bab 1.docx

29
18 FAKTOR PERUBAHAN KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT TERHADAP KOREA UTARA TERKAIT KRISIS NUKLIR DI SEMENANJUNG KOREA 2003 - 2007 Oleh : Restik Anggada Pratama - 071112045 Abstrak Setelah berakhirnya Perang Korea pada 1953 tidak serta merta menghilangkan permasalahan di Semenanjung Korea. Kegagalan Agreed Framework sebagai bentuk diplomasi yang digawangi oleh Amerika Serikat pada masa pemerintahan Bill Clinton guna membendung berkembangnya teknologi senjata nuklir Korea Utara yang berujung pada krisis nuklir pada tahun 2003 dan 2006, membuat Amerika Serikat melakukan strategy shifting dengan mengeluarkan Kebijakan Keamanan bagi Kawasan Semenanjung Korea. Dalam penelitian ini, akan dijelaskan tentang faktor apa saja yang mempengaruhi Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan tersebut, dan bagaimana implementasi serta efektivitas dari kebijakan tersebut dalam menangani krisis keamanan di Semenanjung Korea. Dalam menjelaskan rumusan masalah dalam penelitian ini penulis menggunakan teori kebijakan luar negeri dan konsep keamanan nasional serta konsep regional security complex. Hipotesa dalam penelitian ini dirumuskan berdasarkan pada tinjauan pustaka yang penulis lakukan. Berdasarkan data dan indicator yang ada, maka penulis berasumsi bahwa kebijakan keamanan tersebut merupakan tindakan penguatan terhadap politik global Amerika Serikat di kawasan Semenanjung Korea khususnya dan Asia Timur pada umumnya. Disamping itu, kebijakan keamanan Amerika Serikat terhadap Korea Utara

Upload: restik-anggada-pratama

Post on 26-Dec-2015

57 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 1.docx

FAKTOR PERUBAHAN KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT TERHADAP KOREA

UTARA TERKAIT KRISIS NUKLIR DI SEMENANJUNG KOREA 2003 - 2007

Oleh : Restik Anggada Pratama - 071112045

Abstrak

Setelah berakhirnya Perang Korea pada 1953 tidak serta merta menghilangkan

permasalahan di Semenanjung Korea. Kegagalan Agreed Framework sebagai bentuk

diplomasi yang digawangi oleh Amerika Serikat pada masa pemerintahan Bill Clinton guna

membendung berkembangnya teknologi senjata nuklir Korea Utara yang berujung pada krisis

nuklir pada tahun 2003 dan 2006, membuat Amerika Serikat melakukan strategy shifting

dengan mengeluarkan Kebijakan Keamanan bagi Kawasan Semenanjung Korea. Dalam

penelitian ini, akan dijelaskan tentang faktor apa saja yang mempengaruhi Amerika Serikat

mengeluarkan kebijakan tersebut, dan bagaimana implementasi serta efektivitas dari

kebijakan tersebut dalam menangani krisis keamanan di Semenanjung Korea. Dalam

menjelaskan rumusan masalah dalam penelitian ini penulis menggunakan teori kebijakan luar

negeri dan konsep keamanan nasional serta konsep regional security complex.

Hipotesa dalam penelitian ini dirumuskan berdasarkan pada tinjauan pustaka yang

penulis lakukan. Berdasarkan data dan indicator yang ada, maka penulis berasumsi bahwa

kebijakan keamanan tersebut merupakan tindakan penguatan terhadap politik global Amerika

Serikat di kawasan Semenanjung Korea khususnya dan Asia Timur pada umumnya.

Disamping itu, kebijakan keamanan Amerika Serikat terhadap Korea Utara merupakan

bagian dari strategi Amerika Serikat dalam usahanya menjamin stabilitas keamananan di

kawasan Asia Timur di satu sisi dan keamanan nasionalnya di sisi lain. Kebijakan keamanan

tersebut didasarkan atas dua factor utama. Factor pertama yakni factor internal, dimana

orang-orang terdekat Presiden Amerika Serikat yang turut mempengaruhi pembuatan

keputusan. Kemudian factor yang kedua yakni factor eksternal, Pertama, mencegah

pembangunan senjata nuklir oleh Korea Utara yang dapat membahayakan stabilitas kawasan

dan keamanan nasional Amerika Serikat sendiri dengan pengembangan senjata nuklirnya.

Kedua, melindungi kepentingan Amerika Serikat dikawasan tersebut. Ketiga, memberikan

payung keamanan terhadap negara-negara aliansi di kawasan Asia Timur.

Kata Kunci: Kebijakan Keamanan, Shifting Strategy, Keamanan nasional, Regional Security

Complex

Page 2: BAB 1.docx

1.1 Latar Belakang Masalah

Proses penyelesaian masalah nuklir Korea Utara mulai dilakukan pada masa

pemerintahan Bill Clinton. Dimana Amerika Serikat sangat menekankan pendekatan

diplomasi terhadap Korea Utara. Pada bulan Oktober 1994 Amerika Serikat sepakat untuk

melakukan perundingan bilateral dengan Korea Utara yang kemudian dituangkan dalam

sebuah kerangka persetujuan (Agreed Framework) yang bertujuan menghindarkan krisis

keamanan militer (Military-Security Crisis) dengan meminta Korea Utara membekukan

reaktor Grapit (graphite-moderated reactors) dan fasilitas nuklirnya. Dan sebagai

imbalannya Amerika Serikat berkomitmen untuk memberikan bantuan 100 Megawat

LWR (Light Water Reactor) dan memberikan suplai minyak 500.000 ton pertahun untuk

kebutuhan industri.1

Terpilihnya Goerge W. Bush sebagai Presiden Amerika Serikat dimana kuatnya

pengaruh kaum Neo–Conservatives telah mengubah pendekatan terhadap penyelesaian

masalah nuklir Korea Utara tersebut. Pemerintah Bush tidak terlalu menginginkan

pendekatan lunak terhadap Korea Utara. Sehingga kesepakatan yang sudah dituangkan

dalam Agreed Framework tersebut semakin tidak diimplementasikan secara utuh oleh

Amerika Serikat.2

Paska serangan 11 September 2001 Amerika Serikat memasukan Korea Utara

kedalam negara-negara yang dianggap sebagai musuh Amerika Serikat (Axis of Evil)3.

