bab ii tinjauan pustaka, konsep, landasan teori dan … · 2017. 10. 27. · konstruksi kausatif...

37
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Penelusuran terhadap rekam jejak penelitian bahasa-bahasa Nusantara telah dilakukan oleh Brandes pada tahun 1884. Hasil penelitian Brandes menyatakan bahwa bahasa-bahasa Nusantara dikelompokkan menjadi Bahasa Nusantara Barat dan Bahasa Nusantara Timur (Fernandes, 1996 : 14-15). Adapun pemarkah pembeda antara kedua kelompok bahasa ini didasarkan pada kriteria tunggal bidang sintaksis yang lebih berfokus pada konstruksi genetis terbalik. Bahasa Lamaholot adalah salah satu dari sembilan bahasa daerah di Flores (Fernandes, 1996). Para misionaris Eropa seperti Salzner, Esser dan Arndt (Keraf, 1975) memiliki kecenderungan menyebut bahasa yang digunakan di wilayah adminstrasi Flores Timur dan Lembata dengan sebutan Bahasa Solor. Penamaan seperti ini didasarkan pada (1) penyebutan gugus pulau, (2) hal ikhwal penyebaran Agama Katolik di wilayah ini, dan (3) nama pulau. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa penamaan Bahasa Solor merupakan langkah awal untuk menyibak misteri bahasa di Flores bagian Timur dan dan Kepulauan Solor (Adonara, Solor dan Lembata). Esser (dalam Fernandes, 1996), ketika melakukan pemetaan bahasa-bahasa Nusantara membagi bahasa-bahasa kerabat di Flores atas dua kelompok yaitu (1) Kelompok Bima-Sumba dengan subkelompok Bahasa Manggarai, Bahasa

Upload: others

Post on 28-Jan-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI

    DAN MODEL PENELITIAN

    2.1 Tinjauan Pustaka

    Penelusuran terhadap rekam jejak penelitian bahasa-bahasa Nusantara telah

    dilakukan oleh Brandes pada tahun 1884. Hasil penelitian Brandes menyatakan

    bahwa bahasa-bahasa Nusantara dikelompokkan menjadi Bahasa Nusantara Barat

    dan Bahasa Nusantara Timur (Fernandes, 1996 : 14-15). Adapun pemarkah

    pembeda antara kedua kelompok bahasa ini didasarkan pada kriteria tunggal

    bidang sintaksis yang lebih berfokus pada konstruksi genetis terbalik.

    Bahasa Lamaholot adalah salah satu dari sembilan bahasa daerah di Flores

    (Fernandes, 1996). Para misionaris Eropa seperti Salzner, Esser dan Arndt (Keraf,

    1975) memiliki kecenderungan menyebut bahasa yang digunakan di wilayah

    adminstrasi Flores Timur dan Lembata dengan sebutan Bahasa Solor. Penamaan

    seperti ini didasarkan pada (1) penyebutan gugus pulau, (2) hal ikhwal penyebaran

    Agama Katolik di wilayah ini, dan (3) nama pulau. Meskipun demikian, tidak

    dapat dipungkiri bahwa penamaan Bahasa Solor merupakan langkah awal untuk

    menyibak misteri bahasa di Flores bagian Timur dan dan Kepulauan Solor

    (Adonara, Solor dan Lembata).

    Esser (dalam Fernandes, 1996), ketika melakukan pemetaan bahasa-bahasa

    Nusantara membagi bahasa-bahasa kerabat di Flores atas dua kelompok yaitu (1)

    Kelompok Bima-Sumba dengan subkelompok Bahasa Manggarai, Bahasa

  • 2

    Rembong, Bahasa Komodo, Bahasa Ngadha, Bahasa Palu’e dan Bahasa Lio, dan

    (2) Kelompok Ambon-Timor dengan subkelompok Bahasa Sikka, Bahasa

    Lamaholot dan Bahasa Kedang. Bahasa Lamaholot dalam pemetaan bahasa

    menurut Esser dikelompokkan sebagai subkelompok Bahasa Ambon-Timor.

    Beberapa misionaris Eropa seperti Stresseman (1929) menuliskan pustaka

    tentang pengelompokkan bahasa-bahasa di Ambon, Arndt, menulis tentang

    Bahasa Sika (1931), Bahasa Ngadha (1933b), Bahasa Solor (1937), dan Collins

    (1983) menulis tentang kesejarahan bahasa-bahasa di Maluku Tengah (Fernandes,

    1996 : 18-20). Pustaka-pustaka yang sangat terbatas ini mengindikasikan bahwa

    penelitian-penelitian terdahulu hanya sebatas mendeskripsikan bahasa-bahasa di

    wilayah Indonesia Timur pada tataran gramatik dan kesejarahan.

    Perkembangan penelitian linguistik akhir-akhir ini menunjukkan bahwa ada

    sejumlah penulis dan peneliti asing yang pernah menulis artikel tentang Bahasa

    Lamaholot dan bahasa di Indonesia Timur, seperti Grimers, dkk (1997) A Guide

    to the People and Languages of Nusa Tenggara Timur, Arka (2007) menulis

    artikel tentang Creole Genesis and Extreme Analytical in Flores Language,

    Donhoue (2007) Word Order in Austronesian From North to South and West to

    East, Bowden (2008) juga menulis artikel tentang A Grammar of Lamaholot,

    Eastern Indonesia: The Morphology and Syntax of the Lewoingu Dialect, Nagaya

    (2010) A Phonological Sketch of Lewotobi Lamaholot. Asian and African

    Languages in Linguistic, dan Nagaya (2013) Voice and Gramatical Relation in

    Lamaholot of Eastern Indonesia. Jika dicermati secara sepintas, maka boleh

  • 3

    dikatakan bahwa belum ada satu artikelpun yang menulis secara khusus tentang

    tipologi sintaksisi BLDL.

    Telaah-telaah pustaka lainnya yang dikaji adalah penelaahan pustaka-

    pustaka atau hasil penelitian yang telah diujikan keabsahannya, baik langsung

    maupun lintas bahasa yang berkaitan erat dengan objek kajian ini. Hal ini tidak

    bermaksud untuk membenarkan hasil penelitian terdahulu terutama hasil

    penelitian terhadap kelompok bahasa, keluarga bahasa dan dialek yang serumpun

    dengan judul penelitian ini. Penelaahan terhadap beberapa pustaka dan hasil

    penelitian sekiranya dapat membantu menambah dan memperluas wawasan

    peneliti.

    Adapun maksud penelaahan ini adalah untuk mencermati dan mengkritisi

    penelitian kelompok bahasa, keluarga bahasa dan dialek yang serumpun dengan

    BLDL. Selain itu, penelaahan terhadap pustaka dan hasil penelitian ini adalah

    untuk mengetahui keberadaan, pentingnya penelitian ini dan perbedaan penelitian

    ini dengan penelitian terdahulu. Telaah hasil penelitian dan pustaka-pustaka itu

    disajikan berikut ini.

    Japa (2000) meneliti “Bahasa Lamaholot Dialek Nusa Tadon”. Penelitian

    ini lebih menajam pada deskripsi properti argumen inti dan struktur kausatif.

    Hasil analisis data tulisan ini dapatlah dijadikan penelaan, terutama berkaitan

    dengan tataurut kata dan valensi verba dalam sebuah klausa serta konstruksi

    pengkausatifan. Walaupun sama-sama berbahasa Lamaholot namun dialek Nusa

    Tadon dan dialek Lamalera memperlihatkan keberbedaan dalam sejumlah ciri

    khas linguisitik.

  • 4

    Jufrizal (2004) mengkaji “Struktur Argumen dan Aliansi Gramatikal

    Bahasa Minangkabau (BM)”. Adapun teori yang digunakan adalah Teori Tipologi

    Bahasa dan Teori Tatabahasa Leksikal-Fungsional (TLF). Sistem morfologi verba

    BM, menyatakan bahwa verba BM dikelompokkan menjadi dua yaitu verba asal

    dan verba turunan. Struktur dasar klausa BM terdiri atas predikator verbal dan

    predikator bukan verbal. Predikator bukan verbal dapat diisi oleh adjektiva,

    nominal, numeral, dan preposisional. Predikator verbal terdiri atas klausa

    intransitif, klausa transitif (ekatransitif dan dwitransitif).

    Hasil analisis data membuktikan bahwa BM memiliki relasi seperti sebagai

    subjek (S), objek langsung (OL), objek taklangsung (OTL) dan relasi oblik (OBL).

