analisis keterkaitan wilayah secara sektoral ditinjau dari sektor

15
Eko Budi Santoso, Belinda Ulfa Aulia, Dian Rahmawati, dan Deny Ferdyansyah Analisis Keterkaitan Wilayah secara Sektoral Kawasan GKS Plus terhadap Jawa Timur Seminar Nasional CITIES 2012 1 Analisis Keterkaitan Wilayah secara Sektoral Ditinjau dari Sektor Unggulan Kawasan GKS Plus terhadap Jawa Timur: Implikasinya terhadap Pengembangan Perkotaan Oleh: Eko Budi Santoso, Belinda Ulfa Aulia, Dian Rahmawati, dan Deny Ferdyansyah Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP ITS ABSTRAK Setiap daerah mempunyai potensi dan keunggulan ekonomi yang menjadi sumber pertumbuhan wilayah. Kemampuan memacu pertumbuhan suatu wilayah atau daerah sangat tergantung dari keunggulan atau daya saing sektor-sektor ekonomi di wilayahnya. Secara empiris pertumbuhan wilayah dikaitkan dengan adanya proses spesialisasi, interaksi, sentralitas, rank-size-rule, dan dinamika pola permukiman. Sehingga pertumbuhan wilayah berlangsung akibat keterkaitan antar daerah yang kuat, dimana salah satu wilayah berfungsi sebagai pusat dan didukung wilayah lainnya sebagai hinterland. Dalam hal ini dapat digarisbawahi bahwa pembangunan wilayah dapat dilakukan melalui pendekatan sektoral maupun kewilayahan (spasial). Pembangunan wilayah melalui pendekatan sektoral lebih menekankan pada pemilihan sektor-sektor ekonomi wilayah yang dapat berperan sebagai penggerak ekonomi wilayah. Sedangkan pendekatan kewilayahan (spasial) memberikan penekanan pada aspek keruangan atau lokasi kegiatan ekonomi yang akan dikembangkan sesuai dengan resources endowment yang dimilikinya. Kedua pendekatan tersebut relevan untuk diterapkan dalam kajian pembangunan wilayah di Kawasan Gerbang Kerto Susila (GKS) dengan karakteristik ekonomi wilayah yang berbeda-beda. Oleh karena itu pada paper ini akan dikaji mengenai keterkaitan sektoral dan spasial (wilayah) dalam pembangunan wilayah di Kawasan GKS. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode analisis SLQ-DLQ, analisis Shift Share, dan analisis spasial. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah mengetahui sektor-sektor ekonomi unggulan di Kawasan GKS, keterkaitan sektoral kawasan GKS Plus dan Jawa Timur, dan bagaimana implikasinya pada perkembangan pembanguan wilayah. Kata Kunci : Sektor Unggulan, Keterkaitan Wilayah, Analisis Spasial, dan Kawasan GKS.

Upload: ledan

Post on 12-Jan-2017

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Analisis Keterkaitan Wilayah secara Sektoral Ditinjau dari Sektor

Eko Budi Santoso, Belinda Ulfa Aulia, Dian Rahmawati, dan Deny Ferdyansyah Analisis Keterkaitan Wilayah secara Sektoral Kawasan GKS Plus terhadap Jawa Timur

Seminar Nasional CITIES 2012

1

Analisis Keterkaitan Wilayah secara Sektoral Ditinjau dari Sektor Unggulan Kawasan GKS Plus terhadap Jawa Timur:

Implikasinya terhadap Pengembangan Perkotaan

Oleh:

Eko Budi Santoso, Belinda Ulfa Aulia, Dian Rahmawati, dan Deny Ferdyansyah

Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP ITS

ABSTRAK

Setiap daerah mempunyai potensi dan keunggulan ekonomi yang menjadi sumber pertumbuhan wilayah. Kemampuan memacu pertumbuhan suatu wilayah atau daerah sangat tergantung dari keunggulan atau daya saing sektor-sektor ekonomi di wilayahnya. Secara empiris pertumbuhan wilayah dikaitkan dengan adanya proses spesialisasi, interaksi, sentralitas, rank-size-rule, dan dinamika pola permukiman. Sehingga pertumbuhan wilayah berlangsung akibat keterkaitan antar daerah yang kuat, dimana salah satu wilayah berfungsi sebagai pusat dan didukung wilayah lainnya sebagai hinterland. Dalam hal ini dapat digarisbawahi bahwa pembangunan wilayah dapat dilakukan melalui pendekatan sektoral maupun kewilayahan (spasial).

Pembangunan wilayah melalui pendekatan sektoral lebih menekankan pada pemilihan sektor-sektor ekonomi wilayah yang dapat berperan sebagai penggerak ekonomi wilayah. Sedangkan pendekatan kewilayahan (spasial) memberikan penekanan pada aspek keruangan atau lokasi kegiatan ekonomi yang akan dikembangkan sesuai dengan resources endowment yang dimilikinya. Kedua pendekatan tersebut relevan untuk diterapkan dalam kajian pembangunan wilayah di Kawasan Gerbang Kerto Susila (GKS) dengan karakteristik ekonomi wilayah yang berbeda-beda. Oleh karena itu pada paper ini akan dikaji mengenai keterkaitan sektoral dan spasial (wilayah) dalam pembangunan wilayah di Kawasan GKS.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode analisis SLQ-DLQ, analisis Shift Share, dan analisis spasial. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah mengetahui sektor-sektor ekonomi unggulan di Kawasan GKS, keterkaitan sektoral kawasan GKS Plus dan Jawa Timur, dan bagaimana implikasinya pada perkembangan pembanguan wilayah.

