bab 2.docx

38
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Kompos Kompos merupakan istilah untuk pupuk organik buatan manusia yang dibuat dari proses pembusukan sisa-sisa buangan mahluk hidup (tanaman maupun hewan). Proses pengomposan berjalan secara aerobik dan anaerobik yang saling menunjang pada kondisi lingkungan tertentu. Secara keseluruhan, proses ini disebut dekomposisi. Proses pembuatan kompos ini meniru proses terbentuknya humus oleh alam. Dengan rekayasa kondisi lingkungan, kompos dapat dibuat serta dipercepat prosesnya yaitu dalam jangka waktu 30 – 90 hari dan waktu ini melebihi kecepatan pembentukan humus secara alami (Yuwono, 2009). Proses pengomposan adalah proses perombakan (dekomposisi) dan stabilisasi bahan organik oleh 6

Upload: ira-dian-mahrani

Post on 08-Aug-2015

105 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 2.docx

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Kompos

Kompos merupakan istilah untuk pupuk organik buatan manusia yang

dibuat dari proses pembusukan sisa-sisa buangan mahluk hidup (tanaman maupun

hewan). Proses pengomposan berjalan secara aerobik dan anaerobik yang saling

menunjang pada kondisi lingkungan tertentu. Secara keseluruhan, proses ini

disebut dekomposisi. Proses pembuatan kompos ini meniru proses terbentuknya

humus oleh alam. Dengan rekayasa kondisi lingkungan, kompos dapat dibuat

serta dipercepat prosesnya yaitu dalam jangka waktu 30 – 90 hari dan waktu ini

melebihi kecepatan pembentukan humus secara alami (Yuwono, 2009).

Proses pengomposan adalah proses perombakan (dekomposisi) dan stabilisasi

bahan organik oleh mikroorganisme dalam keadaan lingkungan terkendali

(terkontrol) dengan hasil akhir berupa humus atau kompos. Proses pengomposan

ini melibatkan sejumlah organisme tanah termasuk bakteri, jamur, protozoa,

aktinomisetes, nematoda, cacing tanah dan serangga. Populasi ini akan

berfluktuasi, tergantung dari proses pengomposan. Bahan baku pengomposan

adalah semua material yang mengandung karbon dan nitrogen, seperti kotoran

hewan, sampah hijauan, sampah kota, lumpur cair dan limbah industri pertanian.

Terdapat dua mekanisme proses pengomposan, yaitu pengomposan secara aerobik

6

Page 2: BAB 2.docx

7

dan anaerobik. Pengomposan aerob merupakan pengomposan bahan organik

dengan menggunakan O2. Hasil akhir pengomposan aerob berupa produk

metabolisme biologi berupa CO2 dan CH4 sebagai hara yang dapat digunakan

kembali oleh tanaman, H2O, panas, unsur hara (C, N, P, K, Mg, Ca, dan air) yang

dikembalikan ke dalam tanah dan humus. Pengomposan anaerob merupakan

pengomposan bahan organik tanpa menggunakan O2. Hasil akhirnya berupa CH4

dan CO2 dan hasil antara berupa H2S dan sulfur organik (merkaptan) yang

menimbulkan bau busuk. Berikut ini adalah reaksi pengomposan aerob dan

anaerob (Simamora dan Salundik, 2006).

Reaksi perombakan sistem aerobik:

Gula (CH2O)x + O2 x CO2 + H2O + E

(Selulose, Hemiselulose)

N-organik (Protein) NH4+ NO2

+ NO3- + E

Sulfur organik (S) + xO2 SO4-2 + E

Fosfor organik H3BO3 Ca (HPO4)

(Fitin, Lesitin)

Reaksi Utuh:

Aktivitas mikroorganisme

Bahan organik CO2 + H2O + hara + humus + E

(484 - 674 kcal/mol glukosa)

Page 3: BAB 2.docx

8

Reaksi perombakan sistem anaerobik:

Bakteri penghasil asam Methanomonas

(CH2O)x xCH3COOH CH4 + CO2

N-organik NH3

2H2S + CO2 (CH2O)x + S + H2O + E (26 kcal/mol glukosa)

Sumber : Herdiyantoro (2010).

Faktor - faktor yang mempengaruhi pengomposan diantaranya adalah

imbangan C/N (Carbon/Nitrogen), suhu pengomposan, tingkat keasaman (pH),

jenis mikroorganisme yang terlibat, aerasi, kelembapan (RH), struktur bahan

baku, ukuran bahan baku, pengadukan (Homogenisasi). Imbangan C/N

merupakan faktor terpenting dalam laju pengomposan dengan nilai 25 – 35. Jika

imbangan C/N yang terlalu tinggi akan menyebabkan proses pengomposan

berlangsung lambat dan jika imbangan C/N yang terlalu rendah akan

menyebabkan kehilangan nitrogen dalam bentuk amonia yang selanjutnya

teroksidasi. Suhu pengomposan berpengaruh karena berhubungan dengan jenis

mikroorganisme yang terlibat. Suhu optimum proses pengomposan adalah 400-

600C dengan suhu maksimum 750C. Tingkat keasaman (pH) pada saat proses

pengomposan bersifat asam karena bahan organik yang di rombak menghasilkan

asam – asam organik sederhana dan jika terlalu asam pH dapat dinaikan dengan

cara menambahkan kapur. Sebaliknya, jika nilai pH tinggi (basa) pH dapat

diturunkan dengan menambahkan bahan yang bereaksi asam (mengandung

nitrogen) seperti urea atau kotoran hewan (Yuwono, 2009).

