oleh lily christine hunga dake 712008027 tugas...

30
i TRADISI CIUM HIDUNG ( STUDI ANTROPOLOGIS TEOLOGIS TERHADAP BUDAYA DI PULAU SABU, NUSA TENGGARA TIMUR ) Oleh LILY CHRISTINE HUNGA DAKE 712008027 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Prasyarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Teologi Program Studi Teologi FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015

Upload: duongdieu

Post on 26-Mar-2019

240 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Oleh LILY CHRISTINE HUNGA DAKE 712008027 TUGAS AKHIRrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12277/2/T1_712008027_Full... · satu budaya di Pulau Sabu yaitu budaya Cium Sabu atau biasa

i

TRADISI CIUM HIDUNG

( STUDI ANTROPOLOGIS – TEOLOGIS TERHADAP BUDAYA DI PULAU SABU,

NUSA TENGGARA TIMUR )

Oleh

LILY CHRISTINE HUNGA DAKE

712008027

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi Guna Memenuhi Sebagian

Dari Prasyarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Teologi

Program Studi Teologi

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2015

Page 2: Oleh LILY CHRISTINE HUNGA DAKE 712008027 TUGAS AKHIRrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12277/2/T1_712008027_Full... · satu budaya di Pulau Sabu yaitu budaya Cium Sabu atau biasa

ii

Page 3: Oleh LILY CHRISTINE HUNGA DAKE 712008027 TUGAS AKHIRrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12277/2/T1_712008027_Full... · satu budaya di Pulau Sabu yaitu budaya Cium Sabu atau biasa

iii

Page 4: Oleh LILY CHRISTINE HUNGA DAKE 712008027 TUGAS AKHIRrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12277/2/T1_712008027_Full... · satu budaya di Pulau Sabu yaitu budaya Cium Sabu atau biasa

iv

Page 5: Oleh LILY CHRISTINE HUNGA DAKE 712008027 TUGAS AKHIRrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12277/2/T1_712008027_Full... · satu budaya di Pulau Sabu yaitu budaya Cium Sabu atau biasa

v

Page 6: Oleh LILY CHRISTINE HUNGA DAKE 712008027 TUGAS AKHIRrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12277/2/T1_712008027_Full... · satu budaya di Pulau Sabu yaitu budaya Cium Sabu atau biasa

vi

Page 7: Oleh LILY CHRISTINE HUNGA DAKE 712008027 TUGAS AKHIRrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12277/2/T1_712008027_Full... · satu budaya di Pulau Sabu yaitu budaya Cium Sabu atau biasa

vii

Page 8: Oleh LILY CHRISTINE HUNGA DAKE 712008027 TUGAS AKHIRrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12277/2/T1_712008027_Full... · satu budaya di Pulau Sabu yaitu budaya Cium Sabu atau biasa

viii

Page 9: Oleh LILY CHRISTINE HUNGA DAKE 712008027 TUGAS AKHIRrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12277/2/T1_712008027_Full... · satu budaya di Pulau Sabu yaitu budaya Cium Sabu atau biasa

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN .......................................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES .................................................... iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ............................................ v

MOTTO .............................................................................................................................. vi

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... vii

DAFTAR ISI ...................................................................................................................... viii

ABSTRAK ......................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah .................................................................................................... 2

Rumusan Masalah .............................................................................................................. 3

Tujuan Penelitian ............................................................................................................... 3

Signifikansi atau Manfaat Penelitian ................................................................................. 3

Metode Penelitian .............................................................................................................. 4

Sistematika Penulisan ........................................................................................................ 4

GEREJA DAN KEBUDAYAAN

Gereja ................................................................................................................................. 5

Kebudayaan ........................................................................................................................ 7

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Tempat Penelitian ................................................................................. 9

Pemahaman masyarakat suku sabu terhadap tradisi cium hidung ..................................... 11

PENUTUP

Kesimpulan ........................................................................................................................ 18

Saran .................................................................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 20

Page 10: Oleh LILY CHRISTINE HUNGA DAKE 712008027 TUGAS AKHIRrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12277/2/T1_712008027_Full... · satu budaya di Pulau Sabu yaitu budaya Cium Sabu atau biasa

1

LILY CHRISTINE HUNGA DAKE

712008027

TRADISI CIUM HIDUNG

(Studi Antropologis - Teologis terhadap budaya di Pulau Sabu,

Nusa Tenggara Timur)

Abstrak

Cium Hidung atau Henge’dho dilakukan dalam setiap pertemuan keagamaan, ritual kematian, perdamaian

peperangan dan pertemuan adat suku sabu. Tujuannya agar terjalin hubungan kekerabatan yang baik dengan

semua orang. Dalam tulisan ini persoalan yang akan disoroti ialah bagaimana pemahaman tradisi cium hidung

bagi masyarakat Pulau Sabu. Berdasarkan kajian Antropologis – Teologis, maka tulisan ini menunjukan bahwa

Henge’dho bagi orang sabu yang dilakukan dengan cara dua orang yang saling berjabat tangan dan saling

menyentuhkan hidungnya ini adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup secara psikis maupun fisik yakni

mendapatkan rasa aman, nyaman bahkan terhindar dari seluruh bahaya yang mengancam. Dengan demikian

kehidupan mereka menjadi terarah juga relasi yang dibangun baik antar manusia dan Sang Pencipta. Henge’dho

dipahami sebagai suatu hasil dan cermin perilaku masyarakat pada suatu tempat, zaman dan waktu tertentu.

Dapat diartikan bahwa di dalam budaya suku orang sabu terdapat suatu upaya pelestarian agar bertahan hingga

ke masa yang akan datang. Ini disebut sebagai transformasi budaya sebab ia bekerja dalam alam pikir manusia

dan sulit dilihat atau diraba tetapi ia tampak dalam tindakan-tindakan yang terkadang tidak logis sekalipun.

Sikap perpaduan dimana Kristus di atas kebudayaan menunjukan hubungan timbal balik antara Gereja dengan

Kebudayaan. Sebab pada dasarnya masyarakat suku sabu memiliki pemahaman bahwa sebelum kekristenan

hadir di pulau sabu, mereka percaya kepada nenek moyang mereka yang telah lebih dulu melakukan tradisi ini

hingga melahirkan suatu budaya yang baik yang terjaga secara turun temurun hingga saat ini, yang mampu

membuat hidup mereka bersatu dengan memegang satu ikatan dasar yaitu saling mengasihi. Seluruh aktivis

Gereja juga terlibat yaitu setiap selesai melakukan pelayanan disetiap tempat selalu diakhiri dengan bejabat

tangan dan ciuman hidung, ini menjadi salah satu bentuk ungkapan penerimaan, rasa hormat, empati dan juga

kasih sayang bagi jemaat yang dilayaninya. Ini yang menjadi bentuk dari sikap perpaduan, Kristus di atas

kebudayaan.

Kata kunci : Cium Hidung, Kristus, Gereja dan Kebudayaan

Page 11: Oleh LILY CHRISTINE HUNGA DAKE 712008027 TUGAS AKHIRrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12277/2/T1_712008027_Full... · satu budaya di Pulau Sabu yaitu budaya Cium Sabu atau biasa

2

I. PENDAHULUAN

Negara Indonesia merupakan negara majemuk. Dikatakan negara yang majemuk

karena negara Indonesia memiliki keberagaman kebudayaan yang terbentang dari Sabang

sampai Marauke. Kemajemukan budaya yang ada ini membuat setiap daerah di Indonesia

memiliki ciri khasnya. Kehidupan suku-suku serta keberagaman kebudayaannya yang ada di

Indonesia ini sudah bertumbuh sejak keberadaan nenek moyang hingga sekarang ini.1

Kebudayaan ini pula bukan baru ada ketika Indonesia sudah menjadi negara, namun

jauh ada ketika setiap daerah belum bergabung dengan negara Indonesia. Dengan kata lain,

setiap daerah atau suku bangsa di negara Indonesia memiliki kebudayaan aslinya sebelum

menjadi bagian dari Negara Indonesia. Dengan keberagaman budaya yang di miliki membuat

setiap daerah dalam negara Indonesia memiliki keunikan tersendiri.

Berbicara mengenai kebudayaan sudah tentu bahwa kebudayaan itu sangat lekat

dengan masyarakat.

