (2009)
Dalam tesisnya Winarti mendeskripsikan tipe-tipe kausatif menurut
tipologi kausatif yang diusulkan oleh Comrie (1989), yaitu kausatif perifrastis
(analitik), morfologis, dan leksikal. Menurut Winarti konstruksi kausatif
perifrastis dalam bahasa Indonesia dapat dibentuk dari konstruksi nonkausatif
yang diberi pemarkah kausatif berupa verba kausatif. Verba kausatif yang
dimaksud adalah verba membuat. Dalam membentuk konstruksi kausatif
perifrastis, konstruksi nonkausatif yang dapat diubah menjadi konstruksi kausatif
perifrastis adalah yang perdikatnya verba intransitif, verba transitif, adjektiva, dan
nomina. Konstruksi kausatif morfologis dalam bahasa Indonesia ditandai oleh
permarkah berupa afiks [-kan], [per-], [-i], serta kombinasi afiks [per-kan] dan
[per-i]. Afiks-afiks tersebut melekat pada kategori verba, adjektiva, nomina,
numeralia, adverbia, dan frasa preposisional sehingga menghasilkan verba
kausatif. Kausatif leksikal yaitu kausatif yang dinyatakan oleh sebuah leksikon
tanpa melalui proses produktif apa pun. Selanjutnya, dalam tulisannya dibahas
mengenai perbedaan kausatif perifrastis dan morfologis.
11
Dari tinjauan pustaka yang tersebut di atas belum ada yang penelitian
mengenai kontrastif verba kausatif dalam bahasa Jepang dan bahasa Indonesia
yang meliputi aspek bentuk verba, struktur kalimat, dan makna. Oleh sebab itu
penulis akan melakukan penelitian kontrastif verba kausatif dalam bahasa Jepang
dan bahasa Indonesia dengan mengamati bentuk verba, struktur kalimat, dan
makna. Penelitian-penelitian terdahulu tersebut digunakan sebagai referensi dalam
melakukan penelitian ini.
1.6 Landasan Teori
Teori yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu teori tentang kausatif
secara umum, verba, pembentukan verba dan verba kausatif dalam bahasa
Indonesia dan bahasa Jepang. Pemaparan teori kausatif secara umum
dimaksudkan untuk memberi gambaran mengenai kausatif. Penjelasan mengenai
verba dan pembentukan verba perlu disampaikan karena pada penelitian ini akan
dibahas mengenai kausatif yang diungkapkan dengan verba kausatif. Selanjutnya
juga akan disampaikan penjelasan singkat teori yang berkaitan dengan kausatif
dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jepang
1.6.1 Kausatif secara Umum
Sebuah kalimat dapat dikatakan menyatakan makna kausatif apabila di
dalam kalimat terdapat unsur-unsur yang menggambarkan situasi sebab dan akibat.
Hal itu dijelaskan oleh Shibatani (1976:1) yang menerangkan bahwa konstruksi
kausatif dapat didefinisikan dengan cara menjelaskan ciri-ciri situasi yang
12
membangun konstruksi kausatif tersebut. Situasi-situasi yang mengekspresikan
konstruksi kausatif disebut sebagai situasi kausatif. Selanjutnya Shibatani
menjelaskan bahwa situasi kausatif dapat terjadi apabila terdapat dua peristiwa
dengan kondisi-kondisi sebagai berikut.
a. Adanya keyakinan penutur mengenai hubungan antara dua peristiwa,
yaitu peristiwa akibat (disebut sebagai t2) terjadi setelah munculnya
peristiwa sebab (t1) terjadi.
b. Hubungan antara peristiwa sebab dan peristiwa akibat dijelaskan
dengan adanya keyakinan penutur bahwa munculnya peristiwa akibat
sepenuhnya bergantung pada munculnya peristiwa sebab.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami situasi kausatif terbentuk akibat
adanya dua peristiwa yang saling berkaitan yaitu peristiwa sebab dan peristiwa
akibat. Hubungan antara kedua peristiwa tersebut adalah bahwa keberadaan
peristiwa akibat tidak akan terjadi apabila tidak ada peristiwa sebab.
