bab 2.docx
TRANSCRIPT
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Air Limbah
2.1.1 Pengertian Air Limbah
Menurut UU RI No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, limbah adalah sisa suatu kegiatan dan atau kegiatan. Menurut Salvato air
limbah (wastewater) adalah kotoran dari masyarakat, rumah tangga dan yang
berasal dari industri, air tanah, air permukaan serta buangan lainnya. Sedangkan
menurut Metcalff, Eddy (1991) mengartikan limbah sebagai kombinasi dari cairan
dan sampah-sampahyang berasal dari daerah pemukiman, perdagangan,
perkantoran dan industri bersama-sama dengan air tanah, air permukaan dan air
hujan yang mungkin ada.
2.1.2 Analisis Sifat-Sifat Air Limbah
Untuk mengetahui lebih luas tentang air limbah, maka perlu kiranya
diketahui juga secara detail mengenai kandungan yang ada di dalam air limbah
juga sifat-sifatnya. Setelah diadakan analisis ternyata bahwa air limbah
mempunyai sifat yang dapat dibedakan menjadi tiga bagian diantaranya:
1. Sifat Fisik
Temperatur dan zat padat pada air limbah adalah faktor penting untuk
proses pengolahan air limbah. Temperatur mempengaruhi reaksi kimia dan
aktivitas biologi. Zat padat , seperti total suspended solid (TSS), volatile
suspended solid (VSS), settleable solid, mempengaruhi teknik
pengoperasian dan ukuran unit pengolahan. Zat padat terdiri dari material
tersuspensi dan terlarut dalam air dan air limbah. Zat padat terbagi
kedalam beberapa fraksi dengan konsentrasi tertentu yang dapat berguna
bagi proses pengolahan. Total solid (TS) adalah jumlah total solid
tersuspensi (TSS) dan total solid terlarut (TDS). Masing-masing dari TSS
dan TDS dapat dibagi lebih lanjut menjadi fraksi volatil dan campuran.
Total solid adalah material tertinggal pada proses evaporasi setelah
pengeringan selama 1 jam. Total Suspended solid adalah material yang
5
tidak tersaring. Total suspended solid adalah parameter penting untuk
pengolahan dan sebagai standar acuan keberhasilan sistem pengolahan
(Lin, S. 2001).
2. Sifat Kimia
Zat padat terlarut dan tersuspensi pada air limbah mengandung material
organik dan anorganik. Material organik terdiri dari karbonat, lemak,
minyak surfaktan. grease, protein, pestisida, senyawa kimia pertanian lain,
senyawa organik volatile, dan senyawa kimia racun lain. Material
anorganik terdiri dari logam berat, nitrogen, phosphor, pH, alkanity,
chloride, sulfur, dan polutan anorganik lain material gas masing-masing
CO2, N2, O2, H2S, CH4 juga terdapat pada air limbah (Lin, S. 2001)
3. Sifat Biologis
Mikroorganisme yang terdapat pada air limbah adalah bakteri, jamur,
protozoa, tumbuh-tumbuhan mikroskopik, binatang, dan virus. Banyak
mikrooranisme (bakteri, protozoa) berhubungan langsung dan
menguntungkan untuk proses pengolahan biologi air limbah (Lin, S. 2001)
2.2 Koagulasi
Prinsip dari proses koagulasi adalah mengurangi stabilitas partikel
koloid dengan cara meminimalkan gaya-gaya yang mengikat selanjutnya
menurunkan energy penghalang dan membentuk partikel menjadi flok-flok
yang menjadi pengaruh dari proses ini adalah karakterisasi larutan, jenis polu-
tan, koagulan dan mekanisme koagulasi yang terjadi.
Dalam koagulasi kimia terdapat dua carauntuk mengkoagulankan laru-
tan yaitu penambahan aluminium sulfat pada koagulasi kimia dan penambahan
aluminium pada elektrokoagulasi. Kedua cara ini memiliki pengaruh yang
berbeda. Penambahan aluminium sulfat pada koagulasi kimiaakan membuat
air menjadi asam sedangkan penambahan aluminium pada elektrokoagulasi
yang tidak menyebabkan disosiasi pada anion garam didalam larutan akan
menyebabkan nilai pH relative stabil dalam kisaran basa (Ogurveren dalam
Aldiani, 2008).
6
Gambar 2.1. Proses Pembentukan Flokulasi
Pada koagulasi kimia, bahan kimia yang ditambahkan sebagai koagulan
yang berbentuk garam akan mengalami disosiasi dalam larutan melalui hidrolisis
dari kation aluminium dan berhubungan dengan anion larutan yang diukur dengan
suasana larutan dan nilai pH.
2.3 Elektrokoagulasi
Salah satu metode yang sudah digunakan secara luas untuk pengolahan
limbah adalah elektrokoagulasi yang memiliki keunggulan diantaranya yaitu meru-
pakan metode yang sederhana, efisien, baik digunakan untuk menghilangkan
senyawa organik, tanpa penambahan zat kimia sehingga mengurangi pembentukan
residu (sludge), dan baik untuk menghilangkan padatan tersuspensi. Proses elek-
trokoagulasi diduga dapat menjadi pilihan metode pengolahan limbah radioaktif
cair fase air alternative mendampingi metode-metode pengolahan yang lain yang
telah dilaksanakan. Di Indonesia penerapan metode elektrokoagulasi untuk pengo-
lahan limbah belum banyak dilakukan, sehingga perlu dilakukan pengkajian
proses melalui percobaan-percobaan dan pengujian terhadap parameter yang
berpengaruh.