Edward Burnett Tylor mengemukakan, kebudayaan merupakan keseluruhan yang

kompleks, yang di dalamnya mengandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian,

moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang di dapat

seseorang sebagai anggota masyarakat. Menurut Selo Soemardjan dan Soileman

Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa dan hasil cipta masyarakat.

Kebudayaan terdiri dari beberapa unsur, seperti system masyarakat, bahasa, seni,

teknologi, religi, ekonomi, dan ilmu pengatahuan.2

Kebudayaan yang beranekaragam ini juga terdapat di Provinsi bagian Timur Negara

Indonesia, yakni Provinsi NTT (Nusa Tenggara Timur). NTT adalah sebuah provinsi

Indonesia yang terletak di tenggara Indonesia. Provinsi ini terdiri dari beberapa pulau, antara

lain Flores, Sumba, Timor, Rote, Sabu, Adonara, Solor dan Komodo. Ibukota NTT sendiri

terletak di Kupang, Timor Barat. Sementara bagian timur pulau tersebut adalah bekas

provinsi Indonesia yang ke-27, yaitu Timor Timur yang merdeka menjadi negara Timor Leste

pada tahun 2002. Kebudayaan - kebudayaan yang ada terlahir bersamaan dengan adanya

daerah tersebut menjadi satu kesatuan sistem budaya yang memiliki karakter dan ciri khas

yang sesuai dengan daerah tersebut.3

1 F. Ukur dan F. L. Cooley, Jerih dan Juang (Jakarta: Lembaga Penelitian Dan Studi-Studi, 1979), 28. 2Widiarto Tri, Pengantar Antropologi Budaya (Widya Sari Salatiga, 2007), 10.

3Wikimedia Project, „Wikipedia Ensiklopedia Bebas: Nusa Tenggara Timur‟, dalam

http://id.wikipedia.org/wiki/Nusa_Tenggara_Timur.. diunduh Tanggal 20 Juli 2015, Pukul 20.00 WIB.

Page 12: Oleh LILY CHRISTINE HUNGA DAKE 712008027 TUGAS AKHIRrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12277/2/T1_712008027_Full... · satu budaya di Pulau Sabu yaitu budaya Cium Sabu atau biasa

3

Begitu juga dengan kebudayaan yang ada di Pulau Sabu, Pulau ini selain disebut

pulau Sabu, juga disebut sebagai pulau Sawu, Sedangkan penduduk setempat menyebut pulau

ini dengan Rai Hawu (Pulau Hawu). Kebudayaan yang ada di dunia orang Sawu melingkupi

pandangan dan konsep – konsep mereka mengenai kepelbagian dan kebanyaksegian dunia

fisik, hidupnya (termaksud aktivitas dan hasil aktivitas itu), lingkungan sosial serta dunia gaib

sebagai suatu keteraturan yang lengkap.4 Hal ini sudah menjadi turun-temurun dari nenek

moyang mereka, Sehingga warisan ini dijaga dengan sebaik mungkin dan diturun alihkan

kepada generasi selanjutnya, agar tidak hilang. karena kebudayaan yang ada di pulau ini,

merupakan jati diri bagi suku mereka sendiri.

Pulau sabu memiliki berbagai macam budaya yang sejak dahulu sudah ada dan

sampai sekarang masih tetap dilestarikan, bahkan budaya tersebut masih dipercaya dan

diberlakukan di dalam kehidupan masyarakat dalam bentuk upacara dan sebagainya. Salah

satu budaya di Pulau Sabu yaitu budaya Cium Sabu atau biasa di sebut dengan Cium Hidung

di mana tradisi ini biasa dilakukan dengan cara mencium dengan hidung di dalam setiap

pertemuan, entah itu di dalam pertemuan keagamaan di Gereja atau ibadah - ibadah, dalam

ritual kematian atapun di dalam ritual pernikahan yang ada dalam suku sabu. hal ini

dimaksudkan agar terjalin hubungan kekerabatan yang baik dengan semua orang, Sebab itu

sebagai ungkapan rasa rindu, sayang, empati kepada orang yang dianggap berhak

mendapatkan itu. Dengan latar belakang pemikiran di atas mendorong penulis untuk

mengadakan sebuah penelitian tentang : Tradisi Cium Hidung (Studi Antropologis - Teologis

Terhadap Budaya Di Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur )

Pertanyaan sentral yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana pemahaman

tradisi cium hidung bagi masyarakat Pulau Sabu ? Tujuannya, untuk mendiskripsikan

pemahaman tradisi cium hidung bagi masyarakat Pulau Sabu. Adapun manfaat dari penelitian

ini adalah secara teoritis guna untuk memberikan kontribusi bagi Fakultas Teologi dalam

pengembangan keilmuan khususnya bagi Mata Kuliah Agama dan Budaya. Dan juga

memberikan sumbangan informasi atau pengetahuan tentang tradisi cium hidung serta

referensi bagi mahasiswa yang melakukan penelitian dalam bidang antropologi. Kedua,

secara praktis memberikan informasi pada masyarakat luas tentang tradisi cium hidung yang

ada dalam kehidupan masyarakat pulau sabu.

4Nico L. Kana, Dunia Orang Sabu (Jakarta: Sinar Harapan, Anggota IKAPI 1983), 11.

Page 13: Oleh LILY CHRISTINE HUNGA DAKE 712008027 TUGAS AKHIRrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12277/2/T1_712008027_Full... · satu budaya di Pulau Sabu yaitu budaya Cium Sabu atau biasa

4

Metode Penelitian

Jenis penalitian yang dugunakan adalah jenis pendekatan Kualitatif. Untuk menjawab

rumusan masalah serta tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, maka penelitian ini

bersifat kualitatif dan metode penelitian yang dipakai adalah jenis Deskritif - analitis. Jenis

penelitian ini diarahkan untuk menggambarkan situasi, gejala, kelompok atau objek

penelitian secara menyeluruh sehingga dapat melakukan analisis yang mendalam guna

memperoleh jawaban yang dapat menjawab permasalahan.5 Penelitian ini bersifat deskritif

dengan maksud untuk menggambarkan, menggali, dan memahami tentang tradisi cium

hidung di pulau sabu.

Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan bahan atau data melalui kepustakaan dari

berbagai buku dan jurnal. Selain itu kepustakaan ini bermanfaat pula untuk menyusun

landasan teoritis yang akan menjadi tolak ukur dalam menganalisa data penelitian lapangan

guna menjawab persoalan pada rumusan masalah penelitian.

Teknik ini menggunakan data primer yang dihimpun lewat wawancara dan observasi.

Wawancara adalah bentuk observasi langsung antara peneliti dan responden. Komunikasi

berlangsung dalam bentuk tanya-jawab dalam hubungan tatap muka, sehingga gerak dan

mimik responden merupakan pola media yang melengkapi kata-kata secara verbal.6

Observasi atau pengamatan adalah metode pengumpulan data dimana peneliti mencatat

informasi sebagaimana yang mereka saksikan selama penelitian. Dalam penelitian ini yang

menjadi sasaran untuk mendapatkan informasi tentang tradisi cium hidung ini adalah

masyarakat Pulau Sabu, dan Penelitian ini berlangsung di Pulau Sabu.

Sistematika Penulisan

Penulisan tugas akhir ini mendiskripsikan dalam empat bagian yaitu yang pertama

berisi tentang garis besar latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penelitian yang digunakan. Pada

bagian kedua berisi tentang teori – teori yang akan digunakan untuk mengkaji dan

menganalisa yang diperoleh dari pendapat dan kajian pustaka yang mendukung penelitian.

Bagian ketiga, berisi tentang hasil penelitian dan analisa mengenai pembahasan garis besar

gambaran tradisi cium hidung dan pemahaman tradisi cium hidung bagi orang sabu. Pada

bagian empat, Berisi tentang penutupan meliputi kesimpulan dan saran.

