bab 2.docx
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Kompos
Kompos merupakan istilah untuk pupuk organik buatan manusia yang
dibuat dari proses pembusukan sisa-sisa buangan mahluk hidup (tanaman maupun
hewan). Proses pengomposan berjalan secara aerobik dan anaerobik yang saling
menunjang pada kondisi lingkungan tertentu. Secara keseluruhan, proses ini
disebut dekomposisi. Proses pembuatan kompos ini meniru proses terbentuknya
humus oleh alam. Dengan rekayasa kondisi lingkungan, kompos dapat dibuat
serta dipercepat prosesnya yaitu dalam jangka waktu 30 – 90 hari dan waktu ini
melebihi kecepatan pembentukan humus secara alami (Yuwono, 2009).
Proses pengomposan adalah proses perombakan (dekomposisi) dan stabilisasi
bahan organik oleh mikroorganisme dalam keadaan lingkungan terkendali
(terkontrol) dengan hasil akhir berupa humus atau kompos. Proses pengomposan
ini melibatkan sejumlah organisme tanah termasuk bakteri, jamur, protozoa,
aktinomisetes, nematoda, cacing tanah dan serangga. Populasi ini akan
berfluktuasi, tergantung dari proses pengomposan. Bahan baku pengomposan
adalah semua material yang mengandung karbon dan nitrogen, seperti kotoran
hewan, sampah hijauan, sampah kota, lumpur cair dan limbah industri pertanian.
Terdapat dua mekanisme proses pengomposan, yaitu pengomposan secara aerobik
6
7
dan anaerobik. Pengomposan aerob merupakan pengomposan bahan organik
dengan menggunakan O2. Hasil akhir pengomposan aerob berupa produk
metabolisme biologi berupa CO2 dan CH4 sebagai hara yang dapat digunakan
kembali oleh tanaman, H2O, panas, unsur hara (C, N, P, K, Mg, Ca, dan air) yang
dikembalikan ke dalam tanah dan humus. Pengomposan anaerob merupakan
pengomposan bahan organik tanpa menggunakan O2. Hasil akhirnya berupa CH4
dan CO2 dan hasil antara berupa H2S dan sulfur organik (merkaptan) yang
menimbulkan bau busuk. Berikut ini adalah reaksi pengomposan aerob dan
anaerob (Simamora dan Salundik, 2006).
Reaksi perombakan sistem aerobik:
Gula (CH2O)x + O2 x CO2 + H2O + E
(Selulose, Hemiselulose)
N-organik (Protein) NH4+ NO2
+ NO3- + E
Sulfur organik (S) + xO2 SO4-2 + E
Fosfor organik H3BO3 Ca (HPO4)
(Fitin, Lesitin)
Reaksi Utuh:
Aktivitas mikroorganisme
Bahan organik CO2 + H2O + hara + humus + E
(484 - 674 kcal/mol glukosa)
8
Reaksi perombakan sistem anaerobik:
Bakteri penghasil asam Methanomonas
(CH2O)x xCH3COOH CH4 + CO2
N-organik NH3
2H2S + CO2 (CH2O)x + S + H2O + E (26 kcal/mol glukosa)
Sumber : Herdiyantoro (2010).
Faktor - faktor yang mempengaruhi pengomposan diantaranya adalah
imbangan C/N (Carbon/Nitrogen), suhu pengomposan, tingkat keasaman (pH),
jenis mikroorganisme yang terlibat, aerasi, kelembapan (RH), struktur bahan
baku, ukuran bahan baku, pengadukan (Homogenisasi). Imbangan C/N
merupakan faktor terpenting dalam laju pengomposan dengan nilai 25 – 35. Jika
imbangan C/N yang terlalu tinggi akan menyebabkan proses pengomposan
berlangsung lambat dan jika imbangan C/N yang terlalu rendah akan
menyebabkan kehilangan nitrogen dalam bentuk amonia yang selanjutnya
teroksidasi. Suhu pengomposan berpengaruh karena berhubungan dengan jenis
mikroorganisme yang terlibat. Suhu optimum proses pengomposan adalah 400-
600C dengan suhu maksimum 750C. Tingkat keasaman (pH) pada saat proses
pengomposan bersifat asam karena bahan organik yang di rombak menghasilkan
asam – asam organik sederhana dan jika terlalu asam pH dapat dinaikan dengan
cara menambahkan kapur. Sebaliknya, jika nilai pH tinggi (basa) pH dapat
diturunkan dengan menambahkan bahan yang bereaksi asam (mengandung
nitrogen) seperti urea atau kotoran hewan (Yuwono, 2009).
