bab i pendahuluan a. latar belakang...

27
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan adalah permasalahan kompleks, sehingga penanggulangannya perlu banyak usaha dan cara. Berbagai macam program penanggulangan / pengentasan kemiskinan telah diluncurkan pemerintah dengan melibatkan berbagai instansi dan sektor. Sampai akhir Pelita VI muncul berbagai macam program pengentasan kemiskinan, tetapi sebagaian besar dengan pendekatan wilayah administratif, program berbasis kepentingan sektoral, sehingga kurang dapat dipadukan dan akhirnya akan memunculkan persaingan antar sektor. Banyak orang miskin tidak mau dikatakan miskin, tetapi bila ada bantuan, maka orang kayapun sering mengatakan dirinya miskin, sebab kegiatan pada saat ini sebgian besar hanyalah berupa pemberian bantuan kepada orang miskin. Dengan demikian bukan kail diberikan, tetapi ikan yang diberikan, sehingga tidak terlihat adanya pemberdayaan masyarakat, tetapi hanya nampak adanya orang memberi dan menerima. Penyebab semua ini adalah bahwa dalam pelaksanaannya pembangunan masyarakat harus selalu mengacu pada kebijakan-kebijakan dari Pemerintah Pusat, padahal kebijakan-kebijakan tersebut belum tentu cocok apabila diterapkan pada semua wilayah dengan berbagai kondisi spesifik. Untuk mengantisipasi maka dimunculkanlah kebijakan agar menjadi jembatan antara daerah dengan pusat dan

Upload: vocong

Post on 07-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1  

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemiskinan adalah permasalahan kompleks, sehingga penanggulangannya

perlu banyak usaha dan cara. Berbagai macam program penanggulangan /

pengentasan kemiskinan telah diluncurkan pemerintah dengan melibatkan berbagai

instansi dan sektor. Sampai akhir Pelita VI muncul berbagai macam program

pengentasan kemiskinan, tetapi sebagaian besar dengan pendekatan wilayah

administratif, program berbasis kepentingan sektoral, sehingga kurang dapat

dipadukan dan akhirnya akan memunculkan persaingan antar sektor.

Banyak orang miskin tidak mau dikatakan miskin, tetapi bila ada bantuan, maka

orang kayapun sering mengatakan dirinya miskin, sebab kegiatan pada saat ini

sebgian besar hanyalah berupa pemberian bantuan kepada orang miskin. Dengan

demikian bukan kail diberikan, tetapi ikan yang diberikan, sehingga tidak terlihat

adanya pemberdayaan masyarakat, tetapi hanya nampak adanya orang memberi dan

menerima.

Penyebab semua ini adalah bahwa dalam pelaksanaannya pembangunan

masyarakat harus selalu mengacu pada kebijakan-kebijakan dari Pemerintah Pusat,

padahal kebijakan-kebijakan tersebut belum tentu cocok apabila diterapkan pada

semua wilayah dengan berbagai kondisi spesifik. Untuk mengantisipasi maka

dimunculkanlah kebijakan agar menjadi jembatan antara daerah dengan pusat dan

2    

   

dapat mengeliminir kesenjangan tersebut, kebijakan itu adalah dengan Program

Pengembangan Wilayah Terpadu ( PPWT ), menurut Mohtar Mas’oed (1994):

Program Pembangunan Masyarakat Desa yang dirancang dari atas itu mendorong penetrasi negara yang mendalam dan meluas ke dalam kehidupan pedesaan dan pengintegrasiannya ke dalam kerangka kerja nasional. Selain memberi kesempatan kepada penduduk desa untuk menikmati sumberdaya yang dimiliki negara, program itu juga memaksakan penyeragaman pelembagaan desa dengan resiko menghapuskan keunikan lokal. Di hadapan hukum nasional, banyak lembaga-lembaga lokal kehilangan keabsahan. Ditambah dengan mekanisme pengendalian yang ketat, kondisi itu melemahkan otonomi pedesaan. Dan akhirnya memandulkan potensi-potensi yang ada disana untuk menumbuhkan demokrasi.1 Banyak penduduk hidup di bawah garis kemiskinan merupakan tantangan bagi

pemerintah. Konstitusi mewajibkan pemerintah untuk mengentaskannya. Program

Pengembangan Wilayah Terpadu merupakan program yang diharapkan dapat

meningkatkan secara langsung pendapatan/kesejahteraan masyarakat berpenghasilan

rendah di daerah yang berpotensi, tetapi belum berkembang dengan membuka daerah

terisolir, meningkatkan produktivitas masyarakat, menciptakan keserasian laju

pertumbuhan antar daerah dan antar sektoral, meningkatkan kualitas dan menjaga

kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup, mendorong pertumbuhan

lapangan kerja serta memecahkan masalah spesifik di wilayah tertentu.

Potensi masyarakat di daerah yang berwujud partisipasi masyarakat harus

mendapatkan perhatian dari pemerintah. Menurut Mohtar Mas’oed ( 1994 ) :

Partisipasi masyarakat hanya dalam wujud ikut serta menerapkan teknologi yang diperkenalkan atau dalam bentuk menggalakkan tabungan nasional, bayar pajak, hanya mengkonsumsi produk dalam negeri, mengetatkan ikat pinggang, menginvestasikan modal dan sebagaianya. Dan ini didukung oleh teorisasi

                                                                                                                         1 Mohtar Mas’oed, Negara, Kapital dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1994. (p. 97)

3    

   

modernisasi yang menekankan perlunya ditumbuhkan perilaku modern mendukung transfer teknologi dan pembentukan kapital.2 Perilaku tersebut cenderung dimiliki masyarakat ibukota dan sedikit sekali

dimiliki oleh masyarakat di daerah. Hampir putusnya hubungan antara masyarakat

ibukota dengan masyarakat di daerah merupakan suatu issue yang patut untuk kita

pertimbangkan. Seandainya ada hubungan tersebut hanyalah sebatas hubungan searah

yang berwujud hubungan yang bersifat top down dan ekstratif, bukan hubungan

kerjasama dan saling dukung antara masyarakat ibukota dan masyarakat di daerah.

Sangat diperlukan pendekatan yang menitik beratkan pada masalah ketenagakerjaan

dan penyediaan lapangan kerja serta menumbuhkan adanya partisipasi aktif dari

masyarakat bukan pendekatan dengan melakukan penekanan pada pembentukan

kapital serta penumpukan modal. Hubungan harmonis antara pusat dengan daerah

diperlukan guna menumbuhkan partisipasi aktif dari masyarakat.