Kata Kunci : Sektor Unggulan, Keterkaitan Wilayah, Analisis Spasial, dan Kawasan GKS.

Page 2: Analisis Keterkaitan Wilayah secara Sektoral Ditinjau dari Sektor

Eko Budi Santoso, Belinda Ulfa Aulia, Dian Rahmawati, dan Deny Ferdyansyah Analisis Keterkaitan Wilayah secara Sektoral Kawasan GKS Plus terhadap Jawa Timur

Seminar Nasional CITIES 2012

2

1. PENDAHULUAN Setiap daerah mempunyai potensi dan keunggulan ekonomi yang menjadi sumber

pertumbuhan wilayah. Untuk menjamin potensi unggulan daerah dapat berkembang sesuai dengan tujuan pembangunan daerah, maka setiap pemerintah daerah senantiasa berupaya memberikan perhatian dan fasilitasi yang memadai sesuai dengan kemampuan daerah masing-masing. Pengembangan potensi unggulan daerah yang dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan sesuai dengan rencana pembangunan daerah diharapkan dapat meningkatkan produktivitas ekonomi daerah. Kemampuan memacu pertumbuhan suatu wilayah atau daerah sangat tergantung dari keunggulan atau daya saing sektor-sektor ekonomi di wilayahnya (Rustiadi, et al, 2009). Wilayah dapat berkembang melalui berkembangnya sektor unggulan pada wilayah tersebut yang mendorong pengembangan sektor lainnya, sehingga pengembangan sektor menjadi salah satu pendekatan yang perlu dipertimbangkan untuk pengembangan wilayah (Djakapermana, 2010). Oleh sebab itu pendekatan sektoral masih menjadi salah satu strategi dalam membangun potensi ekonomi wilayah.

Pembangunan daerah juga harus mengakomodasikan keadaan struktur ruang (spasial), seperti pusat perkotaan, pusat perdesaan, daerah terisolir (lagging regions), pusat-pusat pertumbuhan (growth pole) (Ishanders, 1995 dalam Riyadi dan Bratakusumah, 2003). Kebijakan pembangunan dan pengembangan ekonomi daerah hendaknya lebih diprioritaskan subsektor unggulan yang dimiliki oleh masing-masing kabupaten/kota, dengan tetap memperhatikan secara proporsional subsektor lainnya sesuai dengan potensi dan peluang pengembangannya (Kuncoro, 2004). Lebih lanjut, pengembangan subsektor unggulan hendaknya diarahkan pada upaya untuk menciptakan keterkaitan antardaerah, salah satu upayanya menciptakan spesialisasi.

Strategi pembangunan daerah yang berlangsung selama ini merupakan gabungan pendekatan sektoral dan pendekatan spasial dalam rangka terwujudnya keberimbangan pembangunan wilayah (Rustiadi, et al., 2009). Pendekatan sektoral lebih difokuskan pada upaya peningkatan produktivitas sektor ekonomi, sedangkan pendekatan spasial mempertimbangkan aspek keruangan atau lokasi kegiatan ekonomi yang akan dikembangkan sesuai dengan resources endowment yang dimilikinya. Sedangkan menurut Adisasmita (2008), pengembangan wilayah berkaitan dengan proses berlangsungnya pertumbuhan pembangunan dalam suatu wilayah ditinjau dari segi hubungan struktural (keterkaitan antar sektor) maupun dari segi hubungan fungsional (interaksi antar sub sistem dalam suatu wilayah).

Pertumbuhan wilayah terjadi akibat adanya berbagai faktor yang saling berpengaruh. Wilayah berkembang karena adanya interaksi antara pusat (core region) dan pinggiran (peripheri/hinterland) sebagaimana dikemukakan oleh John Fiedmann dalam model hubungan Pusat dan Pinggiran (Meier, et.al., 2006). Menurut Bökemann (1999), secara empiris pertumbuhan wilayah dikaitkan dengan adanya proses spesialisasi, interaksi, sentralitas, rank-size-rule, dan dinamika pola permukiman. Sehingga pertumbuhan wilayah berlangsung akibat keterkaitan antar daerah yang kuat, dimana salah satu wilayah berfungsi sebagai pusat dan didukung wilayah lainnya sebagai hinterland.

Pembangunan wilayah dapat dilakukan melalui pendekatan sektoral maupun kewilayahan (spasial). Pembangunan wilayah melalui pendekatan sektoral lebih menekankan pada pemilihan sektor-sektor ekonomi wilayah yang dapat berperan sebagai penggerak ekonomi wilayah. Sedangkan pendekatan kewilayahan (spasial) memberikan penekanan pada aspek keruangan dalam mengembangkan wilayah. Kedua pendekatan tersebut relevan untuk diterapkan dalam pembangunan wilayah di Jawa Timur, yang terdiri dari 38 daerah kabupaten/kota dengan karakteristik ekonomi wilayah yang berbeda-beda.

Pada hakekatnya pembangunan wilayah mempunyai keterkaitan antar satu daerah dengan daerah lainnya baik keterkaitan ke belakang (backward linkage) maupun ke depan (forward linkage). Adanya perbedaan potensi dan keunggulan daerah yang beragam di masing-masing 38 kabupaten/kota di Jawa Timur baik dari sisi sektor ekonomi unggulan

Page 3: Analisis Keterkaitan Wilayah secara Sektoral Ditinjau dari Sektor

Eko Budi Santoso, Belinda Ulfa Aulia, Dian Rahmawati, dan Deny Ferdyansyah Analisis Keterkaitan Wilayah secara Sektoral Kawasan GKS Plus terhadap Jawa Timur

Seminar Nasional CITIES 2012

3

maupun lokasi aktivitas ekonomi harus menjadi perhatian dalam pengembangan wilayah, sehingga rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah keterkaitan sektoral dan spasial (wilayah) dalam pembangunan wilayah di Jawa Timur.

