bab i-1.docx

37
BAB I LAPORAN KASUS IDENTITAS PASIEN Nama : Tn. RA Usia : 23 tahun Alamat : Rusunawa Pemko Sekupang Agama : Islam Pekerjaan : Swasta Pendidikan :- Status : Belum Menikah Masuk RS : 20 Maret 2014 pukul 00.15 ANAMNESIS Keluhan utama Kulit kedua kaki melepuh karena terkena api sejak pukul 19.00 Riwayat penyakit sekarang Pasien datang ke Rumah Sakit Embung Fatimah Kota Batam atas rujukan dari RS Elisabeth karena permintaan keluarga. Pasien datang dengan luka bakar akibat meledaknya bahan/alat di galangan kapal tempat Os bekerja. Pasien masih dapat makan, minum dan BAK. Namun Os tetap tersambar api walaupun sangat sebentar. Terkurung dalam ruangan (-), menghirup asap (-), sesak nafas (-), terbentur di kepala (-), pingsan (-), pusing (-), mual (-), muntah (-) Pasien kemudian dibawa ke RS dan diberi perawatan luka. 1

Upload: erfika-yuliza

Post on 26-Dec-2015

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I-1.docx

BAB I

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. RA

Usia : 23 tahun

Alamat : Rusunawa Pemko Sekupang

Agama : Islam

Pekerjaan : Swasta

Pendidikan : -

Status : Belum Menikah

Masuk RS : 20 Maret 2014 pukul 00.15

ANAMNESIS

Keluhan utama

Kulit kedua kaki melepuh karena terkena api sejak pukul 19.00

Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang ke Rumah Sakit Embung Fatimah Kota Batam atas rujukan dari RS Elisabeth

karena permintaan keluarga. Pasien datang dengan luka bakar akibat meledaknya bahan/alat di

galangan kapal tempat Os bekerja. Pasien masih dapat makan, minum dan BAK. Namun Os

tetap tersambar api walaupun sangat sebentar. Terkurung dalam ruangan (-), menghirup asap (-),

sesak nafas (-), terbentur di kepala (-), pingsan (-), pusing (-), mual (-), muntah (-)

Pasien kemudian dibawa ke RS dan diberi perawatan luka.

Riwayat penyakit dahulu

Alergi obat (-), Alergi makanan (-), hipertensi (-), DM (-), dan asma disangkal.

Riwayat penyakit keluarga

Alergi obat, hipertensi, DM, dan asma disangkal.

1

Page 2: BAB I-1.docx

PEMERIKSAAN FISIK

Kesadaran umum : Compos mentis

Primary survey

A : Bebas, bulu hidung tidak terbakar

Tidak ada tanda-tanda hambatan jalan nafas, sesak (-)

B : Spontan, frekuensi nafas 20x/menit, reguler, wheezing (-), rhonki (-)

C : Akral hangat, tekanan darah 100/80 mmHg, frekuensi nadi 112x/menit,

suhu afebris

Secondary survey

Kepala&wajah: deformitas (-), edema (-)

Mata : Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik

Leher : pembesaran KGB (-)

THT : sekret (-)

Dada : simetris dalam diam dan pergerakan

Jantung : BJ I & II normal, murmur (-), gallop (-)

Paru : vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-

Abdomen : datar, lemas, NT (-), tdk teraba massa, BU (+) normal.

Ekstremitas : lihat status lokalis

Status lokalis

Ekstremitas bawah kanan : 7 %

Ekstremitas bawah kiri : 8 %

Genitalia : 0 % +

Total : 15 %

2

Page 3: BAB I-1.docx

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

Hb : 8,5 mg/dl

Lekosit : 14.000

Hematokrit : 30 %

Trombosit : 5,2 ribu/ul

SGOT : 19 U/L

SGPT : 16 U/L

Ureum : 18 mg/dl

Creatinin : 0,5 g/dl

ASSESMENT

Luka bakar grade II, 15% eksremitas bawah dextra-sinistra.

PLANNING

- Inf. RL 550 cc/jam ( selama 8 jam ), dilanjutkan 4500cc/16 jam

- Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr

- Inj. Ketorolac 2 x 1 A

STATUS OPERASI

ASA II E

LAPORAN ANESTESI PASIEN

a. Diagnosa pra bedah : Combustio grade II, 15% eksremitas bawah dextra-sinistra

b. Diagnosa pasca bedah : Combustio grade II, 15% eksremitas bawah dextra-sinistra

c. Jenis pembedahan : debridement

d. Jenis anestesi : anestesi spinal

3

Page 4: BAB I-1.docx

TINDAKAN ANESTESI SPINAL

Anestesi dengan : Bunascan 0,5% heavy 20 mg

TERAPI POST OPERASI

Pengelolaan nyeri : Inj. Ketorolac 30 mg

Penanganan mual muntah : Ondansetron 4 mg

Antibiotic : Sesuai operator

Infus : RL

Diet dan nutrisi : Boleh ma/mi secara bertahap bila tidak mual muntah

MONITORING PASCA OPERASI

Cek TD, Nadi, pernafasan, dan suhu pasca operasi

Pindah ruangan jika Aldrette score > 8 dan tidak terdapat nilai 0.

4

Page 5: BAB I-1.docx

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 DEFINISI DAN ETIOLOGI

Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan

kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi. Luka bakar

merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi yang memerlukan

penatalaksanaan khusus sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut.

