bab ii tinjauan pustaka, konsep, landasan teori dan … · 2017. 10. 27. · konstruksi kausatif...
TRANSCRIPT
-
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Tinjauan Pustaka
Penelusuran terhadap rekam jejak penelitian bahasa-bahasa Nusantara telah
dilakukan oleh Brandes pada tahun 1884. Hasil penelitian Brandes menyatakan
bahwa bahasa-bahasa Nusantara dikelompokkan menjadi Bahasa Nusantara Barat
dan Bahasa Nusantara Timur (Fernandes, 1996 : 14-15). Adapun pemarkah
pembeda antara kedua kelompok bahasa ini didasarkan pada kriteria tunggal
bidang sintaksis yang lebih berfokus pada konstruksi genetis terbalik.
Bahasa Lamaholot adalah salah satu dari sembilan bahasa daerah di Flores
(Fernandes, 1996). Para misionaris Eropa seperti Salzner, Esser dan Arndt (Keraf,
1975) memiliki kecenderungan menyebut bahasa yang digunakan di wilayah
adminstrasi Flores Timur dan Lembata dengan sebutan Bahasa Solor. Penamaan
seperti ini didasarkan pada (1) penyebutan gugus pulau, (2) hal ikhwal penyebaran
Agama Katolik di wilayah ini, dan (3) nama pulau. Meskipun demikian, tidak
dapat dipungkiri bahwa penamaan Bahasa Solor merupakan langkah awal untuk
menyibak misteri bahasa di Flores bagian Timur dan dan Kepulauan Solor
(Adonara, Solor dan Lembata).
Esser (dalam Fernandes, 1996), ketika melakukan pemetaan bahasa-bahasa
Nusantara membagi bahasa-bahasa kerabat di Flores atas dua kelompok yaitu (1)
Kelompok Bima-Sumba dengan subkelompok Bahasa Manggarai, Bahasa
-
2
Rembong, Bahasa Komodo, Bahasa Ngadha, Bahasa Palu’e dan Bahasa Lio, dan
(2) Kelompok Ambon-Timor dengan subkelompok Bahasa Sikka, Bahasa
Lamaholot dan Bahasa Kedang. Bahasa Lamaholot dalam pemetaan bahasa
menurut Esser dikelompokkan sebagai subkelompok Bahasa Ambon-Timor.
Beberapa misionaris Eropa seperti Stresseman (1929) menuliskan pustaka
tentang pengelompokkan bahasa-bahasa di Ambon, Arndt, menulis tentang
Bahasa Sika (1931), Bahasa Ngadha (1933b), Bahasa Solor (1937), dan Collins
(1983) menulis tentang kesejarahan bahasa-bahasa di Maluku Tengah (Fernandes,
1996 : 18-20). Pustaka-pustaka yang sangat terbatas ini mengindikasikan bahwa
penelitian-penelitian terdahulu hanya sebatas mendeskripsikan bahasa-bahasa di
wilayah Indonesia Timur pada tataran gramatik dan kesejarahan.
Perkembangan penelitian linguistik akhir-akhir ini menunjukkan bahwa ada
sejumlah penulis dan peneliti asing yang pernah menulis artikel tentang Bahasa
Lamaholot dan bahasa di Indonesia Timur, seperti Grimers, dkk (1997) A Guide
to the People and Languages of Nusa Tenggara Timur, Arka (2007) menulis
artikel tentang Creole Genesis and Extreme Analytical in Flores Language,
Donhoue (2007) Word Order in Austronesian From North to South and West to
East, Bowden (2008) juga menulis artikel tentang A Grammar of Lamaholot,
Eastern Indonesia: The Morphology and Syntax of the Lewoingu Dialect, Nagaya
(2010) A Phonological Sketch of Lewotobi Lamaholot. Asian and African
Languages in Linguistic, dan Nagaya (2013) Voice and Gramatical Relation in
Lamaholot of Eastern Indonesia. Jika dicermati secara sepintas, maka boleh
-
3
dikatakan bahwa belum ada satu artikelpun yang menulis secara khusus tentang
tipologi sintaksisi BLDL.
Telaah-telaah pustaka lainnya yang dikaji adalah penelaahan pustaka-
pustaka atau hasil penelitian yang telah diujikan keabsahannya, baik langsung
maupun lintas bahasa yang berkaitan erat dengan objek kajian ini. Hal ini tidak
bermaksud untuk membenarkan hasil penelitian terdahulu terutama hasil
penelitian terhadap kelompok bahasa, keluarga bahasa dan dialek yang serumpun
dengan judul penelitian ini. Penelaahan terhadap beberapa pustaka dan hasil
penelitian sekiranya dapat membantu menambah dan memperluas wawasan
peneliti.
Adapun maksud penelaahan ini adalah untuk mencermati dan mengkritisi
penelitian kelompok bahasa, keluarga bahasa dan dialek yang serumpun dengan
BLDL. Selain itu, penelaahan terhadap pustaka dan hasil penelitian ini adalah
untuk mengetahui keberadaan, pentingnya penelitian ini dan perbedaan penelitian
ini dengan penelitian terdahulu. Telaah hasil penelitian dan pustaka-pustaka itu
disajikan berikut ini.
Japa (2000) meneliti “Bahasa Lamaholot Dialek Nusa Tadon”. Penelitian
ini lebih menajam pada deskripsi properti argumen inti dan struktur kausatif.
Hasil analisis data tulisan ini dapatlah dijadikan penelaan, terutama berkaitan
dengan tataurut kata dan valensi verba dalam sebuah klausa serta konstruksi
pengkausatifan. Walaupun sama-sama berbahasa Lamaholot namun dialek Nusa
Tadon dan dialek Lamalera memperlihatkan keberbedaan dalam sejumlah ciri
khas linguisitik.
-
4
Jufrizal (2004) mengkaji “Struktur Argumen dan Aliansi Gramatikal
Bahasa Minangkabau (BM)”. Adapun teori yang digunakan adalah Teori Tipologi
Bahasa dan Teori Tatabahasa Leksikal-Fungsional (TLF). Sistem morfologi verba
BM, menyatakan bahwa verba BM dikelompokkan menjadi dua yaitu verba asal
dan verba turunan. Struktur dasar klausa BM terdiri atas predikator verbal dan
predikator bukan verbal. Predikator bukan verbal dapat diisi oleh adjektiva,
nominal, numeral, dan preposisional. Predikator verbal terdiri atas klausa
intransitif, klausa transitif (ekatransitif dan dwitransitif).
Hasil analisis data membuktikan bahwa BM memiliki relasi seperti sebagai
subjek (S), objek langsung (OL), objek taklangsung (OTL) dan relasi oblik (OBL).
Relasi-relasi itu diuji dengan pengujian yang bersifat gramatikal. Mekanisme
panaikan valensi dalam BM didasari pada jenis konstruksi verba yaitu konstruksi
kausatif, aplikatif, dan resultatif. Pada pengkausatifan, hanya ditemukan secara
morfologis dengan markah -an yang dapat berdistribusi dengan verba, adjektiva,
atau prakategorial. Hal ini dilakukan dengan mengacu pada Comrie (1985)
tentang perubahan valensi verba berdasarkan hierarki gramatikal.
Bahasa Minangkabau adalah bahasa yang memiliki kesamaan ciri dengan
Bahasa Indonesia sehingga, tataurut kata, struktur klausa, valensi verba, kalimat
kompleks dan tipologi bahasa mirip dengan Bahasa Indonesia. Bahasa Lamaholot
Dialek Lamalera tidak memiliki afiks-afiks pemarkah (verba) seperti BM dan
Bahasa Indonesia. Meskipun demikian, bukan berarti BLDL tidak memiliki afiks.
Kontribusi penelitian Jufrizal terhadap penelitian ini adalah pemanfaatan tataurut
-
5
kata, struktur dasar klausa, dan alternasi turunannya, kalimat kompleks dan
tipologis bahasa BM dapat dijadikan sebagai pembanding penelitian ini.
Jeladu (2008) meneliti tentang ‘Klausa Bahasa Rongga : Sebuah Analisis
Leksikal-Fungsional’. Jeladu meneliti tentang ‘pola struktur klausa dasar BR,
keunikan stuktur klausa dasar BR sebagai bahasa isolasi, implikasi struktur klausa
BR terhadap tipologi BR, valensi dan perubahan BR sebagai bahasa yang tidak
memiliki afiksasi, serialisasi verba BR yang dapat dideretkan, dan kendala-
kendala serialisasi verba dalam BR.