9
Jenis mikroorganisme yang terlibat adalah mikroorganisme mesofilik dan
termofilik. Aerasi (pengaturan udara) yang baik ke semua bagian tumpukan bahan
kompos sangat penting untuk menyediakan oksigen bagi mikroorganisme dan
membebaskan CO2 yang dihasilkan dan karbondioksida yang dihasilkan harus
dibuang agar tidak menimbulkan zat beracun yang merugikan mikroorganisme
sehingga bisa menghambat aktivitasnya. RH (kelembapan) berhubungan dengan
aktivitas mikroorganisme. Kelembapan kompos yang rendah akan menghambat
proses pengomposan dan akan menguapkan nitrogen ke udara dan jika
kelembapan tinggi proses pertukaran udara dalam campuran bahan kompos akan
terganggu. Struktur bahan baku kompos ditentukan oleh sifat bahan tanaman,
diantaranya jenis tanaman, umur dan komposisi kimia tanaman. Semakin muda
umur tanaman, proses dekomposisi akan berlangsung cepat. Ukuran bahan baku
kompos akan mempengaruhi kecepatan proses pengomposan. Semakin kecil
ukuran bahan (5-10 cm), proses pengomposan (dekomposisi) berlangsung
semakin cepat. Hal ini karena adanya peningkatan luas permukaan bahan untuk
‘diserang’ mikroorganisme. Pengadukan (homogenisasi) sangat penting
dilakukan, agar mikroba perombak bahan organik bisa menyebar secara merata
dan pengadukannya dilakukan seminggu sekali (Simamora dan Salundik, 2006).
2.2 Mikrobiologi Kompos
Menurut Garsoni dan Simarmata (2010), proses pengomposan melibatkan
bakteri dan fungi dalam media hidup dengan nutrisi tertentu untuk saling
bekerjasama membentuk konsorsium menjadi aktivator dalam mengolah sampah
10
organik. Jenis mikroorganisme yang terlibat dalam pembuatan kompos ini dapat
diketahui dari nilai suhu, karena dari nilai suhu ini kita dapat mengetahui jenis
mikroorganisme berdasarkan metabolisme dan pertumbuhannya (Simamora dan
Salundik, 2006) selain itu juga terdapat jenis bakteri yang berperan dalam
pembuatan kompos secara aerobik dan anaerobik (Yuwono, 2009).
Proses pengomposan yang menggunakan mikroorganisme terdiri dari tiga
tahapan dalam kaitannya dengan faktor suhu, yaitu mesofilik, termofilik dan
pendinginan. Mesofilik merupakan tahapan awal terjadinya proses naiknya suhu
menjadi sekitar 400 C, hal ini karena terdapat aktivitas bakteri dan fungi
pembentuk asam. Pada suhu termofilik terdapat proses degradasi dan stabilisasi
yang berlangsung secara maksimal, dalam proses ini bakteri termofilik seperti
Bacillus sp yang aktif dalam proses dekomposisi, dibantu dengan Aktinomisetes
dan fungi yang bersifat termofilik. Pendiginan merupakan proses terjadinya
penurunan aktifitas mikroba, pergantian mikroba termofilik menjadi mesofilik
(Herdiyantoro, 2010).
Jenis – jenis mikroorganisme yang terlibat dalam proses pengomposan
merupakan aktivator biologis yang tumbuh alami atau sengaja diberikan untuk
mempercepat proses pengomposan. Selain itu juga mikroorganisme dapat
meningkatkan mutu kompos. Kinerja bakteri dalam proses pengomposan juga
memiliki keunikan, karena ada beberapa bakteri yang bekerja pada fase mesofilik
dan termofilik, seperti bakteri Bacillus sp yang terdapat pada fase mesofilik dan
termofilik. Beberapa mikroorganisme yang umum ditemukan dalam tumpukan
sampah dapat dilihat di tabel 2.1 (Saraswati dkk., 2006).
11
Kurva fase pertumbuhan mikroorganisme erat hubungannya dengan suhu,
dan waktu serta pH pada proses pengomposan. Berdasarkan suhu pengomposan,
aktivitas mikroba dibagi menjadi tiga tahap yaitu fase mesofilik, atau suhu sedang
(400C) yang biasanya berlangsung selama beberapa hari dan pada fase ini yang
bekerja adalah mikroba mesofilik yang memiliki kecepatan metabolisme dalam
penyerapan gula dan pati yang larut. Fase kedua adalah fase termofilik (> 400C)
yang berlangsung mulai dari hari ke 3 – 15 dan pada fase ini yang bekerja adalah
campuran antara bakteri termofilik, aktinomisetes dan juga fungi yang toleran
dengan suhu tinggi untuk menghancurkan protein, lemak dan karbohidrat yang
kompleks seperti hemiselulosa dan selulosa. Fase ketiga adalah fase mesofilik
untuk pematangan kompos dan pada fase ini mikroorganisme yang bekerja adalah
aktinomisetes mesofilik, bakteri lain, dan juga terdapat invertebrata dari sekitar
lingkungan yang fungsinya untuk degradasi lignin serta pembentukan campuran
organic lainnya menjadi humus. Kurva ini dapat dilihat pada gambar 2.1
(Trautmann dan Marianne, 1997).