5 Koentjaranigrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta : Gramedia, 1980), 30-37.

6 Gulo W, Metode penelitian (PT Grasindo, 2002), 119.

Page 14: Oleh LILY CHRISTINE HUNGA DAKE 712008027 TUGAS AKHIRrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12277/2/T1_712008027_Full... · satu budaya di Pulau Sabu yaitu budaya Cium Sabu atau biasa

5

II. GEREJA DAN KEBUDAYAAN

Gereja

Istilah gereja yang dipakai dewasa ini diambil dari bahasa Portugis Igreja7 yang

diterjemahkan dari Alkitab Perjanjian Baru Ekklesia (Yunani) dan dalam Perjanjian Lama

Qahal (Ibrani) kata ini menunjukan pada persekutuan umat yang dipanggil Allah. Pengertian

Qahal dipakai pada ritus-ritus keagamaan dalam tradisi Israel. Istilah-istilah tersebut

mempunyai pengertian dan maksud yang dihimpunkan. Gereja sering juga dimengerti

sebagai tempat beribadah umat Kristen. Tapi sebenarnya Gereja bukan sekedar gedung

melainkan orang-orang yang bersekutu di dalam satu persekutuan dengan Tuhan.8 Calvin

menarik suatu perbedaan yang penting antara Gereja yang kelihatan dan yang tidak tidak

kelihatan. Pada suatu tahap, Gereja adalah perkumpulan dari orang-orang percaya, suatu

kelompok yang kelihatan. Namun, Gereja juga adalah persekutuan dari orang-orang kudus

dan persatuan dari orang-orang terpilih atau suatu kesatuan yang tidak kelihatan. Dalam

aspek ketidak kelihatannya, Gereja adalah perhimpunan dan orang terpilih, yang hanya

diketahui Allah; dalam aspek kelihatannya, Gereja adalah persekutuan orang-orang percaya

di bumi.9

Selaku wujud eksistensial umat Kristen, gereja mempunyai hakikat yang unik sebagai

berikut : 10

Pertama, gereja itu dari Tuhan asalnya. Gereja bukan suatu lembaga buatan manusia,

sungguhpun manusia dipercaya menyelenggarakannya. Selama orang Kristen setia beriman

kepada Tuhan maka gereja akan tetap hadir didalam dunia, sebagaimana janji Tuhan sendiri

(Matius 16:18). Dan karena asalnya itu maka prinsip-prinsip dan norma-norma yang berlaku

didalamnya berasal dari Tuhan sendiri. Kekuasan tertinggi didalam gereja ada pada Kristus

(Kristokrasi), yang memerintah gereja dengan Firman dan Roh-Nya. Para pemimpin atau

pejabat di dalam gereja yang bekerja dalam berbagai pola struktur organisasi tidak lebih dari

pelaksana saja, yang sepenuhnya tunduk pada norma-norma yang diungkapkan dalam Kitab

Suci.

Kedua, gereja berada di dalam dan diutus kedalam dunia.Sungguhpun gereja tidak berasal

dari dunia ini, gereja tidak bisa terhubung dengan dunia dalam fungsi yang ditetapkan Tuhan,

yaitu menjadi garam atau terang dunia (Matius 5:14-16). Namun, sekalipun diutus ke dan

7 Tom Jacobs SJ, Gereja Menurut Perjanjian Baru (Kanisius: Yogyakarta, 1988), 55-154.

8 Ibid., 158.

9 Alister E, McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi (BPK Gunung Mulia: Jakarta, 1997),

248-249. 10

Radius Prawiro, Pembinaan Gerejawi di Tengah Masyarakat (Pustaka Sinar Harapan, 1998), 10-11.

Page 15: Oleh LILY CHRISTINE HUNGA DAKE 712008027 TUGAS AKHIRrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12277/2/T1_712008027_Full... · satu budaya di Pulau Sabu yaitu budaya Cium Sabu atau biasa

6

ditempatkan kedalam dunia, gereja tidak selalu disambut dengan ramah-tamah. Dunia

membenci gereja sebagaimana dunia menolak Tuhan Yesus (Yohanes 15). Gereja diutus

selaku domba diantara serigala (Lukas 10:3). Tetapi penolakan atau kebencian kepada gereja

sering pula karena kesalahan gereja sendiri dalam cara gereja menampilkan diri dan

kesaksiannya ditengah-tengah dunia.

Ketiga, panggilan gereja di dalam dan terhadap dunia adalah menjadi saksi Injil Kristus.

Pemahaman dan praktik mengenai pekabaran injil Kristus ini dijalankan gereja dalam

berbagai-bagai dimensinya.Yang paling lama dominan adalah paham dan praktik pekabaran

Injil sebagai pengkristenan. Tetapi dewasa ini pemahaman dan praktik pekabaran Injil telah

banyak bergeser kearah kesaksian sebagai pelayanan sosial-kemanusian dan melalui bentuk-

bentuk dialog dengan penganut agama-agama lain. Juga pemberitaan Injil bukan lagi

ditekankan pada soal keselamatan jiwa secara pribadi saja, melainkan pelayanan yang utuh

atas seluruh ciptaan. Visi dasar panggilan gereja mengenai pekabaran Injil Kristus dewasa ini

bersangkut paut dengan perjuangan untuk mewujudkan keadilan, perdamaian, dan keutuhan

ciptaan.

Gereja perlu meletakkan landasan panggilannya diatas kasih Kristus tanpa membatasi

diri sebab Gereja hadir bukan untuk kepentingan sendiri, melainkan demi kepentingan karya

Allah. Jadi Gereja mempunyai tanggung jawab untuk mentransformasikan nilai-nilai yang

baik untuk mewujudkan cinta kasih kita kepada Allah maupun sesama, sekaligus merupakan

wujud terima kasih kita akan kebaikan Allah yang lebih dahulu sudah mengasihi kita.11

Kebudayaan

Secara etimologis kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah merupakan

bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan

dapat diartikan: “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”.12

Berbicara mengenai kebudayaan

berarti kebudayaan itu tidak terlepas dari masyarakat, karena masyarakat adalah bagian dari

kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan timbul ketika makhluk-mahluk yang hidup di zaman

dahulu kala mulai berjuang melawan alam untuk mempertahankan hidup dan menambah

jumlah jenisnya dengan perkembang biakan.13

Kebudayaan menurut Edward B. Taylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang

kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,

11

JB. Banawiratma SJ, Gereja dan Masyarakat (Panitia Misa Syukur Pesta Emas Republik Indonesia,

1995), 94. 12

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Aksara Baru: Jakarta, 1986), 181. 13

Mahjunir, Mengenal Pokok-Pokok Antropologi dan Kebudayaan (Bhratara Jakarta, 1967), 49.

Page 16: Oleh LILY CHRISTINE HUNGA DAKE 712008027 TUGAS AKHIRrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12277/2/T1_712008027_Full... · satu budaya di Pulau Sabu yaitu budaya Cium Sabu atau biasa

7

adat-istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota

msayarakat. Melville J. Herzkovist dan Bronislaw Malinowski juga menegaskan bahwa

kebudayaan sebagai cultural determinism, artinya bahwa segala sesuatu yang terdapat

didalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu. 14

Kebudayaan dipandang sebagai sesuatu yang superorganik, karena kebudayaan

berlangsung secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Meskipun orang-orang yang

menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti karena faktor kelahiran dan kematian

tetapi nilai-nilai budaya yang masih relevan tetap dipertahankan.15

Kebudayaan yang akan

lebih di tonjolkan di dalam tulisan ini adalah Kebudayaan Adat, yang di mana seperti yang

kita tahu bahwa manusia adalah makhluk yang berbudaya dan hampir semua hal yang

menyangkut tingkah laku manusia ditentukan oleh budaya. Tidak dapat dipungkiri bahwa

antara manusia dan kebudayaan tidak dapat dipisah-pisahkan.16

Dalam rangka berbudaya, manusia tidak berada sendiri, tetapi berada bersama

manusia lainnya. Dalam berada bersama manusia membentuk masyarakat, sehingga

masyarakat merupakan pokok budaya manusia. Tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan

begitu pula tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat. Suatu kebudayaan tidak akan bertahan

apabila kebudayaan tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan daripada anggota-anggota

masyarakatnya. Apabila kebudayaan dapat memenuhi kebutuhan anggota masyarakat, maka

kebudayaan itu akan berfungsi dan ia akan selalu diperlukan dalam setiap anggota

masyarakat. Hingga beberapa jauh suatu kebudayaan dapat memenuhi kebutuhan anggota-

anggotanya. Hal ini hanya dapat diukur daripada nilai-nilai kebudayaan itu sendiri yaitu

dapat memenuhi segala kebutuhan anggotanya.17

Kebudayaan sangat bermakna bagi kehidupan manusia karena sifatnya yang mengikat

komunitas hidup bersama dalam masyarakat dan hidup sebagai satu kesatuan komunitas.