Bahasa Rembong adalah subkelompok bahasa Flores Barat, sedangkan
BLDL adalah subkelompok bahasa Flores Timur. Sebagai bahasa yang berada
dalam salah satu kelompok bahasa, BR dan BLDL memiliki kesamaan dan
keberbedaan baik pada tataran fonologi, morfologi dan sintaksis.
Adapun hasil penelitian Jeladu yang dapat dijadikan sebagai rujukan dan
pembanding penelitian ini adalah (1) penelaan klausa berdasarkan kategori
pengisi fungsi predikator. (2) Tataurut kata dalam klausa, BR memiliki tataurut
kata SVO sebagai struktur dasar sedangkan alternasinya adalah VOS. (3)
Penelaan tipologi gramatikal menggambarkan bahwa BR adalah bahasa akusatif
sehingga BR memiliki dua alternasi struktur yaitu struktur aktif dan struktur pasif.
BLDL tidak memiliki afiks pemarkah pasif sehingga struktur alternasi BLDL
adalah berupa pengedepanan atau penopikalan argumen. Kajian morfologis
memperlihatkan bahwa BLDL memiliki strategi morfonologi dan morfosintakis
sebagai kiat penaikan dan penurunan valensi verba.
-
6
Satyawati (2009) meneliti tentang Valensi dan Relasi Sintaksis Bahasa
Bima, berpijak pada Teori Role and Reference Grammar (RRG). Masalah
yang diteliti adalah pola struktur BBm, kaidah relasi tematik argumen BBm
bertalian dengan subkategori verba, pemarkah gramatikal atau leksikal
sebagai realisasi mekanisme perubahan valensi verba BBm dan relasi sintaksis
BBm.
Hasil penelitian Satyawati membuktikan bahwa ketegori-kategori
linguistik merupakan aspek linguistik yang bersifat lintas bahasa, artinya ketegori
seperti nomina, verba, adjektiva dan adverbial kerap ditemukan dalam
banyak bahasa. Struktur klausa BBm berdasarkan kategori pengisi predikator
dibedakan berdasarkan predikator verbal dan predikator nonverbal. Predikator
BBm yang ditemukan dapat berupa serialisasi dan dapat pula berupa
predikator kedua. Mekanisme perubahan valensi pada BBm meliputi
pengakusatifan dengan menambahkan -ka, ndawi ‘buat’ dan kau ‘suruh’,
pengaplikatifan meliputi benefaktif (pemarkah wea), aplikatif lokatif (ka), dan
aplikatif komitatif (labo). Sedangkan penurunan valensi ditandai dengan
fenomena resultatif.
Secara historis, BBm dan BLDL merupakan subkelompok dari
bahasa Flores. Meskipun mempunyai moyang bahasa yang sama namun kedua
bahasa ini memperlihatkan perbedaan yang merupakan ciri masing-masing
subkelompok. Adapun sumbangan positif penelitian Satyawati terhadap
penelitian ini adalah pola struktur dasar klausa BBm, tataurut kata dan adanya
bentukbentuk perujuk silang.
-
7
Yudha (2011) meneliti tentang Struktur dan Fungsi Gramatikal Bahasa
Lio. Penelitian ini memanfaatkan Teori Tatabahasa Leksikal-Fungsional sebagai
teori utama dan Teori Pemetaan Leksikal sebagai teori pendukung. Hasil
penelitian Yudha menggambarkan bahwa kategori gramatikal BL sulit
membedakan kategori verba dan nomina. Bahasa Lio adalah bahasa vokalik dan
isolatif. Struktur dasar klausa BL adalah SVO (SUBJ-PRED-OBJ) dan dapat
berlaternasi OSV (OBJ-SUBJ-PRED). Tataurut konstituen klausa BL, verba
sebagai unsur pokok klausa dan partisipan sebagai pengisi peran dan fungsi dapat
muncul pada posisi awal, tengah dan akhir klausa. Dalam struktur kanonis SUBJ
selalu muncul praverbal sedangkan OBJ muncul pada posisi posverbal.
Sumbangan berharga sebagai rujukan dan pembanding bagi penelitian ini
adalah (1) tiplogi tataurut kata pada struktur klausa simpleks yaitu SVO yang
dapat beralternasi menjadi OSV jika mengalami pengedepanan atau pemfokusan.
(2) BL tidak memiliki bentuk-bentuk verba seperti verba akar (root/stem), verba
turunan dan kemampuan verba untuk merujuksilang nomina atau pronomina yang
menjadi subjek sebuah klausa. (3) Bahasa Lio tidak mengenal adanya persesuaian
antara verba dengan nomina atau pronominal yang diikuti, BL juga tidak memiliki
afiks sehingga bentuk-bentuk derivasi dan infleksi yang merupakan fenomena
lingusitik universal tidak dijumpai.
Sukendra (2012) meneliti tentang Klausa Bahasa Sabu, Kajian Tipologi
Sintaksis. Hasil penelitian Sukendra menyatakan bahwa struktur dasar klausa
Bahasa Sabu terdiri atas klausa yang berpredikat nonverbal (adjektival, nominal,
-
8
numeral, dan frase preposisional) dan kluasa verbal terdiri atas klausa verbal
intransitif dan transitif (ekatransitif, dwitransitif).
Kontribusi penelitian Sukendra sebagai rujukan dan pembanding
penelitian ini adalah struktur dasar klausa dan pola klausa dasar BS SVO,
konstruksi kausatif dan penopikalan. Bahasa Sabu tidak mengenal adanya
persesuaian antara verba dengan pronomina atau nomina, atau verba Bahasa Sabu
tidak dapat merujuk silang nomina atau pronomina yang menjadi subjek.
Walaupun demikian, penelitian Sukendra tetaplah diacu sebagai pembanding
penelitian ini.
Budiarta (2013) meneliti tentang Tipologi Sintaksis Bahasa Kemak (BKm).
Adapun masalah yang diteliti adalah model struktur klausa dan mekanisme
perluasannya, kaidah struktur klausa BKm, pola valensi BKm, model struktur
kalimat kompleks BKm, dan sistem aliansi gramatikal BKm.
Meksipun memiliki sejumlah kesamaan namun ada juga perbedaan-
perbedaan prinsip seperti (1) BKm tidak memiliki afiks sedangkan BLDL
memiliki sejumlah afiks, (2) BKm tidak mengenal adanya bentuk-bentuk verba
akar dan verba dasar sedangkan BLDL memiliki bentuk-bentuk verba ini, (3)
BKm tidak mengenal adanya persesuaian antara verba dengan nomina atau
pronomina sedangkan BLDL mengenal adanya persesuaian bentuk verba ini, (4)
keberbedaan tataurut kata, relasi gramatikal dan aliansi gramatikal. Meskipun
demikian, hal-hal substantif seperti struktur dasar klausa, valensi verba, dan
tipologi bahasa BKm tetaplah diadopsi sebagai pembanding tulisan ini.
-
9
Erawati (2014 ) meneliti dengan judul Valensi Dalam Bahasa Jawa Kuna :
Suatu Kajian Morfosintaksis. Masalah yang diteliti adalah sistem
mofosintaksis dalam Bahasa Jawa Kuna (BJK), struktur argumen dan relasi
gramatikal klausa BJK, mekanisme penaikan valensi klausa BJK, struktur kalimat
kompleks dalam BJK, tipologi BJK secara sintaksis, dan sistem diatesis
dalam BJK.
Hasil penelitian Erawati yang dapat dijadikan sebagai rujukan
pembanding tulisan ini seperti, konstruksi dasar klausa, relasi gramatikal, valensi
verba dan tipologi sintaksis BJK. Konstruksi-konstruksi dasar klausa terdiri atas
klausa yang berpredikator nonverbal dan predikator verbal. Relasi gramatikal
dalam BJK yang bersifat murni sintaksis adalah subjek (S), objek langsung (OL)
dan objek taklangsung (OTL), dan relasi yang bersifat semantis, yaitu lokatif,
benefaktif, instrumental yang secara kolektif disebut relasi oblik. Subjek
gramatikal dapat dilihat melalui ciri-cirinya yaitu perelatifan, pengedepanan,
kontrol, pelesapan konjungsi, dan kalimat tanya. Berdasarkan pola urutan kata
BJK memiliki pola urutan SVO dan memiliki alternasi yaitu AVO, VAO, dan
PVA. Pengetesan perilaku urutan SVO dicermati berdasarkan konstruksi imperatif,
deklaratif, dan interogatif.