Page 4: BAB 2.docx

9

Jenis mikroorganisme yang terlibat adalah mikroorganisme mesofilik dan

termofilik. Aerasi (pengaturan udara) yang baik ke semua bagian tumpukan bahan

kompos sangat penting untuk menyediakan oksigen bagi mikroorganisme dan

membebaskan CO2 yang dihasilkan dan karbondioksida yang dihasilkan harus

dibuang agar tidak menimbulkan zat beracun yang merugikan mikroorganisme

sehingga bisa menghambat aktivitasnya. RH (kelembapan) berhubungan dengan

aktivitas mikroorganisme. Kelembapan kompos yang rendah akan menghambat

proses pengomposan dan akan menguapkan nitrogen ke udara dan jika

kelembapan tinggi proses pertukaran udara dalam campuran bahan kompos akan

terganggu. Struktur bahan baku kompos ditentukan oleh sifat bahan tanaman,

diantaranya jenis tanaman, umur dan komposisi kimia tanaman. Semakin muda

umur tanaman, proses dekomposisi akan berlangsung cepat. Ukuran bahan baku

kompos akan mempengaruhi kecepatan proses pengomposan. Semakin kecil

ukuran bahan (5-10 cm), proses pengomposan (dekomposisi) berlangsung

semakin cepat. Hal ini karena adanya peningkatan luas permukaan bahan untuk

‘diserang’ mikroorganisme. Pengadukan (homogenisasi) sangat penting

dilakukan, agar mikroba perombak bahan organik bisa menyebar secara merata

dan pengadukannya dilakukan seminggu sekali (Simamora dan Salundik, 2006).

2.2 Mikrobiologi Kompos

Menurut Garsoni dan Simarmata (2010), proses pengomposan melibatkan

bakteri dan fungi dalam media hidup dengan nutrisi tertentu untuk saling

bekerjasama membentuk konsorsium menjadi aktivator dalam mengolah sampah

Page 5: BAB 2.docx

10

organik. Jenis mikroorganisme yang terlibat dalam pembuatan kompos ini dapat

diketahui dari nilai suhu, karena dari nilai suhu ini kita dapat mengetahui jenis

mikroorganisme berdasarkan metabolisme dan pertumbuhannya (Simamora dan

Salundik, 2006) selain itu juga terdapat jenis bakteri yang berperan dalam

pembuatan kompos secara aerobik dan anaerobik (Yuwono, 2009).

Proses pengomposan yang menggunakan mikroorganisme terdiri dari tiga

tahapan dalam kaitannya dengan faktor suhu, yaitu mesofilik, termofilik dan

pendinginan. Mesofilik merupakan tahapan awal terjadinya proses naiknya suhu

menjadi sekitar 400 C, hal ini karena terdapat aktivitas bakteri dan fungi

pembentuk asam. Pada suhu termofilik terdapat proses degradasi dan stabilisasi

yang berlangsung secara maksimal, dalam proses ini bakteri termofilik seperti

Bacillus sp yang aktif dalam proses dekomposisi, dibantu dengan Aktinomisetes

dan fungi yang bersifat termofilik. Pendiginan merupakan proses terjadinya

penurunan aktifitas mikroba, pergantian mikroba termofilik menjadi mesofilik

(Herdiyantoro, 2010).

Jenis – jenis mikroorganisme yang terlibat dalam proses pengomposan

merupakan aktivator biologis yang tumbuh alami atau sengaja diberikan untuk

mempercepat proses pengomposan. Selain itu juga mikroorganisme dapat

meningkatkan mutu kompos. Kinerja bakteri dalam proses pengomposan juga

memiliki keunikan, karena ada beberapa bakteri yang bekerja pada fase mesofilik

dan termofilik, seperti bakteri Bacillus sp yang terdapat pada fase mesofilik dan

termofilik. Beberapa mikroorganisme yang umum ditemukan dalam tumpukan

sampah dapat dilihat di tabel 2.1 (Saraswati dkk., 2006).

Page 6: BAB 2.docx

11

Kurva fase pertumbuhan mikroorganisme erat hubungannya dengan suhu,

dan waktu serta pH pada proses pengomposan. Berdasarkan suhu pengomposan,

aktivitas mikroba dibagi menjadi tiga tahap yaitu fase mesofilik, atau suhu sedang

(400C) yang biasanya berlangsung selama beberapa hari dan pada fase ini yang

bekerja adalah mikroba mesofilik yang memiliki kecepatan metabolisme dalam

penyerapan gula dan pati yang larut. Fase kedua adalah fase termofilik (> 400C)

yang berlangsung mulai dari hari ke 3 – 15 dan pada fase ini yang bekerja adalah

campuran antara bakteri termofilik, aktinomisetes dan juga fungi yang toleran

dengan suhu tinggi untuk menghancurkan protein, lemak dan karbohidrat yang

kompleks seperti hemiselulosa dan selulosa. Fase ketiga adalah fase mesofilik

untuk pematangan kompos dan pada fase ini mikroorganisme yang bekerja adalah

aktinomisetes mesofilik, bakteri lain, dan juga terdapat invertebrata dari sekitar

lingkungan yang fungsinya untuk degradasi lignin serta pembentukan campuran

organic lainnya menjadi humus. Kurva ini dapat dilihat pada gambar 2.1

(Trautmann dan Marianne, 1997).