Elektrokoagulasi bukanlah teknologi baru, tetapi diIndonesia belum
memasyarakat dalam penerapannya. Proses ini sederhana dan mudah diterapkan
dengan kemampuan yang baik dalam menggumpalkan berbagai pengotor dan po-
lutan, baik bahan organic maupun anorganik.
(Mollah, M.Y.A., Schennach, R., Jr., (2001) menyatakan bahwa “elek-
trokoagulasi adalah teknologi yang saat ini berkembang secara efektif diap-
likasikan untuk mengolah air limbah. Secara umum keuntungan dari metode ini
adalah efisiensi pemisahan yang lebih tinggi, sederhana dan lebih ramah lingkun-
gan”.
7
Proses elektro koagulasi dapat dilakukan dengan system batch dan system
alir. Elektrokoagulasi system batch adalah proses elektrokoagulasi dalam wadah
yang tertutup tanpa aliran. Sedangkan elektrokoagulasi system flow (alir) adalah
proses elektrokoagulasi dalam wadah tertutup yang mana terjadi aliran air/limbah.
Proses elektrokoagulasi menggunakan elektroda seperti aluminium ataupun
besi. Besi dan aluminium merupakan sacrificialelectrode yang telah berhasil dan
efektif dalam penghilangan polutan. Sacrificialelectrode adalah elektroda yang
berperan sebagai anoda dan katoda. Menurut Putero, S. H, dkk (2008) faktor-fak-
tor yang mempengaruhi proses elektrokoagulasi antara lain:
1. Kerapatan arus listrik
Kenaikan kerapatan arus akan mempercepat ion bermuatan membentuk
flok. Jumlah arus listrik yang mengalir berbanding lurus dengan bahan
yang dihasilkan selama proses.
2. Waktu
Menurut hokum Faraday, jumlah muatan yang mengalir selama proses
elektrolisis sebanding dengan jumlah waktu kontak yang digunakan. Lama
kontak terhadap elektroda adalah faktor yang sangat berpengaruh dalam
proses Elektrokoagulasi, makin lama waktu kontak penempelan ion-ion
logam pada elektroda semakin banyak COD dapat diturunkan, sehingga
disimpulkan bahwa, waktu yang diperlukan oleh suatu tahap pengolahan
sangat penting agar tujuan pengolahan dapat dicapai secara optimal (Car-
mona,2006).
3. Tegangan
Karena arus listrik yang menghasilkan perubahan kimia mengali rmelalui
medium (logam ata uelektrolit) disebabkan adanya beda potensial, karena
tahanan listrik pada medium lebih besar dari logam, maka yang perlu
diperhatikan adalah mediumnya dan batasan antar logam dengan medium.
4. Kadar keasaman(pH)
Karena pada proses elektrokoagulasi terjadi proses elektrolisis air yang
menghasilkan gas hydrogen dan ion hidroksida, dengan semakin lama
waktu kontak yang digunakan, maka semakin cepat juga pembentukan gas
hydrogen dan ion hidroksida, apabila ion hidroksida yang dihasilkan lebih
8
banyak maka akan menaikan pH dalam larutan. pH larutan juga mempen-
garuhi kondisi spesies padalarutan dan kelarutan dari produk yang diben-
tuk. pH larutan mempengaruhi keseluruhan efisiensi dan efektifitas dari
elektrokoagulasi. pH larutan dapat dengan mudah diubah. pH optimal un-
tuk menambah efektifitas proses elektrokoagulasi yang terdapat dalam
larutan berkisar antara nilai 6,5 sampai 7,5.
5. Ketebalan plat
Semakin tebal plat elektroda yang digunakan, daya tarik elektrostatiknya
dalam mereduksi dan mengoksidasi ion logam dalam larutan akan semakin
besar.
6. Jarak antar elektroda
Besarnya jarak antar elektroda mempengaruhi besarnya hambatan elek-
trolit, semakin besar jaraknya semakin besar hambatannya, sehingga se-
makin kecil arus yang mengalir. Proses elektro koagulasi dilakukan pada
bejana elektrolisis yang didalamnya terdapat dua penghantar arus listrik
searah yang disebut elektroda, yang tercelup dalam larutan elektrolit:
Gambar 2.2 Interaksi dalam proses Elektrokoagulasi (Holt,2001)
Apabila dalam suatu larutan elektrolit ditempatkan dua elektroda dan di-
aliri arus listrik searah, maka akan terjadi peristiwa elektrokimia (gejala dekompo-
sisi elektrolit) yaitu ion positif (kation) bergerak kekatoda dan menerima electron
yang direduksi danion negative (anion) bergerak ke anoda dan menyerahkan elec-
tron yang dioksidasi, sehingga membentuk flok yang mampu mengikat kontami-
nan dan partikel-partikel dalam limbah.