Secara sintaksis BJK dominan memperlakukan S dengan cara yang sama
dengan A dan perlakuan yang berbeda dari P dan terdapat sedikit memperlakukan
S dan P dengan cara yang sama dan berbeda dari A. Berdasarkan persekutuan
gramatikal yang ditemukan, maka BJK memiliki sistem diatesis aktif-pasif (ciri
-
10
nominatif-akusatif) pasientif (ciri ergatif) dan medial (morfologis, leksikal, dan
perifrastik).
Keraf (1978) telah meneliti tentang Morfologi Dialek Lamalera yang
merupakan satu dari 35 dialek Bahasa Lamaholot (lamp.2a,2b). Keraf
menemukan bahwa berdasarkan analisis kosa kata dan analisis morfologis,
serta sejarah asal usul yang diturunkan secara lisan, daerah Flores Timur
merupakan daerah percampuran dari sekurang-kurangnya tiga jenis kelompok
bahasa yaitu dari Barat yang membawa kosa kata dasar, yang berasal dari Timur
membawa unsur-unsur morfologis dan yang berasal dari daerah itu sendiri (1978 :
223). Laporan keraf menyertakan penghitungan leksikostatistik kekerabatan
internal dari bahasa Lamaholot. Keraf tidak secara spesifik meneliti tentang
struktur sintaksis klausa Dialek Lamalera atau tipologi Dialek Lamalera.
Meskipun demikian, publikasi Keraf ini memiliki kontribusi yang teramat penting
terutama untuk mengetahui keberadaan BLDL dalam bahasa Lamaholot.
Beberan lainnya berupa proses mofologis yang bertalian dengan perilaku verba
sebagai head dan bentuk-bentuk derivasi nomina BLDL sangat membantu peneliti
menyibak rahasia unsur kelinguistikan BLDL.
Keraf (1990) mempublikasikan “Tipologi Bandingan Historis“. Kajian
ilmiah ini mengadopsi Dialek Lamalera sebagai dialek bandingan dengan Bahasa
Latin, Inggris dan Turki, terutama yang bertalian erat dengan konkordansi,
dan tata urut kata dalam klausa. Referensi yang serba sedikit ini mampu
mengungkap sebagian misteri tipologi BLDL baik dalam aspek morfologi
maupun sintaksis. Kontribusi referensi ini cukup memadai dan menjadi acuan
-
11
dalam analisis perilaku argumen inti sebuah klausa BLDL yang akhirnya
membuahkan penetapan tipologi BLDL.
Fernandes (1996) melakukan kajian historis komparatif terhadap bahasa-
bahasa di Flores untuk meneliti relasi kekerabatannya melalui pendekatan
kualitatif dan kuantatif. Tujuannya adalah untuk melakukan rekonstruksi bahasa
asal dan menentukan pengelompokan sembilan bahasa Flores yaitu Manggarai
(Mg), Komodo (Km), Rembong (Rb), Ngada (Ng), Lio (Li), Palue (Pl), Sikka
(Sk), Lamaholot (Lh) dan Kedang. Fernandes menyatakan bahwa (i) FL
merupakan satu bahasa kerabat yang dipertalikan pada persentase kognat sebesar
60,5 % (1999 : 175), (ii) FL merupakan kelompok bahasa Melayu Polinesia
Tengah (Central Melayo Polynesian/CMP) (1999 : 173); (iii) FL terbagi menjadi
dua subkelompok besar yaitu Flores Barat (FB) -Km, Rb, Ng, Li, Pl dan Flores
Timur-Sk, Lh, dan Kd. Berbeda dengan Keraf, Fernandes tidak menyebutkan
secara detail dialek-dialek manakah yang termasuk dalam subkelompok Flores
Barat dan dialek-dialek manakah yang termasuk dalam subkelompok Flores
Timur. Walaupun tidak secara gamblang menyebutkan dialek ini namun apabila
dicermati lebih mendalam BLDL dijadikan sebagai sampel dalam menunjukkan
proses morfonemik terutama yang berkaitan dengan harmoni konsonan. Dengan
demikian acuan inipun merupakan rujukan penunjang bagi peneliti dalam
melakukan penelitian ini.
Artawa ( 1996 ) menguraikan tipologi Bahasa Bali, Sasak dan Indonesia.
Bahasa ergatif adalah bahasa yang memperlakukan argumen P transitif sama
dengan argumen S pada predikator intransitif. Bahasa akusatif digunakan untuk
-
12
menamai bahasa yang memperlakukan A transitif sama dengan S klausa
intransitif. Anderson (dalam Artawa, 1996) mencatat bahwa tidak semua bahasa
yang ergatif secara morfologis adalah ergatif secara sintaksis. Dengan kata lain
bahasa yang ergatif secara morfologis ada kemungkinan berperilaku akusatif
secara sintaksis. Di samping itu tidak ada bahasa yang ergatif ataupun akusatif
seratus persen. Lebih jauh dikatakan bahwa bahasa akusatif adalah bahasa yang
mempunyai diatesis aktif-pasif sedangkan bahasa ergatif memiliki diatesis ergatif-
antipasif. Hal ini berarti bahasa yang mengenal sistem akusatif memiliki bentuk
dasar aktif dan bentuk pasif sebagai bentuk turunan atau derivasi, sedangkan
bahasa yang bersistem ergatif memiliki bentuk dasar ergatif dan bentuk derivasi
atau turunannya adalah antipasif.
Artawa (2004) secara khusus membahas bahasa Bali secara tipologis.
Artawa memaparkan permasalahan utama yang dihadapi para linguis dalam
meneliti bahasa-bahasa Austronesia serta menetapkan tipologi sintaksis bahasa-
bahasa itu, apakah termasuk tipe akusatif atau tipe ergatif. Penelitian ini lebih
menajam pada deskripsi tipologi bahasa Bali mencakup, relasi gramatikal seperti
‘subjek’ dan ‘objek’ sebagai konstituen yang universal dalam setiap bahasa di
dunia, mekanisme perubahan valensi, tipologi pragmatik, dengan berpijak pada
pendapat Li dan Thompson (1976).
Sung (2001) menulis tentang tipologi linguistik. Tipologi linguistik ini
mengkaji penetapan tipologi sebuah bahasa berdasarkan basik tataurut kata.
Berdasarkan basik tataurut kata, maka bahasa-bahasa di dunia memiliki tiga
kosntituen yaitu S,V dan O. Ketiga konstituen ini memiliki enam tipe permutasi
-
13
yaitu; SOV, SVO, VSO,VOS, OVS dan OSV. Basik tataurut kata ini dapat
berkembang lebih dari enam atau juga dapat berkurang menjadi hanya dua tipe
dasar, sangat tergantung pada analisis bahasa itu sendiri.
Dasar tipologi tata urut kata hanya terjadi pada tataran atau pada level
klausa dengan kriteria seperti pragmatic neutrality, textual frequency, and formal
markedness (Sung, 2001 : 50). Beberapa kaidah tataurut kata pada level klausa
dapat diperikan sebagai berikut: ProN, NP, NA, AN, NG, GN, Nrel, dan RelN.
Pemaparan dasar tataurut kata pada level klausa hanya ingin mengungkapkan
‘siapa yang melakukan apa ( X ) terhadap siapa‘.
Topik lain yang dimunculkan adalah bentuk kausatif. Kausatif adalah
penambahan sebuah argumen A ke dalam sebuah klausa, kecenderungan
penambahan argumen ini akan menimbulkan hubungan sebab-akibat yang disebut
resultatif (Shibatani, 1976 : 171; Song, 1988 : 257; Comrie, 1981 : 158; Dixon,
2012 : 239; Sportiche, 2013 : 335). Kausatif mengungkapkan situasi makro yang
terdiri atas dua situasi mikro atau dua kejadian. Dua kejadian mikro itu adalah (1)
situsi tersebab yang menyebabkan penyebab melakukan aksi atau kegiatan dalam
situasi berbeda ; dan (2) Situasi tersebab di mana tersebab melakukan aksi atau
mengalami keadaan atau berada dalam keadaan sebagai akibat dari kegiatan atau
aksi penyebab. Berdasarkan dasar tataurut kata kausatif dibedakan atas kausatif
leksikal, kausatif morfologis dan kausatif sintaksis atau kausatif analitik.