Hal tersebut sangat mempengaruhi dalam proses penyelesaian masalah nuklir tersebut.

Dalam Strategi Keamanan Nasional Amerika Serikat yang dikeluarkan tahun 2002 telah

disebutkan bahwa jika sebuah negara atau kelompok teroris mengembangkan senjata

pemusnah masal dan hal itu dinilai mengancam kepentingan Amerika, tanpa menunggu

jatuhnya korban, Amerika Serikat akan mengambil kebijakan Pre-Emptive war.4

Disamping itu juga Amerika Serikat menyatakan bahwa senjata pemusnah masal dalam

hal ini senjata nuklir, jika dimiliki oleh negara pembangkang (rogue states) ataupun

1 Pierre Goldschmidt, The Urgent Need to Strengthenthe Nuclear Non-Proliferation Regime, dalam Policy Outlook : Carnegie Endowment for International Peace, Januari 2006. h. 3

2 Ibid3 Axis of Evil adalah istilah yang awalnya digunakan oleh mantan Presiden Amerika Serikat George W. Bush di State of the Union pada tanggal 29 Januari 2002 dan sering diulang sepanjang kepresidenannya, menggambarkan pemerintah yang ia dituduh membantu terorisme dan mencari senjata pemusnah massal. Bush mengecap Iran, Irak dan Korea Utara sebagai poros setan.

4 Doktrin Pre-empetive strike merupakan doktrin dalam strategi keamanan AS, yang muncul pasca serangan 9/11 September oleh kelompok teroris Al – Qaeda, yang kemudian meluluhlantahkan gedung World Trade Center, yang merupakan lambang supremasi perekonomian AS. Doktrin Pre-empetive strike sendiri berasumsi bahwa “lebih baik menyerang dari pada didahului untuk diserang” . Hal tersebut telah dilakukan oleh AS ketika pemerintah George W. Bush mengambil keputusan untuk menyerang Afghanistan pada bulan Oktober 2001 dan menghancurkan Irak dalam perang pada bulan Maret 2003. Lihat Opcit. The Report of The Center for Counterproliferations Research, At the Crossroads Counterproliferationand NationalSecurity Strategy, (Washington D.C: NationalDefenceUniversity). h. 186

Page 3: BAB 1.docx

kelompok-kelompok Teroris dianggap sebagai ancaman serius bagi stabilitas kawasan

tetapi juga merupakan tantangan sistemik bagi tatanan dunia yang aman. Amerika Serikat

tentu sangat khawatir karena sikap Korea Utara yang keras dan tertutup terkait isu nuklir

tersebut.

Sikap Amerika Serikat tersebut membuka jalan dipilihnya opsi perang sebagai

instrument utama kebijakan keamanan Amerika Serikat terhadap Korea Utara seperti

yang dilakukan di Irak dan Afghanistan. Kemudian usaha diplomasi dengan Korea Utara

yang selama ini dilakukan, tidak lagi menjadi orientasi kebijakan Amerika Serikat terkait

permasalahan nuklir ini.5 Namun pendekatan perang terhadap Korea Utara memiliki

risiko yang sangat besar terhadap kondisi keamanan kawasan. Dalam paradigma yang

demikian Amerika dihadapkan pada pilihan sulit dalam kebijakan keamanannya yaitu

antara membiarkan Korea Utara mengembangkan teknologi senjata nuklirnya, atau

dengan menggunakan kebijakan keamanan melalui penggunaan kekuatan militer.

Untuk mencegah situasi yang semakin tidak kondusif di Asia Timur, maka

dibuatlah sebuah usaha diplomatik. Dalam upaya tersebut, AS sangat berperan dalam

mendesak denuklirisasi di Korea Utara, yaitu sebuah proses terwujudnya penghapusan

kepemilikan senjata nuklir Korea Utara.6 Usaha diplomatik yang dilakukan adalah

memprakarsai perundingan multilateral yang dikenal dengan Six Party Talks pada tahun

2003. Six Party Talks yang dibentuk Agustus 2003 merupakan serangkaian upaya

multilateral untuk menggandeng Korea Utara kembali bergabung ke dalam meja

perundingan yang melibatkan AS, Rusia, Jepang, Cina, Korea Selatan.7 Six Party Talks

ini bertujuan untuk mengakhiri program nuklir Korea Utara melalui proses negosiasi.

Pembicaraan dibangun sebagai respon terhadap pengunduran diri Korea Utara dari

Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir pada Januari 2003.8

1.2 Rumusan Masalah

Dari Latar belakang masalah yang dipaparkan diatas, penulis dapat menyimpulkan

rumusan masalah sebagai berikut:

Faktor apa yang menyebabkan perubahan kebijakan keamanan Amerika Serikat di

kawasan semenanjung Korea terkait isu nuklir tahun 2003-2007?

5 Ibid6 Daryl Kimball. 2012. “Chronology of U.S.-North Korean Nuclear and Missile Diplomacy.” http://www.armscontrol.org/factsheets/dprkchron#1985)

7 De Ceuster, Koen dan Jan Melissen. 2008. Ending The North Korean Nuclear Crisis: Six Parties, Six Perspective. Den Hag: Desiree Davidse. H. 11

8 John Gershman. 2005. “The Six Party Talks Agreement.” (http://www.fpif.org/reports/the_six -party_talks_agreement)

Page 4: BAB 1.docx

1.3 Tinjauan Pustaka

Yeon Bong Jung (2001) dalam bukunya Republic of Korea Army Strategy on

Stilts: The U.S. Response to The North Korea Nuclear Issue, mengangkat sebuah

permasalahan utama yaitu mengenai kebijakan keamanan pemerintah Amerika Serikat

dalam merespon perkembangan nuklir Korea Utara. Setelah kegagalan pada perjanjian

Agreed Framework 1994 Amerika Serikat terus melanjutkan upayanya melalui

perundingan multilateral untuk menghentikan program nuklir Korea Utara seperti

perundingan enam pihak (Six Party Talks) yang dimulai pada tahun 2003 bersama dengan