9
Ada beberapa macam interaksi dalam larutan pada proses elektrokoagulasi,
yaitu:
1. Migrasi ke elektroda yang bermuatan berlawanan (electrophoresis) dan
penggabungan (aggreration) untuk membentuk senyawa netral.
2. Kation atau ion hidroksida (OH-)membentuk endapan dengan polutan.
3. Logam kation berinteraksi dengan OH- membentuk hidroksi, yang
mempunyai sisi yang mengadsorbsi polutan (bridge coagulation).
4. Hidroksi membentuk struktur besar dan membersihkan polutan (sweep-
coagulation)
5. Oksidasi polutan sehingga mengurangi toxicitasnya
6. Penghilangan melalui elektroflotasi dan adhesi gelembung udara
Gelembung gelembung gas/udara yang dihasilkan pada proses elektrokoag-
ulasi menyebabkan kotoran-kotoran yang terbentuk akan terangkat keatas per-
mukaan air. Kotoran-kotoran yang terbentuk disebut flok karena ukurannya rela-
tive kecil. Semakin banyak kotoran yang terangkat keatas maka ukurannya akan
bertambah besar. Kemudian dilakukan proses pengendapan setelah air mengalami
elektrokoagulasi. Proses pengendapan ini berfungsi untuk mengendapkan flok-flok
yang terbentuk.
2.3.1 Keuntungan Elektrokoagulasi
Fitrianti, S.P., (2011) menjabarkan keuntungan dan kerugian dari
penggunaan elektrokoagulasi. Beberapa keuntungan dari proses elektrokoagulasi
adalah sebagai berikut:
1. Peralatan yang dibutuhkan sederhana dan mudah dioperasikan
2. Air limbah yang diolah dengan elektrokoagulasi menghasilkan efluen yang
jernih, tidak berwarna dan tidak berbau.
3. Lumpur yang dihasilkan elektrokoagulasi relatif stabil dan mudah
dipisahkan karena sebagian besar berasal dari oksida logam. Selain itu,
jumlah lumpur yang dihasilkan sedikit.
4. Flok yang terbentuk pada elektrokoagulasi memiliki kesamaan dengan
flok yang berasal dari koagulasi kimia. Perbedaannya adalah flok dari
10
elektrokoagulasi berukuran lebih besar dengan kandungan air yang sedikit,
lebih stabil dan mudah dipisahkan secara cepat dengan filtrasi.
5. Elektrokoagulasi menghasilkan efluen dengan kandungan TDS (Total
Dissolved Solid) lebih sedikit, sehingga mengurangi biaya recovery bila air
hasil pengolahan digunakan kembali.
6. Elektrokoagulasi dapat mengolah partikel koloid yang sangat kecil karena
penggunaan arus listrik menyebabkan proses koagulasi lebih mudah terjadi
dan lebih cepat.
7. Gelembung gas yang dihasilkan selama proses elektrolisis dan membawa
polutan yang diolah untuk naik ke permukaan (floatasi) tersebut mudah
terkonsentrasi, dikumpulkan dan dipisahkan.
8. Proses elektrokoagulasi tidak memerlukan penambahan bahan kimia,
sehingga tidak bermasalah dengan netralisasi kelebihan bahan kimia dan
kemungkinan tidak membutuhkan pengolahan lebih lanjut bila terjadi
penambahan senyawa kimia yang terlalu tinggi seperti pada penggunaan
bahan kimia (koagulasi kimia).
9. Perawatan reaktor elektrokoagulasi lebih mudah karena proses elektrolisis
yang terjadi cukup dikendalikan dari penggunaan listrik tanpa perlu
memindahkan bagian didalamnya.
2.3.2 Kerugian/Kekurangan Elektrokoagulasi
Sedangkan kerugian dari penggunaan elektrokoagulasi adalah:
1. Pada metode ini, elektroda yang digunakan harus diganti secara teratur.
2. Elektroda yang digunakan dapat larut sehingga dapat menyebabkan
terjadinya oksidasi.
3. Listrik yang digunakan besar sehingga pengoperasiannya mahal.
4. Efisiensi pengolahan dapat dipengaruhi oleh lapisan yang terbentuk pada
elektroda.
5. Diperlukan konduktivitas yang tinggi pada proses elektrokoagulasi dalam
mengolah air limbah.
6. Hidroksida seperti gelatin cenderung solubilize pada beberapa kasus.
11
Reaksi kimia yang terjadi pada proses Elektrokoagulasi yaitu reaksi
reduksi oksidasi, yaitu sebagai akibat adanya arus listrik (DC). Pada reaksi ini
terjadi pergerakan dari ion-ion yaitu ion positif (disebut kation) yang bergerak
pada katoda yang bermuatan negatif. Sedangkan ion-ion negatif bergerak menuju
anoda yang bermuatan positif yang kemudian ion-ion tersebut dinamakan sebagai
anion (bermuatan negatif).
Elektroda dalam proses Elektrokoagulasi merupakan salah satu alat untuk
menghantarkan atau menyampaikan arus listrik ke dalam larutan agar larutan
tersebut terjadi suatu reaksi (perubahan kimia). Elektroda tempat terjadi reaksi
reduksi disebut katoda, sedangkan tempat terjadinya reaksi oksidasi disebut
anoda.
