analisis situasi vol 1

8
HALAMAN 1 Latar Belakang G agasan demokratisasi pemerintahan dan penguatan kedaulatan rakyat semakin mendapatkan tempat dengan adanya gagasan untuk pemilihan langsung pimpinan daerah. Gagasan pemilihan langsung kepala daerah inipun secara formal baru tere- alisasi pada tahun 2004 dan baru dilaksanakan pada tahun 2005. Pemilihan kepala daerah secara langsung, tak hanya menjadi perintah Undang-undang Dasar, akan tetapi suatu kebutuhan bagi rakyat untuk mewujudkan pemerintahan lokal yang demokratis, berpihak pada masyarakat, aspiratif, dan memiliki legitimasi. Sebuah panorama baru, dimana Indonesia memasuki era keti- ga dalam membangun demokrasi setelah terselenggaranya paket pemilihan langsung, yakni dengan hadirnya calon perseorangan hikmah lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) ini adalah UU yang pertama di Indone- sia yang mengikutsertakan calon perseorangan (independen). UUPA menjadi rujukan perubahan paradigma politik hukum dalam pemilihan kepala daerah oleh pembentuk undang-undang, yang pada akhirnya membentuk regulasi tentang calon perseoran- gan yang selanjutnya pembuat UU memformulasikan wacana dan paradigma demokrasi baru tersebut ke dalam kehidupan demokrasi di Indonesia secara legal. Era kekinian dimensi politik hukum di Indonesia terus mengalami perubahan dan menyelaraskan berbagai produk hukum di Indonesia yang sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. ANALISIS SITUASI (ANSIS) Tim Jaringan Survey Inisiatif (JSI) ir Imran mran.wordpress.com Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU-XIII/2015 (“Rujukan terhadap Pencalonan Pelaksanaan Pilkada Aceh”)*

Upload: teuku-harist-muzani

Post on 24-Jul-2016

249 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAKAH KONSTITUSI NOMOR 33/PU-XIII/2015 (Rujukan Terhadap Pencalonan Pelaksanaan Pilkada Aceh)

TRANSCRIPT

Page 1: ANALISIS SITUASI VOL 1

HALAMAN 1

Latar Belakang

Gagasan demokratisasi pemerintahan dan penguatan kedaulatan rakyat semakin mendapatkan tempat dengan adanya gagasan untuk pemilihan langsung pimpinan daerah. Gagasan pemilihan langsung kepala daerah inipun secara formal baru tere-alisasi pada tahun 2004 dan baru dilaksanakan pada tahun 2005. Pemilihan kepala daerah secara langsung, tak hanya menjadi perintah Undang-undang Dasar, akan

tetapi suatu kebutuhan bagi rakyat untuk mewujudkan pemerintahan lokal yang demokratis, berpihak pada masyarakat, aspiratif, dan memiliki legitimasi.

Sebuah panorama baru, dimana Indonesia memasuki era keti-ga dalam membangun demokrasi setelah terselenggaranya paket pemilihan langsung, yakni dengan hadirnya calon perseorangan hikmah lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) ini adalah UU yang pertama di Indone-sia yang mengikutsertakan calon perseorangan (independen).

UUPA menjadi rujukan perubahan paradigma politik hukum dalam pemilihan kepala daerah oleh pembentuk undang-undang, yang pada akhirnya membentuk regulasi tentang calon perseoran-gan yang selanjutnya pembuat UU memformulasikan wacana dan paradigma demokrasi baru tersebut ke dalam kehidupan demokrasi di Indonesia secara legal. Era kekinian dimensi politik hukum di Indonesia terus mengalami perubahan dan menyelaraskan berbagai produk hukum di Indonesia yang sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.

ANALISIS SITUASI (ANSIS)Tim Jaringan Survey Inisiatif (JSI)

Ballet Box and Voteby: Yasir Imranyasirimran.wordpress.com

Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU-XIII/2015

(“Rujukan terhadap Pencalonan Pelaksanaan Pilkada Aceh”)*

Page 2: ANALISIS SITUASI VOL 1

HALAMAN 2

Regulasi pemilihan kepala daerah yang berujung dengan dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

(Perpu) dikarenakan proses pembahasannya tidak seintensif pembahasan Undang-Undang yang lahir melalui proses legislasi “normal”, oleh pembentuk Undang-Undang. Hingga yang terakhir disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota Menjadi Undang-Undang.