Dalam mengungkapkan suatu makna kausatif, keyakinan penutur
mengenai adanya peristiwa sebab dan peristiwa akibat sangat penting. Shibatani
(1976:2) mencontohkan kalimat berikut ini bukan kalimat yang bermakna kausatif.
(11) I told John to go. (SS: 2)
Kalimat (11) dikatakan bukan kalimat yang bermakna kausatif karena penutur I
tidak memiliki keyakinan apakah John melakukan tindakan go. Pada kalimat (11)
peristiwa akibat yang menggambarkan situasi kausatif tidak terdapat dalam
kalimat. Kausatif lebih mudah dipahami apabila diungkapkan dengan verba yang
menyatakan makna kausatif seperti pada contoh berikut.
13
(12) I caused John to go. (SS: 2)
(13) I made John go. (SS: 2)
(14) I opened the door. (SS: 2)
Kalimat di atas merupakan kalimat bermakna kausatif yang dinyatakan dengan
verba cause, made, dan open. Verba-verba tersebut menggambarkan tindakan
yang dilakukan oleh subjek I terhadap objek John maupun the door. Tindakan
yang dilakukan oleh subjek merupakan peristiwa sebab, dan akibat yang terjadi
pada objek John dan the door merupakan peristiwa akibat meskipun peristiwa
akibat tidak selalu dinyatakan secara eksplisit.
Berkaitan dengan bentuk verba kausatif, Comrie (1989:166-167)
berpendapat bahwa verba kausatif dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe,
meskipun bentuk bahasa-bahasa tidak selalu sesuai dengan salah satu atau ketiga
tipe tersebut. Ketiga tipe yang dimaksud (1) kausatif analitik, (2) kausatif
morfologis, dan (3) kausatif leksikal. Comrie menjelaskan pada kausatif analitik
terdapat predikat yang terpisah, dan predikat tersebut menyatakan sebab dan
akibat. Dalam bahasa Inggris kausatif analitik dicontohkan sebagai berikut.
(15) I caused John to go.
(16) I brought it about that John went.
Pada contoh di atas terdapat predikat yang terpisah yaitu cause dan brought it
about yang menyatakan sebab dan go yang menyatakan efek atau akibat.
Selanjutnya Comrie menjelaskan kausatif morfologis memiliki dua
karakteristik. Pertama, kausatif ini memiliki kaitan dengan predikat non
kausatifnya yang dibentuk melalui proses morfologis seperti afiksasi. Dengan kata
14
lain, pada kausatif morfologis predikat non kausatif dan kausatifnya memiliki
keterkaitan dalam hal bentuk secara morfologis. Penurunan verba kausatif terjadi
melalui proses morfologis. Kedua, hubungan antara predikat kausatif dan non
kausatif produktif, artinya pemarkah kausatif dapat dilekatkan pada suatu predikat
sehingga membentuk verba kausatif.
Dan, kausatif leksikal adalah sebuah leksikal yang menggambarkan
hubungan sebab akibat. Hubungan sebab akibat tersebut tidak dinyatakan melalui
proses produktif. Contoh kausatif leksikal dalam bahasa Inggris yaitu verba kill
sebagai sebab dan die sebagai akibat. Comrie menyebutkan dalam kausatif
leksikal terdapat pasangan yang saling melengkapi (suppletive pairs) dan
pasangan tersebut merupakan sebab dan akibat seperti pada verba kill dan die.
Comrie juga menjelaskan tidak ada aturan formal antara anggota pasangan
tersebut. Artinya secara bentuk pasangan tersebut tidak memiliki hubungan yang
formal seperti verba kill dan die yang secara morfologis tidak ada kaitan, namun
secara semantik berkaitan.
Tipe-tipe kausatif juga telah dibahas oleh Katamba (1994:213) yang
membagi kausatif menjadi tiga tipe yaitu (1) kausatif leksikal, (2) kausatif
morfologis, dan (3) kausatif sintaksis. Kausatif leksikal diungkapkan melalui
bentuk kata yang tidak mengalami derivasi, seperti contoh dalam bahasa Inggris
kata drop ‘menyebabkan jatuh’ dan kill ‘menyebabkan meninggal’. Kausatif
morfologis dinyatakan antara lain dengan afiks derivasional seperti –en pada kata
widen ‘memperlebar’ atau ‘membuat lebar’ dan shorten ‘memperpendek’ atau
menyebabkan lebih pendek’. Kausatif sintaksis dinyatakan dengan kata di dalam
15
frasa atau klausa yang berbeda seperti make someone happy ‘membuat seseorang
bahagia’ bukan dengan kata berafiks *happy-en someone atau *happy someone.