Pendistribusian mikroorganisme yang aktif berdasarkan pembagian fase
pertumbuhan faktor suhu dibagi menjadi tiga populasi mikroorganisme,
diantaranya adalah Eubacteria, Aktinomisetes, dan fungi multiseluler. Eubacteria
terdapat eubacteria mesofilik dan termofilik. Eubacteria mesofilik akan
mengalami peningkatan populasi saat terjadinya fase mesofilik dan fase
pendinginan, lalu terjadi peningkatan aktivitas saat fase pematangan, sedangkan
untuk Eubacteria termofilik mengalami penurunan peningkatan populasi saat fase
termofilik, dan mengalami penurunan di fase pendinginan serta tidak terdapat
12
aktivitas saat fase pematangan. Aktinomisetes terdapat aktinomisetes mesofilik
dan termofilik. Aktinomisetes mesofilik akan mengalami peningkatan populasi
saat fase mesofilik dan fase pendinginan serta aktivitasnya meningkat saat fase
pematangan. Aktinomisetes termofilik mengalami peningkatan populasi saat fase
termofilik dan mengalami penurunan saat fase pendinginan lalu aktivitasnya
menurun saat fase pematangan. Fungi multiseluler juga terbagi menjadi fungi
multiseluler mesofilik dan juga termofilik. Fungi mesofilik mengalami
peningkatan populasi saat fase mesofilik dan fase pendinginan serta terjadi
aktivitas saat fase pematangan. Fungi termofilik mengalami peningkatan saat fase
termofilik dan mengalami penurunan saat fase pendinginan lalu tidak terdapat
akktivitas saat fase pematangan. Pembagian masing – masing fase pertumbuhan
Eubacteria, Aktinomisetes dan fungi multiseluler sesuai dengan faktor suhu dapat
dilihat pada tabel 2.2 (Fogarty dan Tuovinen, 1991).
Tabel 2.1. Mikrobiologi kompos
Bakteri Fungi / kapang
Mesofil Pseudomonas spp. Alternaria spp.
Achromobacter spp. Clasdosporium spp.
Bacillus spp. Aspergillus spp.
Flavobacterium spp. Mucor spp.
Streptomyces spp. Penicillum spp.
Termofil Bacillus spp. Aspergilus spp.
Streptomyces spp. Mucor pusillus
Thermoactinomyces spp. Chaetomium thermophile
Thermus spp. Humicola lanuginosa
Thermonospora spp. Absidia ramosa
Microplyspora spp. Sprotricbum thermofphile
Torula thermophile (yeast)
Thermoascus aureanticus
13
Sumber : (Saraswati dkk, 2006)
Gambar 2.1. Hubungan pertumbuhan mikroorganisme dengan suhu.
Sumber: cwmi.css.cornell.edu/chapter1.pdf
Tabel 2.2. Fase Distribusi Mikroorganisme Aktif Berdasarkan Suhu
PopulasiPendistribusian fase pertumbuh faktor suhu
fase mesofilik fase thermofilik fase pendinginan fase pematangan
Eubacteria
mesofilik ↑ ↓ ↑ +
thermofilik - ↑ ↓ -
Actinomisetes
mesofilik ↑ ↓ ↑ +
thermofilik - ↑ ↓ -
Fungi Multiseluler
mesofilik ↑ ↓ ↑ +
thermofilik - ↑ ↓ -
Keterangan: Tanda (↑) menandakan adanya peningkatan pada populasi bakteri atau
tanda (↓) menandakan adanya penurunan populasi bakteri, dalam tiap populasi di fase
14
pembagian suhu terdapat tanda (-) menandakan tidak adanya aktivitas, dan tanda (+)
menandakan aktivitas tersebut lambat atau relatif kecil dalam populasi mikroba tersebut
Sumber : Fogarty dan Tuovinen, 1991
Sel mikroba yang mati saat proses pengomposan akan menjadi substrat
untuk mikroba yang hidup, lalu terdapat zat selulose, kitin, dan chitosan pada
dinding sel fungi, dan pada dinding sel bakteri terdapat N-acetylglucosiamin dan
N-acetylmuramic yang terkandung dalam peptidoglikan, yang merupakan substrat
baik bagi mikroba lainnya, serta proses perombakan dalam penyusunan asam
humat dan stabilisasi pH masih terus berlangsung. Proses pengomposan
menyebabkan perubahan pH, pH optimum untuk proses pengomposan berkisar
antara 6,5 – 8. Perubahan pH pada pengomposan dikarenakan terdapat proses
pelepasan asam yang menyebabkan penurunan pH (pengasaman), dan produksi
amonia dari senyawa – senyawa yang mengandung nitrogen yang dapat
meningkatkan pH pada fase – fase awal pengomposan. Keadaan pH kompos yang
sudah matang biasanya akan mendekati netral. Beberapa jenis bakteri termasuk
jenis Actinomycetes juga mampu mendegradasi polimer selulosa, hemiselulosa,
dan lignin, namun dengan kemampuan yang lebih rendah dibandingkan fungi.