Setiap komunitas masyarakat mempunyai kebudayaan dan dengan bentuk-bentuk dan nilai-

nilai adat yang dianggap sakral. walaupun setiap masyarakat mempunyai kebudayaan yang

masing-masing berbeda satu dengan yang lainnya, namun setiap kebudayaan mempunyai

sifat hakekat dari kebudayaan tadi. Untuk itu, seperti yang sudah di katakan pada paragraf

sebelumnya bahwa kebudayaan adat merupakan salah satu wujud dari kebudayaan yang

14

Samuel Patty, Diktat Agama dan Kebudayaan (UKSW: Salatiga, 2004), 34. 15

Tri Widiarto dkk, Dasar-dasar Antropologi Budaya (Salatiga: FKIP, UKSW. 2000), 54-55. 16

Ibid., 33. 17

Samuel Patty, Diktat Agama dan Kebudayaan (UKSW: Salatiga, 2004), 41.

Page 17: Oleh LILY CHRISTINE HUNGA DAKE 712008027 TUGAS AKHIRrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12277/2/T1_712008027_Full... · satu budaya di Pulau Sabu yaitu budaya Cium Sabu atau biasa

8

biasanya berfungsi sebagai tata laku yang mengatur, mengendalikan, dan memberikan arah

kepada sikap hidup dan perbuatan manusia dalam masyarakat.18

Adapun beberapa pembagian kebudayaan yang lihat dari sisi kebudayaan adat. Yaitu

dibagi dalam 4 (empat) tingkat antara lain :

1. Lapisan yang paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Tingkat ini adalah ide –

ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan

masyarakat. Tingkat ini dapat kita sebut nilai budaya.

2. Tingkat adat yang lebih konkret adalah system norma. Norma-norma itu adalah

nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan-peranan tertentu dari

manusia dalam masyarakat.

3. Sistem hukum (hukum adat maupun tertulis)

4. Aturan-aturan khusus, yang mengatur aktivitas-aktivitas yang amat jelas dan

terbatas ruang lingkupnya dalam kehidupan masyarakat.19

Dalam pendekataan Gereja, peneliti memakai Teori oleh Reichard Neibhur yang

mengatakan bahwa bahaya yang paling besar mengancam gereja bukanlah berasal dari luar,

melainkan dari dalam gereja sendiri, yaitu bahwa Gereja menyesuaikan diri dengan struktu-

struktur kemasyarakatan yang ada. Di dalam bukunya ia mengungkapkan 5 (lima) pola sikap

Gereja terhadap kebudayaan. Seperti yang telah terjadi dalam sejarah, yaitu :

a. Sikap Radikal : Kristus menentang kebudayaan

b. Sikap Akomodasi : Kristus milik kebudayaan

c. Sikap Perpaduan : Kristus di atas kebudayaan

d. Sikap Dualis : Kristus dan kebudayaan dalam paradoks

e. Sikap Transformatif : Kristus memperbaharui Kebudayaan

Dalam kelima sikap yang diatas dapat dirangkum dalam dua sikap besar, yaitu konfirmasi

(pembenaran) dan konfrontasi (pengecaman). 20

Sedangkan, Dr. W. B Sidjabat memandang adat dari sudut sosiologi, mengatakan ada

3 (tiga) tingkatan atau matra (dimensi) pada adat, yaitu:21

1. Hukum adat, yaitu bagian adat yang paling formil dan tersusun. Di dalam hukum

adat terdapat segi Yuridis. Dengan perkataan lain, adat mempunyai sifat hukum,

18

Koentjaraningrat, Kebudayaan dan Mentalitas Pembangunan (Jakarta: 1994), 5. 19

Ibid., 11-12. 20

Reichard Niebuhr, Christ and cultur (New York : Harper & Brothers, 1951), 6. 21

R.MS Gultom, Agama dan Adat : Suatu Pemikiran Tentang ” kehidupan beragama sekaligus

beradat” (Jakarta: Proyek Penerangan, Bimbingan dan Da‟wah/Khotbah agama Kristen Protestan, Dep. Agama

R.I), 13.

Page 18: Oleh LILY CHRISTINE HUNGA DAKE 712008027 TUGAS AKHIRrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12277/2/T1_712008027_Full... · satu budaya di Pulau Sabu yaitu budaya Cium Sabu atau biasa

9

itulah yang dinamakan hukum adat. Fungsi hukum adat ialah mengatur hubungan,

memimpin dan mengontrol kelakuan dari pada orang-orang di dalam masyarakat.

Dari dulu hingga kini, hukum adat merupakan jenis kontrol sosial yang penting

dalam masyarakat.

2. Adat atau istiadat, yaitu segala keharusan untuk melakukan diri dengan cara-cara

tertentu yang berlaku bagi semua anggota masyarakat. Adat bersifat sakral dan

membawa sanksi - sanksi yang sama berat seperti hukum adat apabila dilanggar,

hanya pengenaan sanksi-sanksi itu lebih formil dibandingkan dengan pelaksanaan

sanksi atas pelanggaran hukum.

3. Adat-kebiasaan, yaitu adat yang ditinjau dari pelaksanaan sanksi lebih ringan,

tetapi merupakan bagian adat yang paling luas. Bagian ini disebut ‟manners and

customs‟ yang memberi gaya yang khas kepada cara hidup suatu masyarakat.

Page 19: Oleh LILY CHRISTINE HUNGA DAKE 712008027 TUGAS AKHIRrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12277/2/T1_712008027_Full... · satu budaya di Pulau Sabu yaitu budaya Cium Sabu atau biasa

10

III. TRADIS CIUM HIDUNG MASYARAKAT PULAU SABU

Pada bagian ini, penulis akan memaparkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap 7 (tujuh) informan seperti orang Sabu penganut jingitiu yang dituakan (tokoh adat),

orang Sabu yang melakukan tradisi tersebut, Pendeta dan majelis yang berasal dari pulau

Sabu (data primer) serta data sekunder dari beberapa buku sebagai bahan acuan. Pembahasan

pada bagian yang diatur menajadi gambaran umum lokasi penelitian dan Tradis Cium Hidung

pulau Sabu.

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Sawu adalah nama sebuah pulau yang terletak di sebelah selatan perairan Laut

Sawu, di sebelah timur Pulau Sumba dan sebelah barat Pulau Rote. Secara administratif,

pulau ini termasuk wilayah Kabupaten Sabu Raijua, Provinsi Nusa Tenggara

Timur, Indonesia. Luasnya adalah 414 km². Pulau ini selain disebut pulau Sawu, juga disebut

sebagai pulau Sabu. Sedangkan penduduk setempat menyebut pulau ini dengan Rai Hawu (

Pulau Hawu ). Pulau Sabu berjarak sekitar 445 mil (716,45 km) dari Kabupaten Kupang.

Daerah ini dapat dijangkau melalui pelayaran laut selama lebih kurang 15 – 18 jam dengan

menggunakan kapal fery dan sekitar 45 menit dengan menggunakan pesawat udara. Keadaan

iklim di Pulau Sabu dipengaruhi oleh letaknya yang berdekatan dengan Benua Australia

sehingga pada umumnya memiliki musim kemarau panjang dengan curah hujan yang rendah.

Pulau Sabu secara geografis terletak antara koordinat 100 25‟7,12”LS – 100 49‟45,83”LS dan

1210 16‟10,78”BT – 1220 0‟30,26”BT. Kabupaten Sabu Raijua memiliki kondisi wilayah

dengan topografi bergunung-gunung dan berbukit dengan derajat kemiringan sampai 450.

Permukaan tanah kritis dan gundul sehingga peka terhadap erosi. Topografi yang seperti ini

menimbulkan isolasi fisik, isolasi ekonomi dan isolasi sosial, apalagi oleh kurangnya

dukungan infrastruktur seperti jalan dan jembatan diberbagai kecamatan. Sementara

transportasi kepulau-pulau tertentu seringkali agak mahal karena rendahnya frekuensi sarana

perhubungan kebeberapa pulau, dimana hal tentunya juga mempengaruhi harga barang dan

jasa di kabupaten tersebut. 22

22

Info NTT, ‟Kliping Internet Provinsi NTT, Kabupaten Sabu Raijua‟. dalam

http://infonusatenggaratimur.blogspot.com/2011/02/kabupaten-sabu-raijua.html.. diunduh Tanggal 20 Juli

2015, Pukul 20.20 WIB.