Adapun rujukan teori yang digunakan adalah Teori Relasi Gramatikal dan
Teori Tipologi Bahasa. Tipologi sesungguhnya merupakan sebuah fenomena
sistem variasi yang tampak secara luas dan juga menyatakan beraneka dugaan
-
14
atau gagasan melalui markah-markah dalam sebuah sistem (Keraf, 1987 : 8-12;
Comrie, 1981: 30; Dixon, 2010 : 242; Moravcsik, 2013).
Dixon (1994, 2010 : 126) menyatakan bahwa konsep prateoretis S, A dan
O. S merupakan subjek kalimat intransitif, A merupakan agen kalimat transitif,
dan O adalah objek kalimat transitif (Comrie, 1981; Blake, 1994; Moravsik, 2013 :
1-23) yang menggunakan simbol P untuk O. Dixon, menjelaskan tentang dasar
pemarkahan secara sintaksis dan semantis (syntactically based and semanticaly
based marking) yang pada masing-masing bahasa ditandai dengan kasus ergatif
absolutif, nominatif dan akusatif.
Tipologi tataurut kata (Comrie, 1981:80; Sportiche, 2014:44; Moravcsik,
2013 : 90) mempunyai peran yang penting dalam pentipologian bahasa. Tataurut
kata sangat menentukan taturutan konstiuen atau relasi gramatikal dalam klausa
(Comrie, 1981 : 59; Blake, 1990 : 194; Artawa, 2000 : 490; Shopen, 1992 : 121;
Carnie, 2013 : 127).
Selain penentuan relasi gramatikal, tataurut kata juga menyatakan valensi
verba. Valensi verba (Kridalaksana, 2008 : 253), adalah nilai dari sebuah verba
untuk mengikat konstituen sehingga akan menyebabkan ada penaikan valensi dan
penurunan valensi (Katamba, 1993 : 270-272).
2.2 Konsep
Konsep memberikan intensitas dan paparan terhadap beberapa gagasan
yang bertalian erat dalam penelitian ini. Konsep diasumsikan sebagai batasan
operasional penelitian ini. Sehubungan dengan penelitian ini, maka beberapa
konsep yang menjadi pegangan dalam kajian ini adalah struktur gramatikal,
-
15
klausa, klausa kompleks, relasi gramatikal, valensi dan tipologi. Konsep-konsep
itu disajikan berikut ini.
2.2.1 Struktur Gramatikal
Lyons, menyatakan bahwa (1968 : 209-212), struktur gramatikal
merupakan memiliki susunan linier sederhana, seperti setiap bahasa
memberikan gambaran yang memuaskan dari aspek pandangan gramatikal
sebagai rangkaian dari konstituen-konstituen (yang diasumsikan sebagai kata).
Struktur gramatikal adalah hubungan atau kesatuan yang terbentuk antara
satu (unit) predikator dengan unsur-unsur atau fungsi-fungsi gramatikal yang
menyertainya (argumen) untuk mewujudkan kalimat tunggal dasar-utuh baik
melalui ikatan gramatikal maupun semantis (Dixon, 2010; Alsina, 1996;
Palmer, 1994).
Struktur gramatikal dan struktur argumen adalah representase sintaktis.
Struktur gramatikal dan struktur argumen kedua-duanya merupakan hasil dari
proses gramatikal dari perbedaan relasi antarkata dalam sebuah kalimat.
Sruktur gramatikal merupakan proses kaidah gramatikalisasi yang cenderung
disebut subjek /pivot (Manning, 1994 : 34-40).
2.2.2 Klausa
Kridalaksana (1993 : 110) menjelaskan bahwa klausa merupakan
satuan gramatikal yang berwujud kelompok kata yang sekurang-kurangnya
terdiri atas subjek dan predikat dan memiliki potensi untuk menjadi kalimat.
Selain Kridalaksana, pengertian tentang klausa diketengahkan juga oleh
Verhaar (1996 : 12). Verhaar menyebutkan bahwa klausa merupakan kalimat
-
16
yang terdiri atas sebuah verba dan frasa verbal yang disertai dengan satu
konstituen atau lebih yang secara sintaksis berhubungan dengan verba tersebut.
Di samping pengertian yang diberikan Kridalaksana dan Verhaar,
Lapoliwa (1990 : 19) juga memberikan penjelasan tentang klausa.
Menurutnya, istilah klausa dipakai untuk merujuk pada satuan konstruksi
dalam kalimat yang mempunyai struktur predikasi sebagai kalimat tunggal
tanpa adanya intonasi. Elson dan Pickett (Dixon, 2010:93; Comrie, 1981 :
148; Sportiche, 2014 : 87) mengungkapkan bahwa pengertian klausa adalah
sama dengan pengertian kalimat sederhana, yaitu kalimat yang terdiri atas satu
subjek dan satu predikat.
Penelitian ini mengacu pendapat Kridalaksana yang menyatakan
bahwa konsep kalimat tidak disejajarkan dengan konsep klausa. Kridalaksana
(1993) secara jelas mengungkapkan bahwa klausa tidak sama statusnya
dengan kalimat apabila acuannya adalah kalimat minim/elip. Misalnya, Lari!
dan Pergi! bukan merupakan klausa karena tidak mengandung subjek dan
predikat. Bila sebuah konstruksi mengandung unsur subjek dan predikat dan
mengandung intonasi lanjut, maka bentuk tersebut adalah klausa dan klausa
tersebut akan menjadi kalimat apabila berisi intonasi final. Berdasarkan
pendapat tersebut diketahui bahwa klausa tidak sama dengan kalimat yang
berjenis kalimat minim/elips, tetapi disejajarkan dengan kalimat tunggal atau
kalimat sederhana karena merujuk pada satuan predikasi.
Dengan demikian, pemahaman klausa jika ditulis atau disebut tanpa
keterangan lain sama dengan kalimat sederhana; kalimat yang mempunyai
-
17
satu subjek dan satu predikat. Klausa yang dimaksud pada tulisan ini adalah
kalimat sederhana (simple sentence). Dalam pembahasan kalimat kompleks
juga disebutkan istilah klausa yang mengacu kepada anak kalimat (dependent
clause).
2.2.3 Klausa Kompleks
Kalimat yang dibentuk dari gabungan klausa-klausa tersebut melahirkan
kalimat majemuk (complex sentence). Hubungan antarklausa di dalam
kalimat majemuk ini beragam dan rumit. Kerumitan tersebut disebabkan oleh
adanya interaksi tiga parameter yang berbeda, yaitu susunan internal klausa-
klausa tersebut, hubungan struktural klausa satu sama lain, dan hubungan
semantis klausa-klausa tersebut. Dalam buku tatabahasa dan linguistik Bahasa
Indonesia, kalimat majemuk dibedakan menjadi kalimat majemuk setara dan
kalimat majemuk bertingkat. Kalimat majemuk setara (compound sentence)
adalah kalimat yang terdiri atas dua klausa atau lebih yang dihubungkan
secara setara (koordinatif) oleh konjungsi koordinatif. Sebaliknya, kalimat
majemuk bertingkat (complex sentence) adalah kalimat yang terdiri atas
klausa utama dan klausa bawahan yang menunjukkan hubungan subordinatif
(Comrie, 1981 : 153, Kridalaksana, 1982 : 26, Verhaar, 1989 : 102-103; Alwi
dkk., 2000 : 385-393, Dixon, 2010 Vol.1 : 94, Sportiche,dkk, 2014 : 62).