Adapun tujuan penelitian ini adalah mengkaji keterkaitan sektoral berdasarkan sektor unggulan Kawasan GKS Plus terhadap Pembangunan di Jawa Timur. Adapun tujuan tersebut data dicapai dengan sasaran sebagai berikut:

1. Mengetahui sektor-sektor ekonomi unggulan di Kawasan GKS Plus 2. Mengetahui keterkaitan sektoral kawasan GKS Plus 3. Mengidentifikasi implikasinya terhadap pembangunan perkotaan

2. LITERATUR REVIEW 2.1 Perspektif Teori Pertumbuhan Neoklasik

Model pertumbuhan regional neoklasik menggunakan referensi dari teori pertumbuhan neoklasik atau disebut juga model pertumbuhan Solow-Swan (Solow, 1956; Swan, 1956), dan selanjutnya diterapkan dalam lingkup regional. Model pertumbuhan Solow memfokuskan pada empat variabel yaitu output (Y), modal (K), tenaga kerja (L), dan pengetahuan atau efektivitas tenaga kerja (A), dimana modal, tenaga kerja dan pengetahuan dikombinasikan untuk menghasilkan output tertentu (Romer D., 2006). Fungsi produksinya dinyatakan dalam bentuk persamaan:

Y(t) = F (K(t), A(t) L(t)) (2.1) Kunci utama pertumbuhan ekonomi regional adalah peningkatan kegiatan produksi,

yang ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu kemajuan teknologi (A), penambahan modal atau investasi (K) dan peningkatan jumlah atau kualitas tenaga kerja (L) (Adisasmita, 2005; Tarigan, 2006; Sjafrizal, 2008). Model yang dikembangkan oleh Solow (1956) dan Swan (1956) telah menjadi paling berpengaruh terhadap teori pertumbuhan modern, terutama karena bentuk fungsi produksi regional yang lebih umum, yang memungkinkan untuk substitusi antara input produksi sesuai dengan fungsi produksi yang menganggap hasil konstan terhadap skala dan elastisitas positif substitusi antara input (Barro dan Sala-i-Martin 1999).

2.2 Perspektif Teori Geografi Ekonomi Baru

Model geografi ekonomi pada awalnya memfokuskan perhatiannya pada eksplorasi terhadap struktur ekonomi dalam konteks keruangan dan organisasi keruangan (spatial order) yang didasarkan pada berbagai pendekatan teori-teori lokasi antara lain dari von Thünen (1826), Weber (1909), Christaller (1933), Lösch (1940), Isard (1956), Hoover dan Vernon (1959) serta Alonso (1964). Keterbatasan yang ada dalam teori-teori lokasi memunculkan pendekatan baru dalam geografi ekonomi sebagaimana Krugman (1991) memberikan kerangka kerja yang mengilustrasikan bagaimana terjadinya interaksi diantara hasil/keuntungan yang makin meningkat pada tingkat perusahaan, biaya-biaya transportasi dan faktor mobilitas dapat menyebabkan struktur ekonomi spasial berkembang dan berubah (Fujita and Krugman, 2004).

3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Analisis SLQ dan DLQ

Untuk mengetahui sektor unggulan yang ada di daerah dapat dilihat dari sektor yang mempunyai kemampuan melakukan ekspor atau disebut juga sektor basis. Metode

Page 4: Analisis Keterkaitan Wilayah secara Sektoral Ditinjau dari Sektor

Eko Budi Santoso, Belinda Ulfa Aulia, Dian Rahmawati, dan Deny Ferdyansyah Analisis Keterkaitan Wilayah secara Sektoral Kawasan GKS Plus terhadap Jawa Timur

Seminar Nasional CITIES 2012

4

Location Quotient (LQ) merupakan metode sederhana yang mampu menunjukkan kemampuan ekspor sektor tertentu di suatu daerah terhadap daerah yang lebih besar (Daryanto, dan Hafizrianda. 2010; Setiono. 2011). Untuk mengetahui sektor ekonomi unggulan dapat dilakukan perhitungan LQ dengan pendekatan nilai tambah produksi (PDRB) dan tenaga kerja. Perhitungan LQ dapat dinyatakan sebagai berikut:

Metode LQ tersebut mempunyai keterbatasan karena bersifat statis dan hanya digunakan untuk mengestimasi perubahan sektor unggulan pada tahun tertentu saja. Untuk mengatasi keterbatasan metode LQ statis, maka akan digunakan metode LQ dinamis yang mampu mengakomodasi perubahan struktur ekonomi wilayah dalam kurun waktu tertentu. Menurut Saharuddin (2006) secara umum metode LQ dinamis mempunyai kesamaan dengan metode LQ statis, hanya yang membedakan model LQ dinamis memasukkan laju pertumbuhan rata-rata terhadap masing-masing nilai tambah sektoral maupun PDRB untuk kurun waktu antara tahun 0 sampai tahun t. Bentuk persamaan matematis LQ dinamis adalah sebagai berikut:

3.2 Metode Analisis Spasial

Pengujian statistik seperti Moran’s I dapat digunakan untuk menganalisis secara formal adanya ketergantungan spasial. Dalam uji Moran, struktur spasial dalam data dapat dimodelkan melalui matriks bobot spasial W. Matriks ini mendefinisikan struktur data spasial dengan mengkhususkan pada kedekatan masing-masing wilayah. Dengan uji statistik Moran’s I dapat dianalisis apakah model yang diusulkan mampu menyajikan secara tepat hubungan spasial antar wilayah (Longhi and Nijkamp, 2007). Moran’s I dihitung menggunakan persamaan berikut:

Dimana x adalah vektor realisasi variabel interes, μ adalah rata-ratanya, dan W adalah matriks bobot spasial. N adalah jumlah observasi, sedangkan S adalah faktor standarisasi. Moran’s I memberikan nilai negatif yang mengindikasikan korelasi negatif, dimana area dengan nilai x lebih tinggi daripada rata-rata secara umum dikelilingi area dengan nilai x lebih rendah daripada rata-rata dan sebaliknya. Nilai 0 mengindikasikan tidak adanya autokorelasi spasial.