2.3.3 Proses Elektrokoagulasi
Proses koagulasi secara elektrolitik yaitu kedalam air baku dimasukan
elektroda dari alumunium (Al) yang dialiri listrik dengan arus searah. Dengan
adanya arus listrik tersebut, maka elektroda logam Al tersebut sedikit demi sedikit
akan larut kedalam air membentuk ion Al3+ yang oleh reaksi hidrolisa air akan
membentuk Al(OH)3 yang merupakan koagulan yang sangat efektif.
Proses elektrokoagulasi dilakukan pada bejana elektrolisis yang di
dalamnya terdapat katoda dan anoda sebagai penghantar arus listrik searah yang
disebut elektroda, yang tercelup dalam larutan limbah sebagai elektrolit. Apabila
dalam suatu elektrolit ditempatkan dua elektroda dan dialiri arus listrik searah,
maka akan terjadi peristiwa elektrokimia yaitu gejala dekomposisi elektrolit,
dimana ion positif (kation) bergerak ke katoda dan menerima elektron yang
direduksi dan ion negatif (anion) bergerak ke anoda dan menyerahkan elektron
yang dioksidasi.
Pada proses Elektrokoagulasi, air limbah dimasukan kedalam bak
Elektrokoagulasi kemudian dialirkan arus listrik. Dengan adanya aliran listrik
tersebut akan terjadi pertukaran ion, dimana anoda akan melepaskan ion Al3+ dan
katoda akan melepaskan ion H+ yang kemudian akan membentuk ion Fe(OH)3
yang merupakan koagulan yang sangat efektif. Ion Al(OH)3 tersebut akan
12
mengikat zat organic yang terkandung pada air limbah yang kemudian menjadi
endapan sehingga kandungan COD, dan TSS air limbah menurun.
Mekanisme pembentukan terjadi pada batangan anoda dan katoda dapat
ditunjukan pada reaksi sebagai berikut:
(a) mekanisme 1 :
(anoda) : 4Al→ 4Al2+ + 8e
4Al2+ + 4H2O + 2O2 → 4Al(OH)2+ 8e-
(katoda): 8 H+ + 8e-→ 4H2
Overall : Al (s) + 2H2O (l) → Al(OH)2 (s) + H2 (g)
(b) Mekanisme 2 :
Anode : 4 Al (s) → 4Al2+ (aq) + 8 e–
4Al2+(aq)+ 4H2O(l)+O2(g)→4Al (OH)2(s)+8H+ (aq)
Cathode : 8 H+ (aq) + 8 e– → 4 H2 (g)
Overall : 4Al(s)+4H2O(l)+O2(g)→4Al(OH)2 (s) + 4H2 (g)
Dari hasil reaksi di atas menjelaskan tentang proses reduksi pada Al
sebagai elektroda dan pelepasan ion H+ pada saat Elektrokoagulasi. Proses inilah
yang membantu dalam penurunan COD yang terjadi karena pada saat
Elektrokoagulasi proses koagulasi dan flokulasi juga terjadi dimana karena proses
flokulasi dan koagulasilah parameter COD akan turun. Selain itu diketahui bahwa
molekul-molekul yang ada pada limbah cair industri batik akan terbentuk menjadi
flok dimana partikel-pertikel koloid pada limbah bersifat adsorbsi (penyerapan)
terhadap partikel atau ion atau senyawa yang lain yang ada pada limbah, misalnya
koloid Al(OH)3 bermuatan positif karena permukaannya menyerap ion H+. Prinsip
proses kerja yang terjadi pada Elektrokoagulasi secara umum sama seperti teori
double layer yaitu pembentukan flokulasi partikel bersifat adsorbsi dimana
elektroda positif yang teroksidasi sebagai koagulan, pada Elektrokoagulasi
bermuatan positif akan menyerap ion – ion negatif pada limbah seperti nitrat,
phenol, nitrit dan senyawa organic lainnya dan membentuk flok yang membantu
proses penurunan COD (Holt, P. K, 2009).
13
2.4 Elektrolit
Elektrolit adalah suatu zat yang larut atau terurai ke dalam bentuk ion-
ionnya. Zat yang jumlahnya lebih sedikit di dalam larutan disebut zat terlarut atau
solut, sedangkan zat yang jumlahnya lebih banyak daripada zat-zat lain dalam
larutan disebut pelarut atau solven. Komposisi zat terlarut dan pelarut dalam
larutan dinyatakan dalam konsentrasi larutan, sedangkan proses pencampuran zat
terlarut dan pelarut membentuk larutan disebut pelarutan atau solvasi. Larutan
terdiri atas larutan non elektrolit dan larutan elektrolit. Larutan elektrolit adalah
larutan yang mudah menghantarkan listrik, sedangkan larutan non elektrolit
adalah larutan yang tidak dapat menghantarkan listrik. Ion-ionnya merupakan
atom-atom yang bermuatan elektrik seperti senyawa garam, asam, atau amfoter.