2.2.4 Relasi Gramatikal
Teori Relasi gramatikal memperkenalkan tiga jenis relasi gramatikal yang
murni bersifat sintaktis, yaitu subjek (S), objek langsung (OL), objek tak
langsung (OTL). Di samping relasi semantis seperti lokatif, benefaktif, dan
-
18
instrumental yang secara kolektif disebut dengan istilah oblik (Blake, 1994 ;
Palmer, 1994 ; Mattews, 1997). Relasi gramatikal pada prinsipnya adalah
keseluruhan proses sintagmatik yang berhubungan dengan valensi verba yang
di dalamnya menyangkut relasi sintaktis, relasi semantis dan relasi pragmatis
(Van Valin dan La Polla, 1999). Relasi sintaktis, dianggap membantu suatu
hierarki seperti yang tercantum dengan penomoran 1.2.3 yang digunakan
untuk menandai relasi yang bersangkutan (Comrie, 1981 : 59, Blake, 1990 :
194 ; Manning, 1994 : 34, Artawa, 2000 : 490, Shopen, 1992 : 121, Carnie,
2013 : 127).
2.2.4.1 Subjek
Subjek adalah fungsi gramatikal paling utama yang bisa diduduki frasa
nominal (FN) dalam sebuah kalimat. Subjek merupakan satu-satunya FN yang
menjadi argumen inti pada kalimat intransitif, sedangkan pada kalimat transitif
subjek adalah FN yang menduduki posisi tertinggi pada hierarki fungsi
gramatikal (Lyon, 1968: 335, Cullicover, 1976: 217, Blake, 1981 : 98,
Kridalaksana, 1988 : 149, Cook, 1989 : 69, Blake, 1991, Shopen, 1992 : 104,
Levin, 1993 : 25, Manning, 1996 : 83, Sung, 2001: 141, Sportiche, 2013 : 138 ).
2.2.4.2 Objek
Objek adalah fungsi gramatikal selain subjek yang diduduki oleh FN
sebagai argumen inti. Objek secara konvensional dipilah menjadi objek
langsung dan objek taklangsung, dan objek oblik. Objek adalah suatu elemen
dalam konstruksi dasar kalimat suatu bahasa yang menyatakan seseorang
atau sesuatu selain subjek (Matthews, 1997). Pada umumnya, objek merupakan
-
19
fungsi atau relasi gramatikal yang harus hadir dalam sebuah kalimat transitif
(Bresnan, 1995, Dixon, 1994, Sung, 2001: 141, Cook, 1989 : 10, Shopen, 1992,
Levin, 1993 : 25, Sportiche, 2013 : 138).
2.2.4.3 Oblik
Oblik adalah relasi gramatikal selain relasi utama, yaitu subjek, dan relasi
kedua, yaitu objek. Relasi oblik merupakan relasi gramatikal yang bersifat
semantis. Dalam Bahasa Inggris oblik biasanya berbentuk prepositional
pharase. Dengan demikian, oblik dalam Bahasa Inggris memiliki bentuk seperti
complements dan adjuncts (Lyons, 1968 : 344, Dixon, 2012, Blake, 1991,
Manning, 1996 : 67, Palmer, 1994, Levin, 1993: 79, Shopen, 1992 : 89, Levin,
1993 : 79).
2.2.5 Valensi
Valensi mengacu pada hubungan sintaksis antara verba dan unsur-unsur
di sekitarnya, mencakup ketransitifan, dan penguasaan verba atas argumen-
argumen di sekitarnya (Kridalaksana, 2008 : 253). Haspelmeth (2002 : 210)
menjelaskan konsep valensi adalah informasi tentang kaidah semantis dan
fungsi sintaktik dari sebuah verba. Dikatakannya, valensi sintaktik (syntactic
valence) secara singkat disebut struktur fungsional dan valensi semantik
(semantic valence) yang disebut sebagai struktur argumen. Valensi dapat
berubah sesuai dengan mekanismenya. Menurutnya, penaikkan valensi
(enriched, increase valence) dapat dilakukan dengan kausatif dan aplikatif
(bandingkan dengan Katamba, 1993 : 270-272). Penurunan valensi (decrease
valence) dapat dilakukan melalui pasif, antikausatif, dan resultatif. Lebih jauh
-
20
dikatakannya bahwa valensi berkaitan dengan transposisi, valensi mengacu
pada jumlah tipe elemen yang berbeda yang berkaitan dengan verba.
Istilah valensi digunakan untuk mengacu pada jumlah argumen nomina
klausa pada tingkat apa saja orang menyebutnya (Aissen dalam Hopper and
Thompson, 1982: 8). Dilihat dari jenisnya, valensi dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu valensi semantis dan valensi sintaksis. Valensi semantis merupakan
valensi yang terkait dengan jumlah partisipan yang harus hadir yang
diungkapkan oleh sebuah verba, sedangkan valensi sintaksis atau valensi
gramatikal merupakan valensi yang terkait dengan jumlah argumen yang
nyata pada klausa tertentu (Payne, 1977 : 169-170). Katamba (1993 : 266)
mengemukakan bahwa valensi merupakan jumlah argumen dalam kerangka
sintaksis yang dikaitkan dengan verba yang disebabkan oleh fungsi-fungsi
gramatikal.
Berdasarkan definisi yang diberikan dapat disimpulkan bahwa konsep
valensi berhubungan erat sekali dengan ketransitifan verba pada tataran
morfosintaksis. Senada dengan Katamba, Van Valin Jr. dan Lapolla (2002 :
147-150) mengemukakan bahwa valensi merupakan banyaknya argumen yang
diikat atau yang dibutuhkan oleh verba. Valensi sintaksis verba adalah jumlah
argumen yang disiratkan secara morfosintaksis yang dibutuhkan verba
tersebut, sedangkan valensi semantis adalah jumlah argumen semantis yang
dapat diambil oleh verba tertentu.
Van Valin Jr. dan La Polla (1999 : 147-150) mengungkapkan valensi
lebih menekankan pada banyaknya argumen yang diambil sebuah verba yang
-
21
menempati fungsi predikator. Valensi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
valensi sintaktis dan valensi semantis. Valensi sintaksis adalah jumlah
argumen yang dibutuhkan oleh verba sebagai predikator (seperti SUBJ dan
OBJ) dan valensi semantis adalah jumlah argumen semantis yang dibutuhkan
oleh verba sebagai predikator (seperti actor dan undergoer). Selanjutnya,
istilah valensi adalah elemen yang berkaitan dengan verba atau kemampuan
sebuah verba yang dapat menghadirkan konstituen lain seperti sebuah klausa.
Valensi juga digunakan untuk mengacu jumlah argumen nominal klausa.
Secara sintaktis argumen dari verba dapat berupa SUBJ, OBJ, OBL dan secara
semantis argumen itu berupa actor dan undergoer yang disebut sebagai peran
umum (macrorole) di samping peran khususnya/thematic roles (Dixon,
2010 : 165). Kedua konsep valensi di atas memiliki konsep dasar yang sama,
yaitu mengaitkan masalah semantik dan sintaktik. Struktur gramatikal dan
struktur argumen merupakan konsep pada tataran sintaktis. Argumen struktur
adalah level sintaktis dan perubahan valensi merupakan operasi argumen
struktur (Manning,1994 : 41).
2.2.6 Kausatif, Resultatif dan Aplikatif
Kausatif adalah sebuah mekanisme penambahan A yang berimplikasi
pada perubahan valensi. Perubahan valensi terjadi tidak hanya sebatas pada
penambahan jumlah argumen saja tetapi juga pada perubahan relasi sintaksis
dari argumen-argumen yang ada sebelumnya (argumen yang ada pada
konstruksi nonkausatif). Dalam konstruksi kausatif diperkenalkan istilah
resultatif yang oleh Shibatani (1976 : 171, Song, 1988 : 257, Cook, 1989 : 138,
-
22
Comrie, 1981 : 158, Letiv, 1995 : 26-31, Dixon, 2012 : 239, Sportiche, 2013 :
335) didefinsikan sebagai kontruksi kausatif yang mengungkapkan hubungan
sebab-akibat yang menghasilkan sesuatu situasi yang lain.
Aplikatif adalah suatu penciptaan OBJ (Trask, 1993). Maksudnya adanya
proses pengedepanan OTL atau OBL yang menjadi OL pada sebuah
konstruksi. Pendapat ini sejalan dengan pendapat yang disampaikan oleh
Palmer (1994) yang mengatakan bahwa aplikatif adalah pemajuan suatu
argumen ke posisi OBJ. Argumen yang menempati fungsi OBJ pada
konstruksi sebelumnya menempati OL (Dixon, 2012 : 294).