Partisipasi masyarakat diarahkan pada empat sasaran yaitu: partisipasi

masyarakat dalam pembuatan keputusan, penerapan keputusan, partisipasi dalam

menikmati hasil yang dicapai dan partisipasi dalam mengevaluasi hasil yang telah

dicapai. Pada pemerintahan Orde Baru perilaku partisipasi masyarakat adalah

partisipasi dalam penerapan keputusan, bukan dalam pembuatan, maupun evaluasi.

Kondisi ini tidak menggambarkan adanya suatu demokrasi yang baik. Menurut John

M. Cohen dan Norman T. Uphoff dalam Mohtar Mas’oed (1994), efektivitas

keikutsertaan masyarakat sangat ditentukan oleh banyaknya power yang dimiliki oleh

masyarakat. Partisipasi sejati adalah kondisi warga memperoleh kontrol lebih besar,

                                                                                                                         2 Mas’oed, (p. 98)

4    

   

sehingga mempengaruhi kehidupan masyarakat. Dua hal dapat dipakai memahami

persoalan demokratisasi : Pertama perlunya sikap moderasi yaitu bergaining power

rasional dan jangka panjang, bukan tindakan bernafsu dan sekali jadi. Dalam

beberapa hal diperlukan tindakan incremental yaitu membentuk demokrasi secara

step by step. Kedua perlunya empowerment yaitu suatu sikap yang menegaskan

bahwa proses demokratisasi harus diupayakan, tidak dapat ditunggu kedatangannya,

sehingga diperlukan pemupukan power pada para pengikiutnya.

Power adalah kemampuan memaksakan kehendak pada pihak lain. Dalam

pengertian distributif hubungan power bersifat zero sum dan sangat kompetitif. Orang

berperilaku rasional tidak mungkin dapat bekerjasama karena mereka beranggapan

bahwa dengan diberikannya power kepada pihak lain maka akan merugikan dirinya.

Selain itu power juga memiliki dimensi generatif, bersifat positive sum, yaitu

bahwa pemberian power kepada pihak lain dapat meningkatkan power-nya sendiri

tanpa mengurangi sedikitipun power yang dimilikinya, sehingga bertambah banyak

power diberikan, maka akan bertambah besar pula power kita. Dalam kehidupan

politik dikatakan bahwa pemberian power pada rakyat dapat meningkatkan power

pemerintah atau dapat dikatakan bahwa dengan tambahan power pada masyarakat

bukan berarti kehancuran bagi pemerintah. Demikianlah tadi pendapat dari John M.

Cohen dan Norman T. Uphoff yang termaktub dalam Mohtar Mas’oed (1994).

Saat ini perekonomian berada pada situasi paling buruk setelah berada pada

persimpangan antara ekonomi rakyat kecil yang makin tergusur dengan semakin

menguatnya kondisi ekonomi konglomerat di perkotaan sehingga terjadi suatu jarak

5    

   

yang cukup lebar diantara keduanya. Oleh karena itu diperlukan adanya penggarapan

dan pengembangan ekonomi rakyat kecil untuk mempersempit jarak tersebut.

Indonesia sedang mengalami dilematis karena krisis berkepanjangan sedang

melanda. Berdasarkan perkiraan dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional

( BKKBN ), saat ini penduduk miskin di Indonesia lebih dari seratus juta jiwa, berarti

berkisar 50% (lima puluh persen) atau separuh dari jumlah penduduk Indonesia.

Pertambahan penduduk miskin saat ini disebabkan berhentinya kegiatan ekspor

impor. Kontribusi terbesar Income per Capita pada masa lalu berasal dari produksi

barang dengan bahan baku terbesar dari komponen impor. Tetapi di lain pihak orang-

orang miskin, ada yang menikmati panen raya karena produknya hanya sedikit

mengandung bahan impor, sehingga dapat bersaing dengan produk berbahan impor.

Akhir Repelita V dan Repelita VI pemerintah sudah berusaha untuk

mengangkat harkat dan martabat masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan,

banyak cara sudah dilakukan untuk mengentaskan, yaitu dengan dimasyarakatkannya

berbagai program pengentasan kemiskinan.

Upaya paling strategis dalam mengurangi kesenjangan ekonomi dan sosial di

negara kita dewasa ini adalah penerapan dari demokrasi ekonomi, dan ekonomi

kekeluargaan, menurut Mubyarto saat ini terjadi perdebatan di kalangan cendekiawan

menyangkut masalah penjabaran demokrasi ekonomi, tetapi belum masuk dalam

ekonomi kekeluargaan, karena demokrasi ekonomi mnghendaki seluruh rakyat dan

kekuatan ekonomi ikut serta dalam proses pengambilan keputusan ekonomi

(produksi), sedang ekonomi kekeluargaan lebih menekankan pada apa yang

dihasilkan (distribusi) dari pelaksanaan demokrasi ekonomi. Pancasila mengharuskan

6    

   

adanya persatuan (bangsa) Indonesia dan kerakyatan untuk mewujudkan keadilan

sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal tersebut mengandung pengertian diperlukan

adanya demokrasi di segala bidang, mencakup bidang politik, ekonomi dan hukum.

Hanya dengan prinsip demokrasi dapat dicapai kemakmuran merata bagi seluruh

masyarakat, bukan kemakmuran bagi beberapa orang. Demokrasi Ekonomi menunjuk

pada cara-cara produksi, ekonomi kekeluargaan menunjuk pada hasilnya (distribusi)

dan Ekonomi Pancasila menunjukkan pedoman dan asas-asas umum perilaku

berekonomi dan berbisnis sehari-hari.

Untuk mempercepat laju pembangunan di segala bidang, terutama dalam

hubungannya dengan pemerataan pembangunan ke berbagai daerah, sejak Pelita IV

pemerintah telah menyusun program terobosan yang disebut sebagai Program

Pengembangan Wilayah Terpadu ( PPWT ).

Berbeda dengan program-program pembangunan Sektoral dan Inpres lainnya,

PPWT memiliki ciri spesifik, yaitu program tanpa mengenal batas administratif

daerah dan tidak mengenal egoisme sektoral yang dominan. Program ini tidak

semata-mata mengejar tujuan yang bersifat fisik saja akan tetapi juga sangat

memperhitungkan adanya dimensi kewilayahan serta adanya upaya peningkatan

kapasitas kelembagaan dan aparatur di daerah.