Luka bakar dapat disebabkan oleh paparan api, baik secara langsung maupun tidak

langsung, misal akibat tersiram air panas yang banyak terjadi pada kecelakaan rumah tangga.

Selain itu, pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik maupun bahan kimia juga dapat

menyebabkan luka bakar. Secara garis besar, penyebab terjadinya luka bakar dapat dibagi

menjadi:

Paparan api

o Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka, dan

menyebabkan cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat membakar pakaian

terlebih dahulu baru mengenai tubuh. Serat alami memiliki kecenderungan untuk

terbakar, sedangkan serat sintetik cenderung meleleh atau menyala dan

menimbulkan cedera tambahan berupa cedera kontak.

o Benda panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan benda panas. Luka

bakar yang dihasilkan terbatas pada area tubuh yang mengalami kontak.

Contohnya antara lain adalah luka bakar akibat rokok dan alat-alat seperti solder

besi atau peralatan masak.

Scalds (air panas)

Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental cairan dan semakin lama waktu

kontaknya, semakin besar kerusakan yang akan ditimbulkan. Luka yang disengaja atau

akibat kecelakaan dapat dibedakan berdasarkan pola luka bakarnya. Pada kasus

kecelakaan, luka umumnya menunjukkan pola percikan, yang satu sama lain dipisahkan

oleh kulit sehat. Sedangkan pada kasus yang disengaja, luka umumnya melibatkan

keseluruhan ekstremitas dalam pola sirkumferensial dengan garis yang menandai

permukaan cairan.

5

Page 6: BAB I-1.docx

Uap panas

Terutama ditemukan di daerah industri atau akibat kecelakaan radiator mobil. Uap panas

menimbulkan cedera luas akibat kapasitas panas yang tinggi dari uap serta dispersi oleh

uap bertekanan tinggi. Apabila terjadi inhalasi, uap panas dapat menyebabkan cedera

hingga ke saluran napas distal di paru.

Gas panas

Inhalasi menyebabkan cedera thermal pada saluran nafas bagian atas dan oklusi jalan

nafas akibat edema.

Aliran listrik

Cedera timbul akibat aliran listrik yang lewat menembus jaringan tubuh. Umumnya luka

bakar mencapai kulit bagian dalam. Listrik yang menyebabkan percikan api dan

membakar pakaian dapat menyebabkan luka bakar tambahan.

Zat kimia (asam atau basa)

Radiasi

Sunburn sinar matahari, terapi radiasi.

1.2 KLASIFIKASI LUKA BAKAR

Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tinggi suhu, lamanya pajanan suhu tinggi,

adekuasi resusitasi, dan adanya infeksi pada luka. Selain api yang langsung menjilat tubuh, baju

yang ikut terbakar juga memperdalam luka bakar. Bahan baju yang paling aman adalah yang

terbuat dari bulu domba (wol). Bahan sintetis seperti nilon dan dakron, selain mudah terbakar

juga mudah meleleh oleh suhu tinggi, lalu menjadi lengket sehingga memperberat kedalaman

luka bakar.

Kedalaman luka bakar dideskripsikan dalam derajat luka bakar, yaitu luka bakar derajat I,

II, atau III:

Derajat I

Pajanan hanya merusak epidermis sehingga masih menyisakan banyak jaringan untuk

dapat melakukan regenerasi. Luka bakar derajat I biasanya sembuh dalam 5-7 hari dan

dapat sembuh secara sempurna. Luka biasanya tampak sebagai eritema dan timbul

dengan keluhan nyeri dan atau hipersensitivitas lokal. Contoh luka bakar derajat I adalah

sunburn.

6

Page 7: BAB I-1.docx

Derajat II

Lesi melibatkan epidermis dan mencapai kedalaman dermis namun masih terdapat epitel

vital yang bisa menjadi dasar regenerasi dan epitelisasi. Jaringan tersebut misalnya sel

epitel basal, kelenjar sebasea, kelenjar keringat, dan pangkal rambut. Dengan adanya

jaringan yang masih “sehat” tersebut, luka dapat sembuh dalam 2-3 minggu. Gambaran

luka bakar berupa gelembung atau bula yang berisi cairan eksudat dari pembuluh darah

karena perubahan permeabilitas dindingnya, disertai rasa nyeri. Apabila luka bakar

derajat II yang dalam tidak ditangani dengan baik, dapat timbul edema dan penurunan

aliran darah di jaringan, sehingga cedera berkembang menjadi full-thickness burn atau

luka bakar derajat III.

7

Page 8: BAB I-1.docx

Derajat III

Mengenai seluruh lapisan kulit, dari subkutis hingga mungkin organ atau jaringan yang

lebih dalam. Pada keadaan ini tidak tersisa jaringan epitel yang dapat menjadi dasar

regenerasi sel spontan, sehingga untuk menumbuhkan kembali jaringan kulit harus

dilakukan cangkok kulit. Gejala yang menyertai justru tanpa nyeri maupun bula, karena

pada dasarnya seluruh jaringan kulit yang memiliki persarafan sudah tidak intak.

1.3 BERAT DAN LUAS LUKA BAKAR

Berat luka bakar bergantung pada dalam, luas, dan letak luka. Usia dan kesehatan pasien

sebelumnya akan sangat mempengaruhi prognosis. Adanya trauma inhalasi juga akan

mempengaruhi berat luka bakar.