    Relasi-relasi itu diuji dengan pengujian yang bersifat gramatikal. Mekanisme

    panaikan valensi dalam BM didasari pada jenis konstruksi verba yaitu konstruksi

    kausatif, aplikatif, dan resultatif. Pada pengkausatifan, hanya ditemukan secara

    morfologis dengan markah -an yang dapat berdistribusi dengan verba, adjektiva,

    atau prakategorial. Hal ini dilakukan dengan mengacu pada Comrie (1985)

    tentang perubahan valensi verba berdasarkan hierarki gramatikal.

    Bahasa Minangkabau adalah bahasa yang memiliki kesamaan ciri dengan

    Bahasa Indonesia sehingga, tataurut kata, struktur klausa, valensi verba, kalimat

    kompleks dan tipologi bahasa mirip dengan Bahasa Indonesia. Bahasa Lamaholot

    Dialek Lamalera tidak memiliki afiks-afiks pemarkah (verba) seperti BM dan

    Bahasa Indonesia. Meskipun demikian, bukan berarti BLDL tidak memiliki afiks.

    Kontribusi penelitian Jufrizal terhadap penelitian ini adalah pemanfaatan tataurut

  • 5

    kata, struktur dasar klausa, dan alternasi turunannya, kalimat kompleks dan

    tipologis bahasa BM dapat dijadikan sebagai pembanding penelitian ini.

    Jeladu (2008) meneliti tentang ‘Klausa Bahasa Rongga : Sebuah Analisis

    Leksikal-Fungsional’. Jeladu meneliti tentang ‘pola struktur klausa dasar BR,

    keunikan stuktur klausa dasar BR sebagai bahasa isolasi, implikasi struktur klausa

    BR terhadap tipologi BR, valensi dan perubahan BR sebagai bahasa yang tidak

    memiliki afiksasi, serialisasi verba BR yang dapat dideretkan, dan kendala-

    kendala serialisasi verba dalam BR.

    Bahasa Rembong adalah subkelompok bahasa Flores Barat, sedangkan

    BLDL adalah subkelompok bahasa Flores Timur. Sebagai bahasa yang berada

    dalam salah satu kelompok bahasa, BR dan BLDL memiliki kesamaan dan

    keberbedaan baik pada tataran fonologi, morfologi dan sintaksis.

    Adapun hasil penelitian Jeladu yang dapat dijadikan sebagai rujukan dan

    pembanding penelitian ini adalah (1) penelaan klausa berdasarkan kategori

    pengisi fungsi predikator. (2) Tataurut kata dalam klausa, BR memiliki tataurut

    kata SVO sebagai struktur dasar sedangkan alternasinya adalah VOS. (3)

    Penelaan tipologi gramatikal menggambarkan bahwa BR adalah bahasa akusatif

    sehingga BR memiliki dua alternasi struktur yaitu struktur aktif dan struktur pasif.

    BLDL tidak memiliki afiks pemarkah pasif sehingga struktur alternasi BLDL

    adalah berupa pengedepanan atau penopikalan argumen. Kajian morfologis

    memperlihatkan bahwa BLDL memiliki strategi morfonologi dan morfosintakis

    sebagai kiat penaikan dan penurunan valensi verba.

  • 6

    Satyawati (2009) meneliti tentang Valensi dan Relasi Sintaksis Bahasa

    Bima, berpijak pada Teori Role and Reference Grammar (RRG). Masalah

    yang diteliti adalah pola struktur BBm, kaidah relasi tematik argumen BBm

    bertalian dengan subkategori verba, pemarkah gramatikal atau leksikal

    sebagai realisasi mekanisme perubahan valensi verba BBm dan relasi sintaksis

    BBm.

    Hasil penelitian Satyawati membuktikan bahwa ketegori-kategori

    linguistik merupakan aspek linguistik yang bersifat lintas bahasa, artinya ketegori

    seperti nomina, verba, adjektiva dan adverbial kerap ditemukan dalam

    banyak bahasa. Struktur klausa BBm berdasarkan kategori pengisi predikator

    dibedakan berdasarkan predikator verbal dan predikator nonverbal. Predikator

    BBm yang ditemukan dapat berupa serialisasi dan dapat pula berupa

    predikator kedua. Mekanisme perubahan valensi pada BBm meliputi

    pengakusatifan dengan menambahkan -ka, ndawi ‘buat’ dan kau ‘suruh’,

    pengaplikatifan meliputi benefaktif (pemarkah wea), aplikatif lokatif (ka), dan

    aplikatif komitatif (labo). Sedangkan penurunan valensi ditandai dengan

    fenomena resultatif.

    Secara historis, BBm dan BLDL merupakan subkelompok dari

    bahasa Flores. Meskipun mempunyai moyang bahasa yang sama namun kedua

    bahasa ini memperlihatkan perbedaan yang merupakan ciri masing-masing

    subkelompok. Adapun sumbangan positif penelitian Satyawati terhadap

    penelitian ini adalah pola struktur dasar klausa BBm, tataurut kata dan adanya

    bentukbentuk perujuk silang.

  • 7

    Yudha (2011) meneliti tentang Struktur dan Fungsi Gramatikal Bahasa

    Lio. Penelitian ini memanfaatkan Teori Tatabahasa Leksikal-Fungsional sebagai

    teori utama dan Teori Pemetaan Leksikal sebagai teori pendukung. Hasil

    penelitian Yudha menggambarkan bahwa kategori gramatikal BL sulit

    membedakan kategori verba dan nomina. Bahasa Lio adalah bahasa vokalik dan

    isolatif. Struktur dasar klausa BL adalah SVO (SUBJ-PRED-OBJ) dan dapat

    berlaternasi OSV (OBJ-SUBJ-PRED). Tataurut konstituen klausa BL, verba

    sebagai unsur pokok klausa dan partisipan sebagai pengisi peran dan fungsi dapat

    muncul pada posisi awal, tengah dan akhir klausa. Dalam struktur kanonis SUBJ

    selalu muncul praverbal sedangkan OBJ muncul pada posisi posverbal.

    Sumbangan berharga sebagai rujukan dan pembanding bagi penelitian ini

    adalah (1) tiplogi tataurut kata pada struktur klausa simpleks yaitu SVO yang

    dapat beralternasi menjadi OSV jika mengalami pengedepanan atau pemfokusan.

    (2) BL tidak memiliki bentuk-bentuk verba seperti verba akar (root/stem), verba

    turunan dan kemampuan verba untuk merujuksilang nomina atau pronomina yang

    menjadi subjek sebuah klausa. (3) Bahasa Lio tidak mengenal adanya persesuaian

    antara verba dengan nomina atau pronominal yang diikuti, BL juga tidak memiliki

    afiks sehingga bentuk-bentuk derivasi dan infleksi yang merupakan fenomena

    lingusitik universal tidak dijumpai.

    Sukendra (2012) meneliti tentang Klausa Bahasa Sabu, Kajian Tipologi

    Sintaksis. Hasil penelitian Sukendra menyatakan bahwa struktur dasar klausa

    Bahasa Sabu terdiri atas klausa yang berpredikat nonverbal (adjektival, nominal,

  • 8

    numeral, dan frase preposisional) dan kluasa verbal terdiri atas klausa verbal

    intransitif dan transitif (ekatransitif, dwitransitif).

    Kontribusi penelitian Sukendra sebagai rujukan dan pembanding

    penelitian ini adalah struktur dasar klausa dan pola klausa dasar BS SVO,

    konstruksi kausatif dan penopikalan. Bahasa Sabu tidak mengenal adanya

    persesuaian antara verba dengan pronomina atau nomina, atau verba Bahasa Sabu

    tidak dapat merujuk silang nomina atau pronomina yang menjadi subjek.

    Walaupun demikian, penelitian Sukendra tetaplah diacu sebagai pembanding

    penelitian ini.

    Budiarta (2013) meneliti tentang Tipologi Sintaksis Bahasa Kemak (BKm).

    Adapun masalah yang diteliti adalah model struktur klausa dan mekanisme

    perluasannya, kaidah struktur klausa BKm, pola valensi BKm, model struktur

    kalimat kompleks BKm, dan sistem aliansi gramatikal BKm.

    Meksipun memiliki sejumlah kesamaan namun ada juga perbedaan-

    perbedaan prinsip seperti (1) BKm tidak memiliki afiks sedangkan BLDL

    memiliki sejumlah afiks, (2) BKm tidak mengenal adanya bentuk-bentuk verba

    akar dan verba dasar sedangkan BLDL memiliki bentuk-bentuk verba ini, (3)

    BKm tidak mengenal adanya persesuaian antara verba dengan nomina atau

    pronomina sedangkan BLDL mengenal adanya persesuaian bentuk verba ini, (4)

    keberbedaan tataurut kata, relasi gramatikal dan aliansi gramatikal. Meskipun

    demikian, hal-hal substantif seperti struktur dasar klausa, valensi verba, dan

    tipologi bahasa BKm tetaplah diadopsi sebagai pembanding tulisan ini.