1.6.2 Verba dalam Bahasa Indonesia
Verba memiliki ciri-ciri yang dapat diketahui dengan mengamati (1)
perilaku semantis, (2) perilaku sintaksis, dan (3) bentuk morfologisnya (Alwi,
dkk., 2003:87). Dari segi perilaku semantisnya, Alwi, dkk. (2003:88-90)
membedakan verba menjadi (1) verba perbuatan (aksi), (2) verba proses, (3) verba
keadaan, dan (4) verba pengalaman. Verba-verba tersebut memiliki makna
inheren yang terkandung di dalamnya. Berikut ini akan dijelaskan mengenai ciri
semantis verba dengan mengutip pendapat Alwi, dkk. (2003:88-90).
1. Verba Perbuatan (Aksi)
Verba perbuatan merupakan verba yang digunakan untuk menggambarkan apa
yang dilakukan oleh subjek. Contoh verba perbuatan antara lain yaitu belajar, lari,
mencuri, membelikan, menakut-nakuti, dan sebagainya.
2. Verba Proses
Verba proses dapat menggambarkan apa yang terjadi pada subjek. Selain itu,
dapat pula menyatakan adanya perubahan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain.
Misalnya verba meledak, mati, mengering, kebanjiran, terbakar, dan sebagainya.
3. Verba Keadaan
Verba keadaan digunakan untuk menyatakan bahwa apa yang menjadi acuan
verba berada dalam situasi tertentu. Misalnya verba suka menggambarkan kondisi
16
subjek mengalami situasi suka. Verba keadaan mirip dengan adjektiva, tetapi ada
perbedaan diantara keduanya.
4. Verba Pengalaman
Selain ketiga verba di atas, Alwi juga menambahkan verba pengalaman, yaitu
verba yang menggambarkan peristiwa yang terjadi begitu saja pada seseorang,
tanpa kesengajaan dan kehendaknya. Contohnya verba mendengar, melihat, tahu,
lupa, ingat, dan sebagainya.
Dalam kalimat verba merupakan unsur yang sangat penting. Suatu verba
menentukan unsur-unsur apa yang harus atau boleh ada dalam kalimat tersebut.
Berkaitan dengan perilaku sintaksisnya tersebut, Alwi, dkk. (2003: 91-97)
membagi verba secara garis besar menjadi verba transitif dan taktransitif (lazim
disebut juga intransitif). Verba transitif adalah verba yang memerlukan objek.
Verba transitif dibagi menjadi tiga, yaitu verba ekatransitif, verba dwitransitif, dan
verba semitransitif. Verba ekatransitif adalah verba yang memiliki satu objek,
verba dwitransitif adalah verba yang memiliki dua objek, dan verba semitransitif
adalah verba yang objeknya boleh ada atau tidak. Sedangkan verba taktransitif
adalah verba yang tidak memiliki objek.
Pada ciri verba yang berkaitan dengan bentuknya morfologisnya, verba
dinedakan atas verba asal dan verba turunan. Menurut Alwi, dkk. (2003:98) verba
asal yaitu verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks sintaksis,
dan verba turunan adalah verba yang harus atau dapat memakai afiks.