Pendistribusian mikroorganisme yang aktif berdasarkan pembagian fase

pertumbuhan faktor suhu dibagi menjadi tiga populasi mikroorganisme,

diantaranya adalah Eubacteria, Aktinomisetes, dan fungi multiseluler. Eubacteria

terdapat eubacteria mesofilik dan termofilik. Eubacteria mesofilik akan

mengalami peningkatan populasi saat terjadinya fase mesofilik dan fase

pendinginan, lalu terjadi peningkatan aktivitas saat fase pematangan, sedangkan

untuk Eubacteria termofilik mengalami penurunan peningkatan populasi saat fase

termofilik, dan mengalami penurunan di fase pendinginan serta tidak terdapat

Page 7: BAB 2.docx

12

aktivitas saat fase pematangan. Aktinomisetes terdapat aktinomisetes mesofilik

dan termofilik. Aktinomisetes mesofilik akan mengalami peningkatan populasi

saat fase mesofilik dan fase pendinginan serta aktivitasnya meningkat saat fase

pematangan. Aktinomisetes termofilik mengalami peningkatan populasi saat fase

termofilik dan mengalami penurunan saat fase pendinginan lalu aktivitasnya

menurun saat fase pematangan. Fungi multiseluler juga terbagi menjadi fungi

multiseluler mesofilik dan juga termofilik. Fungi mesofilik mengalami

peningkatan populasi saat fase mesofilik dan fase pendinginan serta terjadi

aktivitas saat fase pematangan. Fungi termofilik mengalami peningkatan saat fase

termofilik dan mengalami penurunan saat fase pendinginan lalu tidak terdapat

akktivitas saat fase pematangan. Pembagian masing – masing fase pertumbuhan

Eubacteria, Aktinomisetes dan fungi multiseluler sesuai dengan faktor suhu dapat

dilihat pada tabel 2.2 (Fogarty dan Tuovinen, 1991).

Tabel 2.1. Mikrobiologi kompos

Bakteri Fungi / kapang

Mesofil Pseudomonas spp. Alternaria spp.

Achromobacter spp. Clasdosporium spp.

Bacillus spp. Aspergillus spp.

Flavobacterium spp. Mucor spp.

Streptomyces spp. Penicillum spp.

Termofil Bacillus spp. Aspergilus spp.

Streptomyces spp. Mucor pusillus

Thermoactinomyces spp. Chaetomium thermophile

Thermus spp. Humicola lanuginosa

Thermonospora spp. Absidia ramosa

Microplyspora spp. Sprotricbum thermofphile

Torula thermophile (yeast)

Thermoascus aureanticus

Page 8: BAB 2.docx

13

Sumber : (Saraswati dkk, 2006)

Gambar 2.1. Hubungan pertumbuhan mikroorganisme dengan suhu.

Sumber: cwmi.css.cornell.edu/chapter1.pdf

Tabel 2.2. Fase Distribusi Mikroorganisme Aktif Berdasarkan Suhu

PopulasiPendistribusian fase pertumbuh faktor suhu

fase mesofilik fase thermofilik fase pendinginan fase pematangan

Eubacteria

mesofilik ↑ ↓ ↑ +

thermofilik - ↑ ↓ -

Actinomisetes

mesofilik ↑ ↓ ↑ +

thermofilik - ↑ ↓ -

Fungi Multiseluler

mesofilik ↑ ↓ ↑ +

thermofilik - ↑ ↓ -

Keterangan: Tanda (↑) menandakan adanya peningkatan pada populasi bakteri atau

tanda (↓) menandakan adanya penurunan populasi bakteri, dalam tiap populasi di fase

Page 9: BAB 2.docx

14

pembagian suhu terdapat tanda (-) menandakan tidak adanya aktivitas, dan tanda (+)

menandakan aktivitas tersebut lambat atau relatif kecil dalam populasi mikroba tersebut

Sumber : Fogarty dan Tuovinen, 1991

Sel mikroba yang mati saat proses pengomposan akan menjadi substrat

untuk mikroba yang hidup, lalu terdapat zat selulose, kitin, dan chitosan pada

dinding sel fungi, dan pada dinding sel bakteri terdapat N-acetylglucosiamin dan

N-acetylmuramic yang terkandung dalam peptidoglikan, yang merupakan substrat

baik bagi mikroba lainnya, serta proses perombakan dalam penyusunan asam

humat dan stabilisasi pH masih terus berlangsung. Proses pengomposan

menyebabkan perubahan pH, pH optimum untuk proses pengomposan berkisar

antara 6,5 – 8. Perubahan pH pada pengomposan dikarenakan terdapat proses

pelepasan asam yang menyebabkan penurunan pH (pengasaman), dan produksi

amonia dari senyawa – senyawa yang mengandung nitrogen yang dapat

meningkatkan pH pada fase – fase awal pengomposan. Keadaan pH kompos yang

sudah matang biasanya akan mendekati netral. Beberapa jenis bakteri termasuk

jenis Actinomycetes juga mampu mendegradasi polimer selulosa, hemiselulosa,

dan lignin, namun dengan kemampuan yang lebih rendah dibandingkan fungi.