Sehingga senyawa elektrolit merupakan senyawa dengan ikatan ion dan kovalen
polar. Sebagian besar senyawa yang berikatan ion merupakan elektrolit. Contoh
garam dapur (NaCl) dalam bentuk larutan sistem aqueous dan lelehan dapat
menjadi larutan elektrolit, namun dalam padatan senyawa ion tidak dapat
berfungsi sebagai elektrolit (Astuti, U.P, 2014).
2.5 Elektroda
Astuti, U.P, (2014) menyatakan bahwa elektroda merupakan konduktor
yang digunakan untuk mengalirkan arus listrik dalam sel elektrolisis. Elektroda
yang digunakan dalam sel elektrolisis terdiri atas dua jenis yaitu elektroda inert
dan elektroda tidak inert (aktif). Elektroda inert adalah elektroda yang tidak ikut
bereaksi baik sebagai katoda maupun anoda, sehingga dalam sel elektrolisis yang
mengalami reaksi redoks adalah elektrolit sebagai zat terlarut atau air sebagai
pelarut. Contohnya karbon (C) dan platina (Pt). Sedangkan, elektroda aktif adalah
elektroda yang ikut bereaksi, terutama jika digunakan sebagai anoda dapat
mengalami reaksi oksidasi. Contohnya besi (Fe), aluminium (Al), tembaga (Cu),
seng (Zn), perak (Ag), dan emas (Au). Berikut susunan lengkap deret volta:
Li-K-Ba-Sr-Ca-Na-Mg-Al-Mn-Zn-Cr-Fe-Cd-Co-Ni-Sn-Pb-H+-Cu-Hg-Ag-Pt-
Au
Logam-logam yang terletak di sisi kiri H+ memiliki E° bertanda negatif.
Semakin ke kiri, nilai E°red semakin kecil (semakin negatif). Hal ini menandakan
14
bahwa logam-logam tersebut semakin sulit mengalami reduksi dan cenderung
mengalami oksidasi. Oleh sebab itu, kekuatan reduktor akan meningkat dari kanan
ke kiri. Sebaliknya, logam-logam yang terletak di sisi kanan H+ memiliki E°red
bertanda positif. Semakin ke kanan, nilai E° semakin besar (semakin positif). Hal
ini berarti bahwa logam-logam tersebut semakin mudah mengalami reduksi dan
sulit mengalami oksidasi. Oleh sebab itu, kekuatan oksidator akan meningkat dari
kiri ke kanan. Singkat kata, logam yang terletak disebelah kanan relatif terhadap
logam lainnya, akan mengalami reduksi. Sementara, logam yang terletak di
sebelah kiri relatif terhadap logam lainnya, akan mengalami oksidasi. Logam yang
terletak disebelah kiri relatif terhadap logam lainnya mampu mereduksi ion logam
menjadi logam (mendesak ion dari larutannya menjadi logam). Sebaliknya, logam
yang terletak di sebelah kanan relatif terhadap logam lainnya mampu
mengoksidasi logam menjadi ion logam (melarutkan logam menjadi ion dalam
larutannya).
Dari penjelasan tentang derat Volta di atas maka dapat dikatakan bahwa:
• Semakin ke kanan, semakin mudah direduksi dan sukar di oksidasi.
• Semakin ke kiri semakin mudah dioksidasi dan sukar direduksi
2.6 Arus Listrik
Dalam proses Elektrokoagulasi arus yang digunakan yaitu arus searah
yang berfungsi sebagai sumber listrik yang dapat memberikan arus listrik secara
konstan terhadap waktu. Disebut searah, karena medianya selalu sama, meskipun
besarnya berubah-ubah.
Dalam hal ini, arus didefinisikan sebagai jumlah perpindahan rata-rata dari
muatan positif yang melewati per satuan waktu.
i=Qt
Satuan MKS dari arus adalah I Coulomb per detik, disebut 1 Ampere.
Banyaknya zat yang dihasilkan dari reaksi Elektrokoagulasi sebanding dengn
banyaknya arus listrik yang dialirkan ke dalam larutan. Hal ini dapat
digambarkan dengan hukum Faraday I:
we= i . t
F
15
Keterangan:
W = massa zat yang dihasilkan
e = bobot ekivalen ¿Arn
i = arus dalam ampere
t = waktu dalam satuan detik
F = tetapan Faraday, dimana 1 faraday = 96500 Coulomb
ti = arus dalam satuan Coulomb ⋅
Fti = arus dalam satuan Faraday ⋅
eW = gram ekivalen (grek)
Grek adalah mol elektron dari suatu reaksi yang sama dengan perubahan
bilangan oksidasi 1 mol zat. Maka dari rumus di atas diperoleh:
Jumlah Faraday = grek = mol elektron
Dalam penentuan masa zat yang dihasilkan dalam reaksi Elektrokoagulasi,
biasanya data yang diketahui adalah Ar bukan e = Ar/n, sehingga rumus
Faraday I menjadi:
we= i . t
F
n = Valensi atau banyaknya mol elektron untuk setiap 1 mol zat.
