bab 1 dan 2.docx

27
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap Sarcoptes scabei var hominis (Sungkar, 2008). Penyakit ini terus menjadi masalah kesehatan masyarakat yang terutama terjadi pada daerah-daerah miskin (Leone, 2007). Prevalensi di seluruh dunia telah di perkirakan sekitar 300 juta setiap tahun. Skabies dapat terjadi pada semua umur, jenis kelamin, kelompok etnis, dan tingkatan sosial ekonomi (Katz, 200 5). Prevalensi skabies dibeberapa negara berkembang dilaporkan 6-27% populasi umum dan insiden tertinggi pada anak usia sekolah dan remaja. Berdasarkan pengumpulan data Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia (KSDAI) tahun 2001, dari 9 rumah sakit di 7 kota besar di Indonesia, jumlah penderita skabies terbanyak adalah Jakarta yaitu 335 kasus di 3 rumah sakit (Mansyur, 2007). Data pola penyakit di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menunjukkan bahwa penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan masyarakat seperti demam berdarah, malaria, dan penyakit infeksi lainnya termasuk skabies. Dari hasil pencatatan dan pengumpulan 1

Upload: mesi-ta-putri

Post on 28-Dec-2015

52 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

fjohtihmbitioyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyygkorkgroyktryojtiiiiiiiiyhotiytooooooooooooooooooooooyitooooooooo

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 1 dan 2.docx

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan

sensitisasi terhadap Sarcoptes scabei var hominis (Sungkar, 2008). Penyakit ini

terus menjadi masalah kesehatan masyarakat yang terutama terjadi pada daerah-

daerah miskin (Leone, 2007). Prevalensi di seluruh dunia telah di perkirakan

sekitar 300 juta setiap tahun. Skabies dapat terjadi pada semua umur, jenis

kelamin, kelompok etnis, dan tingkatan sosial ekonomi (Katz, 2005).

Prevalensi skabies dibeberapa negara berkembang dilaporkan 6-27%

populasi umum dan insiden tertinggi pada anak usia sekolah dan remaja.

Berdasarkan pengumpulan data Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia

(KSDAI) tahun 2001, dari 9 rumah sakit di 7 kota besar di Indonesia, jumlah

penderita skabies terbanyak adalah Jakarta yaitu 335 kasus di 3 rumah sakit

(Mansyur, 2007).

Data pola penyakit di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menunjukkan

bahwa penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan masyarakat seperti

demam berdarah, malaria, dan penyakit infeksi lainnya termasuk skabies. Dari

hasil pencatatan dan pengumpulan data di puskesmas propinsi NAD melalui

formulir SP2TP (Sistem Pencatatan Pelaporan Terpadu Puskesmas) yang

dikumpulkan pada tahun 2006 menunjukkan jumlah kunjungan dengan penyakit

skabies sebanyak 5.889 kunjungan (Dinkes NAD, 2006).

Banyak faktor yang menunjang perkembangan penyakit ini, antara lain

sosio ekonomi yang rendah, hygiene yang buruk, lingkungan yang tidak saniter,

perilaku yang tidak mendukung kesehatan, kepadatan penduduk, hubungan

seksual yang sifatnya promiskuitas, kesalahan diagnosis dan perkembangan

dermatografik dan ekologik, penyakit ini dimasukkan dalam penyakit akibat

hubungan seksual (Handoko, 2007; Ma’rufi, 2005).

1

Page 2: BAB 1 dan 2.docx

2

Skabies sebagai salah satu penyakit berbasis lingkungan dan perilaku

merupakan masalah kesehatan yang juga sering ditemukan di pondok pesantren.

Pondok Pesantren dilihat dari segi kondisi lingkungan pondok serta perilaku

kesehatan santri mempunyai resiko yang cukup besar terhadap penularan

penyakit. Menurut berbagai laporan tingkat kepadatan penduduk cukup tinggi,

yaitu 1 kamar tidur dengan luas 15 m2 dihuni sampai 15 orang. Hal ini belum

memenuhi standar hunian kamar yaitu 3 m2/tempat tidur/orang (Andayani, 2005).