  • 9

    Erawati (2014 ) meneliti dengan judul Valensi Dalam Bahasa Jawa Kuna :

    Suatu Kajian Morfosintaksis. Masalah yang diteliti adalah sistem

    mofosintaksis dalam Bahasa Jawa Kuna (BJK), struktur argumen dan relasi

    gramatikal klausa BJK, mekanisme penaikan valensi klausa BJK, struktur kalimat

    kompleks dalam BJK, tipologi BJK secara sintaksis, dan sistem diatesis

    dalam BJK.

    Hasil penelitian Erawati yang dapat dijadikan sebagai rujukan

    pembanding tulisan ini seperti, konstruksi dasar klausa, relasi gramatikal, valensi

    verba dan tipologi sintaksis BJK. Konstruksi-konstruksi dasar klausa terdiri atas

    klausa yang berpredikator nonverbal dan predikator verbal. Relasi gramatikal

    dalam BJK yang bersifat murni sintaksis adalah subjek (S), objek langsung (OL)

    dan objek taklangsung (OTL), dan relasi yang bersifat semantis, yaitu lokatif,

    benefaktif, instrumental yang secara kolektif disebut relasi oblik. Subjek

    gramatikal dapat dilihat melalui ciri-cirinya yaitu perelatifan, pengedepanan,

    kontrol, pelesapan konjungsi, dan kalimat tanya. Berdasarkan pola urutan kata

    BJK memiliki pola urutan SVO dan memiliki alternasi yaitu AVO, VAO, dan

    PVA. Pengetesan perilaku urutan SVO dicermati berdasarkan konstruksi imperatif,

    deklaratif, dan interogatif.

    Secara sintaksis BJK dominan memperlakukan S dengan cara yang sama

    dengan A dan perlakuan yang berbeda dari P dan terdapat sedikit memperlakukan

    S dan P dengan cara yang sama dan berbeda dari A. Berdasarkan persekutuan

    gramatikal yang ditemukan, maka BJK memiliki sistem diatesis aktif-pasif (ciri

  • 10

    nominatif-akusatif) pasientif (ciri ergatif) dan medial (morfologis, leksikal, dan

    perifrastik).

    Keraf (1978) telah meneliti tentang Morfologi Dialek Lamalera yang

    merupakan satu dari 35 dialek Bahasa Lamaholot (lamp.2a,2b). Keraf

    menemukan bahwa berdasarkan analisis kosa kata dan analisis morfologis,

    serta sejarah asal usul yang diturunkan secara lisan, daerah Flores Timur

    merupakan daerah percampuran dari sekurang-kurangnya tiga jenis kelompok

    bahasa yaitu dari Barat yang membawa kosa kata dasar, yang berasal dari Timur

    membawa unsur-unsur morfologis dan yang berasal dari daerah itu sendiri (1978 :

    223). Laporan keraf menyertakan penghitungan leksikostatistik kekerabatan

    internal dari bahasa Lamaholot. Keraf tidak secara spesifik meneliti tentang

    struktur sintaksis klausa Dialek Lamalera atau tipologi Dialek Lamalera.

    Meskipun demikian, publikasi Keraf ini memiliki kontribusi yang teramat penting

    terutama untuk mengetahui keberadaan BLDL dalam bahasa Lamaholot.

    Beberan lainnya berupa proses mofologis yang bertalian dengan perilaku verba

    sebagai head dan bentuk-bentuk derivasi nomina BLDL sangat membantu peneliti

    menyibak rahasia unsur kelinguistikan BLDL.

    Keraf (1990) mempublikasikan “Tipologi Bandingan Historis“. Kajian

    ilmiah ini mengadopsi Dialek Lamalera sebagai dialek bandingan dengan Bahasa

    Latin, Inggris dan Turki, terutama yang bertalian erat dengan konkordansi,

    dan tata urut kata dalam klausa. Referensi yang serba sedikit ini mampu

    mengungkap sebagian misteri tipologi BLDL baik dalam aspek morfologi

    maupun sintaksis. Kontribusi referensi ini cukup memadai dan menjadi acuan

  • 11

    dalam analisis perilaku argumen inti sebuah klausa BLDL yang akhirnya

    membuahkan penetapan tipologi BLDL.

    Fernandes (1996) melakukan kajian historis komparatif terhadap bahasa-

    bahasa di Flores untuk meneliti relasi kekerabatannya melalui pendekatan

    kualitatif dan kuantatif. Tujuannya adalah untuk melakukan rekonstruksi bahasa

    asal dan menentukan pengelompokan sembilan bahasa Flores yaitu Manggarai

    (Mg), Komodo (Km), Rembong (Rb), Ngada (Ng), Lio (Li), Palue (Pl), Sikka

    (Sk), Lamaholot (Lh) dan Kedang. Fernandes menyatakan bahwa (i) FL

    merupakan satu bahasa kerabat yang dipertalikan pada persentase kognat sebesar

    60,5 % (1999 : 175), (ii) FL merupakan kelompok bahasa Melayu Polinesia

    Tengah (Central Melayo Polynesian/CMP) (1999 : 173); (iii) FL terbagi menjadi

    dua subkelompok besar yaitu Flores Barat (FB) -Km, Rb, Ng, Li, Pl dan Flores

    Timur-Sk, Lh, dan Kd. Berbeda dengan Keraf, Fernandes tidak menyebutkan

    secara detail dialek-dialek manakah yang termasuk dalam subkelompok Flores

    Barat dan dialek-dialek manakah yang termasuk dalam subkelompok Flores

    Timur. Walaupun tidak secara gamblang menyebutkan dialek ini namun apabila

    dicermati lebih mendalam BLDL dijadikan sebagai sampel dalam menunjukkan

    proses morfonemik terutama yang berkaitan dengan harmoni konsonan. Dengan

    demikian acuan inipun merupakan rujukan penunjang bagi peneliti dalam

    melakukan penelitian ini.

    Artawa ( 1996 ) menguraikan tipologi Bahasa Bali, Sasak dan Indonesia.

    Bahasa ergatif adalah bahasa yang memperlakukan argumen P transitif sama

    dengan argumen S pada predikator intransitif. Bahasa akusatif digunakan untuk

  • 12

    menamai bahasa yang memperlakukan A transitif sama dengan S klausa

    intransitif. Anderson (dalam Artawa, 1996) mencatat bahwa tidak semua bahasa

    yang ergatif secara morfologis adalah ergatif secara sintaksis. Dengan kata lain

    bahasa yang ergatif secara morfologis ada kemungkinan berperilaku akusatif

    secara sintaksis. Di samping itu tidak ada bahasa yang ergatif ataupun akusatif

    seratus persen. Lebih jauh dikatakan bahwa bahasa akusatif adalah bahasa yang

    mempunyai diatesis aktif-pasif sedangkan bahasa ergatif memiliki diatesis ergatif-

    antipasif. Hal ini berarti bahasa yang mengenal sistem akusatif memiliki bentuk

    dasar aktif dan bentuk pasif sebagai bentuk turunan atau derivasi, sedangkan

    bahasa yang bersistem ergatif memiliki bentuk dasar ergatif dan bentuk derivasi

    atau turunannya adalah antipasif.

    Artawa (2004) secara khusus membahas bahasa Bali secara tipologis.

    Artawa memaparkan permasalahan utama yang dihadapi para linguis dalam

    meneliti bahasa-bahasa Austronesia serta menetapkan tipologi sintaksis bahasa-

    bahasa itu, apakah termasuk tipe akusatif atau tipe ergatif. Penelitian ini lebih

    menajam pada deskripsi tipologi bahasa Bali mencakup, relasi gramatikal seperti

    ‘subjek’ dan ‘objek’ sebagai konstituen yang universal dalam setiap bahasa di

    dunia, mekanisme perubahan valensi, tipologi pragmatik, dengan berpijak pada

    pendapat Li dan Thompson (1976).

    Sung (2001) menulis tentang tipologi linguistik. Tipologi linguistik ini

    mengkaji penetapan tipologi sebuah bahasa berdasarkan basik tataurut kata.

    Berdasarkan basik tataurut kata, maka bahasa-bahasa di dunia memiliki tiga

    kosntituen yaitu S,V dan O. Ketiga konstituen ini memiliki enam tipe permutasi

  • 13

    yaitu; SOV, SVO, VSO,VOS, OVS dan OSV. Basik tataurut kata ini dapat

    berkembang lebih dari enam atau juga dapat berkurang menjadi hanya dua tipe

    dasar, sangat tergantung pada analisis bahasa itu sendiri.

    Dasar tipologi tata urut kata hanya terjadi pada tataran atau pada level

    klausa dengan kriteria seperti pragmatic neutrality, textual frequency, and formal

    markedness (Sung, 2001 : 50). Beberapa kaidah tataurut kata pada level klausa

    dapat diperikan sebagai berikut: ProN, NP, NA, AN, NG, GN, Nrel, dan RelN.