3.3 Metode Analisis Shift Share

Analisis Shift-Share (SS) bertujuan untuk mengetahui kinerja atau produktifitas kerja perekonomian daerah dengan membandingkan dengan perekonomian nasional. Shift- Share yaitu teknik yang menggambarkan kinerja sektor-sektor disuatu wilayah dibandingkan dengan kinerja perekonomian nasional. Perubahan relatif kinerja pembangunan daerah terhadap nasional dapat dilihat dari Pergeseran Differensial atau Differential Shift.

S(x - µ)’ (x - µ) I =

N(x - µ)’ W(x - µ) (3.3)

(3.2)

LQi =

(Eij / Ej)

(Eit / Et) (3.1)

Page 5: Analisis Keterkaitan Wilayah secara Sektoral Ditinjau dari Sektor

Eko Budi Santoso, Belinda Ulfa Aulia, Dian Rahmawati, dan Deny Ferdyansyah Analisis Keterkaitan Wilayah secara Sektoral Kawasan GKS Plus terhadap Jawa Timur

Seminar Nasional CITIES 2012

5

Pergeseran differensial adalah sebuah nilai untuk mengetahui seberapa komparatif sektor tertentu daerah dibanding nasional. Apabila bertanda positif (+) berarti bahwa sektor i mempunyai kecepatan untuk tumbuh dibandingkan dengan sektor yang sama di tingkat nasional, atau dapat dinyatakan pula bahwa share suatu wilayah atas tenaga kerja nasional pada sektor tertentu mengalami peningkatan. Apabila bertanda negatif berarti bahwa sektor i mempunyai kecenderungan menghambat pertumbuhan dibandingkan dengan sektor yang sama di tingkat nasional. Secara matematis, analisis ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

D r,i,t = {( E r,i,t – (E N,i,t / E N,i,t-n ) E r,i,t-n } (3.4)

Keterangan : ∆ = Pertumbuhan E = Employment (unit Lapangan Kerja) r = Region (Wilayah Analisis) i = Sektor Industri t = Tahun t-n = Tahun Awal Ns = National Share P = Proportional Shift D = Differential Shift

3.4 Sintesis metodologi

Secara sistematis berdasarkan tabel di bawah ini dapat dijelaskan bahwa terdapat empat tahapan analisis yag harus dilaksanakan dalam penelitian ini yaitu secara berurutan analisis SLQ dan DLQ, analisis spasial, dan analisis shift share.

Tabel 1

Sintesis Tahapan Analisis dan Metode Analisis

Tahapan Analisis

Tujuan Metode Analisis Data yang Diperlukan Alat yang Diperlukan

I Mengetahui sektor-sektor ekonomi unggulan di GKS plus

Analisis SLQ dan DLQ

Data PDRB Provinsi Jawa Timur dan seluruh Kab/Kota di Jawa Timur 2006-2010

Mircosoft Excel

II Menspasialkan nilai sektor unggulan

Analisis Spasial Nilai hasil analisis sebelumnya

ArcGIS 9.3

III Mengidentifikasi keterkaitan antar sektor ekonomi di GKS plus

Analisis Shift Share

Data PDRB Provinsi Jawa Timur dan seluruh Kab/Kota di Jawa Timur 2006-2010

Mircosoft Excel

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Analisis SLQ dan DLQ Analisis LQ dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sektor unggulan yang ada di Propinsi Jawa Timur dimana dapat diketahui dari kemampuan daerah tersebut melakukan ekspor (basis). Data yang digunakan pada analisis LQ adalah nilai tambah pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Propinsi Jawa Timur dan PDRB 38 kabupaten/kota di Propinsi Jawa Timur.Data yang digunakan adalah tahun 2006 hingga tahun 2010. Data diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Jawa Timur. Pada analisis ini dilakukan penghitungan analisis SLQ dan DLQ untuk seluruh kab/kota di Jawa Timur sehingga nantinya dapat dibandingkan implikasi sektor unggulan kawasan GKS Plus terhadap Kab/Kota di Jawa Timur. LQ statis disebut juga dengan SLQ keterbatasan karena bersifat statis dan hanya digunakan untuk mengestimasi perubahan sektor unggulan pada tahun tertentu saja. Untuk mengatasi

Page 6: Analisis Keterkaitan Wilayah secara Sektoral Ditinjau dari Sektor

Eko Budi Santoso, Belinda Ulfa Aulia, Dian Rahmawati, dan Deny Ferdyansyah Analisis Keterkaitan Wilayah secara Sektoral Kawasan GKS Plus terhadap Jawa Timur

Seminar Nasional CITIES 2012

6

keterbatasan metode LQ statis, maka akan ditambahkan metode LQ dinamis atau disebut juga dengan DLQ yang mampu mengakomodasi perubahan struktur ekonomi wilayah dalam kurun waktu tertentu. Menurut Saharuddin (2006) secara umum metode LQ dinamis mempunyai kesamaan dengan metode LQ statis, hanya yang membedakan model LQ dinamis memasukkan laju pertumbuhan rata-rata terhadap masing-masing nilai tambah sektoral maupun PDRB untuk kurun waktu antara tahun 0 sampai tahun t. Berikut ini merupakan klasifikasi sektor di lihat dari nilai SLQ dan DLQ.