Jaringan lunak tubuh akan terbakar bila terpapar pada suhu di atas 46oC. Luasnya

kerusakan akan ditentukan oleh suhu permukaan dan lamanya kontak. Luka bakar menyebabkan

koagulasi jaringan lunak. Seiring dengan peningkatan suhu jaringan lunak, permeabilitas kapiler

juga meningkat, terjadi kehilangan cairan, dan viskositas plasma meningkat dengan resultan

pembentukan mikrotrombus. Hilangnya cairan dapat menyebabkan hipovolemi dan syok,

tergantung banyaknya cairan yang hilang dan respon terhadap resusitasi. Luka bakar juga

menyebabkan peningkatan laju metabolik dan energi metabolisme.

Semakin luas permukaan tubuh yang terlibat, morbiditas dan mortalitasnya meningkat,

dan penanganannya juga akan semakin kompleks. Luas luka bakar dinyatakan dalam persen

terhadap luas seluruh tubuh. Ada beberapa metode cepat untuk menentukan luas luka bakar,

yaitu:

8

Page 9: BAB I-1.docx

Estimasi luas luka bakar menggunakan luas permukaan palmar pasien. Luas telapak

tangan individu mewakili 1% luas permukaan tubuh. Luas luka bakar hanya dihitung

pada pasien dengan derajat luka II atau III.

Rumus 9 atau rule of nine untuk orang dewasa

Pada dewasa digunakan ‘rumus 9’, yaitu luas kepala dan leher, dada, punggung, pinggang

dan bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai

dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki kiri masing-masing 9%. Sisanya 1% adalah daerah

genitalia. Rumus ini membantu menaksir luasnya permukaan tubuh yang terbakar pada

orang dewasa.

Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif permukaan kepala anak jauh

lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil. Karena perbandingan luas

permukaan bagian tubuh anak kecil berbeda, dikenal rumus 10 untuk bayi, dan rumus 10-

15-20 untuk anak.

9

Page 10: BAB I-1.docx

Metode Lund dan Browder

Metode yang diperkenalkan untuk kompensasi besarnya porsi massa tubuh di kepala pada

anak. Metode ini digunakan untuk estimasi besarnya luas permukaan pada anak. Apabila

tidak tersedia tabel tersebut, perkiraan luas permukaan tubuh pada anak dapat

menggunakan ‘Rumus 9’ dan disesuaikan dengan usia:

o Pada anak di bawah usia 1 tahun: kepala 18% dan tiap tungkai 14%. Torso dan

lengan persentasenya sama dengan dewasa.

o Untuk tiap pertambahan usia 1 tahun, tambahkan 0.5% untuk tiap tungkai dan

turunkan persentasi kepala sebesar 1% hingga tercapai nilai dewasa.

10

Page 11: BAB I-1.docx

Lund and Browder chart illustrating the method for calculating the percentage of body surface area affected by

burns in children.

1.4 PEMBAGIAN LUKA BAKAR

1. Luka bakar berat (major burn)

a. Derajat II-III > 20 % pada pasien berusia di bawah 10 tahun atau di atas usia 50 tahun

b. Derajat II-III > 25 % pada kelompok usia selain disebutkan pada butir pertama

c. Luka bakar pada muka, telinga, tangan, kaki, dan perineum

d. Adanya cedera pada jalan nafas (cedera inhalasi) tanpa memperhitungkan luas luka bakar

e. Luka bakar listrik tegangan tinggi

f. Disertai trauma lainnya

g. Pasien-pasien dengan resiko tinggi

2. Luka bakar sedang (moderate burn)

a. Luka bakar dengan luas 15 – 25 % pada dewasa, dengan luka bakar derajat III kurang

dari 10 %

11

Page 12: BAB I-1.docx

b. Luka bakar dengan luas 10 – 20 % pada anak usia < 10 tahun atau dewasa > 40 tahun,

dengan luka bakar derajat III kurang dari 10 %

c. Luka bakar dengan derajat III < 10 % pada anak maupun dewasa yang tidak mengenai

muka, tangan, kaki, dan perineum

3. Luka bakar ringan

a. Luka bakar dengan luas < 15 % pada dewasa

b. Luka bakar dengan luas < 10 % pada anak dan usia lanjut

c. Luka bakar dengan luas < 2 % pada segala usia (tidak mengenai muka, tangan, kaki, dan

perineum

1.5 PATOFISIOLOGI LUKA BAKAR

Akibat pertama luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan. Pembuluh kapiler

yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya ikut

rusak sehingga dapat terjadi anemia. Meningkatnya permeabilitas menyebabkan edema dan

menimbulkan bula yang mengandung banyak elektrolit. Hal itu menyebabkan berkurangnya

volume cairan intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan

akibat penguapan yang berlebihan, masuknya cairan ke bula yang terbentuk pada luka bakar

derajat II, dan pengeluaran cairan dari keropeng luka bakar derajat III.

Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme kompensasi tubuh masih bisa

mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20%, akan terjadi syok hipovolemik dengan gejala yang

khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun dan

produksi urin yang berkurang. Pembengkakan terjadi pelan-pelan, maksimal terjadi setelah

delapan jam. Pada kebakaran ruang tertutup atau bila luka terjadi di wajah, dapat terjadi

kerusakan mukosa jalan napas karena gas, asap atau uap panas yang terisap. Edema laring yang

ditimbulkannya dapat menyebabkan hambatan jalan napas dengan gejala sesak napas, takipnea,

stridor, suara serak dan dahak berwarna gelap akibat jelaga.