China, Rusia, Jepang, Korea Utara dan Korea Selatan. Namun perundingan tersebut

mengalami hambatan setelah Pyongyang mengakui bahwa telah memiliki senjata nuklir

dan menagguhkan perundingan sampai batas waktu yang tidak ditetapkan. Awalnya

perundingan tersebut penuh membawa optimisme setelah Cina sebagai salah satu Major

Power dan kekuatan berpengaruh serta aliansi dekat Korea Utara di kawasan menjadi

tuan rumah perundingan. Selama krisis disemenanjung Korea yang terjadi pada Oktober

2002 pemerintah Bush mengadopsi dua prinsip dasar kebijakan yaitu bahwa Amerika

Serikat tidak dapat menerima kekurangan dalam pemeriksaan dan verifikasi nuklir Korea

Utara yang kurang dari lengkap. Kedua perundingan harus dilakukan dengan format

multilateral yang sebetulnya tidak diinginkan oleh Korea Utara.

Timothy S. Reed (2002) dalam The Korean Security Dilemma: Shifting Strategies

Offer A Way membahas mengenai tinjauan terhadap permasalahan dilemma keamanan

(security dillema) disemenanjung Korea sejak bergulirnya perang tahun 1950-1953.

Amerika Serikat yang memiliki pengaruh dan kepentingan di kawasan merasa bahwa

Korea Utara merupakan ancaman serius bagi masa depan keamanan dikawasan

semenanjung Korea dan akan berdampak pula pada kawasan Asia Timur secara

keseluruhan.dalam menghadapi ancaman Korea Utara tersebut Amerika Serikat, dilihat

dari sudut pandang realis, tetap mengedepankan opsi militer apabila Korea Utara

menyerang Korea Selatan yang secara keamanan sangat bergantung kepada Amerika

Serikat.

Leon V. Sigal (2003) dalam bukunya Disarming Strangers: Nuclear Diplomacy

with North Korea membahas mengenai bagaimana kebijakan Amerika Serikat terhadap

ketidakpatuhan negara-negara yang tergabung dalam Nuclear Non-Proliferation Treaty

(NPT) dalam komitmennya untuk mematuhi segala hal-hal yang menjadi prinsip dasar

Page 5: BAB 1.docx

dalam pembentukan rejim Nuclear Non-proliferation treaty. Hal tersebut berdampak pada

pesismisme terhadap efektivitas dari NPT itu sendiri. Masing-masing negara yang dalam

hal yang menyangkut kepentingan nasional terus merongrong legitimasi dan aturan

internasional dalam membatasi penyebaran persenjataan nuklir tersebut. Iran misalnya

mengganggap bahwa, dengan memiliki persenjataan nuklir akan bisa survive dan

bertahan ditengah tekanan – tekanan negara – negara besar yang dari segi militer sangat

kuat seperti Amerika. Hal tersebut juga dilakukan oleh Korea Utara, yang selama menjadi

negara anggota NPT sejak tahun 1985 selalu menolak inspeksi yang dilakuakan IAEA.

Kebijakan keamanan Amerika Serikat pasca perang dingin, dikatakan bahwa tidak ingin

untuk terlalu mengedepankan kebijakan militer, karena ancaman yang ada dianggap tidak

lagi kredibel. Namun ortodoksi terhadap karakteristik kebijakan Amerika Serikat masih

tetap ada, yaitu tidak kooperativnya Amerika Serikat terhadap Negara-negara bandel yang

memiliki program senjata nuklir. Dikatakan Sigal bahwa kebijakan Amerika Serikat

politik luar negeri Amerika Serikat akan efektif berjalan apabila strategi kebijakan

kerjasama Amerika Serikat tetap dilakukan namun juga tidak mengesampingkan strategi

kebijakan koersif, misalnya embargo ekonomi ataupun militer walaupun kedua-duanya

tetap. Kebijakan Diplomatic Give and Take yang menggabungkan jaminan dengan syarat

timbal balik, dengan menjanjikan rangsangan dalam bentuk perbaikan ekonomi namun

dengan syarat bahwa negara pemilik nuklir seperti Korea Utara untuk menghentikan

program nuklirnya.

Tim Beal (1998) dalam bukunya North Korea: The Struggle Against American

Power mengangkat masalah yang menyangkut masalah dinamika hubungan Amerika dan

Korea Utara yang pasca berakhirnya konfrontasi pada tahun 1950-1953 semakin gencar.

Terutama setelah Amerika Serikat mengetahui tentang usaha Korea Utara

mengembangkan pengayaan Uranium yang berpotensi dikembangkan menjadi

persenjataan nuklir. Namun dalam perkembangannya posisi Amerika dalam

permasalahan nuklir Korea Utara ini tetap berhati-hati dalam merespon setiap

perkembangan yang dilakukan oleh Korea Utara. Dalam buku ini juga dianalisis

mengenai usaha Amerika dan Korea Utara dalam menyelesaikan permasalahan Nuklir

yang dipandang oleh Amerika Serikat sangat mengancam kepentingan nasionalnya di

kawasan semenanjung Korea. Karena walupun kawasan ini tidak terlalu banyak memiliki

sumber daya alam seperti sumber minyak dan gas tetapi secara geostrategis wilayah ini

dipandang oleh Amerika sangat memiliki posisi yang strategis. Upaya Amerika Serikat-

Page 6: BAB 1.docx

Korea Utara yang tertuang dalam Agreed Framework 1994 menjadi moment terpenting

dalam penyelesaian konflik antar kedua negara yang walaupun secara prinsip tidak

dipatuhi oleh Korea Utara namun tetap memberikan keyakinan bagi Amerika untuk terus

menggunakan jalur diplomasi terhadap Korea Utara.

Amerika Serikat sejak dan pasca perang dingin tetap melihat bahwa upaya

diplomasi dengan Korea Utara merupakan prioritas. setelah ditandatanginya Agreed

Framework hingga dilakukannya perundingan enam pihak Six Party Talks. Dinamika

yang berkembang tidak terlalu mempengaruhi posisi Korea Utara sebagai negara pemilik

nuklir. Walaupun secara ekonomi Korea Utara masih merupakan negara miskin, namun

kebijakan bantuan Amerika tetap tidak mengubah posisi Korea Utara untuk tetap

memiliki nuklir.