Page 20: Oleh LILY CHRISTINE HUNGA DAKE 712008027 TUGAS AKHIRrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12277/2/T1_712008027_Full... · satu budaya di Pulau Sabu yaitu budaya Cium Sabu atau biasa

11

Sistim Kekerabatan atau Kemasyarakatan

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat pulau Sabu hidup dalam kekerabatan

keluarga (Ayah, ibu dan anak) disebut Hewue dara ammu. 23

Sedangkan “Hewue Kabba

‘Gati” artinya sekumpulan keluarga yang terdiri dari beberapa keluarga kecil yang bersatu

dalam membuat upacara-upacara adat dalam keluarga yang difokuskan dalam sebuah rumah

adat. Keluarga tersebut berasal dari turunan satu kakek yang disebut “Hedau Appu”. Dan

“Hewue Kerogo” yang merupakan kumpulan beberapa orang nenek beserta anak, cucu dan

cicitnya. Pemimpin sebuah Kerogo disebut “Kattu Kerogo” yang biasanya dipilih dari yang

tertua di antara mereka. Kumpulan yang paling besar disebut “Hewue Udu” yang dipimpin

oleh “Bangngu Udu”. Keturunan dalam Udu terdiri dari kumpulan beberapa buah Kerogo.24

Tradisi Cium Hidung Dalam Masyarakat Pulau Sabu

Masyarakat pulau sabu memiliki suatu tradisi unik sekaligus sedikit kurang lazim bagi

beberapa orang dan akan terlihat aneh jika dinilai oleh orang dari luar Provinsi NTT atau dari

budaya suku lain. Karena pada umumnya orang Nusa Tenggara Timur kurang lebih sudah

mengetahui makna dari cium hidung ini. Ini bisa dilihat dari jumlah penduduk yang sekitar

30.000 jiwa dengan sifat mobilitas tinggi, sehingga banyak orang sabu yang menyebar ke

seluruh pulau di NTT untuk mencari pekerjaan dan ada pula yang menetap disana.

Seperti yang pernah terjadi di NTT ketika bapak Presiden Jokowi berkunjung ke

Kupang dan di sambut dengan pemberian salam selamat datang oleh seorang ibu dengan cara

cium hidung, dan saat itu juga terlihat sekali bahwa presiden Jokowi sangat kaget dengan

tingkah sang ibu dikarenakan Presiden Jokowi belum mengetahui mengenai tradisi cium sabu

tersebut.25

Akan tetapi sebaliknya bila tradisi cium hidung ini tidak dilaksanakan maka

banyak pihak yang akan tersinggung, terutama keluarga dan kerabat dekat.

Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan terhadap 5 (lima) informan, maka

diketahui bahwa Tradisi cium sabu atau tradisi berciuman dengan saling menyentuhkan

hidung ini adalah sebagai ungkapan rasa rindu, sayang, persaudaraan, empati dan juga

23

Ahmad Kurnia Elqorni, „Indoculture Online: Suku Sabu‟, dalam

http://indoculture.wordpress.com/2008/11/29/suku-sabu/.. diunduh Tanggal 20 Juli 2015, Pukul 20.30 WIB. 24

El Shadday Community, „Anak Panah : Suku Sabu‟, dalam

http://elshaddaicommunity.blogspot.com/2012/05/sekilas-tentang-suku-sabu.html.. diunduh Tanggal 20 Juli

2015, Pukul 20.40 WIB. 25

Joey Seputar NTT, „Presiden Jokowi Terkejut Dapat Cium Sabu di Kupang‟, dalam

http://www.seputar-ntt.com/presiden-jokowi-terkejut-dapat-cium-sabu-di

kupang/?fb_action_ids=994930213872686&fb_action_types=og.comments&fb_source=other_multiline&action

_object_map=[641515425971589]&action_type_map=[%22og.comments%22]&action_ref_map=[].. diunduh

Tanggal 20 Juli 2015, Pukul 21.00 WIB.

Page 21: Oleh LILY CHRISTINE HUNGA DAKE 712008027 TUGAS AKHIRrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12277/2/T1_712008027_Full... · satu budaya di Pulau Sabu yaitu budaya Cium Sabu atau biasa

12

pemberian maaf yang tulus kepada orang yang dianggap berhak mendapatkan itu. Cium

hidung atau dalam bahasa Sabunya disebut Henge’do, bisa anda temui pada saat - saat

tertentu seperti pada saat adanya ritual – ritual seperti kematian, pernikahan dan dalam ibadah

– ibadah maupun pertemuan-pertemuan di dalam lingkup Gereja. dimana sang pemberi dan

penerima ciuman berusaha mengktualisasikan ekspresi dari hatinya. Misalnya karena

perasaan rindu sebab sudah lama tidak bertemu, pada saat merayakan hari – hari raya

keagamaan, pada saat menyampaikan ungkapan turut bersedih / belasungkawa pada saat

keluarga atau kerabat mengalami kedukaan atau kematian, atau memberikan ucapan selamat

karena suatu kejadian yang mendatangkan kebahagiaan dan suka cita seperti di dalam acara

pernikahan, pembaptisan, dan acara ucapan syukur lainnya, serta pada saat mengakhiri

pertentangan / perselisihan yang entah itu di dalam suatu pertemuan adat biasanya apabila

menghadapi kesalah pahaman dalam menentukan jumlah belis untuk kenoto (masuk minta

calon pengantin perempuan) yang akan di bawa oleh sang calon pengantin pria, serta

penentuan hari pernikahan. ataupun menentukan hak atas tubuh seseorang yang sudah

meninggal akan di taruh di rumah siapa serta tempat dan hari penguburan jenazah dari

keluarga yang meninggal, dan lain sebagainya.26

Sedangkan menurut Bapak RT (Pendeta GMIT, dari Loboae, desa Ledeana, Sabu

Barat), Henge’do dilakukan di dalam kalangan masyarakat orang sabu dengan tidak

mengenal umur, gender, profesi bahkan status sosial. Ciuman antar hidung ini dilakukan

dengan cara saling menyenggolkan hidung satu sama lain, baik itu antara sesama perempuan,

atau pun laki-laki yang sudah dianggap kerabat dan saudara dekat maupun saudara, bahkan

antara perempuan dan laki-laki. Henge’do dalam suku sabu ini mengandung makna sebagai

penghormatan bagi orang yang di 'salami'. Dengan cium hidung mereka mau menyatakan

bahwa mereka menerima seseorang dengan hati terbuka. Dalam keseharian masyarakat Sabu,

cium menciuman hidung menjadi tanda perdamaian. Konflik yang sehebat apa pun akan

berakhir dengan sendirinya setelah berciuman hidung. Sungguh besar dan dalam makna cium

hidung ini bagi masyarakat di Pulau Sabu. Henge’dho adalah nilai luhur yang diwariskan

oleh nenek moyang Orang Sabu yang mengandung makna yaitu betapa kita sebagai sesama

manusia harus bisa saling memberi dan menerima tanpa rasa pamrih dan juga bisa

mengaktualisasikan kasih sayang terhadap sesama tanpa pandang bulu. Cium

Hidung dilakukan sebagai salah satu bentuk salam perkenalan, persahabatan, maupun sebagai

26

Hasil wawancara dengan Bapak JKL (37 tahun), 14 Agustus 2015; Ibu WL (76 tahun), 15 Agustus

2015; Bapak JRL (55 tahun), 15 Agustus 2015; Ibu FDR (38 tahun) dan Bapak AT (39 tahun), 16 Agustus 2015.