Sikap santri sangat penting peranannya dalam pencegahan skabies di

lingkungan Asrama yang membutuhkan kebersihan perorangan serta perilaku

yang sehat. Sikap yang dimiliki oleh santri diharapkan dapat berpengaruh

terhadap perilaku mereka guna mencegah terjadinya skabies di lingkungan

Pondok tempat mereka tinggal. Tidur bersama, pakaian kotor yang digantung atau

ditumpuk di kamar merupakan salah satu contoh perilaku yang dapat

menimbulkan skabies (Nugraheni, 2008). Kebersihan diri dan lingkungan sangat

bermanfaat untuk diri pribadi dan juga membuat orang lain menjadi sehat.

Karenanya setiap santri wajib ikut ambil bagian dalam usaha pemeliharaan

kebersihan dalam rangka meningkatkan kesehatan diri pribadi dan orang

disekitarnya (Entjang, 2000)

Dampak yang sering muncul pada santri yang menderita skabies antara

lain terganggunya proses belajar dan timbulnya perasaan malu karena pada usia

remaja adanya penyakit ini sangat mempengaruhi penampilan dan juga akan

mempengaruhi penilaian masyarakat tentang pondok pesantren yang kurang

terjaga kebersihannya. Rasa gatal yang ditimbulkannya terutama waktu malam

hari, secara tidak langsung ikut mengganggu kelangsungan hidup terutama

tersitanya waktu untuk istirahat tidur, sehingga kegiatan yang akan dilakukannya

disiang hari juga ikut terganggu. Jika hal ini dibiarkan berlangsung lama, maka

efisiensi dan efektifitas kerja menjadi menurun yang akhirnya mengakibatkan

menurunnya kualitas hidup (Sudirman, 2006).

Untuk meningkatkan derajat kesehatan santri perlu adanya upaya

meningkatkan pengetahuan para santri tentang kesehatan, khususnya mengenai

penyakit menular seperti skabies sehingga diharapkan ada perubahan perilaku

kebersihan perorangan. Berdasarkan permasalahan yang telah penulis uraikan

Page 3: BAB 1 dan 2.docx

3

maka dipandang perlu untuk melakukan penelitian tentang hubungan perilaku

terhadap kasus skabies pada santri di Yayasan Dayah Daruzzahidin Aceh Besar

Tahun 2010.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, permasalahannya adalah

bagaimana hubungan perilaku terhadap kasus skabies pada santri di Yayasan

Dayah Daruzzahidin Aceh Besar Tahun 2010.

1.3. Tujuan dan Manfaat

1.3.1. a. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan perilaku terhadap kasus skabies pada santri

di Yayasan Dayah Daruzzahidin Aceh Besar Tahun 2010.

b. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui gambaran perilaku para santri di Yayasan Dayah

Daruzzahidin Aceh Besar Tahun 2010.

2. Untuk mengetahui gambaran kejadian skabies di Yayasan Dayah

Daruzzahidin Aceh Besar Tahun 2010.

1.3.2. Manfaat

a. Bagi Dunia Medis

1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang berperan terhadap kejadian

skabies sehingga diharapkan para santri ikut berperan aktif dalam

mencegah penularan penyakit skabies.

2. Sebagai bahan yang dapat diangkat dalam penyuluhan kesehatan

bagi komunitas yang menderita skabies agar dapat menurunkan

prevalensi penularan skabies.

b. Bagi Pengelola Pesantren

1. Menjadi acuan dalam membuat suatu aturan yang berkaitan dengan

penularan skabies di lingkungan pesantren.

Page 4: BAB 1 dan 2.docx

4

2. Memperbaiki pengelolaan asrama yang lebih memperhatikan

kebersihan lingkungan dan penyediaan fasilitas-fasilitas yang

menunjang kesehatan para santri.

c. Bagi Santri

Mampu menanamkan perilaku tentang kebersihan diri dan lingkungan

sekitar dengan melakukan upaya-upaya pencegahan penularan penyakit

skabies di asrama sehingga terbebas dari penularan penyakit.

d. Bagi Peneliti

Menambah pengetahuan mengenai hal- hal yang berkaitan dengan

infeksi skabies dan cara pencegahan yang tepat.

1.4. Hipotesis

Terdapat hubungan antara perilaku terhadap kasus skabies pada santri di

Yayasan Dayah Daruzzahidin Aceh Besar Tahun 2010.

Page 5: BAB 1 dan 2.docx

5

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Skabies

2.1.1. Definisi

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan

sensitisasi terhadap Sarcoptes scabei var hominis (Sungkar, 2008). Scabies

berasal dari bahasa latin yang berarti keropeng, kudis, dan gatal (Brown, 2005).