    Pemaparan dasar tataurut kata pada level klausa hanya ingin mengungkapkan

    ‘siapa yang melakukan apa ( X ) terhadap siapa‘.

    Topik lain yang dimunculkan adalah bentuk kausatif. Kausatif adalah

    penambahan sebuah argumen A ke dalam sebuah klausa, kecenderungan

    penambahan argumen ini akan menimbulkan hubungan sebab-akibat yang disebut

    resultatif (Shibatani, 1976 : 171; Song, 1988 : 257; Comrie, 1981 : 158; Dixon,

    2012 : 239; Sportiche, 2013 : 335). Kausatif mengungkapkan situasi makro yang

    terdiri atas dua situasi mikro atau dua kejadian. Dua kejadian mikro itu adalah (1)

    situsi tersebab yang menyebabkan penyebab melakukan aksi atau kegiatan dalam

    situasi berbeda ; dan (2) Situasi tersebab di mana tersebab melakukan aksi atau

    mengalami keadaan atau berada dalam keadaan sebagai akibat dari kegiatan atau

    aksi penyebab. Berdasarkan dasar tataurut kata kausatif dibedakan atas kausatif

    leksikal, kausatif morfologis dan kausatif sintaksis atau kausatif analitik.

    Adapun rujukan teori yang digunakan adalah Teori Relasi Gramatikal dan

    Teori Tipologi Bahasa. Tipologi sesungguhnya merupakan sebuah fenomena

    sistem variasi yang tampak secara luas dan juga menyatakan beraneka dugaan

  • 14

    atau gagasan melalui markah-markah dalam sebuah sistem (Keraf, 1987 : 8-12;

    Comrie, 1981: 30; Dixon, 2010 : 242; Moravcsik, 2013).

    Dixon (1994, 2010 : 126) menyatakan bahwa konsep prateoretis S, A dan

    O. S merupakan subjek kalimat intransitif, A merupakan agen kalimat transitif,

    dan O adalah objek kalimat transitif (Comrie, 1981; Blake, 1994; Moravsik, 2013 :

    1-23) yang menggunakan simbol P untuk O. Dixon, menjelaskan tentang dasar

    pemarkahan secara sintaksis dan semantis (syntactically based and semanticaly

    based marking) yang pada masing-masing bahasa ditandai dengan kasus ergatif

    absolutif, nominatif dan akusatif.

    Tipologi tataurut kata (Comrie, 1981:80; Sportiche, 2014:44; Moravcsik,

    2013 : 90) mempunyai peran yang penting dalam pentipologian bahasa. Tataurut

    kata sangat menentukan taturutan konstiuen atau relasi gramatikal dalam klausa

    (Comrie, 1981 : 59; Blake, 1990 : 194; Artawa, 2000 : 490; Shopen, 1992 : 121;

    Carnie, 2013 : 127).

    Selain penentuan relasi gramatikal, tataurut kata juga menyatakan valensi

    verba. Valensi verba (Kridalaksana, 2008 : 253), adalah nilai dari sebuah verba

    untuk mengikat konstituen sehingga akan menyebabkan ada penaikan valensi dan

    penurunan valensi (Katamba, 1993 : 270-272).

    2.2 Konsep

    Konsep memberikan intensitas dan paparan terhadap beberapa gagasan

    yang bertalian erat dalam penelitian ini. Konsep diasumsikan sebagai batasan

    operasional penelitian ini. Sehubungan dengan penelitian ini, maka beberapa

    konsep yang menjadi pegangan dalam kajian ini adalah struktur gramatikal,

  • 15

    klausa, klausa kompleks, relasi gramatikal, valensi dan tipologi. Konsep-konsep

    itu disajikan berikut ini.

    2.2.1 Struktur Gramatikal

    Lyons, menyatakan bahwa (1968 : 209-212), struktur gramatikal

    merupakan memiliki susunan linier sederhana, seperti setiap bahasa

    memberikan gambaran yang memuaskan dari aspek pandangan gramatikal

    sebagai rangkaian dari konstituen-konstituen (yang diasumsikan sebagai kata).

    Struktur gramatikal adalah hubungan atau kesatuan yang terbentuk antara

    satu (unit) predikator dengan unsur-unsur atau fungsi-fungsi gramatikal yang

    menyertainya (argumen) untuk mewujudkan kalimat tunggal dasar-utuh baik

    melalui ikatan gramatikal maupun semantis (Dixon, 2010; Alsina, 1996;

    Palmer, 1994).

    Struktur gramatikal dan struktur argumen adalah representase sintaktis.

    Struktur gramatikal dan struktur argumen kedua-duanya merupakan hasil dari

    proses gramatikal dari perbedaan relasi antarkata dalam sebuah kalimat.

    Sruktur gramatikal merupakan proses kaidah gramatikalisasi yang cenderung

    disebut subjek /pivot (Manning, 1994 : 34-40).

    2.2.2 Klausa

    Kridalaksana (1993 : 110) menjelaskan bahwa klausa merupakan

    satuan gramatikal yang berwujud kelompok kata yang sekurang-kurangnya

    terdiri atas subjek dan predikat dan memiliki potensi untuk menjadi kalimat.

    Selain Kridalaksana, pengertian tentang klausa diketengahkan juga oleh

    Verhaar (1996 : 12). Verhaar menyebutkan bahwa klausa merupakan kalimat

  • 16

    yang terdiri atas sebuah verba dan frasa verbal yang disertai dengan satu

    konstituen atau lebih yang secara sintaksis berhubungan dengan verba tersebut.

    Di samping pengertian yang diberikan Kridalaksana dan Verhaar,

    Lapoliwa (1990 : 19) juga memberikan penjelasan tentang klausa.

    Menurutnya, istilah klausa dipakai untuk merujuk pada satuan konstruksi

    dalam kalimat yang mempunyai struktur predikasi sebagai kalimat tunggal

    tanpa adanya intonasi. Elson dan Pickett (Dixon, 2010:93; Comrie, 1981 :

    148; Sportiche, 2014 : 87) mengungkapkan bahwa pengertian klausa adalah

    sama dengan pengertian kalimat sederhana, yaitu kalimat yang terdiri atas satu

    subjek dan satu predikat.

    Penelitian ini mengacu pendapat Kridalaksana yang menyatakan

    bahwa konsep kalimat tidak disejajarkan dengan konsep klausa. Kridalaksana

    (1993) secara jelas mengungkapkan bahwa klausa tidak sama statusnya

    dengan kalimat apabila acuannya adalah kalimat minim/elip. Misalnya, Lari!

    dan Pergi! bukan merupakan klausa karena tidak mengandung subjek dan

    predikat. Bila sebuah konstruksi mengandung unsur subjek dan predikat dan

    mengandung intonasi lanjut, maka bentuk tersebut adalah klausa dan klausa

    tersebut akan menjadi kalimat apabila berisi intonasi final. Berdasarkan

    pendapat tersebut diketahui bahwa klausa tidak sama dengan kalimat yang

    berjenis kalimat minim/elips, tetapi disejajarkan dengan kalimat tunggal atau

    kalimat sederhana karena merujuk pada satuan predikasi.

    Dengan demikian, pemahaman klausa jika ditulis atau disebut tanpa

    keterangan lain sama dengan kalimat sederhana; kalimat yang mempunyai

  • 17

    satu subjek dan satu predikat. Klausa yang dimaksud pada tulisan ini adalah

    kalimat sederhana (simple sentence). Dalam pembahasan kalimat kompleks

    juga disebutkan istilah klausa yang mengacu kepada anak kalimat (dependent

    clause).

    2.2.3 Klausa Kompleks

    Kalimat yang dibentuk dari gabungan klausa-klausa tersebut melahirkan

    kalimat majemuk (complex sentence). Hubungan antarklausa di dalam

    kalimat majemuk ini beragam dan rumit. Kerumitan tersebut disebabkan oleh

    adanya interaksi tiga parameter yang berbeda, yaitu susunan internal klausa-

    klausa tersebut, hubungan struktural klausa satu sama lain, dan hubungan

    semantis klausa-klausa tersebut. Dalam buku tatabahasa dan linguistik Bahasa

    Indonesia, kalimat majemuk dibedakan menjadi kalimat majemuk setara dan

    kalimat majemuk bertingkat. Kalimat majemuk setara (compound sentence)

    adalah kalimat yang terdiri atas dua klausa atau lebih yang dihubungkan

    secara setara (koordinatif) oleh konjungsi koordinatif. Sebaliknya, kalimat

    majemuk bertingkat (complex sentence) adalah kalimat yang terdiri atas

    klausa utama dan klausa bawahan yang menunjukkan hubungan subordinatif

    (Comrie, 1981 : 153, Kridalaksana, 1982 : 26, Verhaar, 1989 : 102-103; Alwi

    dkk., 2000 : 385-393, Dixon, 2010 Vol.1 : 94, Sportiche,dkk, 2014 : 62).