Bakteri terutama berperan pada degradasi polisakarida yang lebih sederhana

(Herdiyantoro, 2010).

2.2.1 Bakteri Perombak Bahan Organik

Bakteri perombak bahan organik dapat ditemukan di tempat yang

mengandung senyawa organik yaitu berasal dari sisa-sisa tanaman yang

Page 10: BAB 2.docx

15

mati, baik di darat ataupun di laut. Sebagian bakteri hidup secara aerob dan

sebagian anaerob. Sel bakteri memiliki ukuran 1µm - ≤ 1.000 µm. Dalam

merombak bahan organik, biasanya bakteri hidup bebas di luar organisme

lain, tetapi ada juga sebagian kecil yang hidup di dalam saluran pencernaan

hewan, seperti bakteri Lachnospira multiparous, Butyrivbrio fibrisolvens,

Bacteroides ruminicola, yang memfermentasi selulosa pada perut sapi dan

bersifat anaerob (Nuryani, 2011).

Mikroba yang berperan dalam perombakan bahan organik berasal dari

kingdom protista, terutama bakteri dan fungi (jamur). Bakteri termasuk tipe

dari kelompok sel prokariot (tidak memiliki membrane), sedangkan fungi

termasuk eukariot (memiliki membrane). Selain bakteri dan jamur, terdapat

jenis lain yang berperan penting dalam proses pengomposan, yaitu

aktinomisetes. Jenis ini termasuk bakteri, tetapi memiliki sifat transisi antara

bakteri dan jamur. Aktinomisetes berperan penting dalam degradasi bahan

organik bermolekul tinggi dan sulit diuraikan seperti selulosa, kitin, protein,

lilin, parafin, karet dan lain sebagainya (Sudradjat, 2008).

Pada saat proses penguraian aerobik dan anaerobik, terdapat bakteri

jenis saprofit yang berperan untuk menguraikan tumbuhan atau hewan yang

sudah mati dan sisa – sisa atau kotoran dari organisme. Selain itu terdapat

mikroba lain pada aktivator yang digunakan. Mikroba tersebut adalah

mikroba lignolitik, selulolitik, proteolitik, lipolitik, aminolitik dan mikroba

fiksasi nitrogen non-simbiotik. Mikroba lignolitik berperan untuk

Page 11: BAB 2.docx

16

menguraikan ikatan lignoselulose menjadi selulose dan lignin dan setelah itu

lignin akan diuraikan lagi oleh enzim lignase menjadi derivate lignin yang

lebih sederhana sehingga mampu mengikat NH4. Mikroba selulotik akan

mengsekresikan enzim selulose yang dapat dihidolisis menjadi D-glukosa

dan menghasilkan asam laktat, etanol, CO2 serta ammonia. Mikroba

proteolitik berperan dalam merombak protein menjadi polipeptida lalu akan

menjadi peptide sederhana dan akhirnya menjadi asam amino bebas, CO2

dengan enzim proteasenya. Mikroba lipolitik menghasilkan enzim lipase

untuk merombak lemak. Mikroba amilolitik mengubah karbohidrat menjadi

volatile fatty acid dan keto acids yang akan menjadi asam amino. Mikroba

fiksasi nitrogen bersimbiosis dengan bintil akar tanaman dan berperan untuk

memfiksasi nitrogen ke dalam tanah (Krisno, 2012).

Kemampuan mikroorganisme yang lebih baik dalam merombak bahan

organik adalah fungi dibandingkan dengan bakteri. Hal ini dikarenakan

fungi memiliki pertumbuhan hifa yang lebih mudah menembus dinding sel

– sel tubular penyusun utama jaringan kayu. Pertumbuhan hifa juga dapat

menyebabkan tekanan fisik yang dibantu dengan pengeluaran enzim yang

melarutkan dinding sel jaringan kayu. Perombakan komponen – komponen

polimer pada tumbuhan erat kaitannya dengan peran enzim ekstraseluler

yang dihasilkan oleh fungi. Beberapa enzim ekstraseluler yang terlibat

dalam perombakan bahan organik diantaranya adalah β-glukosidase, lignin

peroksidase (LiP), manganese peroksidase (MnP), dan Laksase, selain itu

terdapat kelompok enzim reduktase yang merupakan penggabungan dari

Page 12: BAB 2.docx

17

LiP dan MnP yaitu enzim versatile peroksidase. Enzim – enzim ini

dihasilkan oleh Pleurotus eryngii, P. ostreatus, dan Bjekandera adusta

(Lankinen, 2004).