Pelaksanaan awal dari program ini lebih ditujukan pada proyek-proyek dengan

skala kecil, karena dimaksudkan sebagai media bagi aparat pemerintah daerah dalam

melakukan analisa wilayah dan merencanakan berbagai jenis kegiatan sesuai

kebutuhan daerah; kaitannya terhadap dukungan proses desentralisasi, partisipasi dan

kontribusi daerah dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan.

7    

   

Berpijak pada permasalahan tersebut, maka model dapat dilaksanakan di semua

daerah dengan mengandalkan pada sumber dan potensi pada masing-masing derah.

Ini memerlukan sutu modifikasi dan penyempurnaan yang berkesinambungan sesuai

kondisi, potensi dan permasalahan masing-masing daerah.

Dalam era otonomi daerah, program ini sangat bermanfaat karena dalam era ini

diharapkan masing-masing daerah dapat mandiri dalam menentukan kegiatannya

dalam rangka membangun daerah, tanpa perlu adanya ketergantungan yang sangat

tinggi dengan pemerintah pusat.

Pelaksanaan program ini dikelola sampai tingkat terendah yaitu kecamatan.

Diharapkan Camat secara aktif ikut serta melibatkan masyarakat mulai dari proses

perencanaan sampai pada tahap evaluasinya, sehingga masyarakat dapat terlibat

secara langsung dalam kegiatan pembangunan.

Program Pengembangan Wilayah Terpadu dilaksanakan berdasarkan instruksi

Menteri Dalam Negeri Nomor: 14 Tahun 1990 tentang Pedoman Pelaksanaan

Program Pengembangan Wilayah Terpadu dalam rangka Pembangunan Daerah,

tanggal 7 Mei 1990. Program Pengembangan Wilayah Terpadu bertujuan untuk :

(1) Meningkatkan secara langsung pendapatan / kesejahteraan golongan masyarakat pedesaan dan perkotaan berpenghasilan rendah di daerah yang berpotensi tetapi belum berkembang

(2) Menyempurnakan dan meningkatkan kemampuan : a. Aparatur Pemerintah Daerah Tingkat I, Tingkat II, dan kecamatan yang

terlibat langsung dalam penanganan Program Pengembangan Wilayah Terpadu;

b. Aparatur Pemerintah Pusat dalam rangka membina Program Pengembangan Wilayah Terpadu yang dikelola oleh Pemerintah Daerah;

(3) Membuka daerah-daerah terisolir, terpencil, perbatasan, kritis dan minus; pusat-pusat produksi dan pemasaran serta daerah pariwisata demi

8    

   

memperlancar arus pengangkutan barang dan jasa serta mobilitas kelancaran perekonomian daerah serta keseluruhan;

(4) Meningkatkan produktivitas masyarakat melalui pengembangan ragam dan pola teknis di bidang pertanian, industri dan teknologi yang sesuai dengan kondisi dan potensi wilayah;

(5) Menciptakan keterbukaan masyarakat melalui upaya pendidikan dan penyuluhan dalam rangka membuka isolasi sosial masyarakat;

(6) Membantu terciptanya upaya yang mempunyai nilai dan pola perilaku kreatif, inovatif dan sikap wirausaha pada masyarakat;

(7) Menciptakan keserasian laju pertumbuhan antar daerah dan antar sektoral; (8) Meningkatkan kualitas dan menjaga kelestarian sumber daya alam dan

lingkungan hidup; (9) Mendorong pertumbuhan lapangan kerja; (10) Meningkatkan peranan wanita dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat

dalam pembangunan; (11) Memecahkan masalah-masalah yang bersifat spesifik di wilayah-wilayah

tertentu.3

Instruksi Menteri Dalam Negeri ini ditindak lanjuti dengan Panduan

Operasional nomor 050/1402/Bangda tertanggal 5 Juni 1993, sebagai dasar

operasional kegiatan-kegiatan dalam rangka pelaksanaan Program Pengembangan

Wilayah Terpadu ( PPWT ).

Pelaksanaan Program Pengembangan Wilayah Terpadu mempunyai ciri-ciri

dapat mendorong pelaksanaan desentralisasi dengan melibatkan masyarakat dalam

proses perencanaan dan pelaksanaan, sebagai upaya mengembangkan kemampuan

dan kemandirian lembaga-lembaga pemerintahan dan masyarakat. Hal tersebut

dimaksudkan dapat mendorong motivasi dan partisipasi masyarakat dalam

pembangunan, dilaksanakan dengan mengutamakan daerah-daerah yang belum

tersentuh kegiatan pembangunan, baik melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Propinsi maupun

                                                                                                                         3 Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1990 (p.9-10)

9    

   

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota,berorientasi pada

keterpaduan pelaksanaan dan masalah-masalah khusus di daerah. Maksud lain adalah

untuk membuka daerah terbelakang dengan mendorong pertumbuhan sosial ekonomi

daerah, meningkatkan inovasi dan kreativitas masyarakat serta dapat diterapkannya

teknologi tepat guna dengan cara meningkatkan dan memantapkan hubungan

kerjasama harmonis antara Kelurahan, Kecamatan, Pemerintah Kabupaten/Kota,

Pemerintah Propinsi hingga Pusat.

Program pemberdayaan masyarakat Program Pengembangan Wilayah Terpadu

adalah merupakan usaha penanganan antar daerah dan lintas sektoral, agar dapat

dikelola dengan baik karena pendekatan tidak berdasarkan pada pendekatan batas

administratif saja, tetapi wilayah dengan karakteristik permasalahan sama dan secara

geografis posisinya berdampingan. Dalam pelaksanaannya masing-masing daerah

diharapkan dapat menentukan wilayah konsentrasi yang memenuhi syarat untuk

digarap bersama-sama dengan manajemen keroyokan sehingga pada akhir kegiatan

diharapkan dapat melakukan perencanaan pembangunan, pelaksanaan pembangunan

dan evaluasi kegiatan pembangunan tersebut. Dengan dilaksanakannya Program

Pengembangan Wilayah Terpadu, masyarakat dapat langsung menangani

permasalahan di wilayahnya dengan membuat daftar usulan kepada Camat untuk

dapat ditangani secara lintas sektoral. Dalam Program Pengembangan Wilayah

Terpadu peran serta dari masyarakat sebagai orang yang mengenal serta mengerti

situasi, kondisi dan potensi yang ada di wilayahnya sangat diharapkan.