Dapat juga terjadi keracunan gas CO atau gas beracun lainnya. CO akan mengikat

hemoglobin dengan kuat sehingga hemoglobin tak mampu lagi mengikat oksigen. Tanda

keracunan ringan adalah lemas, bingung, pusing, mual dan muntah. Pada keracunan yang berat

terjadi koma. Bila lebih dari 60% hemoglobin terikat CO, penderita dapat meninggal.

12

Page 13: BAB I-1.docx

Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi mobilisasi serta

penyerapan kembali cairan edema ke pembuluh darah. Ini ditandai dengan meningkatnya

diuresis.

1.6 FASE PADA LUKA BAKAR

Dalam perjalanan penyakit, dapat dibedakan menjadi tiga fase pada luka bakar, yaitu:

1. Fase awal, fase akut, fase syok

Pada fase ini, masalah utama berkisar pada gangguan yang terjadi pada saluran nafas yaitu

gangguan mekanisme bernafas, hal ini dikarenakan adanya eskar melingkar di dada atau

trauma multipel di rongga toraks; dan gangguan sirkulasi seperti keseimbangan cairan

elektrolit, syok hipovolemia.

2. Fase setelah syok berakhir, fase sub akut

Masalah utama pada fase ini adalah Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan

Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS) dan sepsis. Hal ini merupakan dampak

dan atau perkembangan masalah yang timbul pada fase pertama dan masalah yang bermula

dari kerusakan jaringan (luka dan sepsis luka)

3. Fase lanjut

Fase ini berlangsung setelah penutupan luka sampai terjadinya maturasi jaringan. Masalah

yang dihadapi adalah penyulit dari luka bakar seperti parut hipertrofik, kontraktur dan

deformitas lain yang terjadi akibat kerapuhan jaringan atau struktur tertentu akibat proses

inflamasi yang hebat dan berlangsung lama

1.7 INDIKASI RAWAT INAP PASIEN LUKA BAKAR

Menurut American Burn Association, seorang pasien diindikasikan untuk dirawat inap

bila:

1. Luka bakar derajat III > 5%

2. Luka bakar derajat II > 10%

3. Luka bakar derajat II atau III yang melibatkan area kritis (wajah, tangan, kaki, genitalia,

perineum, kulit di atas sendi utama) risiko signifikan untuk masalah kosmetik dan

kecacatan fungsi

4. Luka bakar sirkumferensial di thoraks atau ekstremitas

13

Page 14: BAB I-1.docx

5. Luka bakar signifikan akibat bahan kimia, listrik, petir, adanya trauma mayor lainnya,

atau adanya kondisi medik signifikan yang telah ada sebelumnya

6. Adanya trauma inhalasi

1.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan:

1. Pemeriksaan darah rutin dan kimia darah

2. Urinalisis

3. Pemeriksaan keseimbangan elektrolit

4. Analisis gas darah

5. Radiologi – jika ada indikasi ARDS

6. Pemeriksaan lain yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis SIRS dan MODS

1.9 PENATALAKSANAAN LUKA BAKAR

Pasien luka bakar harus dievaluasi secara sistematik. Prioritas utama adalah

mempertahankan jalan nafas tetap paten, ventilasi yang efektif dan mendukung sirkulasi

sistemik. Intubasi endotrakea dilakukan pada pasien yang menderita luka bakar berat atau

kecurigaan adanya jejas inhalasi atau luka bakar di jalan nafas atas. Intubasi dapat tidak

dilakukan bila telah terjadi edema luka bakar atau pemberian cairan resusitasi yang terlampau

banyak. Pada pasien luka bakar, intubasi orotrakea dan nasotrakea lebih dipilih daripada

trakeostomi.

Pasien dengan luka bakar saja biasanya hipertensi. Adanya hipotensi awal yang tidak

dapat dijelaskan atau adanya tanda-tanda hipovolemia sistemik pada pasien luka bakar

menimbulkan kecurigaan adanya jejas ‘tersembunyi’. Oleh karena itu, setelah mempertahankan

ABC, prioritas berikutnya adalah mendiagnosis dan menata laksana jejas lain (trauma tumpul

atau tajam) yang mengancam nyawa. Riwayat terjadinya luka bermanfaat untuk mencari trauma

terkait dan kemungkinan adanya jejas inhalasi. Informasi riwayat penyakit dahulu, penggunaan

obat, dan alergi juga penting dalam evaluasi awal.

Pakaian pasien dibuka semua, semua permukaan tubuh dinilai. Pemeriksaan radiologik

pada tulang belakang servikal, pelvis, dan torak dapat membantu mengevaluasi adanya

kemungkinan trauma tumpul.

14

Page 15: BAB I-1.docx

Setelah mengeksklusi jejas signifikan lainnya, luka bakar dievaluasi. Terlepas dari

luasnya area jejas, dua hal yang harus dilakukan sebelum dilakukan transfer pasien adalah

mempertahankan ventilasi adekuat, dan jika diindikasikan, melepas dari eskar yang

mengkonstriksi.

Tatalaksana resusitasi luka bakar

a. Tatalaksana resusitasi jalan nafas:

1. Intubasi

Tindakan intubasi dikerjakan sebelum edema mukosa menimbulkan manifestasi obstruksi.

Tujuan intubasi mempertahankan jalan nafas dan sebagai fasilitas pemelliharaan jalan

nafas.