1.4 Kerangka Konseptual

1.4.1 Teori Kebijakan Luar Negeri dan Konsep Keamanan Nasional

Kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang dibuat

oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau unit

internasional lain, dan diarahkan untuk mencapai tujuan nasional. Kebijakan luar

negeri yang dijalankan oleh pemerintah suatu negara memang bertujuan untuk

mencapai kepentingan nasional masyarakat yang diperintahnya meskipun

kepentingan nasional suatu bangsa pada waktu itu ditentukan oleh siapa yang

berkuasa pada waktu itu.9 Menurut Rosenau, kebijakan luar negeri ditujukan untuk

memelihara dan mempertahankan kelangsungan hidup suatu negara.10 Dari

pemikiran tersebut dapat dilihat bahwa kebijakan Amerika Serikat terhadap

Semenanjung Korea dibuat untuk meraih tujuan-tujuan nasional Amerika Serikat di

kawasan tersebut.

Pemikir Realis menempatkan keamanan sebagai derivasi dari power atau

sebagai turunan dari power.11 Kondisi keamanan dapat di peroleh suatu negara jika

sebuah Negara tersebut berupaya untuk menggunakan segenap power yang dimiliki

untuk mencapai posisi dominan dalam hubungannya dengan aktor lain dan

sekaligus dapat mengatasi sumber-sumber instabilitas yang dapat menggangu

keamanan nasionalnya. Pemikir yang memandang keamanan sebagai turunan dari

9 Mochtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, (Jakarta, LP3ES, 1994), hlm. 18410 James N. Rosenau, Gavin Boyd, Kenneth W. Thompson. 1976. World Politics: An Introduction. New York: The Free

Press, hal 27.11 Lihat coulombis dan wolfe, Pengantar Hubungan Internasional, Bandung:Abardin, 1990, h. 86-89

Page 7: BAB 1.docx

power ialah Barry Buzan yang membagi konsep keamanan menjadi dua yaitu

konsep keamanan yang berdiri sendiri dan konsep keamanan yang memiliki kaitan

dengan sistem internasional.12 Jika ia berdiri sendiri maka keamanan didefinisikan

sebagi kebebasan dari ancaman. Namun jika terkait dengan sistim internasional

maka konsep keamanan berhubungan dengan untuk mempertahankan identitas

kemandirian dan integrasi fungsional mereka. Konsekuensinya ialah konsep

keamanan bersifat relasional dalam arti bersifat dinamis mengikuti pola interaksi

antar negara dalam sistim internasional.13

Keamanan memiliki beberapa karakteristik, yaitu: Pertama, keamanan

bukanlah suatu konsep dengan dimensi tunggal tetapi memiliki dimensi yang

beragam. Hyde-Price menyebut bahwa ada lima dimensi yaitu dimensi militer dan

politik yang merpakan dimensi utama yang di sertai oleh dimensi ekonomi, social

kemasyarakatan, dan lingkungan hidup. Kelima dimensi keamanan ini akan

mempengaruhi dinamika sistem internasional dalam arti perubaan dalam tingkat

internasional, dengan Negara sebagai unit primernya, akan menentukan stabilitas

internasional.14

Karakteristik kedua ialah keamanan bersifat relatif tidak absolut. Suatu

negara selalu berada dalam keadaan aman dan tidak aman. Kerelatifan konsep

keamanan ini melahirkan konsep security dillema. Konsep ini berintikan bahwa

usaha untuk meningkatkan power suatu negara dengan pertimbangan keamanan

akan menurunkan derajat keamanan negara lain.

Karakteristik ketiga adalah keamanan berkaitan dengan power. Dan karena

power hanya terdapat dalam situasi dimana ada minimal interaksi antara dua aktor

maka keamanan merupakan konsep yang relasional artinya keamanan merupakan

suatu fungsi yang terjadi ketika ada interaksi antara dua subjek atau lebih.

Karakteristik keempat ialah secara inheren keamanan memiliki nilai, tujuan,

dan kepentingan tertentu yang ingin diraih. Nilai dan, tujuan dan kepentingan

tersebut tertuang dalam kebijakan keamanan nasional yang dipandu oleh pemilikan

power untuk mencapai kepentingan nasional tertentu. Berdasarkan uraian diatas

maka upaya yang dilakukan suatu negara untuk mengunakan kemampuan yang

dimilikinya dalam rangka penciptaan keamanan nasional terwujud dalam kebijakan

12 Barry Buzan, People, States and Fear, Second Edition, (London:Harvester wheatsheaf),1991. H. 18-1913 Mohammed Ayoob, The Security Problematic Of The Third World, World Politics, no. 43, Januari 1991. Hal. 2514 Adrian Hyde-Price, European Security Beyond The Cold War : Four Scenario For The Year 2010 , London : The royal Of

International Affairs, 1991.H 10 - 11

Page 8: BAB 1.docx

keamanan nasional negara tersebut. Kebijakan keamanan nasional berisi tentang:

(1) kepentingan nasional dan (2) sumber-sumber ancaman dari negara lain yang

dapat mengganggu usaha pencapaian kepentingan nasional tersebut.15

Amerika Serikat memiliki kepentinagn besar didalam Kawasan Asia Timur.

Kepentingan nasional tersebut meliputi kepentingan ekonomi dan keamanan.

Disamping itu dengan semakin berkembangnya kekuatan nuklir Korea Utara,

Amerika Serikat juga sangat fokus terhadap keamanan nasionalnya, terutama dari

kepemilikan misil jarak jauh Korea Utara. Sementara itu paradigm serangan

terorisme pada 11 September membuat Amerika Serikat sangat concern dengan

masalah penyebaran nuklir yang akan membawa dampak yang sangat berbahaya

bagi Amerika Serikat sendiri.