Selain mengurai bahan berkayu, sebagian besar fungi menghasilkan

zat yang bersifat racun sehingga dapat dipakai untuk mengontrol

pertumbuhan atau perkembangan organisme pengganggu, seperti strain

Trichoderma harzianum salah satu anggota dari Actinomycetes, bila

kebutuhan C (karbon) tidak tercukupi akan menghasilkan racun yang dapat

menggagalkan penetasan telur nematoda Meloidogyne jevanica (penyebab

bengkak akar), sedangkan bila kebutuhan C tercukupi akan bersifat parasit

pada telur atau anakan nematoda tersebut. Fungi dari kelas Zygomycetes

(Mucorales) sebagian besar pengurai amilum, protein, dan lemak hanya

sebagian kecil saja yang mampu mengurai selulosa dan kitin. Beberapa

Mucorales seperti Mucor sp. dan Rhizopus sp. mengurai karbohidrat jenis

monosakarida dan disakarida dengan adanya perkecambahan spora,

pertumbuhan, dan pembentukan spora yang cepat (Saraswati dkk., 2006).

2.2.2 Aktifitas Enzim dalam Pengomposan

Mikroorganisme tidak dapat langsung memetabolisme partikel bahan

organik tidak larut. Mikroorganisme memproduksi dua sistem enzim

ekstraseluler yaitu sistem hidrolitik dan sistem oksidatif. Sistem hidrolitik

merupakan sistem yang memproduksi hidrolase dan berfungsi untuk

mendegradasi selulosa dan hemiselulosa. Sedangkan sistem oksidatif adalah

Page 13: BAB 2.docx

18

bersifat ligninolitik dan berfungsi mendegradasi lignin. Mikroorganisme

akan mentransfer substrat tersebut ke dalam sel melalui membran

sitoplasma untuk menyelesaikan dekomposisi bahan organik (Herdiyantoro,

2010) .

Aktivitas enzim selulase dapat menurunkan jumlah selulosa sebanyak

25% dalam waktu 3 minggu. Aktivitas enzim dapat meningkat dan menurun

selama proses pengomposan. Aktivitas enzim selulase akan meningkat

seiring dengan pertumbuhan selnya, namun ketika sel mencapai fase

stasioner aktivitas selulase akan menurun. Pada fase stasioner kecepatan

pembelahan sel sama dengan kecepatan kematian sel dan lisis sel sehingga

pada fase ini selain enzim selulase, enzim protease dihasilkan yang akan

menyebabkan aktivitas enzim selulase akan menurun (Meryandini dkk.,

2009).

Aktivitas enzim tersebut akan menurun tajam selama tahapan

termofilik, yang kemungkinan disebabkan oleh inaktivasi panas. Denaturasi

enzim sering dikorelasikan dengan kematian mikroba. Hal ini menunjukkan

bahwa terdapat mikroba dan aktivasi enzim dalam tumpukan kompos

setelah tahapan termofilik karena disebabkan oleh introduksi ulang,

pembalikan, ketahanan hidup mikroba dibagian luar, bagian dingin dari

tumpukan kompos. Dari hal tersebut terlihat begitu pentingnya proses

mikrobial dalam proses pengomposan dan kecepatannya dapat diatur oleh

berbagai faktor yang mempengaruhi keterlibatan mikroba dalam proses,

Page 14: BAB 2.docx

19

ketidakcocokan substrat, kelembapan atau suhu kompos di luar rata-rata,

dan problem difusi oksigen ke dalam kompos merupakan faktor pembatas

dalam proses pengomposan (Saraswati dkk., 2006).

2.3 Cemaran Mikroorganisme pada Kompos

Mikroorganisme yang tumbuh dan tersebar pada sampah hijauan dengan

campuran feses sapi, pada umumnya terdiri dari berbagai macam bakteri, dan

jamur atau kapang. Proses pembentukan sampah hijauan menjadi kompos

memerlukan bantuan mikroorganisme, tetapi mikroorganisme ini dapat juga

membuat kompos ini tercemar karena adanya cemaran mikroorganisme.

Kehadiran cemaran mikroorganisme pada kompos kemungkinan berasal

dari feses sapi yang dicampur bersamaan dengan sampah hijauan, selain itu juga

kemungkinan berasal dari kotoran pada sampah hijauan yang diambil secara acak

dari pinggir jalan yang sudah tercemar dengan jenis-jenis sampah lainnya. Hal ini

mungkin akan dapat menyebabkan penurunan kualitas kompos, dan juga dapat

menimbulkan penyakit ke manusia, hewan ataupun tumbuhan.

Cemaran mikroorganisme yang biasanya terdapat di kompos merupakan

jenis bakteri patogen, diantaranya adalah bakteri Coliform, Streptococcus,

Staphylococcus, dan Salmonella Shigella.

2.3.1 Bakteri Coliform

Page 15: BAB 2.docx

20

Bakteri Coliform dapat digunakan sebagai indikator karena

densitasnya berbanding lurus dengan tingkat pencemaran air yang

disebabkan polusi dari tinja hewan atau manusia. Diantara organisme -

organisme yang dipelajari, yang hampir memenuhi semua persyaratan suatu

organisme indikator yang ideal adalah Escherichia coli dan kelompok

bakteri coli lainnya. Bakteri-bakteri tersebut dianggap sebagai indikator

polusi tinja yang dapat diandalkan (Pelczar dkk.,1988).