2. Krikotiroidotomi

Bertujuan sama dengan intubasi hanya saja dianggap terlalu agresif dan menimbulkan

morbiditas lebih besar dibanding intubasi. Krikotiroidotomi memperkecil dead space,

memperbesar tidal volume, lebih mudah mengerjakan bilasan bronkoalveolar dan pasien

dapat berbicara jika dibanding dengan intubasi.

3. Pemberian oksigen 100%

Bertujuan untuk menyediakan kebutuhan oksigen jika terdapat patologi jalan nafas yang

menghalangi suplai oksigen. Hati-hati dalam pemberian oksigen dosis besar karena dapat

menimbulkan stress oksidatif, sehingga akan terbentuk radikal bebas yang bersifat

vasodilator dan modulator sepsis.

4. Perawatan jalan nafas

5. Penghisapan sekret (secara berkala)

6. Pemberian terapi inhalasi

Bertujuan mengupayakan suasana udara yang lebih baik didalam lumen jalan nafas dan

mencairkan sekret kental sehingga mudah dikeluarkan. Terapi inhalasi umumnya

menggunakan cairan dasar natrium klorida 0,9% ditambah dengan bronkodilator bila

perlu. Selain itu bias ditambahkan zat-zat dengan khasiat tertentu seperti atropin sulfat

(menurunkan produksi sekret), natrium bikarbonat (mengatasi asidosis seluler) dan

steroid (masih kontroversial)

7. Bilasan bronkoalveolar

15

Page 16: BAB I-1.docx

8. Perawatan rehabilitatif untuk respirasi

9. Eskarotomi pada dinding torak yang bertujuan untuk memperbaiki kompliansi paru

b. Tatalaksana resusitasi cairan

Resusitasi cairan diberikan dengan tujuan preservasi perfusi yang adekuat dan seimbang

di seluruh pembuluh darah vaskular regional, sehingga iskemia jaringan tidak terjadi pada

setiap organ sistemik. Selain itu cairan diberikan agar dapat meminimalisasi dan eliminasi

cairan bebas yang tidak diperlukan, optimalisasi status volume dan komposisi intravaskular

untuk menjamin survival/maksimal dari seluruh sel, serta meminimalisasi respons inflamasi

dan hipermetabolik dengan menggunakan kelebihan dan keuntungan dari berbagai macam

cairan seperti kristaloid, hipertonik, koloid, dan sebagainya pada waktu yang tepat. Dengan

adanya resusitasi cairan yang tepat, kita dapat mengupayakan stabilisasi pasien secepat

mungkin kembali ke kondisi fisiologik dalam persiapan menghadapi intervensi bedah seawal

mungkin.

Resusitasi cairan dilakukan dengan memberikan cairan pengganti. Ada beberapa cara

untuk menghitung kebutuhan cairan ini:

Cara Evans

1. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL NaCl per 24 jam

2. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL plasma per 24 jam

3. 2.000 cc glukosa 5% per 24 jam

Separuh dari jumlah 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya diberikan dalam 16

jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah cairan hari pertama. Pada hari

ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.

Rumus Baxter

Untuk Dewasa :

% x BB x 4 cc

Separuh dari jumlah cairan ini diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya diberikan

dalam 16 jam berikutnya. Hari pertama terutama diberikan elektrolit yaitu larutan RL karena

terjadi defisit ion Na. Hari kedua diberikan setengah cairan hari pertama. Contoh : seorang

16

Page 17: BAB I-1.docx

dewasa dengan BB 50 kg dan luka bakar seluas 20 % permukaan kulit akan diberikan 50 x 20 %

x 4 cc = 4000 cc yang diberikan hari pertama dan 2000 cc pada hari kedua.

Untuk Anak-anak:

2cc/kgBB/% + kebutuhan faal

Kebutuhan faal:

< 1 tahun : BB x 100 cc

1 – 3 tahun : BB x 75 cc

3 – 5 tahun : BB x 50 cc

Dalam hal ini semua yang paling penting ialah observasi produksi urine setiap jam. Pada

hari ke dua diberikan Dextran 500 – 2000 + D5% / albumin, untuk dewasa. Sedangkan untuk

anak – anak diberikan sesuai dengan kebutuhan faal.

Akhir-akhir ini terdapat bukti yang menyebutkan bahwa penderita luka bakar

menerima cairan lebih banyak dibandingkan yang diprediksi menggunakan formula

Parkland atau yang disebut fluid creep. Selain itu, juga terdapat beberapa istilah, seperti

permissive hypovolemia dan hyperdinamic resuscitation dari beberapa studi.

“Fluid Creep”

Istilah ini menggambarkan terjadinya pemberian cairan berlebihan dari formula

yang telah ditentukan. Fluid creep juga dihubungkan dengan beberapa komplikasi,

seperti compatement syndrome, edema pulmonal, pemakaian ventilasi yang lama, dan

kegagalan graft kulit. Selain itu, kejadian fluid creep ini meningkat seiring dengan

penggunaan agen opioid, hipotesis yang saat ini menjelaskan mengapa itu terjadi

menyebutkan agen opioid, terutama dalam dosis tinggi, dapat menyebabkan terjadinya

hipotensi yang dapat meningkatkan kebutuhan cairan selama resusitasi (Saffle, 2007).

“Permissive Hypovolemia”

Untuk mencegah komplikasi over-resuscitation, maka Arlati et al. (2007)

17

Page 18: BAB I-1.docx

merkomendasikan pemberian cairan low volume. Pada penelitiannya juga membuktikan

hanya dua dari lebih dari 2100 penderita luka bakar yang mengalami gagal ginjal akut.