Kendati baru disahkan pada Maret 2015 jelang pelak-sanaan era Pilkada serentak nasional yang dimulai bertahap sejak 2015kemudian penerapan pemilihan kepala daerah serentak seluruh Indonesia pada 2027.

Pun demikian Undang-Undang (UU) tersebut banyak menyisakan beragam persoalan perdebatan politik hukum yang ditandai dengan banyaknya bermuncu-lan gugatan permohonan uji materil UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Setidaknya terdapat 3 (tiga) perkara gugatan yang didaftarkan pada MK terkait UU No. 8 Tahun 2015 yang bermuara pada Pasal 7 (huruf g, r, t dan u). Sehinggga terdapat 3 (tiga) putusan MK terkait pasal tersebut, antara lain :

1. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU-XIII/2015 bertanggal 8 Juli 2015 terkait gugatan Pasal 7 (huruf r dan huruf s) : tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan UUD 1945.

2. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 42/PUU-XIII/2015 bertanggal 9 Juli 2015 terhadap Pasal 7 huruf g : bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

3. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-XIII/2015, bertanggal 9 Juli 2015 terhadap Pasal 7 (huruf t dan u): bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hu-kum mengikat.

Perkara Yang Dipersidangkan di Mahkamah Konstitusi

Permohonan uji Materi kepada Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 33/PUU-XIII/2015 untuk meminta pengujian kepada MK terkait Pasal 7 UU No. 8/2015 yang mengatur mengenai persyaratan menjadi calon kepala daerah (baik calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati serta calon walikota dan calon wakil walikota) khususnya Pasal 7 huruf r dan huruf s UU No.8 Tahun 2015. Dengan pemohon Adnan Purichta Ichsan yang merupakan anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan Periode 2014-2019.

Pembahasan dalam Analisis Situasi (ANSIS) ini akan mengulas perihal Putusan Mahkamah Konstitusi No-mor 33/PUU-XIII/2015 terhadapUU No.8 Tahun 2015 Pasal 7 huruf s terhadap calon yang berlatarbelakang dari anggota DPR, DPD dan DPRD berdasarkan pasal 7 huruf s yang berbunyi :

“memberitahukan pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.

Regulasi Pelaksanaan Pilkada

ANALISIS SITUASI (ANSIS) JARINGAN SURVEI INISIATIF VOL. I/ TAHUN 2015

Page 3: ANALISIS SITUASI VOL 1

HALAMAN 3

Pasal tersebut secara nyata memuat ketentuan per-lakuan “istimewa” khususnya kepada anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan calon kepala dan wakil kepala daerah dari latarbelakang selainnya. Sedangkan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang berlatarbelakang petahanan (incumbent) dan pe-jabat BUMN/BUMD mengundurkan diri sejak ditetap-kan sebagai calon (Pasal 7 huruf p dan huruf u).

Sementara bagi calon kepala daerah dan wakil kepa-la daerah yang berasal dari latarbelakang anggota TNI, Polri, PNS, wajib mengundurkan diri pada saat mendaftarkan diri sebagai calon dalam pemilihan kepala atau wakil kepala daerah (pasal 7 huruf t).

Pengaturan pada pasal tersebut memberikan kelongga-ran bagi setiap anggota DPR, DPD, dan DPRD hanya cukup dengan pemberitahuan kepada pimpinannya jika mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daer-ah dan wakil kepala daerah secara nyata merupakan sebuah tindakan yang tidak adil dan melanggar prinsip keadilan (fairness) bagi calon lainnya. Seseorang ang-gota DPR, DPD, atau DPRD dapat mencalonkan diri menjadi kepala atau wakil kepala daerah sembari tetap menjadi anggota. Jika tidak terpilih, maka kemudian masih ada harapan untuk tetap kembali duduk lagi menjadi anggota dewan.

Hal ini dapat membuat adanya perlakuan yang tidak adil bagi calon lainnya dari kalangan pejabat/pegawai negara lainnya yang dipers-yaratkan mengundur-kan diri atau berhenti, karena posisi anggo-ta DPR, DPD, atau DPRD yang menjadi calon masih berstatus sebagai anggota aktif.Sebagaimana diketahui bahwa setiap anggota DPR, DPD, atau DPRD memiliki hak dan kekuasaan politik sep-erti dalam hal legislasi, kontrol, dan keuangan yang tentu saja ber-

dampak berpotensi dapat memengaruhi kebijakan atau pengaturan tentang pelaksanaan pemilihan melalui lembaga penyelenggara dan Pemerintah Daerah.

Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015 terkait UU No. 8 Tahun 2015 Pasal 7 huruf s juga merujuk pada Pasal 7 huruf t dan huruf u. Oleh karenanya pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut memuat ketentuan baru terkait Pasal 7 (huruf t dan u) UU No. 8 Tahun 2015 :

Pasal 7 huruf t UU 8/2015 yang menyatakan:

“mengundurkan diri sebagai Tentara Nasional Indo-nesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil sejak mendaftarkan diri sebagai calon”.

Pasal 7 huruf u yang menyatakan:

“berhenti dari jabatan pada badan usaha milik neg-ara atau badan usaha milik daerah sejak ditetapkan sebagai calon”.

• Pasal 7 (huruf t dan u) UU No. 8/2015 adalah inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) kecuali jika kedua frasa dalam kedua pasal tersebut diartikan “mengundurkan diri sejak calon ditetapkan memenuhi persyaratan oleh KPU/KIP”.

ANALISIS SITUASI (ANSIS) JARINGAN SURVEI INISIATIF VOL. I/ TAHUN 2015

Page 4: ANALISIS SITUASI VOL 1

HALAMAN 4

Putusan Mahkamah Konstitusi Pasal 7 huruf s adalah :1. inkonstitusional bersyarat (conditionally inconstitutional)2. Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.3. tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Pasal 7 huruf s UU No. 8/2015 sepanjang frasa “memberitahukan pencalonannya sebagai Gu-bernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau kepada Pimpinan Dewan Per-wakilan Rakyat Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.

Karena dalam pasal tersebut tidak diartikan, sepanjang tidak dimaknai : “mengundurkan diri sejak calon ditetapkan memenuhi persyaratan oleh KPU/KIP sebagai calon Gubernur, calon Wakil Gubernur, calon Bupati, calon Wakil Bupati, calon Walikota, dan calon Wakil Walikota bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.

Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 7 huruf s UU 8/2015 inkonstitusional bersyarat (conditionally inconstitutional) sepanjang frasa :

“memberitahukan pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”

dalam Pasal tersebut tidak diartikan :

“mengundurkan diri sejak calon ditetapkan memenuhi persyaratan oleh KPU/KIP sebagai calon Gubernur, calon Wakil Gubernur, calon Bupati, calon Wakil Bupati, calon Walikota, dan calon Wakil Walikota bagi ang-gota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.

“ Putusan MK bersifat Final dan Binding serta Ergo Omnes. Sehingga, niscaya dipatuhi dan

diikuti oleh siapa pun.

Amar Putusannya 33/PUU-XIII/2015 menyatakan bahwa point dan substansi sebagai berikut :

Berdasarkan putusan MK yang menyatakan bagi setiap calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah : Prosedur yang berlaku terhadap PNS, anggota TNI, anggota Polri, pejabat/pegawai BUMN/BUMD, mutatis mutandis : berlaku juga bagi anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah.

SCAN QR CODE untuk Mengunduh Putusan MK Nomor: 33/PUU-XIII/2015

ANALISIS SITUASI (ANSIS) JARINGAN SURVEI INISIATIF VOL. I/ TAHUN 2015

Page 5: ANALISIS SITUASI VOL 1

HALAMAN 5

Untuk mendapat kepastian hukum dari unsur calon tersebut di atas oleh penyelenggara pemilihan kepala daer-ah (KPU/KIP), dipersyaratkan untuk membuat pernyataan yang menyatakan bahwa apabila telah ditetapkan secara resmi oleh penyelenggara pemilihan sebagai calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah maka yang bersangkutan membuat surat pernyataan pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali, yaitu pada saat mendaftarkan diri dan berlaku sejak ditetapkan secara resmi sebagai calon.

Setelah Putusan MK tersebut, lembaga penyelenggara pemilu KPU harus menyesuaikan aturan teknis sesuai sub-stansi putusan MK tentang pencalonan bagi calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.Menindaklanjuti putusan MK, KPU merevisi PKPU No. 9 Tahun 2015 menjadi PKPU No.12 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas PKPU No. 9 Tahun 2015 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.