    2.2.4 Relasi Gramatikal

    Teori Relasi gramatikal memperkenalkan tiga jenis relasi gramatikal yang

    murni bersifat sintaktis, yaitu subjek (S), objek langsung (OL), objek tak

    langsung (OTL). Di samping relasi semantis seperti lokatif, benefaktif, dan

  • 18

    instrumental yang secara kolektif disebut dengan istilah oblik (Blake, 1994 ;

    Palmer, 1994 ; Mattews, 1997). Relasi gramatikal pada prinsipnya adalah

    keseluruhan proses sintagmatik yang berhubungan dengan valensi verba yang

    di dalamnya menyangkut relasi sintaktis, relasi semantis dan relasi pragmatis

    (Van Valin dan La Polla, 1999). Relasi sintaktis, dianggap membantu suatu

    hierarki seperti yang tercantum dengan penomoran 1.2.3 yang digunakan

    untuk menandai relasi yang bersangkutan (Comrie, 1981 : 59, Blake, 1990 :

    194 ; Manning, 1994 : 34, Artawa, 2000 : 490, Shopen, 1992 : 121, Carnie,

    2013 : 127).

    2.2.4.1 Subjek

    Subjek adalah fungsi gramatikal paling utama yang bisa diduduki frasa

    nominal (FN) dalam sebuah kalimat. Subjek merupakan satu-satunya FN yang

    menjadi argumen inti pada kalimat intransitif, sedangkan pada kalimat transitif

    subjek adalah FN yang menduduki posisi tertinggi pada hierarki fungsi

    gramatikal (Lyon, 1968: 335, Cullicover, 1976: 217, Blake, 1981 : 98,

    Kridalaksana, 1988 : 149, Cook, 1989 : 69, Blake, 1991, Shopen, 1992 : 104,

    Levin, 1993 : 25, Manning, 1996 : 83, Sung, 2001: 141, Sportiche, 2013 : 138 ).

    2.2.4.2 Objek

    Objek adalah fungsi gramatikal selain subjek yang diduduki oleh FN

    sebagai argumen inti. Objek secara konvensional dipilah menjadi objek

    langsung dan objek taklangsung, dan objek oblik. Objek adalah suatu elemen

    dalam konstruksi dasar kalimat suatu bahasa yang menyatakan seseorang

    atau sesuatu selain subjek (Matthews, 1997). Pada umumnya, objek merupakan

  • 19

    fungsi atau relasi gramatikal yang harus hadir dalam sebuah kalimat transitif

    (Bresnan, 1995, Dixon, 1994, Sung, 2001: 141, Cook, 1989 : 10, Shopen, 1992,

    Levin, 1993 : 25, Sportiche, 2013 : 138).

    2.2.4.3 Oblik

    Oblik adalah relasi gramatikal selain relasi utama, yaitu subjek, dan relasi

    kedua, yaitu objek. Relasi oblik merupakan relasi gramatikal yang bersifat

    semantis. Dalam Bahasa Inggris oblik biasanya berbentuk prepositional

    pharase. Dengan demikian, oblik dalam Bahasa Inggris memiliki bentuk seperti

    complements dan adjuncts (Lyons, 1968 : 344, Dixon, 2012, Blake, 1991,

    Manning, 1996 : 67, Palmer, 1994, Levin, 1993: 79, Shopen, 1992 : 89, Levin,

    1993 : 79).

    2.2.5 Valensi

    Valensi mengacu pada hubungan sintaksis antara verba dan unsur-unsur

    di sekitarnya, mencakup ketransitifan, dan penguasaan verba atas argumen-

    argumen di sekitarnya (Kridalaksana, 2008 : 253). Haspelmeth (2002 : 210)

    menjelaskan konsep valensi adalah informasi tentang kaidah semantis dan

    fungsi sintaktik dari sebuah verba. Dikatakannya, valensi sintaktik (syntactic

    valence) secara singkat disebut struktur fungsional dan valensi semantik

    (semantic valence) yang disebut sebagai struktur argumen. Valensi dapat

    berubah sesuai dengan mekanismenya. Menurutnya, penaikkan valensi

    (enriched, increase valence) dapat dilakukan dengan kausatif dan aplikatif

    (bandingkan dengan Katamba, 1993 : 270-272). Penurunan valensi (decrease

    valence) dapat dilakukan melalui pasif, antikausatif, dan resultatif. Lebih jauh

  • 20

    dikatakannya bahwa valensi berkaitan dengan transposisi, valensi mengacu

    pada jumlah tipe elemen yang berbeda yang berkaitan dengan verba.

    Istilah valensi digunakan untuk mengacu pada jumlah argumen nomina

    klausa pada tingkat apa saja orang menyebutnya (Aissen dalam Hopper and

    Thompson, 1982: 8). Dilihat dari jenisnya, valensi dapat dibedakan menjadi

    dua, yaitu valensi semantis dan valensi sintaksis. Valensi semantis merupakan

    valensi yang terkait dengan jumlah partisipan yang harus hadir yang

    diungkapkan oleh sebuah verba, sedangkan valensi sintaksis atau valensi

    gramatikal merupakan valensi yang terkait dengan jumlah argumen yang

    nyata pada klausa tertentu (Payne, 1977 : 169-170). Katamba (1993 : 266)

    mengemukakan bahwa valensi merupakan jumlah argumen dalam kerangka

    sintaksis yang dikaitkan dengan verba yang disebabkan oleh fungsi-fungsi

    gramatikal.

    Berdasarkan definisi yang diberikan dapat disimpulkan bahwa konsep

    valensi berhubungan erat sekali dengan ketransitifan verba pada tataran

    morfosintaksis. Senada dengan Katamba, Van Valin Jr. dan Lapolla (2002 :

    147-150) mengemukakan bahwa valensi merupakan banyaknya argumen yang

    diikat atau yang dibutuhkan oleh verba. Valensi sintaksis verba adalah jumlah

    argumen yang disiratkan secara morfosintaksis yang dibutuhkan verba

    tersebut, sedangkan valensi semantis adalah jumlah argumen semantis yang

    dapat diambil oleh verba tertentu.

    Van Valin Jr. dan La Polla (1999 : 147-150) mengungkapkan valensi

    lebih menekankan pada banyaknya argumen yang diambil sebuah verba yang

  • 21

    menempati fungsi predikator. Valensi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu

    valensi sintaktis dan valensi semantis. Valensi sintaksis adalah jumlah

    argumen yang dibutuhkan oleh verba sebagai predikator (seperti SUBJ dan

    OBJ) dan valensi semantis adalah jumlah argumen semantis yang dibutuhkan

    oleh verba sebagai predikator (seperti actor dan undergoer). Selanjutnya,

    istilah valensi adalah elemen yang berkaitan dengan verba atau kemampuan

    sebuah verba yang dapat menghadirkan konstituen lain seperti sebuah klausa.

    Valensi juga digunakan untuk mengacu jumlah argumen nominal klausa.

    Secara sintaktis argumen dari verba dapat berupa SUBJ, OBJ, OBL dan secara

    semantis argumen itu berupa actor dan undergoer yang disebut sebagai peran

    umum (macrorole) di samping peran khususnya/thematic roles (Dixon,

    2010 : 165). Kedua konsep valensi di atas memiliki konsep dasar yang sama,

    yaitu mengaitkan masalah semantik dan sintaktik. Struktur gramatikal dan

    struktur argumen merupakan konsep pada tataran sintaktis. Argumen struktur

    adalah level sintaktis dan perubahan valensi merupakan operasi argumen

    struktur (Manning,1994 : 41).

    2.2.6 Kausatif, Resultatif dan Aplikatif

    Kausatif adalah sebuah mekanisme penambahan A yang berimplikasi

    pada perubahan valensi. Perubahan valensi terjadi tidak hanya sebatas pada

    penambahan jumlah argumen saja tetapi juga pada perubahan relasi sintaksis

    dari argumen-argumen yang ada sebelumnya (argumen yang ada pada

    konstruksi nonkausatif). Dalam konstruksi kausatif diperkenalkan istilah

    resultatif yang oleh Shibatani (1976 : 171, Song, 1988 : 257, Cook, 1989 : 138,

  • 22

    Comrie, 1981 : 158, Letiv, 1995 : 26-31, Dixon, 2012 : 239, Sportiche, 2013 :

    335) didefinsikan sebagai kontruksi kausatif yang mengungkapkan hubungan

    sebab-akibat yang menghasilkan sesuatu situasi yang lain.