2.2.7 Tipologi
Tipologi adalah ilmu tentang kajian tipe bahasa berdasarkan ciri-ciri
struktural yang dimiliki oleh suatu bahasa. Tujuannya adalah untuk
menentukan bertipe “apakah sebuah bahasa atau bahasa X bila diamati dari
strukturnya”. Tipologi sesungguhnya merupakan sebuah fenomena sistem
variasi yang tampak secara luas dan juga menyatakan beraneka dugaan atau
gagasan melalui markah-markah dalam sebuah sistem (Keraf, 1987 : 8-12,
Comrie, 1981: 30, Shopen, 1992 : 96, Dixon, 2010 : 242, Moravcsik, 2013).
2.3 Landasan Teori
Sehubungan dengan judul tulisan ini, ada dua teori yang dimanfaatkan
sebagai landasan pijak penelitian. Teori-teori dimaksud, dipaparkan berikut ini.
2.3.1 Teori Tipologi
Dixon (1994, 2010 : 126) menggagaskan konsep prateoretis S, A dan O. S
merupakan subjek kalimat intransitif, A merupakan agen kalimat transitif, dan O
-
23
adalah objek kalimat transitif (Comrie, 1981, Blake, 1994, Moravsik, 2013 : 1-23).
Dixon menggunakan simbol O untuk P. Dixon, menjelaskan tentang dasar
pemarkahan secara sintaksis dan semantis (syntactically based and semanticaly
based marking) yang pada masing-masing bahasa ditandai dengan kasus ergatif,
absolutif, nominatif dan akusatif. Di samping itu, diketengahkan juga berbagai
fenomena bahasa yang ergatif secara morfologis. Secara umum ada tiga hal
berkaitan dengan pemarkahan S, A, dan O yaitu :
1) S = O (absolute) dibedakan dengan A (ergatif) yang kemudian disebut
bahasa yang memiliki sistem ergatif.
2) S = A (nominatif) yang dibedakan dengan O (akusatif) yang kemudian
disebut sebagai bahasa akusatif.
3) S dan O semuanya berbeda
Menurut Dixon, konsep S, A, O tersebut bisa diberlakukan untuk
mendeskripsikan fenomena gramatikal semua bahasa. Berdasarkan sistem tersebut,
secara semantis A dan S digolongkan sebagai ‘subjek gramatikal‘. Penggolongan
tersebut didasarkan atas kriteria semantis. Pandangan Dixon di atas dapat
dibuktikan secara optimal pada fenomena bahasa-bahasa bertipe akusatif. Pada
bahasa-bahasa yang bertipe akusatif A kalimat transitif dilperlakukan dengan cara
yang sama dengan S kalimat intransitif. Kesamaan perlakuan tersebut dapat
diidentifikasikan melalui pemarkahan kasus, dan urutan konstituen (word order).
Argumen he yang secara semantis berperan agen pada konstruksi transitif (8a)
misalnya menduduki posisi yang sama dengan argumen tunggal he konstruksi
-
24
(8b). Kedua argumen he pada kalimat tersebut sama-sama berkasus nominatif dan
mengendalikan persesuaian dengan bentuk predikator klausa (verba).
8a) He (A) calls me (O/P) Nom. Acc(usative) D/Ia memanggilnya
8b) He (S) goes Nom. verba D/Ia pergi
Kesamaan S sebagai ‘subjek‘ secara semantis juga dapat diidentifikasikan
melalui proses sintaksis seperti perelatifan, pemasifan, dan pengendalian
pelesapan argumen yang berkoreferensi dalam klausa koordinasi dan subordinasi.
Untuk dapat berperilaku dengan cara yang sama dengan S kalimat intransitif,
argumen P dasar harus diturunkan menjadi subjek gramatikal dengan pemasifan.
Pemasifan dilakukan dengan menempatkan P dasar (O dalam konsep Dixon)
pada posisi praverbal mengambil alih posisi A dasar. Pemindahan posisi tersebut
disertai pemarkahan pasif be/been pada predikator. Pemarkah pasif tersebut secara
formal menandai penurunan konstruksi intransitif. A dasar tergeser oleh P
tersebut secara struktural kehilangan peran. Agen dasar yang tergeser dalam
struktur pasif berpindah ke posisi frase ajung (adjunct phrase). Kondisi seperti itu
menyebabkan kehadirannya dalam struktur tidak diperlukan, sehingga umumnya
dilesapkan dari struktur permukaan (contoh 9). Dengan demikian, secara
gramatikal predikator pasif hanya mengikat satu argumen seperti contoh
pemasifan konstruksi (8a) akan menjadi seperti :
9) I was called (by her) Saya dipanggil (olehnya)
-
25
Meski demikian, prediksi Dixon di atas dapat diterapkan untuk bahasa
akusatif, namun konsep S, A, O tersebut tidak dapat diterapkan secara universal
untuk menganalisis struktur sintaksis bahasa-bahasa tertentu. Konsep Dixon
tersebut perlu dicermati berkaitan dengan beberapa hal berikut ini :
1) Penetapan fungsi gramatikal S atas dasar semantis dapat menimbulkan
masalah karena secara semantis, semua bahasa bersifat terbelah. Artinya
semua bahasa memiliki verba takakusatif (TA) yaitu verba dengan subjek yang
berperilaku menyerupai pasien dan verba takergatif, yaitu verba dengan subjek
yang berperilaku menyerupai agen (Blake, 1990, Artawa, 1996, Shopen, 1992 :
98). Keterbelahan secara semantis tersebut dapat diamati pada fenomena
subjek yang berperilaku menyerupai agen (contoh 10a) dan kelompok lainnya
berperilaku menyerupai pasien (kalimat 10b). Pada data bahasa Guarani
berikut, S yang berperilaku menyerupai A, dan S yang berperilaku menyerupai
P dibedakan secara morfologis dan sintaksis. Secara morfologis, S yang
berperilaku menyerupai agen direalisasikan dengan a-, sedangkan S
berperilaku menyerupai pasien direalisasikan dengan o-.
10a) A -xa I go (A- like) Saya pergi
10b) Se -rasi I’m sick (P- like) Saya Sakit
Kesamaan perilaku tersebut dapat secara sintaksis ditunjukkan oleh
perbandingan posisinya dengan argumen yang terdapat pada konstruksi
transitif :
11a) A- gweru aina (I’m bringing them now)
-
26
1st (A) 11b) Se- rereha aina (It will cry me off )
(Mithun, 1991:115)
Keterbelahan secara semantis seperti pada bahasa Guarani di atas
dapat dikatakan memiliki relevansi pada tataran sintaksis. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa dalam kaitannya dengan bahasa Guarani tersebut,
perlu ditegaskan bahwa pemakaian sebagai kategori fungsi gramatikal
mengacu pada argumen tunggal predikator klausa intransitif.
2) Masalah selanjutnya yang perlu ditetapkan dalam kaitannya dengan konsep
Dixon tersebut adalah fungsi O (objek). Hal ini terkait dengan perbedaan
sistem pengoperasian fungsi gramatikal inti yang terdapat pada bahasa-bahasa
tertentu. Pada bahasa yang bertipe ergatif, yaitu bahasa yang tidak mengenal
diatesis aktif-pasif, fungsi O dianggap tidak relevan. Konstruksi transitif
dasar bahasa ergatif memperlakukan O. Contoh berikut diambil dari bahasa
Avar (Blake, 1994 : 122) dan bahasa Bali (Artawa, 1994). Pada bahasa Avar
S dan P tidak bermarkah kasus tetapi diacusilang pada verba (cross-
referenced on verb), sedangkan A bermarkah ergatif, tetapi tidak diacusilang
dengan pronomina terikat pada verba (markah acu silang dicetak tebal).
Bahasa Avar dapat dikatakan bertipe E(rgatif)-A(bsolutif) :
12a) W -as (S) w -eker -ula Male -child male -run -pres The child runs
12b) Issu -cca (A) J -as J -acc -ula (male) father -Erg.(A) Fem Fem -praise -pres Father praises her
-
27
Secara umum konstituen P dan S dalam bahasa Bali ditempatkan pada
posisi praverbal berbentuk dasar. Penempatan A pada posisi praverbal
menuntut penambahan prefiks nasal pada verbanya (N-verbal) :
13a) Ia (S) pules Dia tidur 13b) Ia (P) lempang cang Saya memukul dia
13c) Cang (A) ng- Lempang i (N-lempang) Saya memukul Dia (Artawa, 1994)
Berdasarkan perbedaan sistem pengoperasian fungsi gramatikal inti yang
terdapat pada berbagai bahasa tersebut, maka dalam penelitian ini, S ditetapkan
sebagai fungsi yang mengacu pada argumen tunggal predikator kalimat intransitif,
sedangkan A mengacu pada argumen predikator kalimat transitif (Comrie, 1981 :
122).