Tabel 2

Klasifikasi Sektor berdasarkan Nilai SLQ dan DLQ

KRITERIA SLQ > 1 SLQ < 1 DLQ > 1 Sektor Unggulan Sektor Andalan DLQ < 1 Sektor Prospektif Sektor Tertinggal

Berdasarkan matriks di atas, dapat diketahui bahwa sektor unggulan dengan syarat DLQ > 1 dan SLQ > 1, merupakan sektor yang pada saat ini merupakan sektor unggulan dan tetap berpotensi unggul pada beberapa tahun ke depan. Untuk sektor andalan dengan syarat DLQ > 1 dan SLQ < 1, merupakan sektor yang pada saat ini belum unggul tapi dalam beberapa waktu ke depan berpotensi unggul. Untuk sektor prospektif dengan syarat SLQ > dan DLQ < 1, merupakan sektor yang pada saat ini merupakan sektor unggulan tetapi tidak berpotensi unggul pada beberapa waktu ke depan. Sedangkan sektor tertinggal dengan syarat SLQ < 1 dan DLQ < 1, merupakan sektor yang dinyatakan tidak unggul untuk saat ini dan pada beberapa waktu ke depanpun belum berpotensi untuk menjadi sektor unggulan.

Untuk mengetahui klasifikasi sektor pada Kab/Kota di Kawasan GKS Plus berdasarkan empat sektor utama yang memberikan pengaruh terhadap Kab/Kota di Jawa Timur yaitu sektor pertanian, sektor industry pengolahan, sektor perdagangan dan restoran, dan sektor jasa-jasa maka dapat diikuti penjelasan berikut ini.

1. Sektor Pertanian Kabupaten yang memiliki sektor unggulan di bidang petanian dan masih berpotensi unggul pada beberapa tahun ke depan pada Kawasan GKS Plus adalah Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Mojokerto, dan Kabupaten Jombang.

Tabel 3 Klasifikasi Kabupaten/Kota berdasarkan Nilai SLQ dan DLQ untuk Sektor Pertanian

KRITERIA SLQ > 1 SLQ < 1 DLQ > 1 1. Kabupaten Pasuruan

2. Kabupaten Bangkalan 3. Kabupaten Mojokerto 4. Kabupaten Jombang

-

DLQ < 1 1. Kabupaten Lamongan 2. Kabupaten Tuban 3. Kabupaten Bojonegoro

4. Kota Surabaya 5. Kota Mojokerto 6. Kota Pasuruan 7. Kabupaten Gresik 8. Kabupaten Sidoarjo

Dari hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa masih ada kabupaten di kawasan GKS Plus yang memiliki keunggulan di sektor pertanian. Hal ini mendukung fungsi wilayah pengembangan GKS Plus pada struktur ruang Propinsi Jawa Timur yang telah ditetapkan yaitu sebagai kawasan pertanian tanaman pangan, perkebunan, hortikultura, kehutanan, perikanan, peternakan.

2. Sektor Industri Pengolahan

Page 7: Analisis Keterkaitan Wilayah secara Sektoral Ditinjau dari Sektor

Eko Budi Santoso, Belinda Ulfa Aulia, Dian Rahmawati, dan Deny Ferdyansyah Analisis Keterkaitan Wilayah secara Sektoral Kawasan GKS Plus terhadap Jawa Timur

Seminar Nasional CITIES 2012

7

Kabupaten yang memiliki sektor unggulan di bidang industri pengolahan dan masih berpotensi unggul pada beberapa tahun ke depan pada Kawasan GKS Plus adalah Kabupaten Gresik dan Sidoarjo.

Tabel 4

Klasifikasi Kabupaten/Kota berdasarkan Nilai SLQ dan DLQ untuk Sektor Industri Pengolahan

KRITERIA SLQ > 1 SLQ < 1 DLQ > 1 1. Kabupaten Gresik

2. Kabupaten Sidoarjo 3. Kabupaten Lamongan 4. KabupatenPasuruan

DLQ < 1 1. Kota Surabaya 2. Kota Mojokerto 3. Kota Pasuruan 4. Kabupaten Mojokerto

5. Kota Pasuruan 6. Kabupaten Bojonegoro 7. Kabupaten Jombang 8. Kabupaten Bangkalan 9. Kabupaten Tuban

Sektor industry pengolahan di Kabupaten Gresik dan Kabupaten Sidoarjo mendukung fungsi wilayah pengembangan GKS Plus pada struktur ruang Propinsi Jawa Timur yang telah ditetapkan yaitu sebagai kawasan pertambangan dan industri.

3. Sektor Perdagangan dan Restoran

Kabupaten yang memiliki sektor unggulan di bidang perdagangan dan restoran dan masih berpotensi unggul pada beberapa tahun ke depan pada Kawasan GKS Plus adalah Kabupaten Jombang.