Penyakit ini disebut juga the itch, seven year itch, Norwegian itch, gudikan, gatal

agogo, dan penyakit ampera (Maskur, 2000).

2.1.2. Etiologi

Sarcoptes scabiei termasuk filum Arthopoda, kelas Arachnida, ordo

Ackarina, superfamili Sarcoptes. Pada manusia disebut Sarcoptes scabiei var.

hominis. Terdapat pula jenis Sarcoptes scabei var animalis seperti pada kucing,

anjing, babi, dan kuda yang dapat menular pada manusia namun tidak dapat

berkembang biak dalam tubuh manusia (CDC, 2009; Condoro, 2009).

Secara morfologik merupakan tungau kecil, berbentuk oval, punggungnya

cembung dan bagian perutnya rata. Tungau ini transient, berwarna putih kotor,

dan tidak bermata. Ukurannya yang betina berkisar antara 330 – 450 mikron x 250

– 350 mikron, sedangkan yang jantan lebih kecil, yakni 200 – 240 mikron x 150 –

200 mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang kaki di depan

sebagai alat untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan

rambut, sedangkan pada yang jantan pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut

dan keempat berakhir dengan alat perekat (Handoko, 2007).

Page 6: BAB 1 dan 2.docx

6

Gambar 2.1. Sarcoptes scabiei (Stoffle, 2004)

2.1.3. Siklus Hidup

Sarcoptes scabiei mengalami empat tahap dalam siklus hidupnya: telur,

larva, nimfa dan dewasa. Setelah kopulasi (perkawinan) yang terjadi di atas kulit,

yang jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup dalam terowongan yang

digali oleh yang betina. Tungau betina yang telah dibuahi menggali terowongan

dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2-3 milimeter sehari dan sambil

meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai mencapai jumlah 40 atau 50,

Telur berbentuk oval dan panjang 0,10-0,15 mm. Bentuk betina yang telah

dibuahi ini dapat hidup sebulan lamanya, biasanya telur akan menetas dalam

waktu 3-5 hari, dan menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat

tinggal dalam terowongan, tetapi dapat juga keluar. Setelah 2 -3 hari larva akan

menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina, dengan 4 pasang

kaki. Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan

waktu antara 8 – 12 hari (CDC, 2009; Handoko, 2007).

Infestasi terjadi ketika tungau betina menggali terowongan ke dalam kulit

dan bertelur. Setelah dua atau tiga hari, larva yang muncul akan menggali

terowongan baru, kemudian menjadi dewasa, dan mengulangi siklus ini setiap dua

minggu (Johnston, 2005).

Page 7: BAB 1 dan 2.docx

7

Gambar 2.2. Siklus hidup skabies (CDC, 2009)

2.1.4. Patogenesis

Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau skabies, tetapi

juga oleh penderita sendiri akibat garukan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh

sensitisasi terhadap sekret dan ekskret tungau yang memerlukan waktu kira-kira

sebulan setelah infestasi. Pada saat itu kelainan kulit menyerupai dermatitis

dengan ditemukannya papul, vesikel, urtika dan lain-lain. Dengan garukan dapat

timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder. Kelainan kulit dan gatal

yang terjadi dapat lebih luas dari lokasi tungau (Handoko, 2007).

2.1.5. Cara Penularan

Penyakit skabies dapat ditularkan melalui kontak langsung maupun kontak

tidak langsung. Secara langsung (kontak kulit dengan kulit) misalnya berjabat

Page 8: BAB 1 dan 2.docx

8

tangan, tidur bersama dan hubungan seksual sedangkan kontak tidak langsung

(melalui benda) misalnya melalui handuk, pakaian, sprei, bantal, dan lain-lain.

Penularan biasanya oleh Sarcoptes scabiei betina yang sudah di buahi atau

kadang-kadang oleh bentuk larva (Handoko, 2007).

Bentuk transmisi yang paling dominan adalah kontak langsung kulit

dengan kulit. Transmisi secara seksual juga dapat terjadi meskipun bukan

merupakan akibat utama. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa tungau dapat

menularkan infeksi dengan human immunodeficiency virus (HIV) (Chosidow,

2006). Tungau mampu bertahan selama 2 sampai 3 hari pada permukaan benda

mati, sehingga dapat menularkan melalui perantara seperti pakaian, handuk,

lantai, dan tempat tidur. Seseorang dengan kelainan kulit kronis lebih

memungkinan untuk menularkan tungau kepada orang lain karena sulitnya

mendiagnosa ada tidaknya infestasi skabies pada keadaan seperti itu (Sargent,

1994).

Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kebersihan perseorangan dan

lingkungan, atau di tempat-tempat dengan kepadatan penduduk yang tinggi.

Resiko tertular skabies banyak ditemukan diantara kelompok masyarakat yang

sering berdekatan atau bersentuhan seperti para tahanan dipenjara, penghuni

asrama atau pesantren, penghuni sanatorium, leprosarium, rumah yatim piatu, dan

rumah jompo. Skabies diantara penghuni rumah jompo dapat juga selanjutnya

menulari para staf dan perawat rumah jompo tersebut untuk kemudian menulari

keluarga dan masyarakat ditempat tinggalnya (Agoes, 2009).

2.1.6. Gambaran Klinis.

Seseorang yang terkena infestasi skabies untuk pertama kalinya, biasanya

tidak akan memunculkan gejala sampai dua bulan (2-6 minggu) setelah terkena,

namun dapat menyebar meskipun ia tidak memperlihatkan gejala. Sedangkan

pada orang yang pernah mempunyai riwayat skabies sebelumnya, gejala akan

muncul lebih cepat (1-4 hari) setelah terkena, ini berkaitan dengan respon

kekebalan tubuh yang lebih cepat. Orang yang terkena dapat menularkan infeksi

skabies, walaupun mereka tidak memiliki gejala sekalipun, sampai pengobatan

berhasil dan tungau maupun telur telah hancur (CDC, 2009; Leone, 2007).

Page 9: BAB 1 dan 2.docx

9

Reaksi hipersensitivitas dapat bertahan berbulan-bulan bahkan setelah

penderita disembuhkan. Hal ini perlu diberitahukan agar ia tidak meminta

pengobatan padahal sudah sembuh, pengobatan ulang sering kali meningkatkan

terjadinya dermatitis medikamentosa. Hipersensitivitas yang terus berlanjut

setelah pengobatan selesai dapat disebabkan karena masih adanya zat irritant pada

kulit dan baru akan hilang setelah kulit melepaskan lapisan tersebut secara

pergantian alami (Agoes, 2009).

Gejala yang paling umum dari skabies adalah: gatal dan ruam kulit, yang

disebabkan oleh sensitisasi (sejenis reaksi alergi) terhadap protein dan kotoran

parasit. Gatal yang berlebihan terutama pada malam hari merupakan gejala paling

awal dan paling umum terjadi pada infeksi skabies. Gatal dan ruam dapat

mengenai seluruh tubuh atau terbatas ke beberapa bagian seperti: sela-sela jari-

jari, pergelangan tangan, siku, aksila, penis, putting, pinggang, bokong, bahu.

Pada bayi dan anak-anak yang masih sangat muda sering juga terlibat daerah

kepala, wajah, leher, telapak tangan, dan telapak kaki. Terowongan kecil kadang-

kadang terlihat pada kulit, ini disebabkan oleh tungau betina membuat

terowongan tepat di bawah permukaan kulit. Terowongan ini muncul berbentuk

garis lurus berwarna putih ke abu-abuan pada permukaan kulit. Oleh karena

tungau sering sedikit jumlahnya (hanya 10-15 tungau per orang), terowongan ini

mungkin sulit ditemukan (CDC, 2009; Soedarto, 2009).

Lesi kulit primer terdiri dari vesikula, terowongan bawah kulit, dan

nodula. Nodula ini muncul pada bagian kulit yang tertutup pakaian dan kondisi ini

dapat bertahan lama walaupun skabiesnya telah disembuhkan (Natadisastra,

2009). Selain lesi primer, bisa juga di dapatkan kelainan sekunder seperti

ekskroriasi, eksematisasi, dan infeksi bakeri sekunder. Pada beberapa tempat di

dunia adanya infeksi sekunder oleh lesi skabies dengan streptokokus nefrogenik

dikaitkan dengan terjadinya glomerulonefritis sesudah terjadinya infeksi

streptokokus pada kulit (Brown, 2005).

Page 10: BAB 1 dan 2.docx

10

Gambar 2.3. Terowongan skabies di sela jari (Sargent, 1994)

Ada 4 tanda kardinal :

1. Pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan karena

aktivitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.