Page 22: Oleh LILY CHRISTINE HUNGA DAKE 712008027 TUGAS AKHIRrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12277/2/T1_712008027_Full... · satu budaya di Pulau Sabu yaitu budaya Cium Sabu atau biasa

13

ungkapan kasih dalam sebuah ikatan kekeluargaan dan kekerabatan di dalam kehidupan

sosial dan budaya kemasyarakatan. Secara tidak langsung ini menunjukan penghargaan

terhadap nilai-nilai sosial-budaya masyarakat setempat, dan kita pun secara resmi telah

diterima menjadi bagian dari kelompok tertentu. bagi masyarakat Sabu yang masih kental

dengan budayanya, cium hidung ini memiliki peran yang penting dalam penyelesaian

berbagai masalah, Entah itu perselisihan dalam hal perebutan tanah ataupun pertengkaran

dalam pernikahan. Bahkan didalam acara pernikahan yang masih ketat dengan belis (mahar)

yang besar dan berbagai tuntutan pada keluarga pria, bisa diselesaikan dengan “memberikan”

hidung kepada keluarga wanita yang hadir di acara tersebut sebagai tanda permintaan maaf

atas ketidakmampuannya untuk memenuhi permintaan belis dari keluarga wanita dan setelah

itu tidak ada lagi yang boleh mengungkit-ungkit belis dan lainnya dalam acara kenoto

(peminangan) tersebut. Contoh lain juga bisa kita lihat pada saat pemberkatan nikah di mana

setelah pasangan pengantin di berkati oleh Pendeta, pengantin pria akan membuka cadar

pengantin wanita dan mereka akan saling memberi hidung untuk dicium sebagai tanda bahwa

mereka telah resmi menjadi satu dalam kasih Kristus, karena dipercayai bahwa cium hidung

lambang kasih sayang dari suku sabu dan Kristus sebagai kepala keluarga yang mengajarkan

kasih.27

Cara mencium dalam budaya Sabu ada pesyaratannya, Seperti (1) harus tutup mulut, (2)

hanya di hidung saja, bukan di bagian lain dari wajah, (3) harus tahan nafas.28

Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa Henge’dho adalah nilai luhur yang

diwariskan oleh nenek moyang orang sabu, untuk itu penulis akan melampirkan juga sedikit

gambaran mengenai leluhur orang sabu yaitu sebagai berikut :

Di Hurat (surat) satu tempat di India pada pantai Utara Bombay, berdiamlah

dua orang bersaudara anak laki – laki, yang sulung bernama Kika Ga dan

yang bungsu bernama Djape Ga. Di karenakan kedua orang tua mereka lebih

mengasihi Djape Ga daripada si sulung Kika Ga maka Kika Ga mengambil

keputusan untuk meninggalkan Surat dan dengan mengendarai seekor kuda

betina berwarna abu hitam mengembara ke luar negeri dan sampailah di

pulau Djawa Wawa yang sekarang bernama Raidjua. Disana Kika Ga tinggal

27

Hasil wawancara dengan bapak RT (52 tahun), 16 Agustus 2015. 28

Usman D. Ganggang, „Menyaksikan Panorama Nusa Sabu (Cium Ala Sabu)‟, dalam

http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2013/02/16/menyaksikan-panorama-nusa-sabu-1-cium-ala-sabu-

529341.html.. diunduh Tanggal 20 Juli 2015, Pukul 21.20 WIB.

Page 23: Oleh LILY CHRISTINE HUNGA DAKE 712008027 TUGAS AKHIRrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12277/2/T1_712008027_Full... · satu budaya di Pulau Sabu yaitu budaya Cium Sabu atau biasa

14

di sebuah pulau di atas batu laut besar bernama Wadu Mea (batu ini sampai

sekarang masih ada terdapat di laut pada pantai selatan pulau Sawu)

Di Raidjua, Kika Ga mengambil seorang istri bernama Mudji Rau yang

adalah saudara perempuan dari Dewa Mone Rau yang berdiam di pulau

Raidjua di sebuah tempat bernama Ketita, dan akhirnya mendapat seorang

anak laki-laki bernama Hu Kika. Setelah itu Kika Ga dan Mudji Rau beserta

Hu Kika berpindah ke Teriwu suatu tempat di pulau Sawu di sebelah timur

dari Ketita (Pulau Sabu dan Raidjua adalah dua pulau yang berbeda sebelum

menjadi kabupaten Sabu Raidjua seperti saat ini). Adapun keturunan yang di

dapatkan oleh Hu Kika yaitu sebagai berikut : Hu Kika mendapat anak Unu

Hu, Unu Hu mendapat anak AE Unu, AE Unu mendapat anak Rai AE, Rai AE

mendapat anak Ngara Rai, Ngara Rai mendapat anak Miha Ngara. 29

Dan Miha Ngara mendapatkan 3 orang anak laki – laki yaitu Hawu Miha,

Dida Miha dan IE Miha.30

Ketika Hawu Miha meninggal dan tidak mendapatkan keturunan maka para leluhur

memutuskan memakai nama Hawu Miha sebagai sebutan untuk Pulau Sawu, yang didalam

bahasa daerah Sawu tidak disebut pulau Sawu tetapi Hawu.31

Dan akhirnya Dida Miha serta

IE Miha sajalah yang melanjutkan melahirkan regenererasi keturunan-keturunan orang sabu

hingga saat ini hingga menjadi masyarakat yang mendiami pulau sabu.

Menurut bapak KLL (penganut Jingitiu, dari desa Kujiratu, Sabu Timur), Henge’dho

awal mula digunakan sebagai salam bagi sesama orang suku sabu. walaupun tradisi cium

hidung ini ada dan terjadi begitu saja dan tidak diketahui siapa yang memulai akan tetapi

seiring berjalannya waktu, Henge’dho mulai digunakan sebagai pendamaian antara kedua

belah pihak yang mengalami konflik atau kesalahpahaman, entah itu perang antara saudara

atau antara kampung yang saling memperebutkan batas tanah kekuasaan mereka. Cium

hidung juga sebagai benang merah pembentukan relasi pertama kali antara raijua dan sawu

yang dilandasi oleh asas struktural yang muncul dari berbagai situasi sehingga terjalinnya

kekerabatan di antara mereka satu dengan yang lainnya.32

29

Yakob Y. Detaq, Memperkenalkan Kebudayaan Suku Bangsa Sabu (Ende-Flores : 1973), 7. 30

Ibid., 9. 31

Ibid., 8. 32

Hasil wawancara dengan bapak KLL (98 tahun), 19 Agustus 2015, dari desa Kujiratu, Sabu Timur

(didampingi penerjemah bahasa oleh bapak JKL).

Page 24: Oleh LILY CHRISTINE HUNGA DAKE 712008027 TUGAS AKHIRrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12277/2/T1_712008027_Full... · satu budaya di Pulau Sabu yaitu budaya Cium Sabu atau biasa

15

Dan setelah melihat tradisi cium hidung dalam budaya suku orang sabu maka dapat

disimpulkan bahwa adat merupakan sesuatu yang dikenal, diketahui, diulang, serta menjadi

suatu kebiasaan didalam suatu masyarakat, baik berupa kata- kata atau suatu bentuk

perbuatan yang nyata. Menurut masyarakat sabu, adat adalah tradisi atau dengan kata lain

sudah merupakan budaya atau kebiasaan sejak dahulu kala. Adat adalah bagian yang tak

terpisahkan dari kehidupan masyarakat sabu, karena masyarakat memahami bahwa adat

merupakan tradisi dan salah satu warisan adat yang sudah ada sejak dahulu, yang diwariskan

oleh para leluhur, jauh sebelum agama masuk ke pulau sabu. Bagi masyarakat sabu

memahami bahwa tradisi cium hidung merupakan warisan adat dari para leluhur (tete-nene

moyang) kepada generasi berikutnya. Masyarakat memahami bahwa tradisi cium hidung ini

merupakan tradisi yang harus wajib dilakukan pada saat bertemu dengan siapapun yang

berasal dari sesama suku pulau sabu.

Beberapa teori yang mendukung untuk menganalisa lebih jelas tentang adat dalam

masyarakat Sabu agar hasil penelitian ini mampu memberikan pemahaman baru terhadap

penulisan Tugas Akhir ini, antara lain :

Koentjaraningrat, yang memaparkan bahwa kebudayaan berasal dari bahasa

Sansekerta buddhayah yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan

demikian kebudayaan dapat diartikan ‘hal-hal yang bersangkutan dengan akal’.33

Jadi

kebudayaan menunjuk kepada berbagai aspek kehidupan. Kebudayaan adalah segenap

perwujudan dan keseluruhan hasil pikiran, kemauan, dan perasaan manusia, dalam rangka

kepribadiannya, perkembangan hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Sehingga, dapat dikatakan bahwa manusia yang melahirkan kebudayaan dan kebudayaan

dilahirkan oleh manusia untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya agar kehidupannya dapat

terarah.34

Melville J. Herzkovist dan Bronislaw Malinowski juga menegaskan bahwa

kebudayaan sebagai cultural determinism, artinya bahwa segala sesuatu yang terdapat

didalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu.

Kebudayaan dipandang sebagai sesuatu yang superorganik, karena kebudayaan berlangsung

secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Meskipun orang-orang yang menjadi

33

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Aksara Baru, 1986), 181. 34

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), 201.