Berdasarkan taksonominya, Songer dan Post (2005)

mengklasifikasikan Escherichia coli sebagai berikut:

Kingdom : Bacteria

Phylum : Proteobacteria

Kelas : Gamma Proteobacteria

Ordo : Enterobacteriales

Famili : Enterobacteriaceae

Genus : Escherichia

Spesies : Eschericia coli

Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif, anaerobik

fakultatif, tidak berspora, dan menggunakan campuran fermentasi asam di

dalam kondisi anaerobik, menghasilkan asam laktat, succinate, etanol, asetat

dan karbondioksida. Selama proses fermentasi ini menghasilkan gas

hidrogen, dan diharapkan jumlah hidrogen yang dihasilkan jumlahnya tidak

terlalu tinggi. Pertumbuhan optimal E. coli terjadi pada suhu 370 C. Dalam

Page 16: BAB 2.docx

21

kondisi normal, E. coli membentuk koloni pada saluran gastrointestinal.

Escherichia coli dapat bertahan pada selaput lendir usus besar. Escherichia

coli merupakan tipe patogen yang memiliki kemampuan untuk mensintesa

semua komponen – komponen selnya dari glukosa. Escherichia coli adalah

organisme fakultatif yang utama di saluran gastrointestianal pada manusia

ataupun hewan (Sartika dkk., 2005).

2.3.2 Bakteri Staphylococcus

Bakteri Staphylococcus merupakan bakteri Gram positif berbentuk

bulat biasanya tersusun dalam bentuk menggerombol yang tidak teratur

seperti anggur. Staphylococcus bertambah dengan cepat pada beberapa tipe

media dengan aktif melakukan metabolisme, melakukan fermentasi

karbohidrat dan menghasilkan bermacam-macam pigmen dari warna putih

hingga kuning gelap. Staphylococcus cepat menjadi resisten terhadap

beberapa antimikroba (Jawetz dkk., 2005).

Berdasarkan taksonominya, Songer dan Post (2005)

mengklasifikasikan bakteri Staphylococcus aureus sebagai berikut:

Kingdom : Protista

Divisio : Protophyta

Kelas : Schizomycetes

Ordo : Eubacteriales

Familia : Enterobacteriaceae

Genus : Staphylococcus

Page 17: BAB 2.docx

22

Species : Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan jenis staphylococci yang patogen,

dan menghasilkan berbagai variasi enzim dan racun yang berkontribusi

menjadi suatu penyakit. Peran enzim ini sebenarnya banyak yang tidak

diketahui, tetapi ada beberapa faktor penting yang sudah diketahui termasuk

sebagai katalis (inactivates hydrogen peroxide), enzim koagulasi, leukocidin

dan the toxins (TSST) toxic shock syndrome toxin, entero toxin, dan

exfoliatin (Inglis, 2007).

Berdasarkan penelitian Inglish (2007) S. aureus menghasilkan suatu

penyakit yang bersifat infasif dan penyakit yang beracun. Penyakit yang

sifatnya invasi diantaranya adalah terjadinya permukaan yang berjerawat

atau bisul, Osteomyletis, Septicaemia. Penyakit yang beracun karena S.

Aureus diantaranya adalah Toxic shock syndrome, yaitu penyakit yang

mengenai wanita jika menggunakan pembalut hyperabsorbent, gejala

penyakit ini biasanya menunjukkan demam, hypovolaemia, mual dan

muntah, atau dapat terjadi pengelupasan pada kulit. Pada pria gejala

penyakit ini menunjukan adanya invasi infeksi karena staphylococcus,

molekul penyakit toxic shock syndrome ini diketahui sebagai superantigen.

Scalded skin syndrome merupakan penyakit kulit yang masuk dalam

golongan pioderma. Pioderma adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh

Staphylococcus dan Streptococcus atau kedua-duanya. Penyebab utama

pioderma adalah Staphylococcus aureus dan Streptococcus β hemolyticus.

Page 18: BAB 2.docx

23

Bakteri Staphylococcus juga dapat menyebabkan orang keracunan makanan,

jika mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi oleh bakteri ini.

2.3.3 Bakteri Salmonella Shigella

Bakteri Salmonella Shigella merupakan bakteri batang lurus, gram

negatif, tidak berspora, bergerak dengan flagel peritrik, dan berukuran 2-4

μm x 0.5-0,8 μm. Salmonella sp. tumbuh cepat dalam media yang sederhana

(Jawetz dkk.,2005).