Dalam pelaksanaan Program Pengembangan Wilayah Terpadu di

Pemerintah Kota Yogyakarta terdapat beberapa kesenjangan yang terjadi hal ini

10    

   

disebabkan karena tidak adanya persamaan persepsi dalam menangani kegiatan ini.

Hal itu terjadi baik ditingkat Pemerintah Kota, Kecamatan hingga ke masyarakat.

Banyaknya faktor yang mempengaruhi mengakibatkan kejadian ini terjadi,

pengalaman masa lalu menjadi suatu faktor yang amat sangat mempengaruhi

pelaksanaan kegiatan ini, ketidaksiapan mental dari para pelaku juga mempengaruhi

dalam pelaksanaannya. Banyaknya masyarakat yang menganggap bahwa kegiatan ini

hanyalah sebuah proyek yang biasanya merupakan suatu rekayasa menjadikan

kegiatan ini mengalami kendala.

Kegiatan dari program Pengembangan Wilayah Terpadu ini diperlukan suatu

wilayah konsentrasi pengembangan yang strategis, sehingga Kota Yogyakarta dalam

satu periode pelaksanaan yaitu selama 3 tahun hanya menentukan satu wilayah

kecamatan sebagai wilayah konsentarsi pengembangan dengan berbagai macam

pertimbangan serta dasar dalam menentukannya. Hal ini dilakukan dengan maksud

agar wilayah kecamatan yang relatif tertinggal dapat mengejar ketertinggalannya

dengan wilayah kecamatan lainnya, diharapkan suatu saat nanti akan ada kesejajaran

anatara satu kecamatan dengan kecamatan lainnya karena jurang pemisah antara satu

kecamatan dengan kecamatan lainnya tidak begitu jauh, hal ini diharapkan agar

tingkat perekonomian di Kota Yogyakarta relatif baik.

Kecamatan Gedongtengen dan Kecamatan Umbulharjo adalah dua

kecamatan yang dapat mewakili Kota Yogyakarta pada masing-masing periodenya.

Kecamatan Gedongtengen menjadi wilayah konsentrasi pada tiga tahun pertama,

sedangkan Kecamatan Umbulharjo terpilih sebagai wilayah konsentrasi

pengembangan pada tiga tahun berikutnya.

11    

   

B. Perumusan Masalah

Setelah melakukan pencermatan pada aturannya maka dapat dibandingkan

dengan keadaan di lapangan, karena aturan tersebut adalah merupakan keadaan ideal

apabila Program Pengembangan Wilayah Terpadu telah diimplementasikan sesuai

dengan tujuan, sehingga apabila terjadi penyimpangan, maka dapat diketahui bahwa

penyimpangan disebabkan oleh faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya.

Berbagai faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan Program

Pengembangan Wilayah Terpadu akan berpengaruh kepada kinerja implementasi

kebijakan Program Pengembangan Wilayah Terpadu di Kota Yogyakarta. Masalah

penelitian ini adalah: “ Apakah kebijakan Program Pengembangan Wilayah Terpadu

di Kota Yogyakarta telah diimplementasikan sesuai aturan, sehingga pemberdayaan

perekonomian di Kota Yogyakarta dapat tercapai?”

Berdasarkan permasalahan tersebut,dalam melakukan analisis dilakukan atas

dasar hasil penelitian di lapangan dengan pendekatan metode kualitatif (survei),

kemudian dilakukan grounded research dengan pendekatan kualitatif (pengamatan

dan wawancara mendalam), dimaksudkan dapat melihat jelas serta mengetahui

implementasi di lapangan serta dapat menjawab berbagai pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah proses implementasi kebijakan PPWT di Kecamatan

Gedongtengen dan Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta?

2. Bagaimanakah kinerja implementasi kebijakan PPWT di Kecamatan

Gedongtengen dan Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta?

3. Faktor apa yang mempengaruhi kinerja implemnetasi kebijakan PPWT di

Kecamatan Gedongtengen dan Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta?

12    

   

C. Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui proses

implementasi Program Pengembangan Wilayah Terpadu (PPWT) di Kecamatan

Gedongtengen dan Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta. Sedangkan secara

khusus ingin mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja Program

Pengembangan Wilayah Terpadu di Kecamatan Gedongtengen dan Kecamatan

Umbulharjo Kota Yogyakarta.

D. Landasan Teori

1. Strategi pembangunan desa di Indonesia

Strategi pembangunan desa yang ada di Indonesia saat ini tidak konstan, hal

ini dapat dilihat dari kegiatan pembangunan yang dilakukan selama ini. Situasi

obyektif dalam melakukan kegiatan pembangunan desa pada kurun waktu tertentu

serta tersedianya sumber daya dapat mewarnai strategi yang dipilih.

Ginandjar Kartasasmita (1996): Strategi pembangunan nasional yang

diterapkan semasa Orde Baru mencatat kemajuan yang sangat berarti, tetapi akibat

adanya laju perkembangan yang tidak seimbang antar daerah maka terjadilah

kesenjangan anatar daerah yang demikian luasnya, untuk mengejar kesenjangan

tersebut bukanlah suatu pekerjaan yang mudah karena hal itu akan menjadi kendala

yang tidak mudah diatasi. Hal ini disebabkan karena: adanya keterbatasan pemerintah

mengucurkan dana untuk membangun sarana dan prasarana, keterbatasan sumber

daya manusia di wilayah terbelakang, tantangan pada era globalisasi, memerlukan

kesiapan dari sumber daya yang ada serta sulitnya menarik investor masuk dalam

13    

   

suatu daerah terbelakang, menurut Mohtar Mas’oed (1994): Selama Orde Baru

restrukturisasi politik Indonesia dianggap sebagai syarat untuk mencapai keberhasilan

pembangunan ekonomi sedangkan menurut Gunawan Sumodiningrat (1998):

Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang bersifat multidimensi,

berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya dan aspek lainnya. Kemiskinan

ditandai oleh keterisolasian, keterbelakangan dan pengangguran, yang kemudian

meningkat menjadi ketimpangan antar daerah, antar sektor dan antar golongan

penduduk, lain lagi apa yang dikatankan Mohtar Mas’oed (1997): Kemiskinan

dibedakan dalam dua jenis yaitu kemiskinan alamiah dan kemiskinan buatan

(artificial). Kemiskinan alamiah timbul akibat kelangkaan sumber daya alam

sedangkan kemiskinan buatan lebih diakibatkan oleh munculnya kelembagaan yang

membuat anggota masyarakat tidak dapat menguasai sumber daya, sarana dan

fasilitas ekonomi secara merata.