Page 25: Oleh LILY CHRISTINE HUNGA DAKE 712008027 TUGAS AKHIRrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12277/2/T1_712008027_Full... · satu budaya di Pulau Sabu yaitu budaya Cium Sabu atau biasa

16

anggota masyarakat senantiasa silih berganti karena faktor kelahiran dan kematian tetapi

nilai-nilai budaya yang masih relevan tetap dipertahankan.35

Selaras dengan pemaparan hasil yang ada dan penjelasan beberapa teori dari para ahli,

maka dapat dianalisa bahwa, tradisi cium hidung yang diterapkan di pulau sabu merupakan

salah satu kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat sabu. Dikatakan demikian, karena jauh

sebelum agama masuk ke pulau sabu, masyarakat setempat sudah memiliki tradisi ini.

Bahkan tradisi ini merupakan hasil cipta, rasa dan karsa dari para leluhur (tete-nene moyang)

yang kemudian dirumuskan untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh masyarakat Pulau

Sabu. Kebutuhannya yaitu secara psikis maupun fisik yakni mendapatkan rasa aman, nyaman

bahkan terhindar dari seluruh bahaya yang mengancam, ketika hidup sebagai masyarakat

pulau sabu.

Selanjutnya tradisi ini dilihat sebagai sebuah kebudayaan yang dapat menghindarkan

masyarakat setempat dari hal- hal yang tidak diinginkan, karena dapat menciptakan rasa

aman. Dengan demikian kehidupan seluruh masyarakat pulau sabu menjadi terarah juga relasi

yang dibangun baik antar manusia dan Sang Pencipta juga menjadi baik.

Hal lainnya, sesuai dengan teori yang dipaparkan oleh Melville J. Herzkovist dan

Bronislaw Malinowski, tentang cultural determinism, maka dapat dikatakan bahwa tradisi

cium hidung di sabu, merupakan sebuah warisan adat dan tradisi. Dikatakan demikian, karena

tradisi cium hidung telah diterapkan secara turun temurun. Dan secara tidak langsung kalo

dilihat berdasarkan cerita sejarah maka dipercaya bahwa nenek moyang orang sabu harus

melintasi laut dan samudera sebelum mencapai kepulauan sabu saat ini dan terdapat indikasi

kuat bahwa orang Sabu berasal dari rumpun bangsa Melayu yang berasal dari Hindia (Asia

Selatan) yang beremigrasi sekitar tahun 500 BC. Yang di mana bila hubungkan dengan

makna dari tradisi cium hidung ini sendiri di mana memiliki tujuan yang dimaksudkan agar

terjalin hubungan kekerabatan yang baik dengan semua orang. Henge’dho adalah nilai luhur

yang diwariskan oleh nenek moyang Orang Sabu yang mengandung makna yaitu betapa kita

sebagai sesama manusia harus bisa saling memberi dan menerima tanpa rasa pamrih dan juga

bisa mengaktualisasikan kasih sayang terhadap sesama tanpa pandang bulu.

Dan kalo dihubungkan dengan nenek moyang orang sabu yang dipercaya berasal dari

Hindia ini dan melihat makna dari tradisi cium hidung, bisa kita lihat bahwa adanya cerminan

hukum kasih yang diajarkan oleh Yesus, ketika Dia melakukan pekerjaan pelayanannya ke

35

Tri Widiarto dkk, Dasar-dasar Antropologi Budaya (Salatiga: FKIP, UKSW, 2000), 54-55.

Page 26: Oleh LILY CHRISTINE HUNGA DAKE 712008027 TUGAS AKHIRrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12277/2/T1_712008027_Full... · satu budaya di Pulau Sabu yaitu budaya Cium Sabu atau biasa

17

Hindia. Sebab, seperti yang diakatakan oleh Mahatma Gandhi, “dimana hukum kasih

dilaksanakan, disitulah agama Kristen berada‟‟.36

Sebab, Tidak semua orang yang memanggil

Aku, 'Tuhan, Tuhan,' akan menjadi anggota umat Allah, tetapi hanya orang-orang yang

melakukan kehendak Bapa-Ku yang di surga (Mat 7:21), dialah Kristen Sejati.37

Informasi dasar pulauan Sabu secara umum, dapat digambarkan dengan informasi

tentang pulauan Sabu yaitu nama asli Sawu atau Hawu. Dari latar belakang sejarah orang

Sabu menyebutnya Rai Hawu atau Tanah Sabu. Tentunya ketika adat ini dilakukan berulang-

ulang dan menjadi kebiasaan di dalam masyarakat sabu, maka dinamakan tradisi.

Ketika kebudayaan dipahami sebagai suatu hasil dan cermin perilaku masyarakat pada

suatu tempat, zaman dan waktu tertentu, maka pemahaman itu dapat diartikan bahwa di

dalam budayanya terdapat suatu upaya pelestarian agar bertahan hingga ke masa yang akan

datang. Inilah yang disebut sebagai transformasi budaya dan ini tidak mudah dilakukan,

karena butuh ketekunan dan usaha yang sungguh-sungguh. Secara spesifik, proses

transformasi budaya itu dinilai sebagai usaha pembelajaran di setiap sendi kehidupan. Terkait

dengan teori adat istiadat adalah wujud tertinggi dan terdalam dari kebudayaan. Sebab ia

bekerja dalam alam pikir manusia dan sulit dilihat atau diraba tetapi ia tampak dalam

tindakan-tindakan yang terkadang tidak logis sekalipun. Oleh karena itu. ketika adat ini

dilakukan berulang-ulang dan menjadi tradisi di dalam masyarakat setempat dan diwariskan

secara turun temurun oleh para leluhur, maka mau tidak mau, seharusnya masyarakat pulau

sabu haruslah mengerti bahwa terdapat sebuah tanggung jawab yang besar yang dititipkan

oleh para leluhur kepada generasi selanjutnya, untuk menjaga dan melestarikan warisan adat

tersebut. Sehingga adat tersebut bukan saja menjadi warisan adat, tetapi juga menjadi ciri

khas dari suku pulau sabu itu sendiri.

Di dalam masyarakat juga ada Gereja, dan Gereja bertumbuh dengan masyarakat

dalam suatu proses saling mempengaruhi sebagi mitra. Sehingga terasa penting melihat

kedudukan bagaimana pemahaman gereja terhadap adat ini. Richard Niebuhr juga

menawarkan 5 tipe dasar hubungan timbal balik antara Gereja dengan Kebudayaan. Lima

Tipe dasar ini lebih luas menjelaskan bagaimana seharusnya sikap gereja terhadap

kebudayaan yang hidup di sekitar gereja. maka tipe dasar yang sesuai dengan hasil penelitian

yang ada, adalah tipologi yang ke-3 yaitu sikap perpaduan dimana Kristus di atas

kebudayaan.

36

Anton Wessels, Memandang Yesus (Jakarta: Gunung Mulia, 2010), 133. 37

Ibid., 133.

Page 27: Oleh LILY CHRISTINE HUNGA DAKE 712008027 TUGAS AKHIRrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12277/2/T1_712008027_Full... · satu budaya di Pulau Sabu yaitu budaya Cium Sabu atau biasa

18

Dikatakan Kristus diatas kebudayaan, karena pada dasarnya, masyarakat suku sabu

memiliki pemahaman bahwa sebelum kekristenan hadir di pulau sabu, mereka percaya

kepada nenek moyang mereka yang telah lebih dulu melakukan tradisi ini hingga melahirkan

suatu budaya yang baik yang terjaga secara turun temurun hingga saat ini, yang mampu

membuat hidup mereka bersatu dengan memegang satu ikatan dasar yaitu saling mengasihi.

Walaupun pada saat itu masih ada diantara mereka yang belum mengenal agama Kristen, dan

masih bisa dibilang hingga saat inipun masih ada 10% diantara mereka yang menganut aliran

dinamisme dan animisme, yang di dalam kepercayaan suku mereka, terdapat Sang Pencipta

yang dalam agama suku dikenal dengan Deo moro dee penyi (dewa mengumpulkan,

membentuk dan mancipta) atau yang biasa disebut dengan Deo Ama.

Akan tetapi didalam pelaksanaan tradisi ini, seluruh aktivis Gereja juga terlibat dan

bentuk keterlibatannya adalah pada saat setiap selesai melakukan pelayanan disetiap tempat

jemaatnya di manapun, selalu diakhiri dengan bejabat tangan dan ciuman hidung, yang

menjadi salah satu bentuk ungkapan penerimaan, rasa hormat, empati dan juga kasih sayang

bagi jemaat yang dilayaninya. Inilah yang menjadi bentuk dari sikap perpaduan, dimana

Kristus di atas kebudayaan.