2. Penyakit ini menyerang manusia secara berkelompok, misalnya dalam sebuah

keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu pula dalam

sebuah perkampungan yang padat penduduknya, sebagian besar tetangga yang

berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut. Dikenal keadaan

hiposensitisasi, yang seluruh anggota keluarganya terkena, walaupun

mengalami infestasi tungau, tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini

bersifat sebagai pembawa (carrier).

3. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna

putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjang

1 cm, pada ujung terowongan ini ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul

infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi polimarf (pustule, ekskoriasi dan lain-

lain). Tempat predileksinya biasanya merupakan tempat dengan stratum

korneum yang tipis, yaitu sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian

volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mammae (wanita),

umbilicus, bokong, genitalia eksterna (pria) dan perut bagian bawah. Pada

bayi dapat menyerang telapak tangan dan telapak kaki.

4. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik. Dapat ditemukan

satu atau lebih stadium hidup tungau ini.

Diagnosis dapat dibuat dengan menemukan 2 dari 4 tanda kardinal tersebut

(Handoko, 2007).

Page 11: BAB 1 dan 2.docx

11

2.1.7. Beberapa Jenis Khusus Skabies

Ada beberapa skabies dengan jenis khusus yang berbeda dengan skabies

yang umum terjadi, yaitu:

a. Skabies usia khusus

Pada scabies infantile (SI), nodul-nodul dan lesi didaerah palmoplantar

merupakan lesi khas yang paling sering ditemukan pada bayi dan anak kecil.

Berbeda dengan skabies pada orang dewasa yang jarang menyerang wajah,

muka dan kulit kepala bayi dapat terkena. Pada skabies manula (SM), jarang

ditemukan lesi kulit yang khas akan tetapi rasa gatal tampak lebih berat

dikeluhkan. Kelainan kulit yang terlihat adalah ekskroriasi yang berat

terutama pada punggung.

b. Skabies krusta norwegia-SKN

SKN dapat terjadi pada pasien dengan penyakit berat atau pasien yang

mengalami imunokompromi. Sesuai dengan namanya, penderita mengalami

lesi berkeropeng yang jika diperiksa, mengandung tungau yang sangat besar.

Reaksi kulit terhadap infeksi serangan ribuan tungau ini adalah dengan

membentuk krusta atau keropeng kulit dan kulit mengalami lichenifikasi.

c. Skabies berat

Penggunaan steroid topical berlebihan untuk mengurangi rasa gatal, atau

penggunaan steroid dapat memperburuk skabiesnya. Pada penderita yang

sedang menjalani pengobatan imunosuppresi dapat juga berubah menjadi

skabies berat atau skabies krusta. Imunosuppresi juga dapat terjadi bukan

akibat sedang menjalani upaya pengobatan melainkan akibat penekanan

jumlah sel T manusia oleh infeksi virus HTLV-1 (Human T-cell lymphotropic

virus 1). Kondisi ini sering diasosiasikan dengan timbulnya SB.

d. Skabies dan dermographisme

Kadangkala skabies dapat menimbulkan manifestasi berupa urtikaria khas

yang disebut dermografisme, yang jika serius sering memerlukan pengobatan

antihistamin kombinasi H1-bloker dan H2-bloker yang bekerja dan khasiatnya

berbeda namun saling memperkuat (Agoes, 2009).

Page 12: BAB 1 dan 2.docx

12

2.1.8. Diagnosis

Diagnosis skabies dapat di tegakkan terutama berdasarkan riwayat dan

pemeriksaan pasien, begitu juga riwayat keluarga dan kontak dengan penderita.

manifestasi klasik dari skabies berupa gatal hebat dan memburuk pada malam

hari. terowongan dan nodul (umumnya di daerah genital dan aksila) merupakan

gejala spesifik untuk skabies walaupun tidak selalu ada. Lesi sekunder

nonspesifik, berupa ekskroriasi, eksematisasi dan impetiginisasi, dapat terjadi di

bagian tubuh mana saja (Chosidow, 2006).

Jika memungkinkan, diagnosis skabies harus dikonfirmasikan dengan

mengidentifikasi tungau, telur atau kotoran (skibala). Namun seseorang masih

memungkinkan terkena infestasi skabies, walaupun tungau, telur, atau kotoran

tidak dapat ditemukan. Seseorang yang terserang kurang dari 10-15 tungau dapat

terlihat dalam keadaan sehat (CDC, 2009). Beberapa cara yang tepat dipakai

untuk menemukan tungau, telur atau terowongan yaitu:

a. Kerokan kulit

Papul atau terowongan yang baru di bentuk dan utuh ditetesi minyak mineral,

kemudian di kerok dengan skalpel steril untuk mengangkat atap papul atau

terowongan. Hasil kerokan di letakkan di gelas objek dan di tutup dengan kaca

penutup, kemudian di amati di bawah mikroskop.

b. Mengambil tungau dengan jarum.