5 Klasifikasi Kabupaten/Kota berdasarkan Nilai SLQ dan DLQ untuk Sektor Perdagangan

dan Restoran

KRITERIA SLQ > 1 SLQ < 1 DLQ > 1 1. Kabupaten Jombang 2. Kabupaten Gresik

3. Kabupaten Sidoarjo 4. Kabupaten Mojokerto 5. Kabupaten Lamongan 6. Kabupaten Tuban 7. KabupatenP asuruan 8. Kabupaten Bangkalan

DLQ < 1 1. Kota Surabaya 2. Kota Mojokerto

3. Kota Pasuruan 4. Kabupaten Bojonegoro

Yang perlu mendapat kajian lebih lanjut yaitu Kota Surabaya yang merupakan kawasan pusat perdagangan dan memberikan pengaruh besar bagi arus barang/jasa teradapat Kab/Kota lainnya di Jawa Timur ternyata hanya merupakan sektor prospektif, yang artinya pada saat ini merupakan sektor unggulan tetapi tidak berpotensi unggul pada beberapa waktu ke depan.

4. Sektor Jasa-jasa

Kabupaten yang memiliki sektor unggulan di bidang jasa-jasa dan masih berpotensi unggul pada beberapa tahun ke depan pada Kawasan GKS Plus adalah Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bangkalan.

Tabel 6

Klasifikasi Kabupaten/Kota berdasarkan Nilai SLQ dan DLQ untuk Sektor Jasa-jasa

Page 8: Analisis Keterkaitan Wilayah secara Sektoral Ditinjau dari Sektor

Eko Budi Santoso, Belinda Ulfa Aulia, Dian Rahmawati, dan Deny Ferdyansyah Analisis Keterkaitan Wilayah secara Sektoral Kawasan GKS Plus terhadap Jawa Timur

Seminar Nasional CITIES 2012

8

KRITERIA SLQ > 1 SLQ < 1 DLQ > 1 1. Kabupaten Pasuruan

2. Kabupaten Bangkalan 3. Kabupaten Sidoarjo 4. Kota Pasuruan 5. Kabupaten Gresik 6. Kabupaten Mojokerto 7. Kabupaten Tuban

DLQ < 1 1. Kota Mojokerto 2. Kabupaten Lamongan 3. Kabupaten Bojonegoro 4. Kabupaten Jombang

5. Kota Surabaya 6. Kota Pasuruan

Adanya aktivitas industry di Kabupaten Pasuruan dan Bangkalan diasumsikan menyebabkan pertumbuhan sektor jasa khususya di bidang transportasi pengangkutan barang. Keberadaan Jembatan SURAMADU diharapkan juga meningkatkan pertumbuhan sektor jasa tidak hanya di Bangkalan tetapi pada kabupaten lainnya di sebelah Timur Madura.

4.2 Hasil Analisis Spasial Analisis spasial ini dilakukan untuk melihat lebih detail bagaimana pemetaan sektor unggulan dan perkembangannya untuk masing-masing kab/kota di Jawa Timur. 1. Sektor Pertanian Berikut ini merupakan pemetaan sektor unggulan di bidang pertanian untuk Kab/Kota di Jawa Timur.

Gambar 1.

Pemetaan Sektor Unggulan Pertanian di Jawa Timur berdasarkan Nilai SLQ

Dari hasil pemetaan berdasarkan nilai SLQ perbandingan hasil seluruh Kab/kota di Jawa Timur dan hasil matriks klasifikasi sektor sebelumnya dapat diketahui pada kawasan GKS Plus hanya Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Jombang yang memiliki nilai basis tinggi dan masih memiliki peran yang cukup besar untuk sektor pertanian di Jawa Timur dalam beberapa tahun ke depan.

Page 9: Analisis Keterkaitan Wilayah secara Sektoral Ditinjau dari Sektor

Eko Budi Santoso, Belinda Ulfa Aulia, Dian Rahmawati, dan Deny Ferdyansyah Analisis Keterkaitan Wilayah secara Sektoral Kawasan GKS Plus terhadap Jawa Timur

Seminar Nasional CITIES 2012

9

Gambar 2.

Pemetaan Sektor Unggulan di Jawa Timur berdasarkan Nilai DLQ Meskipun demikian, Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Jombang hanya termasuk sektor yang memiliki pertumbuhan sedang di Jawa Timur. Kabupaten Banyuwangi, Situbondo, dan Ngawi yang memiliki pertumbuhan sektor pertanian yang paling tinggi. 2. Sektor Industri Pengolahan Berikut ini merupakan pemetaan sektor unggulan di bidang industry pengolahan untuk Kab/Kota di Jawa Timur.

Gambar 3.

Pemetaan Sektor Unggulan Industri Pengolahan di Jawa Timur berdasarkan Nilai SLQ Dari hasil pemetaan berdasarkan nilai SLQ perbandingan hasil seluruh Kab/kota di Jawa Timur dan hasil matriks klasifikasi sektor sebelumnya dapat diketahui pada kawasan GKS Plus bahwa Kabupaten Gresik dan Kabupaten Sidoarjo memang memiliki nilai basis tinggi dan masih merupakan untuk sektor industry pengolahan unggulan di Jawa Timur dalam beberapa tahun ke depan.

Page 10: Analisis Keterkaitan Wilayah secara Sektoral Ditinjau dari Sektor

Eko Budi Santoso, Belinda Ulfa Aulia, Dian Rahmawati, dan Deny Ferdyansyah Analisis Keterkaitan Wilayah secara Sektoral Kawasan GKS Plus terhadap Jawa Timur

Seminar Nasional CITIES 2012

10

Gambar 4.

Pemetaan Sektor Unggulan Industri Pengolahan di Jawa Timur berdasarkan Nilai DLQ

Meskipun demikian, secara rata-rata Kabupaten Gresik dan Kabupaten Sidoarjo hanya termasuk sektor yang memiliki pertumbuhan sedang di Jawa Timur.

3. Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran Berikut ini merupakan pemetaan sektor unggulan di bidang perdagangan, hotel,dan restoran.

Gambar 5.