2.7 Parameter Penelitian
2.7.1 Chemical Oxygen Demand (COD)
Untuk menyatakan kualitas air dibutuhkan beberapa parameter yang
terkait. Salah satu diantaranya adalah Chemical Oxygen Demand (COD) atau
Kebutuhan Oksigen Kimia (KOK) yang didefinisikan sebagai jumlah oksigen
(mgO2) yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik yang ada dalam
sampel air atau banyaknya oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat
organik menjadi CO2 dan H2O. Pada reaksi oksigen ini hampir semua zat yaitu
sekitar 85% dapat teroksidasi menjadi CO2 dan H2O dalam suasana asam,
sedangkan penguraian secara biologi (BOD) tidak semua zat organik dapat
diuraikan oleh bakteri.
16
Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organik
yang secara alamiah dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologis, dan
mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut didalam air.
COD adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi
senyawa organik dalam air, sehingga parameter COD mencerminkan banyaknya
senyawa organik yang dioksidasi secara kimia. Tes COD digunakan untuk
menghitung kandungan bahan organik yang dapat dioksidasi dengan cara
menggunakan bahan kimia oksidator kuat dalam media asam.
Beberapa bahan organik tertentu yang terdapat pada air limbah, kebal
terhadap degradasi biologis dan ada beberapa diantaranya yang beracun meskipun
pada kosentrasi yang rendah. Bahan yang tidak dapat didegradasi secara biologis
tersebut akan didegradasi secara kimiawi melalui proses oksidasi, jumlah oksigen
yang dibutuhkan untuk mengoksidasi tersebut dikenal dengan Chemical Oxygen
Demand (COD).
Analisis BOD dan COD dari suatu air limbah dan menghasilkan nilai-nilai
yang berbeda karena kedua uji mengukur bahan yang berbeda. Nilai COD selalu
lebih tinggi dari nilai BOD.
Perbedaan diantara kedua nilai disebabkan banyak faktor antara lain :
1. Bahan kimia yang tahan terhadap oksidasi biokimia tetapi tidak tahan
terhadap oksidasi kimia seperti lignin.
2. Bahan kimia yang dapat dioksidasi secara kimia dan peka terhadap
oksidasi biokimia tetapi tidak dalam uji BOD seperti sellulosa, lemak
berantai panjang atau sel-sel mikroba.
3. Adanya bahan toksik dalam limbah yang akan mengganggu uji BOD tetapi
tidak uji COD.
Perbedaan BOD, COD dan TSS dapat dilihat sebagai berikut
1. Angka BOD adalah jumlah komponen organik biodegradable dalam air
buangan, sedangkan tes COD menentukan total organik yang dapat
teroksidasi, tetapi tidak dapat membedakan komponen biodegradable/non
biodegradable.
2. Beberapa substansi inorganik seperti sulfat dan tiosulfat, nitrit dan besi
ferrous yang tidak akan terukur dalam tes BOD akan teroksidasi aleh
17
kalium dikromat, membuat nilai COD – inorganik yang menyebabkan
kesalahan dalam penetapan komposisi organik dalam laboratorium.
3. Hasil COD tidak tergantung pada aklimasi bakteri sedangkan pada tes
BOD sangat dipengaruhi aklimasi seeding bakteri.
Untuk mengetahui jumlah bahan organik di dalam air dapat dilakukan
suatu uji yang lebih cepat dibandingkan dengan uji BOD, yaitu berdasarkan reaksi
kimia dari suatu bahan oksidan yang disebut uji COD. Uji COD yaitu suatu uji
yang menetukan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bahan oksidan seperti
kalium dikhromat (K2Cr2O7) atau kalium permanganat (KMnO4) sebagai sumber
oksigen atau Oxidizing Agent yang digunakan untuk mengoksidasi bahan-bahan
organik yang terdapat didalam air (Pratama. N., Iman M.S, 2011).
2.7.2 TSS (Total Suspended Solid)
Dalam air alam dapat ditemui dua kelompok zat, yaitu zat terlarut seperti
garam dan molekul organis, dan zat padat tersuspensi dan koloidal seperti tanah
liat,kawarts. Perbedaan pokok antara kedua kelompok zat ini ditentukan melalui
ukuran/diameter partikel-partikel tersebut.
Perbedaan antara kedua kelompok zat yang ada dalam air alam cukup jelas
dalam praktek namun kadang-kadang batasan itu tidak dapat dipastikan secara
definitive. Misalnya, sesuatu molekul organis polimer tetap bersifat sebagai zat
terlarut walaupun panjangnya lebih dari 10µm. Sedangkan beberapa jenis zat
padat koloid mempunyai sifat dapat bereaksi seperti sifat zat-zat terlarut. Analisa
zat padat dalam air sangat penting bagi penentuan komponen air secara lengkap,
juga untuk perencanaan serta pengawasan proses-proses pengolahan air minum
maupun air buangan.
Zat-zat padat yang berada dalam suspense dapat dibedakan menurut
ukurannya, meliputi :
1. Partikel tersuspensi koloidal (partikel koloidal), yang memiliki ukuran
10-8-10-7m. Jenis partikel koloid adalah penyebab kekeruhan dalam air
(Efek Tyndall ) yang disebabkan oleh penyimpangan sinar nyata yang
menembus suspensi tersebut partikel-partikel koloid tidak terlihat se-
cara visual sedangkan larutannya (tanpa partikel koloid) yang terdiri
18
dari ion-ion dan molekul-molekulnya tidak pernah keruh. Larutan men-
jadi keruh jika terjadi pengendapan (presipitasi) yang merupakan
keadaan kejenuhan dari suatu senyawa kimia.