2.3.2 Teori Relasi Gramatikal
Relasi Gramatikal sesungguhnya sudah dikembangkan oleh Perlmutter
dan Postal pada awal tahun 1970-an. Relasi Gramatikal secara khusus menelaah
tentang studi kasus karena studi ini lebih intens pada Relasi Gramatikal. Teori
Relasi Gramatikal lebih cenderung menggunakan definisi istilah primitif. Konsep
Relasi Gramatikal (Grammatical Relation) ini kemudian lebih ditelaah lebih
mendalam oleh Blake (1994 : 76). Adapun perbedaan istilah yang digunakan oleh
Blake dalam Teori Relasi Gramatikal adalah subjek, objek langsung, yang
secara kolektif dikenal dengan sebutan terms dan oblik seperti lokatif, benefaktif,
dan instrumen. Penyebutan oblik merupakan istilah relasi sintaktis semantik.
Adapun hierarki relasi gramatikal adalah sebagai berikut :
-
28
S OL OTL OBL 1 2 3
Teori ini juga disebut sebagai multistrata, artinya ketergantungan verba
pada relasi strata yang berbeda (semantis). Agen atau Pengalam akan menjadi
subjek, pasien sebagai objek langsung, penerima sebagai objek tidak langsung dan
kaidah lainnya seperti lokatif akan dimasukkan sebagai relasi oblik. Atau dengan
kata lain, Teori Relasi Gramatikal berpendirian bahwa hubungan-hubungan
gramatikal seperti ‘subjek dari, objek langsung dari’, memainkan peranan penting
dalam sintaksis dan merupakan satuan yang tepat untuk deskripsi berbagai aspek
struktur klausa. Teori ini menetapkan beberapa konsep dasar yakni hubungan
gramatikal murni yang mencakup subjek, objek langsung (dierect object) dan
objek tak langsung (indirect object), di samping hubungan gramatikal tak murni
yang mencakup instrumentalis, benefaktif dan lokatif. Hierarki posisi Relasi
Gramatikal dapat diamati pada contoh berikut ini.
14) Eve Gave the apple to Adam 1 2 3
Contoh kalimat ini menggambarkan bahwa 1 adalah subjek (agen), 2
adalah objek langsung (tema), dan 3 adalah objek taklangsung (benefaktif). Oleh
karena itu, hakikat relasi gramatikal dapat dipahami melalui interaksi peran
semantis dan relasi pragmatik. Misalnya, kesubjekan dapat dipahami sebagai
prototipe subjek sebagai interaksi agen dan topik.
Relasi gramatikal dapat dilihat dari dua tataran, yakni tataran primitif dan
tataran derivasi. Pada tataran primitif terdapat hubungan antarargumen yang
masing-masingnya mempunyai fungsi gramatikal S, OL dan OTL. Fungsi S dapat
berperan sebagai A atau P. Pada tataran derivasi, terdapat relasi gramatikal ergatif
-
29
dan absolut. Relasi ergatif-absolut ini dapat dikenali secara morfologis dengan
memperhatikan penanda-penanda khusus. Pada bahasa ergatif morfologis terdapat
morfem-morfem tertentu yang menandai suatu argumen sebagai argumen yang
ergatif atau absolutif. Sementara pada bahasa-bahasa yang tidak mempunyai
penanda morfologis untuk ergatif dan absolutif, keergatifan dapat dilihat pada
hubungan sintaksis yang terdapat di antara kalimat intransitif dan kalimat transitif.
Jika di dalam kalimat tersebut terdapat perlakuan sintaksis yang sama antara Si
dan St, sementara St diperlakukan secara berbeda, dapat dikatakan bahwa bahasa
tersebut mempunyai ciri ergatif secara sintaksis. Untuk dapat mengenali
perlakuan-perlakuan sintaksis terhadap argumen-argumen tersebut, dilakukan
sejumlah tes pelesapan argumen, peninggian subjek, refleksif dan perelatifan.
Beberapa prinsip dasar berupa teori Relasi Gramatikal dapat disajikan berikut.
1) Relasi gramatikal ada di antara teori-teori yang sederhana;
2) Konstituen struktur dalam (S-Strc.) dicirikan tidak hanya dalam istilah-istilah
ciri kategorial dan relasi dominan, tetapi juga dalam hal relasi gramatikal;
3) Sebuah konstituen memiliki lebih dari satu relasi gramatikal dalam satu
waktu;
4) Konstituen dibagi ke dalam dua rangkaian pada tipe-tipe dasar relasi
gramatikal yang mengandung :
(1) terms, dengan relasi gramatikal subjek, objek langsung, dan objek tak
langsung (subjec, direct object, inderect object) ;
(2) bukan terms, meliputi yang bukan relasi gramatikal (hubungan
gramatikal murni ), mencakup instrumental, benefaktif dan lokatif ;
-
30
5) Hierarki konstituen Relasi Gramatikal sebagai berikut :
Subjek > Objek Langsung > Objek Taklangsung > Oblik
S > OL > OTL > oblik, dapat
digambarkan sebagai berikut :
S OL OTL oblik
term ukan term 6) Kaidah-kaidah sintaktik mengizinkan relasi gramatikal dengan konstituen
yang dikarakterisasikan ;
7) Kaidah-kaidah sintaktik dapat mengubah relasi konstituen ;
8) Perubahan relasi gramatikal berarti subjek mengikuti kaidah tersebut.
Relational Annihilation (RAL) yaitu kaidah penghapusan relasi : jika sebuah
FN menganggap sebuah relasi gramatikal sebelumnya dihasilkan oleh FN
ĵ, kemudian FNĵ memberi kasus untuk menghasilkan term relasi gramatikal
yang lain. FN ĵ menjadi chômeur.
9) Ada kaidah dan prinsip-prinsip yang tipikal untuk mengenali chômeur
(chô), untuk mengeluarkan beberapa tipe lain dari konstituen.
Prinsip-prinsip Relasi Gramatikal tersebut diterapkan pada relasi aktif-pasif
dalam bahasa Inggris. Formula dari konstruksi aktif, bentuk pasif diturunkan
melalui kaidah yang mempromosikan, baik OL maupun OTL menjadi berstatus
subjek. Kaidah tersebut dapat diformulasikan sebagai berikut :
OL Subjek OTL
Melalui penerapan kaidah RAL, subjek dasar (underlying subject) dapat
kehilangan fungsi subjeknya dan menjadi sebuah chômeur. Beberapa tipe kaidah
-
31
menunjukkan bahwa konstiuen chômeur akan direalisasikan dengan makna
frase ’oleh‘ (by pharase). Contoh :
15a. Jhon Gave the book to Peter FNί FN ĵ FN κ S OL OTL Jhon memberi buku pada Peter
15b) The book was given to Peter by Jhon FN ĵ FNκ FN ί S OTL Chêmeurs Buku diberikan kepada Peter oleh Jhon
15c) Peter was given the book by Jhon FN κ FNĵ FN ί S OL Chêmeurs Peter diberikan buku oleh Jhon
Teori Gramatikal Relasional bersifat multistrata, ada strata awal dan strata
akhir. Penentuan semantis dilakukan pada strata awal misalnya, pada kalimat
transitif berikut:
16) The crocodile ate the woman Subjek (S) (O) Agen (A) (P) 1 2 Buaya memangsa wanita
The crocodile ‘buaya‘ secara semantik ditentukan sebagai subjek sedangkan the
woman ‘wanita’ sebagai objek. Dari segi peran, subjek disebut agen, dan
objek disebut pasien. Pada strata berikutnya terjadi revaluasi struktur seperti :
17) The woman was eaten by the crocodile 1 Chêmeurs Agen (A) (P) Wanita dimangsa oleh buaya
Pada strata ini penentuan relasi tidak dilakukan secara semantik. Term the
crocodile menjadi chômeur ditandai dengan preposisi by ‘oleh‘. Pada tataran
derivasi terdapat tipe relasi ergatif-absolutif. Relasi gramatikal dalam sebuah
-
32
klausa dikatakan berciri ergatif jika di dalamnya terdapat kondisi berikut : agen
verba transitif ditandai secara berbeda dari subjek verba intransitif dan pasien
verba transitif. Perbedaan tersebut dapat dinyatakan dengan (1) bentuk penanda
kasus, seperti pada bahasa Walpiri, (2) adopsi, seperti pada bahasa Tongan, dan (3)
pengacu-silang (cross-referencing) seperti pada bahasa Avar. Pada umumnya
pasien dari verba transitif dan verba intransitif berpenanda sama. Blake (1990 :
145) memberikan contoh kalimat-kalimat bahasa Avar untuk menunjukkan
kondisi tersebut.