Dengan melihat berbagai pendapat tersebut, agak sukar untuk menempatkan

tujuan akhir, sasaran, target kualitatif dan kuantitatif, persepsi terhadap kondisi awal

dan strategi untuk mencapainya dalam suatu koherensi konseptual. Hal ini disebabkan

adanya persepsi terhadap permasalahan masyarakat desa yang tidak mendasar,

sehingga langkah-langkah yang diambil dalam pembangunan juga kurang mendasar

dan lepas dari sasaran yang ditetapkan.

2. Strategi pembangunan ekonomi rakyat

Ekonomi rakyat adalah suatu kegiatan perekonomian dengan pelakunya

adalah rakyat kecil, sedangkan rakyat kecil itu sendiri merupakan sebagian besar dari

masyarakat Indonesia. Membangun ekonomi rakyat berarti akan meningkatkan

14    

   

kemampuan rakyat dengan cara mengembangkan potensi dan mendinamisasikannya,

atau dengan kata lain adalah memberdayakan masyarakat untuk berperan serta secara

aktif dalam pembangunan dan pengembangan sistem perekonomian. Pemberdayaan

masyarakat bertujuan untuk mengembangkan potensi ekonomi rakyat, sehingga akan

meningkatkan produktivitas rakyat, akhirnya sumber daya alam di sekitarnya dapat

dimanfaatkan secara optimal. Rakyat dan lingkungannya akan mampu secara

partisipatif menghasilkan dan menumbuhkan nilai tambah, hingga akhirnya dapat

meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan mereka. Rakyat miskin atau yang

belum termanfaatkan secara penuh potensinya akan meningkat bukan hanya

ekonominya, tetapi juga harkat, martabat, rasa percaya diri dan harga dirinya.

Menurut Mubyarto (1997), pengembangan ekonomi rakyat dapat dilihat dari

tiga sisi:

1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Titik tolak pemikirannya adalah pengenalan bahwa setiap manusia dan setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya.

2. Memperkuat potensi ekonomi yang dimiliki oleh masyarakat itu. Dalam rangka memperkuat potensi ekonomi rakyat ini, upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan dan derajat kesehatan serta terbukanya kesempatan untuk memanfaatkan peluang-peluang ekonomi.

3. Mengembangkan ekonomi rakyat juga mengandung arti melindungi rakyat dan mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta mencegah eksploitasi golongan ekonomi yang kuat atas yang lemah. Upaya melindungi rakyat tersebut tetap dalam rangka proses pemberdayaan dan pengembangan prakarsanya4.

Pelaksanaan pembangunan nasional, melalui berbagai program, proyek dan

kegiatan pembangunan semua sasarannya bermuara pada masyarakat, tetapi

                                                                                                                         4 Mubyarto, Ekonomi Rakyat Program IDT & Demokrasi Ekonomi Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta, 1997 (p. 37)

15    

   

kenyataannya belum sesuai dengan yang diharapkan pada Garis-garis Besar Haluan

Negara,padahal sesungguhnya Garis-garis Besar Haluan Negara itu sendiri adalah

keputusan dari keinginan dan kehendak masyarakat.

3. Kemiskinan dan faktor-faktor penyebabnya

Definisi konsep dan operasional tentang kemiskinan belum memiliki rumusan

yang jelas dan pasti. Untuk menentukan suatu kebijakan harus dimulai dari rumusan

jelas dan pasti tentang apa serta bagaimana kemiskinan tersebut, karena apabila

rumusan jelas maka dengan mudah dapat dijadikan indikator untuk menilai

keberhasilan kebijakan pengentasan kemiskinan yang telah dicapai, serta dapat

dimonitor dan diantisipasi secara cepat dan akurat.

Belum adanya kesamaan pengertian kemiskinan dapat dilihat dengan adanya

pengelompokan definisi kemiskinan ke dalam dua hal, yaitu definisi relatif dan

definisi absolut. Reitsma dan Kleinpening (1985) yang dikutip oleh Yeremias T.

Keban (1995), merumuskan definisi yang bersifat relatif tentang kemiskinan adalah

ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seseorang, mencakup material

maupun non material. Sementara Sen (Meier, 1989) menyatakan definisi yang

bersifat absolut, bahwa kemiskinan adalah the failure to have certain minimum

capabilities. Definisi ini mengacu pada standar kemampuan minimum, berarti bahwa

penduduk yang tidak melebihi kemampuan minimum dapat dianggap sebagai miskin.

Di Indonesia kemiskinan sering mengacu pada rumusan yang dikeluarkan oleh

Biro Pusat Statistik (BPS), yaitu dengan membuat garis kemiskinan melalui

pengeluaran nilai rupiah yang setara dengan 2100 kkal per orang perhari ditambah

dengan nilai rupiah untuk kebutuhan non pangan yang dihitung dari pengeluaran

16    

   

untuk perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, penerangan, bahan bakar dan air

yang diperoleh oleh Hasil Survai Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Berarti garis

kemiskinan mempunyai dua komponen yaitu komponen batas kecukupan pangan dan

komponen batas kecukupan non pangan. Dengan demikian mereka yang tergolong

miskin adalah mereka yang pengeluarannya berada di bawah garis kemiskinan.

Bank Dunia menggunakan batas ukuran kemiskinan adalah pendapatan sebesar

1 (satu) dollar Amerika Serikat per orang per hari, sehingga apabila pendapatan rata-

rata yang diperoleh per orang perhari kurang dari 1 (satu) dollar Amerika Serikat

maka orang tersebut termasuk dalam kategori miskin.

Selain itu ada pula pendapat dari Sayogyo (1977) yang mengukur garis

kemiskinan dengan menggunakan standar beras. Untuk daerah pedesaan adalah

kurang dari 320 kg beras perorang pertahun sedangkan untuk daerah perkotaan adalah

kurang dari 480 kg beras perorang pertahun. Baik untuk daerah pedesaan maupun

perkotaan pernyataan ini memiliki kelemahan karena kurang dapat mengantisipasi

perkembangan pengeluaran terhadap kebutuhan lain seperti kesehatan, penddidikan,

perumahan dan lain sebagainya. Kelemahan lain metode ini karena memakai standar

beras, padahal kenaikan harga beras relatif lamban dibandingkan dengan harga

komoditas lainnya, hal ini disebabkan harga beras dikendalikan oleh pemerintah.