    Aplikatif adalah suatu penciptaan OBJ (Trask, 1993). Maksudnya adanya

    proses pengedepanan OTL atau OBL yang menjadi OL pada sebuah

    konstruksi. Pendapat ini sejalan dengan pendapat yang disampaikan oleh

    Palmer (1994) yang mengatakan bahwa aplikatif adalah pemajuan suatu

    argumen ke posisi OBJ. Argumen yang menempati fungsi OBJ pada

    konstruksi sebelumnya menempati OL (Dixon, 2012 : 294).

    2.2.7 Tipologi

    Tipologi adalah ilmu tentang kajian tipe bahasa berdasarkan ciri-ciri

    struktural yang dimiliki oleh suatu bahasa. Tujuannya adalah untuk

    menentukan bertipe “apakah sebuah bahasa atau bahasa X bila diamati dari

    strukturnya”. Tipologi sesungguhnya merupakan sebuah fenomena sistem

    variasi yang tampak secara luas dan juga menyatakan beraneka dugaan atau

    gagasan melalui markah-markah dalam sebuah sistem (Keraf, 1987 : 8-12,

    Comrie, 1981: 30, Shopen, 1992 : 96, Dixon, 2010 : 242, Moravcsik, 2013).

    2.3 Landasan Teori

    Sehubungan dengan judul tulisan ini, ada dua teori yang dimanfaatkan

    sebagai landasan pijak penelitian. Teori-teori dimaksud, dipaparkan berikut ini.

    2.3.1 Teori Tipologi

    Dixon (1994, 2010 : 126) menggagaskan konsep prateoretis S, A dan O. S

    merupakan subjek kalimat intransitif, A merupakan agen kalimat transitif, dan O

  • 23

    adalah objek kalimat transitif (Comrie, 1981, Blake, 1994, Moravsik, 2013 : 1-23).

    Dixon menggunakan simbol O untuk P. Dixon, menjelaskan tentang dasar

    pemarkahan secara sintaksis dan semantis (syntactically based and semanticaly

    based marking) yang pada masing-masing bahasa ditandai dengan kasus ergatif,

    absolutif, nominatif dan akusatif. Di samping itu, diketengahkan juga berbagai

    fenomena bahasa yang ergatif secara morfologis. Secara umum ada tiga hal

    berkaitan dengan pemarkahan S, A, dan O yaitu :

    1) S = O (absolute) dibedakan dengan A (ergatif) yang kemudian disebut

    bahasa yang memiliki sistem ergatif.

    2) S = A (nominatif) yang dibedakan dengan O (akusatif) yang kemudian

    disebut sebagai bahasa akusatif.

    3) S dan O semuanya berbeda

    Menurut Dixon, konsep S, A, O tersebut bisa diberlakukan untuk

    mendeskripsikan fenomena gramatikal semua bahasa. Berdasarkan sistem tersebut,

    secara semantis A dan S digolongkan sebagai ‘subjek gramatikal‘. Penggolongan

    tersebut didasarkan atas kriteria semantis. Pandangan Dixon di atas dapat

    dibuktikan secara optimal pada fenomena bahasa-bahasa bertipe akusatif. Pada

    bahasa-bahasa yang bertipe akusatif A kalimat transitif dilperlakukan dengan cara

    yang sama dengan S kalimat intransitif. Kesamaan perlakuan tersebut dapat

    diidentifikasikan melalui pemarkahan kasus, dan urutan konstituen (word order).

    Argumen he yang secara semantis berperan agen pada konstruksi transitif (8a)

    misalnya menduduki posisi yang sama dengan argumen tunggal he konstruksi

  • 24

    (8b). Kedua argumen he pada kalimat tersebut sama-sama berkasus nominatif dan

    mengendalikan persesuaian dengan bentuk predikator klausa (verba).

    8a) He (A) calls me (O/P) Nom. Acc(usative) D/Ia memanggilnya

    8b) He (S) goes Nom. verba D/Ia pergi

    Kesamaan S sebagai ‘subjek‘ secara semantis juga dapat diidentifikasikan

    melalui proses sintaksis seperti perelatifan, pemasifan, dan pengendalian

    pelesapan argumen yang berkoreferensi dalam klausa koordinasi dan subordinasi.

    Untuk dapat berperilaku dengan cara yang sama dengan S kalimat intransitif,

    argumen P dasar harus diturunkan menjadi subjek gramatikal dengan pemasifan.

    Pemasifan dilakukan dengan menempatkan P dasar (O dalam konsep Dixon)

    pada posisi praverbal mengambil alih posisi A dasar. Pemindahan posisi tersebut

    disertai pemarkahan pasif be/been pada predikator. Pemarkah pasif tersebut secara

    formal menandai penurunan konstruksi intransitif. A dasar tergeser oleh P

    tersebut secara struktural kehilangan peran. Agen dasar yang tergeser dalam

    struktur pasif berpindah ke posisi frase ajung (adjunct phrase). Kondisi seperti itu

    menyebabkan kehadirannya dalam struktur tidak diperlukan, sehingga umumnya

    dilesapkan dari struktur permukaan (contoh 9). Dengan demikian, secara

    gramatikal predikator pasif hanya mengikat satu argumen seperti contoh

    pemasifan konstruksi (8a) akan menjadi seperti :

    9) I was called (by her) Saya dipanggil (olehnya)

  • 25

    Meski demikian, prediksi Dixon di atas dapat diterapkan untuk bahasa

    akusatif, namun konsep S, A, O tersebut tidak dapat diterapkan secara universal

    untuk menganalisis struktur sintaksis bahasa-bahasa tertentu. Konsep Dixon

    tersebut perlu dicermati berkaitan dengan beberapa hal berikut ini :

    1) Penetapan fungsi gramatikal S atas dasar semantis dapat menimbulkan

    masalah karena secara semantis, semua bahasa bersifat terbelah. Artinya

    semua bahasa memiliki verba takakusatif (TA) yaitu verba dengan subjek yang

    berperilaku menyerupai pasien dan verba takergatif, yaitu verba dengan subjek

    yang berperilaku menyerupai agen (Blake, 1990, Artawa, 1996, Shopen, 1992 :

    98). Keterbelahan secara semantis tersebut dapat diamati pada fenomena

    subjek yang berperilaku menyerupai agen (contoh 10a) dan kelompok lainnya

    berperilaku menyerupai pasien (kalimat 10b). Pada data bahasa Guarani

    berikut, S yang berperilaku menyerupai A, dan S yang berperilaku menyerupai

    P dibedakan secara morfologis dan sintaksis. Secara morfologis, S yang

    berperilaku menyerupai agen direalisasikan dengan a-, sedangkan S

    berperilaku menyerupai pasien direalisasikan dengan o-.

    10a) A -xa I go (A- like) Saya pergi

    10b) Se -rasi I’m sick (P- like) Saya Sakit

    Kesamaan perilaku tersebut dapat secara sintaksis ditunjukkan oleh

    perbandingan posisinya dengan argumen yang terdapat pada konstruksi

    transitif :

    11a) A- gweru aina (I’m bringing them now)

  • 26

    1st (A) 11b) Se- rereha aina (It will cry me off )

    (Mithun, 1991:115)

    Keterbelahan secara semantis seperti pada bahasa Guarani di atas

    dapat dikatakan memiliki relevansi pada tataran sintaksis. Dengan demikian,

    dapat dikatakan bahwa dalam kaitannya dengan bahasa Guarani tersebut,

    perlu ditegaskan bahwa pemakaian sebagai kategori fungsi gramatikal

    mengacu pada argumen tunggal predikator klausa intransitif.

    2) Masalah selanjutnya yang perlu ditetapkan dalam kaitannya dengan konsep

    Dixon tersebut adalah fungsi O (objek). Hal ini terkait dengan perbedaan

    sistem pengoperasian fungsi gramatikal inti yang terdapat pada bahasa-bahasa

    tertentu. Pada bahasa yang bertipe ergatif, yaitu bahasa yang tidak mengenal

    diatesis aktif-pasif, fungsi O dianggap tidak relevan. Konstruksi transitif

    dasar bahasa ergatif memperlakukan O. Contoh berikut diambil dari bahasa

    Avar (Blake, 1994 : 122) dan bahasa Bali (Artawa, 1994). Pada bahasa Avar

    S dan P tidak bermarkah kasus tetapi diacusilang pada verba (cross-

    referenced on verb), sedangkan A bermarkah ergatif, tetapi tidak diacusilang

    dengan pronomina terikat pada verba (markah acu silang dicetak tebal).