17
1.6.3 Verba dalam bahasa Jepang
Menurut Masuoka dan Takubo (1998:12) verba dapat digolongkan
berdasarkan sudut pandang yang berbeda-beda, tetapi secara garis besar dapat
dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu (1) verba aksi (dootai dooshi) dan verba
keadaan (jootai dooshi), (2) verba intransitif (jidooshi) dan verba transitif
(tadooshi), dan (3) verba yang menyatakan kehendak (ishi dooshi) dan verba yang
tidak menyatakan kehendak (muishi dooshi). Berikut ini akan dijelaskan secara
ringkas ciri-ciri verba tersebut dengan mengutip pendapat Masuoka dan Takubo
(1998:12-14)
1. Verba Aksi (Dootai Dooshi) dan Verba Keadaan (Jootai Dooshi)
Verba aksi adalah verba yang digunakan untuk menggambarkan gerakan
atau aktivitas seperti aruku ‘berjalan’, hanasu ‘berbicara’, taoreru ‘tumbang’,
taosu ‘menumbangkan’, dan sebagainya. Verba keadaan dapat menggambarkan
keberadaan seperti verba aru ‘ada (benda mati)’ dan verba iru ‘ada (makhluk
hidup); menggambarkan kemampuan seperti verba dekiru ‘mampu’;
menggambarkan keperluan seperti verba iru ‘memerlukan’; dan menggambarkan
saling keterkaitan seperti verba kotonaru ‘berbeda’, verba chigau ‘keliru’, dan
sebagainya.
2. Verba Transitif (Tadooshi) dan Verba Intransitif (Jidooshi)
Verba aksi dapat dibedakan menjadi verba transitif dan intransitif
berdasarkan perlu tidaknya objek yang mendampingi verba. Verba transitif
merupakan verba yang memerlukan objek dan ditandai dengan adanya partikel o
18
setelah nomina (objek), sedangkan verba intransitif adalah verba yang tidak
memerlukan objek.
3. Verba yang Menyatakan Kehendak (Ishi Dooshi) dan Verba yang Tidak
Menyatakan Kehendak (Muishi Dooshi)
Verba aksi selain dibedakan menjadi verba transitif dan verba intransitif,
dibedakan lagi berdasarkan ada tidaknya kehendak subjek (manusia) dalam
melakukan atau mengalami suatu keadaan yang diungkapkan dalam verba. Verba
yang menggambarkan kehendak manusia untuk melakukan aktivitas secara sadar
seperti aruku ‘berjalan’, yomu ‘membaca’, kan’gaeru ‘berpikir’, dan sebagainya.
Sementara itu, verba yang menggambarkan keadaan yang terjadi diluar kesadaran
seseorang seperti taoreru ‘pingsan’, ushinau ‘kehilangan’, dan sebagainya.
Tomita (2007:47) menyebut istilah verba yang menyatakan kehendak
dengan istilah verba volitional dan verba yang tidak menyatakan kehendak dengan
istilah verba nonvolitional. Menurutnya, verba nonvolitional pada prinsipnya
merupakan verba yang menggambarkan suatu tindakan yang tidak dapat dikontrol
[-kontrol] oleh pembicara atau tindakan yang terjadi diluar keinginana pembicara.
Dengan merujuk pada penjelasan di atas, istilah yang berkaitan dengan
verba yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Verba
intransitif dan verba transitif untuk menjelaskan verba dalam kaitannya dengan
struktur kalimat. Verba aksi dan verba keadaan yang menggambarkan tindakan
yang dilakukan subjek. Verba volitional dan verba nonvolitional untuk
menggambarkan suatu tindakan dilakukan oleh subjek secara sadar atau tidak.
19
1.6.4 Konjugasi dalam bahasa Jepang
Secara morfologis verba dalam bahasa Jepang dapat dibagi menjadi
bagian-bagian yang disebut sebagai gokan, setsuji, dan gobi. Iori (2001:51)
menjelaskan yang dimaksud dengan gokan adalah bagian kata yang tidak berubah
bentuknya pada proses konjugasi. Gokan dapat disebut sebagai bagian kata yang
menyatakan makna leksikal kata tersebut. Sementara itu, bagian kata yang
mengalami perubahan saat berkonjugasi disebut setsuji dan gobi. Setsuji adalah
konjugasi kata itu sendiri, sedangkan gobi bukan konjugasi. Setsuji dan gobi
memiliki makna gramatikal. Contohnya verba kakareru ‘ditulis’ yang merupakan
bentuk diatesis pasif memiliki bagian-bagian sebagai berikut.