Selain beberapa kriteria tersebut ada pula kriteria yang dikeluarkan oleh Badan

Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dengan 5 (lima) strata yaitu

Keluarga Pra Sejahtera (PS), Keluarga Sejahtera I (KS I ), Keluarga Sejahtera II (KS

II), Keluarga Sejahtera III (KS III), dan Keluarga Sejahtera III plus (KS III+). Dengan

strata dari BKKBN tersebut maka dalam strata Keluarga Pra Sejahtera (PS) maupun

17    

   

Keluarga Sejahtera I (KS I) termasuk dalam kategori keluarga miskin dengan

penjelasan bahwa Keluarga Pra Sejahtera adalah sebuah keluarga yang belum mampu

memenuhi kebutuhan dasar secara minimal dalam hal sandang, pangan, papan dan

kesehatan. Sedangkan Keluarga Sejahtera I adalah keluarga yang telah dapat

memenuhi kebutuhan dasar secara minimal tetapi belum mampu memenuhi

kebutuhan psikologis dan sosial seperti kebutuhan akan pendidikan, Keluarga

Berencana, interaksi dalam keluarga dan lingkungan tempat tinggal serta belum

terpenuhinya kebutuhan transportasi. Dari beberapa kriteria yang dikeluarkan oleh

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) ini, pelaksanaan ibadah

yang tidak teratur dapat masauk kriteria orang miskin, karena kriteria miskin tidak

hanya ditentukan oleh kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan makan 2 kali

sehari. Indikator yang dirumuskan oleh BKKBN tersebut saat ini telah menjadi tolok

ukur untuk menilai derajat kemiskinan dalam sebuah keluarga.

4. Implementasi dan kinerja implementasi kebijakan

Implementasi Kebijakan (Policy Implementation) merupakan suatu proses

lebih lanjut dari tahap formulasi kebijakan. Kalau pada tahap formulasi ditetapkan

strategi dan tujuan kebijakan, maka tahap implementasi ini merupakan tindakan yang

dilakukan untuk mencapai tujuan.

Menurut Pressman dan Wildavsky (1979) implementasi merupakan suatu

proses lebih lanjut dari suatu kebijkaan yang berusaha untuk menghubungkan antara

tindakan dengan tujuan. George C. Edwards III (1980) mengatakan implementasi

merupakan tahapan dalam proses kebijakan, terletak antara tahapan penyusunan

kebijakan dengan hasil yang dihasilkan oleh kebijakan itu. Dikatakan pula bahwa

18    

   

kegiatan implementasi terdiri antara lain perencanaan, pendanaan, pengorganisasian,

pengangkatan dan pemecatan karyawan serta negoisasi. Secara lebih mendalam

Randal B. Ripley (1985) mengatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan

aktivitas fungsional untuk melaksanakan rancangan program dalam kegiatan-kegiatan

adminstratif nyata. Grindle (1980) mengatakan bahwa tugas implementasi adalah

membentuk suatu kaitan yang memungkinkan arah kebijakan publik direalisir sebagai

hasil dari aktivitas pemerintah mencakup penciptaan policy delivery system yaitu

rancangan sarana spesifik agar dapat tercapainya tujuan akhir.

Dari pandangan tersebut dapat ditarik pendapat bahwa implementasi kebijakan

dalah tahap yang sangat menentukan untuk mencapai tujuan. Kebijakan yang telah

ditetapkan dengan baik, tidak menjamin kebijakan tersebut akan berhasil sebab

implementasi kebijakan merupakan suatu aktivitas yang mengakumulasikan seluruh

potensi bagi tercapainya tujuan.

Kinerja implementasi kebijakan menurut Ripley dan Franklin (1986)

keberhasilannya dapat dilihat dengan tiga perspektif, yaitu: Pertama, keberhasilan

implementasi yang diukur dengan menggunakan perspektif kepatuhan (compliance)

street level bureaucrats terhadap atasannya. Kedua, keberhasilan diukur dari

kelancaran rutinitas dan tidak adanya persoalan. Ketiga, keberhasilan dilihat dari

kepuasan semua pihak terutama pada kelompok penerima manfaat.

Perspektif pertama dan kedua dalam prakteknya sulit untuk dipisahkan. Dalam

suatu organisasi birokrasi, kepatuhan diartikan sebagai kepatuhan terhadap struktur

dan prosedur, berarti semakin tinggi tingkat kepatuhan terhadap struktur dan

prosedur, maka rutinitas akan semakin lancar. Pengukuran ketidakpatuhan dapat

19    

   

dilihat dari frekuensi penyimpangan prosedural dan keterlambatan yang terjadi,

seperti dalam laporan hasil pemeriksaan oleh instansi pengawas.

Berdasarkan alasan tersebut studi ini akan melihat kinerja implementasi

kebijakan PPWT melalui: cakupan atau jumlah kepala keluarga miskin yang menjadi

sasarannya, ketepatan dalam menentukan sasaran, ketepatan dalam menentukan jenis

kegiatan, perkembangan usahanya setelah mengikuti program ini, peningkatan

pendapatan rumah tangga dari masyarakat yang ikut program ini, sikap anggota

masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraannya.

Faktor yang mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan, dapat dilihat

dari berbagai pandangan terhadap variabel-variabel yang mempengaruhi suatu kinerja

implementasi kebijakan, Ripley dan Franklin (1986), mengemukakan bahwa gagasan

tentang keberhasilan suatu implementasi kebijakan tidak hanya memiliki satu definisi

yang dapat diterima umum tetapi pasti memiliki pemahaman berbeda ketika para

analis berbicara atau berfikir tentang suatu implementasi kebijakan yang berhasil.

Linder dan Peters yang dikutip oleh Goggin (1990) berpendapat bahwa pembahasan

tentang kegagalan dan keberhasilan suatu implementasi kebijakan adalah suatu

persoalan administratif; program dikatakan berhasil apabila program dapat berjalan.