Pemilihan Cairan Resusitasi Intra Vena

Cairan resusitasi yang idelal merupakan cairan yang dapat mengembalikan cairan

intravaskular tanpa efek samping. Banyak sekali pilihan cairan yang dapat digunakan,

namun belum ada pilihan cairan terbaik berdasarkan penelitian sampai saat ini. Berikut

akan dibahas kelebihan dan kekurangan masing-masing cairan.

Kristalloid

Cairan kristalloid merupakan cairan aqous yang dapat melewati membran

semipermeable. Pemberian kristalloid termasuk aman, mudah ditemui dan murah. Cairan

Hartmann atau Ringer Lactate (RL) merupakan pilihan cairan yang direkomendasikan

oleh British Burns Association. Komposisi dan osmolaritas cairan tersebut hampir

menyamai cairan fisiologis tubuh dan mengandung lactate yang dapat berfungsi sebagai

buffer asidosis metanolik pada fase akut luka bakar. Namun, karena sifatnya yang

isotonis maka hanya 25% cairan kristalloid intra vena berada di intra vaskular, sementara

75% cairan tersebut ekstravasasi menuju intersisial. Selain itu, kristalloid juga tidak

mengandung protein sehingga tidak dapat meningkatkan tekanan onkotik intravaskular,

sehingga dapat memperparah terjadinya edema. Namun, terdapat studi menggunakan

transpulmonary double indicator dilution method, digunakan untuk mengukur akumulasu

cairan di paru, membuktikan pemberian kristalloid tidak menyebabkan edema pulmonal.

Namun, belum ada penelitian yang dapat membuktikan pilihan cairan yang lebih baik

(Holm et al., 2004).

Penggunaan cairan hipertonis pertama kali diperkenalkan oleh formula Monafo.

Kelebihan menggunakan cairan ini adalah mengurangi abdominal compartement

syndrome, membutuhkan cairan yang lebih sedikit dibandingkan formula Parkman,

memperbaiki kontraktilitas jantung. Namun, penggunaan cairan ini jarang digunakan

sebab memiliki beberapa kekurangan yaitu, hipernatremia, hiperosmolaritas yang dapat

menyebabkan gagal ginjal, otak mengkerut, kejang, dan pecahnya vaskular intra kranial

(Oda et al., 2006)

18

Page 19: BAB I-1.docx

Kolloid

Tekanan onkotik yang berasal dari substansi dengan berat molekul tinggi

memberikan efek cairan kolloid lebih lama berada di inta vaskular, yaitu selama 3 - 6

jam. Cairan kolloid berasal dari turunan plasma protein dan polimer glukosa sintetik.

Cairan kolloid derivat dari darah mengandung albumin dan fraksi plasma protein,

sementara itu cairan kolloid sintetis meliputi dextran, gelatin, dan hetastarch (HES)

(Parel et al., 2007).

Albumin merupakan derivat dari plasma, yang dipanaskan, dan disterilisasi. Oleh

karena itu, albumin dianggap aman dari transmisi penyakit infeksius. Namun, albumin

mempunyai kekurangan, yaitu transmisi beberapa obat dan substansi endogenous, seperti

billirubin dan free fatty acid. Efek ini tidak hanya dibuktikan secara eksperimen namun

tidak dibuktikan secara klinis. Pada penderita sehat, albumin berkontribusi 80% dari total

tekanan onkotik plasma, namun pada penderita critically ill, albumin berkorelasi rendah

terhadap tekanan onkotik. Half life albumin pada orang sehat berrkisar 5 - 10 hari, namun

pada luka bakar hanya bertahan 8 jam setelah kejadian luka bakar (Alderson et al., 2007)

Dextran merupakan polimer glukosa yang memiliki beberapa efek samping, seperti

abnormalitas koagulasi dimana terjadi peningkatan resiko perdarahan dan reaksi

hipersensitivitas yang mengancam jiwa. Gelatin merupakan modifikasi kolagen daging,

gelatin mempunyai berat molekul yang kecil, sekitar 35 kD yang menyebabkan half-life

intra vaskular gelatin relatif singkat, yaitu 2 jam. Gelatin berkaitan dengan reaksi alergi

tipe cepat. Sementara itu, HES menjadi pilihan terbaik sebab dari segi harga HES relatif

lebih murah dibandingkan dengan albumin, non-antigenik, dan reaksi anafilaktik yang

jarang terjadi. Berat molekul HES juga berkisar ± 450 kD. Namun, efek kolloid sintetis

hanya sementara dan cocok digunakan saat capillary leak minimal (Parel et al., 2007).

Darah

Hilangnya darah pada penderita luka bakar dipengaruhi beberapa hal, namun

pemberian restricted darah berhubungan dengan mortalitas yang menurun pada penderita

luka bakar. Terdapat studi yang membuktikan penderita luka bakar berat yang ditransfusi

19

Page 20: BAB I-1.docx

darah menderita sepsis (Chan et al., 2009).

Monitoring Selama Pemberian Terapi Cairan Resusitasi

Terdapat hal yang lebih penting dibandingkan pemilihan cairan resusitasi, yaitu

menentukan apakah resusitasi tersbut berhasil atau gagal. Jika seorang petugas kesehatan

mengetahui end point resusitasi maka akan juga mengetahui kapan harus menghentikan

pemberian cairan secara agresif, namun sayangnya belum ada pengukuran yang tepat

(Ahrns, 2004).

c. Resusitasi nutrisi

Pada pasien luka bakar, pemberian nutrisi secara enteral sebaiknya dilakukan sejak dini

dan pasien tidak perlu dipuasakan. Bila pasien tidak sadar, maka pemberian nutrisi dapat

melalui naso-gastric tube (NGT). Nutrisi yang diberikan sebaiknya mengandung 10-15%

protein, 50-60% karbohidrat dan 25-30% lemak. Pemberian nutrisi sejak awal ini dapat

meningkatkan fungsi kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya atrofi vili usus. Dengan

demikian diharapkan pemberian nutrisi sejak awal dapat membantu mencegah terjadinya

SIRS dan MODS.

Perawatan luka bakar

Umumnya untuk menghilangkan rasa nyeri dari luka bakar digunakan morfin dalam dosis

kecil secara intravena (dosis dewasa awal : 0,1-0,2 mg/kg dan ‘maintenance’ 5-20 mg/70 kg

setiap 4 jam, sedangkan dosis anak-anak 0,05-0,2 mg/kg setiap 4 jam). Tetapi ada juga yang

menyatakan pemberian methadone (5-10 mg dosis dewasa) setiap 8 jam merupakan terapi

penghilang nyeri kronik yang bagus untuk semua pasien luka bakar dewasa. Jika pasien masih

merasakan nyeri walau dengan pemberian morfin atau methadone, dapat juga diberikan

benzodiazepine sebagai tambahan.

20

Page 21: BAB I-1.docx

ANESTESI SPINAL

Anestesi spinal (anestesi lumbal, blok sub arachnoid) dihasilkan bila kita menyuntikkan

obat analgesic local ke dalam ruang sub-arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4

atau L4-L5.

Lokasi untuk Anestesi Spinal

Indikasi:

1.      Bedah ekstremitas bawah

2.      Bedah panggul

3.      Tindakan sekitar rektum perineum

4.      Bedah obstetric-ginekologi

5.      Bedah urologi

6.      Bedah abdomen bawah

7.      Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatric biasanya dikombinasikan dengan anesthesia umum ringan

21

Page 22: BAB I-1.docx

Kontra indikasi absolute:

1.      Pasien menolak

2.      Infeksi pada tempat suntikan

3.      Hipovolemia berat, syok

4.      Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan

5.      Tekanan intracranial meningkat

6.      Fasilitas resusitasi minim

7.      Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.

Kontra indikasi relative:

1.      Infeksi sistemik

2.      Infeksi sekitar tempat suntikan

3.      Kelainan neurologis

4.      Kelainan psikis

5.      Bedah lama

6.      Penyakit jantung

7.      Hipovolemia ringan

8.      Nyeri punggung kronik

Persiapan analgesia spinal

Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesia umum.

Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan,misalnya ada kelainan

anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus

spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:

22

Page 23: BAB I-1.docx

1.      Informed consent

Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anesthesia spinal

2.      Pemeriksaan fisik

Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung

3.      Pemeriksaan laboratorium anjuran

Hb, Ht, pt, ptt

Peralatan analgesia spinal

1.      Peralatan monitor: tekanan darah, pulse oximetri, EKG

2.      Peralatan resusitasi

3.      Jarum spinal

Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bamboo runcing, quinckebacock) atau jarum

spinal dengan ujung pinsil

Anastetik local untuk analgesia spinal

Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008.  anastetik

local dengan berat jenis sama dengan css disebut isobaric. Anastetik local dengan berat jenis

lebih besar dari css disebut hiperbarik. Anastetik local dengan berat jenis lebih kecil dari css

disebut hipobarik.

Anastetik local yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan

mencampur anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain

diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.

Anestetik local yang paling sering digunakan:

1.      Lidokaine(xylobain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobaric, dosis 20-100mg (2-5ml)

2.      Lidokaine(xylobain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat hyperbaric, dose 20-50mg(1-2ml)

23

Page 24: BAB I-1.docx

3.      Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-20mg

4.      Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat hiperbarik, dosis 5-15mg(1-3ml)

1.10 PROGNOSIS

Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam dan luasnya

permukaan luka bakar, dan penanganan sejak awal hingga penyembuhan. Selain itu faktor letak

daerah yang terbakar, usia dan keadaan kesehatan penderita juga turut menentukan kecepatan

penyembuhan.

Penyulit juga mempengaruhi progonosis pasien. Penyulit yang timbul pada luka bakar antara

lain gagal ginjal akut, edema paru, SIRS, infeksi dan sepsis, serta parut hipertrofik dan

kontraktur.

24

Page 25: BAB I-1.docx

BAB III

PEMBAHASAN KASUS

Tn . RA, usia 23 tahun datang dengan keluhan kedua eksremitas bawah melepuh karena

terkena terkena api. Kulit yang melepuh diakibatkan tersambar api dari alat/ bahan galangan

kapal yang tiba-tiba meledak dari tempat kerja pasien. Pasien tidak ada keluhan sesak nafas,

pusing, mual maupun muntah.

Pasien datang masih dalam fase akut luka bakar. Maka perlu diperhatikan ABC dari

pasien. Dari pemeriksaan umum tidak ditemukan bulu hidung yang terbakar. Hal ini dapat

menyingkirkan adanya cedera inhalasi. Pernafasan normal, tekanan darah pasien yaitu 120/70

mmHg dengan frekuensi nadi 88x/menit.