Jarum di tusukkan pada terowongan di bagian yang gelap dan digerakkan

tangensial. Tungau akan memegang ujung jarum dan dapat di angkat keluar.

c. Kuretase terowongan (kuret dermal)

Dilakukan secara superficial mengikuti sumbu panjang, terowongan atau

puncak papul. Hasil kuret di letakkan pada gelas objek dan di tetesi minyak

mineral lalu diperiksa dengan mikroskop.

d. Sweb kulit

Kulit dibersihkan dengan eter lalu dilekatkan selotip dan di angkat dengan

cepat, Selotip dilekatkan pada gelas objek kemudian di periksa di bawah

mikroskop.

Page 13: BAB 1 dan 2.docx

13

e. Burrow ink test

Papul skabies dilapisi tinta cina dengan menggunakan pena lalu dibiarkan

selama 20-30 menit kemudian dihapus dengan alcohol. Tes di nyatakan positif

bila tinta masuk ke dalam terowongan dan membentuk gambaran khas berupa

garis zigzag.

f. Uji tetrasiklin

Tetrasiklin dioleskan pada daerah yang dicurigai ada terowongan, kemudian

dibersihkan dan diperiksa dengan lampu wood. Tetrasiklin dalam terowongan

akan menunjukkan flouresensi.

g. Epidermal shave biopsy

Papul atau terowongan yang dicurigai diangkat dengan ibu jari dan telunjuk

lalu diiris dengan skalpel, biopsi dilakukan sangat superficial sehingga

pendarahan tidak terjadi.

Berdasarkan cara pemeriksaan diatas, kerokan kulit merupakan cara yang

paling mudah dilakukan dan memberikan hasil yang paling memuaskan. Namun

dalam beberapa pemeriksaan tersebut, tungau sering sulit ditemukan karena

tungau yang menginfestasi penderita hanya sedikit (Ginanjar, 2006). Penyebabnya

adalah jumlah telur yang menetas hanya 10%, selain itu garukan dapat

mengeluarkan tungau secara mekanik dan jika terjadi infeksi sekunder maka pus

yang terbentuk dapat membunuh tungau karena pus bersifat akarisida

(Sungkar ,2008).

Agar pemeriksaan laboratorium memberikan hasil yang baik maka faktor-

faktor yang harus diperhatikan adalah:

1. Papul yang baik untuk dikerok adalah papul yang baru di bentuk

2. Pemeriksaan jangan dilakukan pada lesi ekskoriasi dan lesi dengan infeksi

sekunder

3. Kerokan kulit harus superfisial dan tidak boleh berdarah

4. Jangan mengerok dari satu lesi tetapi dari beberapa lesi. Tungau paling

sering ditemukan pada sela jari tangan sehingga perhatian terutama

diberikan pada daerah tersebut.

5. Sebelum mengerok, teteskan minyak mineral pada scalpel dan pada lesi

yang akan dikerok (Sungkar, 2008).

Page 14: BAB 1 dan 2.docx

14

2.1.9 Pengobatan

Merupakan suatu hal yang penting untuk menerangkan kepada penderita

dengan sejelas-jelasnya tentang bagaimana cara menggunakan obat-obatan yang

digunakan, dan lebih baik lagi jika disertai penjelasan tertulis. Semua anggota

keluarga dan orang-orang yang secara fisik berhubungan erat dengan pasien,

hendaknya secara simultan di obati juga, obat-obat topical hendaknya di oleskan

mulai dari leher sampai jari kaki dan diingatkan pasien untuk tidak membasuh

tangannya sesudah melakukan pengobatan (Brown, 2005).

Obat-obat yang bisa di pakai:

Malation 0,5%: obat dalam bentuk cairan ini di sukai karena mengiritasi

kulit yang mengalami ekskroriasi atau aksema,bilas sesudah 24 jam.