Bakteri terutama berperan pada degradasi polisakarida yang lebih sederhana
(Herdiyantoro, 2010).
2.2.1 Bakteri Perombak Bahan Organik
Bakteri perombak bahan organik dapat ditemukan di tempat yang
mengandung senyawa organik yaitu berasal dari sisa-sisa tanaman yang
15
mati, baik di darat ataupun di laut. Sebagian bakteri hidup secara aerob dan
sebagian anaerob. Sel bakteri memiliki ukuran 1µm - ≤ 1.000 µm. Dalam
merombak bahan organik, biasanya bakteri hidup bebas di luar organisme
lain, tetapi ada juga sebagian kecil yang hidup di dalam saluran pencernaan
hewan, seperti bakteri Lachnospira multiparous, Butyrivbrio fibrisolvens,
Bacteroides ruminicola, yang memfermentasi selulosa pada perut sapi dan
bersifat anaerob (Nuryani, 2011).
Mikroba yang berperan dalam perombakan bahan organik berasal dari
kingdom protista, terutama bakteri dan fungi (jamur). Bakteri termasuk tipe
dari kelompok sel prokariot (tidak memiliki membrane), sedangkan fungi
termasuk eukariot (memiliki membrane). Selain bakteri dan jamur, terdapat
jenis lain yang berperan penting dalam proses pengomposan, yaitu
aktinomisetes. Jenis ini termasuk bakteri, tetapi memiliki sifat transisi antara
bakteri dan jamur. Aktinomisetes berperan penting dalam degradasi bahan
organik bermolekul tinggi dan sulit diuraikan seperti selulosa, kitin, protein,
lilin, parafin, karet dan lain sebagainya (Sudradjat, 2008).
Pada saat proses penguraian aerobik dan anaerobik, terdapat bakteri
jenis saprofit yang berperan untuk menguraikan tumbuhan atau hewan yang
sudah mati dan sisa – sisa atau kotoran dari organisme. Selain itu terdapat
mikroba lain pada aktivator yang digunakan. Mikroba tersebut adalah
mikroba lignolitik, selulolitik, proteolitik, lipolitik, aminolitik dan mikroba
fiksasi nitrogen non-simbiotik. Mikroba lignolitik berperan untuk
16
menguraikan ikatan lignoselulose menjadi selulose dan lignin dan setelah itu
lignin akan diuraikan lagi oleh enzim lignase menjadi derivate lignin yang
lebih sederhana sehingga mampu mengikat NH4. Mikroba selulotik akan
mengsekresikan enzim selulose yang dapat dihidolisis menjadi D-glukosa
dan menghasilkan asam laktat, etanol, CO2 serta ammonia. Mikroba
proteolitik berperan dalam merombak protein menjadi polipeptida lalu akan
menjadi peptide sederhana dan akhirnya menjadi asam amino bebas, CO2
dengan enzim proteasenya. Mikroba lipolitik menghasilkan enzim lipase
untuk merombak lemak. Mikroba amilolitik mengubah karbohidrat menjadi
volatile fatty acid dan keto acids yang akan menjadi asam amino. Mikroba
fiksasi nitrogen bersimbiosis dengan bintil akar tanaman dan berperan untuk
memfiksasi nitrogen ke dalam tanah (Krisno, 2012).
Kemampuan mikroorganisme yang lebih baik dalam merombak bahan
organik adalah fungi dibandingkan dengan bakteri. Hal ini dikarenakan
fungi memiliki pertumbuhan hifa yang lebih mudah menembus dinding sel
– sel tubular penyusun utama jaringan kayu. Pertumbuhan hifa juga dapat
menyebabkan tekanan fisik yang dibantu dengan pengeluaran enzim yang
melarutkan dinding sel jaringan kayu. Perombakan komponen – komponen
polimer pada tumbuhan erat kaitannya dengan peran enzim ekstraseluler
yang dihasilkan oleh fungi. Beberapa enzim ekstraseluler yang terlibat
dalam perombakan bahan organik diantaranya adalah β-glukosidase, lignin
peroksidase (LiP), manganese peroksidase (MnP), dan Laksase, selain itu
terdapat kelompok enzim reduktase yang merupakan penggabungan dari
17
LiP dan MnP yaitu enzim versatile peroksidase. Enzim – enzim ini
dihasilkan oleh Pleurotus eryngii, P. ostreatus, dan Bjekandera adusta
(Lankinen, 2004).