Peraturan KPU No.12 Tahun 2015

Pasal 68 ayat (1): Bagi Calon yang berstatus sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil wajib menyampaikan keputusan pejabat yang berwenang tentang pemberhentian sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil kepada KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak ditetapkan sebagai calon.

Ayat (2) : Calon yang bersatus sebagai pejabat atau pegawai pada Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah wajib menyampaikan keputusan pejabat yang berwenang tentang pem-berhentian dari Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah kepada KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak ditetapkan sebagai calon.

Ayat (3) : Calon yang tidak menyampaikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dinyatakan tidak memenuhi syarat.

SCAN QR CODE untuk Mengunduh Peraturan KPU Nomor : 12 tahun 2015

“ Qanun Pilkada Aceh yang akan di-jadikan sumber rujukan pelaksanaan

Pilkada Aceh kedepan harus memasuk-kan point-point substansi dari diputusan

MK No. 33/PUU-XIII/2015

ANALISIS SITUASI (ANSIS) JARINGAN SURVEI INISIATIF VOL. I/ TAHUN 2015

Page 6: ANALISIS SITUASI VOL 1

HALAMAN 6

Kilas balik Pilkada 2012 era kedua pelaksaan Pilkada Aceh pasca damai. Pada saat itu terjadi perdebatan sengit antar elit politik di Aceh, setelah

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mencab-ut pasal 256 UUPA. Hal tersebut dikarenakan Qanun Pilkada Aceh yang disahkan oleh DPRA tak memasukkan calon perseorangan. Sehingga qanun tersebut tak bisa diberlakukan sebagai ac-uan penyelenggara pemilu. Sehingga Komisi In-dependen Pemilihan (KIP) Aceh harus merujuk pada aturan pelaksanaan Pilkada nasional untuk menjalankan pemilihan akibat tidak adanya landasan pelaksanaan di daerah. Berbagai guga-tan dilayangkan ke MK yang meminta tahapan pilkada ditunda, sehingga jadwal pemungutan suara Pilkada Aceh berlarut-larut ditunda hingga tiga kali.

Pilkada Aceh 2017 merupakan pemilihan kepala daerah secara langsung ketiga paska damai yang akan digelar secara serentak di 23 kabupaten/kota untuk pemilihan kepala daerah Gubernur dan Wakil Guber-nur, sedangkan untuk pemilihan kepala daerah seting-kat kabupaten/kota akan diselenggarakan di 20 dari 23

kabupaten/kota di Aceh (minus Kota Subulussalam, Aceh Selatan dan Kabupaten Pidie Jaya).

Beranjak dari pengalaman Pilkada Aceh tahun 2012 yang tertunda dan berlarut-larut dengan hiruk pikuk persoalan hukum dan kekerasan (pembunuhan)yang setidaknya ikut mencederai ruh demokratis dan per-damaian Aceh. Oleh karenanya pada tahun 2016 akan memasuki tahapan awal pelaksanaan Pilkada dengan tengat waktu pemungutan suara yang akan dilak-sanakan pada Februari 2017.

Maka sudah sepatutnya pengambil kebijakan Pemerin-tah Aceh dan DPRA untuk segera merumuskan qanun pilkada guna adanya jaminan kepastian hukum sebagai dasar pelaksanaan pilkada dan anggaran. Qanun Pilka-da yang akan dijadikan sumber rujukan pelaksanaan Pilkada harus memasukkan point-point substansi dari diputusan MK No. 33/PUU-XIII/2015. Sehingga apap-un dalih pembenaran dari perdebatan hukum dalam pembahasan Qanun Pilkada telah ada rujukan dengan putusan MK tersebut yang bersifat final dan mengikat.