Van Metter dan Van Horn (1975) mempertanyakan, “ Mengapa ada implementasi

yang berhasil dan ada implementasi yang gagal?” Tentu ada berbagai faktor yang

mempengaruhinya. Dalam pembahasannya implementation performance merupakan

suatu variabel terikat, sedangkan variabel bebas atau faktor yang mempengaruhi

kinerja implementasi antara lain menyangkut: standar dan tujuan kebijakan, sumber

daya, komunikasi antar organisasi dan aktivitas pelaksanaan, karakteristik lembaga

20    

   

pelaksana, kondisi ekonomi, sosial dan politik serta watak dan sikap dari para

pelaksana kebijakan. Selanjutnya Cook dan Scioli (dalam Dolbeare, 1975)

mengatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh beberapa

faktor seperti tersedianya sumber daya bagi aktivitas program, karakteristik pelaksana

program, karakteristik lokasi, karakteristik administrasi dan organisasi, serta aspek-

aspek temporal seperti aspek waktu dan service delivery. Lain lagi pendapat dari

George C. Edwards III (1980), dalam pembahasannya menggunakan dua premis

penting :

- “What are the preconditions to successful policy implementation?”

- “What are the primary obstacles to successful policy?”

untuk menjawabnya diperlukan adanya empat variabel utama yang mempengaruhi

proses suatu implementasi kebijakan publik sebagai berikut:

1. Communication ( komunikasi )

2. Resources ( sumber daya )

3. Dispositions ( watak )

4. Bureaucratic structure ( struktur birokrasi )

Dalam studi implementasi kebijakan PPWT penulis melihat bahwa variabel

yang mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan PPWT adalah komunikasi,

sumber daya, karakteristik lembaga pelaksana dan watak/sikap pelaksana. Rumusan

kerangka teori dari pendapat diatas “Komunikasi, sumber daya, karakteristik lembaga

pelaksana dan watak/sikap pelaksana merupakan faktor yang mempengaruhi kinerja

implementasi kebijakan PPWT.”

21    

   

Faktor komunikasi merupakan syarat pertama bagi efektivitas implementasi

kebijakan, karena pelaksana kebijakan harus mengetahui apa yang dihasilkan.

Keputusan dan pelaksanaan kebijakan harus ditata dan dapat disampaikan kepada

personil yang tepat, dengan demikian komuniasi adalah merupakan aspek yang

sangat penting.

Komunikasi pada hakekatnya merupakan suatu proses penyampaian pesan

(message) dari kominukator kepada komunikan (audience). Dalam proses

komunikasi, biasanya komunikator mengharapkan agar komunikasi dapat dimengerti

dan melaksanakan apa yang dipesankan oleh komunikator. Dalam konteks kebijakan

berarti komunikasi merupakan suatu proses penyampaian pesan dari perumus

kebijakan kepada pelaksana kebijakan.

Dalam jaringan komunikasi yang tidak baik, pesan yang disampaikan dapat

menimbulkan persepsi bertolak belakang, membingungkan dan ada ketidak

konsistenan dalam memberikan suatu instruksi sehingga hasil yang diperoleh tidak

seperti apa yang diharapkan.

Dalam pelaksanaan PPWT pesan yang harus disampaikan oleh aparat

pemerintah kepada masyarakat harus jelas dan akurat mengenai standar, sasaran dan

tujuan yang ingin dicapai oleh PPWT. Sosialisasi merupakan salah satu bentuk dari

komunikasi yang harus dilakukan oleh para aparat pada berbagai tingkatan dengan

jelas, akurat dan konsisten kepada masyarakat ketika PPWT akan diimplementasikan,

sehingga hasil yang dicapai dari pelaksanaan PPWT sesuai dengan harapan.

Faktor sumber daya merupakan suatu kebijakan yang dirumuskan dengan

baik dan jelas serta konsisten, karena ketika diimplementasikan di lapangan belum

22    

   

tentu memberikan hasil sesuai harapan, walaupun kebijakan telah diimplementasikan

dengan baik dan akurat sesuai yang telah disampaikan. Hal ini dapat terjadi apabila

tidak ada sumber daya yang baik, sehingga dalam mengimplementasikannya menjadi

tidak efektif. Dengan demikian aspek sumber daya merupakan salah satu aspek

penting lain dalam implementasi kebijakan.

Menurut George C.Edwards III (1980) sumber daya yang penting itu termasuk

staf, jumlahnya, keahlian yang sesuai, informasi dan kejelasan otoritas yang

menjamin pelaksanaan kebijakan. Staf atau personil adalah merupakan sumber daya

paling esensial dalam suatu implementasi kebijakan,banyak kegagalan diakibatkan

kurang handalnya personil. Walaupun jumlah personil ikut menetukan keberhasilan

implementasi kebijakan tetapi banyaknya personil tidak menjamin suksesnya

implementasi kebijakan, karena jumlah personil harus diimbangi dengan adanya

ketrampilan ataupun keahlian.

Dalam penelitian ini yang dimaksudkan dengan sumber daya adalah sumber

daya manusia, sumber daya alam, sarana, prasarana, dan dana yang tersedia selain

sumber daya lain yang menyangkut keahlian ataupun ketrampilan dari personil,

informasi, otoritas serta prasarana lain yang sangat menentukan untuk

mengoptimalkan implementasi kebijakan PPWT.

Faktor karakteristik lembaga pelaksana yang berhubungan dengan badan

adminstratif yang mempengaruhi hasil kebijakan adalah merupakan faktor lain yang

berpengaruh terhadap suatu implementasi kebijakan, hal ini menyangkut kompetensi

staf, pengawasan, politik, vitalitas organisasi, keterbukaan komunikasi baik vertikal

23    

   

maupun horisontal, di dalam maupun di luar organisasi serta hubungan formal

maupun informal antara lembaga dengan pembuat kebijakan.

Dalam rangka penelitian ini hubungan baik dan harmonis yang dilakukan antara

masyarakat dengan aparat pemerintah baik di tingkat kelurahan, kecamatan dan

seterusnya sampai ke tingkat yang lebih tinggi, maupun hubungan lintas sektoral

sangatlah diperlukan. Karena lemahnya keadaan suatu lembaga/instansi akan

menghambat proses pencapaian tujuan.

Faktor watak/sikap pelaksana adalah merupakan faktor selanjutnya yang

sangat berpengaruh terhadap suatu implementasi kebijakan. Suatu implementasi

kebijakan dapat dilakukan dengan baik tidak hanya sekedar mengetahui yang harus

dikerjakan serta memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, akan tetapi para

pelaksana hendaknya juga memiliki watak/sikap positif dalam melakukannya

didukung dengan adanya motivasi kuat untuk melaksanakannya. Apabila para

pelaksana itu memiliki watak/sikap berbeda dengan yang telah diputuskan maka

proses implementasi kebijakan menjadi lebih kompleks dan dapat menimbulkan

suatu masalah baru.