Selain mengurai bahan berkayu, sebagian besar fungi menghasilkan
zat yang bersifat racun sehingga dapat dipakai untuk mengontrol
pertumbuhan atau perkembangan organisme pengganggu, seperti strain
Trichoderma harzianum salah satu anggota dari Actinomycetes, bila
kebutuhan C (karbon) tidak tercukupi akan menghasilkan racun yang dapat
menggagalkan penetasan telur nematoda Meloidogyne jevanica (penyebab
bengkak akar), sedangkan bila kebutuhan C tercukupi akan bersifat parasit
pada telur atau anakan nematoda tersebut. Fungi dari kelas Zygomycetes
(Mucorales) sebagian besar pengurai amilum, protein, dan lemak hanya
sebagian kecil saja yang mampu mengurai selulosa dan kitin. Beberapa
Mucorales seperti Mucor sp. dan Rhizopus sp. mengurai karbohidrat jenis
monosakarida dan disakarida dengan adanya perkecambahan spora,
pertumbuhan, dan pembentukan spora yang cepat (Saraswati dkk., 2006).
2.2.2 Aktifitas Enzim dalam Pengomposan
Mikroorganisme tidak dapat langsung memetabolisme partikel bahan
organik tidak larut. Mikroorganisme memproduksi dua sistem enzim
ekstraseluler yaitu sistem hidrolitik dan sistem oksidatif. Sistem hidrolitik
merupakan sistem yang memproduksi hidrolase dan berfungsi untuk
mendegradasi selulosa dan hemiselulosa. Sedangkan sistem oksidatif adalah
18
bersifat ligninolitik dan berfungsi mendegradasi lignin. Mikroorganisme
akan mentransfer substrat tersebut ke dalam sel melalui membran
sitoplasma untuk menyelesaikan dekomposisi bahan organik (Herdiyantoro,
2010) .
Aktivitas enzim selulase dapat menurunkan jumlah selulosa sebanyak
25% dalam waktu 3 minggu. Aktivitas enzim dapat meningkat dan menurun
selama proses pengomposan. Aktivitas enzim selulase akan meningkat
seiring dengan pertumbuhan selnya, namun ketika sel mencapai fase
stasioner aktivitas selulase akan menurun. Pada fase stasioner kecepatan
pembelahan sel sama dengan kecepatan kematian sel dan lisis sel sehingga
pada fase ini selain enzim selulase, enzim protease dihasilkan yang akan
menyebabkan aktivitas enzim selulase akan menurun (Meryandini dkk.,
2009).
Aktivitas enzim tersebut akan menurun tajam selama tahapan
termofilik, yang kemungkinan disebabkan oleh inaktivasi panas. Denaturasi
enzim sering dikorelasikan dengan kematian mikroba. Hal ini menunjukkan
bahwa terdapat mikroba dan aktivasi enzim dalam tumpukan kompos
setelah tahapan termofilik karena disebabkan oleh introduksi ulang,
pembalikan, ketahanan hidup mikroba dibagian luar, bagian dingin dari
tumpukan kompos. Dari hal tersebut terlihat begitu pentingnya proses
mikrobial dalam proses pengomposan dan kecepatannya dapat diatur oleh
berbagai faktor yang mempengaruhi keterlibatan mikroba dalam proses,
19
ketidakcocokan substrat, kelembapan atau suhu kompos di luar rata-rata,
dan problem difusi oksigen ke dalam kompos merupakan faktor pembatas
dalam proses pengomposan (Saraswati dkk., 2006).
2.3 Cemaran Mikroorganisme pada Kompos
Mikroorganisme yang tumbuh dan tersebar pada sampah hijauan dengan
campuran feses sapi, pada umumnya terdiri dari berbagai macam bakteri, dan
jamur atau kapang. Proses pembentukan sampah hijauan menjadi kompos
memerlukan bantuan mikroorganisme, tetapi mikroorganisme ini dapat juga
membuat kompos ini tercemar karena adanya cemaran mikroorganisme.
Kehadiran cemaran mikroorganisme pada kompos kemungkinan berasal
dari feses sapi yang dicampur bersamaan dengan sampah hijauan, selain itu juga
kemungkinan berasal dari kotoran pada sampah hijauan yang diambil secara acak
dari pinggir jalan yang sudah tercemar dengan jenis-jenis sampah lainnya. Hal ini
mungkin akan dapat menyebabkan penurunan kualitas kompos, dan juga dapat
menimbulkan penyakit ke manusia, hewan ataupun tumbuhan.
Cemaran mikroorganisme yang biasanya terdapat di kompos merupakan
jenis bakteri patogen, diantaranya adalah bakteri Coliform, Streptococcus,
Staphylococcus, dan Salmonella Shigella.
2.3.1 Bakteri Coliform
20
Bakteri Coliform dapat digunakan sebagai indikator karena
densitasnya berbanding lurus dengan tingkat pencemaran air yang
disebabkan polusi dari tinja hewan atau manusia. Diantara organisme -
organisme yang dipelajari, yang hampir memenuhi semua persyaratan suatu
organisme indikator yang ideal adalah Escherichia coli dan kelompok
bakteri coli lainnya. Bakteri-bakteri tersebut dianggap sebagai indikator
polusi tinja yang dapat diandalkan (Pelczar dkk.,1988).