Berdasarkan taksonominya, Songer dan Post (2005)

mengklasifikasikan bakteri Salmonella Shigella sebagai berikut:

Kingdom : Protista

Divisio : Protophyta

Kelas : Gamma Proteobacteria

Ordo : Eubacteriales

Familia : Enterobacteriaceae

Genus : Salmonella

Species : Salmonella Shigella

Sifat pertumbuhan bakteri Salmonella Shigella yaitu biasanya tumbuh

pada suasana aerob dan fakultatif anaerob pada suhu 15 – 410C (suhu

pertumbuhan optimum 370 C dan pH pertumbuhan 6 – 8). Pada media

pertumbuhan agar SS, Endo, EMB, dan Mc conkey koloni bakteri ini

berbentuk bulat kecil dan tidak berwarna karena ketidakmampuan

Page 19: BAB 2.docx

24

meragikan laktosa serta bakteri ini tidak mampu menghidrolisis urea.

Bakteri ini sangat menular. Bakteri Salmonella Shigella bersifat patogen

karena dapat menyebabkan penyakit pada manusia melalui makanan yang

kita konsumsi. Jika kita mengkonsumsi makanan yang tercemar Salmonella

Shigella maka dapat menyebabkan nyeri perut, demam, dan diare serta

dapat terjadi infeksi pada saluran pencernaan karena bakteri ini bersifat

toksik yang menginvasi usus besar yang menyebabkan disentri lebih lanjut

dengan tinja yang disertai darah dan nanah (Herawati, 2010).

2.3.4 Bakteri Streptococcus sp.

Streptococcus adalah genus dari bakteri gram positif  yang termasuk

ke dalam filum Firmicutes dan kelompok bakteri asam laktat (Ryan dkk,

2004). Bakteri Streptococcus merupakan bakteri yang sifatnya patogen

karena dapat menyebabkan penyakit pada saluran pernafasan dan saluran

cerna (Yatim, 2007).

Berdasarkan taksonominya, Songer dan Post (2005)

mengklasifikasikan bakteri Streptococcus sp. sebagai berikut:

Kingdom : Bacteria

Filum : Firmicutes

Kelas : Bacilli

Ordo : Lactobacillales

Familia : Streptococcaceae

Page 20: BAB 2.docx

25

Genus : Streptococcus

Pada umumnya Streptococcus sp. ini bersifat patogenesis karena

menghasilkan protein yang berfungsi untuk menghambat komplemen

sehingga bersifat terhadap fagositosis. Bila di dalam tubuh manusia terdapat

antibiotik spesifik , maka akan mudah fagositosis bakteri oleh sel netrofil

dan monosit (Sofa, 2008). Menurut Sofa (2008) beberapa penyakit yang

disebabkan bakteri Streptococcus sp. diantaranya adalah Endokarditis yang

disebabkan karena Streptococcus beta hemolitikus, demam nifas yang

disebabkan oleh Streptococcus grup A, Faringitis yang disebabkan oleh

infeksi Streptococcus sp. sering banyak dijumpai dan sering menyebabkan

demam reuma, Erisipelas yang disebabkan oleh Streptococcus grup A dan

kadang disebabkan oleh grup B khususnya pada bayi yang baru lahir.

2.4 Jumlah Mikroorganisme dalam Kompos Sesuai Standar Nasional

Indonesia (SNI)

Jumlah mikroorganisme dalam kompos akan mempengaruhi nilai kualitas

kompos itu sendiri. Oleh karena itu Departemen Pertanian mengatur tentang

Standar Nasional Indonesia (SNI) dalam pembuatan kompos untuk meningkatkan

kualitas kompos itu sendiri agar hasilnya dapat digunakan ke tanaman.

Berdasarkan SNI: 19-7030-2004, jenis mikroorganisme patogen yang

dicantumkan di standar kualitas pembuatan pupuk organik ada dua macam, yaitu

bakteri Coliform dan juga bakteri Samonella shigella. Jumlah maksimum bakteri

Page 21: BAB 2.docx

26

patogen Coliform pada kompos yaitu sebanyak 1000 MPN/g dan bakteri

Salmonella sp sebanyak 3 MPN/g (BSN, 2004). Jika jumlah bakteri patogen

dalam kompos melebihi jumlah bakteri yang ditentukan oleh SNI, maka dapat

dikatakan kompos tersebut tercemar oleh mikroorganisme yang sifatnya patogen

dan bakteri ini dapat menimbulkan penyakit.

Pada aturan SNI dalam pembuatan kompos, parameter yang diberikan ada

dua jenis bakteri patogen yaitu bakteri Coliform dan juga Salmonella-Shigella,

tetapi dalam proses pembuatan kompos yang menggunakan campuran limbah

kotoran ternak seperti kotoran sapi, kemungkinan akan terdapat jenis bakteri

patogen lainnya, yaitu bakteri Streptococcus, Staphylococcus, dan juga

kemungkinan adanya pertumbuhan jamur atau kapang dalam kompos. Bakteri-

bakteri ini bersifat patogen karena dapat memberikan dampak negatif terhadap

kesehatan manusia.

2.5 Penghitungan dan Pengujian Jumlah Mikroorganisme

Pengujian mikroorganisme pada kompos tidak dilakukan untuk semua

parameter uji, tetapi hanya mengacu pada persyaratan pembuatan kompos yang

tertera dalam Standar Nasional Indonesia (SNI:19-7030-2004), meliputi

penghitungan Total Plate Count (TPC), penghitungan secara kuantitatif dengan

metode MPN pada bakteri Coliform, dan E. Coli, identifikasi dan total jumlah

bakteri Salmonella Shigella, Streptococcus, Staphylococcus yang terdapat dalam

kompos sampah hijauan.