kak - a = re - ru gokan setsuji goki gokan gobi
Pada verba kakareru, kak merupakan gokan yang mengungkapkan makna leksikal
kata tersebut yaitu ‘tulis’. Di bagian selanjutnya terdapat reru yang merupakan
setsuji (sufiks) pemarkah bentuk diatesis pasif. Setsuji reru sendiri terbagi atas
gokan dan gobi, yaitu re sebagai gokan atau bagian kata yang menyatakan makna
gramatikal diatesis pasif dan ru sebagai gobi yang merupakan pemarkah verba
bentuk biasa (nonformal). Selain itu gobi ru dapat mengalami proses konjugasi
untuk menyatakan makna ragam biasa (nonsopan), ragam sopan, bentuk negatif,
perubahan kala, dan sebagainya seperti contoh berikut.
kak are ru : menyatakan bentuk biasa
kak are nai : menyatakan bentuk negatif, biasa
kak are masu : menyatakan bentuk sopan
kak are mashita : menyatakan bentuk sopan, kala lampau
kak are masen : menyatakan bentuk negatif, sopan
20
kak are masen deshita : menyatakan kala lampau, negatif, sopan
Verba kausatif dalam bahasa Jepang juga dibentuk melalui proses
konjugasi. Iori (2001:54) menjelaskan proses konjugasi yang dialami verba
berkaitan dengan morfologi verba bahasa Jepang yang terbagi atas tiga jenis.
Pertama, verba konsonan (shiin gokan dooshi) yaitu verba yang gokannya
berakhiran dengan huruf konsonan seperti verba kak-u ‘menulis’, hanas-u
‘berbicara’, tats-u ‘berdiri’ dan sebagainya. Seperti telah dijelaskan di atas, huruf
u di akhir kata merupakan gobi. Kedua, verba vokal (boin gokan dooshi) yaitu
verba yang gokannya berakhiran dengan huruf vokal seperti verba mi-ru ‘melihat’,
tabe-ru ‘makan’, oshie-ru ‘mengajar’ dan sebagainya. Ketiga, verba yang
perubahannya tidak teratur. Verba ini hanya terdiri dari dua yaitu verba kuru
‘datang’ dan suru ‘melakukan’. Perihal pembentukan verba kausatif dalam bahasa
Jepang akan dibahas pada bab III.
1.6.5 Afiksasi dalam bahasa Indonesia
Afiksasi adalah proses yang mengubah leksem menjadi kata kompleks.
Dalam proses ini, leksem (1) berubah bentuknya, (2) menjadi kategori tertentu,
dan (3) sedikit banyak berubah maknanya (Kridalaksana, 1996:28). Afiks oleh
Ramlan (2009:55) diartikan sebagai satuan gramatik terikat di dalam suatu kata
dan memiliki kesanggupan melekat pada satuan-satuan lain untuk membentuk
kata atau pokok kata baru.
Proses pembentukan kata dengan afiksasi dilakukan secara bertahap
seperti yang dicontohkan Ramlan (2009:59) pada pembentukan kata berpakaian.
21
Menurutnya kata berpakaian dibentuk dengan tahap pertama melekatkan morfem
–an pada kata pakai sehingga menjadi pakaian. Kemudian, morfem ber- melekat
pada pakaian sehingga menjadi berpakaian. Morfem ber- dan –an tidak melekat
bersama-sama karena masing-masing memiliki fungsi gramatik sendiri, yaitu
morfem –an membentuk nomina pakaian dan morfem ber- membentuk verba.
Verba kausatif dalam bahasa ada yang dibentuk melalui proses afiksasi
yaitu dengan cara melekatkan afiks pembentuk verba kausatif pada kategori kata
tertentu. Pembahasan mengenai afiks-afiks pembentuk verba kausatif akan
dibahas selanjutnya pada bab II.
1.6.6 Struktur Kalimat Kausatif
Menurut Comrie (1989:175) pada kalimat kausatif terdapat perubahan
sintaksis yaitu perubahan valensi berupa penambahan argumen yang sebelumnya
tidak ada pada kalimat nonkausatif. Pada kalimat kausatif subjek merupakan
penyebab yang sebelumnya tidak terdapat pada kalimat non kausatif.
Perubahan valensi terjadi disebabkan munculnya penyebab pada kalimat
kausatif, dan hal ini menyebabkan bergesernya fungsi sintaksis di dalam kalimat.