Berdasarkan taksonominya, Songer dan Post (2005)
mengklasifikasikan Escherichia coli sebagai berikut:
Kingdom : Bacteria
Phylum : Proteobacteria
Kelas : Gamma Proteobacteria
Ordo : Enterobacteriales
Famili : Enterobacteriaceae
Genus : Escherichia
Spesies : Eschericia coli
Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif, anaerobik
fakultatif, tidak berspora, dan menggunakan campuran fermentasi asam di
dalam kondisi anaerobik, menghasilkan asam laktat, succinate, etanol, asetat
dan karbondioksida. Selama proses fermentasi ini menghasilkan gas
hidrogen, dan diharapkan jumlah hidrogen yang dihasilkan jumlahnya tidak
terlalu tinggi. Pertumbuhan optimal E. coli terjadi pada suhu 370 C. Dalam
21
kondisi normal, E. coli membentuk koloni pada saluran gastrointestinal.
Escherichia coli dapat bertahan pada selaput lendir usus besar. Escherichia
coli merupakan tipe patogen yang memiliki kemampuan untuk mensintesa
semua komponen – komponen selnya dari glukosa. Escherichia coli adalah
organisme fakultatif yang utama di saluran gastrointestianal pada manusia
ataupun hewan (Sartika dkk., 2005).
2.3.2 Bakteri Staphylococcus
Bakteri Staphylococcus merupakan bakteri Gram positif berbentuk
bulat biasanya tersusun dalam bentuk menggerombol yang tidak teratur
seperti anggur. Staphylococcus bertambah dengan cepat pada beberapa tipe
media dengan aktif melakukan metabolisme, melakukan fermentasi
karbohidrat dan menghasilkan bermacam-macam pigmen dari warna putih
hingga kuning gelap. Staphylococcus cepat menjadi resisten terhadap
beberapa antimikroba (Jawetz dkk., 2005).
Berdasarkan taksonominya, Songer dan Post (2005)
mengklasifikasikan bakteri Staphylococcus aureus sebagai berikut:
Kingdom : Protista
Divisio : Protophyta
Kelas : Schizomycetes
Ordo : Eubacteriales
Familia : Enterobacteriaceae
Genus : Staphylococcus
22
Species : Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan jenis staphylococci yang patogen,
dan menghasilkan berbagai variasi enzim dan racun yang berkontribusi
menjadi suatu penyakit. Peran enzim ini sebenarnya banyak yang tidak
diketahui, tetapi ada beberapa faktor penting yang sudah diketahui termasuk
sebagai katalis (inactivates hydrogen peroxide), enzim koagulasi, leukocidin
dan the toxins (TSST) toxic shock syndrome toxin, entero toxin, dan
exfoliatin (Inglis, 2007).
Berdasarkan penelitian Inglish (2007) S. aureus menghasilkan suatu
penyakit yang bersifat infasif dan penyakit yang beracun. Penyakit yang
sifatnya invasi diantaranya adalah terjadinya permukaan yang berjerawat
atau bisul, Osteomyletis, Septicaemia. Penyakit yang beracun karena S.
Aureus diantaranya adalah Toxic shock syndrome, yaitu penyakit yang
mengenai wanita jika menggunakan pembalut hyperabsorbent, gejala
penyakit ini biasanya menunjukkan demam, hypovolaemia, mual dan
muntah, atau dapat terjadi pengelupasan pada kulit. Pada pria gejala
penyakit ini menunjukan adanya invasi infeksi karena staphylococcus,
molekul penyakit toxic shock syndrome ini diketahui sebagai superantigen.
Scalded skin syndrome merupakan penyakit kulit yang masuk dalam
golongan pioderma. Pioderma adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh
Staphylococcus dan Streptococcus atau kedua-duanya. Penyebab utama
pioderma adalah Staphylococcus aureus dan Streptococcus β hemolyticus.
23
Bakteri Staphylococcus juga dapat menyebabkan orang keracunan makanan,
jika mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi oleh bakteri ini.
2.3.3 Bakteri Salmonella Shigella
Bakteri Salmonella Shigella merupakan bakteri batang lurus, gram
negatif, tidak berspora, bergerak dengan flagel peritrik, dan berukuran 2-4
μm x 0.5-0,8 μm. Salmonella sp. tumbuh cepat dalam media yang sederhana
(Jawetz dkk.,2005).
Berdasarkan taksonominya, Songer dan Post (2005)
mengklasifikasikan bakteri Salmonella Shigella sebagai berikut:
Kingdom : Protista
Divisio : Protophyta
Kelas : Gamma Proteobacteria
Ordo : Eubacteriales
Familia : Enterobacteriaceae
Genus : Salmonella
Species : Salmonella Shigella
Sifat pertumbuhan bakteri Salmonella Shigella yaitu biasanya tumbuh
pada suasana aerob dan fakultatif anaerob pada suhu 15 – 410C (suhu
pertumbuhan optimum 370 C dan pH pertumbuhan 6 – 8). Pada media
pertumbuhan agar SS, Endo, EMB, dan Mc conkey koloni bakteri ini
berbentuk bulat kecil dan tidak berwarna karena ketidakmampuan
24
meragikan laktosa serta bakteri ini tidak mampu menghidrolisis urea.