Pemetaan Sektor Unggulan Perdagangan, Hotel, dan Restoran di Jawa Timur berdasarkan Nilai SLQ

Dari hasil pemetaan berdasarkan nilai SLQ perbandingan hasil seluruh kab/kota di Jawa Timur dan hasil matriks klasifikasi sektor sebelumnya dapat diketahui pada kawasan GKS Plus Kabupaten Jombang ternyata hanya memiliki nilai basis sedang.

Page 11: Analisis Keterkaitan Wilayah secara Sektoral Ditinjau dari Sektor

Eko Budi Santoso, Belinda Ulfa Aulia, Dian Rahmawati, dan Deny Ferdyansyah Analisis Keterkaitan Wilayah secara Sektoral Kawasan GKS Plus terhadap Jawa Timur

Seminar Nasional CITIES 2012

11

Gambar 6.

Pemetaan Sektor Unggulan Perdagangan, Hotel, dan Restoran di Jawa Timur berdasarkan Nilai DLQ

Jika dibandingkan dengan sektor perdagangan, hotel,dan restoran pada kab/kota di Jawa Timur lainnya, Kabupaten Jombang masuk pada kategori pertumbuhan sedang. 4. Sektor Jasa-jasa Berikut ini merupakan pemetaan sektor unggulan di bidang jasa-jasa untuk Kab/Kota di Jawa Timur.

Gambar 7.

Pemetaan Sektor Unggulan Jasa-jasa di Jawa Timur berdasarkan Nilai SLQ Dari hasil pemetaan berdasarkan nilai SLQ perbandingan hasil seluruh kab/kota di Jawa Timur dan hasil matriks klasifikasi sektor sebelumnya dapat diketahui pada kawasan GKS Plus bahwa Kabupaten Bangkalan memang memiliki nilai basis tinggi dan masih merupakan

Page 12: Analisis Keterkaitan Wilayah secara Sektoral Ditinjau dari Sektor

Eko Budi Santoso, Belinda Ulfa Aulia, Dian Rahmawati, dan Deny Ferdyansyah Analisis Keterkaitan Wilayah secara Sektoral Kawasan GKS Plus terhadap Jawa Timur

Seminar Nasional CITIES 2012

12

untuk sektor jasa-jasa unggulan di Jawa Timur dalam beberapa tahun ke depan.Namun tidak demikian untuk Kabupaten Pasuruan.

Gambar 8.

Pemetaan Sektor Unggulan Jasa-jasa di Jawa Timur berdasarkan Nilai DLQ Sedangkan dilihat dari tigkat pertumbuhannya maka sektor jasa-jasa di Kabupaten Bangkalan hanya memiliki pertumbuhan sedang jika dibandingkan dengan Kabupaten Gresik dan Sidoarjo. 4.3 Hasil Analisis Differential Shift Share Analisis spasial ini dilakukan untuk melihat lebih detail bagaimana pemetaan sektor unggulan dan perkembangannya untuk masing-masing kab/kota di Jawa Timur. 1. Sektor Pertanian Berdasarkan nilai Differential Shift dapat diketahui bahwa sektor pertanian pada kawasan GKS Plus mempunyai kecenderungan untuk tumbuh lambat dibandingkan dengan pertumbuhan rata-rata sektor pertanian di Jawa Timur yang tumbuh cepat. Pada gambar 9 dapat diketahui hasil analisis differential shift share di sektor pertanian untuk Kab/Kota di Jawa Timur. 2. Sektor Industri Pengolahan Berdasarkan nilai Differential Shift dapat diketahui bahwa sektor industri pengolahan pada kawasan GKS Plus (khususnya Kab.Sidoarjo dan Kab.Gresik) mempunyai kecenderungan untuk tumbuh cepat dibandingkan dengan pertumbuhan rata-rata sektor industri pengolahan di Jawa Timur. Pada gambar 10 dapat diketahui hasil analisis differential shift share di sektor industry pengolahan untuk Kab/Kota di Jawa Timur.

Page 13: Analisis Keterkaitan Wilayah secara Sektoral Ditinjau dari Sektor

Eko Budi Santoso, Belinda Ulfa Aulia, Dian Rahmawati, dan Deny Ferdyansyah Analisis Keterkaitan Wilayah secara Sektoral Kawasan GKS Plus terhadap Jawa Timur

Seminar Nasional CITIES 2012

13

Gambar 9.

Grafik Differential Shift Share Sektor Pertanian di Jawa Timur

Gambar10.

Grafik Differential Shift Share Sektor Industri Pengolahan di Jawa Timur 3. Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran Berdasarkan nilai Differential Shift dapat diketahui bahwa sektor pada sektor perdagangan, hotel, dan restoran pada kawasan GKS Plus (kecuali Kab.Sidoarjo dan Kota Surabaya) mempunyai kecenderungan untuk tumbuh cepat dibandingkan dengan pertumbuhan rata-rata sektor pada sektor perdagangan, hotel, dan restoran di Jawa Timur. Pada gambar 11 dapat diketahui hasil analisis differential shift share di sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran untuk Kab/Kota di Jawa Timur. 4. Sektor Jasa-jasa Berdasarkan nilai Differential Shift dapat diketahui bahwa sektor jasa-jasa pada kawasan GKS Plus (khususnya Kab.Sidoarjo, Kab.Gresik, Kab.Pasuruan, dan Kab.Sidoarjo) mempunyai kecenderungan untuk tumbuh cepat dibandingkan dengan pertumbuhan rata-rata sektor jasa-jasa di Jawa Timur. Pada gambar 12 dapat diketahui hasil analisis differential shift share di sektor Jasa-jasa untuk Kab/Kota di Jawa Timur.