Comrie (1989:175) memberi contoh dalam bahasa Turki sebagai berikut.
(17) Hasan öl –dü.
Hasan mati lampau
‘Hasan (telah) mati.’
(18) Ali Hasan-i öl –dür –dü.
Ali Hasan mati kaus. lampau
‘Ali menyebabkan Hasan mati’
22
Kalimat (17) merupakan kalimat non kausatif dengan predikat berupa verba
intransitif. Kalimat tersebut diturunkan menjadi kalimat (18) yang predikatnya
berupa verba kausatif, sehingga terjadi pergeseran argumen yaitu subjek Hasan
pada kalimat non kausatif bergeser menjadi objek langsung pada kalimat kausatif.
Kemudian, pada kalimat kausatif muncul argumen baru yaitu Ali yang menduduki
posisi subjek. Subjek tersebut merupakan penyebab yang menyebabkan tersebab
Hasan menjadi mati.
Perubahan fungsi sintaksis tersebut menyebabkan subjek kalimat
nonkausatif bergeser menjadi objek atau tersebab pada kalimat kausatif. Menurut
Comrie (1989:175-176) pergeseran posisi subjek kalimat nonkausatif menjadi
objek kalimat kausatif dipengaruhi oleh predikat kalimat nonkausatifnya. Apabila
kalimat nonkausatif berpredikat verba intransitif tersebab akan menduduki posisi
objek langsung, sedangkan bila kalimat nonkausatif berpredikat transitif maka
tersebab akan menduduki posisi objek tak langsung karena posisi objek langsung
telah diisi oleh objek yang sama pada kalimat nonkausatifnya. Sementara, apabila
kalimat nonkausatif telah memiliki objek tak langsung, maka tersebab akan
mengisi posisi objek oblik.
Demikian juga halnya dengan bahasa Jepang. Menurut Nitta, dkk.
(2009:257) kalimat kausatif mengungkapkan subjek kalimat kausatif sebagai
pemberi pengaruh terhadap terjadinya peristiwa sebagaimana diungkapkan dalam
kalimat nonkausatifnya. Subjek ini sebelumnya tidak muncul pada kalimat
nonkausatifnya. Dengan demikian subjek kalimat aktif dan kalimat kausatif yang
23
diturunkannya merupakan nomina yang berbeda. Hal tersebut dapat dilihat pada
contoh berikut ini.
(19) Kodomo ga terebi o keshi -ta.
anak televisi mematikan lamp.
‘Anak mematikan televisi.’
(20) Chichi oya ga kodomo ni terebi o kes -ase -ta.
ayah anak televisi mati kaus. lamp.
‘Ayah menyuruh anak mematikan televisi.’
Kalimat (19) merupakan kalimat nonkausatif yang kemudian diturunkan menjadi
kalimat kausatif pada contoh (20). Pada kalimat nonkausatif, subjeknya Kodomo
‘Anak’ melakukan tindakan terebi o keshita ‘mematikan televisi’. Kemudian pada
kalimat kausatif contoh (19) Kodomo‘Anak’ posisinya bergeser menjadi objek tak
langsung. Hal ini disebabkan karena pada kalimat kausatif ada subjek yaitu Chichi
oya ‘Ayah’ yang menjadi penyebab terjadinya peristiwa seperti yang diungkapkan
pada kalimat nonkausatif. Pada kalimat kausatif objek tak langsung kodomo
menjadi tersebab atau pihak yang dikenai pengaruh oleh penyebab sehingga
melakukan tindakan. Tindakan yang dilakukan oleh tersebab tidak akan terjadi
apabila tidak ada pengaruh dari penyebab.
1.6.7 Semantik Kausatif
Shibatani (1976:241) menjelaskan makna kausatif menurut tipe verbanya,
sehingga verba kausatif produktif dan verba kausatif leksikal memiliki perbedaan
dari segi makna. Menurutnya, karakteristik yang dimiliki oleh verba kausatif
24
produktif yaitu mengungkapkan makna perintah (directive), sedangkan verba
kausatif leksikal mengungkapkan makna manipulatif (manipulative) (1976:260).