Amerika Serikat melihat bahwa sumber ancaman dari negara lain dapat

mengganggu kepentingan nasional serta keamanan nasionalnya datang dari Korea

Utara. Perkembangan nuklir Korea Utara yang mengalami perkembangan

signifikan merupakan tantangan keamanan yang sangat serius bagi Amerika

Serikat dan negara aliansi di kawasan. Amerika Serikat menganggap

pengembangan senjata nuklir untuk tujuan politik dan militer oleh Korea Utara

sangat mungkin mengancam kepentingan nasional Amerika Serikat. Oleh karena

itu, Amerika Serikat mengedepankan beberapa pendekatan untuk menyelesaiakan

isu tersebut, diantaranya : (1) engagement yaitu meningkatkan kerjasama dan

hubungan bilateral , dengan merangkul kekuatan-kekuatan utama di dalam

kawasan terutama dengan Cina, Rusia, Jepang, dan Korea Selatan untuk berperan

dalam persoalan keamanan di kawasan. Kemudian (2) perundingan multilateral

yaitu membentuk sebuah perundingan dengan melibatkan negara-negara dikawasan

untuk menyelesaikan masalah nuklir tersebut.16

1.4.2 Regional Security Complex

Barry Buzan dalam teorinya mengatakan bahwa kawasan merupakan

sebuah sub sistem dalam hubungan keamanan yang signifikan dan terpisah, yang

berada antara kelompok negara yang terikat dalam kedekatan geografis satu

dengan yang lainnya. Relasi antar Negara didalam suatu kawasan dapat dilihat

15 Ibid16 Wu Xinbao, US Security Policy In East Asia,(Shanghai : Asia Foundation,2003) h. 12 - 14

Page 9: BAB 1.docx

melalui dua hal yaitu Amity dan enmity.17 Amity (persahabatan) merupakan

hubungan yang mengatur dari pertemanan antar negara menjadi sebuah hubungan

yang lebih baik dan dekat dan diharapkan menuju pada perlindungan dan dukungan

dalam hal keamanan sedangkan enmity adalah hubungan yang dibentuk negara-

negara didalam kawasan yang dilatarbelakangi oleh rasa saling curiga dan

ketakutan.18

Barry Buzan mendefinisikan regional security complex sebagai sebuah

kelompok negara dalam satu kawasan dimana fokus utama dalam konteks

keamanannya berhubungan erat antar satu negara dengan negara yang lainnya.19

Kompleksitas Keamanan adalah fenomena yang berakar pada faktor sejarah,

geopolitik dan hasil interaksi antar negara.

Kompleksitas keamanan kawasan merupakan sebuah definisi dari pola

hubungan amity (pertemanan) dan enmity (permusuhan) yang terjadi dalam ruang

lingkup geografis terbatas yang biasanya merupakan hasil dari efek hubungan

permusuhan dalam jangka waktu yang lama dimasa lalu. Dalam melakukan analisis

kompleksitas keamanan kawasan dapat digunakan empat level yaitu20

1. kondisi keamanan kawasan bersumber pada kondisi keamanan domestik di

sebuah negara. Apabila negara tersebut mengalami ketidak stabilan maka

dikhawatirkan akan berdampak pada kondisi keamanan negara lain.

2. kondisi keamanan kawasan terbentuk oleh hubungan satu negara dengan

negara lain dikawasan tersebut.

3. keamanan dikawasan dipengaruhi oleh interaksi yang terbangun oleh

sebuah kawasan dengan tetangga dikawasan lain.

4. keamanan kawasan terbentuk oleh kekuatan global yang berperan

dikawasan tersebut. Karena sifatnya yang terbatas pada lingkup geografis

kawasan dan sifat dari keamanan

Kawasan yang bertahan lama terdapat tiga kemungkinan evolusi21 :

1. Mempertahankan staus quo

mempertahankan status quo dalam arti bahwa tidak ada perubahan

signifikan yang dapat merubah struktur keamanan kawasan.

17 Barry Buzan, Opcit. H. 188-18918 Ibid. H. 19019 Buzan dan Ole Weaver, Regions and Power: The Structure of International Security, (United Kingdom: Cambridge University Press), 2003. H. 4520 Ibid. H. 5121 Ibid. H. 53

Page 10: BAB 1.docx

2. Transformasi internal

merupakan sebuah perubahan keamanan kawasan yang terjadi dan

disebabkan oleh actor didalam kawasan tersebut, tanpa adanya campur

tangan dari aktor diluar kawasan tersebut

3. Transformasi eksternal

terjadi apabila ada aktor yang berada diluar geografis kawasan ikut campur

atau ikut serta dalam merubah inti yang membentuk keamanan kawasan.

Dalam konteks transformasi eksternal, pengaruh Amerika Serikat sangat

memainkan peranan penting

Dalam konteks transformasi eksternal, pengaruh Amerika Serikat sangat

memainkan peranan penting dalam menciptakan kondisi keamanan di kawasan

Semenanjung Korea. Intervensi Amerika Serikat tersebut diimplementasikan dalam

keterlibaan Amerika Serikat dalam menekan Korea Utara.

Skema Alur Pemikiran

1.5 Hipotesa

Diterapkannya doktrin Pre-emptive War oleh George W. Bush setelah memasukan Korea

Utara kedalam kategori Axis of Evil

Faktor External Faktor Internal

Six-Party Agreement on North Korean Nuclear Program

(Beijing Agreement)

Kegagalan Agreed Framework

Six Party Talks

Page 11: BAB 1.docx

Dari rumusan masalah dan tinjauan pustaka diatas, maka penulis merumuskan

hipotesa penelitian sebagai berikut:

Terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi perubahan kebijakan Amerika

Serikat terkait krisis nuklir Semenanjung Korea:

Pertama, Faktor Internal. Keputusan George W. Bush sebagai decision maker

dipengaruhi oleh lima pihak yang mewakili lembaga yakni Wakil Presiden, Menteri Luar

Negeri, Menteri Pertahanan, Penasehat Keamanan Nasional, serta Chairman Joint Chiefs

of Staff yang menginginkan adanya peningkatan kapasitas diplomasi menjadi multilareal

dan bukan menggunakan pendekatan militer.

Kedua, Faktor Eksternal yang meliputi:

1. Perubahan kebijakan tersebut merupakan tindakan penguatan terhadap politik global

Amerika Serikat di kawasan Semenanjung Korea khususnya dan Asia Timur pada

umumnya.

2. Kebijakan keamanan Amerika Serikat terhadap Korea Utara merupakan bagian dari

strategi Amerika Serikat dalam usahanya menjamin stabilitas keamananan di kawasan

Asia Timur di satu sisi dan keamanan nasionalnya di sisi lain.

1.6 Metodologi Penelitian

1.6.1 Operasionalisasi Konsep

1.6.1.1 Proses Pembuatan Kebijakan

Dalam perumusan kebijakan luar negeri AS, presiden tidak dapat

melepaskan diri dari masukan-masukan yang diberikan para penasihatnya,

baik staf pribadi yang berkantor di Gedung Putih maupun para anggota

kabinet yang tergabung dalam National Security Council (NSC). Tidak

tertutup kemungkinan, para penasihat itu tidak sekadar memberikan

masukan tentang kebijakan luar negeri yang harus diambil Amerika Serikat,

tapi juga menanamkan pengaruh agar presiden mengikuti nasihat yang

diajukannya.

Dalam merumuskan kebijakan luar negerinya Bush mendapat

pengaruh dan saran informal dari lima pihak yang mewakili lembaga, yaitu;

Wakil Presiden: Dick Cheney; Menteri luar Negeri: Colin Powell (2001-

2005), Condoleezza Rice (2005); Menteri Pertahanan: Donald Rumsfeld

(2001-2006), Robert Gates (2006). Penasehat Keamanan Nasional:

Page 12: BAB 1.docx

Condoleezza Rice (2001-2005); serta Chairman Joint Chiefs of Staff:

Richard Myers.

Pemerintahan Bush menyatakan bahwa sesungguhnya krisis nuklir

Korea Utara ini tidak hanya merupakan permasalahan internal Amerika

Serikat saja, tetapi juga merupakan permasalahan internasional.22 Oleh

karenanya isu ini akan dapat diselesaikan dengan upaya-upaya kesepakatan

dari komunitas internasional. Pemerintah Amerika pada periode ini telah

meningkatkan kapasitas diplomasinya dengan melakukan pendekatan

kepada Korea Selatan, Jepang, Rusia dan khususnya Cina sebagai upaya

menekan Korea Utara untuk menghentikan segala aktivitas nuklirnya.

Pada periode pemerintahan Bush, Amerika Serikat lebih

berkonsentrasi untuk mengupayakan diplomasi Track One-nya pada jalur

multilateral. Presiden Bush menyatakan pendekatan secara multilateral

akan lebih tepat dan efektif dari pada pembicaraan bilateral antara Amerika

Serikat dan Korea Utara.23 Tercatat dalam periode waktu April 2003 hingga

September 2007 Amerika mengupayakan diplomasi multilateral dengan

mengajak Jepang, Cina, Korea Selatan dan Rusia. Perundingan pun digelar

melalui Tri Party talks dan Six Party talks. Namun sebelum Bush

melangkah kepada pendekatan multilateral, tercatat ada dua kali pertemuan

bilateral. Yakni kunjungan perwakilan Korea Utara kepada Gubernur New

Mexico, Richardson, pada 11 Januari 2002 dan kunjungan James Kelly ke

Pyongyang pada Oktober 2002. Tercatat pula beberapa kali pertemuan

bilateral berlangsung dalam perundingan Six Party Talks. Meskipun

terdapat beberapa pendekatan diplomasi secara bilateral, pemerintahan

Bush lebih berminat untuk melakukan diplomasi dalam kerangka

multilateral. Pemerintahan Bush sebisa mungkin menghindari terjadinya

negosiasi bilateral dengan Korea Utara karena pemerintahan Bush menilai

Korea Utara sering kali melanggar perjanjian yang telah dibuat bersama.

1.6.1.2 Kebijakan Keamanan Amerika Serikat di Semenanjung Korea 2003-

2007

22 www.usinfo.state.gov/xarchives/ display.html, diakses pada 12 September 201423 ibid

Page 13: BAB 1.docx

Upaya Amerika Serikat untuk menyelesaikan krisis nuklir di

Semenanjung Korea sebenarnya sudah dimuai pada masa pemerintahan Bill

Clinton. Dimana Amerika Serikat sangat menekankan pendekatan

diplomasi terhadap Korea Utara. Pada bulan Oktober 1994 Amerika Serikat

sepakat untuk melakukan perundingan bilateral dengan Korea Utara yang

kemudian dituangkan dalam sebuah kerangka persetujuan (Agreed

Framework) yang bertujuan menghindarkan krisis keamanan militer

(Military-Security Crisis) dengan meminta Korea Utara membekukan

reaktor Grapit (graphite-moderated reactors) dan fasilitas nuklirnya.24

Meskipun perjanjian Agreed Framework pada 1994 gagal, Amerika

Serikat terus melanjutkan upayanya melalui perundingan multilateral untuk

menghentikan program nuklir Korea Utara seperti perundingan enam pihak

(Six Party Talks) yang dimulai pada tahun 2003 bersama dengan China,

Rusia, Jepang, Korea Utara dan Korea Selatan. Namun perundingan

tersebut mengalami hambatan setelah Pyongyang mengakui bahwa telah

memiliki senjata nuklir dan menagguhkan perundingan sampai batas waktu

yang tidak ditetapkan.25

Setelah serangan 11 September 2001 Amerika Serikat memasukan

Korea Utara kedalam negara-negara yang dianggap sebagai musuh Amerika

Serikat. Hal tersebut sangat mempengaruhi dalam proses penyelesaian

masalah nuklir tersebut. Dalam Strategi Keamanan Nasional Amerika

Serikat yang dikeluarkan tahun 2002 telah disebutkan bahwa jika sebuah

negara atau kelompok teroris mengembangkan senjata pemusnah masal dan

hal itu dinilai mengancam kepentingan Amerika, tanpa menunggu jatuhnya

korban, Amerika Serikat akan mengambil kebijakan Pre-Emptive war.26

Disamping itu juga Amerika Serikat menyatakan bahwa senjata pemusnah

masal dalam hal ini senjata nuklir, jika dimiliki oleh negara pembangkang

(rogue states) ataupun kelompok-kelompok Teroris dianggap sebagai

ancaman serius bagi stabilitas kawasan tetapi juga merupakan tantangan

sistemik bagi tatanan dunia yang aman.

24 Pierre Goldschmidt, The Urgent Need to Strengthenthe Nuclear Non-Proliferation Regime, dalam Policy Outlook : Carnegie Endowment for International Peace, Januari 2006. h. 3

25 Yeon Bong Jung. 2001. Republic of Korea Army Strategy on Stilts: The U.S. Response to The North Korea Nuclear Issue. International Journal of Korean Studies Vol. 20 No.2. h.4

26 Opcit. The Report of The Center for Counterproliferations Research, At the Crossroads Counterproliferationand NationalSecurity Strategy, (Washington D.C: NationalDefenceUniversity). h. 186

Page 14: BAB 1.docx

1.6.1.3 Stabilitas Keamanan Regional Dalam Membentuk Konstruksi Sosial di

Kawasan

Amerika Serikat memiliki kepentinagn besar didalam Kawasan Asia

Timur. Kepentingan nasional tersebut meliputi kepentingan ekonomi dan

keamanan. Amerika Serikat melihat bahwa sumber ancaman dari negara

lain dapat mengganggu kepentingan nasional serta keamanan nasionalnya

datang dari Korea Utara. Perkembangan nuklir Korea Utara yang

mengalami perkembangan signifikan merupakan tantangan keamanan yang

sangat serius bagi Amerika Serikat dan negara aliansi di kawasan. Amerika

Serikat menganggap pengembangan senjata nuklir untuk tujuan politik dan

militer oleh Korea Utara sangat mungkin mengancam kepentingan nasional

Amerika Serikat. Oleh karena itu, Amerika Serikat mengedepankan

beberapa pendekatan untuk menyelesaiakan isu tersebut, diantaranya : (1)

engagement yaitu meningkatkan kerjasama dan hubungan bilateral , dengan

merangkul kekuatan-kekuatan utama di dalam kawasan terutama dengan

Cina, Rusia, Jepang, dan Korea Selatan untuk berperan dalam persoalan

keamanan di kawasan. Kemudian (2) perundingan multilateral yaitu

membentuk sebuah perundingan dengan melibatkan negara-negara

dikawasan untuk menyelesaikan masalah nuklir tersebut.27

Dalam konteks transformasi eksternal, pengaruh Amerika Serikat

sangat memainkan peranan penting dalam menciptakan kondisi keamanan

di kawasan Semenanjung Korea. Intervensi Amerika Serikat tersebut

diimplementasikan dalam keterlibaan Amerika Serikat dalam menekan

Korea Utara. Intervensi Amerika Serikat sebagai actor luar kawasan ini

memainkan peranan penting dalam membentuk konstruksi social di dalam

Kawasan Semenanjung Korea.

1.6.2 Tipe Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan peneliti adalah penelitian kualitatif deskriptif.

Penelitian deskriptif yakni penelitian yang dimaksudkan untuk membuat deskripsi

serta menjelaskan fenomena, situasi, dan kejadian.28 Artinya penelitian ini berusaha

menjelaskan mengenai faktor yang menyebabkan Amerika Serikat mengeluarkan

27 Wu Xinbao, US Security Policy In East Asia,(Shanghai : Asia Foundation,2003) h. 12 - 1428 Suryabrata, Sumadi. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali Press., Pp. 75

Page 15: BAB 1.docx

kebijakan keamanan serta bagaimana kemudian implementasi dari kebijakan

Amerika Serikat tersebut dalam melihat paradigma perkembangan program senjata

nuklir Korea Utara.

1.6.3 Jangkauan Penelitian

Jangkauan dalam penelitian ini adalah sejak tahun 2003-2007 dimana pada

periode ini terjadi krisis nuklir pada tahun 2003 dan 2006 yang menyebabkan

Amerika Serikat menganggap hal ini sebagai ancaman stabilitas keamanan

kawasan dan melakukan shifting strategy guna membendung perkembangan nuklir

Korea Utara.

1.6.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan data primer berupa pengumpulan

dokumen-dokumen penting seperti dokumen NSSA, dokumen Agreed Framework,

dokumen KEDO, dokumen Strategi Keamanan Amerika Serikat di Asia Pasifik,

serta dokumen-dokumen hasil six party talks. Adapun data yang merupakan

sumber data sekunder yang berasal dari buku, jurnal, internet, serta media massa

yang juga membahas mengenai kebijakan keamanan Amerika Serikat dalam

menyelesaikan isu tersebut.

1.6.5 Teknik Analasis Data

Teknik analisis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah

teknik analisis data kualitatif guna menghubungkan konsep serta menjawab

rumusan masalah dan membuktikan hipotesis. Dalam analisis data kualitatif

peneliti menyusun secara sistematis data-data yang diperoleh dari hasil wawancara,

tinjauan pustaka atau studi literature, serta data-data lainnya melalui cara

mengorganisasikan data kedalam kategori, dan menyusunnya ke dalam suatu pola

dan menyajikannya dalam bentuk kalimat.29 Dengan teknik analisis data ini

diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai seberapa jauh data mendukung

hubungan antar variabel dalam penelitian ini.

1.6.6 Sistematika Penulisan

29 Miles, MB and AM Huberman. Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of New Methods. SAGE. Baverly Hills., Pp. 129

Page 16: BAB 1.docx

Dalam upaya memberikan pemahaman mengenai isi dari penelitian secara

menyeluruh, maka penelitian ini dibagi menjadi 4 bab yang terdiri dari bab dan

sub-bab yang saling berkaitan satu sama lain. Bab-bab tersebut antara lain:

BAB I: Pendahuluan

Bab satu berisikan sub-bab latar belakang permasalahan seperti isu sejarah

pengembangan senjata nuklir oleh Korea Utara serta kebijakan yang ambil oleh

Amerika Serikat dalam merespon permasalahan tersebut dimasa sebelumnya.

Selain tinjauan sejarah sub-bab latar belakang ini juga berisi permasalahan pokok,

tujuan, serta manfaat penelitian. Sub-bab lainnya adalah kerangka pemikiran, yang

berisikan tinjauan pustaka, kerangka teori, operasionalisasi konsep, asumsi, serta

hipotesa penelitian. Sub-bab terakhir dalam bab ini adalah metode penelitian yang

berisikan jenis penelitian, sumber data, teknik penulisan, serta sistematika

penulisan.

BAB II: Perkembangan Program Senjata Nuklir Korea Utara dan Perspektif

Ancaman Amerika Serikat

Bab ini akan menjelaskan kompleksitas keamanan di Semenanjung Korea

serta, yang didalamnya membahas mengenai pengembangan nuklir Korea Utara

serta ancaman yang dimiliki. Kemudian intervensi Amerika Serikat dalam proses

transformasi keamanan yang membahas kebijakan dalam Agreed Framework dan

KEDO. Disamping itu, dalam bab ini juga akan dipaparkan bentuk-bentuk

kebijakan yang dikeluarkan Amerika Serikat terkait program Nuklir Korea Utara.

BAB III : Implementasi Bush Doctrin dan Proses Pembuatan Kebijakan Luar

Negeri Amerika Serikat Terhadap Korea Utara

Bab ini akan membahas mengenai bagaimana kebijakan luar negeri Amerika

Serikat pada masa pemerintahan George W. Bush terhadap Korea Utara.

Bagaimana Bush Doctrine dijalankan dan apa saja yang mempengaruhi Amerika

Serikat dalam membuat kebijakan terkait program Nuklir Korea Utara.

BAB IV: Penutup

Bab ini merupakan jawaban dari pokok permasalahan penelitian tentang

factor dibalik dikeluarkannya kebijakan keamanan Amerika Serikat serta

bagaimana implementasi kebijakan keamanan Amerika Serikat di Semenanjung

Korea terkait penyelesaian masalah kepemilikan senjata nuklir Korea Utara. Bab

ini berisi hasil pengujian hipotesis serta kesimpulan dari penelitian.

Page 17: BAB 1.docx

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Beal, Tim. 1998. North Korea : The Struggle Against American Power. Princeton: Princeton

University Press

Brown, Christoper. 2007. East Asia In Transition: US Interests In East Asia. Southern Center

For International Studies.

Buzan, Barry. 1991. People, States and Fear, Second Edition. London:Harvester wheatsheaf.

Buzan, Barry and Ole Weaver. 2003. Regions and Power: The Structure of International

Security. United Kingdom: Cambridge University Press.

De Ceuster, Koen dan Jan Melissen. 2008. Ending The North Korean Nuclear Crisis: Six

Parties, Six Perspective. Den Hag: Desiree Davidse.

Flint, Colin. 2006. Introduction to Geopolitics. London: Routledge.

Gilpin, Robert. 2001. “The Study of International Political Economy”, dalam Global

Political Economy: Understanding the International Economic Order, Princeton:

Princeton University Press

Haas, Ernst B. 1971. The Study of Regional Integration: Reflections on the Joy and Anguish

of Pretheorizing. In L. Lindberg, and S. Scheingold (eds) Regional Integration:

Theory and Research. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press.

Hudson, Valerie M. 2007. “The Levels of National Attributes and International System:

Effects on Foreign Policy” in: Foreign Policy Analysis: Classic and Contemporary

Theory. London: Rowman & Littlefield.

Hyde-Price, Adrian. 2010. European Security Beyond The Cold War: Four Scenario For The

Year 2010. London: The royal Of International Affairs

James N. Rosenau, Gavin Boyd, Kenneth W. Thompson. 1976. World Politics: An

Introduction. New York: The Free Press

Moleong, LJ. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Munthe, E. R. 2001. Politik Luar Negeri Korea Selatan Era Presiden Kim Dae Jung.

Yogyakarta: UPN

Nopirin. 1997. Ekonomi Internasional. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta

Page 18: BAB 1.docx

Reed, Timothy S. 2002. The Korean Security Dilemma: Shifting Strategies Offer A Way.

Oxford: Oxford University Press

Salvatore, Dominick. 1992. Ekonomi Internasional. Jakarta: Erlangga.

Sigal, Leon V. 2003. Disarming Strangers: Nuclear Diplomacy with North Korea. New

Jersey: Princeton University Press.

Strausz-Hupé, Robert. 1942. Geopolitics: The Struggle for Space and Power. New York:

G.P. Putnam’s Sons

Stueck, William. 1995. The Korean War An International History. New Jersey: Princeton

University Press.

Suryabrata, Sumadi. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali Press.

Yoon, Y. S., dan Setiawati, N. A. 2003. Sejarah Korea Sejak Awal Abad hingga Masa

Kontemporer. Yogyakarta: UGM Press

Jurnal

Charles, Wolf. 2005. North Korea Paradoxes. Hoover Institution Press.

Carter, Aidan Foster. 2013. North Korea: Questions and Solutions in 2013, dalam Strategic

Review January-March 2013 Vol. 3 No. 1.

Etzioni, Amitai. 2011. A Paradigm for Study of Political Unification. World Politics Journal

Vol. 15, No. 1

Falleti, Sebastien dan James Hardy. 2013. US, South Korea agree North Korea contingency

plan, Jane’s Defence Weekly

Hardy, James dan Sebastien Falleti. 2013. Rhetoric heats up on Korean Peninsula, Jane’s

Defence Weekly.

Miles, MB and AM Huberman. Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of New Methods.

SAGE. Baverly Hills.

Pierre Goldschmidt. 2006. The Urgent Need to Strengthenthe Nuclear Non-Proliferation

Regime, dalam Policy Outlook: Carnegie Endowment for International Peace

Yeon Bong Jung. 2001. Republic of Korea Army Strategy on Stilts: The U.S. Response to The

North Korea Nuclear Issue. International Journal of Korean Studies Vol. 20 No.2.

Page 19: BAB 1.docx

Internet

Daryl Kimball. 2012. “Chronology of U.S.-North Korean Nuclear and Missile Diplomacy.”

(http://www.armscontrol.org/factsheets/dprkchron#1985) diakses pada 22 September

2014

John Gershman. 2005. “The Six Party Talks Agreement.”

(http://www.fpif.org/reports/the_six -party_talks_agreement) diakses pada 22

September 2014