Page 14: Analisis Keterkaitan Wilayah secara Sektoral Ditinjau dari Sektor

Eko Budi Santoso, Belinda Ulfa Aulia, Dian Rahmawati, dan Deny Ferdyansyah Analisis Keterkaitan Wilayah secara Sektoral Kawasan GKS Plus terhadap Jawa Timur

Seminar Nasional CITIES 2012

14

Gambar 11.

Grafik Differential Shift Share Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran di Jawa Timur

Gambar 12.

Grafik Differential Shift Share Sektor Jasa-jasa di Jawa Timur

5. KESIMPULAN

Dari pembahasan analisis keterkaitan wilayah secara sektoral ditinjau dari sektor unggulan kawasan GKS Plus terhadap Jawa Timur, maka dapat disimpulkan implikasinya keterkaitan sektoral terhadap Perkembangan Perkotaan di GKS Plus, adalah sebagai berikut:

1. Sektor perdagangan, hotel, dan restoran serta sektor jasa-jasa menjadi sektor unggulan yang menjadi prime mover pertumbuhan perkotaan GKS.

2. Perkembangan perkotaan GKS memberikan pengaruh terhadap penurunan peran sektor pertanian di Jawa Timur.

3. Perkembangan sektor indutri pengolahan; sektor perdagangan, hotel, dan restoran; serta sektor jasa-jasa di GKS ternyata memiliki keterkaitan dan mempengaruhi pertumbuhan sektor tersebut di Jawa Timur.

Page 15: Analisis Keterkaitan Wilayah secara Sektoral Ditinjau dari Sektor

Eko Budi Santoso, Belinda Ulfa Aulia, Dian Rahmawati, dan Deny Ferdyansyah Analisis Keterkaitan Wilayah secara Sektoral Kawasan GKS Plus terhadap Jawa Timur

Seminar Nasional CITIES 2012

15

6. REFERENSI

Adisasmita, Rahardjo. 2008. Pengembangan Wilayah: Konsep dan Teori. Yogyakarta: Penerbit

Graha Ilmu. Adisasmita, Rahardjo. 2005. Dasar-Dasar Ekonomi Wilayah. Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu. Amir, H. dan Nazara, S. 2005. Analisis Perubahan Struktur Ekonomi dan Kebijakan Strategi

Pembangunan Jawa Timur Tahun 1994 dan 2000: Analisis Input-Output. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia. Volume 5, Edisi Januari 2005.

Anselin, L. 1995. Local Indicators of Spatial Association-LISA. Geographical Analysis, Vol. 27 (2): 93 – 115.

Anselin, L., Syabri, I. and Kho, Y. 2006. GeoDa: An Introduction to Spatial Data Analysis. Geographical Analysis. Vol. 38 (1): 5 – 22.

Anselin, L., Syabri, I. and Kho, Y. 2010. GeoDa: An Introduction to Spatial Data Analysis. In M.M. Fischer and A. Getis, eds. Handbook of Applied Spatial Analysis: Software Tools, Methods and Applications. Heidelberg, Springer: 73 – 89.

Bökemann, Dieter. 1999. Theorie der Raumplanung: Regionalwissenschaftliche Grundlagen für die Stadt-, Regional- und Landesplanung. München: R. Oldenbourg Verlag.

Daryanto, A. dan Hafizrianda, Y. 2010. Model-Model Kuantitatif untuk Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah. Bogor: IPB Press.

Djakapermana, R.D. 2010. Pengembangan Wilayah Melalui Pendekatan Kesisteman. Bogor: IPB Press.

Kuncoro, Mudrajad. 2002. Analisis Spasial dan Regional: Studi Aglomerasi dan Kluster Industri Indonesia. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.

Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Lego, Brian, Gebremedhin, Tesfa G. Cushing, Brian (2000), A Multi-Sector Export Base Model of Long-Run Regional Employment Growth, Agricultural and Resource Economics Review, Volume 29, Number 2, October 2000, 192 – 197.

Longhi, S. and Nijkamp, P. 2007. Forecasting Regional Labor Market Developments under Spatial Autocorrelation. International Regional Science Review. Vol. 30, No. 2, April 2007. 100-119

Maier, G., Tödtling, F. and Trippl, M. 2006. Regional- und Stadt-ökonomik 2: Regionalentwicklung und Regionalpolitik. Wien: Springer.

Mayor, M. and López, A.J. 2009. Spatial shift-share analysis versus spatial filtering: an application to Spanish employment data, in Baltagi and Arbia, eds. Spatial Econometrics: Methods and Applications. Heidelberg, Physica-Verlag: p. 123 – 142.

Rahmawati, Farida. 2006. Analisis Kinerja Sektoral Perekonomian Jawa Timur. Jurnal Keuangan dan Perbankan. Vol. 12, No. 1. Januari 2006. 93 – 103.

Riyadi, dan Bratakusumah, D.S. 2003. Perencanaan Pembangunan Daerah: Strategi Menggali Potensi dalam Mewujudkan Otonomi Daerah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Rustiadi, E., Saefulhakim S. dan Panuju D.R. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta: Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia.

Rura, M.J., and Griffith, D.A. 2010. Spatial Statistics in SAS. In M.M. Fischer and A. Getis, eds. Handbook of Applied Spatial Analysis: Software Tools, Methods and Applications. Heidelberg, Springer: 43 – 52.

Saharuddin, Syahrul. 2006. Analisis Ekonomi Regional Sulawesi Selatan. Jurnal Analisis, Vol. 3 (1), Maret 2006: 11 – 24.

Setiono, Dedi NS. 2011. Ekonomi Pengembangan Wilayah: Teori dan Analisis. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI.