bab 1.docx
TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Down syndrome adalah suatu kondisi dimana materi genetik
tambahan menyebabkan keterlambatan perkembangan anak dan kadang
mengacu pada retardasi mental. Anak dengan down syndrome memiliki
kelainan pada kromosom nomor 21 yang tidak terdiri dari 2 kromosom
sebagaimana mestinya, melainkan tiga kromosom (trisomi 21), sehingga
informasi genetika menjadi terganggu dan anak juga mengalami
penyimpangan fisik. Angka kejadian down syndrome meningkat seiring
pertambahan usia ibu waktu hamil, dimulai sejak umur 35 tahun (Kumala,
2007). Dukungan keluarga sangatlah dibutuhkan sebagai penopang anak
berkebutuhan khusus ini. Kasih sayang yang diberikan oleh orang–orang
terdekat ini akan membantu anak down syndrome untuk mampu mengasah
atau mengoptimalkan kemampuan yang mereka miliki, sehingga anak down
syndrome tidak selalu mendapat penolakan dari masyarakat karena dianggap
merepotkan. Perkembangan yang lambat merupakan ciri utama pada anak
down syndrome. Baik perkembangan fisik maupun mental. Hal ini yang
menyebabkan keluarga sulit untuk menerima keadaan anak dengan down
syndrome. Setiap keluarga menunjukkan reaksi yang berbeda-beda terhadap
berita bahwa anggota keluarga mereka menderita down syndrome, sebagian
besar memiliki perasaan yang hampir sama yaitu: sedih, rasa tak percaya,
1
menolak, marah, perasaan tidak mampu dan juga perasaan bersalah
(Selikowitz, 2001).
Angka kejadian penderita down syndrome di seluruh dunia
diperkirakan mencapai 8 juta jiwa (Aryanto, 2008). Angka kejadian
kelainan down syndrome mencapai 1 dalam 1000 kelahiran. Setiap tahun di
Amerika Serikat lahir 3000 sampai 5000 anak dengan kelainan ini (Sobbrie,
2008). Sedangkan menurut catatan Indonesia Center for Biodiversity dan
Biotechnology (ICBB) Bogor, di Indonesia terdapat lebih dari 300 ribu anak
pengidap down syndrome (Aryanto, 2008). Dalam beberapa kasus, terlihat
bahwa umur wanita terbukti berpengaruh besar terhadap munculnya down
syndrome pada bayi yang dilahirkannya. Kemungkinan wanita berumur 30
tahun melahirkan bayi dengan down syndrome adalah 1:1000. Sedangkan
jika usia kelahiran adalah 35 tahun, kemungkinannya adalah 1:400. Hal ini
menunjukkan angka kemungkinan munculnya down syndrome makin tinggi
sesuai usia ibu saat melahirkan (Elsa, 2003).
Studi pendahuluan dilakukan pada tanggal 20 Oktober 2012 di
Sekolah Luar Biasa ‘Aisyiyah 08 Kota Mojokerto dengan tehnik wawancara
pada 10 keluarga yang mempunyai anak down syndrome untuk mengetahui
dukungan sosial keluarga. Wawancara ini meliputi empat komponen
dukungan sosial keluarga meliputi dukungan emosional, dukungan
instrumental, dukungan informasi, dan dukungan penilaian. Hasil
wawancara menunjukkan dari 10 keluarga, 6 keluarga (60%) menyatakan
sebenarnya hingga saat ini mereka masih mengalami penolakan dan malu
memiliki anak down syndrome, mereka lebih cenderung menitipkan
2
perkembangan anak pada guru-guru yang ada di sekolah tersebut, karena
mereka jarang mencari informasi tentang anak down syndrome, merasa
direpotkan dengan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan anaknya
serta merasa kebutuhan anak down syndrome yang menyita finansial serta
waktu mereka. Sedangkan 4 keluarga (40%) lainnya mengaku awalnya
mengalami rasa sedih dan malu, namun mereka menghargai kehadiran anak
tersebut dalam keluarga dan berusaha memberikan yang terbaik bagi
anaknya, sehingga mereka juga berusaha menyediakan semua kebutuhan
anak, mencari berbagai informasi yang dapat membantu tumbuh kembang
anak, dan mendampingi anak di setiap waktu dan persoalan yang dihadapi.