Krim parametrin 5% : bilas sesudah 8-12 jam

Emulsi benzyl benzoat : pengobatan dilakukan tiga kali dalam 24 jam.pada

sore hari pertama oleskan emulsi mulai dari leher sampai jari kaki. Biarkan

mengering, lakukan pengolesan lapisan kedua, pagi berikutnya oleskan

lapis yang ketiga, dan kemudian bilas benzyl benzoate pada sore hari

kedua. Pengobatan dengan cara ini sudah cukup, sehingga pasien harus di

beri penerangan bahwa pemakaian beerulang akan menimbulkan

dermatitis karena terjadi iritasi (Brown, 2005).

Salap 2.4 (2% salicylic acid + 4% sulfur presipitatum) dan sabun sulfur

10%, bekerja lambat, tanpa efek samping.

2.2. Perilaku

Perilaku dari pandangan biologis adalah suatu kegiatan dan aktivitas

organisme yang bersangkutan. Skinner (1983) seorang ahli psikologi

mengemukakan bahwa perilaku adalah merupakan respon atau reaksi seseorang

terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Selanjutnya teori skinner menjelaskan

ada dua jenis respons, yaitu:

a. Respondent respons atau refleksif, yakni respons yang ditimbulkan oleh

rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu yang di sebut eleciting stimuli,

karena menimbulkan respons-respons yang relatif tetap. Misalnya makanan

Page 15: BAB 1 dan 2.docx

15

lezat akan menimbulkan nafsu makan, cahaya terang akan menimbulkan

reaksi mata tertutup, dan sebagainya. Responden respon juga mencakup

perilaku emosional, misalnya mendengar berita musibah akan menimbulkan

rasa sedih, mendengar berita suka atau gembira, akan menimbulkan rasa

suka cita

b. Operant respon atau instrumental respon, yakni respon yang timbul dan

berkembang kemudian diikuti oleh stimuli atau rangsangan yang lain,

perangsang yang terakhir ini disebut reinforcing stimuli atau reinforce

karena berfungsi untuk memperkuat respons. Misalnya seorang petugas

kesehatan melakukan tugasnya dengan baik adalah respon terhadap gaji

yang cukup, misalnya (stimulus). Kemudian karena kerja baik tersebut,

menjadi stimulus untuk memperoleh promosi pekerjaan (Notoatmodjo,

2005).

2.2.1. Perilaku Kesehatan

Menurut Ensiklopedi Amerika perilaku diartikan sebagai suatu aksi dan

reaksi organisme terhadap lingkungannya. Hal ini berarti bahwa perilaku baru

terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang

disebut rangsangan. Dengan demikian, maka suatu rangsangan tertentu akan

menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu (Notoatmodjo, 2003).

Robert Kwik menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan

suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari. Perilaku tidak

sama dengan sikap. Sikap hanya suatu cara yang menyatakan adanya tanda-tanda

untuk menyenangi atau tidak menyenangi objek tersebut. Sikap hanyalah sebagian

dari perilaku manusia. di dalam proses pembentukan dan atau perubahan perilaku

dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam dan dari luar individu

itu sendiri, faktor tersebut antara lain: susunan saraf pusat, persepsi, motivasi,

proses belajar, lingkungan dan sebagainya. Susunan saraf pusat memegang

peranan penting dalam perilaku manusia dalam perilaku manusia, karena

merupakan sebuah bentuk perpindahan dari rangsangan yang masuk menjadi

perbuatan atau tindakan. Perpindahan ini dilakukan susunan saraf pusat dengan

unit-unit dasarnya yang disebut neuron, neuron memindahkan energi-energi di

Page 16: BAB 1 dan 2.docx

16

dalam impuls-impuls syaraf pusat dengan unit-unit dasarnya yang disebut neuron.

Neuron-neuron memindahkan energi-energi didalam impuls-impuls syaraf.

Impuls-impuls syaraf indra pendengaran, penglihatan, pembauan, penngecapan,

perabaan disalurkan dari tempat terjadinya rangsangan melalui impuls-impuls

syaraf kesusunan susunan saraf pusat (Notoatmodjo, 2003).

Perubahan-perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat diketahui

melalui persepsi. Persepsi adalah sebagai pengalaman yang dihasilkan melalui

pancaindra. Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda, meskipun

mengamati terhadap objek yang sama. Perilaku dibentuk melalui suatu proses dan

berlangsung dalam interaksimanuia dengan lingkungannya. Faktor-faktor yang

mempengaruhi terbentuknya perilaku dibedakan menjadi dua, yakni faktor intern

dan ektern (Notoatmodjo, 2003).

Faktor intern mencakup: pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi,

motivasi dan sebagainya yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar.