Banyak kebijakan gagal pada tahap implementasi, karena para pelaksana tidak

memiliki emosi atau kepedulian terhadap kebijakan tersebut. Padahal hal ini

dibutuhkan karena para pelaksana harus dapat memenuhi keinginan masyarakat

dalam implementasi kebijakan.

Dalam PPWT ini faktor watak/sikap pelaksana amat diperlukan karena dalam

program ini diharapkan akan ada suatu kebersamaan pada berbagai tingkatan dan

24    

   

pada berbagai sektoral, sehingga keberhasilan program ini ditentukan oleh

watak/sikap pelaksana yang positif dalam pelaksanaan di lapangan.

E. Metode Penelitian

1. Lokasi dan populasi

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Yogyakarta dengan 2 (dua) kecamatan

yang pernah menerima kegiatan PPWT yaitu kecamatan Gedongtengen dan

Kecamatan Umbulharjo, karena hanya 2 (dua) kecamatan inilah yang pernah

menerima PPWT. Kecamatan Gedongtengen adalah daerah pusat kota, sedangkan

Kecamatan Umbulharjo adalah daerah pinggiran/perbatasan.

Masyarakat Kota Yogyakarta relatif memiliki sifat individual yang cukup

tinggi sehingga diperlukan adanya penanganan yang spesifik dalam pelaksanaan

PPWT ini. Kota Yogyakarta tidak memiliki desa miskin sehingga merupakan suatu

pertimbangan yang diambil ntuk penelitian ini, karena tidak memilik desa miskin

maka Kota Yogyakarta tidak pernah mendapatkan Program IDT, karena Program IDT

hanya dikhususkan bagi desa tertinggal.

Kota yogyakarta sebenarnya memiliki penduduk miskin cukup banyak, tetapi

dengan distribusi tersebar di empat belas kecamatan di Kota Yogyakarta. Selain itu

Kota Yogyakarta adalah satu-satunya daerah perkotaan di Daerah Istimewa

Yogyakarta dengan satu wilayah konsentrasi selama satu periode (3-5 tahun)

pelaksanaan PPWT.

Kecamatan Gedongtengen merupakan salah satu wilayah di pusat kota yang

memenuhi kriteria dari Kerangka Pembangunan Strategis (KPS) sehingga terpilih

25    

   

menjadi wilayah konsentrasi PPWT pada tahun anggaran 1994/1995 s/d 1996/1997,

sedangkan Kecamatan Umbulharjo merupakan salah satu wilayah yang berbatasan

dengan Kabupaten Bantul dan merupakan daerah tumbuh kembang cepat Kota

Yogyakarta, sesuai kriteria pada Kerangka Pembangunan Strategis (KPS) sehingga

terpilih menjadi wilayah konsentrasi pada tahun 1997/1998 s/d 1999/2000.

Dari kedua kecamatan tersebut setelah dilakukan pendataan yang dilakukan

oleh penulis dengan snow ball sampling di lapangan, terdata sebanyak 300 orang

penerima manfaat PPWT kemudian setelah didatangi untuk diberikan angket ternyata

hanya dapat ditemui 170 orang penerima manfaat PPWT, akhirnya dipilih secara acak

dari masing-masing kegiatan sehingga ada sebanyak 100 penerima manfaat pada

kedua kecamatan untuk dijadikan sampel dalam penelitian ini.

2. Proses Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini digunakan cara-cara sebagai berikut:

Survey, dengan pendekatan kualitatif didukung dengan kuantitatif, dengan

cara ini dikumpulkan data dari masyarakat yang terkena langsung PPWT dengan

memberikan angket pada penerima manfaat dari program ini di Kecamatan

Gedongtengen dan Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta. Dalam tahap ini

penulis berusaha mengumpulkan data responden dari instansi pelaksana ataupun

penanggung jawab kegiatan, tetapi ternyata data penerima manfaat tidak diperoleh

akhirnya penulis terjun ke lapangan dan berhasil mengumpulkan 300 nama penerima

manfaat yang didapatkan secara snow ball sampling, hal ini disebabkan keterbatasan

penulis dalam mengumpulkan data tersebut, setelah penulis memperoleh data maka

26    

   

dilanjutkan dengan memberikan angket, ternyata yang dapat ditemui oleh penulis

hanyalah sejumlah 170 responden pada kedua kecamatan tersebut.

Grounded Research, merupakan pendekatan kualitatif dengan wawancara

bebas kepada tokoh masyarakat, Lurah, Kepala Seksi Pembangunan Masyarakat

Desa, Camat dan Instansi pelaksana atau penangung jawab di Kota Yogyakarta serta

100 responden dari masyarakat penerima manfaat PPWT yang dapat mewakili

masing-masing kegiatan serta adanya suatu kemauan untuk dilakukan wawancara

secara mendalam agar dapat memperoleh jawaban lebih mendalam berkaitan dengan

data dari para penerima manfaat program ini dengan tidak lupa melihat dan

mencermati catatan serta dokumentasi lainnya yang ada di Kecamatan hingga ke

tingkat Pemerintah Kota Yogyakarta.

Dokumentasi, yaitu dengan mengumpulkan data dari catatan di Kecamatan

hingga ke instansi pelaksana atau penanggung jawab kegiatan di Pemerintah Kota

Yogyakarta.

3. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini setelah melalui survey dengan pendekatan kualitatif

didukung kuantitatif dan akan ditindaklanjuti dengan melakukan Grounded Research

kepada berbagai pihak, diharapkan dapat melengkapi dan mempertajam data hasil

survey yang telah dilakukan. Pendekatan ini dipergunakan dengan berbagai

pertimbangan, antara lain:

1. Apabila diketemukan adanya kenyataan ganda maka dengan metode kualitatif hal

tersebut akan lebih mudah untuk dilakukan penyesuaian.

27    

   

2. Seacara langsung metode ini akan menyajikan hakikat hubungan atara peneliti

dengan responden.

3. Lebih peka dan mudah menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh

bersama pola-pola nilai yang dihadapi.

Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 1999 s/d Desember 2001, karena

pada bulan Desember 1999 tersebut telah masuk pada triwulan keempat pelaksanaan

Program Pengembangan Wilayah Terpadu (PPWT) di Kecamatan Umbulharjo Kota

Yogyakarta yang merupakan pelaksanaan tahun ketiga dari suatu paket program

selama tiga tahun, dan dilakukan pengamatan pada masa setelah program ini berjalan

di dua kecamatan, tetapi pemantauan awal di lokasi penelitian telah penulis lakukan

sejak bulan Juli 1999.