    Bahasa Avar dapat dikatakan bertipe E(rgatif)-A(bsolutif) :

    12a) W -as (S) w -eker -ula Male -child male -run -pres The child runs

    12b) Issu -cca (A) J -as J -acc -ula (male) father -Erg.(A) Fem Fem -praise -pres Father praises her

  • 27

    Secara umum konstituen P dan S dalam bahasa Bali ditempatkan pada

    posisi praverbal berbentuk dasar. Penempatan A pada posisi praverbal

    menuntut penambahan prefiks nasal pada verbanya (N-verbal) :

    13a) Ia (S) pules Dia tidur 13b) Ia (P) lempang cang Saya memukul dia

    13c) Cang (A) ng- Lempang i (N-lempang) Saya memukul Dia (Artawa, 1994)

    Berdasarkan perbedaan sistem pengoperasian fungsi gramatikal inti yang

    terdapat pada berbagai bahasa tersebut, maka dalam penelitian ini, S ditetapkan

    sebagai fungsi yang mengacu pada argumen tunggal predikator kalimat intransitif,

    sedangkan A mengacu pada argumen predikator kalimat transitif (Comrie, 1981 :

    122).

    2.3.2 Teori Relasi Gramatikal

    Relasi Gramatikal sesungguhnya sudah dikembangkan oleh Perlmutter

    dan Postal pada awal tahun 1970-an. Relasi Gramatikal secara khusus menelaah

    tentang studi kasus karena studi ini lebih intens pada Relasi Gramatikal. Teori

    Relasi Gramatikal lebih cenderung menggunakan definisi istilah primitif. Konsep

    Relasi Gramatikal (Grammatical Relation) ini kemudian lebih ditelaah lebih

    mendalam oleh Blake (1994 : 76). Adapun perbedaan istilah yang digunakan oleh

    Blake dalam Teori Relasi Gramatikal adalah subjek, objek langsung, yang

    secara kolektif dikenal dengan sebutan terms dan oblik seperti lokatif, benefaktif,

    dan instrumen. Penyebutan oblik merupakan istilah relasi sintaktis semantik.

    Adapun hierarki relasi gramatikal adalah sebagai berikut :

  • 28

    S OL OTL OBL 1 2 3

    Teori ini juga disebut sebagai multistrata, artinya ketergantungan verba

    pada relasi strata yang berbeda (semantis). Agen atau Pengalam akan menjadi

    subjek, pasien sebagai objek langsung, penerima sebagai objek tidak langsung dan

    kaidah lainnya seperti lokatif akan dimasukkan sebagai relasi oblik. Atau dengan

    kata lain, Teori Relasi Gramatikal berpendirian bahwa hubungan-hubungan

    gramatikal seperti ‘subjek dari, objek langsung dari’, memainkan peranan penting

    dalam sintaksis dan merupakan satuan yang tepat untuk deskripsi berbagai aspek

    struktur klausa. Teori ini menetapkan beberapa konsep dasar yakni hubungan

    gramatikal murni yang mencakup subjek, objek langsung (dierect object) dan

    objek tak langsung (indirect object), di samping hubungan gramatikal tak murni

    yang mencakup instrumentalis, benefaktif dan lokatif. Hierarki posisi Relasi

    Gramatikal dapat diamati pada contoh berikut ini.

    14) Eve Gave the apple to Adam 1 2 3

    Contoh kalimat ini menggambarkan bahwa 1 adalah subjek (agen), 2

    adalah objek langsung (tema), dan 3 adalah objek taklangsung (benefaktif). Oleh

    karena itu, hakikat relasi gramatikal dapat dipahami melalui interaksi peran

    semantis dan relasi pragmatik. Misalnya, kesubjekan dapat dipahami sebagai

    prototipe subjek sebagai interaksi agen dan topik.

    Relasi gramatikal dapat dilihat dari dua tataran, yakni tataran primitif dan

    tataran derivasi. Pada tataran primitif terdapat hubungan antarargumen yang

    masing-masingnya mempunyai fungsi gramatikal S, OL dan OTL. Fungsi S dapat

    berperan sebagai A atau P. Pada tataran derivasi, terdapat relasi gramatikal ergatif

  • 29

    dan absolut. Relasi ergatif-absolut ini dapat dikenali secara morfologis dengan

    memperhatikan penanda-penanda khusus. Pada bahasa ergatif morfologis terdapat

    morfem-morfem tertentu yang menandai suatu argumen sebagai argumen yang

    ergatif atau absolutif. Sementara pada bahasa-bahasa yang tidak mempunyai

    penanda morfologis untuk ergatif dan absolutif, keergatifan dapat dilihat pada

    hubungan sintaksis yang terdapat di antara kalimat intransitif dan kalimat transitif.

    Jika di dalam kalimat tersebut terdapat perlakuan sintaksis yang sama antara Si

    dan St, sementara St diperlakukan secara berbeda, dapat dikatakan bahwa bahasa

    tersebut mempunyai ciri ergatif secara sintaksis. Untuk dapat mengenali

    perlakuan-perlakuan sintaksis terhadap argumen-argumen tersebut, dilakukan

    sejumlah tes pelesapan argumen, peninggian subjek, refleksif dan perelatifan.

    Beberapa prinsip dasar berupa teori Relasi Gramatikal dapat disajikan berikut.

    1) Relasi gramatikal ada di antara teori-teori yang sederhana;

    2) Konstituen struktur dalam (S-Strc.) dicirikan tidak hanya dalam istilah-istilah

    ciri kategorial dan relasi dominan, tetapi juga dalam hal relasi gramatikal;

    3) Sebuah konstituen memiliki lebih dari satu relasi gramatikal dalam satu

    waktu;

    4) Konstituen dibagi ke dalam dua rangkaian pada tipe-tipe dasar relasi

    gramatikal yang mengandung :

    (1) terms, dengan relasi gramatikal subjek, objek langsung, dan objek tak

    langsung (subjec, direct object, inderect object) ;

    (2) bukan terms, meliputi yang bukan relasi gramatikal (hubungan

    gramatikal murni ), mencakup instrumental, benefaktif dan lokatif ;

  • 30

    5) Hierarki konstituen Relasi Gramatikal sebagai berikut :

    Subjek > Objek Langsung > Objek Taklangsung > Oblik

    S > OL > OTL > oblik, dapat

    digambarkan sebagai berikut :

    S OL OTL oblik

    term ukan term 6) Kaidah-kaidah sintaktik mengizinkan relasi gramatikal dengan konstituen

    yang dikarakterisasikan ;

    7) Kaidah-kaidah sintaktik dapat mengubah relasi konstituen ;

    8) Perubahan relasi gramatikal berarti subjek mengikuti kaidah tersebut.

    Relational Annihilation (RAL) yaitu kaidah penghapusan relasi : jika sebuah

    FN menganggap sebuah relasi gramatikal sebelumnya dihasilkan oleh FN

    ĵ, kemudian FNĵ memberi kasus untuk menghasilkan term relasi gramatikal

    yang lain. FN ĵ menjadi chômeur.

    9) Ada kaidah dan prinsip-prinsip yang tipikal untuk mengenali chômeur

    (chô), untuk mengeluarkan beberapa tipe lain dari konstituen.

    Prinsip-prinsip Relasi Gramatikal tersebut diterapkan pada relasi aktif-pasif

    dalam bahasa Inggris. Formula dari konstruksi aktif, bentuk pasif diturunkan

    melalui kaidah yang mempromosikan, baik OL maupun OTL menjadi berstatus

    subjek. Kaidah tersebut dapat diformulasikan sebagai berikut :

    OL Subjek OTL

    Melalui penerapan kaidah RAL, subjek dasar (underlying subject) dapat

    kehilangan fungsi subjeknya dan menjadi sebuah chômeur. Beberapa tipe kaidah

  • 31

    menunjukkan bahwa konstiuen chômeur akan direalisasikan dengan makna

    frase ’oleh‘ (by pharase). Contoh :

    15a. Jhon Gave the book to Peter FNί FN ĵ FN κ S OL OTL Jhon memberi buku pada Peter

    15b) The book was given to Peter by Jhon FN ĵ FNκ FN ί S OTL Chêmeurs Buku diberikan kepada Peter oleh Jhon

    15c) Peter was given the book by Jhon FN κ FNĵ FN ί S OL Chêmeurs Peter diberikan buku oleh Jhon

    Teori Gramatikal Relasional bersifat multistrata, ada strata awal dan strata

    akhir. Penentuan semantis dilakukan pada strata awal misalnya, pada kalimat

    transitif berikut:

    16) The crocodile ate the woman Subjek (S) (O) Agen (A) (P) 1 2 Buaya memangsa wanita

    The crocodile ‘buaya‘ secara semantik ditentukan sebagai subjek sedangkan the

    woman ‘wanita’ sebagai objek. Dari segi peran, subjek disebut agen, dan

    objek disebut pasien. Pada strata berikutnya terjadi revaluasi struktur seperti :

    17) The woman was eaten by the crocodile 1 Chêmeurs Agen (A) (P) Wanita dimangsa oleh buaya

    Pada strata ini penentuan relasi tidak dilakukan secara semantik. Term the

    crocodile menjadi chômeur ditandai dengan preposisi by ‘oleh‘. Pada tataran

    derivasi terdapat tipe relasi ergatif-absolutif. Relasi gramatikal dalam sebuah

  • 32

    klausa dikatakan berciri ergatif jika di dalamnya terdapat kondisi berikut : agen

    verba transitif ditandai secara berbeda dari subjek verba intransitif dan pasien

    verba transitif. Perbedaan tersebut dapat dinyatakan dengan (1) bentuk penanda

    kasus, seperti pada bahasa Walpiri, (2) adopsi, seperti pada bahasa Tongan, dan (3)

    pengacu-silang (cross-referencing) seperti pada bahasa Avar. Pada umumnya

    pasien dari verba transitif dan verba intransitif berpenanda sama. Blake (1990 :

    145) memberikan contoh kalimat-kalimat bahasa Avar untuk menunjukkan

    kondisi tersebut.