Yang dimaksud dengan makna perintah adalah penyebab baik secara
langsung maupun tidak langsung mengatakan sesuatu kepada tersebab sehingga
mengakibatkan tersebab melakukan tindakan. Dengan kata lain, penyebab
menyebabkan tersebab melakukan suatu tindakan secara verbal. Sedangkan
manipulatif yaitu penyebab melakukan tindakan yang mengenai fisik tersebab
sehingga terjadi suatu perubahan pada tersebab.
Nitta, dkk. (2009:261) menjelaskan makna kausatif yang dinyatakan
dengan verba kausatif morfologis bahasa Jepang dengan melihat partisipasi
penyebab dalam menimbulkan peristiwa akibat. Menurutnya kausatif morfologis
secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) tidak langsung
menimbulkan akibat, (2) langsung menimbulkan akibat, dan (3) tidak secara aktif
menimbulkan akibat. Perbedaan makna kausatif tersebut dilihat dari cara
penyebab dalam melakukan tindakan yang menyebabkan peristiwa kausatif.
Comrie menjelaskan aspek semantik kausatif berdasarkan dua parameter
(1989:171). Pertama, langsung (direct causation) dan kausatif tak langsung
(indirect causation). Perbedaan antara kausatif langsung (direct causation) dan
kausatif tak langsung (indirect causation) dilihat langsung tidaknya akibat yang
ditimbulkan seperti yang dijelaskan Comrie (1985:333) pada kalimat berikut ini.
(21) John caused the stick to break.
25
Menurut Comrie (1985:333) verba kausatif cause mengindikasikan tindakan
penyebab John terhadap tersebab stick ‘tongkat’ dan akibat yang ditimbulkan
tidak langsung terjadi.
Kedua, kausatif dibedakan menjadi kausatif sejati (true causative) dan
kausatif permisif (permissive causative). Menurut Comrie (1989:171) pada
kausatif sejati, penyebab memiliki kemampuan untuk menimbulkan akibat,
sedangkan pada kausatif permisif penyebab memiliki kemampuan untuk
mencegah terjadinya peristiwa akibat. Berkaitan dengan perbedaan makna ini
Comrie memberikan contoh dalam bahasa Inggris seperti berikut ini.
(22) I made the vase fall.
(23) I let the vase fall.
Pada contoh di atas kedua kalimat menggambarkan kejadian yang sama yaitu
penyebab I ‘saya’ menyebabkan tersebab the vase ‘vas’ menjadi fall ‘jatuh’.
Namun, pada kedua kalimat terdapat perbedaan makna, yaitu ada tidaknya
unsur kesengajaan penyebab terhadap tersebab. Verba made pada contoh (22)
menggambarkan penyebab dengan sengaja menyebabkan tersebab mengalami
peristiwa akibat, sedangkan verba let pada contoh (23) menggambarkan penyebab
tidak sengaja menyebabkan tersebab mengalami peristiwa akibat. Menurut
Comrie verba made menunjukkan kausatif sejati sedangkan verba let
menunjukkan kausatif permisif.
26
1.6.8 Analisis Kontrastif
Linguistik kontrastif adalah ilmu bahasa yang meneliti perbedaan-
perbedaan, ketidaksamaan-ketidaksamaan yang terdapat pada dua bahasa atau
lebih (Tarigan, 1992:227). Analisis kontrastif selalu berkaitan dengan
perbandingan dua bahasa atau lebih dan didasarkan pada asumsi bahwa bahasa-
bahasa tersebut dapat dibandingkan (James, 1998:3).
Penelitian kontrastif bertujuan untuk mengkaji secara mendalam
perbedaan dan persamaan antara dua bahasa atau lebih untuk mencari kategori
tertentu yang ada atau tidak ada dalam suatu bahasa sehingga kemiripan dan
perbedaan bahasa-bahasa tersebut dapat dilihat (Lado, 1957:1).
Menurut Parera (1997:98) analisis kontrastif dilakukan dengan beberapa
pemikiran dasar, yaitu:
a) Analisis kontrastif dapat dipergunakan untuk meramalkan kesalahan siswa
dalam mempelajari bahasa asing atau bahasa kedua. Buitr-butir perbedaan
dalam setiap tataran bahasa pertama dan bahasa kedua akan memberikan
kesulitan kepada para siswa dalam mempelajari bahasa kedua tersebut.