18) Hama b- -ac? -ila Ass It come Future The assisten will come Pembantu akan datang
19) Ebel -aλ Hama b -ac? -ula mother Erg Ass it it come pres Mother leads the assisten Ibu membimbing pembantu
20) Ebel y- es -ar -ula Mother she sew Imperf. pres Mothes sews Ibu menjahit
Dengan sebuah verba transitif genetif (kalimat 19) ditandai dengan –aλ,
sedangkan P tidak ditandai seperti halnya subjek intransitif. Selain itu, pasien
verba transitif pada kalimat (19) mempunyai pengacu-silang b-, seperti subjek
intransitif, sedangkan agen tidak mempunyai pengacu-silang. Jadi, dalam bahasa
Avar subjek intransitif dan pasien verba transitif diperlakukan sama dengan
memberinya pengacu silang b-, sedangkan agen verba transitif berpenanda ergatif
–aλ. Jika digambarkan dengan bagan akan terlihat sebagai berikut:
Bagan ergatif : S
-
33
A O / P
Dalam bahasa ergatif, subjek mempunyai penanda relasi. Subjek
mencakup agen verba transitif dan subjek intransitif. Relasi dapat diketahui
melalui penanda kasus dan kesesuaian antara pasien verba transitif dan subjek
verba intransitif. Subjek dalam bahasa akusatif dapat digambarkan sebagai
berikut :
Bahasa kusatif S
A O / P
Relasi Gramatikal memperlakukan relasi gramatikal inti (S - OL - OTL)
dengan menempatkannya pada dua relasi derivasi yaitu relasi ergatif dan relasi
absolutif. Relasi ergatif menutup argumen yang berinisial 1 dalam sebuah strata
transitif. Relasi absolutif menutup argumen berinisial P dalam strata transitif plus
relasi gramatikal tak murni argumen 1 atau 2 dari strata intransitif. Dalam bahasa
akusatif relasi seperti ini adalah subjek yang disembunyikan dengan verba tak
tentu dan sering menjadi sasaran kaidah kontrol. Dalam bahasa ergatif relasi
ini adalah relasi absolutif yang tetap samar.
Untuk menunjukkan kaidah dasar pada relasi ergatif dan absolut
digunakan kalimat-kalimat bahasa Australia, Kalkatungu berikut ini sebagai
contoh (Blake, 1990 : 146).
21) Nya Nga
-thu kalpin thun -nyin
Saw I -Erg. man run -part I saw the man running Saya melihat seorang laki-laki lari
-
34
Kalimat (21) memperlihatkan bahwa klausa berakhir pada strata intransitif kalpin
thun- nyin ‘ orang laki-laki lari.
22) Nyini kuntu yakpiyi kanimayinytyr -thu sparta -nyin You Not listen Policeman Erg Scold -part You don’t listen (when being) by policeman Kamu tidak mendengar polisi memarahi
Klausa berakhir pada strata transitif kanimayinytyrthu sparta-nyin
‘polisi memarahi’. Kalimat-kalimat tersebut (21 dan 22) menujukkan
keikutsertaan klausa-klausa dalam membentuk kalimat. Klausa utama harus
absolutif. Jika klausa utama berada dalam strata transitif, klausa tersebut harus
dijadikan intransitif sehingga klausa utama akan menjadi absolut.
Pada kalimat berikut terdapat pemunduran 2 menjadi 3 (2-3 retrect)
akibat pemberian sufiks -yi pada verba. Sufiks -yi ini memberi penanda
datif pada pasien.
23) Nga -thu nanya marapi pilapila -a watinti -yi -tyin I -Erg. Saw Woman baby -Dat carry detr. -part I saw the woman carrying a baby Saya melihat wanita itu membawa bayi
Pada kalimat (23) tersebut argumen pilpila-a ‘bayi’ yang berinisial 2 pada
klausa marapi pilapila-a watinti-yi-tyin mundur menjadi argumen berinisial 3.
Jika klausa partisipan utama berinisial 3 atau oblik, maka klausa tersebut
dikedepankan sehingga menjadi absolut. Misalnya, dalam kalimat berikut :
24) Tyaa yurru arrakunaan -aati -nga -thu nhitha -nytyam -tyin maa This Man angry become I Erg steal -advan -part food This man got wild because I stole his food (robbed of this food by me) Orang laki-laki ini menjadi marah karena saya menucuri makanannya
(dirampas makannya oleh saya)
-
35
Pada contoh ini argumen yurru ‘laki-laki‘ yang berinisial 3 diletakkan ke
status cho; -nytyama- menandai pemajuan 3 menjadi 2 tersebut. Kalimat (24)
tersebut dapat dipilah menjadi klausa-klausa 25a dan b sebagai berikut :
25a) Nga -thu nhith -mi maa Yurr -ku I Erg. Steal -fut food Man Dat. I will steal the food of the man Saya akan mencuri makanan orang laki-laki itu
Klausa (25a) adalah klausa transitif dengan penanda argumen datif -ku.
25b) Nga -thu nhithta -nytama -mi yurru maa I Erg. steal advan. fut Man food I will rob the man of ( his ) food Saya akan merampas makanan orang laki-laki itu
Klausa (25b) menunjukkan pengedepanan 3 menjadi 2 yang ditandai
dengan -nytama. Secara permukaan, kenyataan menunjukkan bahwa absolutif
sering berperilaku seperti subjek. Absolutif ini dapat dianggap subjek tertentu dan
mengizinkan untuk menjadi agen verba transitif (dalam bahasa akusatif), dan
menjadi pasien dari verba transitif dalam bahasa ergatif. Jadi absolutif pada
bahasa ergatif (yang berperilaku sebagai pasien) dalam bahasa akusatif dapat
menjadi subjek verba transitif.
Analisis ‘pasien sebagai berinisial subjek’ ini mempunyai beberapa
konsekuensi. Perubahan nilai pada derivasi seperti 2 menjadi 3 dan antipasif
diinterpretasikan sebagai pasif. Dalam kenyataan, istilah antipasif mengizinkan
sebuah argumen agen masuk ke dalam relasi gramatikal yang khusus, persis
seperti pasif mengizinkan pasien masuk dalam relasi khusus dalam bahasa
akusatif.
Analisis ‘pasien sebagai subjek sintaksis‘ bahasa ergatif menjadi sebuah
kesulitan seperti beberapa usaha untuk menyamakan absolutif dengan subjek.
-
36
Pada kenyataannya, bahasa-bahasa mencampuradukkan kaidah subjek/objek
dengan ergatif/absolutif (Blake, 1990 : 148).
2.4 Model Penelitian
Data Penelitian
Teori Relasi Gramatikal
3)Bagaimanakah perilaku gramatikal argumen dan sistem aliansi gramatikal dalam struktur kalimat BLDL?
2)Bagaimanakah mekanisme perubahan valensi verba (penaikan /penurunan) BLDL?
Metode Linguistik Lapangan
Metode Simak
Metode Cakap
1)Bagaimanakah struktur dasar klausa simpleks dan klausa kompleks Bahasa Lamaholot Dialek Lamalera ?
Temuan-Temuan Penelitian
Struktur Klausa dasar dan simpleks BLDL
Mekanisme Penaikan dan Penurunan Valensi Verba
Sistem relasi antarargumen dan Sistem aliansi gramatikal BLDL
Teori Tipologi Bahasa
-
37