Selanjutnya bahwa, gereja berusaha untuk tetap membuat pandangan, pikiran dan

perasaan masyarakat setempat agar tetap mengarah pada tanggung jawab mereka, yang mana

bukan saja sebagai masyarakat Adat tetapi juga sebagai warga Jemaat. Maksudnya agar

pandangan mereka tetap terarah pada Pribadi Yesus Kristus yang mereka sembah. Gereja

tidak berwenang menghapus adat yang ada di dalam suatu masyarakat adat, karena Gereja

hadir ditengah masyarakat sebagai mitra. Namun tugas Gereja adalah berperan sebagai

Garam dan Terang untuk menerangi, Gereja juga bertanggung jawab dalam visi Teologinya,

supaya jangan sampai ada hal-hal (adat) yang bertentangan dengan pemahaman bahwa Yesus

adalah tempat perteduhan, batu karang yang teguh (Mazmur : 11, Mazmur : 28).

Page 28: Oleh LILY CHRISTINE HUNGA DAKE 712008027 TUGAS AKHIRrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12277/2/T1_712008027_Full... · satu budaya di Pulau Sabu yaitu budaya Cium Sabu atau biasa

19

V. PENUTUP

Kesimpulan

Kebudayaan merupakan sistem simbol yang dengannya bangsa Indonesia memberi

makna terhadap kehidupannya, sehingga manusia harus selalu berhubungan dengan alam

sekitarnya. Dengan perkembangan kebudayaan etnis akan semakin menjadikan masyarakat

Indonesia sebagai bangsa yang memiliki dan melestarikan berbagai budaya, yang juga

merupakan aset budaya bangsa dan akan timbul rasa bangga serta memiliki secara nasional.

Kebudayaan yang dimiliki oleh setiap masyarakat sangatlah bermakna karena bersifat

mengikat dan hidup secara bersamaan dengan masyarakat. Setiap kebudayaan yang ada selain

bersifat mengikat juga memiliki ciri khas yang membedakan budaya yang satu dengan yang

lainnya. Seperti halnya yang terjadi bagi masyarakat Suku Pulau Sabu yang masih

melestarikan dan melaksanakan kebudayaan yang dimiliki, karena kehidupan orang sabu

adalah realisasi hakikatnya sebagai mahkluk sosial yang menjalin kekerabatan serta

kekeluargaan yang dilandasi dengan kasih sayang. Orang sabu juga menempatakan diri

sebagai seorang manusia yang senantiasa memelihara hubungannya bukan saja dengan

sesama manusia tapi juga dengan alam sekitar. itulah makna jelas kehidupan bagi orang sabu.

Saran

Begitu banyak kebudayaan yang ada dalam bangsa indonesia yang belum dikenal oleh

masyarakat indonesia sendiri, padahal begitu banyak hal positif yang terkandung di dalam

seluruh kebudayaan yang bangsa indonesia punya. tidak bisa dipungkiri bahwa kebudayaan

yang ada itu bisa menjadi identitasmu untuk saling menjalin kekerabatan dan persaudaraan di

antara sesama. Dengan adanya cium hidung atau Henge’dho adalah sebagai suatu jalan yang

baik bagi seluruh masyarakat NTT dan diharapkan juga bagi seluruh masyarakat indonesia

agar saling mengaktualisasikan diri ke dalam budaya ataupun tradisi yang sudah diturunkan

dari para leluhur kita. cintailah kebudayaanmu, maka alam, adat istiadat serta seluruh

kebudayaan akan melengkapi hidupmu menjadi sebuah bangsa yang kaya.

Page 29: Oleh LILY CHRISTINE HUNGA DAKE 712008027 TUGAS AKHIRrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12277/2/T1_712008027_Full... · satu budaya di Pulau Sabu yaitu budaya Cium Sabu atau biasa

20

DAFTAR PUSTAKA

Banawiratma SJ, JB. Gereja dan Masyarakat. Panitia Misa Syukur Pesta Emas

Republik Indonesia, 1995.

Detaq, Yakob Y. Memperkenalkan Kebudayaan Suku Bangsa Sabu. Ende-Flores :

1973.

dkk, Widiarto Tri. Dasar-dasar Antropologi Budaya. Salatiga: FKIP, UKSW. 2000.

Gultom, R.MS. Agama dan Adat : Suatu Pemikiran Tentang” kehidupan beragama

sekaligus beradat”. Jakarta: Proyek Penerangan, Bimbingan dan Da‟wah/Khotbah

agama Kristen Protestan, Dep. Agama R.I.

Kana, Nico L. Dunia Orang Sabu. Jakarta: Sinar Harapan, Anggota IKAPI 1983.

Koentjaraningrat. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia, 1980.

Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru, 1986.

Koentjaraningrat. Kebudayaan dan Mentalitas Pembangunan. Jakarta: 1994.

Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002.

McGrath, Alister E. Sejarah Pemikiran Reformasi. BPK Gunung Mulia: Jakarta,

1997.

Mahjunir. Mengenal Pokok-Pokok Antropologi dan Kebudayaan. Brahtara Jakarta,

1967.

Niebuhr, Reichard. Christ and cultur. New York : Harper & Brothers, 1951.

Prawiro, Radius. Pembinaan Gerejawi di Tengah Masyarakat. Pustaka Sinar Harapan,

1998.

Patty, Samuel. Diktat Agama dan Kebudayaa. UKSW: Salatiga, 2004.

SJ, Tom Jacobs. Gereja Menurut Perjanjian Baru. Kanisius: Yogyakarta, 1988.

Tri, Widiarto. Pengantar Antropologi Budaya. Widya Sari Salatiga, 2007.

Ukur, F. dan Cooley, F. L. Jerih dan Juang. Jakarta: Lembaga Penelitian Dan

Studi-Studi, 1979.

Wessels, Anton. Memandang Yesus. Jakarta: Gunung Mulia, 2010.

W, Gulo. Metode penelitian. PT Grasindo, 2002.

Page 30: Oleh LILY CHRISTINE HUNGA DAKE 712008027 TUGAS AKHIRrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12277/2/T1_712008027_Full... · satu budaya di Pulau Sabu yaitu budaya Cium Sabu atau biasa

21

Website :

Wikimedia Project, „Wikipedia Ensiklopedia Bebas: Nusa Tenggara Timur‟, dalam

http://id.wikipedia.org/wiki/Nusa_Tenggara_Timur.. diunduh Tanggal 20 Juli 2015,

Pukul 20.00 WIB.

Info NTT, ‟Kliping Internet Provinsi NTT, Kabupaten Sabu Raijua‟. dalam

http://infonusatenggaratimur.blogspot.com/2011/02/kabupaten-sabu-raijua.html..

diunduh Tanggal 20 Juli 2015, Pukul 20.20 WIB.

Ahmad Kurnia Elqorni, „Indoculture Online: Suku Sabu‟, dalam

http://indoculture.wordpress.com/2008/11/29/suku-sabu/.. diunduh Tanggal 20 Juli

2015, Pukul 20.30 WIB.

El Shadday Community, „Anak Panah : Suku Sabu‟, dalam

http://elshaddaicommunity.blogspot.com/2012/05/sekilas-tentang-suku-sabu.html..

diunduh Tanggal 20 Juli 2015, Pukul 20.40 WIB.

Joey Seputar NTT, „Presiden Jokowi Terkejut Dapat Cium Sabu di Kupang‟, dalam

http://www.seputar-ntt.com/presiden-jokowi-terkejut-dapat-cium-sabu-di

kupang/?fb_action_ids=994930213872686&fb_action_types=og.comments&fb_sourc

e=other_multiline&action_object_map=[641515425971589]&action_type_map=[%2

2og.comments%22]&action_ref_map=[].. diunduh Tanggal 20 Juli 2015, Pukul 21.00

WIB.

Usman D. Ganggang, „Menyaksikan Panorama Nusa Sabu (Cium Ala Sabu)‟, dalam

http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2013/02/16/menyaksikan-panorama-nusa-

sabu-1-cium-ala-sabu-529341.html.. diunduh Tanggal 20 Juli 2015, Pukul 21.20

WIB.