Pada pasien ditemukan luka bakar di kaki kanan 7 %, dan kaki kiri 8%. Luas luka

ditemukan menurut diagram rules of nine dari Wallace. Total luas luka bakar mencapai 15%

dengan kedalaman derajat II.

Luka bakar pada pasien ini digolongkan derajat II, sebab kerusakan meliputi epidermis

dan sebagian dermis yang terlihat dari reaksi inflamasi akut dan proses eksudasi, ditemukan bula,

dasar luka bewarna merah atau pucat dan nyeri akibat iritasi ujung saraf sensorik. Luka bakar

pada pasien ini tidak digolongkan dalam derajat I sebab pada luka bakar derajat I kelainan nya

hanya berupa eritema, kulit kering, nyeri tanpa disertai eksudasi. Luka bakar juga tidak

digolongkan dalam derajat III sebab pada luka bakar derajat III dijumpai kulit terbakar bewarna

abu-abu dan pucat, letaknya lebih rendah dibandingkan kulit sekitar dan tidak dijumpai rasa

nyeri/ hilang sensasi akibat kerusakan total ujung serabut saraf sensoris.

Dari laboratorium darah tepi ditemukan peningkatan leukosit. Peningkatan leukosit ini

disebabkan oleh reaksi inflamasi pada fase akut luka bakar.

Penatalaksanaan yang dilakukan adalah resusitasi cairan. Dengan cara Baxter dapat

dihitung kebutuhan cairan pasien yaitu :

4 x BB x % luka bakar = 4 x 57 x 15 = 3.420 ml/24 jam

Pada 8 jam pertama pasien diberikan 1.710 mL. kemudian pada 16 jam kemudian

diberikan cairan sebanyak 1.710 mL. Pada hari kedua diberikan cairan sebanyak setengah cairan

pertama yaitu 1.710 mL/24 jam. Pada hari ketiga jumlah cairan kembali dikurangi setengahnya

25

Page 26: BAB I-1.docx

menjadi 855 mL/24 jam. Jumlah cairan dapat dikurangi bahkan dihentikan bila diuresis pasien

memuaskan dan pasien dapat minum tanpa kesulitan.

Tujuan resusitasi cairan pada penderita luka bakar saat 24 - 48 jam pertama (Chan

et al., 2009), adalah mengembalikan volume intravaskular, menyediakan sodium yang adekuat

untuk mengembalikan potensial transmembran selular, mengembalikan kadar elektrolit

ekstraselular, sehingga mencegah ketidakseimbangan elektrolit yang dapat menyebabkan aritmia

jantung, dan mengkoreksi hipoproteinemia dan meningkatkan tekanan onkotik.

Setelah itu dilakukan perawatan luka bakar. Luka bakar dibersihkan dengan air hangat

yang mengalir. Hal ini merupakan cara terbaik untuk menurunkan suhu di daerah cedera,

sehingga dapat menghentikan proses kombusio pada jaringan. Untuk menutup luka, digunakan

kasa lembab steril menggunakan cairan RL atau salep untuk mencegah penguapan. Balutan

dinilai dalam waktu 24-48 jam. Bula yang luas dengan akumulasi transudat, akan menyebabkan

penarikan cairan ke dalam bula sehingga menyebabkan gangguan keseimbangan cairan. Oleh

karena itu perlu dilakukan insisi. Insisi ini bertujuan untuk mengeluarkan cairan transudat tanpa

membuang epidermis yang terlepas. Kemudian epidermis yang terlepas ini dijadikan penutup

luka (biological dressing) seperti split thickness skin graft (STSG). Setelah itu diletakkan tulle di

atas graft tersebut dan membungkusnya dengan kasa lembab selama 2-3 hari, kemudian

diberikan salep antibiotik sampai terjadinya epitelisasi. Pada bula-bula yang kecil cukup

dilakukan aspirasi menggunakan semprit dan dilakukan sebagaimana pada bula yang luas.

Prognosis ad vitam pada pasien ini adalah bonam karena penyakit ini sudah didiagnosis dan

saat ini tidak mengancam nyawa. Prognosis ad functionam pada pasien ini adalah bonam karena

sesuai dengan luas dan kedalaman luka, penyembuhan dapat terjadi secara spontan dan telah

dilakukan terapi pengobatan yang adekuat terhadap luka bakar. Prognosis ad sanactionam pada

pasien ini adalah bonam karena faktor penyebab dapat dihindari dan tidak ada angka rekurensi.

26

Page 27: BAB I-1.docx

DAFTAR PUSTAKA

Morgan Jr GE, Mikhail MS, and Murray MJ. Pediatric Anesthesia. In: Lange-Clinical

Anesthesiology 4th Edition. United States of America: McGraw-Hill Companies, Inc. 2006; 44:

922-50.

Morgan Jr GE, Mikhail MS, and Murray MJ. Anesthesia in Neurosurgery. In: Lange-Clinical

Anesthesiology 4th Edition. United States of America: McGraw-Hill Companies, Inc. 2006; 26:

631-46.

Ahmadsyah I, Prasetyono TOH. Luka. Dalam: Sjamsuhidajat R, de Jong W, editor. Buku ajar

ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005. h. 73-5.

Moenadjat Y. Luka bakar. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003.

Heimbach DM, Holmes JH. Burns. In: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL,

Hunter JG, Pollock RE, editors. Schwartz’s principal surgery. 8 th ed. USA: The McGraw-Hill

Companies; 2007.

27