Sebaliknya, butir-butir yang sama akan mempermudah siswa dalam
mempelajari bahasa kedua.
b) Analisis kontrastif dapat memberikan satu sumbangan yang menyeluruh
dan konsisten dan sebagai alat pengendali penyusunan materi pengajaran
dan pelajaran bahasa kedua secara efisien. Dengan perbandingan
perbedaan pada tiap tataran analisis bahasa, bahan dapat disusun dengan
tingkat kesulitan masing-masing tataran.
27
c) Analisis kontrastif juga dapat memberikan sumbangan untuk mengurangi
proses interferensi dari bahasa pertama ke dalam bahasa kedua.
Ellis (1985:25) menyebutkan empat tahapan yang harus diikuti dalam
melakukan padanan antara dua bahasa atau lebih.
a. Deskripsi, yaitu mendeskripsikan secara formal kedua bahasa yang akan
diperbandingkan.
b. Seleksi, yaitu pemilihan terhadap butir tertentu sebagai perbandingan.
c. Perbandingan, yaitu mengidentifikasi persamaan dan perbedaan pada
setiap area dari kedua bahasa yang diperbandingkan.
d. Prediksi, yaitu mengidentifikasi area mana saja yang mungkin
menyebabkan kesalahan.
1.6.9 Metodologi Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif yang dilakukan melalui proses
penyediaan data, tahap analisis data, dan tahap sistematika penyajian hasil analisis
data. Linguistik deskriptif yaitu meneliti dan memerikan sistem bahasa
berdasarkan data. Selanjutnya analisis kontrastif digunakan dalam penelitian ini
karena penelitian ini mmembandingkan dua bahasa. Dengan mengacu pada
pendapat Sudaryanto (1986:57), metode dalam penelitian ini dibagi tiga tahap
yaitu tahap penyediaan data, tahap analisis data, dan tahap penyajian hasil analisis.
Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak yaitu menyimak
penggunaan bahasa dengan menggunakan teknik catat. Teknik catat adalah teknik
menjaring data dengan hasil penyimakan data pada kartu data (Kesuma, 2007:45).
28
Penyedian data dilakukan dengan menggunakan teknik pustaka yaitu teknik
teknik yang menggunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data
(Subroto, 2007:47). Data –data penelitian ini adalah verba kausatif dalam bahasa
Jepang yang dinyatakan dengan verba bersufiks V-aseru / V-saseru serta verba
kausatif leksikal. Sedangkan data dalam bahasa Indonesia yang dikumpulkan
adalah verba kausatif yang dinyatakan dengan verba kausatif analitik dengan
verba membuat dan menyebabkan, verba kausatif morfologis yang dinyatakan
dengan verba berafiks –kan, -i, per-, per-kan, dan per-i, serta verba kausatif
leksikal.
Setelah data-data terkumpul, dilakukan analisis data. Analisis data
dilakukan dengan menggunakan metode padan dan metode agih. Metode padan
yang digunakan yaitu metode padan translasional (Sudaryanto, 1993:13-15).
Metode ini untuk mengidentifikasi satuan kebahasaan suatu bahasa berdasarkan
satuan kebahasaan bahasa lain, yaitu verba kausatif dalam bahasa Jepang dan
bahasa Indonesia. Sedangkan metode agih (Sudaryanto, 1993:15-16) digunakan
untuk melihat satuan kebahasaan bahasa yang diteliti. Teknik yang digunakan
yaitu teknik sisipan dan teknik ubah ujud (parafrasa) (Sudaryanto, 1993:66,83).
Teknik sisip dengan penyisipan adverbia untuk mengetahui makna kalimat dan
teknik ubah ujud dengan parafrasa untuk membuktikan sebuah kata bermakna
kausatif atau tidak.
Penyajian hasil analisis akan disajikan secara informal dan formal.
Menurut Sudaryanto (1993:145) penyajian hasil analisis data secara informal
dengan menggunakan kata-kata biasa. Sedangkan penyajian hasil analisis data
29
secara fornal yaitu penyajian hasil analisis data dengan menggunakan kaidah
(Kesuma, 2007:73).