    18) Hama b- -ac? -ila Ass It come Future The assisten will come Pembantu akan datang

    19) Ebel -aλ Hama b -ac? -ula mother Erg Ass it it come pres Mother leads the assisten Ibu membimbing pembantu

    20) Ebel y- es -ar -ula Mother she sew Imperf. pres Mothes sews Ibu menjahit

    Dengan sebuah verba transitif genetif (kalimat 19) ditandai dengan –aλ,

    sedangkan P tidak ditandai seperti halnya subjek intransitif. Selain itu, pasien

    verba transitif pada kalimat (19) mempunyai pengacu-silang b-, seperti subjek

    intransitif, sedangkan agen tidak mempunyai pengacu-silang. Jadi, dalam bahasa

    Avar subjek intransitif dan pasien verba transitif diperlakukan sama dengan

    memberinya pengacu silang b-, sedangkan agen verba transitif berpenanda ergatif

    –aλ. Jika digambarkan dengan bagan akan terlihat sebagai berikut:

    Bagan ergatif : S

  • 33

    A O / P

    Dalam bahasa ergatif, subjek mempunyai penanda relasi. Subjek

    mencakup agen verba transitif dan subjek intransitif. Relasi dapat diketahui

    melalui penanda kasus dan kesesuaian antara pasien verba transitif dan subjek

    verba intransitif. Subjek dalam bahasa akusatif dapat digambarkan sebagai

    berikut :

    Bahasa kusatif S

    A O / P

    Relasi Gramatikal memperlakukan relasi gramatikal inti (S - OL - OTL)

    dengan menempatkannya pada dua relasi derivasi yaitu relasi ergatif dan relasi

    absolutif. Relasi ergatif menutup argumen yang berinisial 1 dalam sebuah strata

    transitif. Relasi absolutif menutup argumen berinisial P dalam strata transitif plus

    relasi gramatikal tak murni argumen 1 atau 2 dari strata intransitif. Dalam bahasa

    akusatif relasi seperti ini adalah subjek yang disembunyikan dengan verba tak

    tentu dan sering menjadi sasaran kaidah kontrol. Dalam bahasa ergatif relasi

    ini adalah relasi absolutif yang tetap samar.

    Untuk menunjukkan kaidah dasar pada relasi ergatif dan absolut

    digunakan kalimat-kalimat bahasa Australia, Kalkatungu berikut ini sebagai

    contoh (Blake, 1990 : 146).

    21) Nya Nga

    -thu kalpin thun -nyin

    Saw I -Erg. man run -part I saw the man running Saya melihat seorang laki-laki lari

  • 34

    Kalimat (21) memperlihatkan bahwa klausa berakhir pada strata intransitif kalpin

    thun- nyin ‘ orang laki-laki lari.

    22) Nyini kuntu yakpiyi kanimayinytyr -thu sparta -nyin You Not listen Policeman Erg Scold -part You don’t listen (when being) by policeman Kamu tidak mendengar polisi memarahi

    Klausa berakhir pada strata transitif kanimayinytyrthu sparta-nyin

    ‘polisi memarahi’. Kalimat-kalimat tersebut (21 dan 22) menujukkan

    keikutsertaan klausa-klausa dalam membentuk kalimat. Klausa utama harus

    absolutif. Jika klausa utama berada dalam strata transitif, klausa tersebut harus

    dijadikan intransitif sehingga klausa utama akan menjadi absolut.

    Pada kalimat berikut terdapat pemunduran 2 menjadi 3 (2-3 retrect)

    akibat pemberian sufiks -yi pada verba. Sufiks -yi ini memberi penanda

    datif pada pasien.

    23) Nga -thu nanya marapi pilapila -a watinti -yi -tyin I -Erg. Saw Woman baby -Dat carry detr. -part I saw the woman carrying a baby Saya melihat wanita itu membawa bayi

    Pada kalimat (23) tersebut argumen pilpila-a ‘bayi’ yang berinisial 2 pada

    klausa marapi pilapila-a watinti-yi-tyin mundur menjadi argumen berinisial 3.

    Jika klausa partisipan utama berinisial 3 atau oblik, maka klausa tersebut

    dikedepankan sehingga menjadi absolut. Misalnya, dalam kalimat berikut :

    24) Tyaa yurru arrakunaan -aati -nga -thu nhitha -nytyam -tyin maa This Man angry become I Erg steal -advan -part food This man got wild because I stole his food (robbed of this food by me) Orang laki-laki ini menjadi marah karena saya menucuri makanannya

    (dirampas makannya oleh saya)

  • 35

    Pada contoh ini argumen yurru ‘laki-laki‘ yang berinisial 3 diletakkan ke

    status cho; -nytyama- menandai pemajuan 3 menjadi 2 tersebut. Kalimat (24)

    tersebut dapat dipilah menjadi klausa-klausa 25a dan b sebagai berikut :

    25a) Nga -thu nhith -mi maa Yurr -ku I Erg. Steal -fut food Man Dat. I will steal the food of the man Saya akan mencuri makanan orang laki-laki itu

    Klausa (25a) adalah klausa transitif dengan penanda argumen datif -ku.

    25b) Nga -thu nhithta -nytama -mi yurru maa I Erg. steal advan. fut Man food I will rob the man of ( his ) food Saya akan merampas makanan orang laki-laki itu

    Klausa (25b) menunjukkan pengedepanan 3 menjadi 2 yang ditandai

    dengan -nytama. Secara permukaan, kenyataan menunjukkan bahwa absolutif

    sering berperilaku seperti subjek. Absolutif ini dapat dianggap subjek tertentu dan

    mengizinkan untuk menjadi agen verba transitif (dalam bahasa akusatif), dan

    menjadi pasien dari verba transitif dalam bahasa ergatif. Jadi absolutif pada

    bahasa ergatif (yang berperilaku sebagai pasien) dalam bahasa akusatif dapat

    menjadi subjek verba transitif.

    Analisis ‘pasien sebagai berinisial subjek’ ini mempunyai beberapa

    konsekuensi. Perubahan nilai pada derivasi seperti 2 menjadi 3 dan antipasif

    diinterpretasikan sebagai pasif. Dalam kenyataan, istilah antipasif mengizinkan

    sebuah argumen agen masuk ke dalam relasi gramatikal yang khusus, persis

    seperti pasif mengizinkan pasien masuk dalam relasi khusus dalam bahasa

    akusatif.

    Analisis ‘pasien sebagai subjek sintaksis‘ bahasa ergatif menjadi sebuah

    kesulitan seperti beberapa usaha untuk menyamakan absolutif dengan subjek.

  • 36

    Pada kenyataannya, bahasa-bahasa mencampuradukkan kaidah subjek/objek

    dengan ergatif/absolutif (Blake, 1990 : 148).

    2.4 Model Penelitian

    Data Penelitian

    Teori Relasi Gramatikal

    3)Bagaimanakah perilaku gramatikal argumen dan sistem aliansi gramatikal dalam struktur kalimat BLDL?

    2)Bagaimanakah mekanisme perubahan valensi verba (penaikan /penurunan) BLDL?

    Metode Linguistik Lapangan

    Metode Simak

    Metode Cakap

    1)Bagaimanakah struktur dasar klausa simpleks dan klausa kompleks Bahasa Lamaholot Dialek Lamalera ?

    Temuan-Temuan Penelitian

    Struktur Klausa dasar dan simpleks BLDL

    Mekanisme Penaikan dan Penurunan Valensi Verba

    Sistem relasi antarargumen dan Sistem aliansi gramatikal BLDL

    Teori Tipologi Bahasa

  • 37