2. Partikel tersuspensi biasa (partikel tersuspensi), yang memiliki ukuran
10-6-10-4m, sehingga dapat menghalangi sinar yang akan menembus sus-
pensi, sehingga suspense tidak dapat dikatakan keruh, karena sebe-
narnya air siantara pertikel-partikel tersuspensi tidak keruh dan sinar
tidak menyimpang.
Dalam metode analisa zat padat, pengertian zat padat total adalah semua
zat-zat yang tersisa sebagai residu dalam suatu bejana, bila sampel air dalam
bejana tersebut dikeringkan pada suhu tertentu. Zat padat total terdiri dari zat
padat terlarut dan zat padat tersuspensi yang dapat bersifat organis dan anorganis.
Analisis TSS menggunakan metode gravimetri. Dari percobaan diperoleh
nilai efisiensi elektrokoagulasi kontaminan Pb sebesar 99,16 % dan TSS sebesar
80,24 % pada kuat arus 5,0 amper dan waktu operasi 120 menit. Pada pengolahan
limbah cair dari limbah rumah potong hewan (RPH) secara elektrokoagulasi
pernah dilakukan secara batch dengan menempatkan cairan limbah didalam sel
elektrolisis. Proses dijalankan selama waktu tertentu untuk menurunkan kadar
total suspended solid (TTS), total disolved solid (TDS), pH dan turbidity. Dari
hasil penelitian didapatkan kadar TSS dan TDS yang semakin turun dan efisisensi
removal yang semakin besar. Hal ini menunjukkan bahwa air limbah tersebut
memiliki kualitas yang semakin baik (Bayramoglu, 2006). Pada penelitian buah
elektroda dibutuhkan waktu operasi 90 menit dengan kemampuan penghilangan
TSS dan TDS maksimum hanya mencapai 98 % (Ardhani dkk, 2007).
2.8 Penelitian yang Terkait
Pada penelitian yang dilakukan Retno Susetyaningsih, dkk, pengolahan
limbah cair industri tekstil dengan teknik elektrokoagulasi menggunakan teknik
flow (alir). Sampel yang diuji diambil dari limbah radioaktif cair simulasi yang
mengandung kontaminan logam Pb. Dalam penelitian ini diharapkan dapat
diperoleh data teknis yang berupa data awal unjuk kerja tentang proses
elektrokoagulasi yang dapat diterapkan untuk kebutuhan pengolahan limbah
19
radioaktif serta dapat diaplikasikan pada industri kimia. Variabel yang dicoba
adalah kuat arus dan waktu operasi dan sebagai uji kualitas proses digunakan
pembanding standar nilai baku yang ditetapkan untuk limbah cair industri kimia
sesuai dengan surat keputusan Kepala BAPEDAL No 03/BAPEDAL/04/1995 dan
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 281/
KPTS/1998 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri Di Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu kadar maksimum yang diperbolehkan untuk
unsur timbal sebesar 0,30 mg/l serta untuk TSS sebesar 50 mg/l. Alat yang
digunakan adalah perangkat elektrokoagulasi hasil rekayasa dengan debit 1,5
liter/menit, dan untuk analisis Pb digunakan perangkat AAS.Sedangkan penentuan
kadar zat padat terlarut (TSS) digunakan metode gravimetri.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa reduksi kadar Pb dalam limbah
terbesar dicapai pada kuat arus (I) 5,0 Ampere dan waktu kontak 120 menit. Pada
kondisi ini kadar Pb dalam filtrat sebesar 0,184 ppm dengan nilai efisiensi
elektrokoagulasi sebesar 99,16 %. Penurunan kadar Pb dalam limbah dipengaruhi
oleh kuat arus dan waktu kontak selama proses elektrokoagulasi.
Andik Yulianto, dkk telah melakukan penelitian tentang pengolahan
limbah cair industri batik dengan teknik elektrokoagulasi (EC) menggunakan
teknik batch. Parameter yang diuji adalah bahan organik dalam bentuk Chemical
Oxigen Demand (COD), warna, TSS, dan minyak-lemak. Elektrokoagulasi
merupakan suatu proses koagulasi kontinyu menggunakan arus listrik searah
melalui peristiwa elektrokimia, yaitu gejala dekomposisi elektrolit, yang salah
satu elektrodanya terbuat dari aluminium. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh kuat arus, jarak elektroda dan waktu kontak pada metode
elektrokagulasi terhadap kadar COD, warna, TSS dan minyak lemak secara
elektrokoagulasi.
Penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan bak elektrokoagulasi
dibuat dengan ukuran panjang 20 cm, lebar 20 cm dan tinggi 30 cm. Bak ini
terbuat dari kaca dengan tebal 0,5 cm. Elektrokoagulasi ini menggunakan 3 buah
lempengan Stainless Steel sebagai anoda bermuatan positif dan 3 buah lempengan
aluminium sebagai katoda yang bermuatan negatif sebagai elektroda dan
masingmasing berukuran lebar 6 cm, panjang 10 cm dan tebal 8 mm. Katoda
20
dialiri arus listrik searah dan disusun secara pararel. Penelitian ini mengolah
limbah cair batik di dalam reaktor dan dialiri listrik supaya ion-ion yang ada pada
limbah cair batik teradsorbsi oleh ion-ion pengikat yang dilepaskan oleh elektroda
pada alat elektrokoagulasi sehingga akan terjadi ikatan antara ion senyawa
organik yang ada pada limbah cair batik dengan ion yang disebabkan oleh proses
elektrokoagulasi. Sampel diambil dari limbah asli yang berasal dari tampungan
hasil proses pembatikan pada salah satu industri batik di Yogyakarta. Parameter
yang diuji adalah bahan organik dalam bentuk Chemical Oxigen Demand (COD),
warna, TSS, dan minyak-lemak. Pemeriksaan COD menggunakan metode refluks
tertutup secara spektrofotometri mengacu pada SNI 06-6989.2-2004. Sedangkan
analisa parameter TSS menggunakan metode gravimetri dengan mengacu pada
Air SK SNI M-03-1989-F Standard 2 Metode Pengujian Kualitas Fisika. Untuk
pengujian warna mengacu pada SNI M-03-1989-F secara spektrofotometri, dan
analisa parameter minyak lemak menggunakan metode gravimetri, yang mengacu
SK SNI M-68-19990-03.
Berdasarkan hasil laboratorium, setelah dilakukan analisa menunjukkan
adanya penurunan konsentrasi COD yang tidak signifikan dengan presentase
tertinggi mencapai 29,75 % terjadi pada menit ke 60, kuat arus 25 Volt, dengan
jarak elektroda 3 cm, dimana limbah cair batik dalam suasana basa serta rata-rata
pH pada waktu penelitian sebesar 10. Penurunan konsentrasi warna maksimum
adalah 64,46% pada menit ke 30, 12 Volt, jarak elektroda 1,5 cm dan kadar
konsentrasi minyak-lemak yang paling kecil ditunjukkan pada percobaan dengan
menggunakan tegangan 25 volt dengan jarak elektroda 1,5 cm sebesar 8 ppm dari
konsentrasi minyak lemak awal 66 ppm. Kemudian penurunan konsentrasi TSS
terbesar pada kuat arus 1 Ampere terjadi pada saat menggunakan tegangan 25 volt
dengan jarak elektroda 1,5 cm yaitu sebesar 77%. Penurunan COD, warna, TSS,
dan minyak-lemak dipengaruhi oleh waktu kontak, kuat arus dan jarak antar
elektroda yang digunakan pada saat melakukan pengolahan limbah cair batik
dengan menggunakan elektrokoagulasi.
Sunardi telah melakukan penelitian mengenai penggunaan
elektrokoagulasi sebagai metode alternatif untuk pengolahan limbah radioaktif.
Pengolahan kimia pada pengolahan limbah radioaktif cair fase air biasanya hanya
21
mampu mengatasi persoalan limbah dengan karakteristik tertentu, sehingga
beningan over flow biasanya masih mengandung sedikit logam berat dan zat padat
terlarut yang belum dapat dibuang ke lingkungan. Proses elektrokoagulasi diduga
dapat menjadi pilihan metode pengolahan limbah radioaktif cair fase air alternatif
mendampingi metode-metode pengolahan yang lain yang telah dilaksanakan.
Proses elektrokoagulasi disusun meliputi proses equalisasi, elektrokimia,
sedimentasi dan proses filtrasi. Pada penelitian ini digunakan limbah cair B3 yang
mengandung kontaminan logam berat (Pb, Cd dan TSS). Sunardi berharap data
teknis tentang proses elektrokoagulasi yang dapat diterapkan untuk kebutuhan
pengolahan limbah radioaktif serta dapat diaplikasikan pada industri kimia.
Variabel yang dicoba adalah tegangan listrik dan kecepatan aliran dan
sebagai standarnya disesuaikan dengan surat keputusan Kep. Kepala BAPEDAL
No 03/BAPEDAL/04/1995 tentang baku mutu limbah cair yaitu memiliki kadar
maksimum yang diijinkan untuk Pb 0,15 ppm, Cd 0,05 ppm dan nilai TSS sebesar
100 ppm.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kadar logam berat (Pb, Cd dan
TSS) dalam limbah terbesar dicapai pada tegangan 12 volt (V) dengan kadar
logam berat dalam filtrat Pb sebesar 0,034 ppm, Cd 0,037 ppm dan TSS 24,905
ppm sehingga efisiensinya adalah Pb 99,479 %, Cd 98,129 % dan TSS 92,884 %.
Sedangkan nilai efisiensi elektrokoagulasi terbesar dicapai pada kecepatan alir
6,720 mL/dtk dengan nilai efisiensi elektrokoagulasi Pb sebesar 99,845 %, Cd
sebesar 98,938 % dan TSS sebesar 95,004 %. Penurunan dari ketiga kadar logam
berat ini dipengaruhi oleh tegangan listrik dan kecepatan alir.
22