Page 22: BAB 2.docx

27

2.5.1 Penghitungan Jumlah Total Mikroorganisme dengan Metode

Total Plate Count (TPC)

Mikroorganisme sangat mudah ditemukan dimana saja, di tanah, air,

ataupun di udara. Terdapat perbedaan tipe dan bentuk mikroorganisme

tergantung fungsi dan kegunaannya. Beberapa jenis bakteri mesofil ataupun

termofil ada yang dimanfaatkan sebagai aktivator untuk pembuatan pupuk

organik, produk fermentasi makanan ataupun minuman. Selain itu jumlah

mikroorganisme patogen yang berbahaya dan dapat menyebabkan penyakit

pada manusia dan hewan jumlahnya hanya sedikit dibandingkan total

populasi mikroorganisme yang menguntungkan bagi manusia dan hewan

(Pelczar dan Chan, 2008).

Jumlah mikroorganisme dihitung secara keseluruhan baik yang mati

atau yang hidup atau hanya untuk menentukan jumlah mikroorganisme yang

hidup saja. Hal ini tergantung pada metode yang digunakan. Jumlah

mikroorganisme ditentukan setelah larutan bahan atau biakan

mikroorganisme diencerkan dengan faktor pengenceran tertentu dan

ditumbuhkan dalam media dengan cara tertentu tergantung dari macam dan

sifat-sifat mikroorganisme (Gobel dkk.,2008).

Page 23: BAB 2.docx

28

Penghitungan jumlah total mikroorganisme merupakan salah satu

aspek dalam pengujian cemaran mikroorganisme untuk menunjukkan

jumlah kandungan mikroorganisme dalam suatu produk, agar produk yang

beredar di masyarakat terjamin keamanannya. Metode Total Plate Count

(TPC) merupakan suatu pengujian yang digunakan untuk menentukan daya

simpan suatu produk, ditinjau dari besar kecilnya tingkat cemaran

mikroorganisme pada produk tersebut.

Pengujian TPC merupakan cara yang paling sensitif dalam

menghitung jumlah total cemaran mikroorganisme. Pengujian TPC

memiliki keuntungan diantaranya adalah hanya sel yang masih hidup yang

dihitung, beberapa jenis mikroba dapat dihitung sekaligus, dapat digunakan

untuk isolasi dan identifikasi mikroba lainnya, khususnya koloni yang

tumbuh dari satu sel mikroba dengan penampakan pertumbuhan yang

spesifik.

Menurut Widyasatika (2008), disamping keuntungan-keuntungan

tersebut pengujian TPC memiliki beberapa kelemahan, diantaranya adalah

hasil penghitungan tidak menunjukkan jumlah sel mikroorganisme yang

sebenarnya, karena beberapa sel yang berdekatan mungkin akan membentuk

satu koloni. Selain itu media dan kondisi yang berbeda mungkin

menghasilkan nilai jumlah pertumbuhan yang berbeda, mikroorganisme

yang ditumbuhkan harus dapat tumbuh pada media padat dan membentuk

koloni yang kompak serta jelas, tidak menyebar, dan juga memerlukan

Page 24: BAB 2.docx

29

persiapan dan waktu inkubasi beberapa hari atau hingga pertumbuhan

koloni dapat dihitung.

2.5.2 Pengujian Kuantitatif dengan Metode Most Probable Number

(MPN)

Pengujian kuantitatif menggunakan metode hitungan cawan akan

mengalami kesulitan pada pengujian suatu sampel yang mengandung

mikroorganisme kurang dari 10 CFU per ml/gr, namun dengan metode

MPN masalah tersebut dapat teratasi (Lukman dan Purnawarman, 2009).

Metode MPN adalah metode yang menggunakan media cair dalam wadah

berupa tabung reaksi. Metode ini meliputi tiga pengujian diantaranya uji

penduga (Presumtive test), uji penguat (Confirmative test), dan uji

pelengkap (Completed test). Penghitungan dilakukan berdasarkan jumlah

tabung yang positif yaitu tabung yang mengalami perubahan pada

medianya, baik itu berupa perubahan warna atau terbentuknya gelembung

gas pada dasar tabung durham.

Berdasarkan hasil perubahan tersebut, nilai MPN kemudian dicari

pada tabel MPN (Gobel, 2008), lalu dihitung dan disesuaikan dengan

jumlah bakteri pada nilai Standar Nasional Indonesia (SNI: 19-7030-2004).

Page 25: BAB 2.docx

30

Penggunaan media cair dalam MPN sangat bermanfaat untuk merangsang

resusitasi dan pertumbuhan mikroorganisme, serta dapat menggunakan

volume contoh sampel yang lebih besar. Hasil terbaik diperoleh jika tabung

berisi pengenceran yang terendah memperlihatkan adanya pertumbuhan

mikroorganisme, sedangkan tabung berisi pengenceran tertinggi tidak

memperlihatkan pertumbuhan (Lukman dan Purnawarman, 2009).