Bakteri ini sangat menular. Bakteri Salmonella Shigella bersifat patogen
karena dapat menyebabkan penyakit pada manusia melalui makanan yang
kita konsumsi. Jika kita mengkonsumsi makanan yang tercemar Salmonella
Shigella maka dapat menyebabkan nyeri perut, demam, dan diare serta
dapat terjadi infeksi pada saluran pencernaan karena bakteri ini bersifat
toksik yang menginvasi usus besar yang menyebabkan disentri lebih lanjut
dengan tinja yang disertai darah dan nanah (Herawati, 2010).
2.3.4 Bakteri Streptococcus sp.
Streptococcus adalah genus dari bakteri gram positif yang termasuk
ke dalam filum Firmicutes dan kelompok bakteri asam laktat (Ryan dkk,
2004). Bakteri Streptococcus merupakan bakteri yang sifatnya patogen
karena dapat menyebabkan penyakit pada saluran pernafasan dan saluran
cerna (Yatim, 2007).
Berdasarkan taksonominya, Songer dan Post (2005)
mengklasifikasikan bakteri Streptococcus sp. sebagai berikut:
Kingdom : Bacteria
Filum : Firmicutes
Kelas : Bacilli
Ordo : Lactobacillales
Familia : Streptococcaceae
25
Genus : Streptococcus
Pada umumnya Streptococcus sp. ini bersifat patogenesis karena
menghasilkan protein yang berfungsi untuk menghambat komplemen
sehingga bersifat terhadap fagositosis. Bila di dalam tubuh manusia terdapat
antibiotik spesifik , maka akan mudah fagositosis bakteri oleh sel netrofil
dan monosit (Sofa, 2008). Menurut Sofa (2008) beberapa penyakit yang
disebabkan bakteri Streptococcus sp. diantaranya adalah Endokarditis yang
disebabkan karena Streptococcus beta hemolitikus, demam nifas yang
disebabkan oleh Streptococcus grup A, Faringitis yang disebabkan oleh
infeksi Streptococcus sp. sering banyak dijumpai dan sering menyebabkan
demam reuma, Erisipelas yang disebabkan oleh Streptococcus grup A dan
kadang disebabkan oleh grup B khususnya pada bayi yang baru lahir.
2.4 Jumlah Mikroorganisme dalam Kompos Sesuai Standar Nasional
Indonesia (SNI)
Jumlah mikroorganisme dalam kompos akan mempengaruhi nilai kualitas
kompos itu sendiri. Oleh karena itu Departemen Pertanian mengatur tentang
Standar Nasional Indonesia (SNI) dalam pembuatan kompos untuk meningkatkan
kualitas kompos itu sendiri agar hasilnya dapat digunakan ke tanaman.
Berdasarkan SNI: 19-7030-2004, jenis mikroorganisme patogen yang
dicantumkan di standar kualitas pembuatan pupuk organik ada dua macam, yaitu
bakteri Coliform dan juga bakteri Samonella shigella. Jumlah maksimum bakteri
26
patogen Coliform pada kompos yaitu sebanyak 1000 MPN/g dan bakteri
Salmonella sp sebanyak 3 MPN/g (BSN, 2004). Jika jumlah bakteri patogen
dalam kompos melebihi jumlah bakteri yang ditentukan oleh SNI, maka dapat
dikatakan kompos tersebut tercemar oleh mikroorganisme yang sifatnya patogen
dan bakteri ini dapat menimbulkan penyakit.
Pada aturan SNI dalam pembuatan kompos, parameter yang diberikan ada
dua jenis bakteri patogen yaitu bakteri Coliform dan juga Salmonella-Shigella,
tetapi dalam proses pembuatan kompos yang menggunakan campuran limbah
kotoran ternak seperti kotoran sapi, kemungkinan akan terdapat jenis bakteri
patogen lainnya, yaitu bakteri Streptococcus, Staphylococcus, dan juga
kemungkinan adanya pertumbuhan jamur atau kapang dalam kompos. Bakteri-
bakteri ini bersifat patogen karena dapat memberikan dampak negatif terhadap
kesehatan manusia.
2.5 Penghitungan dan Pengujian Jumlah Mikroorganisme
Pengujian mikroorganisme pada kompos tidak dilakukan untuk semua
parameter uji, tetapi hanya mengacu pada persyaratan pembuatan kompos yang
tertera dalam Standar Nasional Indonesia (SNI:19-7030-2004), meliputi
penghitungan Total Plate Count (TPC), penghitungan secara kuantitatif dengan
metode MPN pada bakteri Coliform, dan E. Coli, identifikasi dan total jumlah
bakteri Salmonella Shigella, Streptococcus, Staphylococcus yang terdapat dalam
kompos sampah hijauan.