Sedangkan faktor ekstern meliputi lingkungan sekitar, baik fisik maupun non fisik

seperti: iklim, manusia, social-ekonomi, kebudayaan dan sebagainya.

Becker (1979) mengajukan klasifikasi perilaku yang berhubungan dengan

kesehatan sebagai berikut:

a. Perilaku kesehatan yaitu hal-hal yang berkaitan dengan tindakan atau

kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya.

Termasuk juga tindakan-tindakan untuk mencegah penyakit, kebersihan

perorangan, memilih makanan, sanitasi, dan sebagainya

b. Perilaku sakit yaitu segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh

seseorang individu yang merasa sakit, untuk merasakan dan mengenal

keadaan kesehatannya atau rasa sakit. Termasuk disini juga kemampuan

atau pengetahuan individu untuk mengidentifikasi penyakit, penyebab

penyakit, serta usaha-usaha mencegah penyakit tersebut.

c. Perilaku peran sakit yaitu segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan

oleh individu yang sedang sakit untuk memperoleh kesembuhan. Perilaku

ini disamping berpengaruh terhadap kesehatan/kesakitannya sendiri, juga

berpengaruh terhadap orang lain, terutama kepada anak-anak yang belum

Page 17: BAB 1 dan 2.docx

17

mempunyai kesadaran dan tanggung jawab terhadap kesehatannya

(Notoatmodjo, 2003).

2.3. Pesantren

Pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan Islam, dikatakan pesantren

apabila terdiri dari unsur-unsur kyai/ustadz yang mendidik dan mengajar,

santri yang belajar, terdapat mesjid dan juga pondok atau asrama tempat para

santri tinggal. Asrama adalah rumah pemondokan yang ditempati oleh para

santri, pegawai dan sebagainya yang digunakan sebagai tempat tinggal,

beristirahat dan bergaul sesama teman (Muchtarom, 1994).

2.3.1. Prinsip-Prinsip Sistem Pendidikan di Pesantren

Sesuai dengan tujuan pendidikan dan pendekatan holistic yang digunakan,

serta fungsinya yang komfrehensif sebagai lembaga pendidikan, sosial dan

penyiaran agama. Prinsip-prinsip sistem pendidikan pesantren antara lain :

o Kesederhanaan

Pesantren menekankan pentingnya penampilan sederhana sebagai salah satu

nilai luhur pesantren dan menjadi pedoman perilaku sehari-hari bagi seluruh

warga pesantren, kesederhanaan di sini bukan dalam arti berkurang-kurangan

atau berlebih-lebihan, tetapi dalam arti wajar.

o Kolektivitas

Pesantren menekankan pentingnya kebersamaan lebih tinggi dari pada

individualisme. Dalam dunia pesantren berlaku pendapat bahwa “dalam hal

hak orang mendahulukan hak orang lain, tetapi dalam hal kewajiban orang

harus mendahulukan kewajiban diri sendiri sebelum orang lain. Sementara itu,

kondisi fisik pesantren yang sederhana seperti kamar tidur yang sempit kira-

kira berukuran 2×2 m di tempati oleh 2 atau 3 santri. Pada umumnya kamar

hanya untuk menyimpan barang-barang, sedangkan mereka banyak tidur di

mesjid atau di tempat lain pada bangunan yang ada. Adanya dapur umum

tempat santri memasak, ruang makan umum, tempat mandi umum dan

sebagainya mendorong mereka saling menolong mengatasi berbagai

Page 18: BAB 1 dan 2.docx

18

kebutuhan bersama, terutama kebutuhan belanja jika mereka mengalami

keterlambatan kiriman bekal dari rumah.

o Mengatur kegiatan bersama

Para santri mengatur hampir semua kegiatan proses belajar mengajar terutama

berkenaan dengan kegiatan-kegiatan kokurikuler, dari sejak pembentukan

organisasi santri, penyusunan program-programnya, sampai pelaksanaan dan

pengembangannya. Sepanjang kegiatan mereka tidak menyimpang dari akidah

syariah agama, dan tata tertib pesantren, mereka tetap bebas berfikir dan

bertindak.

o Mandiri

Sejak awal santri sudah dilatih mandiri, mereka mengatur dan bertanggung

jawab atas keperluannya sendiri, seperti memasak, mencuci pakaian,

merencanakan belajar, mengatur uang belanja dan sebagainya (Muchtarom,

1994).