Keluarga adalah lingkungan terdekat dan utama dalam kehidupan
setiap anak. Heward (2003) menyatakan bahwa efektivitas berbagai
program penanganan dan peningkatan kemampuan hidup anak dan remaja
yang mengalami keterbelakangan mental khususnya down syndrome akan
sangat tergantung pada peran serta dan dukungan penuh dari keluarga.
Sebab pada dasarnya keberhasilan program tersebut bukan hanya
merupakan tanggung jawab dari lembaga pendidikan yang terkait saja. Di
samping itu, dukungan dan penerimaan dari setiap anggota keluarga akan
memberikan energi dan kepercayaan dalam diri anak dan remaja yang
terbelakang mental untuk lebih berusaha meningkatkan setiap kemampuan
yang dimiliki, sehingga hal ini akan membantunya untuk dapat hidup
mandiri, lepas dari ketergantungan pada bantuan orang lain. Sebaliknya,
penolakan yang diterima dari orang-orang terdekat dalam keluarganya akan
membuat mereka semakin rendah diri dan menarik diri dari lingkungan,
3
selalu diliputi oleh ketakutan ketika berhadapan dengan orang lain maupun
untuk melakukan sesuatu, dan pada akhirnya mereka benar-benar menjadi
orang yang tidak dapat berfungsi secara sosial serta tergantung pada orang
lain, termasuk dalam merawat diri sendiri.
Terdapat dua kemungkinan reaksi yang akan dimunculkan oleh
anggota keluarga terhadap individu yang terbelakang mental, yaitu
menerima atau menolak. Secara normatif, sebagian besar orang tentunya
menyatakan telah menerima keberadaan mereka, sebab bagaimanapun
mereka telah ditakdirkan menjadi bagian dari keluarga. Namun pada
kenyataannya, respon penerimaan masing-masing individu tidaklah selalu
sama. Respon inilah yang nantinya akan menjelaskan apakah mereka telah
benar-benar menerima dan mendukung atau sebenarnya melakukan
penolakan dengan cara-cara dan perlakuan tertentu. Hal ini juga akan
menjelaskan tentang bagaimana pola sebuah keluarga untuk dapat
menyesuaikan diri dengan keberadaan individu yang berbeda tersebut.
Dengan hasil yang diperoleh, peneliti berharap bahwa nantinya akan
memperoleh gambaran yang nyata tentang dukungan sosial keluarga dalam
mengasuh anak down syndrome.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana dukungan sosial keluarga dalam mengasuh anak down
syndrome di Sekolah Luar Biasa ‘Aisyiyah 08 Kota Mojokerto?
4
1.3 Tujuan Penelitian
Mengetahui dukungan sosial keluarga dalam mengasuh anak down
syndrome di Sekolah Luar Biasa ‘Aisyiyah 08 Kota Mojokerto.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi keluarga
Sebagai masukan bagi keluarga untuk lebih meningkatkan dukungan
bagi anak dengan down syndrome, sehingga anak down syndrome dapat
mengoptimalkan kemampuan mereka dan mengurangi ketergantungan pada
keluarga maupun orang lain.
1.4.2 Bagi tempat penelitian
Sebagai tambahan wawasan bagi pengurus sekolah yang
bersangkutan untuk memotivasi keluarga agar meningkatkan dukungannya
pada anak down syndrome sepenuh hati, sehingga dapat membantu
meningkatkan perkembangan anak down syndrome.
1.4.3 Bagi Dinas Kesehatan setempat
Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk merancang suatu
langkah dalam membantu mengoptimalisasikan perkembangan individu
yang memiliki kebutuhan khusus seperti down syndrome, terutama dengan
menciptakan lingkungan keluarga yang kondusif dan penuh dukungan yang
dibutuhkan bagi kelancaran proses belajar dan aktivitas sosial mereka.
5