27
2.5.1 Penghitungan Jumlah Total Mikroorganisme dengan Metode
Total Plate Count (TPC)
Mikroorganisme sangat mudah ditemukan dimana saja, di tanah, air,
ataupun di udara. Terdapat perbedaan tipe dan bentuk mikroorganisme
tergantung fungsi dan kegunaannya. Beberapa jenis bakteri mesofil ataupun
termofil ada yang dimanfaatkan sebagai aktivator untuk pembuatan pupuk
organik, produk fermentasi makanan ataupun minuman. Selain itu jumlah
mikroorganisme patogen yang berbahaya dan dapat menyebabkan penyakit
pada manusia dan hewan jumlahnya hanya sedikit dibandingkan total
populasi mikroorganisme yang menguntungkan bagi manusia dan hewan
(Pelczar dan Chan, 2008).
Jumlah mikroorganisme dihitung secara keseluruhan baik yang mati
atau yang hidup atau hanya untuk menentukan jumlah mikroorganisme yang
hidup saja. Hal ini tergantung pada metode yang digunakan. Jumlah
mikroorganisme ditentukan setelah larutan bahan atau biakan
mikroorganisme diencerkan dengan faktor pengenceran tertentu dan
ditumbuhkan dalam media dengan cara tertentu tergantung dari macam dan
sifat-sifat mikroorganisme (Gobel dkk.,2008).
28
Penghitungan jumlah total mikroorganisme merupakan salah satu
aspek dalam pengujian cemaran mikroorganisme untuk menunjukkan
jumlah kandungan mikroorganisme dalam suatu produk, agar produk yang
beredar di masyarakat terjamin keamanannya. Metode Total Plate Count
(TPC) merupakan suatu pengujian yang digunakan untuk menentukan daya
simpan suatu produk, ditinjau dari besar kecilnya tingkat cemaran
mikroorganisme pada produk tersebut.
Pengujian TPC merupakan cara yang paling sensitif dalam
menghitung jumlah total cemaran mikroorganisme. Pengujian TPC
memiliki keuntungan diantaranya adalah hanya sel yang masih hidup yang
dihitung, beberapa jenis mikroba dapat dihitung sekaligus, dapat digunakan
untuk isolasi dan identifikasi mikroba lainnya, khususnya koloni yang
tumbuh dari satu sel mikroba dengan penampakan pertumbuhan yang
spesifik.
Menurut Widyasatika (2008), disamping keuntungan-keuntungan
tersebut pengujian TPC memiliki beberapa kelemahan, diantaranya adalah
hasil penghitungan tidak menunjukkan jumlah sel mikroorganisme yang
sebenarnya, karena beberapa sel yang berdekatan mungkin akan membentuk
satu koloni. Selain itu media dan kondisi yang berbeda mungkin
menghasilkan nilai jumlah pertumbuhan yang berbeda, mikroorganisme
yang ditumbuhkan harus dapat tumbuh pada media padat dan membentuk
koloni yang kompak serta jelas, tidak menyebar, dan juga memerlukan
29
persiapan dan waktu inkubasi beberapa hari atau hingga pertumbuhan
koloni dapat dihitung.
2.5.2 Pengujian Kuantitatif dengan Metode Most Probable Number
(MPN)
Pengujian kuantitatif menggunakan metode hitungan cawan akan
mengalami kesulitan pada pengujian suatu sampel yang mengandung
mikroorganisme kurang dari 10 CFU per ml/gr, namun dengan metode
MPN masalah tersebut dapat teratasi (Lukman dan Purnawarman, 2009).
Metode MPN adalah metode yang menggunakan media cair dalam wadah
berupa tabung reaksi. Metode ini meliputi tiga pengujian diantaranya uji
penduga (Presumtive test), uji penguat (Confirmative test), dan uji
pelengkap (Completed test). Penghitungan dilakukan berdasarkan jumlah
tabung yang positif yaitu tabung yang mengalami perubahan pada
medianya, baik itu berupa perubahan warna atau terbentuknya gelembung
gas pada dasar tabung durham.
Berdasarkan hasil perubahan tersebut, nilai MPN kemudian dicari
pada tabel MPN (Gobel, 2008), lalu dihitung dan disesuaikan dengan
jumlah bakteri pada nilai Standar Nasional Indonesia (SNI: 19-7030-2004).
30
Penggunaan media cair dalam MPN sangat bermanfaat untuk merangsang
resusitasi dan pertumbuhan mikroorganisme, serta dapat menggunakan
volume contoh sampel yang lebih besar. Hasil terbaik diperoleh jika tabung
berisi pengenceran yang terendah memperlihatkan adanya pertumbuhan
mikroorganisme, sedangkan tabung berisi pengenceran tertinggi tidak
memperlihatkan pertumbuhan (Lukman dan Purnawarman, 2009).