Implikasi terhadap Pilkada Aceh

Korelasi prasyarat Pencalonan bagi calon kepala daerah antara UUPA (UU No. 11/2006) dan UU Pilkada (UU No. 8/2015)

UU No.11/2006 (UUPA) UU No. 8/2015 (UU Pilkada)Pasal 91 ayat 4 huruf f : surat pernyataan kes-anggupan mengundurkan diri dari jabatan apa-bila terpilih menjadi Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan

Pasal 7 huruf s : memberitahukan pencalonan-nya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupa-ti, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi an-ggota Dewan Perwakilan Daerah, atau kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

huruf h : surat pernyataan tidak aktif dari ja-batannya bagi pimpinan DPRA/DPRK tempat yang bersangkutan menjadi calon di daerah yang menjadi wilayah kerjanya. Huruf i : Surat pemberitahuan kepada pimpinan bagi anggota DPR, DPD, dan DPRA/DPRK yang mencalonkan diri sebagai calon Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota

ANALISIS SITUASI (ANSIS) JARINGAN SURVEI INISIATIF VOL. I/ TAHUN 2015

Page 7: ANALISIS SITUASI VOL 1

HALAMAN 7

Secara substansi antara bunyi Pasal 7 huruf s UU No. 8/2015 dengan UU No.11/2006 pasal 91 ayat 4 (huruf f, h dan i). Bah-wasanya persyaratan bagi calon yang

berlatarbelakang anggota DPRA/DPRK hanya pemberitahuan kepada pimpinan DPRA/DPRK saja. Sedangkan bagi PNS, anggota TNI dan an-ggota Polri diharuskan mengundurkan diri. Hal ini jika merujuk pada Putusan Mahkamah Kon-stitusi No. 33/PUU/XIII/2015 tentu dapat dimak-nain konstitusional bersyarat, dan bertentangan dengan UUD 1945.

Walaupun secara jelas bahwa Aceh memiliki kekhu-susan (lex specialis) melalui UU No. 11/2006. Namun perlu ditinjau bahwa dasar Putusan MK No. 33/PUU-XIII/2015 sebuah keputusan yang bersifat Declaratoir constitutive dan mempunyai kekuatan mengikat serta kekuatan eksekutorial. Putusan MK yang bersifat Final dan Binding serta Ergo Omnes. Sehingga, niscaya dipatuhi dan diikuti oleh siapa pun. Bahkan penafsir-an hukum secara moral reading dari UUD 1945 yang merupakan dasar konstitusi negara sebagai rujukan hukum tertinggi di Indonesia.

Selain itu mengenai persyaratan pemberitahuan bagi calon yang berlatarbelakang anggota DPRA/DPRK kepada pimpinan DPRA/DPRK tersebut hemat kami bukan merupakan bagian dari kekhususan Aceh dalam bidang politik melainkan turunan lebih lanjut dari penjabaran teknis pencalonan yang sebelumnya dia-dopsi dari UU No 32 Tahun 2004 dan perubahan nya tentang Pemerintahan Daerah. Dalam bidang politik kekhususan Aceh sebagaimana yang termaktub dalam UUPA ialah :

• Pendirian Partai Politik Lokal (Pasal Bab XI Pasal 75) ,

• Calon Independen (Pasal 67 ayat 1 huruf d ), • adanya Qanun tersendiri yang mengatur penye-

lenggaraan Pilkada (Pasal 66 ayat 6), • Ketentuan mengenai mampu melaksanakan Syariat

Islam bagi kandidat kepala daerah (Pasal 67 Ayat 2 huruf b) serta

• Pembentukan Komisi Independen Pemilihan (BAB IX Pasal 56)

Dalam rangka menghindari multi tafsir dan polemik hukum di kemudian hari, kami merekomen-dasikan untuk dilakukan Judicial Review (JR) atau peninjauan kembali terkait persyaratan pemberitahuan bagi calon yang berlatarbelakang anggota DPRA/DPRK kepada pimpinan DPRA/DPRK sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 91 Ayat (4) Huruf I kepada MK.

“Apabila tidak dilakukan JR, maka kemungkinan besar Qa-nun Pilkada Aceh kedepan

tidak akan mengadopsi norma sebagaimana yang diatur dalam Putusan MK No. 33/PUU-XIII/2015 atau dengan kata lain, calon yang berlatarbelakang anggota DPRA/DPRK di Aceh berpotensi besar TIDAK PERLU MUNDUR dari ja-batannnya ketika mendaftar se-bagai calon.

Padahal MK sendiri telah mengatur ketentuan wajib mundur bagi calon yang berlatar belakang anggota legislatif dan ketentuan tersebut berlaku secara mutlak bagi seluruh calon yang berlatar belakang legislatif di seluruh wilayah Indonesia. Apabila Hal ini terjadi maka akan amat rentan dikarenakan apabila calon yang berlatar belakang anggota legislatif tersebut menang dalam Pilkada, akan rawan gugatan dari pihak lain yang tidak puas terhadap hasil Pemilihan.

ANALISIS SITUASI (ANSIS) JARINGAN SURVEI INISIATIF VOL. I/ TAHUN 2015

Page 8: ANALISIS SITUASI VOL 1

HALAMAN 8

Pihak yang tidak puas akan menggugat calon yang berlatang belakang anggota DPRA/DPRK tersebut ke-pada Mahkamah Konstitusi dan implikasinya Mahka-mah harus memenangkan gugatan tersebut dikare-nakan sejak awal calon yang berlatang belakang anggota DPRA/DPRK tersebut sudah cacat prosedural sejak awal pencalonan (tidak mundur dari jabatan publik) dimana hal tersebut bertentangan dengan Putusan MK No. 33/PUU-XIII/2015.

Hal demikian akan berefek pada keamanan dan kes-tabilan daerah pasca Pilkada. Negara akan mengelu-arkan biaya ekstra untuk menyelenggarakan kembali Pemilihan Kepala Daerah ulang. Selain itu potensi rusuh dan konflik ditenggarai akan besar kemudian hari dikarenakan protes dari pendukung calon yang berlatang belakang anggota DPRA/DPRK tersebut. Pendukung merasa bahwa calonnya telah menang pilkada secara demokratis.

Sedangkan kelompok kontra menilai sejak awal pencalonan kepala daerah yang berlatang belakang anggota DPRA/DPRK tersebut sudah cacat secara prosedural dan pemilihan bertentangan dengan hu-kum karena mengikutsertakan calon yang seyogyanya tidak dikutsertakan akibat adanya ketentuan yang tidak ditaati dalam pencalonan.

Selain itu skenario yang dapat terjadi apabila calon yang berlatang belakang anggota DPRA/DPRK menang dalam Pilkada dengan mengabaikan Putusan MK No. 33/PUU-XIII/2015 ialah Calon yang berla-tang belakang anggota DPRA/DPRK tersebut dapat saja mengklaim sudah memenangkan Pilkada secara sah dan legal sesuai dengan peraturan perundang un-

dangan, dalam hal ini UUPA dan Qanun Pilkada, akan langsung memproses pelanti-kan dirinya. Hal ini dapat saja terjadi terlebih KIP Aceh da-lam hal ini sempat menyatakan bahwa tidak ada khilafiah da-lam pelaksanaan Pilkada Aceh, Aceh hanya merujuk UUPA. Pernyataan tersebut dapat ditafsirkan bahwa pelaksanaan Pilkada Aceh dapat saja meng-

abaikan peraturan yang mengatur tentang Pemilu lainnya yang berskala nasional juga Putusan MK.

Apabila Kemendagri belum merespon tuntutan pelan-tikan dari kubu Calon yang berlatang belakang anggo-ta DPRA/DPRK maka akan timbul konflik Aceh vis a vis Pusat kembali.

Intinya dalam pengambil kebijakan di Aceh dihara-pkan dapat membaca teks UUD dan UU secara “moral reading” yang keduanya tidak boleh dibaca secara datar teks/naskah. Sehingga dapat menemukan kandungan moral dari naskah aturan tersebut dengan mempertimbangkan konteks, filosofis sesuai dengan cita-cita demokrasi guna membangun konstruksi hukum dalam penerapan atau penyusunan Qanun Pilkada serentak di Aceh untuk tahun 2017.

Dalam pembuatan Qanun Pilkada yang sedang dibuat haruslah memperhatikan aspek filosofis, yuridis, sosiologis, dan historis. Diperlukan juga menelaah asa-asas dan penjelasan interpretasi hukum sehingga tidak bersifat ambigu. Jangan sampai menjadi polemik publik atas Qanun Pilkada yang dibuat DPR Aceh. []

Jaringan Survey Inisiatif®Jl. Syiah Kuala, Lr. Nyak Bintang, Gp. Lamdingin, Kec. Kuta Alam, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh-23127Telp. (0651) 6303 146Web: www.jsithopi.org Email: [email protected]

Analisis : Aryos Nivada, MA & Tim JSIDesainGrafis :TeukuHaristMuzani

ANALISIS SITUASI (ANSIS) JARINGAN SURVEI INISIATIF VOL. I/ TAHUN 2015